INTERNATIONAL DISPUTE SETTLEMENT IN THE FRAMEWORK OF ASEAN (CASE STUDY OF INVASION OF VIETNAM TO CAMBODIA) PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL DALAM KERANGKA ASEAN (STUDI KASUS INVASI VIETNAM KE KAMBOJA)

(1)

ABSTRACT

INTERNATIONAL DISPUTE SETTLEMENT IN THE FRAMEWORK OF ASEAN (CASE STUDY OF INVASION OF VIETNAM TO CAMBODIA)

by

Aryo Adityo Novran

International disputes that arised must be resolved immediately so it will not interfere the security of the international community. According to the international law, international dispute resolution can be resolved through peaceful settlement, one of them is through the framework of regional organizations, this was done by ASEAN in resolving the case of the invasion of Vietnam to Cambodia, this case is motivated by the revolution of the government of Cambodia under Pol Pot's leadership that committed genocide against its people and the people of Vietnamese ancestry in Cambodia. The problems in this thesis were, first, how is the International dispute resolution mechanism within the framework of ASEAN. Second, how is the settlement of the invasion case of Vietnam to Cambodia by ASEAN.

The research method used was the normative legal research method with data collection procedures was the main source of law materials containing normative rules of law. Data acquired and processed in normative legal research were secondary data derived from primary legal materials and secondary legal materials. Methods of data collection and processing were done by studying the literature, articles, and other reading material related to this thesis and done through literature searches to the library of the University of Lampung, Lampung Regional Library and Internet sites related to the writing of this thesis.

The results of the research showed that, first, international dispute resolution mechanisms within the framework of ASEAN had several instruments of dispute resolution which aimed to keep the stability of Southeast Asia, through Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), Protocol on Dispute Settlement Mechanism 1996 (Protokol DSM 1996), Declaration of ASEAN Concord II 2003


(2)

(Bali Concord II), The ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism, 2004 (Protocol Vientiane 2004) and ASEAN Charter 2007. The dispute resolution instruments held by ASEAN was to perform diplomatic dispute resolution, which emphasized dispute resolution through negotiation and consultation. Each instrument has a scope object of dispute and different procedures. Second, the settlement of Vietnamese invasion to Cambodia case by ASEAN was by implementing the dispute settlement provisions of TAC in 1976, ASEAN was taking a role by trying to reunite the disputed parties to find the middle ground in order to resolve the case by meeting called the Jakarta Informal Meetings (JIM I) and followed by JIM II which resulted in some agreement, however the agreement generated by JIM I and JIM II were not going well, then the dispute was brought to the United Nations. Therefore, it was needed the strong and firm regulation in the implementation of the agreements and decisions generated by the ASEAN dispute settlement.


(3)

ABSTRAK

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL DALAM KERANGKA ASEAN (STUDI KASUS INVASI VIETNAM KE KAMBOJA)

Oleh

Aryo Adityo Novran

Sengketa internasional yang timbul harus cepat diselesaikan agar tidak mengganggu keamanan masyarakat internasional. Menurut hukum internasional penyelesaian sengketa internasional dapat diselesaikan melalui cara-cara penyelesaian secara damai salah satunya adalah melalui kerangka organisasi regional, hal ini yang dilakukan ASEAN dalam menyelesaikan kasus invasi Vietnam ke Kamboja, kasus ini dilatarbelakangi oleh revolusi yang dilakukan pemerintah Kamboja di bawah kepemimpinan Pol Pot yang berujung dengan pembantaian terhadap rakyatnya dan rakyat keturunan Vietnam di Kamboja. Permasalahan dalam skripsi ini adalah pertama bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa internasional dalam kerangka ASEAN. Kedua, bagaimana penyelesaian kasus invasi Vietnam ke Kamboja oleh ASEAN.

Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan prosedur pengumpulan data yang sumber utamanya adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat hukum normatif. Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder yang berasal dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Metode pengumpulan dan pengolahan data dilakukan dengan cara mempelajari literatur, artikel, serta bahan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini yang dilakukan melalui penelusuran kepustakaan ke perpustakaan Universitas Lampung, Perpustakaan Daerah Lampung dan situs-situs internet yang berhubungan dengan penulisan dalam skripsi ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, mekanisme penyelesaian sengketa internasional dalam kerangka ASEAN memiliki beberapa instrumen penyelesaian sengketa yang tujuannya menjaga kestabilitasan di kawasan Asia Tenggara, yaitu melalui Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), Protocol on Dispute Settlement Mechanism 1996 (Protokol DSM 1996), Declaration of ASEAN Concord II 2003 (Bali Concord II), The ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism, 2004 (Protokol Vientiane 2004) dan ASEAN Charter atau Piagam ASEAN 2007. Instrumen-instrumen penyelesaian sengketa yang dimiliki oleh ASEAN tersebut memberikan upaya penyelesaian sengketa


(4)

secara diplomasi, yang lebih mengedepankan penyelesaian sengketa melalui negosiasi dan konsultasi. Masing-masing instrumen memiliki ruang lingkup objek sengketa dan prosedur yang berbeda. Kedua, penyelesaian kasus invasi Vietnam ke Kamboja oleh ASEAN dengan mengimplementasikan ketentuan penyelesaian sengketa TAC 1976, yaitu ASEAN mengambil peran dengan berupaya mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk mencari jalan tengah menyelesaikan kasus tersebut dengan mengadakan pertemuan yang disebut Jakarta Informal Meeting (JIM I) dan dilanjutkan dengan JIM II yang menghasilkan beberapa kesepakatan, akan tetapi kesepakatan yang dihasilkan JIM I dan JIM II tidak berjalan dengan baik, kemudian sengketa ini di bawa ke PBB. Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan yang kuat dan tegas dalam pelaksanaan kesepakatan maupun putusan yang dihasilkan oleh penyelesaian sengketa ASEAN.


(5)

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL DALAM KERANGKA ASEAN (STUDI KASUS INVASI VIETNAM KE KAMBOJA)

Oleh

ARYO ADITYO NOVRAN

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(6)

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL DALAM KERANGKA ASEAN (STUDI KASUS INVASI VIETNAM KE KAMBOJA)

(Skripsi)

Oleh

ARYO ADITYO NOVRAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(7)

Judul Skripsi

Nama Mahasiswa

No. Pokok Mahasiswa Bagian

Fakultas

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL DALAM KERANGKA ASEAN

(Studi Kasus Invasi Vietnam ke kamboja)

t012011128

Hukum Internasional

Hukum

,{d

MENYETUJTII

1. Komisi P,embimbing

Desy

Chu

ni,

s.H.,

M.H.

NP

1981 2006042 027

2. Ketua Bagian Hukum Internasional ida, S.H., M,II.

19s91025 198503

20t4

AMul l!ftthalib

Tahar, S.H.o M.H. NrP 19571022198503

r

002


(8)

1.

Tim Penguji

Ketua

MENGESAHKAN

:

Melly Aida,

S.H.,

M.H.

Sekretaris/Anggota : Desy Churul

Aini,

S.H.,

M.H.

S.H,

M.Sq_#fl,-Penguji

Utama

: Abdul

Muttalib Tahar, S.H,, M.H.


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 3 November 1992. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara yang merupakan anak laki-laki kedua dari pasangan Bapak Suranto dan Ibu Fauzia.

Penulis mengawali jenjang pendidikan pada tahun 1997 di Taman Kanak-Kanak Xaverius Bandar Lampung dan diselesaikan pada tahun 1998. Kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Dasar Al-Azhar 2 Bandar Lampung yang di selesaikan pada tahun 2004. Penulis masuk ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 29 Bandar Lampung yang kemudian diselesaikan pada tahun 2007, setelah itu melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Bandar Lampung dan Lulus pada tahun 2010.

Pada tahun 2010 Penulis terdaftar sebagai salah satu mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui Jalur SNMPTN, dan untuk lebih mematangkan ilmu hukum yang diperoleh, penulis mengkonsentrasikan diri pada bagian Hukum Internasional. Pada bulan Januari tahun 2013, penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Unila Tahap I yang dilaksanakan dalam bentuk Kuliah Kerja Nyata di Pekon Sumber Bandung Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu selama 40 hari yang dilaksanakan bersama 7 orang peserta lainya yang berasal dari berbagai Fakultas di Universitas Lampung.


(10)

Moto

Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan Kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman

(Blaise Pascal)

Fantasies have to be unrealistic.

Because the second that you get what you want, you don't want it anymore

(The Life of David Gale)

Without pain, without sacrifice, we would have nothing


(11)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah, kepada Allah SWT yang telah menjadikan segala sesuatu yang sulit ini menjadi mudah.

Kupersembahkan karya ini untuk orang tua tercinta tercinta, yang telah mencurahkan cinta, kasih , perhatian, doa dan peluh keringatnya untuk keberhasilanku, yang selalu menyemangatiku untuk terus kuat, tegar dan tidak

berhenti untuk berusaha mencapai impianku, serta kakak-kakakku yang selalu memotivasi, doa, dan perhatian sehingga aku lebih yakin dalam menjalani hidup

ini


(12)

SANWANCANA

Alhamdulillahirabbil ’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : “Penyelesaian Sengketa Internasional Dalam Kerangka ASEAN (Studi Kasus Invasi Vietnam ke Kamboja)”. Terselesaikannya skripsi ini tak lepas dari bantuan, dukungan dan bimbingan berbagai pihak baik moril maupun materil. Untuk itu dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Heryandi, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung atas kesediaannya memberi masukan agar terselesaikannya skripsi ini;

2. Bapak Abdul Muthalib Tahar, S.H.,M.H., selaku Ketua bagian Hukum Internasional, sekaligus pembahas I (satu) serta penguji utama atas kesediaannya dalam memberikan masukan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

3. Bapak Naek Siregar, S.H.,M.H., selaku Sekretaris bagian Hukum Internasional yang selalu memberikan masukan yang bermanfaat untuk penyelesaian skripsi ini;

4. Ibu Melly Aida, S.H., M.H., selaku Pembimbing I (satu) atas kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;


(13)

5. Ibu Desy Churul Aini, S.H.,M.H., selaku Pembimbing 2 (dua) atas kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

6. Bapak Ahmad Syofyan, S.H.,M.H., selaku Pembahas 2 (dua) atas kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

7. Ibu Widya Krulinasari, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Akademik penulis atas kesediaannya membantu, mengarahkan dan memberi masukan selama penulis menempuh pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum, bagian Hukum Internasional terima kasih atas bimbingan dan masukannya dalam penyelesaian skripsi ini;

9. Seluruh Dosen Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis, serta kepada seluruh staf administrasi Fakultas Hukum Universitas Lampung;

10.Keluarga ku tercinta, Bapak, Ibu, uan, dan uni yang selalu memberikan dukungan, doa, semangat, dan perhatian yang penuh dengan kasih sayang secara moril maupun materiil. Serta keluarga besarku yang paling kusayangi yang telah mendukung dan membantu serta memberikan semangat kepada penulis;


(14)

11.Bapak Marjiyono, Bapak Sujarwo dan Bapak Supendi selaku Staf Administrasi Bagian Hukum Internasional FH Unila, terima kasih atas bantuan, saran dan masukannya serta motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini;

12.Squad of International Law 2010 (Haves, Jaya, Jeffry, Insan, Oji, Aji, Ade, Reza, Emi, Asha, Siska, dan Mba Aldis) atas rasa kekeluargaan, kebersamaan, dukungan dan pengalaman yang luar biasa yang kalian berikan. Akan selalu mengingat hari dimana kita bersama;

13.Sahabat-sahabat Fakultas Hukum yang berjuang bersamaku Emi Eliza, Ahmadi, Begi, Budi, Danu, Agung, Andi Kus, Andi Sis, Echo, Bayu, Afrizal, Odi, Dendri, Topan yang selalu bersama dalam suka dan duka, selalu membantu, menemaniku, dan selalu memberikan nasehat;

14.Sahabat dcacad squad Terry, Panji, Jete, Reky, Fauzan, Angkondo, Ideal, Adit, Aliq, Meliyan, Faiz, dan lain lain yang selalu memberi semangat, nasihat, dan keceriaan yang sangat sangat berarti kepada penulis

15.Teman-teman KKN ku Topik, Reky, Ka Ican, Hasby, Emi, Vinny, Heni yang memberikan kenangan indah selama menjalankan KKN selama 40 Hari di Pekon Sumber Bandung Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu.

16.Kepada semua pihak yang terlibat namun tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.


(15)

Akhir kata, sangat penulis sadari bahwa berakhirnya masa studi ini adalah awal dari perjuangan panjang untuk menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Sedikit harapan semoga karya kecil ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Juli 2014 Penulis,


(16)

DAFTAR ISI

JUDUL ABSTRAK

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP

PERSEMBAHAN MOTO

SANWACANA DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 13

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 13

1.3.2 Kegunaan Penelitian... 13

1.3.2.1 Kegunaan Teoritis ... 13

1.3.2.2 Kegunaan Praktis ... 14

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 14

1.5 Sistematika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 16

2.1 Pengertian-Pengertian ... 16

2.1.1 Pengertian Sengketa. ... 16


(17)

2.1.3 Pengertian Invasi ... 19

2.2 Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai ... 20

2.3 Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Secara Damai ... 25

2.3.1 Melalui Jalur Diplomatik ... 26

2.3.2 Melalui Jalur Litigasi ... 30

2.3.3 Melalui Organisasi Internasional ... 31

2.4 ASEAN Sebagai Organisasi Regional ... 32

2.4.1 Pengertian Organisasi Internasional ... 32

2.4.2 Klasifikasi Organisasi Internasional ... 32

2.4.3 Personalitas Organisasi Internasional ... 33

2.4.4 Sejarah ASEAN ... 35

2.4.5 Fungsi dan Tujuan Pembentukan ASEAN ... 39

2.4.6 Organ-Organ ASEAN ... 41

2.4.7 Keanggotaan ASEAN ... 43

III.METODE PENELITIAN ... 47

3.1 Jenis Penelitian ... 47

3.2 Pendekatan Masalah ... 47

3.3 Sumber Data ... 49

3.4 Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ... 50

3.4.1 Metode Pengumpulan Data ... 50

3.4.2 Metode Pengolahan Data ... 50

3.5 Analisis Data ... 51

IV. PEMBAHASAN ... 52

4.1 Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional Dalam Kerangka ASEAN ... 52


(18)

1976 ... 52

4.1.2 Protokol Dispute Settlement Mechanism 1996 (Protokol DSM 1996) ... 67

4.1.3 Declaration of ASEAN Concord II 2003 (Bali Concord II) ... 76

4.1.4 The ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism 2004 (Protokol Vientiane 2004) ... 85

4.1.5 ASEAN Charter 2007 ... 96

4.2 Penyelesaian Invasi Vietnam ke Kamboja Dalam Kerangka ASEAN 106 4.2.1 Latar Belakang Kasus Invasi Vietnam ke Kamboja 106 4.2.2 Penyelesaian Kasus Invasi Vietnam ke Kamboja ... 111

4.2.3 Penyelesaian Kasus Invasi Vietnam ke Kamboja Dalam Sudut Pandang TAC 1976 ... 117

V. PENUTUP ... 121

5.1 Kesimpulan ... 121

5.2 Saran ... 123 DAFTAR PUSTAKA


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

4.1 Mekanisme penyelesaian sengketa TAC 1976 ... 66

4.2 Mekanisme penyelesaian sengketa Protokol DSM 1996 ... 75

4.3 Mekanisme penyelesaian sengketa Bali Concord II 2003 ... 84

4.4 Mekanisme penyelesaian sengketa Protokol Vientiane 2004 ... 95

4.5 Mekanisme penyelesaian sengketa Piagam ASEAN 2007 ... 105

4.6 Mekanisme penyelesaian sengketa invasi Vietnam ke Kamboja berdasarkan sudut pandang TAC 1976 ... 118


(20)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Deklarasi Bangkok, 8 Agustus 1967, merupakan awal berdirinya ASEAN (Association of South East Asian Nations). Deklarasi ini menjadi penanda lahirnya sebuah organisasi antarnegara yang beranggotakan negara-negara di sebuah wilayah regional, Asia Tenggara. Deklarasi ini ditandatangani di Bangkok, Thailand, yang diwakilkan oleh lima wakil negara/pemerintahan negara-negara Asia Tenggara, yaitu para Menteri Luar Negeri Indonesia – Adam Malik, Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan dan Menteri Pembangunan Nasional Malaysia – Tun Abdul Razak, Menteri Luar Negeri Filipina – Narciso Ramos, Menteri Luar Negeri Singapura – S. Rajaratnam, dan Menteri Luar Negeri Thailand – Thanat Khoman melakukan pertemuan dan menandatangani Deklarasi ASEAN (The ASEAN Declaration) atau Deklarasi Bangkok (Bangkok Declaration). Keanggotaan ASEAN kemudian berkembang menjadi sepuluh negara anggota dengan masuknya Brunei Darusalam (1984), Vietnam (1995), Laos (1997), Myanmar (1997), dan Kamboja (1999). 1

Sejarah berdirinya ASEAN berlatar belakang historis, persamaan nasib, dan kondisi geo-politik dunia pada saat itu. Adanya perang dingin antara blok barat

1

Departemen Luar Negeri Republik Indonesia (DEPLU RI), ASEAN Selayang Pandang,


(21)

2

dan blok timur, konflik internal yang timbul di negara-negara ASEAN serta ketegangan yang terjadi antara negara-negara ASEAN, telah menyadarkan para pemimpin negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kerjasama di antara mereka.2

Organisasi ini bertujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian dan stabilitas wilayah, dan membentuk kerjasama di berbagai bidang kepentingan bersama.Lambat laun organisasi ini mengalami kemajuan yang cukup signifikan di bidang politik dan ekonomi, seperti disepakatinya Deklarasi Kawasan Damai, Bebas, dan Netral (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality Declaration/ZOPFAN) yang ditandatangani tahun 1971. Deklarasi ini lahir karena didorong oleh keinginan kuat untuk meningkatkan otonomi ASEAN sebagai organisasi regional yang mandiri dan tidak dikendalikan oleh kekuatan di luar kawasan ASEAN.3

Pembentukan ASEAN pada awalnya tidak ditujukan untuk membuat sebuah organisasi supranasional yang memiliki kepentingan berbeda dari anggota-anggotanya. Mantan Sekjen ASEAN, Rodolfo Severino Jr, dalam sebuah pidatonya di Universitas Sydney, Australia tahun 1998, menyatakan:

“Pendirian ASEAN pada tahun 1967 dimaksudkan untuk ASEAN menjadi sebuah asosiasi semua negara di Asia Tenggara bekerja sama secara sukarela untuk kebaikan bersama, dengan perdamaian, dan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya yang menjadi tujuannya. ASEAN bukan, dan tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi sebuah entitas supranasional para anggotanya

2

Hilton Tarnama Putra dan Eka An Aqimuddin, Mekanisme Penyeselaian Sengketa di

ASEAN Lembaga dan Proses, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, hlm 26.

3

Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar,


(22)

3

bertindak secara independen, tidak memiliki parlemen regional atau dewan

menteri dengan kekuatan membuat hukum, tidak ada sistem peradilan” 4 Pencapaian terbesar ASEAN selama kurang lebih empat puluh tahun sejak terbentuk sebagai organisasi internasional regional adalah kemampuannya untuk memelihara keamanan dan perdamaian di kawasan5 dan hal itu masih berlanjut hingga kini. Salah satu tujuan ASEAN dibentuk adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan regional sesuai dengan Deklarasi Bangkok 1967. Meskipun stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan terwujud namun hal itu tidak dapat diartikan bahwa kawasan Asia Tenggara benar-benar bersih dari sengketa.

Sejak dibentuknya ASEAN pada tahun 1967, organisasi tersebut terlihat menghindari pembahasan isu-isu seperti politik, keamanan dan hukum. Fakta demikianlah yang membuat ASEAN dianggap tidak mampu mewakili kepentingan para negara-negara anggotanya. Selain permasalahan internal tersebut, ASEAN juga dipengaruhi oleh geo-politik global dimana China dan India berkembang menjadi kekuatan yang luar biasa di Benua Asia bahkan dunia. ASEAN sendiri baru memiliki mekanisme penyelesaian sengketa secara formal setelah berlangsungnya KTT Pertama ASEAN di Bali tahun 1976. Hasil signifikan dari KTT pertama tersebut adalah terciptanya Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC). TAC merupakan sebuah babak baru bagi ASEAN karena mengatur prinsip-prinsip dasar hubungan sesama negara anggota serta prosedur bagaimana menyelesaikan sengketa antara negara anggotanya

4

Rodolfo Severino, Asia Policy Lecture : What ASEAN Is and What It Stands For, The

Research Institute for Asia and the Pacific, University of Sydney, Australia, 22 October 1998.

5

Mely Caballero-Anthony, Mechanism of Dispute Settlement: The ASEAN Experience,


(23)

4

melalui mekanisme formal-institusional. TAC sangat penting artinya bagi ASEAN sehingga sering disebut sebagai wujud dari nilai-nilai global yang mendasari pembentukan organisasi regional.6

Nilai penting yang terdapat dalam TAC adalah dicantumkannya prinsip-prinsip dasar yang harus dipegang teguh oleh negara anggota ASEAN dalam melaksanakan kerjasama dan persahabatan antara satu sama lain. Selain prinsip-prinsip dasar, TAC juga memuat klausul tentang bagaimana sengketa yang timbul diantara negara peserta harus diselesaikan. Dengan diaturnya mekanisme penyelesaian sengketa maka ASEAN telah memiliki prosedur hukum formal dalam penyelesaian sengketa. Aktor yang terlibat dengan ASEAN juga semakin heterogen, mulai dari negara non-ASEAN hingga organisasi internasional.Perkembangan yang semakin luas itulah yang pada akhirnya membutuhkan penguatan ASEAN secara kelembagaan. Penguatan ini dapat dicapai dengan menguatkan aturan main dalam organisasi.

Kerjasama dalam bidang ekonomi misalnya, ASEAN berhasil membuat mekanisme penyelesaian sengketa pada tahun 1996 yaitu Protocol on Dispute Settlement Mechanism, Manila, 20 November 1996 yang diperbaharui dengan ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism, Vientiane, 29 November 2004 dengan adanya mekanisme tersebut diharapkan sengketa ekonomi yang terjadi dapat diselesaikan secara formal-institusional oleh ASEAN. Selain Protocol on Dispute Settlement Mechanism 1996 dan Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism 2004 terdapat instrumen ASEAN yang

6


(24)

5

mengatur penyelesaian sengketa yaitu Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II), yang dimana di dalam Bali Concord II ini pula dinyatakan bahwa ASEAN akan memperkuat organisasi dengan membentuk tiga pilar komunitas, yaitu Politik-Keamanan, Ekonomi, dan Sosial Budaya.7

Perkembangan yang cukup penting adalah lahirnya Piagam ASEAN tahun 2007 setelah hampir empat puluh tahun pembentukannya. Latar belakang lahirnya Piagam ASEAN tidak dapat dihindarkan dari serangkaian kesepakatan yang telah dibuat secara sadar oleh para pemimpin ASEAN. Meskipun hanya dianggap sebagai pengulangan instrumen-instrumen ASEAN sebelumnya, kehadiran Piagam ASEAN sangat penting karena terdapat penegasan bahwa ASEAN ingin menjadi sebuah organisasi yang berdasarkan hukum (rules-based organization).8 Piagam ASEAN mempunyai satu bab yang sangat penting mengenai penyelesaian sengketa yaitu Bab VIII terdiri dari tujuh pasal (Pasal 22-28). Bab ini menjadi penting sebagai penegasan salah satu prinsip yang dianut oleh negara anggota ASEAN untuk menyelesaikan sengketa antara mereka melalui cara-cara damai.9 Mekanisme penyelesaian sengketa sebelum adanya Piagam ASEAN tersebar dalam perjanjian-perjanjian tertentu.10 Piagam ASEAN lahir untuk menjadi alas serta mengharmonisasikan beragam mekanisme yang ada sehingga dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Dengan adanya Piagam ASEAN ini diharapkan negara anggota ASEAN akan lebih mendayagunakan organisasi untuk dapat membantu menyelesaikan sengketa-sengketa yang ada atau potensial untuk timbul.

7

Declaration of ASEAN Concord II, Poin 1.

8

Hilton Tarnama Putra dan Eka An Aqimuddin, op.cit., hlm 37.

9

Pasal 2 butir d dalam Piagam ASEAN 2007.

10


(25)

6

Keperacayaan diri negara anggota ASEAN akan tumbuh seiring dengan adanya kehendak eksplisit yang tercantum dalam Piagam bahwa ASEAN hendak memperkuat diri dengan menjadikan hukum sebagai fondasi dasar organisasi. Setelah kehadiran piagam ASEAN akan mengurangi keengganan dari negara anggotanya sendiri untuk menyelesaikan sengketa-sengketa hukum. Meskipun pengaturan penyelesaian sengketa dalam Piagam tidak terlalu detail, namun dengan adanya bab tersendiri mengenai mekanisme penyelesaian sengketa akan menjadikan dasar acuan bagi mekanisme penyelesaian sengketa yang telah ada selama ini.

Instrumen penyelesaian sengketa yang terdapat dalam ASEAN diharapkan bisa terus menjaga perdamaian dan kestabilan di wilayah ASEAN. ASEAN sampai saat ini telah berperan dalam kasus-kasus yang terdapat di wilayah ASEAN, seperti dalam kasus invasi Vietnam ke Kamboja,11 konflik ini terjadi antara Republik Sosialis Vietnam dan Kamboja. Konflik ini dimulai dengan invasi dan pendudukan Vietnam terhadap Kamboja dan penurunan Khmer Merah dari kekuasaan.

Invasi dan pendudukan Vietnam ke Kamboja yang dilakukan pada akhir tahun 1978 merupakan peristiwa yang begitu mengejutkan baik bagi Kamboja sendiri maupun dunia internasional khususnya ASEAN. Hal ini terjadi karena ASEAN pada saat itu sedang mengusung gagasan ZOPFAN yaitu suatu upaya dalam

11


(26)

7

rangka memelihara perdamaian, keamanan, kedaulatan, dan kemerdekaan di kawasan Asia Tenggara serta bebas dari campur tangan pihak luar.12

Tahun 1975 hingga 1979 merupakan masa-masa kelam bagi rakyat Kamboja ketika pemerintahan dikuasai Pol Pot dibawah rezim Khmer Merah. Khmer Merah menduduki tampuk kekuasaan setelah berhasil menggulingkan Republik Khmer yang dipimpin Lon Nol pada 17 April 1975.13 Jatuhnya rezim Lon Nol memberikan secercah harapan baru bagi penduduk Kamboja untuk mencapai kedamaian setelah terjebak dalam perang saudara sejak 1967. Namun kenyataannya, rezim Pol Pot dengan kebijakannya justru menambah panjang penderitaan rakyat.14

Khmer Merah diawal memegang pemerintahan, memerintahkan seluruh penduduk lebih dari dua juta penduduk meninggalkan kota menuju pedesaan dalam rangka Revolusi Agraria untuk tinggal dan bekerja di pedesaan sebagai petani. Hal ini dikarenakan kota-kota besar dianggap sebagai basis dari kaum aristokrat dan penghambat revolusi. Dalam relokasi paksa ini, anggota keluarga harus dipisahkan dari satu sama lain antara orang tua dan anaknya untuk dikirim secara terpisah ke berbagai pedesaan untuk diperas tenaganya sampai meninggal dunia karena kelelahan atau sakit. Pemerintahan Pol Pot yang mengusung konsep Marxisme-Leninisme melakukan percobaan radikal untuk menciptakan utopia agrarian dengan menyatakan konsep “Year Zero”. Pol Pot dan Khmer Merah

12

Nasution et al., Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja. Phnom Penh,

Kedutaan Besar Republik Indonesia, 2002, hlm 95.

13

http://www.cambcomm.org.uk/holocaust.html diakses pada tanggal 18 Februari 2014.

14

Sydney Schanberg. Kamboja. Dalam Kenneth Anderson, Kejahatan Perang: Yang

harus diketahui public, PJTV-Internews Europe, 2004, hlm 73, sebagaimana dikutip http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/01/17/konflik-kamboja-rezim-pol-pot-khmer-merah-431731.html dikutip pada tanggal 18 Februari 2014.


(27)

8

mengklaim bahwa Kamboja mampu menciptakan tatanan sosialis murni yang berdiri sendiri melalui produktivitas petani dengan mengatakan :

“Kami membuat sebuah revolusi yang unik, Apakah ada negara yang berani menghapuskan uang dan pasar seperti cara yang kami miliki ? Kami adalah model

yang baik bagi seluruh dunia.”

Konsep “Year Zero” merupakan kebijakan yang dijalankan oleh negara komunis Kamboja untuk melakukan revolusi destruktif yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan secara massal dalam suatu periode.15 Rezim Pol Pot sangat kritis terhadap oposisi maupun kritik politik; ribuan politikus dan pejabat dibunuh, dan Phnom Penh pun ikut berubah menjadi kota hantu yang penduduknya banyak yang meninggal akibat kelaparan, penyakit atau eksekusi. Ranjau-ranjau disebarkan secara luas ke seluruh wilayah pedesaan.

Kebijakan Pol Pot mendorong invasi Vietnam pada tahun 1978 yang dilatarbelakangi pembantaian terhadap puluhan ribu warga keturunan Vietnam di Kamboja serta perlakuan tidak manusiawi terhadap para anggota partai komunis pro Vietnam yang membantu menumbangkan rezim Lon Nol kala itu.16 Disamping itu, sebagai serangan balasan atas tindakan Pol Pot yang menyerang wilayah Vietnam.17 Kebijakan Pol Pot tersebut dianggap melewati batas toleransi sehingga memaksa Vietnam menyerang pemerintahan Pol Pot guna menyelamatkan rakyatnya. Pada bulan 25 Desember 1978, Vietnam menyerang

15

http://regional.kompasiana.com/2010/12/29/kamboja-dalam-penguasaan-pol-pot/ dipublibkasikan pada 29 Desember 2010 dikutip pada tanggal 18 Februari 2014.

16 “Sejarah Bangsa yang Diwarnai Pertumpahan Darah.”

Suara Pembaruan, 25

November 1991. Hal 32, sebagaimana dikutip dalam

http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/01/17/konflik-kamboja-rezim-pol-pot-khmer-merah-431731.html dikutip pada tanggal 18 Februari 2014.

17

http://regional.kompasiana.com/2010/12/29/kamboja-dalam-penguasaan-pol-pot/ dipublikasikan pada 29 December 2010 dikutip pada tanggal 18 Februari 2014.


(28)

9

wilayah Kamboja dengan bala kekuatan sekitar 200.000 pasukan. Klimaksnya pada tanggal 10 Januari 1979, intervensi Vietnam secara resmi mengambil alih tampuk pemerintahan di Kamboja danmendirikan People’s Republic of Kampuchea (PRK) yang dipimpin Heng Samrin.18

Jumlah korban jiwa pada saat kekuasaan Pol Pot dan invasi Vietnam ke Kamboja masih dipertentangkan. Sumber-sumber yang dapat dipercaya dari pihak Barat menyebut angka 1,6 juta jiwa, sedangkan sebuah sumber yang spesifik, seperti jumlah tiga juta korban jiwa antara 1975 dan 1979, diberikan oleh rezim Phnom Penh yang didukung Vietnam, PRK.19 Amnesty International menyebut 1,4 juta; sedangkan Departemen Negara AS, 1,2 juta. Pol Pot sendiri menyebut bahwa korban yang jatuh sekitar 800.000 jiwa.

Sejak awal invasi Vietnam Ke Kamboja, ASEAN memandang bahwa invasi tersebut sebagai pelanggaran prinsip-prinsip dasar hubungan antar negara, yaitu prinsip non intervensi dan prinsip penggunaan kekerasan bersenjata. Oleh karena itu, pada Januari 1979, ASEAN mengadakan pertemuan khusus menteri luar negeri di Bangkok yang menyerukan agar kekuatan asing yang berada di Kamboja untuk segera keluar. Seruan tersebut dilakukan untuk mencegah efek keamanan yang akan mengganggu Thailand karena berbatasan langsung dengan Kamboja. Seruan dari ASEAN tersebut dilanjutkan dengan membuat draft resolusi ke dewan keamanan PBB, pada 12 Januari 1979, untuk mengambil tindakan agar invasi

18

Background Note: Cambodia. Artikel diakses pada 22 Oktober 2011 dalam

http://www.state.gov/r/pa/ei /bgn/2732.htm sebagaimana dikutip dalam

http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/01/17/konflik-kamboja-rezim-pol-pot-khmer-merah-431731.html, op.cit.

19

David Chandler, Brother Number One: A Political Biography of Pol Pot, Silkworm


(29)

10

tersebut diakhiri. Akan tetapi seruan tersebut tidak berhasil menghentikan aksi Vietnam, ASEAN lalu membuat draft resolusi lanjutan ke dewan keamanan tentang Kamboja yang berhasil diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada November 1979. Akhirnya, Oktober 1980, Majelis Umum PBB membuat resolusi A/RES/35/6 tentang situasi di Kamboja untuk mengadakan konferensi internasional. Ide tersebut merupakan usulan dari ASEAN.20

Upaya internasionalisasi yang dilakukan oleh ASEAN atas sengketa Vietnam dan Kamboja tidak sepenuhnya disetujui oleh negara anggota ASEAN. Indonesia dan Malaysia pada prinsipnya lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa dalam kerangka regional tanpa melibatkan pihak ketiga sedangkan Singapura dan Thailand cenderung untuk menggunakan jasa pihak ketiga. Kesamaan pandangan antara Indonesia dan Malaysia melihat sengketa membuat kedua negara bergerak untuk mengadakan pertemuan di Kuantan, Malaysia pada 26-28 Maret 1980. Pertemuan itu kemudian melahirkan Prinsip-Prinsip Kuantan (Kuantan Principles). Prinsip Kuantan pada dasarnya mengakomodasi kepentingan Vietnam untuk menginvasi Kamboja atas alasan keamanan dengan harapan pengakuan ini akan mengurangi pengaruh Uni Soviet di kawasan Indochina.21

Indonesia dan Malaysia sebagai penggagas pertemuan di Kuantan, diprotes keras oleh Thailand dan Singapura karena dianggap sebagai restu atas tindakan invasi Vietnam. Kekhawatiran Thailand dan Singapura dengan Prinsip Kuantan adalah persoalan legitimasi atas tindakan invasi Vietnam di mana dengan adanya legitimasi tersebut akan membuat Vietnam semakin percaya diri. Kekhawatiran

20

Mely Caballero Anthony, Regional Security in Southeast Asia, ISEAS, Singapura, 2005, hlm 84.

21


(30)

11

Thailand dan Singapura akhirnya terbukti. Hanya dalam waktu dua bulan sejak dihasilkan Prinsip-Prinsip Kuantan, tentara Vietnam memasuki wilayah Thailand dengan alasan mengejar pasukan gerilyawan Kamboja.

Pada 26 Juni 1980, para menteri luar negeri ASEAN kembali menggelar pertemuan dan membuat pernyataan keras tentang penarikan total pasukan Vietnam dari Kamboja. Kegagalan diplomasi internal ASEAN mengakibatkan usulan untuk internasionalisasi sengketa tersebut menjadi tidak terhindarkan.22 Pada bulan Juli 1981 PBB mengadakan sebuah konferensi internasional untuk Kamboja (UN International Conference on Kampuchea) yang didukung oleh Majelis Umum PBB. Konferensi tersebut menghasilkan empat resolusi sebagai bahan pertimbangan dalam negosiasi.23 Untuk menjalankan hasil resolusi konferensi tersebut, ASEAN mencoba untuk mengumpulkan faksi-faksi yang menentang tindakan invasi Vietnam dalam sebuah koalisi yang dinamakan Pemerintahan Koalisi Demokratis Kamboja atau The Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK). Koalisi tersebut terdiri dari Rezim Pol Pot, Front Nasional Kemerdekaan Bangsa Khmer atau Khmer People’s National Liberation Front (KPLNF) pimpinan Son Sann dan Front Nasional Bersatu untuk Kemerdekaan, Netralitas, Perdamaian, dan Kerjasama Kamboja atau National United Front for an Independent, Neutral, Peaceful and Cooperative Cambodia (FUNCINPEC) pimpinan Pangeran Norodom Sihanouk.

Upaya yang dilakukan oleh PBB dan ASEAN ditolak oleh Vietnam karena tidak melibatkan PRK. Akan tetapi pada tahun 1982, secara unilateral Vietnam

22

Bambang Cipto, op.cit., hlm. 53.

23


(31)

12

mengurangi jumlah pasukannya di Kamboja. Awalnya ASEAN menganggap tindakan tersebut sebagai rekayasa untuk mengurangi tekanan dunia internasional. Namun, pada akhirnya ASEAN melihat upaya Vietnam tersebut sebagai peluang untuk melakukan inisiatif menyelesaikan sengketa.24

Inisiatif tersebut diambil oleh Indonesia sebagai juru bicara ASEAN. Pada Februari 1984, Menteri Luar Negeri Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa ASEAN telah siap untuk berunding dengan Vietnam. Pernyataan tersebut ditindaklanjuti dengan pertemuan-pertemuan antara pemerintah Indonesia dengan Vietnam.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisis secara mendalam mengenai penyelesaian sengketa internasional yang terdapat dalam badan ASEAN, baik peran dan mekanisme penyelesaian sengketa ASEAN, untuk itu penulis ingin menyusun sebuah skripsi yang berjudul: PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL DALAM KERANGKA (STUDI KASUS INVASI VIETNAM KE KAMBOJA).

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa internasional dalam kerangka ASEAN ?

b. Bagaimana penyelesaian kasus invasi Vietnam ke Kamboja oleh ASEAN?

24


(32)

13

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan utama penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme yang dilakukan ASEAN dalam menyelesaikan sengketa antar anggotanya berdasarkan instrumen penyelesaian sengketa dalam kerangka ASEAN;

b. Untuk mengetahui dan menganalisis penyelesaian kasus invasi Vietnam ke Kamboja oleh ASEAN.

1.3.2 Kegunaan Penelitian

Berdasarkan Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian yang telah penulis sebutkan sebelumnya, penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:

1.3.2.1 Kegunaan Teoritis

Berguna untuk perkembangan kemampuan berkarya ilmiah dan daya nalar dengan acuan yang disesuaikan dengan displin ilmu yang telah dipelajari yaitu hukum pada umumnya dan hukum internasional dalam bidang penyelesaian sengketa internasional pada khususnya. Diharapkan juga dapat memberikan sumbangan pengetahuan perkembangan hukum di Indonesia mengenai penyelesaian sengketa yang terdapat dalam kerangka ASEAN.


(33)

14

1.3.2.2 Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dalam menyelesaikan sengketa yang ada dalam badan ASEAN, dan rujukan untuk mengetahui aturan-aturan penyelesaian sengketa yang ada di ASEAN, serta diharapkan berguna bagi para mahasiswa, dan masyarakat umum untuk menambah pengetahuan mengenaiperan maupun mekanisme penyelesaian sengketa dalam ASEAN dan juga mengenai penyelesaian sengketa kasus invasi Vietnam ke Kamboja yang dilakukan oleh ASEAN.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini hanya membahas tentang mekanisme penyelesaian sengketa di ASEAN antar anggotanya dan penyelesaian sengketa kasus invasi Vietnam ke Kamboja melalui ASEAN.

1.5 Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan terhadap substansi penelitian ini maka diperlukan kerangka penulisan yang sistematis. Sistematika skripsi ini terdiri dari 5 bab yang diorganisasikan ke dalam bab demi bab sebagai berikut:

Bab I Bab ini menguraikan latar belakang yang menggambarkan sejarah tubuh

ASEAN dalam hal penyelesaian sengketa, perkembangan aturan penyelesaian sengketa dalam ASEAN, dan kasus invasi Vietnam ke Kamboja. Pada bagian ini dikemukakan permasalahan, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian, ruang lingkup penelitian, juga sistematika penulisan yang digunakan dalam skripsi ini.


(34)

15

Bab II Bab ini menguraikan secara ringkas mengenai pengertian-pengertian,

teori-teori tentang penyelesaian sengketa dan juga sejarah ASEAN serta aturan-aturan mengenai penyelesaian sengketa di ASEAN.

Bab III Bab ini menguraikan metode yang digunakan pada penulisan skripsi ini

antara lain pendekatan masalah dalam penulisan skripsi ini, sumber data serta prosedur yang digunakan dalam proses pengumpulan data dan ditampilkan analisis data untuk mengetahui cara-cara yang digunakan dalam penelitian skripsi.

Bab IV Bab ini dimulai dengan pemaparan hasil penelitian dan uraian dari

pembahasannya. Diawali dengan pemaparan tentang ASEAN, mekanisme penyelesaian sengketa di ASEAN, dan peran ASEAN dalam menyelesaikan kasus invasi Vietnam ke Kamboja

Bab V Bab ini menguraikan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan


(35)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian-Pengertian 2.1.1 Pengertian Sengketa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah segala sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau perbantahan.25 Kata sengketa, perselisihan, pertentangan di dalam Bahasa Inggris sama dengan “conflict” atau

dispute”.26 Keduanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan diantara kedua belah pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat

dibedakan. Kosa kata “conflict” dalam Bahasa Indonesia diserap menjadi konflik,

sedangkan kosa kata “dispute” diterjemahkan dengan kata sengketa.

Konflik atau sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih perkara dalam pengadilan.27 Konflik atau sengketa terjadi juga karena adanya perbedaan persepsi yang merupakan penggambaran tentang lingkungan yang dilakukan secara sadar yang didasari pengetahuan yang dimiliki seseorang, lingkungan yang dimaksud adalah

25

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit

Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hal 643.

26

John.M. Echlos dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia dan Indonesia Inggris, Penerbit Gramedia, Jakarta, 1996, hal. 138.

27

Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan ke-3, Penerbit Rineka Cipta. Jakarta, 2002, hal. 433.


(36)

17

lingkungan fisik maupun sosial.28 Sebuah konflik berkembang menjadi sengketa bila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain.

Pertikaian atau sengketa, keduanya adalah yang dipergunakan secara bergantian

dan merupakan terjemahan dari “dispute”. John G. Merrils29 memahami persengketaan sebagai terjadinya perbedaan pemahaman akan suatu keadaan atau obyek yang diikuti oleh pengklaim oleh satu pihak dan penolakan di pihak lain. Karena itu, sengketa internasional adalah perselisihan yang tidak secara eksklusif melibatkan negara, dan memiliki konsekuensi pada lingkup internasional.

2.1.2 Pengertian Sengketa Internasional

Sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian.30 Sengketa antar negara internasional dapat merupakan sengketa yang tidak dapat mempengaruhi kehidupan internasional dan dapat pula merupakan sengketa yang mengancam perdamaian dan ketertiban internasional.

Hukum internsional pada umumnya membedakan sengketa internasional atas sengketa yang bersifat politik dan sengketa yang bersifat hukum. Bahkan selama beberapa dekade ini telah lahir pula kategori baru yaitu sengketa teknik. Sengketa

28

Koentjaraningrat, Kebudayaan Metaliteit dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1982,

hal 103.

29

Dapat dilihat dalam, Jawahir Tantowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional

Kontemporer, PT.RefikaAditama, Bandung, .hlm 224.

30

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 2


(37)

18

politik ialah sengketa dimana suatu negara mendasarkan tuntutannya atas pertimbangan non yuridik, misalnya atas dasar politik atau kepentingan nasional lainnya. Atas sengketa yang tidak bersifat hukum ini, penyelesaiannya adalah secara politik. Sedangkan sengketa hukum ialah sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum internasional.31

Diakui bahwa tidaklah selalu mudah untuk membedakan apakah suatu sengketa bersifat politik atau bersifat hukum. Tiap-tiap sengketa internasional sekaligus mempunyai aspek politik maupun yuridik, hanya saja penonjolan aspeknya berbeda dari suatu sengketa ke sengketa yang lain. Pembedaan jenis sengketa ini dianggap perlu untuk mendapatkan cara penyelesaian yang lebih sesuai. Jadi untuk sengketa yang bersifat politik maka penyelesaiannya melalui prosedur politik, sedangkan untuk sengketa yang bersifat hukum penyelesaiannya juga melalui prosedur hukum. Perbedaan kedua cara penyelesaian sengketa ini terletak pada tingkat kekuatan mengikat dari keputusan yang diambil.32

Keputusan yang diambil dalam penyelesaian sengketa secara politik hanya berbentuk usul-usul yang tidak mengikat negara yang bersengketa. Usul-usul tersebut tetap mengutamakan kedaulatan negara-negara yang bersengketa dan tidak harus didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum. Konsiderasi-konsiderasi politik dan kepentingan-kepentingan lainnya dapat juga menjadi dasar pertimbangan dalam penyelesaian sengketa secara hukum mempunyai sifat mengikat dan membatasi kedaulatan negara-negara yang bersengketa. Ini

31

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era

Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2011, hlm 195

32


(38)

19

disebabkan karena keputusan yang diambil hanya didasarkan atas prinsip-prinsip hukum internasional.33

2.1.3 Pengertian Invasi

Invasi merupakan aksi serangan yang dimana kekuatan perang suatu negara memasuki daerah yang dikuasai oleh suatu negara lain, dengan tujuan menguasai daerah tersebut atau mengubah pemerintahan yang berkuasa. Invasi bisa menjadi penyebab perang, bisa digunakan sebagai strategi untuk menyelesaikan perang, atau bisa menjadi inti dari perang itu sendiri, biasanya invasi digunakan untuk suatu aksi strategis kekuatan perang yang besar, karena tujuan akhir invasi biasanya pada skala yang besar dan dengan jangka panjang, suatu pasukan yang sangat besar dibutuhkan untuk mempertahankan daerah yang diinvasi.

Invasi pada dasarnya dilakukan untuk memperluas wilayah dan kepentingan politik. Namun, motif-motif lainnya juga pernah terjadi, antara lain, pengembalian wilayah yang dulu diambil. Motif invasi biasanya berdasar politik untuk kepentingan nasional, pengejaran musuh-musuh, perlindungan terhadap negara sekutu, mengambil alih daerah jajahan, serangan preemptif sebelum diserang, hingga melindungi atau mengambil rute transportasi atau sumber daya alam,menengahi konflik antar dua pihak lain, dan sebagai sanksi militer.muncul jg motif dimana negara-negara kuat dan adidaya mencoba untuk mengatur politik dunia, misalnya dengan mengubah pemerintahan atau rezim suatu negara lain. Pada kasus-kasus ini sering juga para penyerang beralasan bahwa mereka "melindungi" daerah yang diinvasi. Pada politik modern masa kini, agar terhindar

33


(39)

20

dari tuduhan imperialisme, pihak yang menyerang sering mencap suatu invasi sebagai suatu "intervensi" untuk kepentingan bersama.

2.2 Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai

Salah satu tujuan didirikannya PBB adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini tampak pada Pasal 1 ayat (1) piagam PBB, Tersirat dalam ketentuan pasal tersebut fungsi dari badan dunia ini dan negara-negara anggotanya, yaitu untuk bersama-sama menciptakan dan mendorong penyelesaian sengketa internasional. Khususnya terhadap negara-negara anggotanya, Pasal 2 ayat (3) piagam PBB memberikan pengaturan lebih lanjut guna melaksanakan dan mencapai tujuannya. Pasal ini mewajibkan semua negara anggotanya untuk menempuh cara-cara penyelesaian sengketa secara damai.34 Pasal 2 ayat (3) yang sangat penting ini menyatakan:

“Setiap anggota harus menyelesaikan sengketa internasional mereka dengan

damai dan berkelakuan baik yang dimana tidak membahayakan perdamaian dan

keamanan dunia internasional”

Kata shall (harus) dalam kalimat di atas merupakan salah satu kata kunci yang mewajibkan negara-negara untuk menempuh cara damai dalam menyelesaikan sengketanya. Kewajiban lainnya yang terdapat dalam piagam PBB tercantum dalam Pasal 2 ayat (4). Pasal ini menyatakan bahwa dalam hubungan internasional, semua negara harus menahan diri dari penggunaan cara-cara kekerasan, yaitu ancaman dan penggunaan senjata terhadap negara lain atau cara-cara yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan PBB.

34


(40)

21

Perlu ditekankan dari dua kewajiban yang tertuang dalam kedua ayat di atas, yaitu kewajiban menahan diri menggunakan cara kekerasan atau ancaman kekerasan. Kedua kewajiban tersebut harus dipandang berdiri sendiri. Piagam PBB tidak menyatakan kewajiban negara-negara berdasarkan Pasal 2 ayat (3) untuk menahan diri dari penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 2 ayat (4). Dengan kata lain, kewajiban yang terdapat dalam ayat (3) bukanlah merupakan akibat atau konsekuensi logis dari kewajiban yang terdapat dalam ayat (4).35

Piagam sebaliknya menetapkan kewajiban terhadap anggota-anggotanya untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai sebagai suatu aturan yang berdiri sendiri, dan sebagai aturan dasar fundamental PBB. Karena itu pula kewajiban Pasal 2 ayat (3) tidak dipandang sebagai suatu kewajiban yang pasif. Pewajiban tersebut terpenuhi manakala negara yang bersangkutan menahan dirinya untuk tidak menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pasal 2 ayat (3), sebagaimana tersurat dalam bunyi ketentuannya, mensyaratkan negara-negara untuk secara aktif dan dengan iktikad baik menyelesaikan sengketanya secara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan tidak terancam.

Khusus mengenai prinsip larangan penggunaan cara kekerasan atau yang tidak damai, meskipun tersurat dalam Piagam PBB, namun dalam perkembangannya kemudian tidak lagi semata-mata mengikat negaranegara anggota PBB. Dalam pembahasan rancangan pasal-pasal mengenai hukum perjanjian (Draft of Articles on the Law of Treaties), khususnya pembahasan Pasal 33 paragraf 5, Komisi

35


(41)

22

Hukum Internasional memberikan komentarnya mengenai prinsip ini. Kewajiban menyelesaikan sengketa secara damai ini dijelaskan lebih lanjut oleh Pasal 33 Piagam PBB. Lengkapnya, pasal ini menyatakan: Para pihak dalam suatu persengketaan yang tampaknya sengketa tersebut akan membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, harus pertama tama mencari penyelesaian dengan cara negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan, menyerahkannya kepada organisasi-organisasi atau badan-badan regional, atau cara-cara penyelesaian damai lainnya yang mereka pilih. Dari berbagai aturan hukum internasional di atas, termasuk Deklarasi Manila, dapat dikemukakan di sini prinsip-prinsip mengenai penyelesaian sengketa internasional.36

1. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)

Prinsip iktikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa antarnegara. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya iktikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya. Tidak heran apabila prinsip ini dicantumkan sebagai prinsip pertama yang termuat dalam Manila Declaration (Section 1 paragraph l). Dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (Bali Concord 1976), persyaratan iktikad baik juga ditempatkan sebagai syarat utama. Pasal 13 Bali Concord menyatakan: The high contracting parties shall have the determination and good faith to prevent disputes from arising. Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap. Pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat memengaruhi hubungan baik antar

36


(42)

23

negara. Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum internasional, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara-cara lain yang dipilih para pihak.37

2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan Dalam Penyelesaian Sengketa

Prinsip ini juga sangat sentral dan penting. Prinsip inilah yang melarang para pihak untuk menyelesaikan sengketanya dengan menggunakan senjata (kekerasan). Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 13 Bali Concord dan preambuleke-4 Deklarasi Manila. Dalam berbagai perjanjian internasional lainnya, prinsip ini tampak dalam Pasal 5 Pakta Liga Negara-Negara Arab 1945 Pact of the League of Arab States, Pasal 1 dan 2 the Inter-American Treaty of Reciprocal Assistance (1947)38

3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa

Prinsip penting lainnya adalah prinsip di mana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (Principle of free choice of means). Prinsip ini termuat dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB dan Section 1 paragraph 3 dan 10 Deklarasi Manila dan paragraf ke-5 dari Friendly Relations Declaration. Instrumen hukum tersebut menegaskan bahwa penyerahan sengketa dan prosedur penyelesaian sengketa atau cara-cara penyelesaian sengketa harus didasarkan keinginan bebas

37

Ibid, hlm.16

38


(43)

24

para pihak. Kebebasan ini berlaku baik untuk sengketa yang telah terjadi atau sengketa yang akan datang.39

4.Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap Pokok Sengketa

Prinsip fundamental selanjutnya yang sangat penting adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan bila sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum initermasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan ex aequo et bono yang terakhir ini adalah sumber bagi pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip keadilan, kepatutan, atau kelayakan. Dalam sengketa antarnegara, merupakan hal yang lazim bagi pengadilan internasional, misalnya Mahkamah Internasional, untuk menerapkan hukum internasional, meskipun penerapan hukum internasional ini tidak dinyatakan secara tegas oleh para pihak.40

5.Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (Konsensus)

Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan prinsip ke-3 dan 4 di atas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4 hanya akan bisa dilakukan atau direalisasikan manakala ada kesepakatan dari para pihak. Sebaliknya, prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak akan mungkin berjalan apabila

39

Office of The Legal Affairs, Section I paragraph 5 Deklarasi Manila, hlm.4.

40


(44)

25

kesepakatan hanya ada dari salah satu pihak atau bahkan tidak ada kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak.41

6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies

Prinsip ini termuat dalam Section 1 paragraph 10 Deklarasi Manila. Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus terlebih dahulu ditempuh.42

7. Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang Kedaulatan,Kemerdekaan, dan Integritas Wilayah

Negara-Negara Deklarasi Manila mencantumkan prinsip ini dalam Section 1 paragraph 1. Prinsip ini mensyaratkan negara-negara yang bersengketa untuk terus menaati dan melaksanakan kewajiban internasionalnya dalam berhubungan satu sama lainnya berdasarkan prinsip-prinsip fundamental integritas wilayah negara-negara.43

2.3 Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai

Piagam PBB Pasal 3 (1) mengatakan bahwa: “Pihak-pihak yang tersangkut dalam suatu sengketa yang terus menerus yang mungkin membahayakan terpeliharanya perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian melalui negosiasi, penyidikan, dengan peraturan, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum, melalui badan-badan atau perjanjian setempat, atau dengan cara damai lain yang dipilih sendiri.” Berdasarkan Piagam

41

Ibid,

42

Ibid, hlm 18.

43


(45)

26

PBB tersebut diatas, maka penyelesaian sengketa secara damai dapat dibagi menjadi :

2.3.1 Melalui Jalur Diplomatik (non yurisdiksional) a) Negosiasi

Menurut Huala Adolf, 44 negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Dialog tersebut biasanya lebih banyak diwarnai pertimbangan politis atau argumen hukum. Namun demikian, dalam proses negosiasi atau dialog tersebut, adakalanya argumen-argumen hukum cukup banyak berfungsi memperkuat kedudukan para pihak. Manakala proses ini berhasil, hasilnya biasanya dituangkan dalam suatu dokumen yangmemberinya kekuatan hukum. Misalnya hasil kesepakatan negosiasi yang dituangkan dalam bentuk suatu dokumen perjanjian perdamaian.

b.Konsiliasi

Konsiliasi menurut The Institue of International Law melalui Regulations on the Procedure of International Concilition yang diadopsi pada tahun 1961 dalam Pasal 1 dinyatakan sebagai suatu metode penyelesaian pertikaian bersifat intenasional dalam suatu komisi yang dibentuk oleh pihak-pihak, baik sifatnya permanen atau sementara berkaitan dengan proses penyelesaian pertikaian.45

44

Huala Adolf,op.cit., hlm 26-27

45


(46)

27

c. Mediasi

Mediasi atau perantaraan merupakan negosiasi tambahan, tapi dengan mediator atau perantara sebagai pihak yang aktif, mempunyai wewenang, dan memang diharapkan, untuk mengajukan proposalnya sendiri dan menafsirkan, juga menyerahkan, masing-masing proposal satu pihak pada pihak lain.46

d) Organisasi Regional

Salah satu di antara tugas yang paling bermanfaat dari organisasi regional ialah memberikan anggotanya suatu forum untuk konsultasi dan negosiasi mengenai situasi sengketa yang benar-benar ada dan yang mungkin timbul. Kesempatan untuk berhubungan informal yang diberikan dalam pertemuan organisasi itu secara khusus adalah berharga di mana suatu sengketa telah menyebabkan ditangguhkannya hubungan diplomatik.47 Peran organisasi regional dalam menyelesaikan sengketa :

1) Dalam menyelesaikan sengketa internal kawasan, salah satu peran utama organisasi regional adalah untuk menjadi wadah konsultasi, menyelenggarakan dan menyediakan suatu forum negosiasi bagi negara-negara anggota baik dalam situasi konflik maupun dalam kondisi yang berpotensi menimbulkan konflik.

2) Organisasi Regional juga kadang berperan sebagai mediator dalam konflik-konflik internal kawasan. Dengan wewenangnya, organisasi regional merancang sebuah prosedur resolusi konflik untuk menyelesaikan perselisihan antara negara-negara anggota.

46

J.G Merrills, Penyelesaian Sengketa Internasional. Bandung, Trasito.hlm. 21.

47


(47)

28

3) Organisasi regional juga dapat melakukan penyelidikan terhadap konflik yang terjadi antara negara-negara anggotanya. Nantinya, hasil penyelidikan ini akan digunakan untuk merumuskan resolusi konflik yang dianggap paling efektif untuk diterapkan.

4) Pengiriman pasukan penjaga perdamaian merupakan peran lain yang juga dimainkan oleh organisasi regional.

e) Organisasi Internasional (PBB)

Menurut Huala Adolf, ada 4 kelompok tindakan PBB dalam menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Keempat kelompok tindakan tersebut adalah sebagai berikut:48

1) Preventive Diplomacy

Adalah suatu tindakan untuk mencegah timbulnya suatu sengketa di antara para pihak, mencegah meluasnya suatu sengketa, atau membatasi perluasan suatu sengketa. Cara ini dapat dilakukan oleh sekjen PBB, DK, Majelis Umum, atau oleh organisasi-organisasi internasional bekerja sama dengan PBB.

2) Peace Making

Adalah tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa untuk saling sepakat, khususnya melalui cara-cara damai seperti terdapat dalam Bab VI

48

Boutros Boutros-Ghali, An Agenda for Peace, New York, United Nations, 1992, hlm.


(48)

29

Piagam PBB. Tujuan PBB dalam hal ini berada di antara tugas mencegah konflik dan menjaga perdamaian.49

3) Peace Keeping

Adalah tindakan untuk mengerahkan kehadiran PBB dalam pemeliharaan perdamaian dengan kesepakatan para pihak yang berkepentingan. BiasanyaPBB mengirimkan personel militer, polisi PBB, dan personel sipil. 4) Peace Building

Adalah tindakan untuk mengidentifikasi dan mendukung struktur-struktur yang ada guna memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu konflik yang telah didamaikan berubah kembali menjadi konflik. Cara ini bisa berupa proyek kerja sama konkret yang menghubungkan dua atau lebih negara yang menguntungkan di antara mereka.

Disamping keempat hal tersebut, ada istilah Peace Enforcement (penegakan perdamaian). Yang dimaksud dengan istilah ini adalah wewenang DK berdasarkan Piagam untuk menentukan adanya suatu tindakan yang merupakan ancaman terhadap perdamaian atau adanya suatu agresi. Dalam menghadapi situasi seperti ini, Dewan berwenang memutuskan penerapan sanksi ekonomi, politik, atau militer.

Loekito Santoso berpendapat bahwa pada taraf perdamaian, maka jalan terbaik adalah melibatkan PBB sebagai forum perdamaian internasional serta memberikan kesempatan untuk menjadi penengah.50

49

Eduardo Jimenez De Arechaga, United Nations Security Council, dalam R. Bernhardt

(ed), Encyclopedia of Public International Law, Instalment 5, 1983, hlm 346, sebagaimana dikutip dalam Huala Adolf, op,cit., hlm 96


(49)

30

2.3.2 Melalui Jalur Litigasi (yurisdiksional) a) Arbitrase internasional

Arbitrase merupakan cara penyelesaian yang telah dikenal jauh di masa lampau. Pengaturan arbitrase baru mulai pada tahun 1794, yakni ketika ditetapkan Perjanjian (internasional) Jay antara Amerika Serikat dan Inggris. Arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa dengan cara mengajukan sengketa kepada orang-orang tertentu, yang dipilih secara bebas oleh pihak-pihak yang bersengketa untuk memutuskan sengketa tersebut.51

Arbitrase bisa mendasarkan keputusannya pada ketentuan hukum atau juga mendasarkan pada kepantasan dan kebaikan. Pihak yang diberi kepercayaan untuk menyelenggarakan ini disebut arbitator, yang bisa dibentuk berdasarkan persetujuan khusus dari pihak-pihak yang bersengketa atau melalui perjanjian arbitrase yang ada. Kesepakatan arbitrase lazim disebut compromise.52

b) Pengadilan internasional

Pengadilan internasional yaitu penyelesaian masalah dengan menerapkan ketentuan hukum oleh badan-badan pengadilan internasional yang dibentuk secara teratur. Pengadilan internasional dapat dilakukan oleh Mahkamah Internasional karena merupakan satu-satunya pengadilan tetap yang dapat digunakan dalam masyarakat internasional. Pengadilan internasional juga dapat digunakan oleh badan lain berdasar persetujuan pihak-pihak yang bersengketa.

50

Loekito Santoso, Orde Perdamaian Memecahkan Masalah Perang (Penjelajah

Polemologik).Jakarta, UI Pres. 1986 hlm, 29.

51

F.Sugeng Istanto. Hukum Internasional. Yogyakarta, Universitas Atmadjaya

Yogyakarta.hlm. 92

52


(50)

31

Pengadilan internasional merupakan sebuah lembaga hukum yang sebelumnya suatu negara dapat dengan permohonan secara unilateral membawa persengketaannya dengan negara lain dan memangggilnya untuk hadir di depan pengadilan tanpa terlebih dulu mencapai persetujuan tentang susunan pengadilan dan masalah yang akan diajukan dan menyatakan bahwa negara lain telah menerima yurisdiksi dari pengadilan yang bersangkutan.53

2.3.3 Melalui Organisasi Internasional

Organisasi internasional merupakan suatu persekutuan negara-negara yang dibentuk dengan persetujuan antara para anggotanya dan mempunyai suatu sistem yang tetap atau perangkat badan-badan yang tugasnya adalah untuk mencapai tujuan kepentingan bersama dengan cara mengadakan kerjasama antara para anggotanya. Di antara organisasi-organisasi internasional dan regional yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional jelaslah bahwa PBB mempunyai tempat khusus karena kegiatan-kegiatannya mencakup hampir semua bidang dengan peranan utamanya yang diberikan masyarakat internasional yaitu, menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Agar keamanan dan perdamaian dapat terjamin demi keselamatan umat manusia, tentu sengketa-sengketa yang terjadi harus dapat diselesaikan secara damai. Di bidang ini peranan PBB sangat penting.54

53

Rebecca Wallace. Hukum Internasional, Semarang, IKIP Semarang. hlm. 281.

54


(51)

32

2.4 ASEAN Sebagai Organisasi Regional 2.4.1 Pengertian Organisasi Internasional

Organisasi Internasional merupakan suatu persekutuan negara-negara yang dibentuk dengan persetujuan antara para anggotanya dan mempunyai suatu sistem yang tetap atau perangkat badan-badan yang tugasnya adalah untuk mencapai tujuan kepentingan bersama dengan cara mengadakan kerja sama antar anggotanya.55 Pembentukan organisasi internasional sebenarnya sudah lama ada sejak negara mengadakan hubungan internasional secara umum dan masing-masing negara mempunyai kepentingan. Timbulnya hubungan internasional secara umum tersebut ada hakekatnya merupakan proses perkembangan hubungan antar negara, karena kepentingan dua negara saja tidak dapat menampung kehendak banyak negara. Dalam membentuk organisasi internasional, negara-negara melalui organisasi itu akan berusaha untuk mencapai tujuan yang menjadi kepentingan bersama dan kepentingan ini menyangkut bidang kehidupan internasional yang sangat luas. Karena bidang-bidang tersebut menyangkut kepentingan banyak negara maka diperlukan peraturan internasional (International regulation) agar kepentingan masing-masing negara dapat terjamin dengan baik.56

2.4.2 Klasifikasi Organisasi Internasional

Pembedaan organisasi-organisasi internasional dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama kita harus bedakan antara organisasi yang bersifat universal dan organisasi yang bersifat regional. Organisasi yang bersifat universal adalah

55

Sumaryo Suryokusumo, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Jakarta, PT.

Tatanusa, 2007, hlm. 1

56


(52)

33

organisasi dimana semua negara dapat menjadi anggota. PBB misalnya beranggotakan hampir seluruh negara merdeka yang ada di dunia dewasa ini. Sebaliknya, organisasi regional tidak mempunyai lokasi universal dan keanggotaannya terbatas pada kawasan atau pada negara-negara tertentu, contohnya ialah ASEAN dan Uni Eropa.57

Selanjutnya kita juga dapat membedakan antara organisasi terbuka dan tertutup. Organisasi terbuka dapat dimasuki oleh negara-negara yang berkepentingan, dengan prosedur penerimaan yang luwes, sedangkan organisasi tertutup seperti NATO, hanya menerima negara-negara tertentu yang mempunyai nilai-nilai yang sama serta diterima secara bulat oleh negara-negara anggota. Disamping itu juga organisasi internasional dapat dibedakan antara organisasi kerja sama dan organisasi integrasi. Organisasi yang bersifat kerja sama jarang mempunyai wewenang untuk membuat norma-norma yang bersifat mengikat negara-negara anggota, organisasi kerja sama melakukan berbagai kegiatan koordinasi dan kerja sama antar negara. Sebaliknya organisasi yang bersifat integratif dalam bidang-bidang tertentu, seperti ditetapkan oleh akte konstitutif, berada di atas negara. Kekuasaan di atas negara ini adalah sebagai akibat pemindahan wewenang oleh negara-negara dalam bidang-bidang tertentu seperti yang ditetapkan dalam suatu akte konstitutif suatu organisasi internasional.58

2.4.3 Personalitas Organisasi Internasional

Suatu organisasi internasional yang diciptakan melalui suatu perjanjian internasional dengan bentuk instrumen pokok, akan memiliki suatu personalitas

57

Boer Mauna, op.cit., hlm.464-465

58


(53)

34

hukum di dalam hukum internasional. Personalitas hukum ini mutlak penting guna memungkinkan organisasi internasional tersebut dapat berfungsi dalam hubungan internasional, khususnya kemampuan untuk menlaksanakan fungsi hukum seperti membuat kontrak, dan membuat perjanjian dengan negara lain. Personalitas hukum ini berkaitan dengan personalitas hukum dalam konteks hukum nasional dan personalitas dalam konteks hukum internasional.59

a. Personalitas hukum dalam konteks hukum nasional.

Personalitas hukum organisasi internasional dalam konteks hukum nasional pada hakikatnya menyangkut keistimewaan dan kekebalan bagi organisasi internasional itu sendiri yang berada di wilayah suatu negara anggota, bagi wakil-wakil dari negara anggotanya dan bagi pejabat-pejabat sipil internasional yang bekerja pada organisasi internasional tersebut. Hampir semua instrumen pokok mencantumkan ketentuan bahwa organisasi internasional yang dibentuk itu mempunyai kapasitas hukum dalam rangka menjalankan fungsinya atau memiliki personalitas hukum. b. Personalitas hukum dalam konteks hukum internasional.

Persomalitas hukum dari suatu organisasi internasional dalam konteks hukum internasional pada hakikatnya menyangkut kelengkapan organisasi internasional tersebut dalam memiliki suatu kapasitas untuk melakukan prestasi hukum, baik dalam kaitannya dengan negara lain maupun negara-negara anggotanya, termasuk kesatuan lainnya. Kapasitas itu telah diakui dalam hukum internasional. Pengakuan tersebut tidak saja melihat bahwa organisasi internasional itu sendiri sebagai subjek hukum internasional, tetapi juga karena organisasi itu harus

59


(54)

35

menjalankan fungsinya secara efektif sesuai dengan mandat yang telah dipercayakan oleh para anggotanya.60

Dari segi hukum, organisasi internasional sebagai kesatuan yang telah memiliki kedudukan personalitas tersebut, sudah tentu memiliki wewenangnya sendiri untuk mengadakan tindakan-tindakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam instrumen pokoknya maupun keputusan organisasi internasional tersebut yang telah disetujui para anggotanya. Namun, hal ini banyak menimbulkan perselisihan karena secara eksplisit tidak disebutkan dalam instrumen pokok.61

2.4.4 Sejarah ASEAN

Kawasan Asia Tenggara secara geopolitik dan geoekonomi mempunyai nilai strategis. Kondisi tersebut menyebabkan kawasan ini menjadi ajang persaingan pengaruh ke-kuatan pada era Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Salah satu bukti persaingan antarnegara adidaya dan kekuatan besar pada waktu itu adalah Perang Vietnam antara Vietnam Utara yang didukung kekuatan Komunis dan Vietnam Selatan yang didukung kekuatan Barat pimpinan Amerika Serikat. Persaingan dua blok tersebut menyeret negara-negara di kawasan ASEAN menjadi basis kekuatan militer Blok Komunis dan Barat. Blok Komunis di bawah komando Uni Soviet menempatkan pangkalan militernya di Vietnam, sedangkan Blok Barat di bawah komando Amerika Serikat menempatkan pangkalan militernya di Filipina.62

60

Ibid.

61

Ibid. hlm 20.

62


(55)

36

Selain terjadi persaingan di bidang ideologi antara kekuatan Barat dan kekuatan Timur, juga terjadi konflik militer di kawasan Asia Tenggara yang melibatkan tiga negara, yaitu Laos, Kamboja, dan Vietnam konflik bilateral, seperti konflik antara Indonesia dan Malaysia, Kamboja dan Vietnam; dan konflik internal, seperti di Kamboja, Thailand, dan Indonesia.Situasi persaingan pengaruh ideologi dan kekuatan militer yang dapat menyeret negara-negara di kawasan Asia Tenggara ke dalam konflik bersenjata yang menghancurkan itu membuat parapemimpin negara-negara di kawasan ASEAN sadar bahwa perlu ada suatu kerja sama yang dapat meredakan sikap saling curiga di antara negara anggota serta mendorong usaha pembangunan bersama di kawasan ASEAN.63

Untuk mewujudkan gagasan para pemimpin tersebut beberapa inisiatif yang telah dilakukan, antara lain, adalah pembentukan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asia (ASA), Malaya–Philippina–Indonesia (MAPHILINDO), Traktat Organisasi Asia Tenggara (South East Asia Treaty Organization/SEATO), dan Dewan Asia-Pasifik (Asia and Pacific Council/ASPAC). 64

Meskipun mengalami kegagalan, upaya dan inisiatif tersebut telah mendorong para pemimpin di kawasan untuk membentuk suatu organisasi kerja sama di kawasan yang lebih baik. Untuk itu, Menteri Luar Negeri Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand melakukan berbagai pertemuan konsultatif secara intens sehingga disepakati suatu rancangan Deklarasi Bersama (Joint Declaration) yang isinya mencakup, antara lain, kesadaran perlunya

63

Ibid,hlm. 2.

64


(56)

37

meningkatkan saling pengertian untuk hidup bertetangga secara baik dan membina kerjasama yang bermanfaat di antara negara-negara di kawasan yang terikat oleh pertalian sejarah dan budaya.65

Untuk menindaklanjuti deklarasi tersebut, pada tanggal 8 Agustus 1967, bertempat di Bangkok, Thailand, lima Wakil Negara/Pemerintahan negara-negara Asia Tenggara, yaitu para Menteri Luar Negeri Indonesia – Adam Malik, Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan dan Menteri Pembangunan Nasional Malaysia – Tun Abdul Razak, Menteri Luar Negeri Filipina – Narciso Ramos, Menteri Luar Negeri Singapura – S. Rajaratnam, dan Menteri Luar Negeri Thailand – Thamat Khoman melakukan pertemuan dan menandatangani Deklarasi ASEAN (The ASEAN Declaration) atau Deklarasi Bangkok (Bangkok Declaration).66

Deklarasi Bangkok tersebut menandai berdirinya suatu organisasi kawasan yang diberi nama Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN). Organisasi ini pada awalnya bertujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian dan stabilitas wilayah, dan membentuk kerja sama di berbagai bidang kepentingan bersama. Sejak awal berdirinya ASEAN tahun 1967, banyak pihak yang meragukan status ASEAN sebagai organisasi internasional regional. Hal ini didasarkan dari instrumen pokok pendirian ASEAN yang hanya berbentuk deklarasi. Secara struktur organisasi juga masik belum sempurna. Akan tetapi kelebihan ASEAN

65

Ibid.

66

Kementerian Luar Negeri Indonesia, Sejarah ASEAN, dapat dilihat di


(1)

V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. ASEAN memiliki beberapa instrumen penyelesaian sengketa dalam menjaga kestabilitasan di kawasan Asia Tenggara. Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) adalah instrumen penyelesaian sengketa yang pertama dimiliki ASEAN, dalam TAC penyelesaian sengketa harus diawali dengan adanya negosiasi antar pihak yang bersengketa, TAC juga menghendaki adanya jasa-jasa baik, mediasi, dan konsiliasi. Jika upaya-upaya tersebut tidak bisa menyelesaikan sengketa, maka dapat diserahkan kepada High Council. TAC juga menghendaki menggunakan penyelesaian sengketa berdasarkan pasal 33 ayat (1) Piagam PBB. Dalam penyelesaian sengketa di bidang ekonomi ASEAN mempunyai Protocol on Dispute Settlement Mechanism 1996 (Protokol DSM 1996), Declaration of ASEAN Concord II 2003 (Bali Concord II), dan The ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism, 2004 (Protokol Vientiane 2004). Dalam Protokol DSM 1996, konsultasi merupakan tahap awal penyelesaian sengketa, kemudian dilanjutkan dengan jasa-jasa baik, konsiliasi, dan mediasi, jika belum menemukan titik


(2)

122

temu maka diserahkan kepada panel. Sedangkan, Bali Concord II terdiri dari tiga pilihan penyelesaian sengketa yaitu : Mekanisme Permohonan Nasihat (Advisory Mechanism), Mekanisme Konsultasi (Consultative Mechanism), dan Mekanisme Penegakan Hukum (Enforcement Mechanism). Protokol Vientiane 2004 adalah pengganti dari Protokol DSM 1996, Protokol Vientiane 2004 memiliki mekanisme yang hampir sama dengan DSM 1996, tetapi terdapat penguatan diberapa sisi, misalnya memperkuat kewenangan Senior Economic Officials Meeting (SEOM). Penyelesaian sengketa dalam tubuh ASEAN yang terakhir terdapat dalamASEAN Charter atau Piagam ASEAN 2007, mekanisme penyelesaian sengketa berawal dari adanya dialog, konsultasi, dan negosiasi, kemudian berlanjut ke jasa-jasa baik, mediasi, dan konsiliasi, jika belum ada kata sepakat di antara kedua belah pihak yang bersengketa maka sengketa dibawa ke arbitrase.

2. Dalam kasus invasi Vietnam ke Kamboja, ASEAN mengambil peran dalam penyelesaian kasus tersebut sesuai dengan TAC 1976 dengan berupaya mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk mencari jalan tengah menyelesaikan kasus tersebut. ASEAN mengadakan Jakarta Informal Meeting (JIM) untuk mempertemukan dan mencari titik temu dari kasus tersebut. JIM I menghasilkan lima butir kesepakatan. Kemudian diadakannya JIM II untuk menindaklanjuti hasil yang telah disepakati dalam JIM I, pada JIM II pihak-pihak yang bersengketa bersepakat mengadakan The Paris Conference on Cambodia pada 30-30 Agustus


(3)

123

1989 dan membentuk UN Transitional Authority in Cambodia (UNTAC) pada 23 Oktober 1991.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang didapat maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Harus ada penguatan dan dipertegasnya proses pelaksanaan mekanisme penyelesaian sengketa, dan perlu adanya pengaturan yang jelas dalam proses pelaksanaan putusan agar mekanisme penyelesaian sengketa ASEAN lebih efektif.

2. Perlu dibentuk suatu lembaga peradilan penyelesaian sengketa yang berlandaskan hukum untuk menyempurnakan mekanisme penyelesaian sengketa dalam tubuh ASEAN, dan juga perlu adanya badan-badan khusus yang konsentrasi mengatur masalah-masalah tertentu, contohnya HAM, sengketa perbatasan, ekonomi, dan lain-lain.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adolf, Huala. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

Chandler, David, Brother Number One: A Political Biography of Pol Pot, Silkworm Book, 1992.

Cipto, Bambang. Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1990.

DEPLU RI. ASEAN Selayang Pandang, Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, Jakarta, 2010.

Dipoyudi, Kirdi, Vietnam, Kamboja, dan Laos Dalam Dasawarsa 1980-an, Jakarta, Balai Penelitian dan Pengembangan Deplu, 1983

Harahap, Muchtar E dan Abriyanto M, Konflik Damai Kampuchea, Jakarta, NSEAS & FOGMA, 1990.

Istanto, F.Sugeng. Hukum Internasional. Yogyakarta, Universitas Atmadjaya Yogyakarta.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Metaliteit dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1982.

Koesrianti, The Development of The ASEAN Trade Dispute Settlement Mechanism:From Diplomacy to Legalism, Disertasi, UNSW, 2005

Mauna, Boer. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2011.

M. Echlos, John dan Shadily, Hasan. Kamus Inggris Indonesia dan Indonesia Inggris, Penerbit Gramedia, Jakarta, 1996.

Ndouk, Ovy, Penyerbuan RRC ke Vietnam, Jakarta, Yayasan Proklamasi, 1981. Prasetyo, Edy, Surutnya Signifikasi Masalah Kamboja dan Perubahan-Perubahan

di Asia Tenggara, Jakarta, Analisis CSIS, 1990.

Santoso, Loekito. Orde Perdamaian Memecahkan Masalah Perang (Penjelajah Polemologik).Jakarta, UI Pres. 1986.


(5)

Severino, Rodolfo. Asia Policy Lecture : What ASEAN Is and What It Stands For, The Research Institute for Asia and the Pacific, University of Sydney, Australia,1998.

Sudarsono. Kamus Hukum, Cetakan ke-3, Penerbit Rineka Cipta. Jakarta, 2002. Surbakti, Ramlan, Kampuchea Tahun 1975-1985. Surabaya, Universitas

Airlangga. 1985.

Tantowi, Jawahir dan Iskandar, Pranoto. Hukum Internasional Kontemporer, PT.RefikaAditama, Bandung.

Tarnama Putra, Hilton dan An Aqimuddin, Eka. Mekanisme Penyeselaian Sengketa di ASEAN Lembaga dan Proses, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011 Wallace, Rebecca. Hukum Internasional, Semarang, IKIP Semarang

B. Jurnal, Artikel, Makalah, Skripsi dan Sumber Internet lainnya

Afandi Sitamala, Makalah Hukum Penyelesian Sengketa pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Universitas Lampung, 2011 Apriani, Rinrin Desti, Keterlibatan Uni soviet dan Republik Rakyat Cina Dalam

Pendudukan Vietnam di Kamboja 1978-1991, Universitas Pendidikan Indonesia, Skripsi, 2013.

Basworo, Handityo, Tinjauan Yuridis Keberadaan Pangkalan Militer Asing Di Suatu Negara (Studi Terhadap kasus Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang Tahun 1960-2012), Universitas Jenderal Soedirman, Skripsi, 2012.

Mangku, Dewa Gede Sudika, Suatu Kajian Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional Termasuk Di Dalam Tubuh Asean, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Jurnal, 2012.

Sitompul, Poppy Luciana, Pemberlakuan Sanksi Ekonomi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Bagi Pemeliharaan Perdamaian dan Keamanan Internasional Berdasarkan Bab VII Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Universitas Indonesia, Tesis, 2012.

Setyawan, Heru, Kebijakan Pemerintahan Pol Pot di Kamboja Tahun 1975-1979 Universitas Sebelas Maret, Skripsi, 2007.

http://www.cambcomm.org.uk/holocaust.html

http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/01/17/konflik-kamboja-rezim-pol-pot-khmer-merah-431731.html

http://regional.kompasiana.com/2010/12/29/kamboja-dalam-penguasaan-pol-pot/ http://www.state.gov/r/pa/ei /bgn/2732.htm


(6)

http://www.kemlu.go.id/pages/Asean.aspx?IDP=6&I=id

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rj a&ved=0CC4QFjAB&url=http%3A%2F%2Fleeyaleeyut.files.wordpress.c

om%2F2010%2F10%2Fasean-part-2.doc&ei=5RgPU_6fEsaErgfsm4GoAw&usg=AFQjCNFpSHJmAEBjXPj QLTb08ebTO7JIyA&sig2=k4zx6AEt2a1xQwu94uVGRA

http://www.asean.org/asean/asean-structure http://www.aseansec.org/Ratification.pdf

http://ec.europa.eu/solvit/site/about/index_en.htm http://ditjenkpi.depdag.go.id/Umum/ACT.pdf

Menunggu Kartu Sang Pangeran, 27 Oktober 1979, Tempo. Perang Indocina Meletus Lagi, 14 Januari 1978, Tempo. Gajah Putih dan Nona Penh, 9 Juli 1988, Kompas

Jim Kemarin Berakhir Lahirkan 7 Pernyataan Bersama dan 2 Keputusan Kelompok, 29 Juli 1988, Suara Merdeka.

C. DOKUMEN ASEAN Charter 2007

Manila Declaration on The Peaceful Settlement of International Disputes Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) 1976

Protocol on Dispute Settlement Mechanism 1996

The Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation, 1992. Declaration of ASEAN Concord II 2003

Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism (Protokol Vientiane) 2004 United Nations Charter

Rules of Procedure of The High Council of Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia