Pemerintahan Maknawi
2. Pemerintahan Maknawi
Dalam bagian ini, pemerintah mengemban tugas untuk menjelaskan poin-poin yang masih kabur, rumit dan masih Dalam bagian ini, pemerintah mengemban tugas untuk menjelaskan poin-poin yang masih kabur, rumit dan masih
Di samping menjalankan tugas sebagai pemerintah, khalifah juga mengemban tugas sebagai penjelas ahkam (plural dari hukum) dan mufasir Al-Quran. Ia juga dapat menjaga maktab dari segala macam penyimpangan dan membelanya dari segala keraguan (syubhat).
Oleh karena itu, khalifah seharusnya seorang yang lebih alim dan lebih tahu di kalangan umat perihal masalah-masalah fondasi dan muatan-muatan syariat. Yakni, ia melebihi dari yang lain telah melepas dahaga ilmu dan makrifat dari sumber mata air ilmu dan makrifat nabi.
Dengan demikian, ia harus memiliki keislaman yang lebih awal dan telah banyak mengambil manfaat dari Nabi Suci Saw. Demikian juga, ia harus mengedepankan kepentingan kaum Muslimin dan umat Islam di atas kepentingan pribadi atau golongan. Demi menjaga Islam ia pun rela mengorbankan jiwa dan raga.
Khalifah dari sisi pemerintahan adalah penguasa atas seluruh harta kaum Muslimin, seperti harta khumus, zakat, pendapatan negara, pajak, pampasan perang (ghanimah), mineral-mineral, dan harta-harta umum. Kesemua ini merupakan harta yang berada dalam kekuasaan khalifah.
Khalifah juga memiliki tugas, tanpa adanya pelanggaran dan kezaliman, untuk membagikan harta-harta ini kepada kaum Muslimin; atau demi kemaslahatan umat ia dapat memanfaatkan negeri-negeri Islam.
Oleh karena itu, seorang khalifah tidak boleh memiliki hasrat dan keinginan terhadap dunia, sehingga dalam menghadapi Oleh karena itu, seorang khalifah tidak boleh memiliki hasrat dan keinginan terhadap dunia, sehingga dalam menghadapi
Persis dengan alasan ini, khilâfah merupakan posisi yang ditentukan oleh Tuhan yang di dalamnya seorang khalifah ditetapkan dari orang-orang yang paling layak dan paling berilmu di kalangan umat, dan bukan masalah pemilihan (yang dilakukan oleh umat, AK).Dengan kata lain, khilâfah merupakan penetapan ketika suara rakyat tidak memiliki pengaruh sama sekali di dalamnya. Oleh karena itu, untuk menentukan pengganti Rasulullah Saw, kita harus mencarinya dengan perhatian yang fair dan imparsial dalam nas dan instruksi hukum serta sabda-sabda Nabi Saw tentang masalah ini dan mengamalkan apa yang telah kita temukan dari nas, hukum dan sabda Nabi Saw.
Kita telah mengetahui bahwa peristiwa Al-Ghadir merupakan salah satu sandaran yang paling dapat diandalkan dan merupakan sebuah peristiwa yang terjadi dalam Dunia Islam.
Di samping itu, hadis wilâyah merupakan salah satu hadis yang paling definitif yang telah datang dari Nabi Saw. Dari sisi makna dan mafhum-nya (yang dapat dipahami darinya) tidak terdapat sedikit pun sifat mubham (kabur, tidak jelas) dan mujmal (global, tidak rinci) di dalamnya; lantaran bagi mereka yang telah merasakan aroma sastra Arab dan familiar dengan muatan- muatan ‘urf (kebiasaan umum) – kebiasan orang-orang berakal dan melihat dengan pandangan tanpa bias dan prasangka, ia akan memberikan pengakuan bahwa hadis ini memberikan petunjuk tentang masalah imâmah, kepemimpinan, dan prioritas Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As atas yang lain.
Bahkan apabila kita tidak mengindahkan hari ini, kita masih cukup memiliki selaksa hadis yang diriwayatkan oleh Ahlu Sunnah dan Syi’ah ihwal masalah imâmah dan kepemimpinan Amirul Mukminin Ali As.
Penggalan hadis-hadis dari Rasulullah Saw yang mengulas masalah ini akan kita sampaikan dalam dua bagian yang terpisah:
Bagian pertama, hadis-hadis seperti hadis Al-Ghadir dengan jelas dan tegas menunjukkan khilâfah Amirul Mukminin Ali As. Bagian
memperkenalkan kepribadian Amirul Mukminin As yang menegaskan kandungan hadis Al-Ghadir dan khilâfah Baginda Ali As.
Setelah itu, terlepas dari hadis-hadis yang disebutkan di atas dan dalil-dalil lafzi, kita akan mengkaji kelayakan secara substansial dan keutamaan Baginda Ali As. Pada akhirnya kita akan ketengahkan latar belakang Idul Ghadir berikut adab- adabnya.
Dalil-dalil Tegas atas Khilâfah Imam Ali As
Dalil-dalil – terlepas dari hadis Al-Ghadir – yang secara otomatis menunjukkan secara tegas dan jelas tentang khilâfah dan kepemimpinan Amirul Mukminin As yang tersedia yang untuk menyebutkannya memerlukan waktu yang lapang dan buku yang tebal. Di sini kita hanya akan menyebutkan beberapa dalil yang menyebutkan secara tegas dan terang ihwal khilâfah dan imâmah Imam Ali As.
Sebelum menukil dalil-dalil tersebut – kendati umat tergelincir dalam kesalahan dalam memilih pengganti selepas Nabi Saw dan khalifah yang sebenarnya ditahan untuk tidak Sebelum menukil dalil-dalil tersebut – kendati umat tergelincir dalam kesalahan dalam memilih pengganti selepas Nabi Saw dan khalifah yang sebenarnya ditahan untuk tidak
Lantaran nilai-nilai dan keutamaan Imam Ali As tidak bergantung pada penetapan pemerintahan secara lahir, akan tetapi nilai kursi khilâfah-lah yang bergantung pada bertugasnya Amirul Mukminin; artinya kapan saja ada orang lain selain dirinya yang menduduki pos khilâfah, pos khilâfah ini akan mengalami degradasi nilai. Jabatan khilâfah ini kembali akan menemui nilainya manakala Imam Ali menduduki jabatan khilâfah tersebut.
Disebutkan bahwa: Tatkala Amirul Mukminin As memasuki kota Kufah,
seseorang datang kepadanya d an berkata, ‚Demi Allah! Wahai Amirul Mukminin! Khilâfah kini menjadi rupawan dan elok dipandang mata berkatmu, bukan lantaran khilâfah engkau menjadi rupawan dan elok. Wujudmu telah membuat nilai posisi khilâfah ini menjadi tinggi, bukan karena khilâfah wujudmu menjadi lebih tinggi. Khilâfah yang memerlukanmu, bukan
engkau yang memerlukan khilâfah .‛ 1
Abdullah bin Imam Ahmad bin Hanbal berkata, ‚Suatu hari aku duduk di hadapan ayahku. Sekelompok orang yang berasal dari Kufah datang menghadap ayahku dan berkata-kata tentang khilâfah para khalifah. Akan tetapi tatkala sampai pada khilâfah Imam Ali As, pembicaraan menjadi sangat lama. Ayahku
1 Târikh Dimasyq, jilid 3, hal. 145, dan Yanâbi’ Al-Mawaddah, 344.
mengangkat kepalanya dan berkata, ’Alilah yang memberikan keindahan kepada khilâfah, bukan khilâfah kepada Ali.’‛ 1