Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Berdasarkan Pendekatan Sosiolinguistik (Studi Kasus Pengelolaan Wilayah Pesisir di Propinsi Lampung)
P E N G ~ ~ O L A AWILAYAH
N
PESlSlR BERBASIS MASYARAKAT
BERDASARKAN PENDEKATAN SOSlOLlNGUlSTlK
(Studi Kasus Pengelolaan Wilayah Pesisir di Propinsi Lampung)
OLEH:
SLAMET TARN0
PROGRAM PASCASARJANA
INSTlTUT PERTANIAN BOGOR
2002
ABSTRAK
SLAMET TARNO. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat
Berdasarkan Pendekatan Sosiolinguistik (Studi Kasus Pengelolaan Wilayah Pesisir di
Propinsi Lampung). Dibimbing oleh JOKO PURWANTO dan IWAN GUNAWAN.
Penelitian bermaksud untuk: (i) Mengidentifikasikan perilaku sosialkomunikasi komunitas dialek dalam merepresentasikan profil pengelolaan
sumberdaya alam pesisir secara terpadu (ii) Menyajikan karakter ruang sosial yang
dapat dimanfaatkan dalam mensinergiskan program pengelolaan pesisir secara
terpadu dengan mempertimbangkan karakter komunitas lokal yang berlandaskan
sosiolinguistik.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Lampung Selatan, pada bulan April sampai
dengan Agustus 2002, dengan lokasi sampel di Kecamatan Tanjung Bintang,
Ketibung, Sidomulyo, Palas, Kalianda, Penengahan.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial
(sistem informasi geografis) dengan menggunakan perangkat lunak Arc-info/Arc-view
3.2.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sisi ekoregion luasan bentangruang
yang merepresentasikan profil dukungannya terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu antara lain adalah : Sangat Mendukung 19.245,21 Ha (5,48%); ~ e d u k ; n g
76.980.85 Ha (21,92%); Kurang Mendukung 105.813,54 Ha (30,13%); Tidak
Mendukung 149,150,39 Ha (42,47%).
Dari sisi Bioregron Jumlah Komunitas yang merepresentasikan profil
perilaku dukungan terhadap upaya Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu adalah
sebagai berikut: Sangat Mendukung 57.604 jiwa (8,77%); Mendukung 100.824 jiwa
(15,35%); Kurang Mendukung 115.209 (17,54%); Tidak Mendukung 383.197 jiwa
(58,34%).
Interaksi Peri!aku Sosial Ekonomi komunitas dialek &lam keterkaitannya
dengan sumberdaya di wilayah pes~sirjuga masih kecil, ha1 ini dapat diperhatikan
pada hal-ha1 berikut: Aktivitas budidaya pesisir sektor perikanan barn termanfaatkan
sebesar 21,90%. Budidhya Laut tenr,anfaatkan sebesar 14,71%. Budidaya Tambak
sebesar 77,24?6. Budidaya Air tawar sebesar 58,50%. Budidaya di perairan umum
sebesar 1,60%. Budidaya Minapadi sebesar 0,49%.
Relatif kecilnya perilaku sosiolinguistik komunitas dialek yang
merepresentasikan profil perilaku pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu di
Kabupaten Lampung Selatan ini mengindikasikan, bahwa upaya program tersebut
perlu ditunjang oleh langkah-langkah kuratif yang bersumber dari perilaku komunitas
lokal tersebut.
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Slamet Tarno
Status
: Mahasiswa Program Pascasarjana - S2
Nomor Pokok Mahasiswa
: P.31500007
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Perguruan Tinggi
: Institut Pertanian Bogor
Saya menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang bejudul
"
Pengelolaan
Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Berdasarkan Pendekatan Sosiolinguistik (Studi
Kasus Pengelolaan Wilayah Pesisir di Propinsi Lampung) ", adalah hasil penelitian
dan penulisan saya.
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenamya.
Bogor, 6 September 2002
Yang menyatakan
k
Slam t Tarno
"gai orang 6erselimut !(Bangun !
Dan sampad&anperingatan
Dan @66imu, agung!&anlhh
Dan pakainmy suci&anlhh
Dan dosa-dosa, tinggal!&anl;ch
Jangan mem6eri untu!&menerimah6ih 6anyak
Dan demi @66-mu, ta6ahlah"
(Qurhn Surat JGMudatsir 74: 1-7)
iauafi pequangan d a r t
cesili 1s6andiah
E[o Y i 7€adyanto
iDwiBudi Xartanto
5% iaayu.Aji
Ikriring d o h d a r t
Gini
'ypyat @lmarhum)
Serta ~adara-sadara!&u
PENGELOLAAN WILAYAH PESlSlR BERBASIS MASYARAKAT
BERDASARKAN PENDEKATAN SOSlOLlNGUlSTlK
(Studi Kasus Pengelolaan Wilayah Pesisir di Propinsi Lampung)
SLAMET TARNO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pa&
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002
Tesis
: Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat
Berdasarkan Pendekatan Sosiolinguistik (Studi Kasus
Pengelolaan Wilayah Pesisir di Propinsi Lampung)
Nama
: Slamet Tarno
Nomor Pokok
: P. 31500007
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr.Ir. ~ o k Punvanto.
b
DEA
Ketua
Dr.Ir. Iwan Gunawan. MSc.
Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan
Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri. MS.
Tanggal Lulus: 6 September 2002
rogram Pascasarjana
RIWAYAT HIDUP
Slamet Tarno, dilahirkan pada 13 Mei 1963 di Jombang, dari ayah Kayat dan
ibu Gini. Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada Sekolah Dasar Negeri
Joyosuparto, tahun 1976, pendidikan menengah pada SMP PPSP Plandi Jombang,
tahun 1980 dan SPG Negeri Jombang, lulus tahun 1983. Sambil bekerja, pada tahun
1986 melanjutkan pendidikan di Fakultas Keguruan clan llmu Pendidikan Universitas
Tanjungpura,jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, lulus pada bulan Agustus 1990.
Alhamdulillah pada tahun 1991 diangkat menjadi staf pengajar tetap MKDU
Universitas Muhammadiyah Pontianak, dan Tahun 1997 diangkat sebagai PNS staf
Pengajar di Politeknik Negeri Pontianak.
Pada tanggal 8 Juli 1988 penulis menikah dengan Cesilia Isbandiah clan kini
telah dkaruniai i g a orang anak yaitu; Eko Yudha Hadiyanto (12 tahun), Dwi Budi
Hartanto (10 tahun), Tri Bayu Aji (8 tahun).
Penulis mendapat kesempatm untuk mengikuti pendidkan pascasajana S2,
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PS-SPL) Institut
Pertanian Bogor tahun ajaran 200012001 atas biaya dari Dijen Dikti melalui Bea
Siswa Program Pascasarjana.
PRAKATA
Alhamdulillah, penulis panjatkan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala
karunia-Nya, sehingga penelitian clan penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Judul
penelitian ini adalah Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Berdasarkan
Pendekatan Sosiolinguistik (Studi Kasus Pengelolaan Wilayah Pesisir di Propinsi
Lampung).
Penelitian dan tesis ini merupakan sumbangan pikiran &lam mengkaji
perencanam kawasan pesisir Timur dan Selatan Kabupaten Lampung Selatan yang
berlandaskan pada perilaku sosiolinguistik komunitas lokal. Diharapkan dengan
kajian ini dapat mensinergiskan pengelolaan kawasan pesisir yang simultan dengan
perilaku komunitas suatu kawasan, sehingga mengakomo&r berbagai kepentingan
dan kebutuhan ruang sebagai antisipasi meningkatnya aktifitas pembangunan di
kawasan tersebut. Di samping itu, penelitian dan penulisan ini dimaksudkan juga
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Magister Saim pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sarnpaikan kepada
Dr.Ir. Joko Punvanto, DEA dan Dr.Ir. Iwan Gunawan, MSc. selaku pembimbing,
serta Dr.Ir. Budi Wiryawan, M.Sc selaku dosen penguji tamu. Secara khusus penulis
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Hj. Ir. Nurmala, MM selaku Direktur
Politeknik Negeri Pontianak yang telah banyak memberikan bantuan dan berbagai
kemudahan, juga kepada Ir. Yakob Ishadamy, M.Si. Di samping itu, kepada pimpinan
dan segenap staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dm Lautan, Institut
Pertanian Bogor (SPL IPB) yang telah memberikan ilmu dan pelayanan terbaik.
Demikian pula kepada rekan-rekan SPL-IPB angkatan V, khususnya Mas Agung
Riyadi, Pak Noor Nedi, Pak E. Priyatna P, serta Mbak St. Khasanaturodiyah yang
turut memberikan motivasi yang sangat berharga dalam penulisan ini.
Semoga penelitian dan tesis ini bermanfaat.
Bogor, 6 September 2002
Slamet Tarno
DAFTAR IS1
DAFTAR TABEL ............................................................................................vii
...
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
VIII
...........................
DAFTAR ISTILAH
ix
x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................... ..............................
1.2 Identifikasi Pennasalahan
..
1.3 Masalah Penellaan ........................................ .. .,,... .. ,. ..... ..... ....,....
. .
1.4 Kerangka Pem~klran........................................,... ,...... ......,. .. . .......
1.5 Tujuan ....................... .................. . .. . ...,.,.,....,...... .. .. . . . . ......
..
.............,,...,....... .,....... ....... ..,,....
1.6 Manfaat Penellban ..........................
. . . . . . . . , . . ..... . . . .
1.7 Hipotesis .........
1
9
12
15
16
16
17
BAB I1 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu ....... ............ ............. ......
Pengelolaan Pesisir Berdasarkan Pendekatan Sosiolinguistik .......... . ...
. . . .
Sos~olmgu~st~k
..................................................................................
Topografi Dialek .............
Kegiatan Ekonomi Masyarakat Pesisir .............. . ............. ...... . . . , .
Sistem Infomasi Geografi ............................................... ................
Dialect Topography dan Budaya Masyarakat Lampung .......................
BAB m METODOLOCI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitia
3.2 Subjek Penelitia
3.3 Variabel PenelitIan ... ...........
3.4 Alat dan Bahan Penelitian ......
3.5 Langkah-Langkah Penelitian ......................
. .
3.6 Proses Data D ~ g ~ t...
a l...................... ....... ............. ..., ........... . ..... ...... ....
3.7 Penyusunan Matriks Tingkat Kepedulian
3.8 Pembobotan dan Pengharkatan ....... .... ................ ......... .......... .... . ..........
18
21
28
30
43
43
50
BAB N DESKIUF'SI WILAYAH PENELITIAN
4.1 Posisi Geografi dan Administrasi .........................................................
4.2 Sumberdaya Lahan .............................................................................
4.3 Karakteristik Hidrologi .
4.4 Adat Istiadat ...........................................................................................
4.5 Legenda Larnpung....................
4.6 Adat Perilaku Sosial ...............................................................................
4.7 Isu-Isu Pengelolaan Pesisir di Kabupaten Larnpung Selatan ..................
4.8 Aktivitas Penyangga Ekosistem Pesisir ..................................................
4.9 Fakta Sosiolinguistik di Kabupaten Lampung Selatan ..........................
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengelolaan Pesisir di Kabupaten Lampung Selatan ...........................
5.2 Konfigurasi Spasial Komunitas Dialek ..................................................
5.3 Perilaku Sosial Komunitas Dialek .......................................................
5.4 Pengelolaan Pesisir Berdasarkan Perilaku Sosiolinguistik ....................
5.5 Pola Interaksi Perilaku Ekonomi Komunitas Dialek ..........................
93
101
136
143
146
BAB M PENUTUP
6.1 Kesimpulan ..........................................................................................
6.2 Saran ........................ .
.
.......................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
157
159
160
Lampiran
1. Data Perilaku Sosiolinguistik Komunitas .....................................................
2. Form Survey .............................................................................................
166
171
IiARTAR ISTILAH ...........................................................................................
172
DAFTAR TABEL
3.1 Klasifikasi Kepedulian Bentang Ruang Topografi Dialek ............................
68
4.1 Jumlah Kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan ...................
...
73
.............
4.2 Luas Lahan Berdasarkan Penggunaan ............................................................ 74
5.1 Ringkasan Program Pengelolaan Pesisir Tahun 2001 dan 2002 ..................... 94
5.2 Rincian Program Berdssarkan Tahun Implementasi ...................................... 96
5.3 Kondisi Kependuduksn di Kecamatan Lokasi Penelitian ............................... 105
5.4 Beberapa Contoh Kosa Kata Ragam Dialek Bahasa Lampung ...................... 107
5.5 Perbedaan Adat KomunitasTopografi Dialek Bahasa Lampung .................... 112
5.6 Jumlah Penduduk Lampung Selatan Menurut Kelompok Umum ................... 129
5.7 Banyaknya Sarana Pemukiman ...................................................................
132
5.8 Persentase Kemunculan Perilaku Sosial-Komunikasi .................................... 137
5.9 Perilaku Konkret Komunitas Dialek ......................................................
139
5.10 Perilaku Sosial Ekonomi
140
5.11 Kontribusi Perilaku Keseluruhan Komunitas pada Profil PWPT ................. 142
5.12 Aktivitas Budidaya Laut, Air Payau. Air Tawar. Mina Padi .......................
149
5.13 Aktivitas First-Generation dan Persentase Rata-Rata Pemanfaatannya........ 153
5.14 Banyaknya Lokasi Penggalian Golongan C Menurut Jenis Galian ............. 155
vii
DAFTAR GAMBAR
1.1 Diagram Kerangka Pemikiran ......................................................................... 15
2.1 Diagram Uraian Subsistem Dalam Sistem Informasi Geografi .......................
44
3.1 Peta Lokasi Penelitian .....................
55
3.2 Peta Lokasi Titik Pengamatan .................................................................... 59
3.3 Desain Aplikasi SIG untuk Pengelolaan Wilayah Pesisir ............................... 64
3.4 Proses Analisis Overlay Kesesuaian Perilaku Dialek Topografi .................... 69
4.1 Peta Administrasi Kabupaten Lampung Selatan .........................................
72
4.2 Peta Dominasi Komunitas Dialek ...................................................................91
5.1 Peta Kawasan Pemukiman .......................................................................
102
5.2 Peta Administrasi Daerah Alimn Sungai Way Sekampung ............................128
5.3 Peta Land Use Daerah Aliran Sungai Way Sekampung ...............................
131
5.4 Peta Perilaku Sosiolinguistik .......................................................................
143
DAJXAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Data Perilaku Sosiolinguistik Komuitas Dalam Bentang Ruang
DAS Way Sekampung dan Kawasan Pantai ...................... ............
166
Lampiran 2: Form Survey Sosiolinguistik ........................................................... 171
BAB l
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan suatu kawasan pertemuan antara daratan
dan laut. Ke arah darat, cakupan wilayah pesisir meliputi bagian daratan (baik
yang. kering rnaupun basah terendam air) yang masih dipengaruhi oleh
karakteristik laut, seperti; pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin;
sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan, seperti;
sedimentasi, aliran air tawar, serta dampak yang disebabkan oleh aktivitas
manusia, seperti; pencemaran, dan erosi akibat penggundulan hutan
(Soegiarto, 1976 ; Supriharyono, 2000 ; Bengen, 2001).
Scope kewilayahan pesisir yang demikian global seperti di atas, jelas
berimplikasi pada ketidakpastian (fuzzy) jangkauan pengelolaan, sehingga
pada dinamikanya potensial menimbulkan konflik pengelolaan oleh pihak-pihak
yang berkepentingan ierhadap wilayah pesisir. Hal ini sangat mungkin terjadi,
karena keberadaan berbagai pengguna, serta berbagai entitas pengelola
wilayah pesisir mempunyai kepentingan dan cara pandang yang berbeda-beda
mengenai pernanfaatan sumberdaya pesisir. Pemicu utama potensi konflik
bertolak dari tingkat produktivitas primer rata-rata di perairan pesisir, yang
dapat mencapai lebih dari 500gr ~ l m ~ l t Nilai
h . produktivitas primer ini sangat
tinggi, bila dibandingkan dengan produktivitas primer di perairan laut dangkal
pada urnurnnya, yaitu sekitar 100 gr ~ l r n ~ l t ataupun
h,
di perairan laut dalarn,
h
1959 ; Man, 1982 dalam
yang hanya rnencapai 50gr ~ l r n ~ l t(Ryther,
Supriharyono, 2000).
Di sarnping sangat tingginya tingkat produktivitas tersebut, secara
konvensional dalarn rnasyarakat telah pula rnenyublirn persepsi dan perilaku
sosial yang beragarn terhadap surnberdaya pesisir. Apabila persepsi yang
berirnplikasi pada perilaku sosial dirnaksud berkeianjutan, rnaka pada
rnuaranya akan menimbulkan dampak pada terjadinya ketidakseirnbangan
kualitas kehidupan berbagai ekosistem yang berada di kawasan pesisir, yang
pada gilirannya akan mengganggu kesejahteraan rnanusia.
Persepsi dan perilaku sosial dimaksud, antara lain adalah; Pertama,
pesisir dan laut rnerupakan surnberdaya yang berkarakter common pool
resources. Persepsi ini, berkonsekuensi pada perilaku sosial ernpiris, bahwa
surnberdaya pesisir hanya dapat dirnanfaatkan secara mutual dan eksklusif
oleh sejurnlah individu dalarn tatanan kelompok tertentu, yaEg pada urnurnnya
di bawah kelernbagaan adat. Meskipun dalarn perspektif ini, telah terdapat
konsep "properfy right" yang memberikan batasan tentang hak dan kewajiban
bagi kelornpok tersebut dalarn rnernanfaatkan surnberdaya pesisir, dan
keberadaannya diakui oleh kelornpok yang lain, narnun karena akses terhadap
surnberdaya ini tidak dibatasi, rnaka persepsi sosial kolektif ini dapat rnenjadi
pernicu terjadinya eksploitasi yang berlebihan. Fenornena perilaku sosial
tersebut, cenderung sangat rentan mernunculkan pertentangan dan diliputi oleh
berbagai ketidakcocokan (incompatibility), sehingga potensial mengarah
kepada
konflik
pemanfaatan
antarberbagai
kepentingan,
terutama
antarberbagai kelompok dalarn kesatuan tata ruang pesisir.
Kedua, persepsi tentang wilayah pesisir dan laut sebagai sumberdaya
yang berkarakter open access, yang berimplikasi pada perilaku sosial, bahwa
kawasan pesisir dan laut merupakan sumberdaya yang dapat digunakan dan
dimanfaatkan secara bebas, tanpa ada konsep property right yang membatasi
penggunanya, serta tidak ada aturan pengelolaannya karena berorientasi pada
kemudahan bersama. Akibatnya adalah; setiap orang akan cenderung
berperilaku ekonomis, untuk dapat mengoptimalkan pemanfaatan dan benefit
sumberdaya pesisir, tanpa ada rasa tanggung jawab dan insentif untuk
melestarikan keberadaan sumberdaya tersebut. Dalam ha1 ini, berlaku prinsip "
siapa yang datang duluan, akan dapat duluan" (first come, first serve). Oleh
karena itu, persepsi bahwa sumberdaya pesisir dan laut berkarakter open
access ini, hanya akan memberikan benefit yang lebih besar bagi pihak yang
memiliki kernampuan untuk mengeksploitasinya, dan cenderung merupakan
pemicu utama rnunculnya perilaku sosial masyarakat yang destruktif dan
merupakan embriyo deplisi dan degradasi surnberdaya pesisir dengan berbagai
ekosisternnya.
Hal lain yang sangat esensial untuk diperhatikan, dalam kaitannya
dengan fenomena di atas adalah dampak yang ditimbulkan oleh perilaku alam
yang eksistensinya tidak terlepas dari akumulasi perilaku komunitas
rnasyarakat pada bentang alam tersebut. Sebagairnana diketahui, bahwa
secara ekologis kondisi kawasan pesisir erat kaitannya dengan sistern
ecoregion daerah aliran sungai (DAS), yang berrnuara di wilayah itu.
Perubahan karakter daerah aliran sungai, baik yang disebabkan oleh proses
alarniah, rnaupun sebagai darnpak aktivitas rnanusia di kawasan hulu rnaupun
hilir, akan rnernpengaruhi stabilitas wilayah pesisir yang bersangkutan. Dengan
kata lain, agregasi perilaku kornunitas rnasyarakat di kawasan daerah aliran
sungai (DAS), sangat rnernpengaruhi stabilitas wilayah pesisir.
Fenornena tersebut terjadi, karena secara alarniah daerah aliran
sungai beserta kornunitas rnasyarakat yang bernaung dalarn bentang ruangnya
rnerupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistern ekologi kawasan pesisir,
sebagairnana dinyatakan oleh Bengen (2001), bahwa ekosistern pesisir
rnerupakan suatu hirnpunan integral dari variabel abiotik dan biotik yang
berhubungan satu sarna lain, dan saling berinteraksi rnernbentuk suatu struktur
fungsional. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua kornponen
tersebut, seperti akibat perilaku rnasyarakat pada daerah aliran sungai, rnaka
akan rnempengaruhi keseluruhan sisiern yang ada, baik dalarn kesatuan
struktur fungsional rnaupun dalarn keseimbangannya.
Mernperhatikan beberapa paparan di atas dapat dinyatakan, bahwa
penyebab paling dorninan pada instabilitas kawasan pesisir adalah perilaku
manusia. Oleh karena itu, untuk rnensinergikan pengelolaan wilayah pesisir,
agar berlangsung secara sustainable, serta dapat rnerninirnalisir potensi konflik
antar berbagai kepentingan, maka dalam rancang bangunnya harus melibatkan
secara intens harkat kemanusiaan dengan berbagai atribut perilakunya, dalam
perspektif holistik yang merefleksikan integrated complex of interdependent
antara region dan living organism. Perspektif tersebut, harus didukung oleh
hierarkhi program, yang menempatkan perilaku keruangan komunitas pada
posisi penentu tertinggi. Dengan demikian, skenario pernanfaatan kawasan
pesisir tidak hanya didasarkan atas kajian fisik, tetapi juga didasarkan atas
kajian pada perilaku komunitas yang berada dalam bentang ruangnya.
Pendekatan yang berorientasi pada perilaku komunitas tersebut,
dijadikan sebagai bahan kajian mendasar yang rnenentukan tolok ukur dan
langkah berikutnya. Program susulan, perlu fokuskan pada pemahaman akan
berbagai jenis dan proses-proses yang terlibat dalam tata ruang wilayah pesisir
yang membentuk suatu human landscape. Langkah tersebut, kemudian
didukung oleh berbagai tindakan memperkenalkan dan mensosialisasikan
berbagai konsep pengelolaan pesisir, seperti; ketentuan batas-batas wilayah
pesisir yang berupa batas perencanaan, batas administrasi, dan batas ekologis
(Gunawan, 2001).
Batasan operasional konsep-konsep pengelolaan di atas, perlu
dipahami secara tepat, sinergis, dan komprehensif antarberbagai stakeholders,
sehingga irnplementasi pengelolaan yang dilakukan oleh berbagai pihak
(stakeholder), terkoordinir simultan dalam kesatuan interaksi yang berlangsung
secara terus-menerus. Dengan demikian, operasionalisasinya dapat menekan
berbagai dampak negatif bagi pertumbuh kembangan segenap sumberdaya
potensial yang berada di kawasan pesisir. Setiap tahapan program, mulai dari
perencanaan sampai dengan evaluasi, senantiasa diupayakan secara terpadu
dengan memperhatikan berbagai kepentingan, baik dari sisi tema fisik maupun
terna sosial.
Dalam ha1 tema sosial, salah satu komponen rnendasar yang
merefleksikan perilaku manusia dalam kesatuan komunitasnya adalah aspek
sosiolinguistik, yang direpresentasikan dalam bentuk guyup-tutur komunitas
pada region atau areanya. Aspek ini sangat urgen, karena pada dasarnya
merupakan dokumentasi yang merepresentasikan perilaku verbal manusia
pada kurun waktu di unit region tertentu. Oleh karena itu, aspek ini perlu
digunakan sebagai salah satu tolok ukur dalam menelusuri histori dinamika
perilaku kemanusiaan, termasuk fenomena yang rnerepresentasikan hubungan
antara komunitas dengan habitatnya. Hal tersebut
perlu dilakukan, karena
setiap guyup tutur dalam tataran sosial-komunikasi merepresentasikan adanya
perbuatan atau perilaku yang terjadi pada komunitas masyarzlkat itu (Suwito.
1996). Demikian juga, guyup tutur yang merepresentasikan keterkaitan perilaku
antara komun~tasmasyarakat dengan bentang lahan sekitarnya.
Perilaku sosial-komunikasi dalam bentuk guyup tutur yang berlaku
pada satu komunitas dalam unit area bentanglahan tertentu disebut dialect
topography. Karena penyebaran variasi dialect topography ada keterkaitannya
dengan habitat alam, kornunitas masyarakat, dan perkembangan komunalnya
dalarn suatu dernensi spasial, rnaka Claude Fauchat menyatakan, bahwa
dialect topography adalah "Mots de leur temirl kata-kata di atas tanahnya"
(dalam Chaurand, 1972).
Dalarn subsistern sernesta kebahasaan, dialect topography rnerupakan
bagian esensial dari sosiolinguistik terapan. Dengan dernikian, penelitian yang
urgen tentang dialect topography, yang irnplikasinya diproyeksikan untuk
kepentingan pernbangunan dalarn perspektif kernanusiaan, rnaka harus
menernpatkan komponen sosiolinguistik tersebut pada herarki yang paling
rnendasar. Karena dialect topography secara eksplisit rnencerminkan hubungan
tirnbal balik internal, antara perilaku kornunitas rnasyarakat dengan bentang
ruang habitat alamnya (Chambers, 1994).
Fenornena sosiolinguistik subsistern dialect topography, yang pada
dasarnya juga rnerupakan kornponen rnendasar dari terbentuknya tatanan
dernograti dengan karakter kemanusiaannya pada suatu bentang ruang, belum
direpresentasikan sebagai aspek pernbatas (boundary) perilaku keruangan
dalarn rnelengkapi pengkajian terna sosial, perencanaan dan pengelolaan
wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zona Planing and
Management). Oleh karena dialect tcpography, secara inhern rnencerminkan
kecenderungan perilaku keruangan yang unik dari kornunitas pernakainya pada
suatu bentanglahan, rnaka atribut ini penting untuk dikaji sebagai upaya
rnelengkapi terna sosial pada pola perencanaan dan pengelolaan terpadu
wilayah pesisir. Substansi ini dipandang penting dan sangat urgen, sebab
bentang ruang dialect topography memiliki karakter perilaku keruangan yang
spesifik, karena melibatkan manusia dengan berbagai dinamika dan karakter
kemanusiaannya pada suatu bentanglahan tertentu, termasuk bentang lahan
pesisir dengan berbagai fenomena potensial yang melingkupinya.
Realitas spasial yang terjadi di kawasan pesisir Selatan dan Timur
Propinsi Lampung, secara empiris dihuni oleh berbagai komunitas masyarakat
dengan beragarn dialect topographynya. Fenomena faktual ini tentunya
berdampak pada mosaik keruangan kawasan pesisir Propinsi Lampung.
Namun demikian, fakta tersebut belurn direpresentasikan sebagai substansi
pembatas dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
(Integrated Coastal Zone Management) di kawasan tersebut. Tidak mustahil,
akibat tidak disertakannya komposisi ini, berdampak negatif pada sinergi
keberlangsungan dan hasil yang tidak dirasakan oleh masyarakat lokal.
Konsekuensinya adalah masyarakat lokal masih saja dihadapkan pada
ketertinggalan dan ketidakmerataan pendapatan, sementara akses terhadap
sumberdaya di lingkungan sekitamya sudah diatur sedemikian rupa, sehingga
mernbatasi ruang gerak mereka dalarn rnemenuhi kebutuhan ekonorninya.
Dikawatirkan fenomena ini akan berdampak pada munculnya kekurangpedulian
masyarakat
lokal,
bahkan
keantipatian
pada
keberlanjutan
program
pengelolaan wilayah pesisir terpadu (Integrated Coastal Zona Management), di
kawasan tersebut.
1.2 ldentifikasi Permasalahan
Kurang diperhitungkannya faktor manusia dengan berbagai dinarnika
dan atribut kernanusiaanya, dalarn rnerepresentasikan penataan ruang
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, diprediksikan rnerupakan
kelernahan yang sangat rnendasar dan rnerupakan akar dari perrnasalahan
pengelolaan ekosistern tersebut. Asurnsi ini didasarkan atas kondisi riil, bahwa
dinarnika kernanusiaan dalarn berbagai tataran perilakunya, khususnya dalarn
menyikzpi bentang alarn untuk mernenuhi kebutuhan ekonorninya berpengaruh
signifikan pada perubahan ekosistern.
Dernikian pula yang tejadi pada ekosistern sumberdaya pesisir,
sebagai kawasan alarniah yang spesifik, produktif, rnernpunyai nilai ekologis,
dan ekonornis yang sangat tinggi, serta rnerniliki daya aksesibilitas yang tak
terbatas, tentu sangat rentan dengan berbagai konflik kepentingan, khususnya
yang berakar dari aspek sosial. Apalagi bila dicermati, dibalik potensi dan
kekayaan yang melirnpah tersebut, rnasih sangat banyak diternukan penduduk
pesisir yang kehidupannya terkukung dalarn tragedi kerniskinar: absolut, di
tengah sukses dan pesatnya industrialisasi di sekitarnya. Kondisi ini rnerupakan
ancaman serius, karena keterbelengguan dalarn lilitan kemiskinan akan
rnernaksa seseorang rnengeksploitasi surnberdaya hanya untuk rnernenuhi
kebutuhan prirnernya tanpa perlu terbebani lagi dengan akibat perilakunya.
Fenomena kernasyarakatan yang mernilukan ini rnerupakan sebagian kecil dari
preseden buruk akibat tidak diperhitungkannya tema sosial secara ~ H m a t
dalam rancang bangun pemanfaatan ruang pesisir.
Oleh karena itu, pendekatan pengelolaan yang berpedoman dan
terpusat pada harkat perilaku kemanusiaan yang berakar dari dialect
topography sangat penting dilakukan, sebagai upaya pengkajian yang dapat
memberikan nilai esensial, sekaligus memberikan alternatif solusi mendasar
dalam memecahkan kompleksitas problematika laten pengelolaan ekosistem
sumberdaya pesisir Untuk maksud tersebut, dari sisi karakter manusia
penelusuran dan pengkajian melalui dialect topography, sangat penting
dilakukan.
Pada sisi penerapan teknologi, maka untuk keperluan dimaksud,
diperlukan penggunaan perangkat Sistem lnformasi Geografis, sebagai upaya
untuk mencapai tingkat akurasi yang konstan, sehingga informasi keruangan
yang disajikan dalam perangkat tersebut, dapat digunakan untuk memandu
tahapan perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan berikutnya,
agar berkesinambungan (sustainable development) dalam keadilar, dan
pemerataan akses terhadap sumberdaya. Pada muaranya, berbagai respon
lanjutan yang berimplikasi pada perencanaan dan pengelolaan ekosistem
sumberdaya pesisir, dapat dilakukan berdasarkan rujukan grafis dan atribut
yang telah dideskripsikan di dalam perangkat sistem teknologi tersebut, yang
tentunya secara terus menerus selalu disempumakan, baik basis data maupun
perangkatnya, sehingga akan
rnencapai tingkat
kernutakhiran dalarn
rnendukung pengarnbilan keputusan yang lebih efektif dan efisien.
Dalarn teknologi Sistern lnforrnasi Geografi dikenal adanya dua terna
pernetaan, yaitu pernetaan tema fisik dan pernetaan tema sosial. Pernetaan
tema fisik, pendelineasiannya berorientasi pada batas-batas dalarn bentang
alarn di suatu wilayah yang dapat didefinisikan secara fisik. Pernetaan tema
sosial pendelineasiannya rnencakup sekurnpulan subterna yang batasbatasnya tidak atau belurn narnpak jelas secara fisik, karena terkait dengan
faktor rnanusia dengan berbagai dinarnika kernanusiaannya, baik sebagai
individu rnaupun sebagai kelornpok (Gunawan. 2001).
Seiiring dengan kornpleksitas perilaku kernanusiaan, pendelineasian
terna sosial rnerniliki tingkat kerentanan ketidakpastian inforrnasi yang tinggi.
Oleh karena itu, perlu diternpuh beberapa alternatif pernetaan sehingga tingkat
kerentanan tersebut dapat dielerninir. Dengan dernikian, pernetakan yang
dilakukan dapat rnencerrninkan kedekatannya pada deskripsi perilaku
keruangan yang sebenarnya.
Lebih lanjut, Gunawan (2001) rnenyatakan, terdapat dua alternatif
dalarn pendelineasian batas-batas terna sosial, yakni dengan observasi
lapangan dan interpretasi data statistik. Pada penggunaan data statistik dapat
dibagi lagi ke dalarn tiga pendekatan, yakni; pendekatan social network
analysis, economic network analysis, dan sociolinguistic.
1.3 Masalahan Penelitian
Simplifikasi pendekatan sociolingistic dalam suatu wilayah keruangan,
dapat dikonfigurasikan dari struktur etnis yang bertempat tinggal di suatu
wilayah dengan dialect topographynya. Keragaman perilaku dialect topography
komunitas masyarakat pada suatu bentang ruang berimplikasi pada berbagai
dimensi, yang apabila dikonfigurasikan dalam batasan keruangan akan memiliki
perilaku yang spesifik. Fenomena ini cukup urgen dikaji karena demensi
tersebut, relevan dengan komp!eksitas perilaku yang terjadi di wilayah pesisir,
termasuk juga yang terjadi di kawasan pesisir Selatan dan Timur Kabupaten
Lampung Selatan, Propinsi lampung Selatan.
Berkaitan dengan paparan di atas, dapat dirumuskan masalah umum
penelitian
sebagai
berikut:
"Bagaimanakah perilaku
sosial-komunikasi
komunitas yang membentuk suatu topografi dialek dalam merepresentasikan
profil perilaku pengelolaan terpadu sumberdaya alam pesisir di Kabupaten
Lampung Selatan?"
Agar permasalahan tersebut, dapat diidentifikasikan secara jelas dan
operasional, maka perlu dijabarkan ke dalam beberapa deskripsinya, yaitu;
bahwa struktur ruang sosial di Pesisir Timur dan Selatan Kabupaten Lampung
Selatan, memiliki karakter yang hiterogen. Hiterogenitas yang terjadi,
merupakan implikasi dari struktur ruang sosial yang dibentuk oleh multi-etnis
dengan berbagai latar belakang dan perilaku keruangan yang mendasarinya.
Pada sisi lain, hiterogenitas yang terjadi, juga rnerupakan efek
aksesibilitas, daya dukung alam, dan prospek ekonorni kawasan tersebut.
Dengan demikian, deskripsi perilaku ruang sosial pada kawasan tersebut, akan
selalu berubah secara fungsional dan berlangsung secara terus rnenerus,
sesuai dengan kuantitas dan kualitas komponen multi-etnis pembentuk
strukturnya.
Fenomena perubahan masyarakat yang dernikian dinarnis, berirnplikasi
pada kornpleksitas upaya delineasi, sehingga pada satu kurun waktu tertentu,
tidak mernungkinkan tempo pendelineasian dapat rnendeskripsikan secara
akurat perilaku keruangan multi-etnis dalam satu atribut yang spesifik dan
berlangsung secara konstan sepanjang waktu. Dengan demikian, sifat
temporalis sangat mengikat lingkup delineasi tema sosial, demikian halnya
dengan penelitian ini.
Seiring dengan fenomena tersebut, penelitian dialect topography
dalarn perspektif pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu ini, mensyaratkan
bahwa fokus teritori penelitian hams terkonsentrasi pada kawasan tertentu
yang secara ecoregion rnerniliki keterkaitan fungsional dengan sistern ekologi
kawasan pesisir. Pada sisi lain, karena entitas dialect topography adalah
community of man and human, dalam sudut pandang kornunal, maka entitas
tersebut rnerupakan parameter, yang variabelnya ditentukan oleh berbagai
perilaku kebahasan setiap komunitas pada unit topografi dialeknya. Narnun
demikian, ke-2 (dua) entitas dirnaksud, yakni fisik ekoregion dan topografi
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah rnengidentifikasikan perilaku sosialkomunikasi komunitas dialek bahasa Larnpung yang mernbentuk suatu dialek
topografi dalam rnerepresentasikan profil pengelolaan surnberdaya alarn pesisir
secara terpadu berdasarkan pendekatan sosiolinguistik.
Pengidentifikasian tersebut dirnaksudkan untuk rnemforrnulasikan data
grafis dan data atribut perilaku keruangan dialek topografi dalarn perangkat
Sistem lnformasi Goegrafi yang kernudian ditransposisikan sebagai informasi
representasi kawasan dalarn rnendukung penentuan wilayah pengelolaan
pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zona Management) di Kabupaten
Larnpung Selatan, Propinsi Larnpung.
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menyajikan karakter ruang sosial yang
dapat dimanfaatakan dalarn rnensinergiskan program pengelolaan pesisir
secara
terpadu
(Integrated
Coastal
Zona
Management)
dengan
mernpertimbangkan karakter perilaku rnasyarakat lokal yang berlandaskan
sosiolinguistik. Karena dengan kesinergisan tersebut, diasurnsikan dapat
rnendorong munculnya prakarsa yang rnencerminkan partisipasi rnasyarakat
!okal, yang pada dinarnikanya akan berdarnpak positip pada rnunculnya rasa
kepedulian rnasyarakat terhadap program pernbangunan yang tengah
berlangsung, sehingga akan bermuara pada terwujudnya rasa keadilan dan
pemerataan yang interaksi simultannya dapat menjaga keberlangsungan
pengelolaan sumberdaya alam yang berada di wilayah pesisir timur dan selatan
Kabupaten Lampung Selatan.
1.7 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini, dapat dirurnuskan sebagai berikut:
-
Ada keterkaitan antara kelestarian sumberdaya alarn pesisir dengan
perilaku komunitas masyarakat yang menempatinya.
-
Ada keterkaitan antara perilaku komunitas rnasyarakat dengan etnisitasnya
-
Dialek topografi suatu wilayah pesisir dapat dijadikan sebagai indikator
konfigurasilstruktur kenrangan dari etnisitas dan perilaku sosial dalarn
pengelolaan Sumberdaya Alam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone
Management), direferensikan sebagai perilaku tindak untuk rnengkoordinir
berbagai stakeholder pada aktivitas yang sinergis.
Oleh karena itu,
mekanisrnenya harus dirurnuskan berdasarkan proses penelitian yang
rnenyeluruh dan dapat dipertanggungjawabkan terhadap: keadaan surnberdaya
alarn pesisir, kegiatan ekonorni, kebutuhan rnasyarakat wilayah pesisir, dan
prioritas pengelolaan yang difokuskan pada outcomes yang paling baik dari
berbagai skenario pengelolaan yang akan dilaksanakan di rnasa rnendatang,
sehingga dapat berlangsung seara berkelanjutan (Clark, 1996; Dahuri et al.
1996 ; Rais, 2001).
Berbagai kornponen yang harus dipadukan dalarn pengelolaan wilayah
pesisir, agar rnencapai hasil yang optimal dan berkelanjutan, setidaknya
rnencakup lirna aspek, yaitu: (1)
Keterpaduan wilayah (ekologis), (2)
Keterpaduan sektor, (3) Keterpaduan hierarki pernerintahan (nasional, propinsi,
kabupatenlkota), (4) Keterpaduan disiplin ilrnu, dan (5)
Keterpaduan
stakeholder. Dari ke lirna aspek tersebut, keterpaduan stakeholder (pernerintah,
swastalinvestor, lernbaga swadaya masyarakat, dan rnasyarakat pesisir)
merupakan bagian yang sangat penting, karena masing-masing cenderung
rnerniliki persepsi dan kepentingan yang berbeda-beda, sehingga seringkali
saling berebut pengaruh untuk menjaga eksistensinya masing-masing (Bengen,
2000).
Koordinasi keterpaduan sinergis ini sangat diperlukan, karena
pernbangunan berkelanjutan di wilayah pesisir menghadapi kompleksitas
fenomena, sebagai berikut:
1) Terdapat keterkaitan ekologis atau hubungan fungsional, baik antara
ekosistem di dalam kawasan pesisir, maupun antara kawasan pesisir
dengan lahan atas (up land), dan dengan lahan laut lepas.
2) Terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa lingkungan di
kawasan
pesisir
yang
dapat
dikembangkan
untuk
kepentingan
pernbangunan.
3) Terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang merniliki keterampilan,
keahlian, kesenangan, dan bidang kerja secara berbeda.
4) Secara ekologis dan ekonomis, pemanfaatan secara monokultur (single
use) sangat rentan terhadap perubahan internal dan eksternal yang
rnengarah kepada kegagalan usaha (Bengen, 2000).
Berbagai tahapan dapat dirumuskan untuk merealisir keterpaduan
simultan pembangunan di wilayah pesisir, antara lain meliputi; pengumpulan
dan analisis data, perencanaan, implementasi, dan pengawasan (Sorensen and
Mc Creary dalam Dahuri et al, 1996). Kemudian prosedur dan pelaksanaannya,
dievaluasi secara kontinyu sebagai landasan untuk merumuskan program
berikutnya, agar berkelanjutan. Dengan demikian, perumusan program
dilakukan secara siklik, meliputi siklus rotasi program pengelolaan yang terdiri
atas; identifikasi dan pengkajian isu, persiapan program, adopsi program
secara formal, penyediaan dana, pelaksanaan program, dan evaluasi (Olsen et
al, 1999). Konsep keterpaduan yang bersifat siklik tersebut, direalisasikan
dalam tataran hierarkhis yang meliputi; tataran teknis, konsultatif, dan
koordinasi (Lang dalam Dahuri et al. 1996).
Kesinambungan (sustainability) dalam pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu, didasarkan pada prinsip normati, bahwa upaya pembangunan
yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masa kini, tidak boleh mengganggu
pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Oleh karena itu,
kesinambungan pembangunan di kawasan pesisir, harus berpijak pada
beberapa kriteria dan laju pemanfaatan sumberdaya, serta produksi limbah di
kawasan pesisir tidak boleh melebihi kapasitas lingkungan pesisir dalam
rnelakukan proses asirnilasi (Rustiadi, 2001).
Mengacu pada beberapa pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone
Management), memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut :
1) Mempunyai batas fisik (geografis) dari kawasan yang akan dikelola, baik
batas tegak lurus garis maupun yang sejajar dengan garis pantai.
2) Bertujuan untuk meminimalkan konflik kepentingan dalam pemanfaatan
sumberdaya, sehingga diperoleh keuntungan (benefit) secara optimal dan
berkesinambungan untuk kemakmuran masyarakat pesisir.
3) Merupakan proses dinamis yang terus dievaluasi secara siklik, sehingga
selalu bermuara pada tahapan perbaikan program dalam jangka panjang
yang berkelanjutan.
4) Diprogram berdasarkan karakteristik dan dinamika yang mencakup berbagai
keterkaitan antara komponen biofisik, sosial, ekonomi, hukum, dan budaya
dengan melibatkan berbagai ahli berdasarkan spesialisasinya masingmasing.
5) Didekati secara interdisipliner dengan rnelibatkan berbagai stakeholders dan
masyarakat lokal secara partisipatif.
6) Dilakukan oleh suatu lembaga yang kapabel menangani pengelolaan
kawasan pesisir, sehingga proses pertanggungjawaban dan implikasi
pengembangan program lanjutan lebih dapat dipertanggungjawabkan
(Dahur~eta/, 1996).
2.2
Pengelolaan Wilayah
Sosiolinguistik
Peagalaman
Pesisir
menunjukkan,
bahwa
Berdasarkan
Pendekatan
ketidakberhasilan
program
pengelolaan sumberdaya alam selama ini lebih banyak disebabkan oleh
pendekatan yang kurang seimbang. Aktivitas pendekatan pengelolaan, lebih
banyak ditekankan pada komponen fisik dan menornorduakan tema sosial.
Padahal secara empiris, dinamika tema sosial lebih dominan dengan berbagai
perubahan,
karena
melibatkan
kompleksitas perilaku
manusia,
yang
berakumulasi pada perubahan dan keseirnbangan alam (Widyaprakosa, 1994).
Pendekatan pada tema sosial, dalam pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu menjadi semakin penting, seiring dengan semakin berkembang
dan terpusatnya lokasi industri di kawasan pesisir yang berimplikasi pada
semakin dinamisnya pertambahan penduduk di kawasan pesisir dengan
berbagai latar belakang perilakunya (Suprihalyono, 2000). Bersamaan dengan
itu pula, pembanglinan wilayah pesisir secara terpadu juga dihadapkan pada
berbagai dilema, seperti; kesadaran masyarakat yang masih relatif rendah,
keterbatasan jumlah sumberdaya manusia yang terlatih dalam perencanaan
dan pengelolaan, keterbatasan modal finansial yang diperlukannya untuk
mengembangkan pemahaman akan nilai startegis wilayah pesisir (Lawrence.
1988). Berbagai upaya mengeieminer dilematika tersebut telah dilakukan.
sebagaimana dinyatakan oleh Dahuri et a/. (1996), bahwa secara garis besar
konsep pembangunan berkesinambungan untuk mengeleminasi tantangan dan
hambatan harus berpijak pada empat demensi, yaitu : (1) Dimensi Ekologis, (2)
Sosial Ekonomi, (3) Sosial Politik, (4) Hukum dan Kelembagaan.
Beranjak dari kompleksitas fenomena di atas, untuk mencari solusi
masalah-masalah pembangunan berkelanjutan pada bentanglahan wilayah
pesisir yang disebabkan oleh manusia, maka pendekatan yang berorientasi
pada tema sosial perlu diprioritaskan, dengan ruang lingkup yang menyangkut
perilaku yang berkisar pada masalah hakiki sosial-budaya manusia dengan
berbagai dimensinya (Savitri dan Khazali, 1999). Pemahaman secara lebih
mendalam mengenai hakikat manusia, kebudayaan, beserta perilakunya dalam
setiap bentanglahan sangat esensial dijadikan sebagai dasar pengkajian
pengelolaan, karena berbagai indikasi perilaku yang ditemukan dapat
digunakan sebagai kerangka kerja pengelolaan sumberdaya di bentanglahan
komunitas tersebut (Widyaprakosa, 1994). Dengan kata lain, perilaku sosialbudaya rnasyarakat pada suatu bentanglahan rnerupakan substansi abstrak
yang harus d~perhatikandala~mperencanaan pengelolaan sumberdaya alam,
derni
kepentingan kelestarian lingkungan, pertumbuhan ekonomi, dan
kepentingan generasi yang akan datang (Djayadiningrat, 1997).
Dalarn sistern bentanglahan terdapat kurnpulan berbagai elemen yang
saling berhubungan dan topografi merupakan unit pemetaan bentanglahan
terkecil yang dapat digambarkan batasnya dalam peta (Mangunsukardjo,
1996). Topografi bentanglahan memiliki karakteristik tertentu yang stabilitasnya
sangat ditentukan oleh interaksi berbagai peruntukkan dengan latar belakang
tujuannya masing-rnasing (Sutikno dan Sunarto, 1996). Dengan dernikian,
kondisi stabilitas bentanglahan topografi sangat ditentukan oleh perilaku
karnunitas rnasyarakat yang tinggal dalam bentangruangnya. Hal ini terjadi,
karena sikap dan persepsi komunitas terhadap bentang ruang
sangat
menentukan pola tindakan kornunitas itu dalam mengelola lingkungan.
Demikian pula dengan bentanglahan topografi di kawasan pesisir, sebagai
kawasan produktif, yang memiliki keterkaitan ekologis atau hubungan
fungsional, baik antara ekosistem di dalam kawasan pesisir, maupun antara
kawasan pesisir dengan lahan atas (up land), dan dengan lahan laut lepas,
kondisinya sangat ditentukan oleh perilaku komunitas yang berada dalam
bentangruangnya (Supriharyono, 2000). Oleh karena itu, pengkajian terhadap
perilaku komunitas masyarakat pada setiap bentanglahan topografi di kawasan
pesisir menjadi semakin urgen dilakukan.
Secara ekologis, stabilitas bentangruang pesisir sangat ditentukan oleh
karakter daerah aliran sur~gaiyang bermuara di pesisir itu (Bengen, 2000).
Demikian pula dengan bentangruang daerah aliran sungai, stabilitasnya sangat
ditentukan oleh karakter perilaku komunitas yang tinggal dalam bentangruang
topografinya, baik yang di kawasan hulu, tengah, maupun hilir. Dengan
demikian, pembahasan perilaku komunitas masyarakat, yang bernaung dalam
bentangruang topografi daerah aliran sungai merupakan bagian yang sangat
penting dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
berbasis
masyarakat.
Pengkajian mendasar yang beranjak dari bentangruang topografi
sebagaimana pernyataan di atas, perlu difokuskan pada masalah mendasar
yang berakar dari perilaku sosial-komunikasi komunitas setempat. Perilaku
sosial-komunikasi merupakan kaidah esensial yang mengatur tata-interaksi
sosial, dan merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.
lnteraksi sosial antarkelompok manusia, dan antara kelompok manusia dengan
lingkungannya yang berlaku di berbagai suku bangsa lazim menjadi tradisi
yang melembaga, dan prosesnya didasarkan pada pelbagai faktor, antara lain;
faktor im~tasi,sugesti, identifikasi, dan simpati (Soekanto, 2000).
Salah
satu
perangkat
deteksi,
yang
dapat
gunakan
untuk
mengidentifikasikan deferensial etnis, beserta perilaku sosial-budaya dan
sosial-komunikasinya
pada
bentanglahan
topografi
yang
stmktur
masyarakatnya sangat majemuk adalah dengan memjuk pada dialek yang
digunakan sebagai alat interaksi unit komunitas. Berdasarkan ha1 tersebut,
maka dialek yang berlaku dalam setiap bentangruang topografi atau dialek
topografi merupakan komponen identitas yang dapat digunakan sebagai
perangkat acuan untuk mengetahui karakter sikap, persepsi, dan perilaku unit
komunitas itu pada suatu bentangmang.
Dalam sistem semesta kebahasaan, dialek topografi merupakan
komponen integral sosiolinguistik, dan secara esensial dialek topografi
mengkaji variasi dialek dari lingkungan tutur bahasa yang lebih sempit daerah
pakainya (Chambers, 1994).
Berasaskan pada pengertian di atas, pendekatan sosiolinguistik dengan
fokus pada komponen dialek topcqrafi dalam pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu, tidak hanya sekadar melibatan masyarakat lokal, tetapi
melibatkan seluruh komunitas wilayah kehidupan sosial dengan identitas
etnisitasnya yang berada pada bentang ruang lokasi penelitian sesuai dengan
topografinya. Komunitas dialek dalam sudut pandang ini merujuk pada warga
masyarakat setempat (communrty) yang berupa sebuah desa, kota, etnis atau
kelompok etnis yang membentuk social relationship antara anggota suatu
kelompok yang diidentifikasikan berdasarkan dialek yang dipergunakannya.
Entitas dialek topografi ini adalah bagian rnasyarakat yang berternpat tinggal di
suatu wilayah (dalam art; geografi) dengan batas-batas tertentu, dirnana faktor
utama yang rnenjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar di antara para
anggotanya dengan derajad tertentu yang diliputi oleh sifatnya yang lokalis dan
perasaan sosial seternpat (Soekanto, 2000).
Masyarakat lokal secara ulnum dibatasi sebagai kornunitas dengan
variasi identifikasi sebagai berikut; (1) rnerupakan keturunan penduduk asli
suatu daerah, (2) sekelornpok orang yang rnernpunyai bahasa, tradisi, budaya,
dan agarna yang berbeda dengan kelornpok yang dorninan, (3) selalu
diasosiasikan dengan beberapa tipe kondisi ekonorni rnasyarakat, (4)
keturunan masyarakat pernburu, nornadik, dan peladang berpindah, .(5)
masyarakat dengan hubungan sosial yang rnenekankan pada kelornpok,
pengarnbilan keputusan secara bersama dalarn pengelolaan surnberdaya alarn
(During dalam Mitchell et al, 2000).
Seiring dengan batasan tersebut, terminologi rnasyarakat lokal dari
sudut pandang sosiolinguistik adalah suatu kelornpok masyarakat yang
rnernandang dirinya sebagai suatu komunitas yang rnenggunakan sebuah
bahasa dengan variasinya yang sarna (Halliday dalarn Suporno, 1976). Satuan
dasar terrninologi ini adalah sistem variasi bahasa yang rnonolitik sebagai
cerminan dari perilaku sosial-kornunikasi satu komunitas rnasyarakat. Jadi.
dalam kornunitas ini terdapat individu-individu yang rnenggunakan bahasa
dengan variasinya yang sama untuk rnengaktualisasikan diri dalarn jaringan
sistem sosial-komunikasi intra komunal (Suhardi dalam Masinambow dan Paul,
2002). Perilaku individu-individu yang membentuk social relationship yang
diikat oleh satuan rnornolitik bahasa, dan komunitasnya tinggal dalam
bentangruang tertentu inilah yang dijadikan sebagai acuan pengelolaan
sumberdaya alam pesisir. Hal yang demikian, telah menjadikan sosiolinguistik
sebagai basis pendekatan pengelolaan surntjerdaya alarn pesisir yang
berorientasi pada masyarakat.
Kriteria utama yang direpresentasikan untuk membedakan masyarakat
dalarn terrninologi ini adalah pemakaian bahasa yang dituturkan dalam interaksi
sosial-komunikasi pada situasi konkret sehari-hari (Appel dalam Suwito 1996).
N
PESlSlR BERBASIS MASYARAKAT
BERDASARKAN PENDEKATAN SOSlOLlNGUlSTlK
(Studi Kasus Pengelolaan Wilayah Pesisir di Propinsi Lampung)
OLEH:
SLAMET TARN0
PROGRAM PASCASARJANA
INSTlTUT PERTANIAN BOGOR
2002
ABSTRAK
SLAMET TARNO. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat
Berdasarkan Pendekatan Sosiolinguistik (Studi Kasus Pengelolaan Wilayah Pesisir di
Propinsi Lampung). Dibimbing oleh JOKO PURWANTO dan IWAN GUNAWAN.
Penelitian bermaksud untuk: (i) Mengidentifikasikan perilaku sosialkomunikasi komunitas dialek dalam merepresentasikan profil pengelolaan
sumberdaya alam pesisir secara terpadu (ii) Menyajikan karakter ruang sosial yang
dapat dimanfaatkan dalam mensinergiskan program pengelolaan pesisir secara
terpadu dengan mempertimbangkan karakter komunitas lokal yang berlandaskan
sosiolinguistik.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Lampung Selatan, pada bulan April sampai
dengan Agustus 2002, dengan lokasi sampel di Kecamatan Tanjung Bintang,
Ketibung, Sidomulyo, Palas, Kalianda, Penengahan.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial
(sistem informasi geografis) dengan menggunakan perangkat lunak Arc-info/Arc-view
3.2.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sisi ekoregion luasan bentangruang
yang merepresentasikan profil dukungannya terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu antara lain adalah : Sangat Mendukung 19.245,21 Ha (5,48%); ~ e d u k ; n g
76.980.85 Ha (21,92%); Kurang Mendukung 105.813,54 Ha (30,13%); Tidak
Mendukung 149,150,39 Ha (42,47%).
Dari sisi Bioregron Jumlah Komunitas yang merepresentasikan profil
perilaku dukungan terhadap upaya Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu adalah
sebagai berikut: Sangat Mendukung 57.604 jiwa (8,77%); Mendukung 100.824 jiwa
(15,35%); Kurang Mendukung 115.209 (17,54%); Tidak Mendukung 383.197 jiwa
(58,34%).
Interaksi Peri!aku Sosial Ekonomi komunitas dialek &lam keterkaitannya
dengan sumberdaya di wilayah pes~sirjuga masih kecil, ha1 ini dapat diperhatikan
pada hal-ha1 berikut: Aktivitas budidaya pesisir sektor perikanan barn termanfaatkan
sebesar 21,90%. Budidhya Laut tenr,anfaatkan sebesar 14,71%. Budidaya Tambak
sebesar 77,24?6. Budidaya Air tawar sebesar 58,50%. Budidaya di perairan umum
sebesar 1,60%. Budidaya Minapadi sebesar 0,49%.
Relatif kecilnya perilaku sosiolinguistik komunitas dialek yang
merepresentasikan profil perilaku pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu di
Kabupaten Lampung Selatan ini mengindikasikan, bahwa upaya program tersebut
perlu ditunjang oleh langkah-langkah kuratif yang bersumber dari perilaku komunitas
lokal tersebut.
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Slamet Tarno
Status
: Mahasiswa Program Pascasarjana - S2
Nomor Pokok Mahasiswa
: P.31500007
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Perguruan Tinggi
: Institut Pertanian Bogor
Saya menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang bejudul
"
Pengelolaan
Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Berdasarkan Pendekatan Sosiolinguistik (Studi
Kasus Pengelolaan Wilayah Pesisir di Propinsi Lampung) ", adalah hasil penelitian
dan penulisan saya.
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenamya.
Bogor, 6 September 2002
Yang menyatakan
k
Slam t Tarno
"gai orang 6erselimut !(Bangun !
Dan sampad&anperingatan
Dan @66imu, agung!&anlhh
Dan pakainmy suci&anlhh
Dan dosa-dosa, tinggal!&anl;ch
Jangan mem6eri untu!&menerimah6ih 6anyak
Dan demi @66-mu, ta6ahlah"
(Qurhn Surat JGMudatsir 74: 1-7)
iauafi pequangan d a r t
cesili 1s6andiah
E[o Y i 7€adyanto
iDwiBudi Xartanto
5% iaayu.Aji
Ikriring d o h d a r t
Gini
'ypyat @lmarhum)
Serta ~adara-sadara!&u
PENGELOLAAN WILAYAH PESlSlR BERBASIS MASYARAKAT
BERDASARKAN PENDEKATAN SOSlOLlNGUlSTlK
(Studi Kasus Pengelolaan Wilayah Pesisir di Propinsi Lampung)
SLAMET TARNO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pa&
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002
Tesis
: Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat
Berdasarkan Pendekatan Sosiolinguistik (Studi Kasus
Pengelolaan Wilayah Pesisir di Propinsi Lampung)
Nama
: Slamet Tarno
Nomor Pokok
: P. 31500007
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr.Ir. ~ o k Punvanto.
b
DEA
Ketua
Dr.Ir. Iwan Gunawan. MSc.
Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan
Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri. MS.
Tanggal Lulus: 6 September 2002
rogram Pascasarjana
RIWAYAT HIDUP
Slamet Tarno, dilahirkan pada 13 Mei 1963 di Jombang, dari ayah Kayat dan
ibu Gini. Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada Sekolah Dasar Negeri
Joyosuparto, tahun 1976, pendidikan menengah pada SMP PPSP Plandi Jombang,
tahun 1980 dan SPG Negeri Jombang, lulus tahun 1983. Sambil bekerja, pada tahun
1986 melanjutkan pendidikan di Fakultas Keguruan clan llmu Pendidikan Universitas
Tanjungpura,jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, lulus pada bulan Agustus 1990.
Alhamdulillah pada tahun 1991 diangkat menjadi staf pengajar tetap MKDU
Universitas Muhammadiyah Pontianak, dan Tahun 1997 diangkat sebagai PNS staf
Pengajar di Politeknik Negeri Pontianak.
Pada tanggal 8 Juli 1988 penulis menikah dengan Cesilia Isbandiah clan kini
telah dkaruniai i g a orang anak yaitu; Eko Yudha Hadiyanto (12 tahun), Dwi Budi
Hartanto (10 tahun), Tri Bayu Aji (8 tahun).
Penulis mendapat kesempatm untuk mengikuti pendidkan pascasajana S2,
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PS-SPL) Institut
Pertanian Bogor tahun ajaran 200012001 atas biaya dari Dijen Dikti melalui Bea
Siswa Program Pascasarjana.
PRAKATA
Alhamdulillah, penulis panjatkan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala
karunia-Nya, sehingga penelitian clan penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Judul
penelitian ini adalah Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Berdasarkan
Pendekatan Sosiolinguistik (Studi Kasus Pengelolaan Wilayah Pesisir di Propinsi
Lampung).
Penelitian dan tesis ini merupakan sumbangan pikiran &lam mengkaji
perencanam kawasan pesisir Timur dan Selatan Kabupaten Lampung Selatan yang
berlandaskan pada perilaku sosiolinguistik komunitas lokal. Diharapkan dengan
kajian ini dapat mensinergiskan pengelolaan kawasan pesisir yang simultan dengan
perilaku komunitas suatu kawasan, sehingga mengakomo&r berbagai kepentingan
dan kebutuhan ruang sebagai antisipasi meningkatnya aktifitas pembangunan di
kawasan tersebut. Di samping itu, penelitian dan penulisan ini dimaksudkan juga
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Magister Saim pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sarnpaikan kepada
Dr.Ir. Joko Punvanto, DEA dan Dr.Ir. Iwan Gunawan, MSc. selaku pembimbing,
serta Dr.Ir. Budi Wiryawan, M.Sc selaku dosen penguji tamu. Secara khusus penulis
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Hj. Ir. Nurmala, MM selaku Direktur
Politeknik Negeri Pontianak yang telah banyak memberikan bantuan dan berbagai
kemudahan, juga kepada Ir. Yakob Ishadamy, M.Si. Di samping itu, kepada pimpinan
dan segenap staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dm Lautan, Institut
Pertanian Bogor (SPL IPB) yang telah memberikan ilmu dan pelayanan terbaik.
Demikian pula kepada rekan-rekan SPL-IPB angkatan V, khususnya Mas Agung
Riyadi, Pak Noor Nedi, Pak E. Priyatna P, serta Mbak St. Khasanaturodiyah yang
turut memberikan motivasi yang sangat berharga dalam penulisan ini.
Semoga penelitian dan tesis ini bermanfaat.
Bogor, 6 September 2002
Slamet Tarno
DAFTAR IS1
DAFTAR TABEL ............................................................................................vii
...
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
VIII
...........................
DAFTAR ISTILAH
ix
x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................... ..............................
1.2 Identifikasi Pennasalahan
..
1.3 Masalah Penellaan ........................................ .. .,,... .. ,. ..... ..... ....,....
. .
1.4 Kerangka Pem~klran........................................,... ,...... ......,. .. . .......
1.5 Tujuan ....................... .................. . .. . ...,.,.,....,...... .. .. . . . . ......
..
.............,,...,....... .,....... ....... ..,,....
1.6 Manfaat Penellban ..........................
. . . . . . . . , . . ..... . . . .
1.7 Hipotesis .........
1
9
12
15
16
16
17
BAB I1 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu ....... ............ ............. ......
Pengelolaan Pesisir Berdasarkan Pendekatan Sosiolinguistik .......... . ...
. . . .
Sos~olmgu~st~k
..................................................................................
Topografi Dialek .............
Kegiatan Ekonomi Masyarakat Pesisir .............. . ............. ...... . . . , .
Sistem Infomasi Geografi ............................................... ................
Dialect Topography dan Budaya Masyarakat Lampung .......................
BAB m METODOLOCI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitia
3.2 Subjek Penelitia
3.3 Variabel PenelitIan ... ...........
3.4 Alat dan Bahan Penelitian ......
3.5 Langkah-Langkah Penelitian ......................
. .
3.6 Proses Data D ~ g ~ t...
a l...................... ....... ............. ..., ........... . ..... ...... ....
3.7 Penyusunan Matriks Tingkat Kepedulian
3.8 Pembobotan dan Pengharkatan ....... .... ................ ......... .......... .... . ..........
18
21
28
30
43
43
50
BAB N DESKIUF'SI WILAYAH PENELITIAN
4.1 Posisi Geografi dan Administrasi .........................................................
4.2 Sumberdaya Lahan .............................................................................
4.3 Karakteristik Hidrologi .
4.4 Adat Istiadat ...........................................................................................
4.5 Legenda Larnpung....................
4.6 Adat Perilaku Sosial ...............................................................................
4.7 Isu-Isu Pengelolaan Pesisir di Kabupaten Larnpung Selatan ..................
4.8 Aktivitas Penyangga Ekosistem Pesisir ..................................................
4.9 Fakta Sosiolinguistik di Kabupaten Lampung Selatan ..........................
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengelolaan Pesisir di Kabupaten Lampung Selatan ...........................
5.2 Konfigurasi Spasial Komunitas Dialek ..................................................
5.3 Perilaku Sosial Komunitas Dialek .......................................................
5.4 Pengelolaan Pesisir Berdasarkan Perilaku Sosiolinguistik ....................
5.5 Pola Interaksi Perilaku Ekonomi Komunitas Dialek ..........................
93
101
136
143
146
BAB M PENUTUP
6.1 Kesimpulan ..........................................................................................
6.2 Saran ........................ .
.
.......................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
157
159
160
Lampiran
1. Data Perilaku Sosiolinguistik Komunitas .....................................................
2. Form Survey .............................................................................................
166
171
IiARTAR ISTILAH ...........................................................................................
172
DAFTAR TABEL
3.1 Klasifikasi Kepedulian Bentang Ruang Topografi Dialek ............................
68
4.1 Jumlah Kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan ...................
...
73
.............
4.2 Luas Lahan Berdasarkan Penggunaan ............................................................ 74
5.1 Ringkasan Program Pengelolaan Pesisir Tahun 2001 dan 2002 ..................... 94
5.2 Rincian Program Berdssarkan Tahun Implementasi ...................................... 96
5.3 Kondisi Kependuduksn di Kecamatan Lokasi Penelitian ............................... 105
5.4 Beberapa Contoh Kosa Kata Ragam Dialek Bahasa Lampung ...................... 107
5.5 Perbedaan Adat KomunitasTopografi Dialek Bahasa Lampung .................... 112
5.6 Jumlah Penduduk Lampung Selatan Menurut Kelompok Umum ................... 129
5.7 Banyaknya Sarana Pemukiman ...................................................................
132
5.8 Persentase Kemunculan Perilaku Sosial-Komunikasi .................................... 137
5.9 Perilaku Konkret Komunitas Dialek ......................................................
139
5.10 Perilaku Sosial Ekonomi
140
5.11 Kontribusi Perilaku Keseluruhan Komunitas pada Profil PWPT ................. 142
5.12 Aktivitas Budidaya Laut, Air Payau. Air Tawar. Mina Padi .......................
149
5.13 Aktivitas First-Generation dan Persentase Rata-Rata Pemanfaatannya........ 153
5.14 Banyaknya Lokasi Penggalian Golongan C Menurut Jenis Galian ............. 155
vii
DAFTAR GAMBAR
1.1 Diagram Kerangka Pemikiran ......................................................................... 15
2.1 Diagram Uraian Subsistem Dalam Sistem Informasi Geografi .......................
44
3.1 Peta Lokasi Penelitian .....................
55
3.2 Peta Lokasi Titik Pengamatan .................................................................... 59
3.3 Desain Aplikasi SIG untuk Pengelolaan Wilayah Pesisir ............................... 64
3.4 Proses Analisis Overlay Kesesuaian Perilaku Dialek Topografi .................... 69
4.1 Peta Administrasi Kabupaten Lampung Selatan .........................................
72
4.2 Peta Dominasi Komunitas Dialek ...................................................................91
5.1 Peta Kawasan Pemukiman .......................................................................
102
5.2 Peta Administrasi Daerah Alimn Sungai Way Sekampung ............................128
5.3 Peta Land Use Daerah Aliran Sungai Way Sekampung ...............................
131
5.4 Peta Perilaku Sosiolinguistik .......................................................................
143
DAJXAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Data Perilaku Sosiolinguistik Komuitas Dalam Bentang Ruang
DAS Way Sekampung dan Kawasan Pantai ...................... ............
166
Lampiran 2: Form Survey Sosiolinguistik ........................................................... 171
BAB l
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan suatu kawasan pertemuan antara daratan
dan laut. Ke arah darat, cakupan wilayah pesisir meliputi bagian daratan (baik
yang. kering rnaupun basah terendam air) yang masih dipengaruhi oleh
karakteristik laut, seperti; pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin;
sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan, seperti;
sedimentasi, aliran air tawar, serta dampak yang disebabkan oleh aktivitas
manusia, seperti; pencemaran, dan erosi akibat penggundulan hutan
(Soegiarto, 1976 ; Supriharyono, 2000 ; Bengen, 2001).
Scope kewilayahan pesisir yang demikian global seperti di atas, jelas
berimplikasi pada ketidakpastian (fuzzy) jangkauan pengelolaan, sehingga
pada dinamikanya potensial menimbulkan konflik pengelolaan oleh pihak-pihak
yang berkepentingan ierhadap wilayah pesisir. Hal ini sangat mungkin terjadi,
karena keberadaan berbagai pengguna, serta berbagai entitas pengelola
wilayah pesisir mempunyai kepentingan dan cara pandang yang berbeda-beda
mengenai pernanfaatan sumberdaya pesisir. Pemicu utama potensi konflik
bertolak dari tingkat produktivitas primer rata-rata di perairan pesisir, yang
dapat mencapai lebih dari 500gr ~ l m ~ l t Nilai
h . produktivitas primer ini sangat
tinggi, bila dibandingkan dengan produktivitas primer di perairan laut dangkal
pada urnurnnya, yaitu sekitar 100 gr ~ l r n ~ l t ataupun
h,
di perairan laut dalarn,
h
1959 ; Man, 1982 dalam
yang hanya rnencapai 50gr ~ l r n ~ l t(Ryther,
Supriharyono, 2000).
Di sarnping sangat tingginya tingkat produktivitas tersebut, secara
konvensional dalarn rnasyarakat telah pula rnenyublirn persepsi dan perilaku
sosial yang beragarn terhadap surnberdaya pesisir. Apabila persepsi yang
berirnplikasi pada perilaku sosial dirnaksud berkeianjutan, rnaka pada
rnuaranya akan menimbulkan dampak pada terjadinya ketidakseirnbangan
kualitas kehidupan berbagai ekosistem yang berada di kawasan pesisir, yang
pada gilirannya akan mengganggu kesejahteraan rnanusia.
Persepsi dan perilaku sosial dimaksud, antara lain adalah; Pertama,
pesisir dan laut rnerupakan surnberdaya yang berkarakter common pool
resources. Persepsi ini, berkonsekuensi pada perilaku sosial ernpiris, bahwa
surnberdaya pesisir hanya dapat dirnanfaatkan secara mutual dan eksklusif
oleh sejurnlah individu dalarn tatanan kelompok tertentu, yaEg pada urnurnnya
di bawah kelernbagaan adat. Meskipun dalarn perspektif ini, telah terdapat
konsep "properfy right" yang memberikan batasan tentang hak dan kewajiban
bagi kelornpok tersebut dalarn rnernanfaatkan surnberdaya pesisir, dan
keberadaannya diakui oleh kelornpok yang lain, narnun karena akses terhadap
surnberdaya ini tidak dibatasi, rnaka persepsi sosial kolektif ini dapat rnenjadi
pernicu terjadinya eksploitasi yang berlebihan. Fenornena perilaku sosial
tersebut, cenderung sangat rentan mernunculkan pertentangan dan diliputi oleh
berbagai ketidakcocokan (incompatibility), sehingga potensial mengarah
kepada
konflik
pemanfaatan
antarberbagai
kepentingan,
terutama
antarberbagai kelompok dalarn kesatuan tata ruang pesisir.
Kedua, persepsi tentang wilayah pesisir dan laut sebagai sumberdaya
yang berkarakter open access, yang berimplikasi pada perilaku sosial, bahwa
kawasan pesisir dan laut merupakan sumberdaya yang dapat digunakan dan
dimanfaatkan secara bebas, tanpa ada konsep property right yang membatasi
penggunanya, serta tidak ada aturan pengelolaannya karena berorientasi pada
kemudahan bersama. Akibatnya adalah; setiap orang akan cenderung
berperilaku ekonomis, untuk dapat mengoptimalkan pemanfaatan dan benefit
sumberdaya pesisir, tanpa ada rasa tanggung jawab dan insentif untuk
melestarikan keberadaan sumberdaya tersebut. Dalam ha1 ini, berlaku prinsip "
siapa yang datang duluan, akan dapat duluan" (first come, first serve). Oleh
karena itu, persepsi bahwa sumberdaya pesisir dan laut berkarakter open
access ini, hanya akan memberikan benefit yang lebih besar bagi pihak yang
memiliki kernampuan untuk mengeksploitasinya, dan cenderung merupakan
pemicu utama rnunculnya perilaku sosial masyarakat yang destruktif dan
merupakan embriyo deplisi dan degradasi surnberdaya pesisir dengan berbagai
ekosisternnya.
Hal lain yang sangat esensial untuk diperhatikan, dalam kaitannya
dengan fenomena di atas adalah dampak yang ditimbulkan oleh perilaku alam
yang eksistensinya tidak terlepas dari akumulasi perilaku komunitas
rnasyarakat pada bentang alam tersebut. Sebagairnana diketahui, bahwa
secara ekologis kondisi kawasan pesisir erat kaitannya dengan sistern
ecoregion daerah aliran sungai (DAS), yang berrnuara di wilayah itu.
Perubahan karakter daerah aliran sungai, baik yang disebabkan oleh proses
alarniah, rnaupun sebagai darnpak aktivitas rnanusia di kawasan hulu rnaupun
hilir, akan rnernpengaruhi stabilitas wilayah pesisir yang bersangkutan. Dengan
kata lain, agregasi perilaku kornunitas rnasyarakat di kawasan daerah aliran
sungai (DAS), sangat rnernpengaruhi stabilitas wilayah pesisir.
Fenornena tersebut terjadi, karena secara alarniah daerah aliran
sungai beserta kornunitas rnasyarakat yang bernaung dalarn bentang ruangnya
rnerupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistern ekologi kawasan pesisir,
sebagairnana dinyatakan oleh Bengen (2001), bahwa ekosistern pesisir
rnerupakan suatu hirnpunan integral dari variabel abiotik dan biotik yang
berhubungan satu sarna lain, dan saling berinteraksi rnernbentuk suatu struktur
fungsional. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua kornponen
tersebut, seperti akibat perilaku rnasyarakat pada daerah aliran sungai, rnaka
akan rnempengaruhi keseluruhan sisiern yang ada, baik dalarn kesatuan
struktur fungsional rnaupun dalarn keseimbangannya.
Mernperhatikan beberapa paparan di atas dapat dinyatakan, bahwa
penyebab paling dorninan pada instabilitas kawasan pesisir adalah perilaku
manusia. Oleh karena itu, untuk rnensinergikan pengelolaan wilayah pesisir,
agar berlangsung secara sustainable, serta dapat rnerninirnalisir potensi konflik
antar berbagai kepentingan, maka dalam rancang bangunnya harus melibatkan
secara intens harkat kemanusiaan dengan berbagai atribut perilakunya, dalam
perspektif holistik yang merefleksikan integrated complex of interdependent
antara region dan living organism. Perspektif tersebut, harus didukung oleh
hierarkhi program, yang menempatkan perilaku keruangan komunitas pada
posisi penentu tertinggi. Dengan demikian, skenario pernanfaatan kawasan
pesisir tidak hanya didasarkan atas kajian fisik, tetapi juga didasarkan atas
kajian pada perilaku komunitas yang berada dalam bentang ruangnya.
Pendekatan yang berorientasi pada perilaku komunitas tersebut,
dijadikan sebagai bahan kajian mendasar yang rnenentukan tolok ukur dan
langkah berikutnya. Program susulan, perlu fokuskan pada pemahaman akan
berbagai jenis dan proses-proses yang terlibat dalam tata ruang wilayah pesisir
yang membentuk suatu human landscape. Langkah tersebut, kemudian
didukung oleh berbagai tindakan memperkenalkan dan mensosialisasikan
berbagai konsep pengelolaan pesisir, seperti; ketentuan batas-batas wilayah
pesisir yang berupa batas perencanaan, batas administrasi, dan batas ekologis
(Gunawan, 2001).
Batasan operasional konsep-konsep pengelolaan di atas, perlu
dipahami secara tepat, sinergis, dan komprehensif antarberbagai stakeholders,
sehingga irnplementasi pengelolaan yang dilakukan oleh berbagai pihak
(stakeholder), terkoordinir simultan dalam kesatuan interaksi yang berlangsung
secara terus-menerus. Dengan demikian, operasionalisasinya dapat menekan
berbagai dampak negatif bagi pertumbuh kembangan segenap sumberdaya
potensial yang berada di kawasan pesisir. Setiap tahapan program, mulai dari
perencanaan sampai dengan evaluasi, senantiasa diupayakan secara terpadu
dengan memperhatikan berbagai kepentingan, baik dari sisi tema fisik maupun
terna sosial.
Dalam ha1 tema sosial, salah satu komponen rnendasar yang
merefleksikan perilaku manusia dalam kesatuan komunitasnya adalah aspek
sosiolinguistik, yang direpresentasikan dalam bentuk guyup-tutur komunitas
pada region atau areanya. Aspek ini sangat urgen, karena pada dasarnya
merupakan dokumentasi yang merepresentasikan perilaku verbal manusia
pada kurun waktu di unit region tertentu. Oleh karena itu, aspek ini perlu
digunakan sebagai salah satu tolok ukur dalam menelusuri histori dinamika
perilaku kemanusiaan, termasuk fenomena yang rnerepresentasikan hubungan
antara komunitas dengan habitatnya. Hal tersebut
perlu dilakukan, karena
setiap guyup tutur dalam tataran sosial-komunikasi merepresentasikan adanya
perbuatan atau perilaku yang terjadi pada komunitas masyarzlkat itu (Suwito.
1996). Demikian juga, guyup tutur yang merepresentasikan keterkaitan perilaku
antara komun~tasmasyarakat dengan bentang lahan sekitarnya.
Perilaku sosial-komunikasi dalam bentuk guyup tutur yang berlaku
pada satu komunitas dalam unit area bentanglahan tertentu disebut dialect
topography. Karena penyebaran variasi dialect topography ada keterkaitannya
dengan habitat alam, kornunitas masyarakat, dan perkembangan komunalnya
dalarn suatu dernensi spasial, rnaka Claude Fauchat menyatakan, bahwa
dialect topography adalah "Mots de leur temirl kata-kata di atas tanahnya"
(dalam Chaurand, 1972).
Dalarn subsistern sernesta kebahasaan, dialect topography rnerupakan
bagian esensial dari sosiolinguistik terapan. Dengan dernikian, penelitian yang
urgen tentang dialect topography, yang irnplikasinya diproyeksikan untuk
kepentingan pernbangunan dalarn perspektif kernanusiaan, rnaka harus
menernpatkan komponen sosiolinguistik tersebut pada herarki yang paling
rnendasar. Karena dialect topography secara eksplisit rnencerminkan hubungan
tirnbal balik internal, antara perilaku kornunitas rnasyarakat dengan bentang
ruang habitat alamnya (Chambers, 1994).
Fenornena sosiolinguistik subsistern dialect topography, yang pada
dasarnya juga rnerupakan kornponen rnendasar dari terbentuknya tatanan
dernograti dengan karakter kemanusiaannya pada suatu bentang ruang, belum
direpresentasikan sebagai aspek pernbatas (boundary) perilaku keruangan
dalarn rnelengkapi pengkajian terna sosial, perencanaan dan pengelolaan
wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zona Planing and
Management). Oleh karena dialect tcpography, secara inhern rnencerminkan
kecenderungan perilaku keruangan yang unik dari kornunitas pernakainya pada
suatu bentanglahan, rnaka atribut ini penting untuk dikaji sebagai upaya
rnelengkapi terna sosial pada pola perencanaan dan pengelolaan terpadu
wilayah pesisir. Substansi ini dipandang penting dan sangat urgen, sebab
bentang ruang dialect topography memiliki karakter perilaku keruangan yang
spesifik, karena melibatkan manusia dengan berbagai dinamika dan karakter
kemanusiaannya pada suatu bentanglahan tertentu, termasuk bentang lahan
pesisir dengan berbagai fenomena potensial yang melingkupinya.
Realitas spasial yang terjadi di kawasan pesisir Selatan dan Timur
Propinsi Lampung, secara empiris dihuni oleh berbagai komunitas masyarakat
dengan beragarn dialect topographynya. Fenomena faktual ini tentunya
berdampak pada mosaik keruangan kawasan pesisir Propinsi Lampung.
Namun demikian, fakta tersebut belurn direpresentasikan sebagai substansi
pembatas dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
(Integrated Coastal Zone Management) di kawasan tersebut. Tidak mustahil,
akibat tidak disertakannya komposisi ini, berdampak negatif pada sinergi
keberlangsungan dan hasil yang tidak dirasakan oleh masyarakat lokal.
Konsekuensinya adalah masyarakat lokal masih saja dihadapkan pada
ketertinggalan dan ketidakmerataan pendapatan, sementara akses terhadap
sumberdaya di lingkungan sekitamya sudah diatur sedemikian rupa, sehingga
mernbatasi ruang gerak mereka dalarn rnemenuhi kebutuhan ekonorninya.
Dikawatirkan fenomena ini akan berdampak pada munculnya kekurangpedulian
masyarakat
lokal,
bahkan
keantipatian
pada
keberlanjutan
program
pengelolaan wilayah pesisir terpadu (Integrated Coastal Zona Management), di
kawasan tersebut.
1.2 ldentifikasi Permasalahan
Kurang diperhitungkannya faktor manusia dengan berbagai dinarnika
dan atribut kernanusiaanya, dalarn rnerepresentasikan penataan ruang
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, diprediksikan rnerupakan
kelernahan yang sangat rnendasar dan rnerupakan akar dari perrnasalahan
pengelolaan ekosistern tersebut. Asurnsi ini didasarkan atas kondisi riil, bahwa
dinarnika kernanusiaan dalarn berbagai tataran perilakunya, khususnya dalarn
menyikzpi bentang alarn untuk mernenuhi kebutuhan ekonorninya berpengaruh
signifikan pada perubahan ekosistern.
Dernikian pula yang tejadi pada ekosistern sumberdaya pesisir,
sebagai kawasan alarniah yang spesifik, produktif, rnernpunyai nilai ekologis,
dan ekonornis yang sangat tinggi, serta rnerniliki daya aksesibilitas yang tak
terbatas, tentu sangat rentan dengan berbagai konflik kepentingan, khususnya
yang berakar dari aspek sosial. Apalagi bila dicermati, dibalik potensi dan
kekayaan yang melirnpah tersebut, rnasih sangat banyak diternukan penduduk
pesisir yang kehidupannya terkukung dalarn tragedi kerniskinar: absolut, di
tengah sukses dan pesatnya industrialisasi di sekitarnya. Kondisi ini rnerupakan
ancaman serius, karena keterbelengguan dalarn lilitan kemiskinan akan
rnernaksa seseorang rnengeksploitasi surnberdaya hanya untuk rnernenuhi
kebutuhan prirnernya tanpa perlu terbebani lagi dengan akibat perilakunya.
Fenomena kernasyarakatan yang mernilukan ini rnerupakan sebagian kecil dari
preseden buruk akibat tidak diperhitungkannya tema sosial secara ~ H m a t
dalam rancang bangun pemanfaatan ruang pesisir.
Oleh karena itu, pendekatan pengelolaan yang berpedoman dan
terpusat pada harkat perilaku kemanusiaan yang berakar dari dialect
topography sangat penting dilakukan, sebagai upaya pengkajian yang dapat
memberikan nilai esensial, sekaligus memberikan alternatif solusi mendasar
dalam memecahkan kompleksitas problematika laten pengelolaan ekosistem
sumberdaya pesisir Untuk maksud tersebut, dari sisi karakter manusia
penelusuran dan pengkajian melalui dialect topography, sangat penting
dilakukan.
Pada sisi penerapan teknologi, maka untuk keperluan dimaksud,
diperlukan penggunaan perangkat Sistem lnformasi Geografis, sebagai upaya
untuk mencapai tingkat akurasi yang konstan, sehingga informasi keruangan
yang disajikan dalam perangkat tersebut, dapat digunakan untuk memandu
tahapan perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan berikutnya,
agar berkesinambungan (sustainable development) dalam keadilar, dan
pemerataan akses terhadap sumberdaya. Pada muaranya, berbagai respon
lanjutan yang berimplikasi pada perencanaan dan pengelolaan ekosistem
sumberdaya pesisir, dapat dilakukan berdasarkan rujukan grafis dan atribut
yang telah dideskripsikan di dalam perangkat sistem teknologi tersebut, yang
tentunya secara terus menerus selalu disempumakan, baik basis data maupun
perangkatnya, sehingga akan
rnencapai tingkat
kernutakhiran dalarn
rnendukung pengarnbilan keputusan yang lebih efektif dan efisien.
Dalarn teknologi Sistern lnforrnasi Geografi dikenal adanya dua terna
pernetaan, yaitu pernetaan tema fisik dan pernetaan tema sosial. Pernetaan
tema fisik, pendelineasiannya berorientasi pada batas-batas dalarn bentang
alarn di suatu wilayah yang dapat didefinisikan secara fisik. Pernetaan tema
sosial pendelineasiannya rnencakup sekurnpulan subterna yang batasbatasnya tidak atau belurn narnpak jelas secara fisik, karena terkait dengan
faktor rnanusia dengan berbagai dinarnika kernanusiaannya, baik sebagai
individu rnaupun sebagai kelornpok (Gunawan. 2001).
Seiiring dengan kornpleksitas perilaku kernanusiaan, pendelineasian
terna sosial rnerniliki tingkat kerentanan ketidakpastian inforrnasi yang tinggi.
Oleh karena itu, perlu diternpuh beberapa alternatif pernetaan sehingga tingkat
kerentanan tersebut dapat dielerninir. Dengan dernikian, pernetakan yang
dilakukan dapat rnencerrninkan kedekatannya pada deskripsi perilaku
keruangan yang sebenarnya.
Lebih lanjut, Gunawan (2001) rnenyatakan, terdapat dua alternatif
dalarn pendelineasian batas-batas terna sosial, yakni dengan observasi
lapangan dan interpretasi data statistik. Pada penggunaan data statistik dapat
dibagi lagi ke dalarn tiga pendekatan, yakni; pendekatan social network
analysis, economic network analysis, dan sociolinguistic.
1.3 Masalahan Penelitian
Simplifikasi pendekatan sociolingistic dalam suatu wilayah keruangan,
dapat dikonfigurasikan dari struktur etnis yang bertempat tinggal di suatu
wilayah dengan dialect topographynya. Keragaman perilaku dialect topography
komunitas masyarakat pada suatu bentang ruang berimplikasi pada berbagai
dimensi, yang apabila dikonfigurasikan dalam batasan keruangan akan memiliki
perilaku yang spesifik. Fenomena ini cukup urgen dikaji karena demensi
tersebut, relevan dengan komp!eksitas perilaku yang terjadi di wilayah pesisir,
termasuk juga yang terjadi di kawasan pesisir Selatan dan Timur Kabupaten
Lampung Selatan, Propinsi lampung Selatan.
Berkaitan dengan paparan di atas, dapat dirumuskan masalah umum
penelitian
sebagai
berikut:
"Bagaimanakah perilaku
sosial-komunikasi
komunitas yang membentuk suatu topografi dialek dalam merepresentasikan
profil perilaku pengelolaan terpadu sumberdaya alam pesisir di Kabupaten
Lampung Selatan?"
Agar permasalahan tersebut, dapat diidentifikasikan secara jelas dan
operasional, maka perlu dijabarkan ke dalam beberapa deskripsinya, yaitu;
bahwa struktur ruang sosial di Pesisir Timur dan Selatan Kabupaten Lampung
Selatan, memiliki karakter yang hiterogen. Hiterogenitas yang terjadi,
merupakan implikasi dari struktur ruang sosial yang dibentuk oleh multi-etnis
dengan berbagai latar belakang dan perilaku keruangan yang mendasarinya.
Pada sisi lain, hiterogenitas yang terjadi, juga rnerupakan efek
aksesibilitas, daya dukung alam, dan prospek ekonorni kawasan tersebut.
Dengan demikian, deskripsi perilaku ruang sosial pada kawasan tersebut, akan
selalu berubah secara fungsional dan berlangsung secara terus rnenerus,
sesuai dengan kuantitas dan kualitas komponen multi-etnis pembentuk
strukturnya.
Fenomena perubahan masyarakat yang dernikian dinarnis, berirnplikasi
pada kornpleksitas upaya delineasi, sehingga pada satu kurun waktu tertentu,
tidak mernungkinkan tempo pendelineasian dapat rnendeskripsikan secara
akurat perilaku keruangan multi-etnis dalam satu atribut yang spesifik dan
berlangsung secara konstan sepanjang waktu. Dengan demikian, sifat
temporalis sangat mengikat lingkup delineasi tema sosial, demikian halnya
dengan penelitian ini.
Seiring dengan fenomena tersebut, penelitian dialect topography
dalarn perspektif pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu ini, mensyaratkan
bahwa fokus teritori penelitian hams terkonsentrasi pada kawasan tertentu
yang secara ecoregion rnerniliki keterkaitan fungsional dengan sistern ekologi
kawasan pesisir. Pada sisi lain, karena entitas dialect topography adalah
community of man and human, dalam sudut pandang kornunal, maka entitas
tersebut rnerupakan parameter, yang variabelnya ditentukan oleh berbagai
perilaku kebahasan setiap komunitas pada unit topografi dialeknya. Narnun
demikian, ke-2 (dua) entitas dirnaksud, yakni fisik ekoregion dan topografi
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah rnengidentifikasikan perilaku sosialkomunikasi komunitas dialek bahasa Larnpung yang mernbentuk suatu dialek
topografi dalam rnerepresentasikan profil pengelolaan surnberdaya alarn pesisir
secara terpadu berdasarkan pendekatan sosiolinguistik.
Pengidentifikasian tersebut dirnaksudkan untuk rnemforrnulasikan data
grafis dan data atribut perilaku keruangan dialek topografi dalarn perangkat
Sistem lnformasi Goegrafi yang kernudian ditransposisikan sebagai informasi
representasi kawasan dalarn rnendukung penentuan wilayah pengelolaan
pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zona Management) di Kabupaten
Larnpung Selatan, Propinsi Larnpung.
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menyajikan karakter ruang sosial yang
dapat dimanfaatakan dalarn rnensinergiskan program pengelolaan pesisir
secara
terpadu
(Integrated
Coastal
Zona
Management)
dengan
mernpertimbangkan karakter perilaku rnasyarakat lokal yang berlandaskan
sosiolinguistik. Karena dengan kesinergisan tersebut, diasurnsikan dapat
rnendorong munculnya prakarsa yang rnencerminkan partisipasi rnasyarakat
!okal, yang pada dinarnikanya akan berdarnpak positip pada rnunculnya rasa
kepedulian rnasyarakat terhadap program pernbangunan yang tengah
berlangsung, sehingga akan bermuara pada terwujudnya rasa keadilan dan
pemerataan yang interaksi simultannya dapat menjaga keberlangsungan
pengelolaan sumberdaya alam yang berada di wilayah pesisir timur dan selatan
Kabupaten Lampung Selatan.
1.7 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini, dapat dirurnuskan sebagai berikut:
-
Ada keterkaitan antara kelestarian sumberdaya alarn pesisir dengan
perilaku komunitas masyarakat yang menempatinya.
-
Ada keterkaitan antara perilaku komunitas rnasyarakat dengan etnisitasnya
-
Dialek topografi suatu wilayah pesisir dapat dijadikan sebagai indikator
konfigurasilstruktur kenrangan dari etnisitas dan perilaku sosial dalarn
pengelolaan Sumberdaya Alam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone
Management), direferensikan sebagai perilaku tindak untuk rnengkoordinir
berbagai stakeholder pada aktivitas yang sinergis.
Oleh karena itu,
mekanisrnenya harus dirurnuskan berdasarkan proses penelitian yang
rnenyeluruh dan dapat dipertanggungjawabkan terhadap: keadaan surnberdaya
alarn pesisir, kegiatan ekonorni, kebutuhan rnasyarakat wilayah pesisir, dan
prioritas pengelolaan yang difokuskan pada outcomes yang paling baik dari
berbagai skenario pengelolaan yang akan dilaksanakan di rnasa rnendatang,
sehingga dapat berlangsung seara berkelanjutan (Clark, 1996; Dahuri et al.
1996 ; Rais, 2001).
Berbagai kornponen yang harus dipadukan dalarn pengelolaan wilayah
pesisir, agar rnencapai hasil yang optimal dan berkelanjutan, setidaknya
rnencakup lirna aspek, yaitu: (1)
Keterpaduan wilayah (ekologis), (2)
Keterpaduan sektor, (3) Keterpaduan hierarki pernerintahan (nasional, propinsi,
kabupatenlkota), (4) Keterpaduan disiplin ilrnu, dan (5)
Keterpaduan
stakeholder. Dari ke lirna aspek tersebut, keterpaduan stakeholder (pernerintah,
swastalinvestor, lernbaga swadaya masyarakat, dan rnasyarakat pesisir)
merupakan bagian yang sangat penting, karena masing-masing cenderung
rnerniliki persepsi dan kepentingan yang berbeda-beda, sehingga seringkali
saling berebut pengaruh untuk menjaga eksistensinya masing-masing (Bengen,
2000).
Koordinasi keterpaduan sinergis ini sangat diperlukan, karena
pernbangunan berkelanjutan di wilayah pesisir menghadapi kompleksitas
fenomena, sebagai berikut:
1) Terdapat keterkaitan ekologis atau hubungan fungsional, baik antara
ekosistem di dalam kawasan pesisir, maupun antara kawasan pesisir
dengan lahan atas (up land), dan dengan lahan laut lepas.
2) Terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa lingkungan di
kawasan
pesisir
yang
dapat
dikembangkan
untuk
kepentingan
pernbangunan.
3) Terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang merniliki keterampilan,
keahlian, kesenangan, dan bidang kerja secara berbeda.
4) Secara ekologis dan ekonomis, pemanfaatan secara monokultur (single
use) sangat rentan terhadap perubahan internal dan eksternal yang
rnengarah kepada kegagalan usaha (Bengen, 2000).
Berbagai tahapan dapat dirumuskan untuk merealisir keterpaduan
simultan pembangunan di wilayah pesisir, antara lain meliputi; pengumpulan
dan analisis data, perencanaan, implementasi, dan pengawasan (Sorensen and
Mc Creary dalam Dahuri et al, 1996). Kemudian prosedur dan pelaksanaannya,
dievaluasi secara kontinyu sebagai landasan untuk merumuskan program
berikutnya, agar berkelanjutan. Dengan demikian, perumusan program
dilakukan secara siklik, meliputi siklus rotasi program pengelolaan yang terdiri
atas; identifikasi dan pengkajian isu, persiapan program, adopsi program
secara formal, penyediaan dana, pelaksanaan program, dan evaluasi (Olsen et
al, 1999). Konsep keterpaduan yang bersifat siklik tersebut, direalisasikan
dalam tataran hierarkhis yang meliputi; tataran teknis, konsultatif, dan
koordinasi (Lang dalam Dahuri et al. 1996).
Kesinambungan (sustainability) dalam pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu, didasarkan pada prinsip normati, bahwa upaya pembangunan
yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masa kini, tidak boleh mengganggu
pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Oleh karena itu,
kesinambungan pembangunan di kawasan pesisir, harus berpijak pada
beberapa kriteria dan laju pemanfaatan sumberdaya, serta produksi limbah di
kawasan pesisir tidak boleh melebihi kapasitas lingkungan pesisir dalam
rnelakukan proses asirnilasi (Rustiadi, 2001).
Mengacu pada beberapa pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone
Management), memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut :
1) Mempunyai batas fisik (geografis) dari kawasan yang akan dikelola, baik
batas tegak lurus garis maupun yang sejajar dengan garis pantai.
2) Bertujuan untuk meminimalkan konflik kepentingan dalam pemanfaatan
sumberdaya, sehingga diperoleh keuntungan (benefit) secara optimal dan
berkesinambungan untuk kemakmuran masyarakat pesisir.
3) Merupakan proses dinamis yang terus dievaluasi secara siklik, sehingga
selalu bermuara pada tahapan perbaikan program dalam jangka panjang
yang berkelanjutan.
4) Diprogram berdasarkan karakteristik dan dinamika yang mencakup berbagai
keterkaitan antara komponen biofisik, sosial, ekonomi, hukum, dan budaya
dengan melibatkan berbagai ahli berdasarkan spesialisasinya masingmasing.
5) Didekati secara interdisipliner dengan rnelibatkan berbagai stakeholders dan
masyarakat lokal secara partisipatif.
6) Dilakukan oleh suatu lembaga yang kapabel menangani pengelolaan
kawasan pesisir, sehingga proses pertanggungjawaban dan implikasi
pengembangan program lanjutan lebih dapat dipertanggungjawabkan
(Dahur~eta/, 1996).
2.2
Pengelolaan Wilayah
Sosiolinguistik
Peagalaman
Pesisir
menunjukkan,
bahwa
Berdasarkan
Pendekatan
ketidakberhasilan
program
pengelolaan sumberdaya alam selama ini lebih banyak disebabkan oleh
pendekatan yang kurang seimbang. Aktivitas pendekatan pengelolaan, lebih
banyak ditekankan pada komponen fisik dan menornorduakan tema sosial.
Padahal secara empiris, dinamika tema sosial lebih dominan dengan berbagai
perubahan,
karena
melibatkan
kompleksitas perilaku
manusia,
yang
berakumulasi pada perubahan dan keseirnbangan alam (Widyaprakosa, 1994).
Pendekatan pada tema sosial, dalam pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu menjadi semakin penting, seiring dengan semakin berkembang
dan terpusatnya lokasi industri di kawasan pesisir yang berimplikasi pada
semakin dinamisnya pertambahan penduduk di kawasan pesisir dengan
berbagai latar belakang perilakunya (Suprihalyono, 2000). Bersamaan dengan
itu pula, pembanglinan wilayah pesisir secara terpadu juga dihadapkan pada
berbagai dilema, seperti; kesadaran masyarakat yang masih relatif rendah,
keterbatasan jumlah sumberdaya manusia yang terlatih dalam perencanaan
dan pengelolaan, keterbatasan modal finansial yang diperlukannya untuk
mengembangkan pemahaman akan nilai startegis wilayah pesisir (Lawrence.
1988). Berbagai upaya mengeieminer dilematika tersebut telah dilakukan.
sebagaimana dinyatakan oleh Dahuri et a/. (1996), bahwa secara garis besar
konsep pembangunan berkesinambungan untuk mengeleminasi tantangan dan
hambatan harus berpijak pada empat demensi, yaitu : (1) Dimensi Ekologis, (2)
Sosial Ekonomi, (3) Sosial Politik, (4) Hukum dan Kelembagaan.
Beranjak dari kompleksitas fenomena di atas, untuk mencari solusi
masalah-masalah pembangunan berkelanjutan pada bentanglahan wilayah
pesisir yang disebabkan oleh manusia, maka pendekatan yang berorientasi
pada tema sosial perlu diprioritaskan, dengan ruang lingkup yang menyangkut
perilaku yang berkisar pada masalah hakiki sosial-budaya manusia dengan
berbagai dimensinya (Savitri dan Khazali, 1999). Pemahaman secara lebih
mendalam mengenai hakikat manusia, kebudayaan, beserta perilakunya dalam
setiap bentanglahan sangat esensial dijadikan sebagai dasar pengkajian
pengelolaan, karena berbagai indikasi perilaku yang ditemukan dapat
digunakan sebagai kerangka kerja pengelolaan sumberdaya di bentanglahan
komunitas tersebut (Widyaprakosa, 1994). Dengan kata lain, perilaku sosialbudaya rnasyarakat pada suatu bentanglahan rnerupakan substansi abstrak
yang harus d~perhatikandala~mperencanaan pengelolaan sumberdaya alam,
derni
kepentingan kelestarian lingkungan, pertumbuhan ekonomi, dan
kepentingan generasi yang akan datang (Djayadiningrat, 1997).
Dalarn sistern bentanglahan terdapat kurnpulan berbagai elemen yang
saling berhubungan dan topografi merupakan unit pemetaan bentanglahan
terkecil yang dapat digambarkan batasnya dalam peta (Mangunsukardjo,
1996). Topografi bentanglahan memiliki karakteristik tertentu yang stabilitasnya
sangat ditentukan oleh interaksi berbagai peruntukkan dengan latar belakang
tujuannya masing-rnasing (Sutikno dan Sunarto, 1996). Dengan dernikian,
kondisi stabilitas bentanglahan topografi sangat ditentukan oleh perilaku
karnunitas rnasyarakat yang tinggal dalam bentangruangnya. Hal ini terjadi,
karena sikap dan persepsi komunitas terhadap bentang ruang
sangat
menentukan pola tindakan kornunitas itu dalam mengelola lingkungan.
Demikian pula dengan bentanglahan topografi di kawasan pesisir, sebagai
kawasan produktif, yang memiliki keterkaitan ekologis atau hubungan
fungsional, baik antara ekosistem di dalam kawasan pesisir, maupun antara
kawasan pesisir dengan lahan atas (up land), dan dengan lahan laut lepas,
kondisinya sangat ditentukan oleh perilaku komunitas yang berada dalam
bentangruangnya (Supriharyono, 2000). Oleh karena itu, pengkajian terhadap
perilaku komunitas masyarakat pada setiap bentanglahan topografi di kawasan
pesisir menjadi semakin urgen dilakukan.
Secara ekologis, stabilitas bentangruang pesisir sangat ditentukan oleh
karakter daerah aliran sur~gaiyang bermuara di pesisir itu (Bengen, 2000).
Demikian pula dengan bentangruang daerah aliran sungai, stabilitasnya sangat
ditentukan oleh karakter perilaku komunitas yang tinggal dalam bentangruang
topografinya, baik yang di kawasan hulu, tengah, maupun hilir. Dengan
demikian, pembahasan perilaku komunitas masyarakat, yang bernaung dalam
bentangruang topografi daerah aliran sungai merupakan bagian yang sangat
penting dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
berbasis
masyarakat.
Pengkajian mendasar yang beranjak dari bentangruang topografi
sebagaimana pernyataan di atas, perlu difokuskan pada masalah mendasar
yang berakar dari perilaku sosial-komunikasi komunitas setempat. Perilaku
sosial-komunikasi merupakan kaidah esensial yang mengatur tata-interaksi
sosial, dan merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.
lnteraksi sosial antarkelompok manusia, dan antara kelompok manusia dengan
lingkungannya yang berlaku di berbagai suku bangsa lazim menjadi tradisi
yang melembaga, dan prosesnya didasarkan pada pelbagai faktor, antara lain;
faktor im~tasi,sugesti, identifikasi, dan simpati (Soekanto, 2000).
Salah
satu
perangkat
deteksi,
yang
dapat
gunakan
untuk
mengidentifikasikan deferensial etnis, beserta perilaku sosial-budaya dan
sosial-komunikasinya
pada
bentanglahan
topografi
yang
stmktur
masyarakatnya sangat majemuk adalah dengan memjuk pada dialek yang
digunakan sebagai alat interaksi unit komunitas. Berdasarkan ha1 tersebut,
maka dialek yang berlaku dalam setiap bentangruang topografi atau dialek
topografi merupakan komponen identitas yang dapat digunakan sebagai
perangkat acuan untuk mengetahui karakter sikap, persepsi, dan perilaku unit
komunitas itu pada suatu bentangmang.
Dalam sistem semesta kebahasaan, dialek topografi merupakan
komponen integral sosiolinguistik, dan secara esensial dialek topografi
mengkaji variasi dialek dari lingkungan tutur bahasa yang lebih sempit daerah
pakainya (Chambers, 1994).
Berasaskan pada pengertian di atas, pendekatan sosiolinguistik dengan
fokus pada komponen dialek topcqrafi dalam pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu, tidak hanya sekadar melibatan masyarakat lokal, tetapi
melibatkan seluruh komunitas wilayah kehidupan sosial dengan identitas
etnisitasnya yang berada pada bentang ruang lokasi penelitian sesuai dengan
topografinya. Komunitas dialek dalam sudut pandang ini merujuk pada warga
masyarakat setempat (communrty) yang berupa sebuah desa, kota, etnis atau
kelompok etnis yang membentuk social relationship antara anggota suatu
kelompok yang diidentifikasikan berdasarkan dialek yang dipergunakannya.
Entitas dialek topografi ini adalah bagian rnasyarakat yang berternpat tinggal di
suatu wilayah (dalam art; geografi) dengan batas-batas tertentu, dirnana faktor
utama yang rnenjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar di antara para
anggotanya dengan derajad tertentu yang diliputi oleh sifatnya yang lokalis dan
perasaan sosial seternpat (Soekanto, 2000).
Masyarakat lokal secara ulnum dibatasi sebagai kornunitas dengan
variasi identifikasi sebagai berikut; (1) rnerupakan keturunan penduduk asli
suatu daerah, (2) sekelornpok orang yang rnernpunyai bahasa, tradisi, budaya,
dan agarna yang berbeda dengan kelornpok yang dorninan, (3) selalu
diasosiasikan dengan beberapa tipe kondisi ekonorni rnasyarakat, (4)
keturunan masyarakat pernburu, nornadik, dan peladang berpindah, .(5)
masyarakat dengan hubungan sosial yang rnenekankan pada kelornpok,
pengarnbilan keputusan secara bersama dalarn pengelolaan surnberdaya alarn
(During dalam Mitchell et al, 2000).
Seiring dengan batasan tersebut, terminologi rnasyarakat lokal dari
sudut pandang sosiolinguistik adalah suatu kelornpok masyarakat yang
rnernandang dirinya sebagai suatu komunitas yang rnenggunakan sebuah
bahasa dengan variasinya yang sarna (Halliday dalarn Suporno, 1976). Satuan
dasar terrninologi ini adalah sistem variasi bahasa yang rnonolitik sebagai
cerminan dari perilaku sosial-kornunikasi satu komunitas rnasyarakat. Jadi.
dalam kornunitas ini terdapat individu-individu yang rnenggunakan bahasa
dengan variasinya yang sama untuk rnengaktualisasikan diri dalarn jaringan
sistem sosial-komunikasi intra komunal (Suhardi dalam Masinambow dan Paul,
2002). Perilaku individu-individu yang membentuk social relationship yang
diikat oleh satuan rnornolitik bahasa, dan komunitasnya tinggal dalam
bentangruang tertentu inilah yang dijadikan sebagai acuan pengelolaan
sumberdaya alam pesisir. Hal yang demikian, telah menjadikan sosiolinguistik
sebagai basis pendekatan pengelolaan surntjerdaya alarn pesisir yang
berorientasi pada masyarakat.
Kriteria utama yang direpresentasikan untuk membedakan masyarakat
dalarn terrninologi ini adalah pemakaian bahasa yang dituturkan dalam interaksi
sosial-komunikasi pada situasi konkret sehari-hari (Appel dalam Suwito 1996).