ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DALAM KELUARGA (INCEST) (STUDI PUTUSAN 11/PID/2014/PT.TK)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DALAM KELUARGA (INCEST)

(STUDI PUTUSAN 11/PID/2014/PT.TK)

Oleh

NOVA SELINA SIMBOLON

Anak adalah generasi muda penerus bangsa serta berperan dalam menjamin kelangsungan eksistensi suatu bangsa dan negara itu sendiri diatur dalam Undang-Undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berkaitan dengan adanya tindak pidana pencabulan dalam keluarga atau incest yang sebagian besar korbannya adalah anak seperti yang dilakukan oleh paman kandung sendiri di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang, hal itu dapat dilihat dalam Putusan Perkara Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 11/PID/2014/PT.TK. Dalam kasus tersebut, terdakwa Abun bin Nyono dinyatakan dengan sengaja melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain yakni Nadia Nurjanah binti Kusnadi yang masih berumur 15 tahun. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pemidanaan terhadap pelaku tindak pencabulan dalam keluarga

(incest) (studi putusan 11/Pid/2014/PT.TK) dan apakah dasar pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) (Studi Putusan 11/Pid/2014/PT.TK).

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung, dan Dosen bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara memeriksa dan dianalisis secara analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.


(2)

Nova Selina Simbolon

Berdasarkan penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pemidanaan pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) dalam Putusan Nomor 11/PID/2014/PT.TK adalah terdakwa Abun bin Nyono terbukti melanggar Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak. Hakim menjatuhkan putusan yang setimpal atau adil bukan memberikan pidana seberat-beratnya pada si pelaku, tetapi putusan tersebut harus dapat mencerminkan rasa keadilan dan kepatutan dalam masyarakat. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) menggunakan teori absolut (teori pembalasan), teori utilitarian (teori tujuan), dan teori gabungan. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) dalam Putusan 11/PID/2014/PT.TK adalah berdasarkan teori keseimbangan, pendekatan seni dan intuisi,dan ratio decendi. Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut mendasarkan pada pada terpenuhi atau tidak terpenuhi seluruh unsur-unsur pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Majelis hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum, dengan harapan pelaku tidak mengulangi perbuatannya, motif tindak pidana, sikap pelaku setelah melakukan tindak pidana pencabulan dalam keluarga serta akibat yang ditimbulkan.

Adapun saran yang diberikan penulis yaitu perlu dikaji lebih mendalam lagi terhadap pola pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga, sehingga anak yang menjadi korban mampu untuk bangkit kembali terhadap keterpurukan yang pernah dialaminya. Kerahasiaan identitas korban merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi mentalitas korban sebagai anak terhadap masyarakat luas. Dan perlu meningkatkan gerakan perlindungan anak dengan cara memberikan arahan dan sosialisasi mengenai hak-hak anak dan bagaimanakah tata cara melaporkan apabila anak mengalai ancaman baik fisik maupun psikis.


(3)

ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DALAM KELUARGA (INCEST)

(Studi Putusan 11/PID/2014/PT.TK)

Oleh

NOVA SELINA SIMBOLON

Skripsi

Sebagaisalahsatusyaratuntukmencapaigelar

SARJANA HUKUM

pada

BagianHukumPidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2015


(4)

Judul Skripsi

:

ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DALAM KELUARGA (INCEST) ( STUDI PUTUSAN 11/PID/2014/PT.TK)

Nama Mahasiswa

:

Nova Selina Simbolon

No Pokok Mahasiswa

:

1112011271

Bagian

:

Hukum Pidana

Fakultas

:

Hukum

MENYETUJUI:

1.

Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H., M.H.

Dona Raisa Monica, S.H.,M.H

NIP 19611231 198903 1 023

NIP 19860702 2201012 2 003

2.

Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H.


(5)

MENGESAHKAN

1.

Tim Penguji

Ketua

:

Tri Andrisman, S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota :

Dona Raisa Monica, S.H., M.H

...

Penguji Utama

:

DiahGustiniati, S.H., M.H.

...

2.

Dekan Fakultas Hukum,

Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S.

NIP 19621109 198703 1 003


(6)

ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DALAM KELUARGA (INCEST)

(Studi Putusan 11/PID/2014/PT.TK)

Oleh

NOVA SELINA SIMBOLON

Skripsi

Sebagaisalahsatusyaratuntukmencapaigelar

SARJANA HUKUM

pada

BagianHukumPidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2015


(7)

Judul Skripsi

:

ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DALAM KELUARGA (INCEST) ( STUDI PUTUSAN 11/PID/2014/PT.TK)

Nama Mahasiswa

:

Nova Selina Simbolon

No Pokok Mahasiswa

:

1112011271

Bagian

:

Hukum Pidana

Fakultas

:

Hukum

MENYETUJUI:

1.

Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H., M.H.

Dona Raisa Monica, S.H.,M.H

NIP 19611231 198903 1 023

NIP 19860702 2201012 2 003

2.

Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H.


(8)

MENGESAHKAN

1.

Tim Penguji

Ketua

:

Tri Andrisman, S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota :

Dona Raisa Monica, S.H., M.H

...

Penguji Utama

:

DiahGustiniati, S.H., M.H.

...

2.

Dekan Fakultas Hukum,

Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S.

NIP 19621109 198703 1 003


(9)

(10)

(11)

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumatera Utara, pada tanggal 11 November 1993 dan merupakan anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan bapak Ramles Simbolon dan Ibu Dame Samosir. Penulis menempuh pendidikan pada Taman Kanak-kanak di TK Katolik Sidikalang diselesaikan pada tahun 1999, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Inpres 034781 Sidikalang diselesaikan pada tahun 2005, kemudian penulis penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Sidikalang dan diselesaikan pada tahun 2008, setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sidikalang pada tahun 2011.

Pada tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif dalam persekutuan kampus pada Forum Mahasiswa Hukum Kristen (FORMAHKRIS) dan aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan pada Himpunan Mahasiswa Hukum Pidana (HIMA PIDANA). Pada bulan Januari 2014, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Madaraya, Kecamatan Pagelaran Utara, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung.


(13)

SANWACANA

Segala puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, yang senantiasa melimpahkan berkatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Analisis Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Dalam Keluarga (Incest) (Studi Putusan 11/PID/2014/PT.TK)”. Skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Melalui skripsi ini peneliti banyak belajar sekaligus memperoleh ilmu dan pengalaman yang belum pernah diperoleh sebelumnya dan diharapkan ilmu dan pegalaman tersebut kelak dapat bermanfaat dimasa yang akan datang.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam penulisan skripsi ini jauh dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan Penulis. Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.Hum., Ketua Bagian Hukum Pidana dan selaku Dosen Pembahas I yang senantiasa memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.


(14)

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., Sekretaris Jurusan Hukum Pidana

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan pengarahan dan sumbangan pemikiran yang sungguh luar biasa dalam membimbing Penulis selama penulisan skripsi ini.

5. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H., Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan pengarahan dan sumbangan pemikiran yang sungguh luar biasa serta kesabarannya dalam membimbing Penulis selama penulisan skripsi ini. 6. Bapak Budi Rizki, S.H., M.H., sebagai Pembahas II yang telah memberikan

waktu, masukan, dan saran selama penulisan skripsi ini.

7. Bapak Dr. Hamzah, S.H., M.H., Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat dan bantuannya selama proses pendidikan Penulis di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Seluruh dosen, staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas bimbingan dan pengajarannyadan untuk semua bantuannya. 9. Terkhusus dan teristimewa untuk kedua orang tuaku, Bapak Ramles

Simbolon dan Dame Samosir yang senantiasa mendoakanku, memberiku dukungan semangat dan motivasi, nasehat serta pengarahan dalam keberhasilanku dalam menyelesaikan studi maupun kedepannya.

10. Abang dan kakakku, Franky Ridwan Simbolon, Melva Citra Yanti Simbolon, Agustinus Simbolon, dan Hengrina Simbolon yang senantiasa menemani, mendukung dan mendoakanku. Semoga kelak kita menjadi anak yang berhasil dan membuat bangga orang tua kita.


(15)

11. Untuk keponakan-keponakanku. Michael Immanuel Simbolon, Michelle Chyntia Simbolon, Ryan Samuel Risky Manullang, dan William Jabes Manullang yang memotivasi aku melalui tingkah kecil kalian.

12. Untuk opung, tante, uda, tulang, nantulang, kakak, abang, adek dan keluarga besarku, terima kasih untuk dukungan dan semuanya.

13. Untuk Yeremia Luhur Wiyoto , seseorang yang telah sabar dan setia dalam suka dan duka, yang selalu mendoakan, menyemangati,dan memotivasi. Terima kasih banyak atas semuanya.

14. Untuk teman-teman seperjuangan calon sarjana hukum yang terbadai, David Simanjuntak, Daniel Sitanggang, Ferry Damanik, Jonathan Hutagalung, Bram Samosir, Dopdon Sinaga, Nur Saadah Sinambela, Meggy Manurung dan Grace Simanjuntak kalian luar biasa untuk kebersamaannya sampai saat ini. 15. Untuk teman-teman Fakultas Hukum 2011, Marlina, Merry, Mona, Lia Janah,

Lia Aprilia, Natalia, Nur, Deswandi, Riki, dan semua yang belum disebutkan terima kasih atas kebersamaannya dalam berjuang.

16. Untuk teman seperjuangan mulai dari awal skripsi sampai akhir Aisyah Muda, terima kasih untuk setiap momen yang kita lewati bersama kegokilannya.

17. Untuk teman-teman semasa KKN: Agatha, Filla, Ka Pras, Mba Alfi, Nunik, Nita, Nanda, Namira, Nia, terimakasih untuk kebersamaan dan kekompakan yang terjalin selama ini dan kegilaannya. Hidup Madaraya.

18. Untuk teman-teman kostanku yang gokil dan sangat ribut, Delima, Olin, Lusy, Astri, Febri, Yohana, Devi, Sella, dan semua yang namnya belum disebutkan terima kasih untuk kebersamaannya selama di Lampung ini.


(16)

19. Untuk teman-teman dan adek-adek Formahkris 2011, 2012, 2013, dan 2014 tetap semangat untuk pelayanannya, Torang, Kurniawan, Galang, Gilbert, Juna, Grace, Nico, Gohi, Rifan, Salamat, Erna, Marlina, Merry, Mona, Yessy, Stefanus, Lasmaida, Rio, Reymond, Anes, Katherine, Ines, Cristin, Ryan, Nova, Hellena,Febri, Benny, Refan, Landoria, Fauyani, Agustina, Nando, Kristu, Yosef, Vera, Lova, Cindy T, Ruth, Fabiyola, Alicia, Daniel, Firdaus, Rico, Biaton, Wafer, Darwin, Elsaday, Dewi, Bangkit, Christoffer, Korin, Cindy M dan yang lainnya.

20. Almamaterku tercinta dan Keluarga Besar HIMA PIDANA beserta seluruh

Mahasiswa Fakultas Hukum Unila Angkatan 2011 “VIVA JUSTICIA”

21. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan semangat dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis berdoa semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan di bidang hukum demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa ini. Amin.

Bandar Lampung, 11 Februari 2015 Penulis


(17)

(18)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia, hal ini dikarenakan hukum dan Hak Asasi Manusia saling berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal mengenai perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. 1 Sehubungan dengan hal tersebut maka sudah seyogyanya masyarakat Indonesia mendapatkan perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan yang secara nyata dalam aspek kehidupan.2

Saat ini bangsa Indonesia sedang giat membenahi permasalahan yang sangat penting tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada segala aspek kehidupan, khususnya adalah perlindungan terhadap anak di Indonesia. Masalahnya perlindungan anak baru menjadi perhatian masyarakat Indonesia pada kurun waktu tahun 1990-an, setelah secara intensif berbagai bentuk kekerasan terhadap anak di Indonesia diangkat kepermukaan oleh berbagai kalangan.3

Tindak pidana pencabulan merupakan salah satu dari tindak pidana terhadap kesusilaan. Dalam Bab XIV dalam Buku II KUHP memuat kejahatan terhadap

1 Titik Triwulan Tuti, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945,

Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 28.

2Ibid., hlm. 114.

3


(19)

2

kesusilaan yang tersebar pada pasal 281 hingga 303 KUHP. Di dalamnya yang dimaksud dengan kesusilaan sebagian besar berkaitan dengan seksualitas.4

Salah satu jenis kelainan seksual adalah hubungan seks yang dilakukan bersama seseorang yang masih ada hubungan darah atau yang dikenal dengan istilah incest. Sebagian besar korbannya adalah anak di bawah umur, maka perlu adanya perlindungan terhadap anak.5 Hal ini berkaitan dengan kondisi psikologis anak yang sangat peka terhadap pengaruh lingkungan di sekitarnya. Sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan kepentingan anak yang mengalami masalah sosial. Perlindungan dapat diberikan dengan bentuk pemberian hak dan perlindungan terhadap anak dapat dilakukan dalam berbagai cara, salah satunya dengan memformulasikan dan mengaplikasikan Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Tindak pidana incest merupakan perbuatan yang tidak bermoral dimana seorang ayah terhadap puteri kandungnya sendiri mencerminkan kelainan pada aktivitas seksual si pelaku yang dikenal dengan dengan istilah incest yaitu hubungan seksual antara ayah dengan anak kandungnya, ibu dengan anak kandungnya, kakak dengan adiknya atau paman terhadap keponakan. Incest dapat diartikan hubungan seks keluarga sedarah (yang tidak boleh dinikahi).

Tindak pidana incest terhadap anak sebagai korbannya merupakan salah satu masalah sosial yang sangat meresahkan masyarakat sehingga perlu dicegah dan

4

Tri Andrisman, Delik Tertentu dalam KUHP, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2011, hlm.23.

5 Alfano Arif, Pemeriksanaan Tindak Pidana Incest, http://ojs.unud.ac.id/index.php/.../6188/4682,


(20)

3

ditanggulangi. Oleh karena itu masalah ini perlu mendapatkan perhatian serius dari semua kalangan terutama kalangan kriminolog dan penegak hukum.6

Salah satu contoh tindak pidana incest yaitu terjadinya pencabulan yang dilakukan seorang paman terhadap keponakannya sendiri yang masih berumur 15 tahun. Terdakwa dituntut oleh jaksa telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 11/PID/2014.PT.TK, terdakwa oleh hakim dinyatakan bersalah dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya”. Jaksa penuntut umum menuntut terdakwa dengan pidana penjara 7 tahun dan 6 bulan dan berdasarkan tuntutan di persidangan hakim menjatuhkan pidana penjara selama 9 tahun terhadap terdakwa.

Kronologis singkat dalam perkara tersebut yaitu korban yang merupakan keponakan terdakwa bernama Nadia berumur 15 tahun sekitar bulan Desember 2012 datang ke rumah terdakwa yang bernama Abun yang merupakan pamannya untuk berlibur. Di rumahnya Abun menyuruh Nadia masuk ke dalam kamar Abun untuk mengobati Nadia dengan alasan Nadia sudah tidak perawan lagi. Di dalam kamar Abun mulai melakukan perbuatan yang tidak sopan kepada Nadia. Pada tanggal 31 Desember 2012, Februari 2013, April 2013 dan 12 Mei 2013 Nadia dibawa ke Padang Cermin dengan alasan mengobati Nadia kemudian melakukan tindak pidana pencabulan tersebut kepada Nadia secara berulang-ulang kali.

6 Mayos, Tindak Pidana Incest Masih Menonjol, http://m.hukumonline.com/berita/bacahol9428,


(21)

4

Kasus tersebut terbongkar oleh orangtua Nadia pada tanggal 15 Mei 2013 dan mulai dilakukan penyidikan tanggal 28 Mei 2013.

Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memiliki kebebasan dalam menjatuhkan pidana. Pertimbangan penjatuhan hukuman pidana oleh hakim terdakwa dirasa kurang tepat karena perbuatan yang dilakukan terdakwa kepada hubungan sedarahnya yaitu keponakannya yang menyangkut masa depan dan terdakwa telah melakukan perbuatan pencabulan itu secara berulang-ulang kepada anak di bawah umur sehingga mengakibatkan kondisi psikologis anak terganggu dan ditemukan robeknya selaput dara arah jam delapan, jam sembilan, jam sepuluh dan jam dua.

Menurut Pasal 429 RUU KUHP Tahun 2008 ayat 2 menyebutkan bahwa tindak pidana persetubuhan dengan anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga. Ancaman pidananya antara 3 hingga 12 tahun. Jika yang menjadi korban adalah anak-anak dibawah 18 tahun, hukuman maksimalnya ditambah menjadi tiga tahun lagi. Walaupun belum berlaku tetapi dasar hukum tersebut dapat menjadi acuan dalam penjatuhan pidana kepada terdakwa.7

Adapun Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur mengenai tindak pidana pencabulan terhadap anak dimana ancaman pidananya lebih berat dari pada pasal-pasal tersebut diatas yaitu paling lama 15 tahun. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 82 yang menyebutkan bahwa:

7


(22)

5

"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbutan cabul di pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)".8

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dalam bentuk skripsi berjudul “Analisis Pemidanaan Terhadap Pelaku

Tindak Pidana Pencabulan Dalam Keluarga (Incest) (Studi Putusan 11/PID/2014/PT.TK ).”

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Bagaimanakah pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) (Studi Putusan 11//PID/2014/PT.TK) ?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) (Studi Putusan 11/PID/2014/PT.TK) ?

2. Ruang Lingkup Penelitian

8 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Saksi Dan Korban. Jakarta: Sinar Grafika, 2011,


(23)

6

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang hukum pidana pada umumnya dan khususnya mengenai analisis pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) (studi putusan 11/PID/2014/PN.TK). Penelitian ini akan dilakukan pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang pada tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini untuk mengetahui:

a. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) pada Putusan Nomor: 11/PID/2014/PT.TK.

b. Dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) pada Putusan Nomor: 11/PID/2014/PT.TK.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya pemahaman wawasan di bidang ilmu hukum pidana, khususnya mengenai pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest). b. Kegunaan praktis, yaitu memberikan masukan dan informasi kepada pihak-pihak yang membutuhkan seperti aparat penegak hukum mengenai penyelesaian tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) dan bermanfaat bagi masyarakat pada umum dan aparatur penegak hukum pada khususnya


(24)

7

untuk menambah wawasan dalam berpikir dan masukan dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.9

1. Teori Tujuan Pemidanaan

Pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka konsep pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam mengidentifikasi tujuan pemidanaan, konsep bertolak dari keseimbangan 2 (dua) sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan atau pembinaan individu pelaku tindak pidana.

Dalam Pasal 10 KUHP menyebutkan ada 2 (dua) jenis pidana yaitu: a. jenis pidana pokok meliputi:

1. pidana mati 2. pidana penjara 3. pidana kurungan 4. pidana denda

b. jenis pidana tambahan meliputi: 1. pencabutan hak-hak tertentu 2. perampasan barang-barang tertentu 3. pengumuman putusan hakim

Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yaitu:10

9 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV Rajawali, 1984, hlm.116. 10 Tri Andrisman, Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar


(25)

8

1. Teori Retributive (teori absolut atau teori pembalasan)

Menurut pandangan teori ini, pidana haruslah disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan, karena tujuan pemidanaan menurut mereka adalah memberikan penderitaan yang setimpal dengan tindak pidana yang telah dilakukan.

2. Teori Utilitarian (teori relatif atau teori tujuan)

Menurut pandangan teori ini, pemidanaan ini harus dilihat dari segi manfaatnya, artinya pemidanaan jangan semata-mata dilihat hanya sebagai pembalasan belaka melainkan harus dilihat pula manfaatnya bagi terpidana di masa yang akan datang. Teori ini melihat dasar pembenaran pemidanaan itu ke depan, yaknipada perbaikan para pelanggar hukum di masa yang akan datang. 3. Teori Gabungan

Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang akan diharapkan akan menunjang tercapainya tujuan tersebut, atas dasar itu kemudian baru dapat ditetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan.

2. Teori Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim mempunyai peran yang penting dalam penjatuhan pidana, meskipun hakim memeriksa perkara pidana di persidangan dengan berpedoman dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian dan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun Pasal 50 Undang-Undang


(26)

9

Kekuasaan Kehakiman menentukan hakim dalam memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan mengenai salah tidaknya seseorang atau benar tidaknya suatu peristiwa dan kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto,11 hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Keputusan mengenai peristiwa ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang ditujukan padanya;

b. Keputusan mengenai hukumannya ialah apakah perbuatan yang dilakukan merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana;

c. Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidana.

Masalah penjatuhan pidana sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim. Hakim dalam menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang mendukung pembuktian dan keyakinannya sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP yaitu:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

11 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan


(27)

10

Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu:12

1. Teori Keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban. 2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana.

3. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi sesemata-mata, tetapi harus dilengkapidengan ilmu pengetahuan dan wawasan keilmuan dalam menghadapi perkara yang harus diputus.

12 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar


(28)

11

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang ada setiap hari. Dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban atau masyarakat.

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti.13 Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam melakukan penelitian, maka akan dijelaskan terlebih dahulu tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah.


(29)

12

Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu tersendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.14

a. Pemidanaan adalah suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhkan sanksi pidana.15 b. Pelaku menurut Pasal 55 ayat (1) KUHP adalah mereka yang menyuruh

melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan, mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. c. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan

diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan merupakan perbuatan anti sosial.16

d. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin

14 Tim Penyusun Kamus, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997,hlm.32.

15 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina aksara, 1993,hlm.9. 16 Tri Andrisman. Op.cit., hlm.156.


(30)

13

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.17

e. Pencabulan menurut Pasal 289 KUHP adalah segala perbuatan yang yang melanggar kesusilaan atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.

f. Incest adalah hubungan seksual dalam keluarga atau yang terjadi di antara

anggota kerabat dekat, biasanya adalah kerabat inti seperti ayah, atau paman.18

E. Sistematika Penulisan

Sistematika suatu penulisan skripsi bertujuan untuk memberikan suatu gambaran yang jelas mengenai pembahasan skripsi yang dapat dilihat dari hubungan antar satu bagian dengan bagian lain dari seluruh isi tulisan dari sebuah skripsi dan untuk mengetahui serta untuk lebuh memudahkan memahami materi yang ada dalam skripsi ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab pendahuluan yang memuat tentang latar belakang penulisan, perumusan permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

17

Tri Andrisman, Hukum Peradilan Anak, Bandar Lampung, 2013, hlm.1.


(31)

14

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman ke dalam pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu menjelaskan tentang langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, data dan sumber data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan data dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pokok bahasan mengenai hasil penelitian yang terdiri dari karakteristik responden, pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga dan dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi yang berisikan secara singkat hasil pembahasan dari penelitian dan beberapa saran dari peneliti sehubungan dengan masalah yang dibahas, memuat lampiran-lampiran, serta saran-saran yang


(32)

15

berhubungan dengan penulisan dan permasalahan yang dibahas bagi aparat penegak hukum yang terkait.


(33)

II

. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Unsur- Unsur Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana atau yang sering disebut delik berasal dari istilah Belanda yaitu

strafbaar feit atau juga sering disebut delict. Istilah tersebut merupakan istilah

yang banyak dipergunakan dalam doktrin atau ilmu pengetahuan. Diantara para ahli ternyata banyak mempergunakan istilah yang berlainan sesuai dengan dasar pemikirannya masing-masing. Hal ini menimbulkan pendapat yang beraneka ragam istilah ataupun pengertian delik, seperti: “ perbuatan pidana”, “ peristiwa

pidana”, “tindak pidana”, “ perbuatan yang dapat dihukum”.1 Moeljatno

mempergunakan istilah “perbuatan pidana” untuk menggantikan istilah strafbaar

feit atau delict.

Perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut, atau dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana setelah perbuatan yang oleh suatu hukum dilarang dan


(34)

17

diancam pidana, kemudian larangan tersebut ditujukan pada perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.2 Simons menerangkan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.3

Van Hamel merumuskan strafbaar feit sebagai kelakuan orang (menselijke

gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang

patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Jika melihat pengertian-pengertian ini, maka dalam pokoknya ternyata:

1. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku. 2. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi. 4

Jonker dan Utrecht memandang rumusan Simons merupakan rumusan lengkap, yang meliputi :

1. Diancam dengan pidana oleh hukum 2. Bertentangan dengan hukum

3. Dilakukan oleh orang yang bersalah

4. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Secara garis besar unsur-unsur tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu Monistis dan Dualistis.

Masing- masing golongan yang mempunyai pendapat sendiri- sendiri yaitu

2Ibid., hlm. 34. 3Ibid.,


(35)

18

a. Simons, unsur- unsur tindak pidana adalah: 1. Perbuatan manusia (positif atau negatif) 2. Diancam dengan pidana

3. Melawan hukum

4. Dilakukan dengan kesalahan 5. Oleh yang bertanggung jawab

Selanjutnya Simons yang dikutip Sudarto, membedakan unsur- unsur Strafbaar

feit antara unsur subjektif dan unsur objektif.

a. Simons, unsur- unsur tindak pidana adalah: 1. Unsur subjektif yaitu :

a. Orang yang mampu bertanggung jawab

b. Kesalahan (dolus atau culfa) artinya perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.

2. Unsur objektif yaitu : a. Perbuatan orang b. Akibat yang kelihatan

c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu. b. Merger , menyebutkan unsur- unsur tindak pidana yaitu :

1 Perbuatan dalam arti luas oleh manusia 2 Bersifat melawan hukum

3 Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang 4 Diancam dengan pidana

c. Van Hamel, unsur- unsur tindak pidana adalah : 1 Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam UU 2 Bersifat melawan hukum

3 Dilakukan dengan kesalahan

d. Van Baumen, unsur-unsur tindak pidana adalah: 1 Perbuatan oleh manusia

2 Bersifat melawan hukum 3 Dilakukan dengan kesalahan5

Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman tanpa ada kesalahan” (anact

does not make a person gulity unless the mind is guilty or actus non facit reum

nisi mens sit area). Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang

diakibatkan oleh kesengajaan (dolus) atau kelapaan.

Sementara unsur objektif adalah unsur dari luar diri si pelaku yaitu:


(36)

19

1. Perbuatan manusia berupa: a. act, yaitu perbuatan aktif

b. ommission, yaitu perbuatan pasif (perbuatan yang membiarkan atau

mendiamkan)

2. Akibat (result) perbuatan manusia.

Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan sebagainya.6

B. Tindak Pidana Pencabulan

1. Pengertian Pencabulan

Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual dengan orang yang tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun wanita, dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai berikut: pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan santun, tidak susila, melanggar kesusilaan.

Menurut Moeljatno dikatakan sebagai segala perbuatan yang melanggar susila atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu kekelaminannya. Definisi yang diungkapkan Moeljatno lebih menitikberatkan pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan nafsu kelaminanya, dimana langsung atau tidak langsung merupakan perbuatan yang melanggar susila dan dapat dipidana.

6


(37)

20

R. Soesilo memberikan penjelasan terhadap perbuatan cabul yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.

Hoge Raad memberikan penjelasan terhadap perbuatan cabul yaitu seorang laki-laki merabai badan seseorang anak laki-laki-laki-laki dan kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat mengelus teteknya dan menciumnya. Pelaku melakukan hal tersebut untuk memuaskan nafsu birahinya.7

Pasal 82 UU N0. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menetapkan bahwa: setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak 300 juta rupiah dan paling sedikit 60 juta rupiah.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencabulan

Untuk dapat menyatakan seseorang bersalah telah melakukan perbuatan cabul terdapat pada Pasal 289 KUHP berbunyi sebagai berikut: Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun. Adapun unsur-unsur dalam tindak pidana pencabulan yaitu:8

a. Barangsiapa

7 Tri Andrisman, Op.cit,. hlm.9.

8

Lamintang, Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013, hlm.51


(38)

21

Sebagian pakar berpendapat bahwa “barangsiapa” bukan merupakan unsur, hanya

memperlihatkan si pelaku (dader) adalah manusia, tetapi perlu diuraikan lagi manusia siapa dan beberapa orang, jadi indentitas “barangsiapa” tersebut harus jelas.

b.Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

Dengan kekerasan dimaksudkan yaitu suatu perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang berlebihan. Pasal 89 KUHP memperluas pengertian kekerasan sehingga memingsangkan atau melemahkan orang, disamakkan dengan melakukan kekerasan. Ancaman kekerasan tersebut ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga berbuat lain tidak memungkinkan baginya selain membiarkan dirinya untuk disetubuhi.

c. Memaksa

Perbuatan memaksa ini harus di tafsirkan sebagai ssuatu perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut orang lain.

d.Seseorang

Merupakan individu yang mempunyai hak asasi yang sama dengan yang lainnya dan berhak untuk hidup secara bebas dan mendapatkan perlindungan hukum.

e. Melakukan perbuatan cabul

Suatu perbuatan yang dilakukan terhadap orang lain akibat dorongan seksual yang ada pada diri untuk melakukan perbuatan cabul untuk memuaskan nafsu birahinya.


(39)

22

Berdasarkan penjelasan tersebut penulis menarik kesimpulan mengenai perbuatan cabul yaitu segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang didorong oleh keinginan seksual yang melanggar kesusilaan untuk melakukan hal-hal yang dapat membangkitkan hawa nafsu birahi kelamin sehingga menimbulkan kepuasan pada dirinya. Dasar hukum yang mengatur mengenai perbuatan cabul dalam KUHP terdapat dalam Pasal 289, 290, 292, 293, 294, 295 dan 296.9

C. Tindak Pidana Incest

Belakangan ini, banyak sekali ditemukan baik di media maupun kehidupan nyata, seorang anak menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan anggota keluarga sendiri yang lazim disebut incest. Incest atau inses dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah hubungan seksual antara orang-orang yang bersaudara dekat yang dianggap melanggar adat, hukum dan agama.10

Secara umum ada dua kategori incest. Pertama parental incest, yaitu hubungan antara orang tua dan anak. Kedua sibling incest, yaitu hubungan antara saudara kandung. Kategori incest dapat diperluas lagi dengan memasukkan orang-orang lain yang memiliki kekuasaan atas anak tersebut, misalnya paman, bibi, kakek, nenek, dan sepupu.11

Menurut Sawitri Supardi Sadarjoen, incest adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan yamg memiliki ikatan keluarga yang kuat, seperti

9Ibid., hlm.66. 10 Mayos, Op.cit.,

11 Sudadi, Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Kandung, hhtp://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx/tab.


(40)

23

misalnya ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama keluarga kandung.12

Sedangkan menurut Kartini Kartono, incest adalah hubungan seks diantara pria dan wanita di dalam atau diluar ikatan perkawinan, dimana mereka terkait dalam hubungan kekerabatan atau keturunan yang yang dekat sekali.13

Selanjutnya pendapat incest yang dikemukakan oleh Supratik mengatakan bahwa: taraf koitus antara anggota keluarga, misalnya antara kakak lelaki dengan adik perempuannya yang dimaksud adalah hubungan seksual.Atau antara ayah dengan anak perempuannya, yang dilarang oleh adat dan kebudayaan.14

Menurut pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa incest adalah hubungan seksual yang terjadi di antara anggota kerabat dekat, biasanya adalah kerabat inti seperti ayah, atau paman. Incest dapat terjadi suka sama suka yang kemudian bisa terjalin dalam perkawinan dan ada yang terjadi secara paksa yang lebih tepat disebut dengan perkosaan.

Incest digambarkan sebagai kejadian relasi seksual; diantara individu yang

berkaitan darah, akan tetapi istilah tersebut akhirnya dipergunakan secara lebih luas, yaitu untuk menerangkan hubungan seksual ayah dengan anak, antar saudara. Incest merupakan perbuatan terlarang bagi hampir setiap lingkungan budaya.

Freud berkesimpulan bahwa dasar tabu incest adalah apabila incest dibenarkan maka akan terjadi persaingan perebutan pasangan dalam lingkungan, antara

12

I Wayan Artika, Incest, Jakarta: Iterprebook, 2008, hlm. 10

13 Ibid.,

14


(41)

24

ibu-saudara-saudara. Jelas bahwa persaingan atau perbuatan semacam itu akan membawa kehancuran keluarga dan suku bangsa sendiri.15

Kemudian Freud menambahkan bahwa disposisi psikis yang dibawa sejak lahir akan tetap efektif apabila mendapat persaingan tertentu daripada proses percampuran darah antara individu yang tidak ada kaitan darahnya. Selain itu, tidak ada satu generasi pun yang akan mampu mempertahankan disposisi psikis yang positif dalam garis keturunan yang sama.16

Fakta biologis juga memperkuat tabu incest karena kematian, retardasi mental, dan kelalaian congenital sangat banyak terjadi sebagai akibat incest. Walaupun banyak faktor yang memungkinkan terjadi incest. Lustig menyatakan terdapat lima kondisi gangguan keluarga yang memungkinkan terjadinya incest, yaitu:

1. Keadaan terjepit, dimana anak perempuan menjadi figure perempuan utama yang mengurus keluarga dan rumah tangga sebagai pengganti ibu.

2. Kesulitan seksual pada orang tua, ayah tidak mampu mengatasi dorongan seksualnya.

3. Ketidakmampuan ayah untuk mencari pasangan seksual di luar rumah karena kebutuhan untuk mempertahankan kestabilan sifat patriachat-nya.

4. Ketakutan akan perpecahan keluarga yang memungkinkan beberapa anggota keluarga untuk lebih memilih desintegrasi struktur daripada pecah sama sekali. 5. Sanksi yang terselubung terhadap ibu yang tidak berpartisipasi dalam tuntutan

peranan seksual sebagai istri.

15

Alfano Arief, Op.cit. hlm. 3

16


(42)

25

Faktor kondisi sosial yang sering memungkinkan pelanggaran incest adalah rumah yang sempit dengan penghuni yang berdesakan, alkoholisme, isolasi geografis, sehingga sulit mencari hubungan dengan anggota keluarga yang lain.17

Menurut Kartini Kartono penyebab incest adalah antara lain ruangan rumah yang tidak memungkinkan orang tua, anak, dan saudara pisah kamar. Sedangkan hubungan incest antara ayah dengan anak perempuannya dapat terjadi sehubungan dengan keberadaan penyakit mental yang serius pada pihak ayah. Kartini kartono menambahkan bahwa incest banyak terjadi dikalangan rakyat dari tingkat kalangan sosial-ekonomi yang rendah.18

Jenis-jenis incest berdasarkan penyebabnya adalah:

1. Incest yang terjadi secara tidak sengaja, misalnya kakak-adik lelaki perempuan

remaja yang tidur sekamar, bisa tergoda melakukan eksperimentasi seksual sampai terjadi incest.

2. Incest akibat psikopatologi berat. Jenis ini biasa terjadi antara ayah yang

alkoholik atau psikopatik dengan anak perempuannya. Penyebabnya adalah kondornya control diri akibat alkohol atau psikopati sang ayah.

3. Incest akibat pedofilia, misalnya seorang lelaki yang haus menggauli anak-anak

perempuan dibawah umur, termasuk anaknya sendiri.

4. Incest akibat contoh buruk dari ayah. Seorang lelaki menjadi senang melakukan

incest karena meniru ayahnya melakukan perbuatan yang sama dengan kakak

atau adik perempuannya.

17Alfano Arif, Op.cit., hlm. 20


(43)

26

5. Incest akibat patologi keluarga dan hubungan perkawinan yang tidak harmonis.

Seorang suami-ayah yang tertekan akibat sikap memusuhi serba mendominasi dari istrinya bisa terpojok melakukan incest dengan anak perempuannya.

Bentuk-bentuk incest tidak terbatas hanya dalam bentuk kekerasan seksual secara fisik, namun juga psikis dan mental yang mencakup rayuan dan iming-iming. Berikut beberapa bentuk kekerasan seksual yang termasuk incest:

1. Ajakan atau rayuan berhubungan seks. 2. Sentuhan atau rabaan seksual.

3. Penunjukan alat kelamin. 4. Penunjukan hubungan seksual. 5. Memaksa melakukan mastrubasi.

6. Meletakkan atau memasukkan benda-benda atau jari tangan ke anus atau vagina.

7. Berhubungan seksual (termasuk sodomi).

8. Mengambil atau menunjukkan foto anak kepada orang lain tanpa busana atau ketika berhubungan seksual.

Semakin maraknya kasus incest memperlihatkan betapa rentannya posisi seorang anak untuk menjadi korban kekerasan seksual. Terlebih lagi pelakunya adalah orang yang seharusnya menjadi pelindungnya. Tindak pidana incest itu terjadi bukan hanya karena ada niat pelaku tetapi ada juga adanya kesempatan.19

19 Lutfi, Hubungan Seksual Sedarah,


(44)

27

D. Tinjauan Mengenai Anak

1. Pengertian Anak

Secara umum terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, Undang-Undang Nomor 4 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Perlindungan Anak dan Berbagai peraturan lain yang berkaitan dengan masalah anak.20

1. Menurut Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah "Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.21

2. Menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa : “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.” Penjelasan UU tersebut menyatakan bahwa : Batas umur 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut.

3. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa perkawinan hanya dizinkan jika pihak

20

Tri Andrisman, Op.cit, hlm.38.

21


(45)

28

pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

4. Anak menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

5. Menurut Stbl. 1931 No. 54. ialah :

a) Mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan sebelumnya belum pernah kawin.

b) Mereka yang telah kawin sebelum mencapai umur 21 tahun dan kemudian bercerai, tidak kembali lagi menjadi di bawah umur.

c) Yang dimaksud dengan perkawinan bukanlah perkawinan anak-anak. Dengan demikian barang siapa yang memenuhi syarat tersebut (1) di atas, disebut anak-anak dibawah umur atau secara mudahnya disebut anak- anak. 6. Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia adalah sebagai berikut: Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.

Dengan demikan apabila ditinjau dari berbagai pengertian di atas, anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang yang belum berusia 18 tahun dan belum menikah termasuk dalam kandungan.22

22


(46)

29

2. Perlindungan Anak

Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dijelaskan mengenai perlindungan anak yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.23

Pengertian perlindungan anak juga diatur di dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 yang menjelaskan bahwa upaya perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip Konvensi Hak-hak Anak yang meliputi:

1) non diskriminasi

2) kepentingan yang terbaik bagi anak

3) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan terhadap pendapat anak.

Setiap anak yang diasuh sebagai anak angkat juga berhak dalam memperoleh perlindungan yang kewajibannya dibebankan kepada orang tua angkatnya. Berdasarkan Pasal 13 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak angkat berhak memperoleh perlakuan yang baik dan memperoleh perlindungan dari deskriminasi, eksplorasi sosial dan seksual, penelantaran, kekejaman kekerasan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. Hal ini juga diatur dalam Pasal 9 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang

23

Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Saksi Dan Korban, Sinar Grafika: Jakarta, 2011, hlm.7.


(47)

30

menyatakan bahwa orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak secara rohani, jasmani maupun sosial.24

Perlindungan hak asasi anak adalah meletakkan hak anak ke dalam status sosial anak dalam kehidupan masyarakat, sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan anak yang mengalami masalah sosial. Perlindungan hak asasi anak dapat diberikan dengan cara yang sistematis, melalui serangkaian program, stimulasi, latihan, pendidikan, bimbingan kerohanian, permainan dan dapat juga diberikan melalui bantuan hukum yang dinamakan Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak.

Berkaitan dengan korban dari serangkaian tindak pidana yang diderita oleh anak maka negara melalui komisi perlindungan anak secara langsung memonitor tentang kondisi tersebut. Hal ini terlihat dalam peran aktif komisi perlindungan anak dalam bentuk advokasi terhadap anak apabila terdapat sebuah kasus yang menyangkut anak. Sedangkan dalam kasus tindak pidana kesusilaan yang korbannya anak-anak di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 17 ayat (2) menjelaskan bahwa ”setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan identitasnya agar tidak diketahui oleh masyarakat luas. Hal ini menyangkut perlindungan terhadap keadaan psikis anak terhadap publisitas media yang dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai opini masyarakat tentang korban anak

24


(48)

31

tersebut dan hal ini tentunya dapat mempengaruhi perkembangan psikis anak yang

menjadi korban tindak pidana tersebut.”25

E. Tinjauan Mengenai Pemidanaan

L.H.C Hullsman pernah mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the

sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction and

punishment).26 Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan

diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.

Barda Nawawi Arief bertolak dari pengertian di atas menyatakan bahwa apabila aturan- aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.

25

Ibid., hlm.35

26

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm.23.


(49)

32

Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum pidana substantif tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP Buku I dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum.27

Pada dasarnya penjatuhan pidana atau pemidanaan dibagi atas tiga teori, yaitu: 1. Teori Retributive atau Teori Pembalasan

Teori retributive atau teori pembalasan ini menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk:

a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;

d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

e. Pidana melihat ke belakang, merupakan pelecehan murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.28

2. Teori Utilitarian atau Teori Tujuan

Teori utilitarian menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk: a. Pencegahan (prevention);

27

Ibid., hlm.135.

28

Muladi dan Barna Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1998, hlm.17.


(50)

33

b. Pencegahan bukan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia;

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;

d. Pidana harus ditetapkan berdarakan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;

e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif) pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.29

3. Teori Gabungan

Ide dasar dari teori gabungan ini, pada jalan pikiran bahwa pidanaitu hendaknya merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan perlindungan masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan dan keadaan si pembuatnya.

Aliran gabungan ini berusaha untuk memuaskan semua penganut teori pembalasan maupun tujuan. Untuk perbuatan jahat, keinginan masyarakat untuk membalas dendam direspon, yaitu dengan dijatuhi pidana penjara terhadap penjahat/narapidana, namun teori tujuanpun pendapatnya diikuti, yaitu terhadap penjahat/narapidana diadakan pembinaan, agar sekeluarnya dari penjara tidak melakukan tindak pidana lagi.30

29

Ibid.

30

Tri Andrisman, Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2009, hlm. 33.


(51)

34

Ilmu pengetahuan tentang hukum pidana (positif) dapat dikenal beberapa asas yang sanagat penting untuk diketahui karena dengan asas-asas yang ada itu dapat membuat suatu hubungan dam susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat dipergunakan secara sistematis, kritis dan harmonis. Adapun asas-asas yang dimaksud yaitu:

a.Asas Legalitas

Asas legalitas tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas legalitas yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dirumuskan di dalam bahasa latin

yaitu: “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”. Artinya secara

harafiah adalah: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali telah ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang”.31 Asas legalitas dalam KUHP

dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) yaitutida suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.

Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia membawa konsekuensi dalam penerapan hukum pidana, baik dalam praktek peradilan maupun masyarakat. Sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) konsekuensi utama dianut asas legalitas ini, yaitu:32

1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu dalam undang-undang pidana.

2. Tidak boleh menggunakan analogi di dalam menerapkan undang-undang pidana.

3. Undang-undang pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif).

31

Ibid., hlm. 37.


(52)

35

b. Asas Kesalahan

Dalam hukum pidana dikenal asas kesalahan yaitu tiada pidana tanpa kesalahan (geenstraf zonder schuld). Walaupun asas ini tidak tercantum secara tegas dalam KUHP maupun peraturan lainnya, berlakunya asas ini tidak diragukan lagi. Berdasarkan asas ini ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk seseorang dapat dipidana yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang (actus reus) dana ada sikap batin yang jahat/tercela (mens rea). Actus reus tidak hanya menunjuk pada suatu perbuatan (an act) dalam arti biasa, tetaoi mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi:

a. Perbuatan dari si terdakwa.

b. Hasil atau akibat dari perbuatannya itu.

c. Keadaan-keadaan yang tercantum atau terkandung dalam perumusan tindak pidana.33

33 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013,


(53)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.1

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

1. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan penelitian ini. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelass mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

2. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan dan berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di

1


(54)

37

lapangan baik berupa pendapat, sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang didasarkan pada identifikasi hukm dan efektifitas hukum.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.2

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu: 1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan dengan menggunakan metode wawancara atau interview kepada para para pelaku tindak pidana incest (terpidana), serta lainnya yang relevan dengan pokok permasalahan.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh penulis melalui penelusuran literatur atau kepustakaan, peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen-dokumen, arsip-arsip yang berhubungan dengan pokok materi pembahasan yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 3. Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.


(55)

38

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. 5. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan- bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. Bahan hukum sekunder penelitian ini yaitu Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 11/PID/2014/PT.TK.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus besar bahasa Indonesia, media massa, artikel, majalah, paper, jurnal, yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

C. Penentuan Narasumber

Kajian lebih lanjut penentuan populasi dan sampel sangat penting dalam penelitian. Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama3. Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi adalah Penyidik Kepolisian Polresta Bandar Lampung, Hakim dari Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Lampung dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(56)

39

Adanya populasi dalam penelitian ini secara otomatis akan menimbulkan adanya sampel. Sampel yaitu sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi4. Dalam penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti menggunakan metode pengambilan sampel Purposive Sampling atau tidak acak yaitu yang berarti dalam menetukan sampel disesuaikan dengan tujuan yang telah dicapai atau dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang hendak dicapai dan kedudukan masing-masing sampel yang dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang hendak diteliti atau dibahas. Dalam hal ini penulis akan memilih petugas yang benar-benar memiliki kualifikasi dalam pelaksanaan tugasnya sehingga yang akan dijadikan sampel dan menjamin penelitian.

Adapun responden dalam penelitian ini sebanyak 5 (lima) orang, yaitu: 1. Penyidik pada Kepolisian Polresta Bandar Lampung = 1 orang 2. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang

3. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung = 1 orang

4. Dosen bagian Hukum Pidana Universitas Lampung = 1 orang +

Jumlah = 5 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan mengunakan dua cara sebagai berikut, yaitu:

4 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: Ghalia Indonesia,


(57)

40

a. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan yaitu sumber data lapangan yang dilakukan dengan wawancara

(interview) dengan mengajukan pertanyaan lisan atau tertulis sebagai salah satu

pertimbangan hukum dari penegak hukum dalam menangani kasus ini dan masyarakat turut diresahkan akibat terjadinya tindak pidana ini.

b. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan yaitu sumber data yang diperoleh dari hasil penelaahan beberapa literatur dan sumber bacaan lainnya mendukung penulisan ini dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip dari berbagai literatur, perundang-undangan dan bahan tertulis yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa lagi kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data, yaitu mengklasifikasikan/mengelompokkan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data. c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada

setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.


(58)

41

E. Analisis Data

Data yang diperoleh, baik secara data primer maupun data sekunder di analisis dengan analisis kualitatif yang artinya hasil penelitrian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk di interpretasikan dan ditarik kesimpulan mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest). Dari hasil analisis dilanjutkan dengan menarik kesimpulan induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan.


(59)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemidanaan bagi pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) dalam perkara Nomor: 11/PID/2014/PT.TK telah dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan sudah sesuai dengan jalur yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sepanjang berkaitan dan memenuhi unsur-unsur terjadinya pencabulan terhadap anak yang diatur dalam Undang-Undand Nomor 23 tahun 2002 maka Undang-Undang inilah yang digunakan dan sebaliknya apabila tidak memenuhi unsur yang diatur dalam Pasal 82 tersebut, maka putusan dijatuhkan berdasarkan KUHP. Menurut hakim penjatuhan putusan yang setimpal atau adil bukan memberikan pidana seberat-beratnya pada si pelaku, tetapi putusan tersebut harus dapat mencerminkan rasa keadilan dan kepatutan dalam masyarakat. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest)


(60)

71

menggunakan teori absolut (teori pembalasan), teori utilitarian (teori tujuan), dan teori gabungan.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) dalam perkara Nomor: 11/PID/2014/PT.TK., yaitu dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Hakim memeriksa dan memutus perkara sebelum menjatuhkan pidana telah mendengarkan keterangan-keterangan saksi-saksi dan menyesuaikan keterangan saksi-saksi satu sama lain sehingga dapat menyimpulkan suatu fakta hukum atau peristiwa hukum sebagaimana yang terjadi. Hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum dengan pertimbangan kondisi pelaku dan dengan harapan pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pemidanaan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Mackenzei, yaitu teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan intuisi, serta teori ratio decidendi.

B. Saran

Saran yang dapat diberikan penulis berkaitan dengan analisis pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) (Studi Putusan 11/PID/2014/PT.TK) sebagai berikut:

1. Hakim harus lebih memaksimalkan lagi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, karena pidana ini sudah terlalu ringan. Perbuatan terdakwa mengakibatkan kerusakan organ vital dan kerugian psikis yang berarti dan fatal bagi korban serta telah merusak masa depan korban. Keterangan para saksi


(61)

72

menyatakan bahwa benar terdakwa telah melakukan perbuatan tersebut sehingga hukuman yang pantas bagi pelaku menurut penulis adalah 10 tahun.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) dalam perkara Nomor: 11/PID/2014/PT.TK., yaitu dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Hakim memeriksa dan memutus perkara sebelum menjatuhkan pidana telah mendengarkan keterangan-keterangan saksi-saksi dan menyesuaikan keterangan saksi-saksi satu sama lain sehingga dapat menyimpulkan suatu fakta hukum atau peristiwa hukum sebagaimana yang terjadi. Hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum dengan pertimbangan kondisi pelaku dan dengan harapan pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pemidanaan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Mackenzei, yaitu teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan intuisi, serta teori ratio decidendi.

B. Saran

Saran yang dapat diberikan penulis berkaitan dengan analisis pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) (Studi Putusan 11/PID/2014/PT.TK) sebagai berikut:

1. Hakim harus lebih memaksimalkan lagi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, karena pidana ini sudah terlalu ringan. Perbuatan terdakwa mengakibatkan kerusakan organ vital dan kerugian psikis yang berarti dan fatal bagi korban serta telah merusak masa depan korban. Keterangan para saksi


(62)

73

menyatakan bahwa benar terdakwa telah melakukan perbuatan tersebut sehingga hukuman yang pantas bagi pelaku menurut penulis adalah 10 tahun.

2. Hakim dalam memberikan pertimbangan putusan pemidanaan, harus lebih hati- hati dalam mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan atau hal-hal yang meringankan terdakwa serta sanksi pidana yang dijatuhkannya. Bagaimanapun juga hakim mempunyai andil besar dalam menurunnya atau meningkatnya angka kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Artinya bahwa hakim harus mampu memberi efek, baik bagi terdakwa untuk tidak melakukan kembali perbuatannya maupun bagi masyarakat agar takut melakukan tindak pidana.


(1)

menggunakan teori absolut (teori pembalasan), teori utilitarian (teori tujuan), dan teori gabungan.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) dalam perkara Nomor: 11/PID/2014/PT.TK., yaitu dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Hakim memeriksa dan memutus perkara sebelum menjatuhkan pidana telah mendengarkan keterangan-keterangan saksi-saksi dan menyesuaikan keterangan saksi-saksi satu sama lain sehingga dapat menyimpulkan suatu fakta hukum atau peristiwa hukum sebagaimana yang terjadi. Hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum dengan pertimbangan kondisi pelaku dan dengan harapan pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pemidanaan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Mackenzei, yaitu teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan intuisi, serta teori ratio decidendi.

B. Saran

Saran yang dapat diberikan penulis berkaitan dengan analisis pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) (Studi Putusan 11/PID/2014/PT.TK) sebagai berikut:

1. Hakim harus lebih memaksimalkan lagi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, karena pidana ini sudah terlalu ringan. Perbuatan terdakwa mengakibatkan kerusakan organ vital dan kerugian psikis yang berarti dan fatal bagi korban serta telah merusak masa depan korban. Keterangan para saksi


(2)

72

menyatakan bahwa benar terdakwa telah melakukan perbuatan tersebut sehingga hukuman yang pantas bagi pelaku menurut penulis adalah 10 tahun.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) dalam perkara Nomor: 11/PID/2014/PT.TK., yaitu dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Hakim memeriksa dan memutus perkara sebelum menjatuhkan pidana telah mendengarkan keterangan-keterangan saksi-saksi dan menyesuaikan keterangan saksi-saksi satu sama lain sehingga dapat menyimpulkan suatu fakta hukum atau peristiwa hukum sebagaimana yang terjadi. Hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum dengan pertimbangan kondisi pelaku dan dengan harapan pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pemidanaan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Mackenzei, yaitu teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan intuisi, serta teori ratio decidendi.

B. Saran

Saran yang dapat diberikan penulis berkaitan dengan analisis pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) (Studi Putusan 11/PID/2014/PT.TK) sebagai berikut:

1. Hakim harus lebih memaksimalkan lagi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, karena pidana ini sudah terlalu ringan. Perbuatan terdakwa mengakibatkan kerusakan organ vital dan kerugian psikis yang berarti dan fatal bagi korban serta telah merusak masa depan korban. Keterangan para saksi


(3)

menyatakan bahwa benar terdakwa telah melakukan perbuatan tersebut sehingga hukuman yang pantas bagi pelaku menurut penulis adalah 10 tahun.

2. Hakim dalam memberikan pertimbangan putusan pemidanaan, harus lebih hati- hati dalam mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan atau hal-hal yang meringankan terdakwa serta sanksi pidana yang dijatuhkannya. Bagaimanapun juga hakim mempunyai andil besar dalam menurunnya atau meningkatnya angka kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Artinya bahwa hakim harus mampu memberi efek, baik bagi terdakwa untuk tidak melakukan kembali perbuatannya maupun bagi masyarakat agar takut melakukan tindak pidana.


(4)

1

DAFTAR PUSTAKA

a. Literatur

Andrisman, Tri. 2011. Delik Tertentu dalam KUHP. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

---. 2011. Asas-asas dan dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

---. 2013. Hukum Peradilan Anak. Bandar Lampung.

Doerner William G. & Steven P. Lab. 1998. Victimology, 2nd edition, Anderson Publishing co America.

Gultom, Maidin. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung: Redika Aditama.

Lamintang. 1990. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru. ---. 2013. Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku

di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Marpaung, Lede. 2008. Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Jakarta: Sinar Grafika. Moeljatno. 1993. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina aksara.

Muladi dan Barna Nawawi Arief. 1998. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.

Nawawi Arief, Barda. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

---. 2006. Pola Pemidanaan Menurut KUHP dan Konsep KUHP, Departemen Kehakiman. Bandung: Citra Aditya Bakti.

---. 2013. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.


(5)

Schafer Stephen. 1969. The Victim and His Criminal a Study in Functional Responsibilit Published by Random House Inc., in New York and simultaneously inToronto. Canada: Random House of Canada Limited. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1987. Metode Penelitian Survey. Jakarta:

Ghalia Indonesia.

Soekanto, Soerjono. 1984. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV Rajawali. ---. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Sudarto. 1986. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Bandung: Sinar Baru.

Sunggono, Bambang. 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tuti, Titik Triwulan. 2010. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945. Jakarta Kencana: Jakarta.

Wayan Artika, I. 2008. Incest. Jakarta: Iterprebook.

Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi Perlindungan Saksi Dan Korban. Jakarta: Sinar Grafika.

b. Peraturan Perundang-undangan

Tim Redaksi. 2010. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jakarta: Sinar Grafika. Tim Redaksi. 2009. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak. Bandung: Fokus Media.

Tim Redaksi. 2009. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta: Sinar Grafika.

Tim Redaksi. 2012. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Jakarta: Sinar Grafika.

Tim Redaksi. 2013. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Bandung: Fokus Media.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

c. Sumber lain


(6)

Tim Penyusun Kamus, 1997. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Mayos. Tindak Pidana Incest Masih Menonjol.

http://m.hukumonline.com/berita/bacahol9428/tindak-pidana-incesti-menonjol, diakses Minggu 15 Juni 2014, 13.00 WIB.

Alfano Arif. Pemeriksanaan Tindak Pidana Incest dan Pemerkosaan. http://ojs.unud.ac.id/index.php/6188/4682, diakses Senin 16 Juni, 12.30 WIB.