Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Mas

Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Yang Berkelanjutan1
R.HAMDANI HARAHAP2
Pendahuluan
Ekosistem Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat wilayah pesisir
meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut
seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir
mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat
seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat
seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Bengen, 2002).
Besarnya potensi kekayaan alam pesisir telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan
hidup seperti kelebihan tangkap (over fishing) di sektor perikanan, perusakan hutan mangrove,
terumbu karang dan padang lamun serta abrasi pantai dan gelombang pasang hingga masalah
kerusakan akibat bencana alam seperti tsunami. Permasalahan ini secara langsung maupun tidak
langsung terkait dengan kemiskinan masyarakat pesisir, kebijakan yang tidak tepat, rendahnya
penegakan hukum (law enforcement), dan rendahnya kemampuan sumberdaya manusia (SDM).
Permasalahan di pesisir di atas bila dikaji lebih lanjut memiliki akar permasalahan yang mendasar.
Menurut Dahuri (2003) ada lima faktor, yaitu pertama tingkat kepadatan penduduk yang tinggi
dan kemiskinan, kedua konsumsi berlebihan dan penyebaran sumberdaya yang tidak merata,
ketiga kelembagaan, keempat, kurangnya pemahaman tentang ekosistem alam, dan kelima
kegagalan sistem ekonomi dan kebijakan dalam menilai ekosistem alam.

Beberapa hasil studi mengungkapkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
sumberdaya pesisir yang selama ini dijalankan bersifat sektoral dan terpilah-pilah.

1

Padahal

Makalah ini merupakan makalah yang disampaikan pada pengukuhan Guru Besar Tetap pada bidang
Ekologi Manusia pada tanggal 12 Pebruari 2015, dengan perubahan kecil selanjutnya disampaikan pada
Workshop Membangun Sinergitas Ekonomi, Lingkungan, Hukum, Budaya dan Keamanan Untuk
Menegakkan Negara Maritim Yang Bermartabat yang diselenggarakan di Ruang IMT-GT Biro Rektor
USU Lantai 3, pada tanggal 5-6 Maret 2015, Forum Rektor Indonesia dan USU.
2
Guru Besar pada Bidang Ekologi Manusia FISIP USU Medan

1

karakteristik ekosistem pesisir yang secara ekologis saling terkait satu sama lain termasuk
dengan ekosistem lahan atas, serta beraneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai
potensi pembangunan yang pada umumnya terdapat dalam suatu hamparan ekosistem pesisir.

Sehingga pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat
diwujudkan melalui pendekatan terpadu dan holistik. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu
dinyatakan sebagai proses pemanfaatan sumberdaya pesisir serta ruang yang memperhatikan
aspek konservasi dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor,
ekologis, hirarkhi pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Cicin-Sain dan Knect,
1998; Kay dan Alder, 1999).
Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir atau sering disebut masyarakat pesisir menjadi bagian
penting dalam ekosistem pesisir. Komponen terbesar dari masyarakat pesisir adalah nelayan
yang memiliki ketergantungan yang besar terhadap keberlanjutan sumberdaya alam pesisir.
Nelayan adalah orang yang melakukan penagkapan (budidaya) di laut dan di tempat yang masih
dipengaruhi pasang surut (Tarigan, 2000). Harahap (1992,1993,1994,) telah melakukan
serangkaian penelitian yang berkaitan dengan kemiskinan masyarakat pesisir di tiga desa di
Pantai Timur Sumatera Utara.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penyebab

kemiskinan mereka adalah faktor budaya dan degradasi sumberdaya. Degradasi sumberdaya
seperti rusaknya ekosistem mangrove dan perikanan sebagian diakibatkan oleh penggunaan alat
tangkap perikanan yang destruktif, aktivitas illegal lodging, alih fungsi lahan menjadi tambak dan
perkebunan sawit. Berdasarkan kondisi spesifik dan kemiskinan yang seakan menjadi trade mark

komunitas di pesisir, maka pemahaman lebih jauh tentang pengelolaan wilayah pesisir menjadi
penting.
Berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, menurut Bromley dan Cernea (dalam Adhuri,
2005), ada empat tipe pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir, yaitu: a. Open access
property, b. Common property, c. Public property, dan d. Private property.

Masing-masing

karakteristik tipe pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir ini turut menentukan bagaimana
cara pengelolaan wilayah pesisir dilakukan.
Di Sulawesi Utara terdapat keempat tipe pemilikan dan penguasaan sumberdaya tersebut,
namun yang dominan adalah tipe milik Pemerintah, dan dibeberapa tempat berkembang tipe
2

milik quasi-pribadi. Di perairan Bunaken masyarakat nelayan masih menganggap sumberdaya
ikannya sebagai open access property sehingga nelayan dari tempat lain dibiarkan menangkap ikan.
Di desa Tumbak dan Biongko masyarakat menganggap sumberdaya ikan, mangrove dan terumbu
karang yang ada di depan desa mereka adalah milik komunal dari desa tersebut (Mancoro dalam
Adhuri, 2005).


Akan tetapi UU Pokok Perairan no. 6/1996 dengan tegas menyatakan

sumberdaya alam yang ada di perairan adalah milik pemerintah.

Dalam skala tertentu

pemerintah membiarkan kelompok masyarakat pesisir untuk mengelolanya. Sehingga timbul
kerancuan (ambiguim) bahwa disatu sisi pesisir dianggap milik penduduk, tetapi disisi lain dianggap
milik pemerintah.

Kerancuan pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir (ambiguity of

property regimes) ini mendorong timbuinya konflik pemanfaatan (user conflict) dan konflik
kewenangan (yurisdictional conflict).

Konflik dapat muncul dari beberapa sebab, namun yang

dominan adalah kerancuan tipe pemilikan.

Konflik yang berkaitan dengan penguasaan


sumberdaya alam laut sering kali muncul misalnya seperti kasus di Kepulauan Kei, Maluku
Tenggara. (Adhuri, 2005).

Dalam tulisannya Adhuri menyatakan ada dua tantangan dalam

mempraktekkan manajemen sumberdaya laut secara berkelanjutan yaitu pertama, kesadaran
yang ditunjukkan oleh pelaku akan pentingnya manajemen yang berkelanjutan dan berkeadilan
tidak tampak pada stakeholder (termasuk aparat militer dan birokrasi daerah) di daerah. Kedua,
terdapatnya kontestasi di antara semua kelompok yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya
laut. Pada arena kontestasi ini tampaknya masing-masing kelompok cenderung saling mengklaim
hak khusus mereka terhadap sumberdaya laut dan menafikan klaim dari pihak-pihak lain.
Model Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Salah satu unsur penting dalam pembangunan berkelanjutan adalah adanya partisipasi masyarakat
dan desentralisasi pengelolaan.

Implementasi dari adanya partisipasi masyarakat dalam

pembangunan pengelolaan wilayah pesisir dan laut adalah pengelolaan sumberdaya perikanan
berbasis masyarakat. Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat dapat didefinisikan

sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat
untuk mengelola suberdaya perikananannya sendiri dengan terlebih dahulu mendefinisikan
kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya.(Nikijuluw, 2002). Dua komponen penting
keberhasilan pengelolaan berbasis masyarakat adalah :

3

1. Konsensus yang jelas dari tiga pelaku utama, yaitu pemerintah, masyarakat pesisir, dan
peneliti (sosial, ekonomi, dan sumberdaya)
2. Pemahaman yang mendalam dari masing-masing pelaku utama akan peran dan tanggung
jawabnya dalam mengimplementasikan program pengelolaan berbasis masyarakat
(Dahuri, 2003).
Pengelolaan atau pembangunan berbasis masyarakat diawali oleh Korten (1984), yang
memunculkan teori baru yang menyajikan potensi baru yang penting guna memantapkan
pertumbuhan dan kesejahteraan manusia, keadilan dan kelestarian pembangunan itu sendiri, yang
disebut teori pembangunan berpusat pada rakyat (people centered development).

Teori ini

menyatakan bahwa proses pembangunan harus berorientasi pada peningkatan kualitas hidup

manusia, bukan pada pertumbuhan ekonomi melalui pasar maupun memperkuat negara, teori ini
disebut sebagai Alternative Development Theory.(Mardikanto dan Soebiato, 2012). Moelyarto
Tjokrowinoto (dalam Mardikato dan Seobiato, 2012) memberikan ciri-ciri pembangunan yang
berpusat pada rakyat (manusia) yaitu :
1. Prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
tahap demi tahap harus diletakkan pada masyarakat itu sendiri.
2. Fokus utamanya adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan
memobilisasikan sumber-sumber yang terdapat di komunitas untuk memenuhi kebutuhan
mereka.
3. Pendekatan ini mentoleransi variasi lokal dan karenanya, sifatnya fleksibel menyesuaikan
dengan kondisi lokal.
4. Di dalam melaksanakan pembangunan, pendekatan ini menekankan pada proses social
learning yang didalamnya terdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas
mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri saling
belajar.
5. Proses pembentukan jejaring (networking) antara birokrasi dan lembaga swadaya
masyarakat, satuan-satuan organisasi tradisonal yang mandiri, merupakan bagian integral
dari pendekatan ini, baik untuk meningkatkan kemampuan mereka mengidentifikasi dan
mengelola pelbagai sumber, maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur


4

vertikal maupun horizontal. Melalui proses networking ini diharapkan terjadi simbiose
antara struktur-struktur pembangunan di tingkat lokal.
Secara garis besar, ada lima prinsip dasar yang penting dilaksanakan dalam pengelolaan berbasis
masyarakat (COREMAP LIPI dalam Dahuri, 2003) yaitu :1). pemberdayaan, 2).pemerataan akses
dan peluang, 3).ramah lingkungan dan lestari, 4).pengakuan terhadap pengetahuan dan kearifan
tradisional, dan 5).kesetaraan jender.
Dalam prakteknya pengelolaan berbasis masyarakat dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok,
yaitu tradisional dan neotradisonal (Dahuri, 2003). Pengelolaan berbasis masyarakat tradisional
umumnya berdasarkan adat dan tradisi yang lazim atau telah ada di masyarakat sejak lama,
misalnya sasi di Maluku (Elikisia, 2000), pengelolaan perairan pesisir desa Tanjung Bararai Biak
dan Panglima Laot di Aceh (Nikijuluw, 2002).

Sedangkan keberadaan PBM neotradisional

sengaja dilahirkan berdasarkan aturan-aturan baru yang ditetapkan oleh masyarakat sendiri
ataupun difasilitasi oleh pemerintah atau LSM. Dalam beberapa kasus, program yang bersifat
kegiatan proyek PBM hanya mampu menghasilkan tumpukan laporan proyek yang tidak
memberikan pemecahan masalah bagi masyarakat pesisir yang ada di lapangan.

Secara mendasar, PBM harus mampu memecahkan dua persoalan utama yang secara luas telah
diketahui khalayak umum, yaitu : 1) masalah sumberdaya hayati (misalnya tangkap lebih,
penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem serta konflik antara
nelayan tradisional dan industri perikanan modren dan 2) masalah lingkungan yang
mempengaruhi kesehatan keanakaragaman hayati laut (misalnya berkurangnya daerah mangrove
dan padang lamun sebagai daerah pembesaran sumberdaya perikanan, penurunan kualitas air,
pencemaran dsb).
Pengelolaan berbasis masyarakat dapat terlaksana jika masyarakat lokal mampu memanfaatkan
potensi alam, budaya dan infrastruktur yang ada. Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami
dan sadar akan potensi serta kendala yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya laut
mereka.

Penyadaran dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka pengelolaan sumberdaya

berbasis masyarakat dapat dilaksanakan lewat lima tingkatan yaitu: 1) meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan memberikan alternatif usaha yang secara ekonomis
menguntungkan dan tidak merusak lingkungan, 2) memberi masyarakat akses terhadap informasi
5

sumberdaya alam, pasar dan perlindungan hukum, 3) menumbuhkan dan meningkatkan

kesadaran masyarakat akan arti pelestarian ekosistem pesisir/laut, 4) menumbuhkan dan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga dan melestarikan ekosistem pesisir dan laut
dan 5) meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola dan melestarikan ekosistem laut.
Dari sisi kehadirannya, pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat dapat dilembagakan
melalui tiga cara (Fauzi, 2005), yaitu; 1) Pemerintah beserta masyarakat mengakui praktik-praktik
pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dilakukan masyarakat secara turun temurun
dan merupakan adat atau budaya dianut selama ini. 2) Pemerintah dan masyarakat menghidupkan
kembali atau merevitalisasi adat dan budaya masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanan.
Adat dan budaya tersebut barangkali telah hilang atau tidak digunakan lagi karena berubahnya
zaman dan waktu. Meski demikian, masyarakat dan pemerintah menyadari bahwa adat dan
budaya itu perlu dihidupkan lagi karena ternyata hilangnya adat dan budaya tersebut tidak
membuat masyarakat makin sejahtera dan bahagia. 3)Pemerintah memberikan tanggung jawab
sepenuhnya dan wewenang pengelolaan sumberdaya kepada masyarakat. Semangat melahirkan
PBM di Indonesia saat ini semakin terbuka seiring dengan diberlakukannya UU No. 6 Tahun
2014 tentang Desa yang memberi kewenangan bagi desa untuk menyelenggarakan pemerintahan
desa secara otonom termasuk memberi ruang buat desa dalam menetapkan aturan adat sebagai
aturan hukum. Namun implementasi tentang hal ini masih menyisakan masalah terkait dengan
arsiran kewenangan antara desa dengan satuan pemerintahan di atasnya yaitu kecamatan,
kabupaten dan propinsi. Saat ini lingkup kewenangan itu belum diatur dengan jelas. Sekalipun
dianggap ideal, terdapat beberapa variabel yang ikut menentukan keberhasilan atau kegagalan

pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat

(Fauzi, 2005), yaitu : kepercayaan,

tertulisnya aturan, teknologi, pembangunan industri perikanan, perubahan pemerintahan,
perdagangan dan harga.
Selanjutnya Fauzi (2005) telah mengidentifikasi beberapa kelemahan dan keunggulan pengelolaan
pesisir berbasis masyarakat.

Adapun kelemahannya adalah

(1) tidak mengatasi masalah

interkomunitas, (2) bersifat lokal, (3) mudah dipengaruhi faktor eksternal, 4) sulit mencapai
skala ekonomi dan tingginya biaya institusionalisasi. Sedangkan keunggulan pengelolaan pesisir
berbasis masyarakat adalah (1) Sesuai aspirasi dan budaya lokal, (2) diterima masyarakat lokal,
(3) pengawasan dilakukan dengan mudah.
6

Pengelolaan sumberdaya pesisir yang neotradisional salah satunya adalah yang dilakukan oleh
pemerintah.

Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah adalah

pengelolaan

sumberdaya dengan pemerintah sebagai pemegang kuasa dan wewenang dalam memanfaatkan
sumberdaya seperti hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur, hak eksklusif, dan hak
mengalihkan.

Jentoft (1989 dalam Fauzi, 2005) mengatakan bahwa pemerintah harus terlibat

atau campur tangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karena tiga alasan berikut ini :
1. Pemerintah ikut mengelola sumberdaya perikanan karena alasan efisiensi. Hal ini berarti
keikutsertaan pemerintah dalam mengelola sumberdaya perikanan supaya efisien dapat
ditingkatkan.

Keterlibatan

pemerintah

adalah dalam hal mengendalikan upaya

penangkapan sehingga tidak terjadi kelebihan kapasitas yang berakhir pada inefisiensi.
2.

Pemerintah terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan supaya keadilan dapat
diwujudkan. Jika pemerintah tidak ikut campur tangan, nelayan yang kuat dan besar akan
mengambil manfaat secara berlebihan dan membiarkan nelayan kecil dalam kemiskinan
dan kemelaratan.

Jika tidak ada upaya dan aksi pemerintah yang dilakukan secara

afirmatif dalam membantu nelayan kecil, kondisi ketimpangan akan terus berlanjut.
3. Keterlibatan pemerintah diperlukan dalam hal mengelola sumberdaya perikanan karena
alasan administrasi. Di sisi lain, asumsi dan fakta menyatakan bahwa hanya pemerintah
yang berhak menjalankan administrasi dengan otoritas dan kemampuannya.
Model Pengelolaan Berbasis Pemerintah
Dalam perkembangan selanjutnya peran institusi pemerintah dalam mengelola wilayah pesisir
dan laut sangat besar terutama dalam menjamin pengelolalaan sumberdaya perikanan khususnya
dalam pembangunan perikanan yang dilakukan sesuai dengan permintaan dan standar
internasional. Namun dalam beberapa hal institusi pemerintah mengalami kelemahan dalam
mengelola sumberdaya perikanan (Lawson dalam Fauzi, 2005) yaitu :
1. Gagal dalam mencegah eksploitasi sumberdaya perikanan karena kelambatan dalam
pelaksanaan peraturan yang sudah ditetapkan.
2. Kesulitan dalam penegakan hukum.
7

3. Kemampuan dan keberhasilan masyarakat untuk menghindar dari peraturan.
4. Kebijakan yang tidak tepat dan jelas atau adanya kebijakan yang saling bertentangan.
5. Administrasi yang tidak efisien dalam bentuk biaya transaksi yang relatif tinggi.
6. Wewenang yang terbagi-bagi kepada beberapa lembaga atau departemen.
7. Data dan informasi tidak (kurang) benar dan akurat.
8. Kegagalan dalam merumuskan keputusan manajemen.
Model Ko Manajemen
Berdasarkan model pengelolaan di atas terlihat di satu sisi baik rezim pengelolaan berbasis
masyarakat maupun oleh pemerintah memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Untuk
itu ditawarkan pengintegrasian kedua pengelolaan tersebut yang disebut kolaborasi manajemen,
kooperasi

manajemen

atau

ko-manajemen.

Ko-manajemen

adalah

pembagian

atau

pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam
mengelola sumberdaya perikanan.
Salah satu rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang dianggap pula sebagai rezim komanajemen adalah desentralisasi wewenang dan tanggung jawab dari pusat kepada pemerintah
yang ada di bawahnya.

Dalam pustaka mengenai administrasi publik, desentralisasi secara

vertikal mempunyai empat bentuk yaitu (1) dekonsentrasi, yaitu penyerahan wewenang dan
tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada lembaga atau instansi pemerintah di daerah atau
kepada unit instansi pusat yang berlokasi di daerah. (2) Delegasi yaitu penyerahan sebagian
wewenang dan kekuasaan untuk mengambil keputusan dari pemerintah pusat kepada instansi
atau staf pemerintah yang ada di daerah, namun setiap saat pemerintah pusat tetap memiliki hak
dan kuasa untuk menerima atau menolak keputusan yang diambil di daerah tersebut.

(3)

Devolusi yaitu penyerahan kekuasaan dan tanggung jawab hal-hal spesial atau khusus dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dan (4) swastanisasi, yaitu penyerahan tanggung
jawab tugas-tugas tertentu dari pemerintah pusat kepada organisasi non pemerintah, LSM,

8

organisasi voluntir swasta (private voluntary organization, atau PVO), organisasi atau asosiasi
masyarakat dan perusahaan swasta.3
Menurut Pomeroy and Berkes (dalam Fauzi, 2005) terdapat 10 tingkatan atau bentuk komanajemen yang dapat disusun dari yang paling sedikit partisipasi masyarakat hingga paling tinggi
partisipasi masyarakat. Bila suatu tanggung jawab dan wewenang masyarakat rendah pada suatu
bentuk ko-manajemen maka tanggung jawab dan wewenang pemerintah akan tinggi. Sebaliknya
bila tanggung jawab dan wewenang masyarakat tinggi, maka tanggung jawab dan wewenang
pemerintah rendah. Adapun 10 tingkatan ko-manajemen tersebut adalah :
1. Masyarakat hanya memberikan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut
digunakan sebagai bahan perumusan manajemen.
2. Masyarakat dikonsultasi oleh pemerintah
3. Masyarakat dan pemerintah seling bekerja sama.
4. Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi.
5. Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi.
6. Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasihat dan saran.
7. Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama.
8. Masyarakat dan pemerintah bermitra.
9. Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
10. Masyarakat lebih berperan dalam melakukan koordinasi antar lokasi atau antar daerah
dan hal tersebut didukung oleh pemerintah.
Selain 10 bentuk ko manajemen di atas, ada juga pembagian ko-manajemen sbb :

3

9

Lihat juga Person, G A, Diny M.E. van Est dan Tessa Minter yang menulis tentang desentralisasi dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Person dan kawan-kawan menyarankan bahwa dalam proses desentralisasi
pengelolaan sumberdaya alam sebaiknya mengarah pada bentuk pengelolaan bersama (co-management).

1. Ko-manajemen Instruktif yaitu pemerintah sangat berperan, masyarakat hanya menerima
apa saja yang direncanakan dan diatur oleh pemerintah,

misalnya

Ko-manajemen

Perairan Umu di Bangladeh, Ko-manajemen Danau Karibia di Zambia.
2. Ko-manajemen Konsultatif yaitu masyarakat lokal begitu banyak keterlibatannya dalam
proses perencanaan hingga pelaksanaan rencana pengelolan, namun pemerintah melalui
orang-orangnya serta instansinya masih memegang peranan yang sangat vital, contohnya
pengelolaan Danau Malombe di Malawi, pengelolaan Teluk San Miguel di Filipina.
3. Ko-manajemen Kooperatif yaitu dimana masyarakat dan pemerintah mempunyai peran
yang seimbang atau pemerintah dan pemegang kepentingan lainnya bekerja sama dalam
hubungan kemitraan yang sejajar, contohnya, pengelolaan Kawasan Lindung Laut, Pulau
San Salvador, Filipina, Dewan Pengelolaan Perikanan Pasifik, Amerika Serikat, Kawasan
Hak Ulayat, Fiji, Pembangunan Perikanan Visayasa Tengah, Filipina.
4. Ko-manajemen Advokatif yaitu pemerintah kurang begitu besar peranannya sementara
masyarakat melalui kelompok kerja yang lebih banyak berperan, atau pemerintah hanya
memberikan dukungan legal terhadap permintaan dan usulan nelayan atau
Regulasi Waktu Penangkapan, Denmark,

contohnya

Perikanan Pukat Pantai, Sri Lanka, Model

Pengelolaan Perikanan di Queensland.
5. Ko-manajemen Informatif yaitu keterlibatan pemerintah sangat minimal, yaitu hanya
dalam bentuk membuat kesepakatan dan kerjasama dalam masyarakat.

Keterlibatan

pemerintah pun hanya terbatas pada pemerintah desa contohnya Organisasi Produsen
Ikan Sebelah di Belanda, Perikanan Herring di Denmark,

Perikanan Pukat Pantai di

Mozambik, Perikanan Pantai di Kepulauan Faroe, Kawasan Lindung Laut di Pulau Apo,
Negros, Filipina.
Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara kolaboratif, peranan stake holder sangat
penting. Alikodra (2006) mendefinisikan stake-holder adalah individu atau group yang mempunyai
kepentingan kuat terhadap sumberdaya atau manajemen sumberdaya.

Tidak ada strategi

pengelolaan sumberdaya yang berhasil tanpa mengikut sertakan kepentingan mereka. Claridge
(1995 dalam Alikodra, 2006) menyatakan stake-holder meliputi :
10

1. Masyarakat lokal yang langsung menggunakan sumberdaya, dan masyarakat lokal yang
memiliki kepentingan secara tidak langsung dengan sumberdaya.
2. Individu atau group yang secara legal memiliki kegiatan komersial pemanfaatan
sumberdaya secara langsung ataupun mereka yang datang untuk memanfaatkan
sumberdaya dan seringkali menyebabkan terjadinya kompetisi dengan penggunapengguna setempat.
3. Perusahaan yang memberikan limbah, ataupun yang memutus mata rantai siklus hidup
organisma.
4. Suplliers dan marketers, seperti pensuplai bahan bakar, peralatan yang berkaitan dengan
pemanfaatan sumberdaya dan
5. Pemerintah, LSM, pencinta alam dan lingkungan, konservasionis dan konsumen yang
menggunakan produk-produk.
Lebih lanjut Alikodra (2006) menyampaikan butir-butir penting sebagai pegangan untuk
melakukan evaluasi karakteristik keberhasilan pengelolaan secara kolaboratif, yang dapat dilihat
dari adanya :
1. Keuntungan integrasi konservasi dan pembangunan yang diakui oleh pemerintah dan
stake-holder lain.
2. Pemerintah mendukung dan memfasilitasi secara aktif involvement masyarakat setempat
dalam manajemen SDA berbasis konservasi.
3. Para pihak memberikan perhatian dan berpartisipasi secara penuh terhadap konservasi
SDA dan lingkungannya.
4. Terselenggaranya appropriate sharing (sumberdaya, informasi, kedudukan/kemampuan,
keputusan).
5. Para pihak mengerti secara penuh dan saling percaya dengan peran masing-masing yang
jelas.
11

6. Akar permasalahan dimengerti dan disetujui untuk ditindak lanjuti.
7. Keuntungan yang jelas diantara para pihak; dan
8. Para pihak memiliki kemampuan yang cukup (skills, financial, capability) sebagai salah satu
syarat penting untuk melanjutkan program secara berkelanjutan.
Pendekatan ko-manajemen bila dikaitkan dengan isu poros maritime harus memperhatikan
budaya masyarakat pesisir. Poros maritime adalah upaya mengubah mindset penduduk Indonesia
dari darat dan udara sentris menjadi laut sentries. Konsep poros maritim adalah upaya
pemerintah untuk menjadikan laut sebagai matra penghubung antar pulau yang kemudian segala
sumberdaya di dalamnya harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejehteraan rakyat. Artinya
laut menjadi jangkar pembangunan ekonomi. Apakah ide poros maritime sesuai dengan budaya
masyarakat Indonesia? Pertanyaaan tersebut diikuti dengan pertanyaan berikutnya “Bagaimana
kebudayaan maritim yang ada di Indonesia?, dan Apakah mental masyarakat pesisir kita yang
terekam dalam catatan sejarah menampilkan karakteristik sebagai nelayan atau pelaut?
Dalam beberapa literature sejarah dikisahkan bahwa kerajaan yang dulu jaya di nusantara selalu
dibarengi dengan kekuatan tentara kerajaan tersebut di lautan. Ini mengindikasikan bahwa
kekuatan militer di laut menjadi ciri khas kerajaan besar di nusantara. Fakta sejarah lainnya yang
juga bisa diakses adalah adanya gambaran bahwa hukum adat laut yang tersebar di nusantara
masih meniktik beratkan pemanfaatan laut sebagai jalur perdangangan/ pelayaran. Sebut saja
hukum laut di Kerajaan Serdang (baca Sinar dan Wan Saifuddin, 2002) dan hukum Amanna
Gappa dari Kesultanan Bugis yang melegenda. Penelusuran atas substansi kedua contoh hukum
adat tersebut memperlihatkan bahwa semangat utama kelautan yang diatur menitik beratkan
pada tatacara pelayaran yang berhubungan dengan perdagangan. Hanya sedikit yang secara
spesifik memuat aturan pengelolaan sumberdaya laut dan perikanan untuk kesejahteraan seperti
praktek berburu paus oleh masyarakat Lamarera dan Lamakera Nusa Tenggara Timur dan Sasi
di Maluku.

Untuk itu perlu digali dan direvitalisasi kembali nilai budaya masyarakat yang

berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir dalam rangka mensejahterakan masyarakat pesisir,
agar ide poros maritim yang muaranya adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
pesisir dapat diwujudkan.

12

Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)
Pendekatan pengelolaan wilayah pesisir harus dilakukan secara terpadu

(Integrated Coastal

Management =ICM) yaitu keterpaduan perencanaan yang menyeimbangkan kepentingan
ekonomi, sosial budaya dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup (Alikodra, 2006).
ICM merupakan pendekatan pengelolaan yang memberikan arah bagi pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan laut secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral,
berbagai tingkat pemerintahan dan sekaligus mengintegrasikan komponen ekosistem darat dan
komponen ekosistem laut, serta sains dan manajemen. Istilah pembangunan berkelanjutan telah
memasuki perbendaharaan kata para ahli serta masyarakat setelah diterbitkannya laporan
mengenai pembangunan dan lingkungan serta sumberdaya alam. Laporan ini diterbitkan oleh
Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan - PBB (UN World Commission on
Environment and Development - WCED) yang diketuai oleh Harlem Brundtland, dalam laporan
tersebut didefinisikan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan
berkelanjutan adalah: "Pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya." (Siregar,
2004). Pembangunan Berkelanjutan adalah suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu terhadap
pembangunan yang menggabungkan sekaligus tiga pilar pembangunan, yaitu pembangunan
ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan hidup. Lebih jauh, dikatakan bahwa
pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam
yang mendukung semua kehidupan di muka bumi. Pembangunan berkelanjutan sebagai suatu
paradigma pembangunan baru yang menyepakati suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu
terhadap pembangunan, yang menggabungkan sekaligus tiga pilar pembangunan, yaitu
pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan hidup.
Siregar (2004) menjelaskan ada 3 aset dalam pembangunan berkelanjutan yaitu sumberdaya
alam, sumberdaya manusia, dan infrastruktur. Sumberdaya alam adalah semua kekayaan alam
yang dapat digunakan dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Sumberdaya

manusia adalah semua potensi yang terdapat pada manusia seperti akal pikiran, seni, dan
keterampilan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri maupun orang
lain atau masyarakat pada umumnya. Sedangkan infrastruktur adalah sesuatu buatan manusia
yang dapat digunakan sebagai sarana untuk kehidupan manusia dan sebagai sarana untuk dapat
13

memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan semaksimalnya, baik untuk
saat ini maupun keberlanjutannya di masa yang akan datang.
Dalam pembangunan berkelanjutan terkandung dua gagasan penting yaitu pertama gagasan
kebutuhan yaitu kebutuhan esensial yang memberlanjutkan kehidupan manusia. Kedua gagasan
keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan
lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan (Djajadiningrat, dan Famiola, 2004).
Selanjutnya Djajadiningrat dan Famiola (2004) menyatakan bahwa setiap elemen pembangunan
berkelanjutan

diuraikan menjadi

empat

hal

yaitu:

pemerataan dan

keadilan

sosial,

keanekaragaman, integratif dan perspektif jangka panjang.
Sistem pengelolaan lingkungan termasuk pengelolaan lingkungan pesisir juga harus memerlukan
indikator kinerja (performance indicator). Indikator kinerja pembangunan berkelanjutan telah
dilakukan di berbagai negara di dunia ini. Indonesia belum menjadikan indikator kinerja
pembangunan berkelanjutan. Tetapi Propinsi Sumatera Utara telah mulai menginisiasi indikator
kinerja pembangunan berkelanjutan (Bapedalda SU).

PBB divisi pembangunan berkelanjutan

(UN, 2001) telah menyusun indikator pembangunan berkelanjutan, sebagaimana dilihat pada
Tabel.1. berikut ini:

Tabel. 1. Indikator Pembangunan Berkelanjutan
No. Kategori Indikator

14

I.
1.

Indikator Sosial
Kemiskinan

2.

Kesehatan

3.

Tingkat Pendidikan

Parameter
a. Jumlah persentase penduduk yang
hidup
di bawah garis kemiskinan.
b. Indeks gini ketidakadilan pendapatan.
c. Tingkat pengangguran.
a. Status gizi anak-anak.
b. Tingkat kematian anak-anak di bawah 5
tahun.
c. Tingkat harapan hidup.
d. Persentase penduduk yang memiliki
saluran pembuangan limbah (MCK).
e. Immunisasi.
f. Tingkat pemakaian alat kontrasepsi.
a. Tamat SD.

No. Kategori Indikator

4.

15

Parameter
b. Tamat SMP.
c. Angka buta huruf.
tempat Luas rumah/jiwa.

5.
6.

Kondisi
rumah
tinggal
Kriminalitas
Kependudukan

II.
1.
2.

Indikator Lingkungan
Perubahan Iklim
Berlubangnya lapisan ozon

3.

Kualitas Air

4.

Pertanian

5.

Kehutanan

6.
7.

Penggurunan
Perkotaan

8.

Pesisir

9.

Kuantitas Air Bersih

10.

Kualitas Air Bersih

11.
III.
1.
2.

Spesies
Indikator Ekonomi
Kinerja ekonomi
Perdagangan

3.
4.
5.

Status keuangan
Konsumsi Material
Penggunaan Energi

Jumlah kriminalitas per 100.000 penduduk.
a. Tingkat pertumbuhan penduduk.
b. Pemukiman penduduk formal dan
informal
di perkotaan.
Emisi gas rumah kaca.
Tingkat konsumsi zat yang merusak lapisan
ozon.
Konsentrasi pencemaran air ambien di
perkotaan.
a. Peruntukan lahan pertanian.
b. Penggunaan pupuk.
c. Penggunaan pestisida untuk pertanian.
a. Persentase lahan untuk hutan.
b. Intensitas pengambilan kayu.
Lahan yang menjadi gurun.
Permukiman penduduk formal dan informal
di perkotaan.
a. Konsentrasi algae di laut.
b. Persentase dari total penduduk
menetap
di pesisir.
Persentase air yang diambil dari ABT dan
APU dari air yang tersedia setiap tahun.
a. BOD di badan air.
b. Konsentrasi Bakteri Coli pada air
bersih.
Kelimpahan spesies terpilih.
GDP perkapita.
Keseimbangan perdagangan barang dan
jasa.
GNP.
Intensitas penggunaan material.
a. Konsumsi penggunaan energi per
kapita/tahun.
b. Intensitas penggunaan energi.
c. Pembagian konsumsi sumberdaya energi
yang dapat diperbaharui.

No. Kategori Indikator

Parameter

6.

Manajemen Sampah

a.
b.
c.
d.

IV.
1.
2.

Indikator Kelembagaan
Implementasi
Strategi
Pembangunan Berkelanjutan
Kerjasama Internasional

3.

Akses Informasi

4.
5.
6.

Komunikasi
Infrastruktur
Sains dan teknologi

7.

Persiapan dan tanggung
jawab terhadap bencana

Sampah industri dan sampah padat.
Limbah B3.
Sampah Radioaktif.
Penggunaan kembali dan recycle
sampah.

Pembangunan Berkelanjutan Nasional.
Implementasi dari ratifikasi Perjanjian
Global.
Jumlah internet yang terdaftar per 1000
penduduk.
Jumlah nomor telepon per 1000 penduduk.
Persentase biaya litbang dibandingkan
dengan GDP.
Kerugian manusia akibat bencana.

Sementara itu Dahuri (2003) telah menulis indikator pembangunan berkelanjutan dalam
pengelolaan sumberdaya keanekaragaman hayati laut, yang minimal harus meliputi 4 dimensi
yaitu: (1) ekonomi, (2)sosial, (3)ekologi, (4)pengaturan (governance).

Adapun indikator

pembangunan berkelanjutan sumberdaya perikanan yang diungkap oleh Dahuri (2003) dapat
dilihat pada Tabel 2.

Tabel. 2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir
Dimensi

Indikator





1. Ekonomi







16

Volume dan nilai produksi.
Volume dan nilai ekspor (dibandingkan dengan nilai
total ekspor nasional).
Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB.
Pendapatan nelayan.
Nilai investasi dalam bentuk kapal ikan dan pabrik







2. Sosial















3. Ekologi








4. Governance



pengolahan.
Penyerapan tenaga kerja.
Budaya kerja.
Tingkat pendidikan.
Tingkat kesehatan.
Distribusi

jender

dalam

proses

pengambilan

keputusan (gender distribution in decision making).
Kependudukan (demography).
Komposisi hasil tangkap.
Hasil tangkap per satuan upaya (CPUE).
Kelimpahan relatif spesies target.
Dampak langsung alat tangkap terhadap spesies non
target.
Dampak tidak langsung penangkapan terhadap
struktur tropik.
Dampak langsung alat tangkap terhadap habitat.
Perubahan luas area dan kualitas habitat penting
perikanan.
Hak kepemilikan (property rights).
Ketaatan

terhadap

peraturan

perundangan

(compliance regime).
Transparansi dan partisipasi.

Sumber: Dahuri (2003).
Dalam kaitannya dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development),
pengembangan institusi lingkungan sangat berbeda dengan pengembangan institusi pembangunan.
Prinsipnya adalah institusi lingkungan harus mampu mempromosikan pembangunan yang
terlanjutkan. Oleh karena itu institusi harus mampu merubah mandat ataupun kebijakan yang
dapat diterapkan dalam konteks pembangunan terlanjutkan. Hal ini untuk membedakan dengan

17

suasana institusi pembangunan saat ini yang diwarnai dengan eksploitasi dan mengutamakan
kepentingan ekonomi (Karwono, 2008).
Untuk mencapai sasaran kolaborasi secara tepat, Alikodra (2006) menyarankan perlu
dikembangkan tiga prinsip dasar, yaitu pertama, pemberdayaan dan pembangunan kapasitas.
Kedua, pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan tradisional, serta perbaikan hak masyarakat
lokal. Serta ketiga, pembangunan berkelanjutan, akuntabel dan transparan, pelestarian
lingkungan, pengembangan mata pencaharian, keadilan dan keterpaduan.

Penutup
1. Pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat dapat didefinisikan sebagai suatu proses
pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengelola suberdaya perikananannya sendiri dengan terlebih dahulu mendefinisikan
kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya.
2. Ko-manajemen adalah pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang
antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola wialayah pesisir dan
sumberdaya perikanan, yang

merupakan integrasi dari model pengelolaan berbasis

masyarakat dan model pengelolaan berbasis pemerintah.
3. Pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat yang berkelanjutan merupakan
keniscayaan yaitu suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu terhadap pembangunan
yang menggabungkan sekaligus tiga pilar pembangunan, yaitu pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan hidup.
4. Model Ko-manajemen merupakan model pengelolaan terbaru yang merupakan integrasi
dari model pengeloaan berbasis masyarakat dan model pengelolaan berbasis pemerintah.
Secara konseptual model ini, diyakini bisa menanggulangi permasalahan kerusakan
lingkungan sekaligus pengentasan kemiskinan pada masyarakat pesisir.
5. Memahami komunitas pesisir dan nilai yang mereka miliki akan bisa membantu
pemerintah sebagai partner pengelola untuk ikut mempredeksi dan mangantisipasi
18

perubahan yang berpotensi negatif. Tidak itu saja, memahami masyarakat akan bisa
membatu upaya merancang penguatan kapasitas bagi seluruh stakeholder yang terlibat
dalam implementasi model ko manajemen. Dalam hal inilah tampaknya perguruan tinggi
harus berperan. Peran itu tentunya berkenaan dengan kemampuan perguruan tinggi
untuk bisa membantu mengelaborasi kekuatan masyarakat sebagai modal dalam
pengelolaan dan pembangunan serta membantu pemerintah dalam merancang perannya
sebagai fasilitator yang responsif pada kebutuhan masyarakat. Bila semua pihak paham
akan kedudukannya serta mampu memainkan peran dengan baik, maka upaya besar
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan wilayah pesisir berbasis
masyarakat yang berkelanjutan akan bisa terwujud.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Alikodra, Hadi S. 2006. Integrasi Konsep Pengelolaan SDAL Dalam Perencanaan
Pembangunan Daerah. Makalah Disampaikan Pada Diklat Perencanaan Daerah. Badan
Diklat DEPDAGRI. Jakarta.
2. -----------------.
IPB. Bogor.

2006. Pengembangan Institusi Lingkungan Hidup. Fakultas Kehutanan

3. -----------------,
2006. Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Di Era Otonomi
Daerah. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengelolaan Kolaboratif Taman
Nasional Karimunjawa. Semarang 19 September 2006.
4. Adhuri, Dedi Supriadi. 2005. Perang-perang Atas Laut, Menghitung Tantangan pada
Manajemen Sumberdaya Laut di Era Otonomi : Pelajaran dari Kepulauan Kei, Maluku
Tenggara. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia Vol 29, No.3. Hal.300-308.
5. Bengen, D. G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lautan. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor.

6. Cicin-Sain and Knecht R.W. 1998. Integrated Coastal and Marine Management. Island
Pres, Washington D.C.
7. Dahuri, Rokhmin. 1997. Pengembangan Rencana Pengelolaan Pemanfaatan Berganda
Ekosistem Mangrove di Sumatera. Dalam Panduan Pelatihan Pelestarian dan
Pengembangan Ekosistem Mangrove Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Brawijaya. Malang.
8. -------------------- 2000. Reposisi Pembangunan Perikanan Indonesia Dalam Rangka
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Makalah Dalam Seminar Sehari Kementerian
Eksplorasi Laut : Mampukah Menjamin Hak-hak Nelayan Tradisional. JALA, SNSU
dan FISIP USU. Medan.
9. --------------------- 2000. Pemberdayaan Wilayah Pesisir Yang Berbasis Pada Pemberdayaan
Masyarakat. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Center For Regional Resource
Development and Community Enpowerment (CRESCENT). Bogor 20-23 April
2000. Bogor.
10. ---------------------2003. Keanekaragaman Hayati Laut.
Berkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Aset

Pembangunan

11. Dartius. 1988. Faktor-faktor Lingkungan Hidup dan Sosial Ekonomi Dalam Pengelolaan
Mangrove Sepanjang Pesisir Sumatera Utara (Tahap I). Laporan Penelitian Tidak
Dipublikasikan. Lembaga Penelitian USU. Medan.

20

12. Djajadiningrat, S, T. Dan Melia F. 2004. Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan (EkoIndustrial Park) Fenomena Baru dalam Membangun Industri dan Kawasannya Demi Masa Depan
Berkelanjutan. Rekayasa Sains. Bandung.

13. Elikisia. 2000. Model Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Berbasis Masyarakat
(Sasi) di Maluku dalam Prosiding Konperensi Nasional II Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan Indonesia. Makasar. Kerjasama Proyek Pesisir Jakarta-UNHAS,
DELP, CRC – Univ.Rhode Island-Pemda Sulsel dan LSM Konsosium Kelautan Sulsel.
14. Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Gramedia Pustaka Utama. 2005.
Jakarta.
15. Harahap, R.Hamdani. 2002. Kajian Akademik Peraturan Daerah Sektor Kelautan dan
Perikanan. Makalah, Medan, Sumatera Utara.
16. Harahap, R.Hamdani. 1992. Nelayan dan Kemiskinan (Studi Antropologis Di Desa Paluh
Sibaji, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang). Laporan Penelitian. Lembaga
Penelitian USU.
17. Harahap, R.Hamdani. 1993. Kearifan Ekologi Masyarakat Nelayan Desa Jaring Halus,
Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara. Laporan
Penelitian. Lembaga Penelitian USU.
18. Harahap, R.Hamdani. 1994. Orientasi Nilai Budaya Nelayan Propinsi Sumatera Utara(
Studi Perbandingan Terhadap Masyarakat Nelayan Desa Jaring Halus, Kecamatan
Secanggang, Kabupaten Langkat dan Masyarakat Nelayan Cina di Desa Sungai
Berombang, Kecamatan Panai Hilir, Kabupaten Labuhan Batu). Laporan Penelitian.
Lembaga Penelitian USU.
19. Harahap, R.Hamdani. 1994a. Keterkaitan Faktor Kebudayaan Dalam Pemenuhan
Kebutuhan Masyarakat Nelayan dan Pelestarian Lingkungan Di Daerah Pantai Timur
Sumatera Utara. Tesis S2. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
20. Harahap, R.Hamdani dan Subhilhar. 1998. Partisipasi Masyarakat Nelayan Dalam
Pengelolaan Mangrove. Laporan Penelitian Tidak Diterbitkan. DP3M Dirjen Dikti dan
FISIP USU. Medan.
21. Hawley, Amos. H. 1950 Human Ecology: A Theory Of Community Structure. New York.
Ronald Press.Co
22. Kaplan, Davis dan Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya terjemahan dari The
Theory of Culture oleh Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

21

23. Karwono, H. Pengembangan Kapasitas Berkelanjutan untuk Desentralisasi (Sustainbale
Capacity
Building
Decentralization)
dan
Peran
Lembaga
Pendidikan.
http://karwono.wordpress.com. Tgl 28 Oktober 2008.
24. Kay, R.and Alder, J. 1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon. London.
25. Kluckhohn, Clyde. 1944. Mirror for Man, New York: Fawcett
26. Korten, D.C. 1984. People Centered Development. West Harford. Kumarian Press.
27. Lubis, Kamaluddin. 1991. Hukum Sebagai Sarana Rekayasa Konflik Kepentingan Dalam
Pemanfaatan Laut dan perikanan (pesisir) Mangrove di Sumatera Utara. Dalam Seminar
Nasional Kehidupan Nelayan dan Aspek Hukumnya di Wilayah Pantai Pesisir Timur.
Fakultas Hukum USU. Medan.
28. Mardikanto, Totok dan Poerwoko Soebiato. 2012. Pemberdayaan Masyarakat Dalam
Perspektif Kebijakan Publik. Bandung. Alfabeta.
29. Nikijuluw, Victor P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. P3R. Jakarta.
30. Nybakken, James W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
31. Person, Gerard A, Diny M.E. dan Tessa Minter. 2005. Decentralisation of Natural
Resource Management : Some Themes and Unresolved Issues. Dalam Jurnal Antropologi
Indonesia Vol 29, No.3. Hal.225-238.
32. Sinar, Tengku Lukman dan Wan Saifuddin. 2002. Kebudayaan Melayu Sumatera Timur.
Medan: USU Press
33. Siregar, Doli D. 2004. Manajemen Aset Strategi Penataan Konsep Pembangunan
Berkelanjutan Secara Nasional Dalam Konteks Kepala Daerah Sebagai CEO’s pada Era
Globalisasi & Otonomi Daerah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
34. Tarigan, Kelin. 1990. Pengaruh Motorisasi Penangkapan Terhadap Distribusi Pendapatan
Nelayan di Sumatera Utara. Disertasi S3 UNPAD. Bandung.
35. Wartaputra, Sutisna.
1991.
Kebijaksanaan Pengelolaan Mangrove Dari Sudut
Konservasi. Dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove. LIPI. Jakarta.
36. Young, Gerald. L. 1994. Human Ecology. Dalam Ruth A. Eblen And William R. Eblen.
Ede. Encyclopedia of Environment. Boston: Houghton-Mifflin.

22