Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh : NURDIANSYAH

1111048000049

K O N S E N T R A S I K E L E M B A G A A N N E G A R A P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M.

Masalah yang akan diteliti dalam penetian ini adalah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang. Dari permasalahan tersebut, maka dilakukan penelitian ini dengan tujuan meneliti lebih dalam tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi, khususnya dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang dengan menelaah peraturan perundangan-undangan yang terkait serta melihat dissenting opinion hakim tindak pidana korupsi dalam menafsirkan tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai bahan pertimbangan analisis atas permasalahan yang akan diteliti.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach). Adapun data yang digunakan yaitu data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Dalam pengumpulan data menggunakan teknik pengumpulan data secara library research (studi kepustakaan), baik bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi untuk dikaji secara komprehensif. Dalam menganalisis data menggunakan metode penalaran (logika) deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu masalah yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang terkait tindak pidana pencucian uang tidak dijelaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang.

Kata Kunci : Kewenangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Penuntutan, Tindak Pidana Pencucian Uang

Pembimbing I : Dr. Wahiduddin Adams, SH, MA Pembimbing II : Arip Purkon, MA


(6)

v

Alhamdulillah, segala piji bagi Allah S.W.T., Tuhan semesta alam. Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad S.A.W. beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Tiada cipta karya melainkan atas petunjuk dari-Nya. Karena rahmat dan ridho-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul “KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN

KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG”.

Dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini tidaklah mudah. Namun, segala hambatan akan menjadi ringan karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Bapak Dr. JM. Muslimin, MA periode 2014-2015 dan Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA yang telah mengayomi kami.

2. Ketua dan Sekertaris Program Studi Ilmu, Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, SH. MH dan Bapak Arip Purkon, MA yang telah membimbing, meluangkan waktu dan mengarahkan segenap aktifitas yang berkenaan dengan Program Studi Ilmu Hukum.


(7)

vi

memberi arahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Penguji Skripsi Penulis Bapak Dr. Alfitra, SH. MA dan Bapak Nur Rohim Yunus L. LM yang telah menguji skripsi penulis dan memberikan arahan dalam penulisan skripsi.

5. Pembimbing Akademik, Bapak Ahmad Bachtiar, M. Hum dan Bapak Nur Rohim Yunus, L. LM yang sudah banyak membantu penulis selama ini.

6. Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Bapak Wawan Yunarwanto,SH yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan wawancara pribadi sebagai bahan dalam skripsi ini.

7. Spesialis Kerjasama Pada Direktorat Kerjasama dan Humas PPATK, Bapak Boby Mokosugianta, SH dan Ibu Dhiyah Ferawati, SH yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan wawancara pribadi sebagai bahan dalam skripsi ini.

8. Segenap dosen yang telah mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada penulis, Pimpinan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta baik perputakaan Fakultas maupun Perpustakaan Utama yang telah member fasilitas untuk melakukan studi kepustakaan, Karyawan serta petugas umum Fakultas Syariah dan Hukum pada khususnya dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya.


(8)

vii

yang terutama doanya serta motivasi yang tiada henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi tepat waktu, juga adik-adikku tercinta dan segenap keluargaku yang telah memberikan dorongan dan doa selama kuliah sampai selesainya skripsi ini. Serta teman special penuli,

10.Teman spesial yaitu Verina pradita Agusti yang selalu menemani, memberi motivasi serta semangat untuk terus percaya diri dan memberikan sumbangsih pemikiran kepada penulis sampai selesainya skripsi ini.

11.Teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum khususnya Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2011 dan semua pihak yang belum tersebut, terima kasih telah memberikan dan inspirasi, motivasi dan bantuan serta dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Demikian ucapan terima kasih penulis, semoga Allah S.W.T. memberikan pahala dan balasan yang setimpal atas semua jasa-jasa mereka. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang banyak.

Jakarta, 18 Maret 2015 M


(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ... 10

E. Kerangka Konseptual ... 11

F. Metode Penelitian... 13

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG KEWENANGAN DAN LEMBAGA NEGARA A. Teori Tentang Kewenangan ... 20

1. Pengertian Kewenangan ... 20

2. Jenis-jenis Kewenangan ... 24

B. Teori Tentang Lembaga Negara... 27

1. Pengertian Lembaga Negara ... 27

2. Jenis-jenis Lembaga Negara ... 29


(10)

ix

Korupsi ... 33

2. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi ... 35

3. Visi dan Misi Komisi Pemberantasan Korupsi ... 37

4. Landasan Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi... 38

B. Pencucian Uang ... 39

1. Pemahaman Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ... 39

2. Hubungan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Tindak Pidana Korupsi ... 42

BAB IV ANALISIS KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Konstruksi Hukum Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 46

B. Dissenting Opinion para hakim Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dalam menafsirkan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 59

C. Prospek Pengaturan Kewenangan Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Terkait Dengan Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Masa Mendatang ... 68

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), dan menjamin semua warga negara dengan kedudukan yang sama dimata hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya termasuk di Negara Indonesia. Secara umum, pengertian tindak tidana korupsi adalah suatu perbuatan curang yang merugikan keuangan negara.1 Menurut Adnan Buyung Nasution, korupsi yang sudah terjadi secara sistematis dan meluas ini bukan hanya merupakan tindakan yang merugikan keuangan negara melainkan juga merupakan satu pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).2

Munurut Andi Hamzah, korupsi secara etimologis berasal dari bahasa latin yaitu “corruptio” atau “corruptus” yang dalam bahasa Eropa seperti Inggris yaitu “coruption”, dalam bahasa Belanda “korruptie” yang selanjutnya muncul pula dalam

1

Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, cet.III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 15.

2

Adnan Buyung Nasution, Pentingnya Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi


(12)

perbendaharaan bahasa Indonesia: korupsi, yang dapat berarti suka di suap.3 Lalu bila dilihat di dalam Black’s Law Dictionary sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain.4Arti harfiah dari kata itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.5 Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata „korupsi‟ diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang , penerimaan uang sogok dan sebagainya.6

Seiring dengan perkembangan zaman, tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang sangat erat kaitannya. Hal tersebut dikarenakan di dalam tindak pidana pencucian uang, korupsi dapat menjadi predicate crime (tindak pidana asal) dalam tindak pidana pencucian uang. Pada hakikatnya pencucian uang adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau harta kekayaanhasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari

3

Andi Hamzah, Delik-delik Tersebar Di Luar KUHP dengan Komentar (Jakarta: Pradnya Paramita, 1995), h. 135.

4

Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi (Pena Multi Media, 2008), h. 2.

5

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi:Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 4-5.

6

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi:Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,


(13)

kegiatan yang sah/legal.7 Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki hubungan atau keterkaitan yang sangat fundamental. Hal tersebut secara jelas dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.Dalam Undang-Undang itu sendiri dikenal satu istilah yang disebut dengan “tindak pidana asal” (predicate crime).Tindak pidana asal (predicate crime) didefenisikan sebagai tindak pidana yang memicu (sumber) terjadinya tindak pidana pencucian uang. Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. Korupsi, b. Penyuapan, c. Narkotika, d. Psikotropika, e. Penyelundupan tenaga kerja, f. Penyelundupan migrant, g. Di bidang perbankan, h. Di bidang pasar modal, i. Di bidang perasuransian, j. Kepabeanan, k. Cukai, l. Perdagangan orang, m. Perdagangan senjata gelap, n. Terorisme, o. Penculikan, p. Pencurian, q. Penggelapan, r. Penipuan, s. Pemalsuan, t. Perjudian, u. Prostitusi, v. Di bidang perpajakan, w. Di bidang kehutanan, x. Di bidang lingkungan hidup, y. z. Di bidang kelautan dan perikanan dan Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau diluar wilayah Negara Kesatuaan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Pada umumnya pelaku tindak pidana Pencucian Uang berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil

7Wikipedia, “

Pencucian Uang”, artikel diakses pada 1 November 2014 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang.


(14)

dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.8

Dalam pemberantasan korupsi, lembaga yang khusus menangani pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat Independen dan Bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Tujuan dibentuknya KPK adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.Kaitannya dengan tindak pidana pencucian uang, KPK mempunyai wewenang dalam menangani kasus tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya (predicate crime) Korupsi. Hal tersebut telah Diatur dalam Pasal 74 Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu: “Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-undang ini.”

8


(15)

Penjelasan Pasal 74, yaitu yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” dalam Undang-undang No. 8 tahun 2008 adalah pejabat dari instansi yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Dalam melakukan upaya Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk pertama kalinya, KPK menjerat M. Nazaruddin dalam kasus tindak pidana pencucian uang saham Garuda pada Februari 2012. KPK mulai sering menggunakan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk menjerat tersangka korupsi. Mereka antara lain Wa Ode Nurhayati, Djoko Susilo, Luthfi Hasan Ishaaq, Ahmad Fathanah, Rudi Rubiandini, M. Akil Mochtar, dan Anas Urbaningrum.9 Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah cara efektif untuk membuka peluang lebih besar terhadap pengembalian keuangan negara. Hampir semua kasus yang ditangani KPK menggunakan Undang-undangTindak Pidana Pencucian Uang. Penggabungan kasus korupsi dengan Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan keuntungan tersendiri bagi KPK dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi. Pertama, lebih banyak aktor yang terjerat, termasuk korporasi. Kedua, hukuman lebih maksimal. Ketiga,

9HukumOnline.com, “

Grey Area Penanganan TPPU”, artikel diakses pada 1 November

2014 dari http://www.hukumonline.com/ berita/baca/lt52f0d3968ed1f/grey-area-penanganan-tppu-bagian-1.


(16)

mengefektifkan pengembalian aset negara. Dan keempat, bisa memiskinkan koruptor.10

Permasalahan yang dihadapi KPK dalam Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu dalam hal penuntutan. Hal tersebut dikarenakan tidak diaturnya secara jelas kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang di dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uangkewenangan KPK dalam hal penuntutan.

Perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) para hakim TIPIKOR yang dapat dilihat terjadi pada perkara Lutfi Hasan Ishaq dan Ahmad Fathanah dimana ada 2 majelis hakim yaitu menyatakan setuju bila KPK dapat melakukan penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang,yaitu Hakim I Made Hendra dan Joko Subagyo ,dimana kedua hakim tersebut menyatakan bahwa jaksa KPK tidak berwenang menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang.11 Perbedaan pendapat ini menjadi tidak terhindarkan karena Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang memang tidak mengatur kewenangan jaksa KPK menuntut perkara Tindak Pidana Pencucian Uang tetapi dalam kenyataannya jaksa KPK dapat melakukan penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang.12 Berdasarkan uraian tersebut di atas,

10

HukumOnline.com, “Grey Area Penanganan TPPU”.

11

HukumOnline.com, KPK “Berwenang Tangani TPPU Sejak 2002”, artikel diakses pada 2

November 2014 darihttp:// www.hukumonline.com/berita/baca/lt52267e44e3133/kpk-berwenang-tangani-tppu-sejak-2002.

12

Muhammad Fadli, “Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang”, Jurnal Legislasi Indonesia, no. 1 Vol 11 (2014): h. 15.


(17)

penulis merasa perlu untuk membahas dan meneliti secara lebih mendalam atas berbagai fenomena tersebut serta penelitian ini dapat dijadikan sebagai skripsi dengan tema atau judul tentang “KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN

KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis membatasi penelitian ini yaitu membahas tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penututan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dihubungkan dengan Undang-undang, teori-teori, kasus-kasus dan wawancara pihak-pihak yang terkait, serta Dissenting Opinion para hakim Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dalam menafsirkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang.

2. Perumusan Masalah

Berdasar dari latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang telah diuraikan, menurut peraturan perundang-undangan tidak dijelaskan tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang tetapi dalam kenyataannya Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melalukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang. Rumusan tersebut di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan yaitu sebagai berikut:


(18)

1. Bagaimana Konstruksi Hukum/Argumentasi Yuridis sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi merasa berwenang dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang?

2. Bagaimana Dissenting Opinion para hakim Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dalam menafsirkan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang?

3. Bagaimana prospek pengaturan kewenangan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang yang terkait dengan kasus Tindak Pidana Korupsi di masa mendatang?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dalam setiap penelitian tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Penelitian tentang Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki tujuan yaitu sebagai berikut: a. Tujuan secara Umum

1) Untuk mengetahui Konstruksi Hukum/ Argumentasi Yuridis kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang.

2) Untuk mengetahui Dissenting Opinion para hakim Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dalam menafsirkan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(19)

3) Untuk mengetahui prospek pengaturan kewenangan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang yang terkait dengan kasus Tindak Pidana Korupsi di masa mendatang.

b. Tujuan secara khusus yaitu untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Konsentrasi Kelembagaan Negara, Program Studi Ilmu Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Manfaat Penelitian

Dalam setiap penelitian, disamping memiliki tujuan tentunya penulis juga mengharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca penelitian ini. Adapun manfaat yang diharapkan dan dihasilkan dalam penelitian ini antara lain:

a. Manfaat Teoritis

1) Memberikan manfaat terhadap khasanah perkembangan ilmu hukum, khususnya lembaga negara yang bertugas melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang .

2) Menambah dan memperkaya referensi dan literature kepustakaan hukum tata negara yang kaitannya tentang Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(20)

1) Menjadi kesempatan bagi penulis untuk membentuk dan mengembangkan penalaran dan pola pikir ilmiah serta dapat menguji dan mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh. 2) Memberi sumbangan pemikiran bagi institusi atau lembaga yang terkait

langsung terhadap penelitian ini.

3) Dapat menjadi jawaban atas masalah yang diteliti dalam penelitian ini.

D. Kajian (Review) Studi Terdahulu

Dalam melakukan penelitian ini, penulis melihat kajian atau review terdahulu sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan dalam penelitian ini. Adapun kajian atau review terdahulu yang menjadi acuan antara lain:

1. Skripsi mengenai “Eksistensi State Auxiliary Organs Dalam Rangka

Mewujudkan Good Governance” oleh Angga Martandy Prihantoro,

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2010, skripsi ini membahas tentang keberadaan dan kedudukan State Auxiliary Organs yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia serta dalam mewujudkan Good Governance di Indonesia, sedangkan penelitian ini membahas tentang kewenangan Komisi Pemberantasan korupsi dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya dalam hal penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang.

2. Skripsi mengenai “Tugas dan Wewenang kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penanggulangan Tindak Pidana Korupsi


(21)

(Kajian Perbandingan)” oleh Evi Yuliani, Mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2009, Skripsi ini membahas tentang membandingkan tugas dan wewenang Kejaksaan dengan Komisi Pemberansan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Korupsi dalam hal penuntutan, sedangkan dalam penelitian ini membahas tentang membahas kewenangan Komisi Pemberansan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang .

3. Skripsi mengenai “Indepedensi Yuridis KPK: Telaah Teoritis dan Praktis

oleh Benu Pangestu, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013, Skripsi ini membahas tentang urgensi dan tantangan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, serta mengkaji lebih tentang peran dan kedudukan KPK di dalam struktur kelembagaan Negara berdasarkan undang-undang yang terkait, sedangkan penelitian ini khusus membahas tentang kewenangan Komisi Pemberansan Korupsi dalam pentuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang.

E. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitanantara konsep satu terhadap konsep yang lainya dari masalah yang inginditeliti. Kerangka konsep ini gunanya untuk menghubungkan ataumenjelaskan secara panjang lebar tentang suatu topik yang akan dibahas. Kerangka konseptual menjelaskan


(22)

pengertian-pengertian yang berkaitan dengan istilah-istilah yang digunakan dalam penulisan ini, antara lain:

1. Menurut Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat Independen dan Bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dan dibentuk dengan Tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

2. Kewenangan adalah hak seorang individu untuk melakukan sesuatu tindakan dengan batas-batas tertentu dan diakui oleh subjek hukum dalam suatu kelompok tertentu.

3. Menurut Pasal 1 angka 6 KUHAP, Penuntut Umum adalah jaksa yang telah diberi wewenang melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 4. Menurut Pasal 1 angka 6 KUHAP, Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang

melakukan penuntutan serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

5. Menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jaksa KPK adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

6. Menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP, Penuntutan adalah tindakan penuntut untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan


(23)

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di siding pengadilan.

7. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.13

8. Pencucian Uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-asul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.14

9. Korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian Negara.15

10.Dissenting Opinion adalah suatu pendapat berbeda yang dilakukan oleh seorang anggota/beberapa majelis hakim minoritas, yang wajib dimuat dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

F. Metode Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya adalah suatu proses sistematis dan terencana untuk menemukan aturan-aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, serta doktrin-doktrin

13

Roni Wiyanto, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia (Bandung, C.V.Mandar Maju, 2012), h. 160.

14

Aziz syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Cet. IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 19.

15


(24)

guna menjawab isu hukum yang dihadapi secara kontekstual.16 Adapun Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan penulis sebagai berikut:

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.17 Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, dan kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian uang.

2. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach).Pendekatan undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.Selain itu, penulis juga menggunakan Pendekatan kasus (case approach) yang dilakukan

16

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Prenada Media: Jakarta, 2005), h. 35.

17

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,


(25)

dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yang telah menjadi putusan pengadilan serta melihat dissenting opinion hakim Tindak Pidana Korupsi dalam menafsirkan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang.

3. Sumber Data

Dalam penelitian normatif ini jenis data yang digunakan adalah data hukum sekunder. Menurut Soerjono Soekanto, data hukum sekunder dibagi menjadi:18

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Bahan-bahan hukum primer meliputi undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.19Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Undang-undang Hukum Acara Pidana;

2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi;

18

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

cet XI, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 59. 19


(26)

3) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan penelitian ini, yang memberikan penjelasan mendalam mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah buku-buku, skripsi, tesis, majalah, jurnal hukum, wawancara ahli, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang serta artikel ilmiah dan tulisan di internet. c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.Dalam hal ini penulis membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk mencari istilah-istilah yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara library research (studi kepustakaan) serta wawancara ahli/seseorang yang berwenang atau berkompeten, baik bahan hukum primer dan bahan


(27)

hukumsekunder dan bahan hukum tersier dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi untuk dikaji secara komprehensif.20

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Penelitian ini mendeskripiskan data-data yang diperoleh selama penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan-bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan.21 Data kualitatif adalah fokus dari penelitian ini. Dengan demikian penulis berharap untuk dapat memberikan gambaran utuh dan menyeluruh bagi berbagai fenomena yang ingin diteliti, yaitu seputar permasalahan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang dan pada akhirnya memberikan simpulan yang solutif untuk memecahkan permasalahan yang diteliti dengan memberikan rekomendasi seperlunya.Metode penalaran yang dipilih oleh penulis adalah metode penalaran (logika) deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu masalah yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. 6. Metode Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini mulai dari awal hingga akhir mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

20

Suratman dan H. Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 123.

21

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), h. 52.


(28)

G. Sistematika Penelitian

Dalam penelitian hukum terdapat sistematika penelitian yang berguna untuk memudahkan peneliti menelaah dan mengkaji penelitian.Pada penelitian ini yang berjudul “Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang” penulis merasa perlu untuk menguraikan terlebih dahulu sistematika penulisan sebagai gambaran singkat. Sesuai dengan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012. Penulis menyusun sistematika yang terbagi dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun rinciannya yaitu sebagai berikut:

BAB Pertama, PENDAHULUAN yang berisi tentang uraian latar belakang, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) studi terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penelitian.

BAB Kedua, LANDASAN TEORI TENTANG KEWENANGAN DAN LEMBAGA NEGARA yang berisi teori tentang kewenangan dan teori tentang lembaga Negara. Dimana teori tentang kewenangan menjelaskan pengertian kewenangan dan jenis-jenis kewenangan, sedangkan teori tentang lembaga Negara menjelaskan tentang pengertian lembaga Negara, jenis-jenis lembaga Negara, dan lembaga negara penunjang (auxiliary state organs).

BAB Ketiga, KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG yang berisi tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pencucian uang, dimana Komisi pemberantasan Korupsi menjelasakan latar belakang dan tujuan


(29)

pembentukan komisi pemberantasan korupsi, Tugas, wewenang dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi, Visi danmisiKomisi Pemberantasan Korupsi, dan Landasan hukum Komisi Pemberantasan Korupsi, sedangkan Pencucian Uang menjelaskan tentang Pemahaman Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Hubungan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Tindak Pidana Korupsi.

BAB Keempat, ANALISA KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG yang berisi tentang deskripsi hasil penelitian atas permasalahan yang telah dirumuskan oleh penulis yaitu Pertama, Konstruksi Hukum/Argumentasi Yuridis kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kedua, Dissenting Opinion para hakim tindak pidana korupsi (TIPIKOR) dalam menafsirkan kewenangan komisi pemberantasan korupsi dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang.Ketiga, Prospek pengaturan kewenangan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang yang terkait dengan kasus Tindak Pidana Korupsi di masa mendatang.

BAB Kelima, PENUTUP yang berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian, serta memberi saran-saran sebagai evaluasi dari penelitian.


(30)

BAB II

LANDASAN TEORI TENTANG KEWENANGAN DAN LEMBAGA NEGARA

A. Teori Tentang Kewenangan 1. Pengertian Kewenangan

Dalam Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara dikenal istilah kewenangan, dimana istilah kewenangan diberikan kepada suatu organ Negara/lembaga Negara. Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya kedudukan wewenang ini sehingga F.A.M. Stroik dan J.G. Steenbeek menyatakan: “Het begrip bevoegdheid is dan ook een kembegrip in het staats-en administratief recht”.22 Dari pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi.

Dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI) sebagaimana dikutip oleh Kamal Hidjaz, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada

22

E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en. Administratief Recht (Alphen aan den Rijn : Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985), h. 26.


(31)

orang/badan lain.23 Kewenangan biasa disebut dalam bahasa Inggris dengan sebutan Authority yang dalam Black S Law Dictionary diartikan sebagai “Legal power; a right to command or to act; the right and power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties”.24

Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik.

Dalam mendefinisikan kewenangan terdapat banyak definisi yang dijelaskan oleh pakar/ahli yaitu antara lain:

a. Menurut Philipus M. Hadjon, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.25

b. Menurut F.P.C.L. Tonner berpendapat sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR “Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het vermogen om positief recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te scheppen”. Dari kalimat tersebut dapat diterjemahkan bahwa kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan

23

Kamal Hidjaz, Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia (Makasar: Pustaka Refleksi, 2010), h. 35.

24

Henry Campbell Black, Black’S Law Dictionary ( West Publishing, 1990), h. 133.

25Philipus M. Hadjon, “

Tentang Wewenang”, YURIDIKA, No.5&6 Tahun XII, September – Desember, 1997 , h.1.


(32)

hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintahan dengan warga Negara.26

c. Menurut Ferrazi kewenangan yaitu sebagai hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu.27

d. Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang.28 Atas hal tersebut harus dibedakan antara kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh

undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel

(bagian) tertentu saja dari kewenangan.

e. Menurut S. F. Marbun, Kewenangan dan wewenang harus dibedakan. Kewenangan (authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap sesuatu bidang pemerintahan tertentu secara bulat. Sedangkan wewenang (competence, bevoegdheid) hanya mengenal bidang tertentu saja. Dengan demikian, kewenangan berarti kumpulan dari wewenang-wewenang

26

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 100.

27

Ganjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), h. 93.

28 Ateng Syafrudin, “

Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab”, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, (Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), h. 22.


(33)

(rechsbevoegdheden). Jadi, wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan peraturan perundang-undangan untuk melakukan hubungan hukum.29

Dari definisi yang dijelaskan oleh para ahli, bila dilihat dari sisi tata Negara dan administrasi Negara, penulis berpendapat bahwa kewenangan adalah suatu hak yang dimiliki oleh suatu organ Negara/lembaga Negara berupa wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan atau peraturan tertentu untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai organ Negara/lembaga Negara. Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada suatu organ Negara/lembaga Negara adalah kewenangan yang memiliki legitimasi, sehingga munculnya kewenangan adalah membatasi agar penyelenggara negara dalam melaksanakan pemerintahan dapat dibatasi kewenangannya agar tidak berlaku sewenang-wenang. Dalam mengaplikasikan suatu kewenangan yang dimiliki oleh suatu organ Negara/lembaga Negara, penulis memberi contoh yaitu mengenai kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dalam pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu member wewenang kepada KPK untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.

29

Kamal Hidjaz, Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia (Pustaka Refleksi, Makasar, 2010), h. 35.


(34)

2. Jenis-Jenis Kewenangan

Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.30 Dalam memperoleh kewenangan ada tiga cara untuk memperoleh kewenangan yaitu antara lain:

a. Atribusi, yaitu pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali.31 Artinya kewenangan itu bersifat melekat terhadap organ pemerintahan tersebut yang dituju atas jabatan dan kewenangan yang diberikan kepada organ pemerintahan tersebut.

b. Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain.32 Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk

30

Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), h. 65.

31

Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008), h. 104.

32


(35)

selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang.

c. Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahari itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk gungmembuat keputusan a/n pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat.33 Tanggungjawab tidak berpindah ke mandataris, melainkan tanggungjawab tetap berada di tangan pemberi mandat, hal ini dapat dilihat dan kata a.n (atas nama). Dengan demikian, semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab si pemberi mandat.34

Jika melihat cara-cara memperoleh suatu kewenangan organ pemerintahan/lembaga Negara, penulis menghubungkan teori kewenangan ini dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pertama, dengan cara atribusi kewenangan dimana dalam Pasal 68 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjelaskan bahwa“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang ini dilakukan

33 Philipus M. Hadjon, “

Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid)”, Pro Justitia Tahun XVI, no.I (Januari 1998), h. 90.

34Philipus M. Hadjon, “


(36)

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Disitu ada kata-kata “dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” artinya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sifatnya tidak menutup dari undang-undang lain, dalam hal ini masih ada kemungkinan KPK menggunakan Undang-Undang no. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang memberikan KPK kewenangan penuntutan.

Kedua, dengan cara Delegasi dimana dalam hal penyidikan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh penyidik KPK, apabila dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik KPK ada indikasi tindak pidana pencucian uang, maka berdasarkan pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010, maka penyidik KPK dapat menggabungkan antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang. kemudian setelah penyidikan selesai, maka penyidik KPK melaporkan atau berkoordinasi dengan penuntut umum KPK untuk selanjutnya diteruskan ke tahap penuntutan oleh jaksa KPK.

Ketiga, dengan cara Mandat dimana Komisi Pemberantasan Korupsi memberi mandat kepada jaksa KPK untuk melakukan penuntutan atas perkara tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah korupsi sebagai penuntut umum KPK dengan bertindak atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi.


(37)

B. Teori Tentang Lembaga Negara 1. Pengertian Lembaga Negara

Di dalam suatu Negara, tentunya memiliki organ-organ Negara yang biasa disebut dengan istilah Lembaga Negara. Istilah lembaga Negara dalam kepustakaan Inggris, biasa disebut dengan istilah Political Institution, sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah Staat Organen. Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara, badan negara, atau organ Negara.35

Dalam memahami istilah organ atau lembaga Negara secara dalam, dapat dilihat dari pandangan Hans Kelsen sebagaimana yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie mengenai “The concept of state organ” dalam bukunya “General Theory of Law and State”, dimana dalam bukunya tersebut Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ”.36 Dari kalimat tersebut dapat diartikan bahwa siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya, organ Negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ Negara yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat juga disebut sebagai organ,

35

Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005), h. 88.

36

Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi


(38)

asalkan fungsi-fungsinya bersifat menciptakan norma (norm creating) dan/atau menjalankan norma (norm applying).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana yang dikutip oleh Firmansyah Arifin, dkk, kata “lembaga” memiliki beberapa arti, salah satu arti yang paling relevan digunakan dalam penelitian ini adalah badan atau organisasi yang tujuannya melakukan suatu usaha. Kamus tersebut juga memberi contoh frase yang menggunakan kata lembaga, yaitu “lembaga

pemerintah” yang diartikan sebagai badan-badan pemerintahan dalam

lingkungan eksekutif. Apabila kata “pemerintah” diganti dengan kata “negara”, maka frase “lembaga negara” diartikan sebagai badan-badan negara di semua lingkungan pemerintahan Negara (khususnya di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif).37

Seiring dengan perkembangannya, pemahaman tentang lembaga Negara muncul dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-1/2003 atas pengujian Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang menyatakan bahwa “dalam sistem ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga Negara tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga Negara yang dimaksudkan dalam UUD yang keberadaannya atas dasar perintah konstitusi, tetapi juga ada yang dibentuk atas perintah undang-undang dan bahkan ada lembaga Negara yang dibentuk atas dasar keputusan presiden”.

37

Firmansyah Arifin dkk.,Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara


(39)

Pertimbangan tersebut dikutip kembali pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 031/PUU-IV/2006 atas pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Dari pengertian-pengertian mengenai istilah lembaga Negara, penulis sependapat dengan pendapat mahkamah konstitusi di dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-1/2003 dan menarik kesimpulan bahwa lembaga Negara adalah suatu organ Negara yang dibentuk oleh Negara baik melalui UUD 1945, Undang-undang maupun Keputusan Presiden yang memiliki tugas dan fungsinya serta wewenang yang diatur oleh peraturan yang terkait sebagai penyelenggara Negara.

2. Jenis-jenis Lembaga Negara

Ketentuan UUD 1945 tidak mengklasifikasikan jenis-jenis lembaga Negara. dalam memahami jenis-jenis Lembaga Negara secara teori ada 3 jenis lembaga Negara yaitu antara lain: Lembaga Negara Utama, Lembaga Negara Kedua, Lembaga Negara Ketiga. Sebagaimana penjelasan sebagai berikut: a. Lembaga Negara Utama

Lembaga Negara utama adalah lembaga tinggi Negara yang tugas dan wewenangnya diatur oleh Undang-undang dasar 1945. Lembaga tinggi Negara ini terbagi atas Lembaga Legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Adapun organ Negara yang termasuk lembaga Negara utama antara lain: DPR, DPD, MPR, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK, dan BPK.


(40)

b. Lembaga Negara Kedua

Lembaga Negara kedua adalah Lembaga Negara yang kewenangannya disebutkan di dalam UUD 1945 dan Undang-undang. Lembaga Negara kedua ini disebutkan secara eksplisit ataupun Implisit di dalam Undang-undang dasar 1945 selain lembaga Negara Utama/lembaga tinggi Negara.38 Adapun organ Negara yang termasuk lembaga Negara kedua antara lain: Kementerian, Kepolisian RI, Kejaksaan RI, TNI, Bank Sentral, dan lain sebagainya.

c. Lembaga Negara Ketiga

Lembaga Negara ketiga adalah lembaga Negara dalam lingkup pemerintahan daerah. Adapun organ Negara yang termasuk lembaga Negara ketiga antara lain: Gubernur/Bupati/Walikota Pemerintahan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. 3. Lembaga Negara Penunjang (Auxiliary State Organs)

Dalam memahami istilah Lembaga Negara Penunjang (Auxiliary State Organs), ada beberapa istilah-istilah yang disamakan dengan Auxiliary State Organs, ada yang menyebutkan komisi Negara, ada yang menyebutkan Auxiliary State bodies, Auxiliary State Agencies dan adapula yang menyebutkan sebagai lembaga Negara Independen.

38

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana, 2010), h. 179.


(41)

Menurut Jimly Asshidiqie yang menyebutkan lembaga Negara penunjang sebagai komisi Negara memberikan definisi yaitu komisi Negara adalah organ Negara (state organ) yang diedealkan independen dan karenanya berada diluar kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.39 Dengan demikian dapat dipahami bahwa Lembaga Negara penunjang ini bebas dari pengaruh dan intervensi manapun. Lembaga Negara penunjang (Auxiliary State Organs) dibagi menjadi 2 yaitu:40

a. Komisi Negara Eksekutif (Executive Branches Agencies)

Komisi Negara Eksekutif adalah Komisi Negara yang tugas dan fungsinya dimaksudkan untuk membantu kinerja dari lembaga eksekutif. Adapun organ Negara yang termasuk dalam Komisi Negara Eksekutif antara lain: Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Hukum Nasional, ,Komite Akreditasi Nasional, dan lain sebagainya.

b. Komisi Negara Independen (Independent Regulatory Agencies)

Komisi Negara Independen adalah Suatu organ Negara/komisi yang independen, karena berada diluar dari kekuasaan manapun (kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dan bertanggung jawab langsung kepada rakyat melalui DPR sebagai representatif dari rakyat, namun mempunyai fungsi dari ketiga lembaga tersebut (legislatif,

39

Denny Indrayana, Negara Antara Ada Dan Tiada Refomasi Hukum Ketatanegaraan

(Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008), h. 265-266.

40

Sri Sumantri, Lembaga Dan Auxikiary Bodies Dalam Sitem Ketatanegaraan Mnurut UUD 1945 (Surabaya, Airlangga University Press, 2002), h. 204.


(42)

eksekutif, dan yudikatif). Adapun organ Negara yang termasuk dalam Komisi Negara Eksekutif antara lain: Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Penyiaran Indonesia, PPATK, Komnas HAM, dan lain sebagainya.41

Dalam hal ini, penulis menghubungkan teori tentang Lembaga Negara Penunjang/Independen (auxiliary state organs) dengan penelitian ini karena Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu dari Lembaga Negara Penunjang/Independen (auxiliary state organs). KPK merupakan Lembaga Negara yang dalam menjalankan kewenangannya bebas dari pengaruh dan intervensi pihak atau lembaga manapun baik dalam upaya pemberantasan korupsi maupun tindak pidana pencucian uang termasuk kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian, meskipun dalam banyak pihak memperdebatkan perihal kewenangan KPK dalam penuntutan TPPU seperti halnya dissenting opinion hakim TIPIKOR dalam putusan pengadilan terkait tindak pidana pencucian uang.

41

Sri Sumantri, Dan Auxikiary Bodies Dalam Sitem Ketatanegaraan Mnurut UUD 1945, h. 208.


(43)

BAB III

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG

A. Komisi Pemberatasan Korupsi

1. Latar Belakang dan Tujuan Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam penanganan tindak pidana korupsi, harus diakui bahwa eksistensi lembaga pemerintahan yang menangani perkara korupsi belum berfungsi secara efektif dan effesien dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal demikian diperparah oleh indikasi adanya keterlibatan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi. Paling tidak terdapat 3 alasan yang membuat hal demikian terjadi yaitu: Pertama, melalui media massa seringkali ditemukan adanya beberapa kasus korupsi besar yang tidak pernah jelas ujung akhir penanganannya. Kedua, pada kasus tertentu juga sering terjadi adanya pengeluaran SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) oleh aparat terkait sekalipun bukti awal secara yuridis dalam kasus tersebut sesungguhnya cukup kuat. Ketiga, kalaupun suatu kasus korupsi penanganannya sudah sampai di persidangan pengadilan, seringkali public dikejutkan bahkan dikecewakan oleh adanya vonis-vonis yang melawan arus dan rasa keadilan masyarakat.42

Selain itu, penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami

42

Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2011), h.169.


(44)

berbagai hambatan. Untuk itulah diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, propesional serta berkesinambungan.43 Pembentukan lembaga yang diharapkan mampu memberantas atau paling tidak meminimalisir maraknya kasus korupsi salah satunya adalah dengan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam bagian konsideran huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan, bahwa debentuknya Komisi tersebuat karena di satu sisi realitas korupsi di Indonesia dinilai semakin memperihatinkan dan menimbulkan kerugian besar terhadap keuangan maupun perekonomian Negara sehingga menghambat pembangunan nasional dalam mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Pada sisi lain, upaya pemberantasan korupsi yang telah berjalan selama ini dinilai pula belum terlaksana secara optimal. Karena aparat penegak hukum yang bertugas menangani perkara tindak pidana korupsi dipandang belum dapat berfungsi secara efektif dan effesien.44

Mengenai latar belakang dan tujuan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, penulis sependapat dengan pendapat yang

43

Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional Dan Aspek Internasional

(Bandung: Mandar Maju, 2004), h. 26-29.

44


(45)

dikemukakan oleh Ryaas Rasyid sebagaimana dikutip oleh Ni‟matul Huda yang menyatakan “Fenomena menjamurnya komisi Negara memberi kesan bahwa Indonesia berada dalam darurat karena pelbagai institusi yang ada selama ini tidak berperan serta berjalan efektif sesuai dengan ketatanegaraan dan konstitusi. DPR belum mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja lembaga Negara yang berada di bawah lembaga eksekutif. Di sisi lain, lembaga kuasi Negara adalah terobosan sekaligus perwujudan ketidakpercayaan rakyat dan pimpinan Negara terhadap lembaga kenegaraan yang ada”.45

Atas dasar itulah, penulis menyimpulkan bahwa tujuan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah untuk mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi yang sulit diwujudkan jika masih mengandalkan lembaga penegak hukum yang telah ada seperti kepolisian dan kejaksaan. Hal ini disebabkan karena pada kenyataannya aparat penegak hukum itu sendiri seringkali terlibat dalam praktik korupsi atas perkara yang mereka tangani.

2. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi

Menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa terdapat lima tugas Komisi Pemberantasan Korupsi yang harus dilaksanakan yaitu Pertama, Koordinasi dengan dengan instansi yang berwenang

45 Ni‟matul Huda,

Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi (Yogyakarta: UII Press, 2007), h. 207.


(46)

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kedua, Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan suvervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Keempat, Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan Kelima, Melakukan monitor terhadap penyelenggara pemerintahan Negara.

Dalam hal agar tugas Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut berjalan efektif dan dapat mewujudkan tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi diberi kewenangan-kewenangan hukum yang secara eksplisit tercantum dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 8, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.46 Dalam hal tugas koordinasi dengan instansi lain, Komisi Pemberantasan Komisi Korupsi diberikan kewenangan hukum berdasarkan ketentuan pasal 7 yaitu Pertama, Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Kedua, Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait. Keempat, Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak

46


(47)

pidana korupsi. Kelima, Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Untuk dapat melaksanakan tugas dan wewenang yang diberikan undang-undang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi agar tidak disalahgunakan, maka ketentuan pasal 15 di undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi membebankan kewajiban-kewajiban tertentu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu Pertama, Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi. Kedua, Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya. Ketiga, Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Keempat, Menegakkan sumpah jabatan. Kelima, Menjalankan tugas, tanggungjawab, dan wewenangnya berdasarkan asas kepastian hukum, asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas kepentingan umum, dan asas proporsionalitas.

3. Visi dan Misi Komisi Pemberantasan Korupsi

Sebuah lembaga Negara memiliki Visi dan Misi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki Visi dan Misi yang diharapkan dan hendak dicapai. Visi Komisi Pemberantasan Korupsi adalah “Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi”. Visi ini


(48)

menunjukan suatu tekad kuat dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dapat segera menuntaskan segala permasalahan yang menyangkut korupsi, kolusi dan nepotisme.Lalu adapun misi dari Komisi Pemberantasan Korupsi adalah “Penggerak Perubahan Untuk Mewujudkan Bangsa yang Antikorupsi”. Dengan misi tersebut diharapkan nantinya komisi ini dapat menjadi sebuah lembaga yang mampu membudayakan antikorupsi di masyarakat, pemerintah dan swasta.

4. Landasan Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi

Adapun Landasan/Dasar hukum KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi Kolusi, dan Nepotisme;

3. Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(49)

B. Pencucian Uang

1. Pemahaman Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Sebelum mengemukakan pengertian tindak pidana pencucian uang (money laudering) terlebih dahulu dikemukakan perkembagan kejahatan pencucian uang dan kaitannya dengan kejahatan pencucian uang sebagai salah satu jenis kejahatan yang mendunia. Kejahatan merupakan sebuah istilah yang sudah lazim dan populer di kalangan masyarakat Indonesia atau crime bagi orang inggris. Menurut Howard Abadinsky sebagaimana yang dikutip oleh Arief Amrullah yaitu, kejahatan dipandang sebagai mala in se atau mala in prohibita. Mala in se menunjuk kepada perbuatan yang pada hakikatnya adalah kejahatan, seperti pembunuhan. Sedangkan mala in prohibita menunjuk kepada perbuatan yang oleh Negara ditetapkan sebagai perbuatan yang dilarang (unlawful).47 Dari pengertian kejahatan dapat dihubungkan dengan pengertian tindak pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-asul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.48

Pada awalnya objek pencucian uang yang paling utama dilakukan adalah hasil dari penjualan obat-obatan terlarang/narkotika dan

47

Arief Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang(Malang: Bayumedia Publishing, 2003), h. 2.

48


(50)

penyelundupan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, dimana maraknya terjadi korupsi menjadi objek utama dalam tindak pidana asal (predicate crime) dalam tindak pidana pencucian uang. Di dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang telah disebutkan beberapa tindak pidana asal (predicate crime) yaitu Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: Korupsi, Penyuapan, Narkotika, Psikotropika, Penyelundupan tenaga kerja, dan lain sebagainya serta Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau diluar wilayah Negara Kesatuaan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Praktik tindak pidana pencucian uang (money laundering) tidak mudah dalam pemberantasannya. Faktor penyebab timbulnya money laundering yaitu,49 Pertama, Globalisasi sistem perputaran secara internasional. Kedua, Kemajuan teknologi di bidang perbankan yang menciptakan electronic banking dan e-money sehingga pelayanan bank dapat dilakukan dengan internet. Ketiga, Kerahasian bank untuk setiap rekening para nasabahnya sehingga memungkinkan para nasabahnya menggunakan nama samara

49

Pathorang Halim, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang Di Era Globalisasi (Yogyakarta: Total Media, 2013), h. 34-37.


(51)

(anonym) dalam proses penyimpanan dananya, serta dimungkinkan terjadinya layering (pelapisan), dimana sumber pertama sebagai pemilik sesungguhnya tidak diketahui jelas karena deposan yang terakhir hanyalan sekedar ditugaskan untuk mendepositkan di suatu bank. Keempat, Ketentuan hukum dimana hubungan lawyer dengan klien adalah hubungan kerahasiaan yang tidak boleh diungkapkan. Kelima, Belum adanya peraturan money laundering di dalam suatu Negara tertentu.

Dalam membuktikan suatu tindak pidana pencucian uang, tidak mudah untuk membuktikan adanya suatu money laundering, karena kegiatannya sangat komplek sekali, namun para pakar berhasil menggolongkan proses money laundering kedalam tiga tahap, yaitu:

a. Tahap Penempatan Uang (Placement)

Pada tahap ini, pelaku menempatkan dana haramnya ke dalam sistem keuangan melalui perbankan dengan menyimpan dananya pada suatu bank. Kemudian, pelaku memindahkan dananya ke bank lain yang berada diluar negera tempat ia menempatkan dananya pertama kali. Pada saat itulah, dana haram milik pelaku kegiatan pencucian uang tersebut masuk dalam suatu jaringan keuangan global. Dengan demikian, bank merupakan pintu utama dari tahap pertama kegiatan pencucian uang.50 b. Tahap Pelapisan Uang (Layering)

50

Alfitra, Modus Operandi Tindak Pidana Khusus Di Luar KUHP (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014), h. 57.


(52)

Pada tahap ini, pelaku telah memecah uang haramnya ke dalam beberapa rekening atas nama beberapa nasabah yang tidak saling mengenal satu sama lain dalam jumlah nominal yang tidak mencurigakan otoritas moneter dan dilakukan antarnegara. Kegiatan pemecahan ke dalam beberapa lapis nasabah melalui beberapa lapis rekening antarbank antarnegara disebut pelapisan dengan maksud menyamarkan asal-usul dana tersebut. Dengan demikian dilakukan layering, akan semakin sulit bagi aparat penegak hukum untuk dapat mengetahui asal-usul dana tersebut.51

c. Tahap Penyatuan Uang (Integration)

Pada tahap ini, pelaku menyatukan kembali uang hasil kejahatan yang telah melalui proses arus keuangan yang sah. Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan sulit untuk dikenali sebagai hasil dari kejahatan.

2. Hubungan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Tindak Pidana Korupsi Kejahatan merupakan suatu perilaku yang menyimpang, selalu melekat pada tiap bentuk masyarakat yang tidak pernah sepi dari kejahatan. Perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata, serta dapat menimbulkan ketegangan social yang mengancam berlangsungnya ketertiban sosial. Salah satu kejahatan yang memiliki dimensi yang menimbulkan berbagai kejahatan lanjutan dengan kejahatan tipologi lainnya adalah tindak

51


(53)

pidana pencucian uang (money laundering). Tindak pidana pencucian uang (money laundering) adalah suatu proses yang dengan cara itu asset, terutama asset tunai yang diperoleh dari tindak pidana dimanipulasi sedemikian rupa sehingga asset tersebut seolah-olah berasal dari sumber yang sah. Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu kejahatan terorganisasi yang pada dasarnya termasuk kejahatan terhadap pembangunan dan kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keperihatinan internal nasional dan eksternal internasional.

Tindak pidana pencucian uang memiliki keterkaitan dengan tindak pidana korupsi. Di dalam dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.Dalam Undang-Undang itu sendiri dikenal satu istilah yang disebut dengan “tindak pidana asal” (predicate crime).Tindak pidana asal (predicate crime) didefenisikan sebagai tindak pidana yang memicu (sumber) terjadinya tindak pidana pencucian uang. Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: Korupsi, Penyuapan, Narkotika, Psikotropika, Penyelundupan tenaga kerja, dan lain sebagainya serta Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau diluar wilayah


(54)

Negara Kesatuaan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.52

Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan korupsi merupakan salah satu tindak pidana asal/tindak pidana lanjutan/predicate crime dari tindak pidana pencucian uang. Dalam hal penegakan hukum tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menggunakan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Mengingat semakin canggihnya cara atau modus yang digunakan oleh para pelaku tindak pidana korupsi yaitu salah satunya adalah dengan melakukan pencucian uang.

Peneggakan tindak pidana korupsi oleh komisi pemberantasan korupsi dapat memperluas makna pembuktiannya dengan dukungan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yakni salah satunya adalah undang-undang tindak pidana pencucian uang.53 Dimana dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang mengatur sebuah lembaga yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang setiap tahunnya melaporkan adanya indikasi kuat terjadinya tindak pidana pencucian uang kepada para penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi apabila ada indikasi terjadinya tindak pidana

52

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Bandung: PT. Citra Adhitya Bakti, 2010), h. 213.

53

NLRP, Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang


(55)

pencucian yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan dukungan publik yang baik dan diharapkan terus dapat meningkatkan kinerja dalam memberantas segala bentuk korupsi termasuk tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah korupsi. Menurut penulis, pada dasarnya tindak pidana pencucian uang adalah suatu tindak pidana yang tidak dapat berdiri sendiri, dimana setiap ada tindak pidana pencucian pastilah ada tindak pidana asal/unsure tindak pidana lain seperti korupsi.


(56)

BAB IV

ANALISIS KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Konstruksi Hukum KewenanganKomisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang

Sebelum menguraikan tentang kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang, Terlebih dahulu penulis akan menguraikan yaitu, Pertama tentang subjek yang melakukan penuntutan yang di dalamnya juga akan membahas mengkaji tentang jaksa KPK dan jaksa pada Kejaksaan, Kedua, akan diuraikan tentang kewenangan, Ketiga, akan menguraikan sedikit tentang pencucian uang. Setelah itu Penulis akan mengkaitkan ketiga hal tersebut sebagaimana telah dirinci dalam penelitian ini yaitu kewenangan KPK (jaksa KPK) dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian.

Pertama, penulis akan menguraikan tentang subjek yang melakukan penuntutan atas suatu tindak pidana yang dalam hal ini disebut jaksa. Dalam hal ini ada istilah jaksa dan kejaksaan. Dapat dibedakan antara jaksa dengan kejaksaan yaitu, Jaksa adalah tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan utama sedangkan Kejaksaan adalah sebutan bagi institusi dalam sistem peradilan pidana yang memiliki fungsi menuntut dan membuat dokumen seperti surat


(57)

dakwaan dan surat tuntutan.54 Menurut Pasal 1 angka 6 KUHAP, Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang melakukan penuntutan serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan Penuntut Umum sebagaimana dalam Pasal 1 angka 6 KUHAP, adalah jaksa yang telah diberi wewenang melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Kejaksaan sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah satu dan tidak terpisahkan dalam melaksanakan tugas penuntutan tindak pidana dan kewenangan lain.55 Jadi dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa dimanapun jaksa berada, fungsi jaksa sebagai penuntut umum dalam melakukan penuntutan tindak pidana tetap melakat. Lalu kaitannya dengan KPK, Dalam hal ini KPK memiliki Jaksa penuntut umum yang berasal dari KPK yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 bahwa “Penuntut adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”. Dalam hal ini maka timbul suatu pemikiran tentang bagaimana kedudukan Jaksa KPK dengan Jaksa pada kejaksaan.

54

Suradji, Mudiyati, dan Sutriya (Editor), Analisis dan Evaluasi Hukum Penunututan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008), h. 8.

55


(1)

terkait uji materi Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 yang di dalamnya tidak ada satupun pernyataan yang menyebutkan bahwa KPK tidak berwenang menuntut tindak pidana pencucian uang.

2. Dissenting Opinion Para Hakim Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dalam menafsirkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang, penulis menyimpulkan bahwa sah-sah saja dalam suatu putusan hakim mengeluarkan dissenting opinion. Hal tersebut dapat dipahami bahwa hakim dalam memutus tidak boleh menyembunyikan keyakinannya, dalam arti karena sebagai hakim minoritas lalu menyembunyikan keyakinannya bahwa ia tidak sependapat dengan keputusan hakim yang lain. Tetapi yang terpenting dalam suatu putusan, hakim dalam memutus suatu perkara hendaknya harus mencapai 3 tujuan hukum yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.

3. Berkaitan dengan rumusan masalah ketiga yaitu Prospek pengaturan kewenangan penuntutan tindak pidana pencucian uang yang terkait dengan kasus tindak pidana korupsi di masa mendatang, penulis menyimpulkan dengan adanya Yurisprudensi dari putusan-putusan hakim terdahulu dan yang terbaru adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 maka perlu perlu diadakan revisi Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan memasukan kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang.


(2)

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya serta kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Kepada KPK, untuk terus melakukan pemberantasan Korupsi termasuk tindak pidana pencucian uang yang pidana asalnya adalah korupsi. Dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan korupsi, KPK tidak perlu ragu lagi dalam menjalankan kewenangannya dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang karena dengan adanya Yurisprudensi, Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014, maka hal tersebut adalah dasar-dasar yang menguatkan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang. 2. Kepada para Hakim TIPIKOR yang menangani perkara tindak pidana

pencucian uang, dalam memberikan putusan hendaknya harus mencapai 3 tujuan hukum yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaat sehingga hukum dapat diteggakan dengan seadil-adilnya.

3. Kepada para pembuat undang-undang, perlu dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan memasukan kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang, pasca Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Alfitra. Modus Operandi Tindak Pidana Khusus Di Luar KUHP. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014.

Ali, Mahrus. Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2011. Alkostar, Artidjo. Korupsi Politik Di Negara Modern. Yogyakarta: UII Press, 2008. Amrullah, M. Arief. Tindak Pidana Pencucian Uang. Malang: Bayumedia

Publishing, 2003.

Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: PT. Citra Adhitya Bakti, 2010.

Arifin, Firmansyah, dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005. Asshidiqie, Jimly. Perkembangandan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Atmasasmita, Romli. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional Dan Aspek Internasional. Bandung: Mandar Maju, 2004.

Black, Henry Campbell. Black’S Law Dictionary.West Publishing, 1990.

Ganjong. Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia, 2007.

Halim, Pathorang. Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang Di Era Globalisasi. Yogyakarta: Total Media, 2013.

Hamzah, Andi. Delik-delik Tersebar Di Luar KUHP dengan Komentar Jakarta: Pradnya Paramita, 1995.

__________. Pemberantasan Korupsi:Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007

Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi.Jakarta: Sinar Grafik, 2008.


(4)

Hidjaz, Kamal. Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Makasar: Pustaka Refleksi, 2010.

HR. Bukhari no 6805, Software kutub at-tis’ah.

HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. __________. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.

Huda, Ni‟matul. Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta: UII

Press, 2007.

Indrayana, Denny. Negara Antara Ada Dan Tiada Refomasi Hukum Ketatanegaraan. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008.

Indroharto. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. II. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2005. Moerad, Pontang. Pembentukan Hukum Melalui putusan Pengadilan dalam Perkara

Pidana. Bandung: PT. Alumni, 2005.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004.

Nasution, Adnan Buyung.Pentingnya Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Pusat Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Trisakti, 2002.

NLRP. KetentuanPencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Netherlads Reform Program, 2011.

Pangestu, Benu. Indepedensi Yuridis KPK: Telaah Teoritis dan Praktis. Skripsi S1 Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.

Prihantoro, Angga Martandy. Eksistensi State Auxiliary Organs Dalam Rangka Mewujudkan Good Governance Di Indonesia (Studi Kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi). Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010.


(5)

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. cet. XI. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009.

Suradji, Mudiyati, dan Sutriya (Editor). Analisis dan Evaluasi Hukum Penunututan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008.

Stroink, E.A.M. dan J.G. Steenbeek. Inleiding in het Staats-en. Administratief Recht.Alphen aan den Rijn: Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1985.

Suratman dan H. Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta, 2013. Syamsuddin, Aziz. Tindak Pidana Khusus.Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Sumantri,Sri. Lembaga Dan Auxikiary Bodies Dalam Sitem Ketatanegaraan Mnurut UUD 1945. Surabaya: Airlangga University Press, 2002.

Tutik,TitikTriwulan.Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Kencana, 2010.

Wiyanto, Roni. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. Bandung: C.V.Mandar Maju, 2012.

Yuliani, Evi. Tugas Dan Wewenang Kejaksaan Dan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. Skripsi S1 Program Studi Perbandingan Mazhab Dan Hukum, Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.

Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: Lubuk Agung, 2011.

Jurnal:

Fadli, Muhammad. “Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam

Penuntututan Tindak Pidana Pencucian Uang”.Jurnal Legislasi Indonesia, No. 1 Vol 11. 2014.

M. Hadjon, Philipus.“Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid)”. Pro Justitia Tahun XVI No. I (Januari 1998).

__________. “Tentang Wewenang”. YURIDIKA, No.5&6 Tahun XII. (September-Desember 1997).


(6)

Manan, Bagir. “Dissenting Opinion dalam Sistem Peradilan Indonesia”. Varia Peradilan Tahun XXI No. 253, 2006.

Syafrudin, Ateng. “Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab”. Jurnal Pro Justisia Edisi IV.Bandung: Universitas Parahyangan, 2000.

Internet:

HukumOnline.com. “Grey Area Penanganan TPPU”. Artikel diakses pada 1 November 2014 dari http:// www.hukumonline.com /berita/baca /lt52f0d3968ed1f /grey-area- penanganan-tppu-bagian-1.

HukumOnline.com, “KPK Berwenang Tangani TPPU Sejak 2002”.Artikel diakses pada 2 November 2014 dari http:// www.hukumonline.com /berita/baca/lt52267e44e3133/kpk-berwenang-tangani-tppu-sejak-2002. Wikipedia. “Pencucian Uang”. Artikel diakses pada 1 November 2014 pada 1

November 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang. Peraturan Perundang-Undangan:

Republik Indonesia.Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3209.

Republik Indonesia.Undang-undang No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250. Republik Indonesia.Undang-Undang No. 10 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2010 Nomor 122.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164.

Wawancara:

Wawancara Pribadi dengan Boby Mokosugianta selaku Spesialist dan Kerjasama Humas PPATK. Jakarta. 09 Maret 2015.

Wawancara Pribadi dengan Wawan Yunarwanto selaku Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Jakarta. 10 Maret 2015.