THE NUMBERS OF RAINFALL STATION EFFECTSON RAINFALL DESIGN (Case Study : WAY SEKAMPUNG WATERSHED ) PENGARUH JUMLAH STASIUN HUJAN DALAM ANALISIS HIDROLOGI TERHADAP HUJAN RANCANGAN (Studi Kasus : DAS WAY SEKAMPUNG)

(1)

ABSTRACT

THE NUMBERS OF RAINFALL STATION EFFECTS ON RAINFALL DESIGN (Case Study : WAY SEKAMPUNG WATERSHED )

BY

FIRDA FIANDRA

Rainfall analysis is the initial process of every hydrologic infrastructure design, hence that analysis must be conducted carefully. Unfortunately, a watershed has varied number of rainfall stations which means varied in station density. Therefore, it is important to conduct a research which aims to investigate the effects of station numbers on rainfall design.

The research was taken place in Way Sekampung Watershed (4,999.2 km2) which has 28 rainfall stations. Initial rainfall analysis to calculate average rainfall of the catchment was done using Polygon Thiessen. The frequency analysis has been done to investigate the effects of number of rainfall stations using two scenarios: (1) reduction of number of stations based on maximum rainfall data for all stations in the catchment, (2) reduction of number of stations based on location of station (upstream, midstream and downstream).

Based on frequency analysis used for 28 stations, the suitable rainfall distribution was Log Pearson III. The results show that the more number of rainfall station used, the better the rainfall design as deviations decrease. Some factors influence the value of rainfall design, for example the selection of method to determine area rainfall and statistical distribution analysis used to calculate design rainfall.

Keywords : Rainfall Estimation, Number of Rainfall Stations, Way Sekampung Watershed (DAS Way Sekampung).


(2)

ABSTRAK

PENGARUH JUMLAH STASIUN HUJAN DALAM ANALISIS HIDROLOGI TERHADAP HUJAN RANCANGAN

(Studi Kasus : DAS WAY SEKAMPUNG)

Oleh

FIRDA FIANDRA

Analisis data hujan merupakan awal analisis dari setiap perencanaan bangunan air, maka analisis terhadap data hujan perlu dilakukan secara teliti. Namun, pada kenyataannya di dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang akan dilakukan perencanaan memiliki jumlah stasiun (kerapatan jaringan stasiun hujan) yang bervariasi. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis seberapa besar pengaruh jumlah stasiun terhadap hujan rancangan yang dihasilkan.

Penelitian ini dilakukan pada DAS Way Sekampung (4.999,2 km2) yang memiliki 28 stasiun pencatat hujan. Untuk mendapatkan hujan wilayah (rerata DAS) digunakan metode Poligon Thiessen. Dalam penelitian ini dilakukan analisis frekuensi dimana untuk melihat pengaruh jumlah stasiun, dilakukan dua skenario, yaitu: (1) pengurangan jumlah stasiun hujan berdasarkan curah hujan maksimum untuk 28 stasiun keseluruhan DAS, (2) pengurangan jumlah stasiun hujan berdasarkan stasiun pada daerah hulu, tengah, dan hilir.

Berdasarkan hasil analisis frekuensi menggunakan 28 stasiun, sebaran hujan yang cocok pada DAS Way Sekampung adalah Log Pearson III. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa peningkatan jumlah stasiun yang digunakan akan


(3)

menghasilkan data hujan rancangan yang semakin baik karena tingkat penyimpangannya akan semakin kecil. Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya nilai hujan rancangan yang dihasilkan adalah adanya pengaruh pemilihan metode yang digunakan dalam menentukan hujan wilayah (rerata DAS) dan metode distribusi frekuensi yang digunakan.

Kata kunci : Daerah Aliran Sungai Way Sekampung (DAS Way Sekampung), Hujan Rancangan, Jumlah Stasiun.


(4)

PENGARUH JUMLAH STASIUN HUJAN DALAM ANALISIS

HIDROLOGI TERHADAP HUJAN RANCANGAN

(Studi Kasus : DAS WAY SEKAMPUNG)

Oleh

FIRDA FIANDRA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER TEKNIK

Pada

Program Pascasarjana Magister Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(5)

.':

\'

! Judul Tesis

NamaMahasiswa

Nomor Pokok Mahasiswa Program Studi

Fakultas

PENGART]II

JT]MLAII STASIT]N

IIUJAI\I

DALAM

ANALISIS

HIDROLOGI

TERIIADAP IIUJAI\I

iAXCAXCIX

(Studi l(asus : DAS 'IFIAY SEI(ANIPIJNG) Firda Fiandra

I 12501 1004

Magister Teknik Sipil Teknik

WNYETUJIII

.

Komisi Pembimbing

atn'y

Y*fr.fr-,q^

Dr. Dyah Indriane

Iq

ST.

M.Sc

Ilwi Jokowinarno, ST.IU.

Eng Nrp.

196912191995122001

NIP. 19690321199512

t

001

2.

Ketua Prqgam Studi Magister Teknik Sipil

ar,fiq

Dr. Dyap

Indriina

K

ST.ll{.Sc NIP. 19691219 199512 2 00r


(6)

l.

Tim Penguji Ketua

MENGESAIIKAII

: Dr, Dyah IndrianaK, ST. M.Sc

: Dryi Jokowinarno, ST. M-Eng

'[\frv

b&oar.,+ax->

Sekretaris

Penguji

Bukan Pembimbing : Dr, Afandi

i:ll^Jf,i

;$*Iig.g

Fakultas Teknik

8 198103 1 002


(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 2 September 1988, putri dari Bapak Drs. Hi. M. Rusli, MM. dan Ibu Hj. Nawang Ningsih, anak kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 2 (Teladan) Rawa Laut pada tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTPN 4 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2003, Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 2 Bandar Lampung pada tahun 2006. Pada Tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan program strata 1 (S-1) Teknik Sipil di Universitas Lampung melalui PKAB (Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat). Pada tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikan pasca sarjana di Jurusan Magister Teknik Sipil Universitas Lampung melalui Beasiswa Unggulan Direktorat Perguruan Tinggi.


(9)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat, ridho, dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis dengan judul “Pengaruh

Jumlah Stasiun Hujan Dalam Analisis Hidrologi Terhadap Hujan Rancangan

(Studi Kasus : DAS Way Sekampung)” sebagai salah satu syarat untuk mencapai

gelar Magister Teknik di Universitas Lampung dapat selesai.

Berbagai macam kendala muncul dalam penulisan sehingga sangat sulit bagi

penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini, tanpa bantuan, bimbingan, dan

petunjuk dari berbagai pihak dari masa perkuliahan sampai pada saat penulisan

tesis ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan

kepada :

1.

Bapak Prof. Dr. Suharno, M. Sc selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas

Lampung;

2.

Ibu Dr. Dyah Indriana K, ST., M.Sc selaku Ketua Program Magister Teknik

Sipil Universitas Lampung dan Pembimbing Utama yang telah menyediakan

waktu, tenaga serta pikiran untuk mengarahkan penulis dalam proses

penyelesaian tesis ini;

3.

Bapak Dwi Jokowinarno, ST., M.Eng selaku Pembimbing Kedua atas

kesediannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses

penyelesaian tesis ini;

4.

Bapak Dr. Afandi selaku Penguji ujian tesis, terimakasih untuk masukan dan

saran-saran pada seminar proposal dan seminar hasil tesis terdahulu;


(10)

5.

Bapak

h.

Idharr*ahadi

Adha MT. selaku Ketua Jurusan

Prograur Studi

\

:

' '

Teknik

Sipil Universitas

Lamprmg terimakasih telah membaikan dukungan

unfuk mengikuti Program

Beasiswa

Unggulan-Dikti

pada Program Studi Magister Teknik Sipil Universitas Lampung;

6.

Ibu Dr. Rahayu Sulistyorini; Ibu Siti

Nurul

ST., M-Sc.; Ibu Citra

Dewi, ST. M. F.ng,

terimakasih atas keseditlrrnya yang telah meunberikan dukungaa dan saran;

7.

Kedua ofimg fuaku tersayang ayah dan mama serta seluruh keluarga besar yang senantiam rremberi kasih

sayang,

materi dan moril, serta selalu urendo'akan dan mendukmg langftatrku;

8.

Seluruh teman'teman Magister Teknik Sipil Universitas tampung yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan penulisan tesis ini khususnya Mas Eka Kruniawan dar Mba Fieni Yuniarti;

9.

Sernra pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kat4

Penulis berharap semoga

tesis

ini

dapat berrnaafaat

dan dapat

memberikan sumbangan

iknu

pengetahuan

bagi khalayak

seuna umum dan

rnahasiswa jumsan Teknik Sipil pada

tilususnya

Bandff Lampuag, 6 Maret 2014

Penulis

,1,4,


(11)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 4

C. Batasan Masalah... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Siklus Hidrologi ... 6

B. Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 8

C. Pengertian Curah Hujan (Presipitasi)... 10

D. Alat Pengukur Curah Hujan ... 13

E. Analisis Hidrologi ... 15

1. Memperkirakan Data Hujan Yang Hilang ... 16

2. Uji Konsistensi ... 17

3. Analisis Curah Hujan ... 19

4. Pemilihan Metode Analisis Hujan ... 22


(12)

ii

6. Pengukuran Dispersi ... 26

7. Uji Keselarasan dengan Metode Chi Kuadrat dan Smirnov Kolmogorof ... 29

8. Metode Perhitungan Curah Hujan Rancangan... 33

a. Distribusi Normal ... 33

b. Distribusi Log Normal ... 34

c. Distribusi Log-Pearson III... 35

d. Distribusi Gumbel ... 36

F. DAS Way Sekampung ... 36

G. Beberapa Penelitian Mengenai Analisis Hidrologi ... 38

III. METODE PENELITIAN ... 45

A. Lokasi Penelitian... 45

B. Pengumpulan Data ... 47

C. Metode Penelitian... 47

D. Analisis Data ... 48

E. Bagan Alir Penelitian ... 50

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Stasiun Pengamatan Curah Hujan... 52

B. Uji Konsistensi dan Pengisian Data Hujan ... 52

C. Curah Hujan Wilayah... 56

D. Pengukuran Dispersi ... 59

E. Pemilihan Jenis Sebaran... 60


(13)

iii

1. Uji Chi-Kuadrat... 61

2. Uji Smirnov Kolmogorov... 62

G. Analisis Distribusi Frekuensi Curah Hujan ... 63

H. Analisis Skenario ... 65

1. Analisis Hidrologi 28 Stasiun ... 65

2. Analisis Hidrologi Stasiun Hulu, Tengah dan Hilir ... 76

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 89

A. Simpulan ... 89

B. Saran... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 91


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Parameter Statistik,Suripin (2004)... 26

2. Stasiun pencatat curah hujan ... 52

3. Perhitungan uji konsistensi data curah hujan awal PH 032 ... 53

4. Perhitungan uji konsistensi data curah hujan dilengkapi PH 032 .... 55

5. Koefisien luas pengaruh Metode Thiessen 28 Stasiun ... 58

6. Curah hujan rerata harian maksimum tahunan DAS Way Sekampung 28 Stasiun menggunakan Poligon Thiessen ... 59

7. Parameter Statistik Curah Hujan ... 60

8. Analisis Jenis Sebaran ... 61

9. Uji Chi Kuadrat... 62

10. Uji Smirnov Kolmogorov... 63

11. Uji Distribusi Curah Hujan Metode Log Pearson III ... 64

12. Interpolasi nilai k berdasarkan nilai Cs = 0.439... 64

13. Analisis Curah Hujan Rancangan... 65

14. Rata-rata hujan tahunan maksimum tiap stasiun pencatat hujan... 67

15. Stasiun hujan yang digunakan berdasarkan 28 stasiun ... 68

16. Curah Hujan Maksimum Rerata DAS Way Sekampung ... 70

17. Hujan rancangan 28 Stasiun berdasarkan periode ulang... 71 18. Penyimpangan kedalaman hujan pada 28 stasiun DAS Sekampung 73


(15)

v

19. Rata-rata kumulatif hujan tahunan daerah hulu, tengah dan hilir ... 76

20. Nama stasiun hujan daerah hulu, tengah dan hilir... 77

21. Luas poligon thiessen daerah hulu,tegah, dan hilir ... 79

22. Curah hujan rerata maksimum daerah hulu,tengah dan hilir... 79

23. Hujan rancangan daerah hulu, tengah dan hilir ... 80

24. Penyimpangan kedalaman hujan pada stasiun daerah hulu DAS Way Sekampung ... 82

25. Penyimpangan kedalaman hujan pada stasiun daerah tengah DAS Way Sekampung ... 84

26. Penyimpangan kedalaman hujan pada stasiun daerah hilir DAS Way Sekampung ... 87


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Siklus hidrologi... 6

2. Poligon Thiessen (Suripin,2004) ... 21

3. Peta DAS Way Sekampung ... 38

4. Peta Lokasi Stasiun Hujan DAS Way Sekampung... . 39

5. Bagan alir metodologi penelitian... 50

6. Grafik kurva massa ganda awal stasiun PH 032... 54

7. Gafik kurva massa ganda setelah pengisian Stasiun PH 032 ... 56

8. Luas pengaruh poligon thiessen 28 Stasiun... 57

9. Peta Lokasi 28 Stasiun Hujan DAS Way Sekampung... 66

10. Luas pengaruh poligon Thiessen 28 stasiun... 69

11. Perbandingan Hujan Rancangan 28 Stasiun... 73

12. Penyimpangan kedalaman hujan 28 Stasiun ... 74

13. Luas Pengaruh Sub DAS Way Sekampung daerah Hulu,Tengah dan Hilir ... 77

14. Luas pengaruh poligon Thiessen daerah hulu, tengah dah hilir ... 78

15. Perbandingan hujan rancangan daerah hulu... 81

16. Perbandingan hujan rancangan daerah tengah ... 81

17. Perbandingan hujan rancangan daerah hilir ... 82


(17)

vii

19. Penyimpangan kedalaman hujan daerah tengah... 86 20. Penyimpangan kedalaman hujan daerah hilir... 87


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Data hidrologi merupakan data yang menjadi dasar dari perencanaan kegiatan Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) di wilayah sungai, seperti perencanaan bangunan irigasi, bagunan air, pengelolaan sungai, pengendalian banjir dan lain-lain. Oleh karena itu, data hidrologi perlu dikelola ke dalam suatu sistem hidrologi agar tersedia informasi SDA yang akurat, benar dan tepat waktu bagi semua pihak yang berkepentingan. Analisis hidrologi merupakan parameter yang dominan dan memerlukan penanganan yang sangat cermat. Ketepatan dan kecermatan analisis mensyaratkan keakuratan data hidrologi itu sendiri.

Dalam mempersiapkan data hidrologi secara umum, terdapat 2 (dua) masalah yang sering ditemui yaitu :

1. Ketetapan tentang jumlah stasiun hujan dan stasiun hidrometri (stasiun pengamatan) yang akan digunakan dalam analisis, termasuk di dalamnya pola penyebaran stasiun dalam DAS yang ditinjau.

2. Berapa besar ketelitian yang dapat dicapai oleh suatu jaringan pengamatan dengan kerapatan tertentu.

Kedua masalah tersebut merupakan masalah yang penting dan merupakan masalah awal yang harus dipecahkan sebelum analisis hidrologi dilakukan.


(19)

2

Perencanaan, pengelolaan dan pengembangan sumber daya air selalu memerlukan analisis terhadap variabel hidrologi seperti curah hujan. Beberapa cara yang digunakan untuk menganalisis data hidrologi seperti analisis frekuensi, hidrograf satuan, pengalihragaman curah hujan menjadi debit, perhitungan debit rancangan merupakan cara terbaik untuk mengetahui debit pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS).

Menurut Harto (1993) hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses hidrologi, karena jumlah kedalaman hujan tersebut yang akan dialihragamkan menjadi aliran di sungai, baik melalui limpasan permukaan, aliran antara, maupun sebagai aliran air tanah. Untuk mendapatkan perkiraan besar hujan yang terjadi di seluruh DAS, diperlukan data kedalaman hujan dari banyaknya stasiun hujan yang tersebar di seluruh DAS. Kerapatan data hujan dan jumlah stasiun pencatat hujan dalam suatu DAS akan memberikan perbedaan dalam besaran hujan yang didapatkan.

Harto (1986) mendapatkan bahwa perbedaan panjang data yang dipergunakan dalam analisis hidrologi memberikan penyimpangan yang cukup berarti terhadap perkiraan hujan dengan kala ulang tertentu. Analisis data hujan yang merupakan awal analisis dari setiap perencanaan maupun perancangan bangunan-bangunan hidrolika, maka analisis terhadap data hujan ini perlu dilakukan secara teliti. Kesalahan pada analisis ini akan terbawa ke analisis berikutnya.


(20)

3

Menurut Harto (1993) beberapa kesalahan yang sangat sering dijumpai dalam data hidrologi antara lain :

1. Jaringan stasiun hujan

Jumlah stasiun hujan dalam suatu DAS akan menentukan kecermatan informasi data hujan yang akan digunakan dalam analisis.

2. Kelengkapan data hujan

Setiap upaya pengumpulan data hujan, hampir selalu dijumpai sejumlah data yang hilang. Data yang hilang tersebut harus diperlakukan dengan cara yang benar agar dalam analisis selanjutnya kesalahan yang terjadi dapat dikurangi.

3. Panjang data hujan

Selain kelengkapan data, panjang data hujan yang tersedia berpengaruh terhadap kecermatan suatu jenis hitungan tertentu, antara lain ketelitian terhadap analisis frekuensi.

4. Kepanggahan data

Kepanggahan (konsistensi) data merupakan salah satu syarat mutlak bagi satu seri data hujan, sebelum data tersebut dianalisis lebih jauh. Data dari setiap stasiun hujan harus diuji dengan cara-cara yang berlaku sehingga apabila diperlukan, dapat dilakukan perlakuan khusus terhadap data tersebut.

5. Cara analisis

Prosedur analisis yang dilakukan harus dipilih dengan tepat dan mengikuti cara-cara terbaru yang dikenal dalam hidrologi.


(21)

4

Untuk keperluan analisis data hujan pada suatu DAS diperlukan data pengukuran curah hujan yang panjang dari stasiun pencatat hujan, tetapi sering dijumpai data yang tersedia tidak lengkap atau bahkan tidak ada sama sekali. Jika data yang digunakan sebagai input untuk analisis hidrologi yaitu data hujan yang diperoleh dari stasiun pencatat hujan selalu bertambah setiap tahunnya, maka kajian tentang pengaruh jumlah stasiun hujan terhadap besaran hujan rancangan yang akan terjadi perlu diketahui.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian tesis ini yang berjudul “Pengaruh Jumlah Stasiun Hujan dalam Analisis Hidrologi terhadap Hujan Rancangan (Studi Kasus : DAS Way Sekampung)” adalah :

1. Menganalisis pengaruh jumlah stasiun hujan pada DAS Way Sekampung dalam analisis hidrologi terhadap hujan rancangan yang dihasilkan oleh 28 stasiun sampai 3 stasiun.

2. Menganalisis pengaruh jumlah stasiun hujan pada Sub DAS Way Sekampung bagian Hulu, Tengah dan Hilir.

C. Batasan Masalah

Mengacu pada judul tesis tersebut, maka batasan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Lokasi penelitian adalah DAS Way Sekampung.

2. Data curah hujan yang digunakan dalam analisis hidrologi adalah data curah hujan yang didapat dari Stasiun Pos Hujan, pada DAS Way


(22)

5

Sekampung terdapat 28 Stasiun Pos Hujan. Data hujan yang digunakan tahun 1991 sampai dengan tahun 2011 (tahun 2007 tidak digunakan dalam analisis karena tidak terdapat data hujan pada semua stasiun pos hujan). 3. Metode yang digunakan untuk menghasilkan hujan rerata pada DAS

adalah Metode Polygon Thiessen.

4. Analisis hidrologi dilakukan untuk mendapatkan hujan rancangan dengan kala ulang tertentu.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh panjang data dan jumlah stasiun pencatat hujan dalam menghasilkan hujan rancangan sehingga dapat diketahui karakteristik hujan DAS Sekampung.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi merupakan salah satu aspek penting yang diperlukan pada proses analisa hidrologi. Siklus hidrologi menurut Soemarto (1987) adalah gerakan air laut ke udara, yang kemudian jatuh ke permukaan tanah lagi sebagai hujan atau bentuk presipitasi lain, dan akhirnya mengalir ke laut kembali. Dalam siklus hidrologi ini terdapat beberapa proses yang saling terkait, yaitu antara proses hujan (presipitation), penguapan (evaporation), transpirasi, infiltrasi, perkolasi, aliran limpasan (runoff), dan aliran bawah tanah. Secara sederhana siklus hidrologi dapat ditunjukkan seperti pada Gambar 1.


(24)

7

Penjelasan pada Gambar 1 dapat dimulai dari mana saja, akan tetapi untuk mudahnya dimulai dari penguapan. Penguapan merupakan proses alami berubahnya molekul cairan menjadi molekul gas/uap. Penguapan dapat terjadi dari semua permukaan yang lembab, baik dari permukaan tanah, permukaan tanaman maupun dari permukaan air. Penguapan yang berasal dari benda-benda mati seperti tanah, danau, dan sungai disebut evaporasi (evaporation), sedangkan penguapan yang berasal dari hasil pernafasan benda hidup seperti tumbuhan, hewan, dan manusia disebut tranpirasi (transpiration), dan jika penguapan itu berasal dari benda-benda mati dan tanaman maka disebut evapotranspirasi. Akibat penguapan ini terkumpul massa uap air, yang dalam kondisi atmosfir tertentu dapat membentuk awan. Awan dalam keadaan ini yang kalau masih mempunyai butir-butir air yang berdiameter lebih kecil dari 1 mm, masih akan melayang-layang di udara karena berat butir-butir tersebut masih lebih kecil dari pada gaya tekan ke atas udara. Akibat berbagai sebab klimatologis, awan tersebut akan menjadi awan yang potensial menimbulkan hujan, yang biasanya terjadi bila butir-butir berdiameter lebih besar dari 1 mm. Bila terjadi hujan masih besar kemungkinan air teruap kembali sebelum sampai di permukaan bumi, karena keadaan atmosfir tertentu. Hujan baru disebut sebagai hujan apabila telah sampai di permukaan bumi dan dapat diukur.

Air hujan yang jatuh di permukaan terbagi menjadi dua bagian, pertama sebagai aliran limpasan (overland flow) dan kedua bagian air yang terinfiltrasi. Jumlah yang mengalir sebagai aliran limpasan dan yang


(25)

8

terinfiltrasi tergantung dari banyak faktor. Makin besar bagian air hujan yang mengalir sebagai aliran limpasan maka bagian air yang terinfiltrasi akan menjadi semakin kecil, demikian juga sebaliknya.

Aliran limpasan selanjutnya mengisi tampungan-cekungan (depression stroge). Apabila tampungan ini telah terpenuhi, air akan menjadi limpasan permukaan (surface runoff) yang selanjutnya ke sungai atau laut. Air yang terinfiltrasi, bila keadaan formasi geologi memungkinkan, sebagian besar dapat mengalir lateral di lapisan tidak kenyang air (unsaturated zone) sebagai aliran antara (subsurface flow/interflow), sebagian yang lain akan mengalir vertikal (perkolasi/percolation) yang akan mencapai lapisan kenyang air (saturated zone/aquifer). Air dalam akuifer ini akan mengalir sebagai aliran air tanah (groundwater flow/baseflow), sungai atau tampungan dalam (deep storage). Sebagian besar air yang ada di permukaan bumi akan menguap kembali ke atmosfer.

B. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Berdasarkan Peraturan Pemerintan Nomor 37 tentang Pengelolaan DAS Pasal 1, Daerah Aliran Sungai (catchment, basin, watershed) merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.


(26)

9

Daerah aliran sungai merupakan daerah dimana semua air mengalir masuk ke dalam sungai yang dimaksud. Batas DAS tidak ditetapkan berdasarkan air bawah tanah (groundwater) karena permukaan air tanah (surface runoff) selalu berubah tergantung kondisi musim dan tingkat pemakaiannya.

Penamaan DAS ditandai dengan nama sungai yang bersangkutan dan dibatasi oleh titik kontrol, yang umumnya merupakan stasiun hidrometri. Memperhatikan hal tersebut berarti sebuah DAS dapat merupakan bagian dari DAS lain (Harto, 1993). Dalam sebuah DAS kemudian dibagi dalam area yang lebih kecil menjadi Sub DAS. Penentuan batas-batas Sub DAS berdasarkan kontur, jalan dan rel kereta api yang ada di lapangan untuk menentukan arah aliran air. Dari peta topografi, ditetapkan titik-titik tertinggi disekeliling sungai utama (main stream) yang dimaksudkan, dan masing-masing titik tersebut dihubungkan satu dengan lainnya sehingga membentuk garis utuh yang bertemu ujung pangkalnya. Garis tersebut merupakan batas DAS di titik kontrol tertentu (Harto, 1993).

Karakteristik DAS berpengaruh pada aliran permukaan air, seperti luas dan bentuk DAS, topografi DAS serta tata guna lahan DAS. Luas DAS merupakan parameter dasar bagi perhitungan volume limpasan yang diakibatkan oleh suatu kejadian hujan. Secara umum, semakin besar luas DAS, semakin besar pula debit limpasan pada DAS tersebut. Begitu pula dengan bentuk DAS, jika bentuk DAS berbentuk memanjang dan sempit akan cenderung menghasilkan laju aliran permukaan yang lebih kecil dibandingkan dengan bentuk DAS yang melebar atau melingkar.


(27)

10

C. Pengertian Curah Hujan (Presipitasi)

Presipitasi adalah istilah umum untuk menyatakan uap air yang mengkondensasi dan jatuh dari atmosfir ke bumi dalam segala bentuknya dalam rangkaian siklus hidrologi (Suripin, 2004). Sedangkan menurut Sosrodarsono (1976) presipitasi adalah nama umum dari uap yang mengkondensasi dan jatuh ke tanah dalam rangkaian proses siklus hidrologi, biasanya jumlah selalu dinyatakan dengan dalamnya prespitasi (mm). Jika uap air yang jatuh berbentuk cair disebut hujan (rainfall) dan jika berbentuk padat disebut salju (snow).

Hujan merupakan satu bentuk presipitasi yang berwujud cairan. Menurut Harto (1993) hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses hidrologi, karena jumlah kedalaman hujan (rainfall depth) ini yang dialihragamkan menjadi aliran di sungai, baik melalui limpasan permukaan (surface runoff), aliran antara (interflow, subsurface flow) maupun sebagai aliran air tanah (groundwater flow).

Karakteristik hujan yang perlu ditinjau dalam analisa dan perancangan hidrologi meliputi antara lain :

1. Durasi hujan (t)

Durasi hujan adalah lamanya kejadian hujan (menitan, jam-jaman, harian) diperoleh dari pencatatan alat pengukur hujan otomatis maupun yang manual.


(28)

11

2. Intensitas hujan (i)

Intensitas hujan adalah jumlah hujan yang dinyatakan dalam tinggi hujan atau volume hujan tiap satuan waktu, misalnya mm/menit, mm/jam, dan mm/hari. Besarnya intensitas hujan berbeda-beda tergantung dari curah hujan, dan frekuensi kejadiannya.

3. Tinggi hujan (d)

Tinggi hujan adalah jumlah atau kedalaman hujan yang terjadi selama durasi hujan, dan dinyatakan dalam ketebalan air di atas permukaan datar, dalam mm.

4. Frekuensi atau periode ulang (T)

Adalah frekuensi kejadian hujan tertentu dan biasanya dinyatakan dengan kala ulang (return period).

5. Luas (A)

Adalah luas geografis daerah sebaran hujan atau perluasan hujan secara geografi.

Kejadian hujan dapat dipisahkan menjadi dua bagian, yaitu hujan aktual dan hujan rencana. Hujan aktual adalah rangkaian data pengukuran di stasiun hujan selama periode tertentu. Hujan rencana adalah hyetograf hujan yang mempunyai karakteristik terpilih. Hujan rencana mempunyai karakteristik yang secara umum sama dengan karakteristik hujan yang terjadi pada masa lalu, sehingga menggambarkan karakteristik umum kejadian hujan yang diharapkan terjadi pada masa mendatang.

Curah hujan harian adalah hujan yang terjadi dan tercatat pada stasiun pengamatan curah hujan setiap hari (selama 24 jam). Data curah hujan


(29)

12

harian biasanya dipakai untuk simulasi kebutuhan air tanaman, simulasi operasi waduk.

Curah hujan harian maksimum adalah curah hujan harian tertinggi dalam tahun pengamatan pada suatu stasiun tertentu. Data ini biasanya dipergunakan untuk perancangan bangunan hidrolik sungai seperti bendung, bendungan, tanggul, pengaman sungai dan drainase.

Curah hujan bulanan adalah jumlah curah hujan harian dalam satu bulan pengamatan pada suatu stasiun curah hujan tertentu. Data ini biasanya dipergunakan untuk simulasi kebutuhan air dan menentukan pola tanam. Curah hujan tahunan adalah jumlah curah hujan bulanan dalam satu tahun pengamatan pada suatu stasiun curah hujan tertentu.

Curah hujan maksimum harian rata-rata DAS diperoleh melalui cara :

1. Tentukan hujan maksimum harian pada tahun tertentu di salah satu pos hujan.

2. Cari besarnya curah hujan pada tanggal-bulan-tahun yang sama untuk pos hujan yang lain.

3. Hitung hujan DAS dengan salah satu cara yang dipilih.

4. Tentukan hujan maksimum harian (seperti langkah pertama) pada tahun yang sama untuk pos hujan yang lain.

5. Ulangi langkah 2 dan 3 untuk setiap tahun.

Dari hasil rata-rata yang diperoleh (sesuai dengan jumlah pos hujan) dipilih yang tertinggi setiap tahun. Data hujan yang terpilih setiap tahun merupakan hujan maksimum harian DAS untuk tahun yang bersangkutan.


(30)

13

D. Alat Pengukur Curah Hujan

Alat untuk mengukur jumlah curah hujan yang turun kepermukaan tanah per satuan luas, disebut Penakar Hujan. Satuan curah hujan yang umumnya dipakai oleh BMKG adalah millimeter (mm). Jadi jumlah curah hujan yang diukur, sebenarnya adalah tebalnya atau tingginya permukaan air hujan yang menutupi suatu daerah luasan di permukaan bumi / tanah. Curah hujan 1(satu) millimeter, artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi 1 (satu) millimeter atau tertampung air sebanyak 1 (satu) liter atau 1000 ml. Misalnya disuatu daerah atau lokasi pengamatan curah hujannya 10 mm, itu berarti daerah luasan sekitar daerah / lokasi tergenangi oleh air hujan setinggi atau tebalnya 10 millimeter (mm).

Alat penakar hujan terbagi dalam 2 jenis yaitu, penakar hujan biasa tipe Obervatorium (Obs.) atau non recording dan penakar hujan Otomatis / penakar hujan yang dapat mencatat sendiri (self-recording). Penakar hujan Otomatis terbagi dalam 2 tipe yaitu Penakar Hujan Otomatis type Hellmann yaitu penakar hujan yang menggunakan sistem pelampung ( Float ) dan Penakar Hujan Otomatis yang menggunakan sistem Tipping Bucket.

1. Penakar Hujan Biasa (OBS)

Penakar hujan ini tidak dapat mencatat sendiri (non recording), bentuknya sederhana terbuat dari seng plat tingginya sekitar 60 Cm dicat aluminium, ada juga yang terbuat dari pipa pralon tingginnya 100 Cm. Pengamatan untuk curah hujan harus dilakukan tiap hari pada jam 07.00 waktu


(31)

14

setempat, atau jam-jam tertentu. Bila dasar meniskus tepat pada pertengahan antara dua garis skala, diambil atau dibaca ke angka yang ganjil, misalnya : 17,5 mm menjadi 17 mm dan 24,5 mm menjadi 25 mm. Untuk pembacaan setinggi x mm dimana 0,5 / x / 1,5 mm, maka dibaca x=1mm. Untuk pembacaan lebih kecil dari 0,5 mm, pada kartu hujan ditulis angka 0 (Nol) dan tetap dinyatakan sebagai hari hujan. Jika tidak ada hujan, beri tanda ( – ) atau ( . ) pada kartu hujan. Jika tidak dapat dilakukan pengamatan dalam satu atau beberapa hari, beri tanda (X) pada kartu hujan.

2. Penakar Hujan Otomatis

a. Penakar Hujan Otomatis Type Hellman

Penakar hujan Otomatis type Hellman adalah penakar hujan yang dapat mencatat sendiri, badannya berbentuk silinder, luas permukaan corong penakarnya 200 cm2, tingginya antara 100 sampai dengan 120 cm. Jika hujan turun, air hujan akan masuk kedalam tabung yang berpelampung melalui corongnya, air yang masuk kedalam tabung mengakibatkan pelampung beserta tangkainya terangkat (naik keatas). Pada tangkai pelampung terdapat tangkai pena yang bergerak mengikuti tangkai pelampung, gerakan pena akan menggores pias yang diletakkan/digulung pada silinder jam yang dapat berputar dengan sendirinya. Penunjukkan pena pada pias sesuai dengan jumlah volume air yang masuk ke dalam tabung, apabila pena telah menunjuk angka 10 mm. maka air dalam tabung akan keluar melalui gelas siphon yang bentuknya melengkung. Seiring dengan keluarnya air maka pelampung akan turun, dan dengan turunnya


(32)

15

pelampung tangkai penapun akan bergerak turun sambil menggores pias berupa garis lurus vertikal. Setelah airnya keluar semua, pena akan berhenti dan akan menunjuk pada angka 0, yang kemudian akan naik lagi apabila ada hujan turun.

b. Penakar Hujan Otomatis TipeTipping Bucket

Pada umumnya peralatan Automatic Weather Station (AWS) yang kini banyak dioperasikan di Stasiun Meteorologi, perangkat sensor penakar hujannya menggunakan tipping bucket. Dimana pada saat bucketnya saling berjungkit, secara elektrik terjadi kontak dan menghasilkan keluaran nilai curah hujan yang displaynya dapat dilihat pada monitor. Penakar hujan tipe

tipping bucket, nilai curah hujannya tiap bucket berjungkit tidak sama, serta luas permukaan corongnya beragam tegantung dari merk pembuatnya. Jadi dalam kita mengoperasikan penakar hujan jenis tipping bucket, kita harus pula mengetahui secara teliti dasar dari perhitungan data yang dihasilkannya. Untuk itu perlu dilakukan pengetesan atau mengkalibrasinya, dengan cara menuangkan sejumlah air sesuai dengan luas permukaan corong dan nilai curah hujan tiap jungkit / tip bucketnya. Jadi nilai curah hujan 1 mm yang masuk pada luasan permukaan corong yang berbeda, maka volume air yang tertampung pun berbeda.

E. Analisis Hidrologi

Analisis hidrologi merupakan kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena hidrologi. Analisis hidrologi sebagai mana telah dijelaskan adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena hidrologi. Fenomena


(33)

16

hirologi seperti besarnya curah hujan, temperatur, penguapan, lama penyinaran matahari, kecepatan angin, debit sungai, tinggi muka air, akan selalu berubah menurut waktu. Data-data hidrologi dapat dikumpulkan, dihitung, disajikan, dan ditafsirkan dengan menggunakan prosedur tertentu.

1. Memperkirakan Data Hujan Yang Hilang

Seringkali data hujan yang tercatat tidak lengkap. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan kerusakan atau pemindahan alat penakar, maupun ketidakhadiran si petugas pencatat. Karena pengolahan data hujan membutuhkan data yang kontinyu, maka seringkali dilakukan taksiran data yang tidak lengkap / hilang tersebut. Metode yang biasa digunakan adalah dengan beberapa cara dibawah ini :

a. Metode Normal Rasio

Metode ini hanya dapat digunakan jika variasi ruang hujan tidak terlalu besar. Jumlah stasiun acuan yang dianjurkan umumnya paling sedikit tiga buah.

Persamaan Metode Normal Rasio (Harto, 2003) :

1 2

1 2

1

....

x x x

x n

n

N N N

P P P P

n N N N

 

       

 ... (2.1)

Dimana :

Px = data hujan yang hilang pada stasiun X yang diperkirakan

Nx = hujan tahunan rata rata pada stasiun X

P1, P2, Pn = hujan pada masing masing stasiun 1, 2 dan n

N1, N2, N3= hujan tahunan rerata masing masing stasiun 1, 2 dan n Perhitungan-perhitungan ini akan lebih mendekati kenyataan jika dipergunakan pada daerah-daerah pegunungan.


(34)

17

b. Metode Reciprocal

Metode Reciprocal memanfaatkan jarak antar stasiun sebagai faktor koreksi. Metode ini mempertimbangkan korelasi antara dua stasiun hujan menjadi makin kecil dengan makin besarnya jarak antar stasiun. Persamaan metode reciprocal dapat digunakan bila dalan DAS tersebut terdapat lebih dari dua stasiun hujan, umumnya dianjurkan paling tidak menggunakan tiga stasiun acuan.

Persamaan Metode Reciprocal(Harto,1993) :

2 1 2

2 2 2

1 1 2

( ) ....

( ) ( ) ( )

n

n

x xi

i x x xn

P P P

P d

d d d

 

    

 

... (2.2)

Dimana :

Px = data hujan yang hilang pada stasiun X yang

diperkirakan

P1, P2, Pn = hujan tahunan rerata pada masing masing stasiun 1, 2 dan n

dx1, dx2 , dxn = jarak antara stasiun X dengan masing-masing stasiun acuan 1, 2 dan n

dxi = jarak antara stasiun x dengan stasiun ke-i

2. Uji Konsistensi

Uji konsistensi dilakukan terhadap data curah hujan tahunan yang dimaksud untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan data hujan, sehingga dapat disimpulkan apakah data tersebut layak dipakai dalam perhitungan hidrologi atau tidak. Adanya perubahan atau pindah lokasi, penggantian alat serta penggantian petugas pengamat menyebabkan data


(35)

18

hujan tidak konsisten untuk mengatasi hal tersebut dilakukan uji konsistensi data pencatatan dari stasiun yang bersangkutan. Pada dasarnya pengujian tersebut merupakan perbandingan data stasiun yang bersangkutan dengan data stasiun lain di sekitarnya. Konsistensi data-data hujan bagi stasiun dasar (stasiun hujan yang akan digunakan untuk menguji) harus diuji terlebih dahulu dan yang menunjukkan catatan yang tidak konsisten harus dibuang sebelum dipergunakan. Jika tidak ada stasiun hujan yang bias dijadikan stasiun hujan dasar atau tidak tercatat historis mengenai perubahan data, maka langkah awal terhadap data adalah menghapus data yang dianggap meragukan.

Keadaan ini dapat diperlihatkan dan sekaligus dikoreksi dengan menggambarkan suatu grafik orthogonal yang disebut kurva massa ganda (double-mass curve) yaitu suatu kurva yang membandingkan antara data hujan tahunan komulatif stasiun yang diuji dengan rerata hujan tahunan komulatif dari stasiun disekitarnya, jika selisih antara hujan-hujan tahunan normal dari tempat pengamatan yang datanya tidak lengkap kurang dari 10% maka perkiraan data yang hilang boleh diambil harga rata-rata hitung dari data-data tempat pengamatan yang mengelilinginya.

Perubahan meteorologi tidak akan menyebabkan perubahan kemiringan pada kurva massa-ganda karena semua stasiun dasar akan terpengaruh dengan cara yang sama. Tititk-titik yang tergambar di kurva massa-ganda selalu berdeviasi di sekitar garis rata-rata, dan perubahan kemiringan hanya dapat diterima bila didukung oleh bukti/penjelasan lain.


(36)

19

3. Analisa Curah Hujan

Dalam analisa hidrologi data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan yang terjadi hanya pada satu tempat atau titik saja (point rainfall). Mengingat hujan sangat bervariasi di suatu tempat atau kawasan (space), maka untuk kawasan yang luas, satu alat penakar hujan belum dapat menggambarkan hujan wilayah tersebut. Diperlukan data hujan di kawasan yang diperoleh dari harga rata-rata curah hujan beberapa stasiun penakar hujan yang ada di dalam dan atau di sekitar kawasan tersebut (Suripin, 2004).

Analisa curah hujan diperlukan untuk menentukan besarnya intensitas yang digunakan sebagai prediksi timbulnya aliran permukaan wilayah. Analisa hidrologi digunakan untuk mengetahui karakteristik hujan, menganalisa hujan rancangan dan analisa debit rancangan. Guna memenuhi langkah-langkah tersebut, maka diperlukan data curah hujan, kondisi tata guna lahan, kemiringan lahan dan juga koefisien permeabilitas tanah.

Penentuan curah hujan maksimum harian rata-rata suatu DAS dari beberapa stasiun penakar tersebut dapat dihitung dengan beberapa metode, Ada tiga macam cara yang umum dipakai dalam menghitung hujan rata-rata kawasan, yaitu:


(37)

20

a. Metode Rata-Rata Aljabar

Merupakan metode yang paling sederhana dalam perhitungan hujan. Metode ini Berdasarkan asumsi bahwa semua penakar hujan mempunyai pengaruh yang setara. Curah hujan didapatkan dengan mengambil rata-rata hitung (arithematic mean) dari penakaran pada penakar hujan areal tersebut. Cara ini cocok untuk kawasan dengan topografi kawasan rata atau datar, alat penakar hujan tersebar merata atau hampir merata, data individual curah hujan tidak terlalu jauh dari harga rata-ratanya.

Persamaan Aljabar menurut Harto (1993) , yaitu:

……… (2.3)

Dimana:

R = Curah hujan rata-rata (mm)

R1, R2, Rn = Curah hujan yang tercatat di pos hujan, 1,2, …, n (mm)

n = Banyaknya pos penakar hujan

b. Metode Polygon Thiessen

Metode Polygon Thiessen atau metode rata-rata timbang (weighted mean). Metode ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos hujan untuk mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos penakar terdekat. Diasumsikan bahwa variasi hujan antara pos yang satu dengan lainnya adalah linier dan bahwa sembarang pos dianggap dapat mewakili


(38)

21

kawasan terdekat. Cara ini memperhitungkan luas daerah yang mewakili dari stasiun-stasiun hujan yang bersangkutan, yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rata-rata. Penggunaan metode polygon thiessen hasilnya lebih akurat dibandingkan dengan metode rata-rataaljabar. Cara ini cocok untuk daerah datar dengan luas 500-5.000 km2.

Persamaan Polygon Thiessen menurut Harto (1993), yaitu:

………... (2.4)

………. (2.5)

Dimana:

R = Curah hujan rata-rata (mm)

R1, R2, Rn = Curah hujan tercatat di pos hujan 1,2, …, n (mm) A1, A2, A = Luas areal polygon 1,2, …, n (km2)

W1, W2, Wn = Faktor bobot masing-masing stasiun, yaitu % daerah pengaruh terhadap luas keseluruhan

n = Banyaknya pos penakar hujan


(39)

22

c. Metode Isohyet

Metode Isohyet adalah garis lengkung yang merupakan harga curah hujan yang sama. Umumnya sebuah garis lengkung menunjukkan angka yang bulat. Metode Isohyet ini diperoleh dengan cara interpolasi harga-harga curah hujan yang tercatat pada penakar hujan lokal (Rnt). Metode isohyet berasumsi bahwa tiap-tiap pos penakar mencatat kedalaman yang sama untuk daerah sekitarnya dapat dikoreksi. Metode ini merupakan metode yang paling akurat untuk menentukan hujan rata-rata, namun diperlukan keahlian dan pengalaman. Metode isohyet cocok untuk daerah berbukit dan tidak teratur dengan luas lebih dari 5.000 km2.

Persamaan Isohyet Menurut Harto (1993), yaitu:

………..………... (2.6)

Dimana:

R = Curah hujan rata-rata (mm)

R1, R2, Rn = Curah hujan tercatat di pos hujan 1,2, …, n (mm) A1, A2, An = Luas areal polygon 1,2, …, n (Km2)

n = Banyaknya pos penakar hujan

4. Pemilihan Metode Analisa Hujan

Faktor-faktor yang digunakan untuk mempertimbangkan dalam menganalisa suatu DAS harus dilihat luas dari DAS tersebut.Untuk mempermudah analisa dan menentukan metode yang tepat.


(40)

23

Menurut Suripin (2004) penentuan metode analisa yang mesti diperhatikan, antara lain, yaitu:

a. Jaring-jaring pos penakar hujan dalam DAS, yaitu:

1) Jika jumlah pos penakar hujan cukup, maka Metode Isohyet, Polygon Thiessen atau Rata-Rata Aljabar dapat dipakai;

2) Jika pos penakar hujan terbatas, maka Metode Rata-Rata Aljabar dan Polygon Thiessen dapat dipakai;

3) Jika hanya terdapat pos penakar hujan tunggal, maka metode hujan titik yang dapat dipakai.

b. Luas DAS

1) DAS besar (> 5000 km2), dengan Metode Isohyet;

2) DAS sedang (500 - 5000 km2), dengan Metode Polygon Thiessen; 3) DAS kecil, (< 500 km2), dengan Metode Rata-Rata Aljabar.

c. Topografi DAS

1) Daerah pegunungan, dengan Metode Rata-Rata Aljabar; 2) Daerah dataran, dengan Metode Polygon Thiessen;

3) Daerah berbukit dan tidak beraturan, dengan Metode Isohyet.

5. Analisa Frekuensi dan Probabilitas

Hubungan analisa frekuensi dan probabilitas data hidrologi berkaitan dengan besaran peristiwa-peristiwaekstrim yang berkaitan erat dengan frekuensi kejadiannya melalui distribusi kemungkinan. Data hidrologi


(41)

24

yang dianalisa diasumsikan tidak bergantung (independent) dan terdistribusi secara acak dan bersifat stokastik.

Menurut Suripin (2004) frekuensi hujan merupakan besarnya kemungkinan suatu besaran hujan disamai atau dilampaui. Sebaliknya, kala-ulang (return period) merupakan waktu hipotetik dimana hujan dengan suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui. Dalam hal ini tidak terkandung pengertian bahwa kejadian tersebut akan berulang secara teratur setiap kala ulang tersebut. Misalnya, hujan dengan kala ulang 10 tahunan, tidak berarti akan terjadi sekali setiap 10 tahun akan tetapi ada kemungkinan dalam jangka 1.000 tahun akan terjadi 100 kali kejadian hujan 10 tahunan. Ada kemungkinan selama kurun waktu 10 tahun terjadi hujan 10 tahunan lebih dari satu kali, atau sebaliknya tidak terjadi sama sekali.

Dalam perhitungan analisa frekuensi, diperlukan seri data hujan dari pos penakar hujan, baik yang manual maupun yang otomatis. Analisa frekuensi dilakukan berdasarkan dari sifat statistik data kejadian yang lampau yang dipergunakan untuk memperoleh probabilitas besaran hujan di masa mendatang. Dengan anggapan bahwa sifat statistik kejadian hujan yang akan datang masih sama dengan kejadian hujan masa lalu.

Ada 2 (dua) seri data yang diperlukan dalam analisa frekuensi, yaitu:

a. Data Maksimum Tahunan

Data ini tiap tahun diambil hanya satu besaran maksimum yang dianggap berpengaruh pada analisa selanjutnya. Seri data seperti ini


(42)

25

dikenal dengan seri data maksimum (maximum annual series). Jumlah data dalam seri akan sama dengan panjang data yang tersedia, dalam cara ini besaran data maksimum kedua dalam suatu tahun yang mungkin lebih besar dari besaran data maksimum dalam tahun yang lain tidak diperhitungkan pengaruhnya dalam analisa.

Oleh beberapa pihak hal ini dianggap kurang realistis, apalagi jika diingat bahwa perhitungan permulaan tahun hidrologi tidak selalu seragam, ada yang berdasar musim ada pula yang mengikuti kalender masehi. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan menggunakan cara seri parsial.

b. Seri Parsial

Dengan menetapkan suatu besaran tertentu sebagai batas bawah, selanjutnya semua besaran data yang lebih besar dari batas bawah tersebut diambil dan dijadikan bagian seri data untuk kemudian dianalisa seperti biasa. Pengambilan batas bawah dapat dilakukan dengan sistem peringkat, dimana semua besaran data yang cukup besar diambil, kemudian diurutkan dari besar ke kecil. Data yang diambil untuk analisa selanjutnya adalah sesuai dengan panjang data dan diambil dari besaran data yang paling besar. Dalam hal ini dimungkinkan dalam satu tahun data yang diambil lebih dari satu data, sementara tahun yang lain tidak ada data yang diambil.

Dalam analisa frekuensi, hasil yang diperoleh tergantung pada kualitas dan panjang data. Makin pendek data yang tersedia, makin besar


(43)

26

penyimpangan yang terjadi. Dalam statistik dikenal beberapa parameter yang berkaitan dengan analisa data, meliputi: rata-rata, simpangan baku, koefisien variasi, dan koefisien skewness

(kemencengan). Parameter statistik menurut Suripin (2004) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter Statistik

Parameter Sampel

Rata-Rata

Simpangan Baku

Koefisiensi Variasi

Koefisien Skewness

Sumber :Suripin (2004), Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan

6. Pengukuran Dispersi

Setelah mendapatkan curah hujan rata-rata dari beberapa stasiun yang berpengaruh di daerah aliran sungai, selanjutnya dianalisa secara statistik untuk mendapatkan pola sebaran yang sesuai dengan sebaran curah hujan rata-rata yang ada. Pada kenyataannya bahwa tidak semua varian dari suatu variabel hidrologi terletak atau sama dengan nilai rata-ratanya. Variasi atau dispersi adalah besarnya derajat atau besaran varian di sekitar nilai rata-ratanya.


(44)

27

Besarnya dispersi dapat dilakukan pengukuran dispersi, yakni melalui

perhitungan parametrik statistik untuk (xi– rt.x), (xi– x.rt) 2

, (xi–x.rt) 3

,(xi– x.rt) 4

terlebih dahulu.Pengukuran dispersi ini digunakan untuk analisa Distribusi

Normal dan Gumbel dimana jika xiadalah besarnya total hujan tahunan (mm) dan x.rt adalah rata-rata total hujan tahunan (mm). Sedangkan untuk pengukuran besarnya dispersi Logaritma dilakukan melauiperhitungan parametrik statistik untuk (Log xi- Log x.rt), (Log xi- Log x.rt)

2

, (Log xi

-Log x.rt)3, (Log xi - Log x.rt) 4

terlebih dahulu. Pengukuran dispersi ini digunakan untuk menghitung analisa Distribusi Log Normal dan Log Pearson Type III.

Cara mengukur besarnya dispersi disebut pengukuran dispersi, adapun cara pengukuran dispersi Soewarno (1995), antara lain:

a. Deviasi Standard (S)

Standar deviasi disebut juga simpangan baku. Seperti halnya varians, standar deviasi juga merupakan suatu ukuran dispersi (variasi). Standar deviasi merupakan ukuran dispersi yang paling banyak dipakai. Hal ini mungkin karena standar deviasi mempunyai satuan ukuran yang sama dengan satuan ukuran data asalnya.

Persamaan Deviasi Standard menurut Soewarno (1995), yaitu:

2 1 ( ) n i i X X s n  

……… (2.7)

Dimana:

S = Deviasi standard, Xi = Nilai varian ke i,


(45)

28

X = Nilai rata-rata varian, n = Jumlah data.

b. Koefisien Skewness(CS)

Kemencengan (skewness) adalah suatu nilai yang menunjukan derajat ketidaksimetrisan dari suatu bentuk distribusi.

Persamaan Koefisien Skewness(CS) menurut Soewarno (1995), yaitu:



3 2 log 1 2 i s x

n X LogX C

n n S

             

………. (2.8) Dimana:

CS = Koefisien Skewness Xi = Nilai varian ke i,

X = Nilai rata-rata varian, n = Jumlah data.

S = Deviasi Standar

c. Pengukuran Kurtosis

Pengukuran kurtosis dimaksudkan untuk mengukur keruncingan dari bentuk kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal. Menurut Soewarno (1995) Pengukuran kurtosis merupakan kepuncakan (peakness) distribusi. Biasanya hal ini dibandingkan dengan distribusi normal yang mempunyai Ck = 3 dinamakan mesokurtik, Ck < 3 berpuncak tajam dinamakan


(46)

29

Persamaan Koefisien Kurtosis menurut Soewarno (1995), yaitu:

……….. (2.9)

Dimana:

Ck = Koefisien Kurtosis Xi = Nilai varian ke i,

X = Nilai rata-rata varian, n = Jumlah data.

S = Deviasi Standar

d. Koefisien Variasi (Cv)

Koefisien variasi adalah nilai perbandingan antara deviasi standar dengan nilai rata-rata hitung suatu distribusi.

Persamaan Koefisien Variasi (Cv) menurut Soewarno (1995), yaitu:

……… (2.10)

Dimana:

Cv = Koefisien Variasi = Nilai rata-rata variasi S = Deviasi Standar

7. Uji Keselarasan dengan Metode Chi Kuadratdan Smirnov Kolmogorof

Uji keselarasan dimaksudkan untuk menetapkan apakah persamaan distribusi peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik sample data yang dianalisa. Ada dua jenis keselarasan (Goodness of Fit Test), yaitu uji keselarasanChi Kuadrat dan Smirnov Kolmogorof.


(47)

30

a. Uji Keselarasan Chi Kuadrat

Uji keselarasan distribusi ini digunakan pengujian Chi-kuadrat yang dimaksud untuk menentukan apakah persamaan distribusi yang telah dipilih dapat mewakili distribusistatistik sampel data yang dianalisa. Pengujian Chi-Kuadrat digunakan untuk mengadakan pendekatan dari beberapa vaktor atau mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau frekuensi hasil observasi dengan frekuensi yang diharapkan dari sampel apakah dalam data tersebut terdapat hubungan atau perbedaan yang signifikan atau tidak.

Persamaan Chi-Kuadrat menurut Soewarno (1995), yaitu:

……… (2.11)

Dimana:

X2 = Nilai Chi-Kuadrat

G = Jumlah sub kelompok

Of = Frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama

Ef = Frekuensi yang diharapkan sesuai pembagian kelasnya

Adapun prosedur pengujian dengan menggunakan Metode Chi-kuadrat, yaitu:

1) Mengurutan data pengamatan (dari data yang terbesar ke data yang paling kecil atau sebaliknya);

2) Mengelompokkan data-data tersebut menjadi G sub-grup yang beranggotakan minimal 4 (empat) data pengamatan;


(48)

31

4) Menjumlahkan data-data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar Ef;

5) Menghitung nilai (Of – Ef)2dan pada setiap sub-grup;

6) Menjumlahkan seluruh nilai G sub-grup nilai digunakan untuk menentukan nilai Chi-Kuadrat;

7) Terakhir menentukan derajat kebebasan dengan persamaan dk = G – R - 1 (nilai R = 2 untuk distribusi normal dan binomial, nilai R = 1 untuk distribusi poissondan gumbel).

Interpretasi hasil uji adalah sebagai berikut:

1) Jika hasil uji peluang ≥ 5%, maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan dapat diterima;

2) Jika hasil uji peluang berada di antara 1 - 5%, maka tidak mungkin mengambil keputusan, misal perlu data tambahan;

3) Jika hasil uji peluang ≤ 1%, maka persamaan yang digunakan tidak dapat diterima.

b. Uji Keselarasan Smirnov Kolmogorov

Uji keselarasan Smirnov Kolmogorov adalah uji beda antara data yang di uji normalitasnya dengan data normal baku. Konsep Dasar dari uji normalitas yaitu membandingkan distribusi data (yang akan diuji normalitasnya) dengan distribusi normal baku. Kelebihan dari uji ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan persepsi di antara satu pengamat dengan pengamat yang lain, yang sering terjadi pada uji normalitas dengan menggunakan grafik.


(49)

32

Uji keselarasan Smirnov Kolmogorov digunakan untuk mengetahui apakah distribusi nilai sampel yang diamati sesuai dengan distribusi teoritis tertentu (normal, uniform, poisson, eksponensial). Uji keselarasan Smirnov Kolmogorov beranggapan bahwa distribusi variabel yang sedang di uji bersifat kontinu dan pengambilan sampel secara acak sederhana. Dengan demikian uji ini hanya dapat digunakan, bila variabel diukur paling sedikit dalam skala ordinal.

Langkah-langkah uji Smirnov Kolmogorov menurut C.D Soemarto (1999), sebagai berikut:

1) Menyusun nilai frekuensi dari setiap nilai teramati, berurutan dari nilai terkecil sampai nilai terbesar, kemudian menyusun frekuensi kumulatif dari nilai-nilai teramati;

2) Mengkonversi nilai frekuensi kumulatif ke dalam probabilitas, yaitu ke dalam fungsi distribusi frekuensi kumulatif [S(x)]. distribusi frekuensi yang teramati harus merupakan hasil pengukuran variabel paling sedikit dalam skala ordinal;

3) Menghitung nilai z untuk masing-masing nilai teramati di atas dengan rumus z= (xi–x)/s. kemudian, carilah probabilitas (luas area) kumulatif untuk setiap nilai teramati. Hasilnya ialah sebagai Fo(xi);

4) Menyusun Fs(x) berdampingan dengan Fo(x). hitung selisih


(50)

33

5) Statistik uji Kolmogorov Smirnov merupakan selisih absolut

terbesar Fs(xi) dan Ft(xi) yang juga disebut deviasi maksimum D; 6) Dengan mengacu pada distribusi pencuplikkan maka penguji dapat

mengetahui apakah perbedaan (yaitu nilai D maksimum teramati) terjadi hanya karena kebetulan. Dengan mengacu pada tabel D, dapat terlihat berapa probabilitas (dua sisi) kejadian untuk menemukan nilai-nilai teramati sebesar D, bila Ho benar. Jika probabilitas itu sama atau lebih kecil dari a, maka Ho ditolak.

8. Metode Perhitungan Curah Hujan Rencana

Menurut Soemarto (1987), dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi dan empat jenis distribusi yang umum digunakan dalam bidang hidrologi, yaitu: Distribusi Normal, Distribusi Log Normal, Distribusi Log-Pearson Type III, dan Distribusi Gumble. Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan 4 (empat) jenis distribusi yang digunakan dalam bidang hidrologi, yaitu:

a. Distribusi Normal

Dalam analisa hidrologi distribusi normal sering digunakan untuk menganalisa frekuensi curah hujan, analisa stastistik dari distribusi curah hujan tahunan, debit rata-rata tahunan. Distribusi Normal disebut juga Distribusi Gauss. Distribusi tipe normal, mempunyai koefisien kemencengan (Coefficient ofskewness) atau CS = 0


(51)

34

Persamaan Distribusi Normal, yaitu:

……… (2.12)

Dimana:

Xt = Curah hujan rencana (mm/hari),

= Curah hujan maksimum rata-rata (mm/hari) Sx = Standard deviasi

z = Faktor frekuensi

b. Distribusi Log Normal

Distribusi Log Normal merupakan hasil transformasi dari distribusi Normal, yaitudengan mengubah varian X menjadi nilai logaritmik varian X. Distribusi ini dapat diperoleh juga dari distribusi Log-Pearson III, apabila nilai koefisien kemencengan CS = 0. Distribusi tipe Log Normal mempunyai koefisien kemencengan (Coefficient of skewness) atau CS = 3 CV + CV2.

Persamaan Distribusi Log Normal, yaitu:

………... (2.13)

Dimana:

Xt = Besarnya curah hujan yang mungkin terjadi pada periode ulang T tahun (mm/hari),

= Curah hujan maksimum rata-rata (mm/hari) Sx = Standard deviasi


(52)

35

c. Distribusi Log-Pearson III

Distribusi Log-Pearson III atau Distribusi Ekstrim Tipe III, metode ini digunakan untuk analisa variabel hidrologi dengan nilai varian minimum, misalnya analisa frekuensi distribusi dari debit minimum (low flows). Distribusi ini mempunyai koefisien kemencengan (Coefficient of skewness) atau CS ≠ 0. Bentuk Distribusi Log-Pearson Type III merupakan hasil transformasi dari Distribusi Pearson Type III dengan menggantikan variant menjadi nilai logaritmik.

Persamaan dalam perhitungan Log-Pearson III, yaitu:

Nilai rata-rata :

………... (2.14)

Standard Deviasi :

……….. (2.15)

Koefisien Kemencengan :

………... (2.16)

Logaritma debit dengan waktu balik yang diharapkan:

……….. (2.17)

……….... (2.18)

Dimana:

Log xt = Logaritma curah hujan periode ulang T tahun (mm/hari), = Jumlah pengamatan


(53)

36

Cs = Koefisien kemencengan

Xi = Curah hujan maksimum (mm)

n = Jumlah pengamatan pengamatan

d. Distribusi Gumbel

Distribusi Tipe I Gumbel atau Distribusi Ekstrim Tipe I digunakan untuk analisa data maksimum, misalnya untuk analisa frekuensi banjir. Distribusi Tipe I Gumbel, mempunyai koefisien kemencengan (Coefficient of skewness) atau CS ≤ 1,139.

Persamaan Distribusi Gumbel, yaitu:

………... (2.19)

Dimana:

Xt = Curah hujan rencana periode ulang T tahun (mm/hari), = Curah hujan rata-rata hasil pengamatan (mm/hari)

Yn = Reduced mean, merupakan fungsi dari banyaknya data (n) Sn = Reduce standarddeviasi, fungsi dari banyaknya data (n) Sx = Standard deviasi

Xi = Curah hujan maksimum (mm)

n = Lamanya pengamatan

F. DAS Way Sekampung

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11a/PRT/M/2006, di Provinsi Lampung terbagi menjadi 3 (tiga) Wilayah Sungai (WS) yaitu : WS Mesuji-Tulang Bawang, WS Seputih-Sekampung dan WS Semaka. WS Seputih-Sekampung terbagi dalam 4 (empat) Daerah Aliran Sungai (DAS)


(54)

37

yaitu : DAS Seputih, DAS Sekampung, DAS Jepara-Kambas dan DAS Bandar Lampung-Kalianda. Dalam WS Seputih-Sekampung mengalir beberapa sungai yang berpotensi untuk pengembangan wilayah salah satunya adalah Way Sekampung. Way Sekampung mempunyai daerah tangkapan air seluas 4.785 Km², mempunyai panjang sungai ± 300 Km. Lebar sungai bervariasi dari 50 m di hulu sampai mencapai 100 m di hilir, dan menjadi selebar 300 m di muara sungai. Secara kasar Way Sekampung dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu :

1. Bagian hulu sungai sepanjang 40 km sampai dengan Bendungan Batutegi, dengan kemiringan hidraulik yang besar dan adanya reservoir / waduk mempengaruhi karakteristik banjir.

2. Bagian tengah sungai dari Bendungan Batutegi sampai Bendung Argoguruh sepanjang 90 km dengan kemiringan yang sedang akan mempengaruhi karakteristik banjir.

3. Bagian hilir sungai dari Bendung Argoguruh sampai ke Laut Jawa (pesisir pantai timur) sepanjang 170 km dengan penampang sungai yang lebar, dasar sungai datar serta dataran banjir dan rawa. Sepanjang 20 km sampai 30 km dari muara sungai dipengaruhi oleh pasang surut laut.

Way Sekampung yang merupakan sungai utama pada DAS Sekampung, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat karena terdapat beberapa kabupaten yang termasuk kedalam DAS Sekampung antara lain, Tanggamus, Pringsewu, Pesawaran, Bandar Lampung, Lampung Selatan, Lampung Timur, Lampung Barat, Lampung Tengah dan Kota Metro.


(55)

38

G. Beberapa Penelitian Mengenai Analisis Hidrologi

1. Beberapa kesalahan dalam analisis hidrologi di Indonesia (Harto, 2012) Dalam analisis hidrologi di Indonesia kita harus mengakui bahwa masih ada sekitar 80% teori yang diterapkan dan persamaan masih 'diimpor' dari negara lain sedangkan Indonesia memiliki perilaku hidrologi yang sangat spesifik ditandai oleh variabilitas spasial dan temporal yang sangat tinggi. Dalam menentukan curah hujan wilayah terdapat tiga metode yang dapat diterapkan yaitu Rata-Rata Aritmatik, Poligon Thiessen, dan Isohyet. Metode yang paling umum adalah Poligon Thiessen, yang mempertimbangkan daerah parsial dipengaruhi oleh masing-masing stasiun hujan. Asumsi ini cukup realistis, karena telah dilakukan studi korelasi curah hujan harian sangat rendah bahkan untuk jarak yang sangat pendek (Harto, 1985). Ini berarti bahwa curah hujan di salah satu stasiun pada kenyataannya hampir tidak bisa mewakili nilai rata-rata dari daerah tertentu di dalam poligon. Akibatnya, perkiraan nilai rata-rata curah hujan wilayah yang dihasilkan diragukan. Ini adalah kesalahan terbesar dalam memulai analisis hidrologi. Permasalahannya adalah, sampai saat ini tidak ada metode yang lebih baik untuk melakukan hal ini kecuali metode yang dikembangkan oleh Matheron (1965), Delhomme (1978) dikenal sebagai Metode Kriging. Metode ini bekerja sangat baik di lingkungan Eropa, tapi hampir tidak bisa diterapkan di Indonesia karena variabilitas spasial data curah hujan diduga sangat tinggi. Untuk saat ini metode Poligon Thiessen dapat diterapkan untuk memperkirakan rata-rata curah hujan wilayah sambil menunggu metode lain


(56)

39

yang cocok untuk kondisi Indonesia. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, sejauh ini Poligon Thiessen masih sedikit lebih unggul dibandingkan metode lainnya.

2. Regionalisai berbasis statistik terhadap iklim curah hujan di Iran (Moddares R., dan Sahardi A., 2011)

Penelitian ini menggunakan analisis klaster dan metode L- untuk mengukur pola curah hujan wilayah di Iran menggunakan curah hujan tahunan dari 137 stasiun untuk periode 1952-2003. Analisis klaster menggunakan "Metode Ward" menunjukkan delapan daerah curah hujan di Iran. Uji homogenitas L– menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah di Iran homogen. Dengan menggunakan uji kecocokan distribusi, ZDist, fungsi distribusi frekuensi daerah untuk masing-masing kelompok kemudian dipilih 3 parameter yaitu parameter Log Normal (LN3), nilai Generalized Ekstrim (GEV), dan generalisasi logistik (Glôg). Beberapa daerah memiliki stasiun yang datanya tidak lengkap, setiap wilayah memiliki stasistik stasiun yang berbeda. Perbedaannya mungkin berasal dari efek khusus dari pola sirkulasi atmosfer atau beberapa peristiwa langka yang dapat mempengaruhi sifat statistik dari curah hujan selama pencatatan data. Menghilangkan stasiun tersebut dapat mengurangi homogenitas data. Fungsi distribusi regional terbaik untuk masing-masing kelompok juga diidentifikasi dengan menggunakan pengukuran uji kecocokan distribusi, statistik ini mengungkapkan bahwa distribusi Logistik Generalized (Glôg) adalah fungsi distribusi yang dominan


(57)

40

untuk sebagian besar daerah kecuali untuk zona gersang pada daerah tengah di Iran, (G1) dan margin dari Teluk Persia di daerah-daerah selatan dan barat daya Iran (G4) di mana LN3 dan GEV merupakan distribusi yang dapat dipilih sebagai distribusi induk. Meskipun memberikan hasil distribusi induk untuk setiap kelompok hujan, hal ini tidak mendukung fungsi distribusi frekuensi induk untuk seluruh negeri. Ini merupakan konsekuensi dari pengaruh kombinasi lokal, faktor curah hujan seperti elevasi dan topografi yang berbeda dengan sistem atmosfer.

3. Pengaruh pengukuran kerapatan curah hujan studi kasus : Banglore, India (Mishra, K. 2013)

Kerapatan jaringan pengukur curah hujan sangat penting dalam rangka menghitung jumlah curah hujan wilayah. Tingkat akurasi curah hujan sangat tergantung pada kepadatan dan distribusi stasiun pengukur hujan pada suatu daerah. Indian Space Research Organisation (ISRO) telah menginstal nomor dari Automatic Weather Station (AWS) alat pengukur hujan di atas wilayah India untuk mempelajari curah hujan. Dampak pengukuran lebih dari sehari menyebabkan akumulasi curah hujan dianalisis menggunakan observasi ISRO AWS. Sebuah wilayah diidentifikasi dengan ukuran 50 km × 50 km pada bagian selatan atas wilayah India (Bangalore) dengan kepadatan yang baik dari alat pengukur hujan. Nomor pengukur curah hujan bervariasi 1-8 stasiun setiap 50 km box untuk mempelajari variasi akumulasi curah hujan harian. Perubahan curah hujan dilakukan sebagai fungsi pengukur jarak.


(58)

41

Penggunaan pengamatan satelit pengukur dikalibrasi untuk mengisi nilai stasiun pengukur curah hujan yang tidak tersedia. Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa nilai koefisien korelasi (CC) menurun dari 82% menjadi 21% dengan peningkatan jarak dari 5 km sampai 40 km, sementara Root Mean Square Error (RMSE) meningkat dari 8.29 mm sampai 51.27 mm dengan peningkatan jarak pengukur dari 5 km sampai 40 km. Mengingat 8 alat pengukur hujan sebagai standar curah hujan wilayah, peningkatan kesalahan mutlak dari 15% menjadi 64% sebagai angka pengukur ketika mengalami penurunan 7-1. Kesalahan-kesalahan kecil yang dilaporkan sementara mempertimbangkan 4 sampai 7 alat pengukur hujan untuk mewakili 50 km untuk setiap wilayah. Namun, pengurangan sampai 3 atau kurang alat pengukur hujan mengakibatkan kesalahan yang signifikan. Penggunaan satelit pengukur dikalibrasi secara signifikan akan meningkatkan estimasi curah hujan di kawasan ini dengan sangat sedikit pengamatan curah hujan.

4. Distribusi frekuensi curah hujan bivariat menggunakan copulas Archimedes (Zhang dan Singh, 2007)

Distribusi frekuensi curah hujan bivariat dapat diturunkan dengan menggunakan metode kopula tanpa mengasumsikan bentuk yang sama dari distribusi marginal. Ketergantungan antara variabel acak dapat ditampung dalam metode kerja penghubung melalui metode Kendall’ss. Pilihan yang berbeda dari distribusi marginal pada hasil yang diperoleh dari distribusi


(59)

42

berbasis kopula serta distribusi probabilitas bersyarat yang signifikan. Nilai-nilai yang berbeda dari metode Kendall’ss memiliki efek mendasar di antara keduanya pada bentuk fungsi kopula. Penggabungan dari distribusi berbasis kopula dengan bivarian pada distribusi probabilitas normal menunjukkan bahwa distribusi berbasis kopula sesuai dengan data pengamatan yang lebih baik. Analisis probabilitas gabungan dari dua jenis kondisi yang digunakan, menunjukkan bahwa jika nilai yang diberikan rendah maka periode pengembalian yang lebih tinggi dicapai dengan cepat.

5. Penggabungan geostatistik hujan dan data radar untuk resolusi temporal yang tinggi dan berbagai skenario kerapatan stasiun (Berndt dkk, 2014). Penelitian ini menggabungkan data radar dan data curah hujan untuk perbedaan resolusi temporal dan kepadatan jaringan pengukur hujan. Metode interpolasi geostatistik yang digunakan adalah: Kriging dengan pergeseran eksternal (KED), kriging indikator dengan pergeseran eksternal (IKED) dan penggabungan bersyarat (CM) yang dibandingkan dan dievaluasi oleh validasi silang. Kriging dianggap sebagai metode referensi tanpa menggunakan data radar. Daerah penelitian terletak di Lower Saxony, Jerman, dan mencakup rentang pengukuran dari stasiun radar Hanover. Data yang digunakan terdiri dari seri waktu kontinu dari 90 alat pengukur hujan dan radar cuaca yang terletak dekat Hanover selama periode dari 2008 hingga 2010. Tujuh resolusi temporal yang berbeda dari 10 menit untuk 6 jam dan lima pengukur hujan skenario kepadatan jaringan yang berbeda diselidiki


(60)

43

mengenai interpolasi kinerja masing-masing metode. Pengaruh beberapa smoothing terhadap teknik temporal dan spasial data radar dievaluasi dan pengaruh kualitas data radar pada kinerja interpolasi dianalisis untuk setiap metode. Pengaruh smoothing data radar grid meningkatkan kinerja dalam penggabungan pengukuran data hujan dan data radar secara signifikan. Metode CM dapat mengungguli KED dan IKED untuk semua kombinasi kepadatan stasiun dan resolusi temporal, sedangkan KED dilakukan sama baik untuk kepadatan stasiun rendah dan resolusi temporal yang agak kasar. Hasil metode IKED hampir mencapai CM untuk resolusi temporal yang sangat tinggi. Metode KED tampaknya lebih sensitif dalam hal kualitas data radar dari dua metode lainnya. Bahkan untuk 10 menit resolusi temporal, metode CM lebih baik dari metode kriging tanpa informasi radar. Hal ini menggambarkan manfaat penggabungan pengukuran data hujan dan data radar bahkan untuk resolusi temporal yang sangat tinggi.

6. Menilai pengaruh kepadatan pengukur hujan dan distribusi pada kinerja model hidrologi pada daerah lembab di China (Haoliang dkk, 2013).

Penelitian ini meneliti karakteristik curah hujan rata-rata wilayah dengan kepadatan jaringan pengukur hujan yang berbeda dan pengaruhnya terhadap metode Xiangjiang, yang diterapkan di wilayah sungai Xiangjiang untuk menguji pengaruh kepadatan pengukur hujan dan distribusi di kinerja model dalam mensimulasikan aliran sungai. Wilayah sungai Xiangjiang, merupakan wilayah ekonomi yang penting di Provinsi Hunan, China dan pemberi


(61)

44

masukan utama pada danau Dongting–China danau air tawar terbesar kedua, sehingga memiliki kerapatan jaringan pengukur hujan dengan kualitas data yang panjang dan tinggi. Data hujan yang digunakan dari tahun 1992 hingga 2005 atas setiap daerah seluas 1 km2 di lembah Sungai Xiangjiang dengan menggunakan 181 alat pengukur hujan. Perubahan nilai rata-rata curah hujan wilayah dari jaringan pengukur hujan yang berbeda menunjukkan bahwa 100 kali seleksi acak untuk setiap nomor dari alat pengukur hujan sudah cukup untuk mewakili kasus variasi yang berbeda dari curah hujan wilayah. Hasil curah hujan rata-rata tahunan menunjukkan tidak stabil dan tidak konsisten. Jika dibandingkan dengan curah hujan rata-rata areal diamati dari semua alat pengukur hujan yang tersedia (MAR_181), kesalahan relatif dari rata-rata curah hujan wilayah diperkirakan dari alat pengukur hujan lebih sedikit (MAR_Drg) meningkat karena jumlah alat pengukur hujan yang dipilih menurun. Kinerja model diterima apabila jumlah dari alat pengukur hujan berkisar antara 93 dan 128 terlepas dari pengukuran konfigurasi. Namun, probabilitas untuk memperoleh kinerja model terjadi penurunan ketika jumlah alat pengukur hujan turun di bawah 38. Kinerja model yang lebih baik dapat dicapai dengan jaringan pengukur hujan yang sedikit jika konfigurasi spasial secara optimal dapat disediakan dan ditentukan dengan mempertimbangkan daerah pegunungan di mana hujan orografis menjadi pola hujan lokal secara dominan.


(62)

III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di DAS Way Sekampung yang memiliki luas

4.999,2 km².


(63)

46

Gambar 4. Peta Lokasi Stasiun Hujan DAS Way Sekampung


(64)

47

B. Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data curah hujan dari stasiun

hujan pada DAS Sekampung yang kemudian digunakan dalam analisis hidrologi

untuk menganalisa besarnya hujan rancangan yang terjadi. Data-data hidrologi

berupa curah hujan selama 20 tahun diperoleh dari data publikasi hidrologi Balai

Besar Wilayah Sungai Mesuji Sekampung tahun 1991-2011.

C. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan yaitu metode pengumpulan data serta analisis

data. Data yang digunakan merupakan data sekunder yaitu data curah hujan dari

stasiun pencatat curah hujan yang terdapat pada DAS Sekampung. Pengumpulan

data curah hujan harian dari 28 stasiun pengamatan hujan yang terdapat pada

DAS Sekampung, yaitu tahun 1991-2011 (selama 20 tahun, tahun 2007 tidak

digunakan dalam analisis karena tidak terdapat data dari semua stasiun). Data

curah hujan harian maksimal tersebut akan digunakan dalam skenario untuk

menentukan jumlah stasiun hujan yang digunakan. Skenario yang digunakan

berdasarkan :

1. Data curah hujan maksimum masing-masing stasiun selama 20 tahun

pengamatan data hujan. Data hujan diurutkan berdasarkan stasiun yang

memiliki nilai curah hujan tertinggi sampai terendah sebagai acuan untuk

mengurangi jumlah stasiun yang digunakan. Sebanyak 28 stasiun yang


(65)

48

digunakan dikurangi setiap satu stasiun pengamatan sampai digunakan 3

stasiun hujan.

2. Data curah hujan maksimum tahunan untuk stasiun hujan di daerah hulu,

tengah dan hilir selama 20 tahun pengamatan data hujan.

Berdasarkan skenario tersebut dilakukan analisis hidrologi untuk menghitung

besarnya hujan rancangan dalam periode ulang tertentu.

D.

Analisis Data

Analisis data yang dilakukan merupakan analisis hidrologi untuk memperoleh

pengaruh panjang data curah hujan dan jumlah stasiun pencatat hujan sehingga

menghasilkan hujan rancangan dengan periode ulang tertentu yang meliputi :

1. Analisis data hujan yang digunakan

2. Pengujian konsistensi data dengan

double mass curve

.

3. Memilih data untuk disusun ke dalam bentuk seri data maksimum tahunan

(

annual maximum series

)

4. Analisis curah hujan wilayah (

rainfall area

) dengan menggunakan metode

Polygon Thiessen sehingga menghasilkan hujan maksimum rerata DAS.

Metode ini diperoleh dengan membuat poligon yang menggambarkan

garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis-garis penghubung di antara dua buah pos

penakar hujan, cara ini berdasarkan rata-rata timbang

(weighted average)

.


(66)

49

Persamaan Poligon Thiessen menurut Harto (1993), yaitu:

Dimana:

R

= Curah hujan rata-rata (mm)

R

1

, R

2

, R

n

= Curah hujan tercatat di pos hujan 1,2, …, n (mm)

A

1

, A

2

, A

n

= Luas areal polygon 1,2, …, n (km

2

)

W

1

, W

2

, W

n

= Faktor bobot masing-masing stasiun, yaitu % daerah pengaruh

terhadap luas keseluruhan

n

= Banyaknya pos penakar hujan

5. Analisis curah hujan rancangan melalui analisis statistik (distribusi frekuensi)

hujan wilayah tahunan dengan menggunakan berbagai metode yang sesuai

dengan karakter dari DAS tersebut;

6. Uji kesesuaian distribusi frekuensi, untuk mengetahui kecocokan analisis

curah hujan rancangan terhadap simpangan data dengan Metode

Chi Kuadrat

dan

Smirnov Kolmogorof

, sehingga diketahui distribusi yang di pilih dapat di

terima atau tidak, berdasarkan nilai simpangan terkecil;


(67)

50


(68)

51


(69)

89

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan uraian, hasil analisis dan perhitungan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Penurunan jumlah stasiun akan meningkatkan nilai hujan rancangan yang dihasilkan, sebaliknya peningkatan jumlah stasiun akan menurunkan nilai hujan rancangan yang dihasilkan.

2. Kerapatan jumlah stasiun yang rendah akan menghasilkan penyimpangan data hujan rancangan yang semakin besar. Peningkatan jumlah stasiun yang digunakan akan

menghasilkan data hujan rancangan yang semakin baik karena tingkat

penyimpangannya akan semakin kecil.

3. Penyimpangan terbesar pada penggunaan 28 stasiun untuk kala ulang 2 dan 5 tahun dihasilkan oleh 11 stasiun sebesar 25,56% dan 19,39% sedangkan untuk kala ulang 10, 25, 50, 100 dan 200 tahun dihasilkan oleh 4 stasiun sebesar 21,5%; 38,2%; 52,2%; 67,4%; 83,9%.

4. Penyimpangan terbesar pada penggunaan stasiun daerah hulu untuk kala ulang 2 tahun terdapat pada 3 stasiun sebesar 7,2%, untuk kala ulang 5, 10, 25, 50, dan 100 tahun terdapat pada 7 stasiun sebesar 8,2%; 9,9%; 11%; 11,4% dan 11,5%, sedangkan untuk kala ulang 200 tahun terdapat pada 3 stasiun sebesar 12,2%. Pada stasiun daerah tengah penyimpangan terbesar terdapat pada 5 stasiun untuk kala


(70)

90

ulang 2, 5, 10, 25, 50, 100, dan 200 tahun sebesar 10,8%; 12,3% ; 13,2%; 14,3%; 15,1%; 15,8% dan 16,5%. Pada stasiun daerah hilir penyimpangan terbesar terdapat pada 3 stasiun untuk kala ulang 2, 5, 10,25, 50, 100 dan 200 tahun sebesar 0,33%; 0,24%; 0,5%; 1,84%; 3,11%; 4,16%; dan 5,45%.

5. Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya nilai hujan rancangan yang dihasilkan adalah adanya pengaruh pemilihan metode yang digunakan dalam menentukan hujan wilayah (rerata DAS) dan metode distribusi frekuensi yang digunakan.

B. Saran

Perlu dilakukan analisis lebih lanjut mengenai pengaruh jumlah stasiun terhadap parameter yang digunakan seperti kerapatan jaringan pencatat curah hujan (jarak antar stasiun) dan metode-metode lain untuk menentukan hujan rancangan dalam analisis hidrologi.


(71)

DAFTAR PUSTAKA

Berndt C., Rabiei E., Haberlandt U., 2014. Geostatistical merging of rain gauge and radar data for high temporal resolutions and various station density scenarios. Journal of Hydrology 508 (2014) 88–101. www.elsevier.com/locate/jhydrol.

Haoliang et all., 2013. Assessing the influence of rain gauge density and distribution on hydrological model performance in a humid region of China. Journal of Hydrology 505 (2013) 1–12. www.elsevier.com/locate/jhydrol. Harto, S., 1993. Hidrologi: (Teori, Masalah, Penyelesaian). Yogyakarta. Nafiri

Offset. Hal 1-389.

Harto, S., 2012. Beberapa kesalahan dalam analisis hidrologi di Indonesia.

Catatan kuliah,dalam kuliah umum hidrologi Universitas Lampung.

Loebis, Joesron., 1992. Banjir Rencana Untuk Bangunan Air. Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum. Hal 1-199.

Mishra A., 2013. Effect of rain gauge density over the accuracy of rainfall: a case study over Bangalore, India. Springer Plus (2:311). http://www.springerplus. com/content/2/1/311.

Modarres, R., Sarhadi, A., 2011. Statistically-based Regionalization of Rainfall Climates of Iran. Global and Planetary Change 75 (67-75). www.elsevier.com/locate/gloplacha.

PP nomor 37 tahun 2011 tentang Pengelolaan DAS.

Soewarno., 1995. Hidrologi Aplikasi Metode Statistik Untuk Analisa Data,

Bandung.Nova.

Sosrodarsono, Suyono., 1983. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta. Pradnya Paramita. Hal 1-226.

Subarkah, I., 1980. Hidrologi Untuk Perencanaan Bangunan Air. Bandung. Idea Darma Bandung. Hal 1-241.


(72)

Suripin., 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan.Yogyakarta.Andi. Hal 1-369.

Triatmodjo, Bambang., 2008. Hidrologi Terapan Cetakan Pertama. Yogyakarta. Beta Offset.

Zhang L., Singh V., 2007. Bivariate rainfall frequency distributions using archimedean copulas. Journal of Hydrology (2007) 332, 93–109 www.elsevier.com/locate/jhydrol.


(1)

(2)

51


(3)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan uraian, hasil analisis dan perhitungan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Penurunan jumlah stasiun akan meningkatkan nilai hujan rancangan yang dihasilkan, sebaliknya peningkatan jumlah stasiun akan menurunkan nilai hujan rancangan yang dihasilkan.

2. Kerapatan jumlah stasiun yang rendah akan menghasilkan penyimpangan data hujan rancangan yang semakin besar. Peningkatan jumlah stasiun yang digunakan akan menghasilkan data hujan rancangan yang semakin baik karena tingkat penyimpangannya akan semakin kecil.

3. Penyimpangan terbesar pada penggunaan 28 stasiun untuk kala ulang 2 dan 5 tahun dihasilkan oleh 11 stasiun sebesar 25,56% dan 19,39% sedangkan untuk kala ulang 10, 25, 50, 100 dan 200 tahun dihasilkan oleh 4 stasiun sebesar 21,5%; 38,2%; 52,2%; 67,4%; 83,9%.

4. Penyimpangan terbesar pada penggunaan stasiun daerah hulu untuk kala ulang 2 tahun terdapat pada 3 stasiun sebesar 7,2%, untuk kala ulang 5, 10, 25, 50, dan 100 tahun terdapat pada 7 stasiun sebesar 8,2%; 9,9%; 11%; 11,4% dan 11,5%, sedangkan untuk kala ulang 200 tahun terdapat pada 3 stasiun sebesar 12,2%. Pada stasiun daerah tengah penyimpangan terbesar terdapat pada 5 stasiun untuk kala


(4)

90

ulang 2, 5, 10, 25, 50, 100, dan 200 tahun sebesar 10,8%; 12,3% ; 13,2%; 14,3%; 15,1%; 15,8% dan 16,5%. Pada stasiun daerah hilir penyimpangan terbesar terdapat pada 3 stasiun untuk kala ulang 2, 5, 10,25, 50, 100 dan 200 tahun sebesar 0,33%; 0,24%; 0,5%; 1,84%; 3,11%; 4,16%; dan 5,45%.

5. Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya nilai hujan rancangan yang dihasilkan adalah adanya pengaruh pemilihan metode yang digunakan dalam menentukan hujan wilayah (rerata DAS) dan metode distribusi frekuensi yang digunakan.

B. Saran

Perlu dilakukan analisis lebih lanjut mengenai pengaruh jumlah stasiun terhadap parameter yang digunakan seperti kerapatan jaringan pencatat curah hujan (jarak antar stasiun) dan metode-metode lain untuk menentukan hujan rancangan dalam analisis hidrologi.


(5)

Berndt C., Rabiei E., Haberlandt U., 2014. Geostatistical merging of rain gauge and radar data for high temporal resolutions and various station density scenarios. Journal of Hydrology 508 (2014) 88–101. www.elsevier.com/locate/jhydrol.

Haoliang et all., 2013. Assessing the influence of rain gauge density and distribution on hydrological model performance in a humid region of China. Journal of Hydrology 505 (2013) 1–12. www.elsevier.com/locate/jhydrol. Harto, S., 1993. Hidrologi: (Teori, Masalah, Penyelesaian). Yogyakarta. Nafiri

Offset. Hal 1-389.

Harto, S., 2012. Beberapa kesalahan dalam analisis hidrologi di Indonesia. Catatan kuliah,dalam kuliah umum hidrologi Universitas Lampung.

Loebis, Joesron., 1992. Banjir Rencana Untuk Bangunan Air. Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum. Hal 1-199.

Mishra A., 2013. Effect of rain gauge density over the accuracy of rainfall: a case study over Bangalore, India. Springer Plus (2:311). http://www.springerplus. com/content/2/1/311.

Modarres, R., Sarhadi, A., 2011. Statistically-based Regionalization of Rainfall Climates of Iran. Global and Planetary Change 75 (67-75). www.elsevier.com/locate/gloplacha.

PP nomor 37 tahun 2011 tentang Pengelolaan DAS.

Soewarno., 1995. Hidrologi Aplikasi Metode Statistik Untuk Analisa Data, Bandung.Nova.

Sosrodarsono, Suyono., 1983. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta. Pradnya Paramita. Hal 1-226.

Subarkah, I., 1980. Hidrologi Untuk Perencanaan Bangunan Air. Bandung. Idea Darma Bandung. Hal 1-241.


(6)

Suripin., 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan.Yogyakarta.Andi. Hal 1-369.

Triatmodjo, Bambang., 2008. Hidrologi Terapan Cetakan Pertama. Yogyakarta. Beta Offset.

Zhang L., Singh V., 2007. Bivariate rainfall frequency distributions using archimedean copulas. Journal of Hydrology (2007) 332, 93–109 www.elsevier.com/locate/jhydrol.