Amandemen UUD 1945

Amandemen UUD 1945
Konstitusi suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat
hal-hal mengenai penyelenggaraan negara, karenanya suatu konstitusi harus memiliki sifat yang
lebih stabil dari pada produk hukum lainnya. Terlebih lagi jika jiwa dan semangat pelaksanaan
penyelenggaraan negara juga diatur dalam konstitusi sehingga perubahan suatu konstitusi dapat
membawa perubahan yang besar terhadap sistem penyelenggaraan negara. Bisa jadi suatu negara
yang demokratis berubah menjadi otoriter karena terjadi perubahan dalam konstitusinya.
Adakalanya keinginan rakyat untuk mengadakan perubahan konstitusi merupakan suatu hal
yang tidak dapat dihindari. Hal ini terjadi apabila mekanisme penyelenggaraan negara yang diatur
dalam konstitusi yang berlaku dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi rakyat. Oleh karena
itu, konstitusi biasanya juga mengandung ketentuan mengenai perubahan konstitusi itu sendiri,
yang kemudian prosedurnya dibuat sedemikian rupa sehingga perubahan yang terjadi adalah benarbenar aspirasi rakyat dan bukan berdasarkan keinginan semena-mena dan bersifat sementara atau
pun keinginan dari sekelompok orang belaka.
Sejak Proklamasi hingga sekarang telah berlaku tiga macam Undang-undang Dasar dalam
delapan periode yaitu :
a.

Periode 18 Agustus 1945 – 27 desember 1949

b.


Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950

c.

Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959

d.

Periode 5 Juli 1959 – 19 Oktober

e.

Periode 19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000

f.

Periode 18 Agustus 2000 – 9 November 2001

g.


Periode 9 November 2001 – 10 Agustus 2002

h.

Periode 10 Agustus 2002 – sampai sekarang

Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) ditetapkan dan disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. UUD 1945 terdiri dari :
Pembukaan (4 alinea) yang pada alinea ke-4tercantum dasar negara yaitu Pancasila;
Batang Tubuh (isi) yang meliputi :
a.

16 Bab;

b.

37 Pasal

c.


4 aturan peralihan;

d.

2 Aturan Tambahan.[5]
UUD 1945 digantikan oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) pada 27

Desember 1949, pada 17 Agustus 1950 Konstitusi RIS digantikan oleh Undang-undang Dasar
Sementara 1950 (UUDS 1950). Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 dinyatakan berlaku

kembali di Indonesia hingga saat ini. Hingga tanggal 10 Agustus 2002, UUD 1945 telah empat kali
diamandemen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Perubahan UUD 1945 dilakukan pada :
1.

Perubahan I diadakan pada tanggal 19 Oktober 1999; Pada amandemen ini, pasal-pasal UUD
1945 yang diubah ialah 9 pasal yaitu: Pasal 5 ayat (1), 7, 9 ayat (1) dan (2), 13 ayat (2) dan
(3),14 ayat (1) dan (2), 15, 17 ayat (2) dan (3), 20 ayat (1), (2), (3) dan (4), 21 ayat (1).

2.


Perubahan II diadakan pada tanggal 18 Agustus 2000;
Pada amandemen II ini, pasal-pasal UUD 1945 yang diubah ialah 24 pasal yaitu: Pasal 18
ayat (1) s/d (7), 18A ayar (1) dan (2), 18B ayat (1) dan (2), 19 ayat (1) s/d (3), 20 ayat (5), 20A
ayat (1) s/d (4), 22A, SSB, 25A, 26 ayat (2) dan (3), 27 ayat (3), 28A, 28B ayat (1) dan (2),
28D ayat (1) s/d (4), 28E ayat (1) s/d (3), 28F, 28G ayat (1) dan (2), 28H ayat (1) s/d (4), 28I
ayat (1) s/d (5), 28J ayat (1) dan (2), 30 ayat (1) s/d (5), 36A, 36B, 36C.

3.

Perubahan III diadakan pada tanggal 9 November 2001;
Pada amandemen III ini, pasal-pasal UUD 1945 yang diubah ialah 19 pasal yaitu: Pasal 1
ayat (2) dan (3), 3 ayat (1) s/d (3), 6 ayat (1) s/d (3), 6A ayat (1), (2), (3) dan (5), 7A, 7B ayat
(1) s/d (7), 7C, 8 ayat (1) s/d (3), 11 ayat (2) dan (3), 17 ayat (4), 22C ayat (1) s/d (4), 22D ayat
(1) s/d (4), 22E ayat (1) s/d (3), 23F ayat (1) dan (2), 23G ayat (1) dan (2), 24 ayat (1) dan (2),
24A ayat (1) s/d (5), 24B ayat (1) s/d (4), 24C ayat (1) s/d (6).

4.

Perubahan IV diadakan pada tanggal 10 Agustus 2002 Pada amandemen IV ini, pasal-pasal

UUD 1945 yang diubah ialah 17 pasal yaitu: pasal-pasal : 2 ayat (1), 6A ayat (4), 8 ayat (3), 11
ayat (1), 16 23B, 23D, 24 ayat (3), 31 ayat (1) s/d (5), 32 ayat (1) dan (2), 33 ayat (4) dan (5),
34 ayat (1) s/d (4), 37 ayat (1) s/d (5), Aturan Peralihan Pasal I s/d III, aturan Tambahan pasal I
dan II.[6]

Kelemahan Hasil Amandemen UUD 1945
Setelah empat kali melakukan amandemen UUD 1945, yang sejatinya dilakukan untuk
menutupi kelemahan sebelumnya namun ternyata hasil dari amandemen tersebut menimbulkan
beberapa kelemahan lagi. Hal ini menyebabkan terjadi pengelompokan sikap masyarakat. Satu
kelompok menghendaki UUD 1945 dikembalikan kepada yang asli, kelompok lainnya
menginginkan diadakan lagi perubahan atau amendemen kelima UUD 1945, dan kelompok terakhir
tetap pada UUD 1945 pasca-amendemen.
Ada beberapa faktor menyangkut kelemahan UUD 1945 pasca-amendemen. Pertama,
adanya kekaburan dan inkonsistensi teori dan materi muatan UUD 1945. Kedua, kekacauan struktur
dan sistematisasi pasal-pasal UUD 1945. Ketiga, ketidaklengkapan konstitusi dan pasal-pasal yang
multi-interpretatif, yang menimbulkan instabilitas hukum dan politik.

Dalam hal ini, Komisi Konstitusi yang dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No 1/2002
dan Keputusan MPR No 4/2003 dengan tugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang
perubahan UUD NKRI Tahun 1945 oleh MPR, juga menyebutkan hal sama. Setelah bertugas

selama tujuh bulan dan menyerahkan hasil kerjanya, berupa Naskah Kajian Akademis Perubahan
UUD NKRI Tahun 1945 dan Naskah Perubahan UUD NKRI Tahun 1945 kepada Ketua MPR
Amien Rais pada 24 April 2003, Komisi Konstitusi menyatakan terdapat 31 butir kekurangan,
kelemahan, dan ketidaksempurnaan UUD 1945 pasca-amendemen.
Selanjutnya, ketidaksempurnaan UUD 1945 pascaperubahan, berdasarkan fenomena
dominasi kekuasaan DPR atau legislative heavy. Salah satu bukti adalah Pasal 13 ayat (3) UUD
1945, yakni Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan
DPR. Biasanya kewenangan menerima duta negara lain adalah domain eksekutif atau Presiden,
maka ketentuan adanya pertimbangan DPR menunjukkan dominasi kekuasaan DPR yang telah
memasuki domain Presiden.
Kemudian inkonsistensi dan kekaburan teori UUD 1945 yang berhubungan dengan sistem
pemerintahan presidensial. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang berisikan,
“Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui,
rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.
Pasal ini, bersifat inkonsisten dan kabur, sebab dalam sistem pemerintahan presidensial
segenap legislasi (pembuatan UU) merupakan wewenang badan legislatif. Sehingga Presiden tidak
mengambil keputusan terhadap hasil akhir legislasi walaupun Presiden berhak mengajukan suatu
RUU kepada DPR dan DPD untuk sektor hubungan pusat dan daerah.
Oleh karena itu, Presiden berhak menolak RUU atau hak veto, dengan ketentuan bahwa

bobot keputusan parlemen yang menentukan validitas dari RUU tersebut. Misalnya, dengan 2/3
dukungan suara di DPR atau 2/3 suara pada masing-masing kamar untuk menghasilkan rancangan
undang-undang yang tidak boleh ditolak oleh Presiden. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa Pasal
20 ayat (5) UUD 1945 adalah legislative heavy.
Selanjutnya, masalah penyebutan dengan perubahan atau amandemen UUD 1945 yang
berarti mengubah pasal-pasal tertentu tanpa mengubah teks asli, tetapi memberi tambahan terhadap
pasal-pasal yang sudah ada. Seperti diketahui, setelah dilakukan perubahan oleh MPR, dari 37 Pasal
UUD 1945, ditambah empat pasal Aturan Peralihan dan dua ayat Aturan Tambahan serta Penjelasan
Umum dan Penjelasan Pasal demi Pasal UUD 1945 yang diputuskan oleh Sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, hanya 6 pasal (sekitar 16,21%) yang belum
diubah.
Pasal-pasal tersebut adalah, 1) Pasal 4 tentang Presiden memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang Undang Dasar; 2) Pasal 10 tentang Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi
atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara; 3) Pasal 12 tentang kewenangan
Presiden menyatakan keadaan bahaya; 4) Pasal 22 tentang kewenangan Presiden mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang; 5) Pasal 25 tentang syarat-syarat untuk menjadi
dan untuk diberhentikan sebagai hakim; dan 6) Pasal 29 tentang agama.

Sedangkan pasal-pasal yang diubah berjumlah 31 Pasal (83,79%) ditambah dengan pasalpasal baru dengan sistem penomoran pasal lama ditambah huruf A, B, C, D, dan seterusnya beserta
ayat-ayat yang baru dalam pasal-pasal lama. Dengan pasal-pasal baru yang berjumlah 36 pasal atau

97,30% dari UUD 1945 asli, patut dipersoalkan bahwa MPR telah mengganti konstitusi lama
dengan yang baru, dan bukan amandemen UUD 1945.
Kemudian, masalah inkonsistensi yang menyangkut bagian mana dari UUD 1945 pascaamandemen yang tidak dapat diubah atau dapat diubah dengan persyaratan tertentu. Dalam UUD
1945 pasca-amandemen yang tidak dapat diubah adalah hanya bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal ini berarti bahwa terhadap landasan dasar filosofis kehidupan bangsa dan negara
yakni Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, secara teoritis, terbuka penafsiran untuk dapat diubah
sekalipun diperlukan persyaratan sesuai Pasal 37 ayat (1) UUD 1945, karena Pasal 37 ayat (5) UUD
1945 tidak mencantumkannya. Sedangkan, Pembukaan UUD 1945 yang berisikan Pancasila, adalah
perjanjian luhur bangsa atau pacta sunt seranda.
Kelemahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan yang bersifat mendasar dari UUD 1945
pasca-amandemen itulah yang menyebabkan UUD 1945 tidak bisa berlaku sebagai konstitusi yang
hidup, yang berlaku puluhan tahun ke depan. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah solusi untuk
mencegah kelemahan-kelemahan ini kembali bermunculan di masa yang akan datang, karena tidak
menutup kemungkinan amandemen UUD 1945 kembali akan dilakukan. Salah satu solusi yang bisa
dilakukan adalah dengan membentuk Komisi Konstitusi dalam membuat draft konstitusi sebelum
dibahas dalam rapat paripurna MPR.

PENUTUP
Berdasarkan Uraian Pada Pembahasan, dapat disimpulkan hal sebagai berikut :


1.

Setelah empat kali melakukan amandemen UUD 1945, yang sejatinya dilakukan untuk
menutupi kelemahan sebelumnya namun ternyata hasil dari amandemen tersebut menimbulkan
beberapa kelemahan lagi. Hal ini menyebabkan terjadi pengelompokan sikap masyarakat. Satu
kelompok menghendaki UUD 1945 dikembalikan kepada yang asli, kelompok lainnya
menginginkan diadakan lagi perubahan atau amendemen kelima UUD 1945, dan kelompok
terakhir tetap pada UUD 1945 pasca-amendemen.

2.

Ada beberapa faktor menyangkut kelemahan UUD 1945 pasca-amendemen. Pertama, adanya
kekaburan dan inkonsistensi teori dan materi muatan UUD 1945. Kedua, kekacauan struktur
dan sistematisasi pasal-pasal UUD 1945. Ketiga, ketidaklengkapan konstitusi dan pasal-pasal
yang multi-interpretatif, yang menimbulkan instabilitas hukum dan politik.

3.

Selama ini MPR dalam membahas dan memutuskan perubahan UUD 1945 sebelumnya tidak
membuat dan memiliki content draft konstitusi secara utuh sebagai langkah awal yang menjadi

dasar perubahan (preliminary) yang dapat ditawarkan kepada publik untuk dibahas dan
diperdebatkan.

4.

Sebagai solusi terhadap perubahan konstitusi haruslah deserahkan kepada Komisi Konstitusi
atau

Constitutional

Commission

yang

independen,

sehingga

kata


“dibuat”

diktum “konstitusi dibuat oleh Badan Pembuat Undang-Undang Dasar” akan terpenuhi.

dalam