PENGARUH BENCANA TSUNAMI TERHADAP PENINGKATAN SOFT POWER DIPLOMACY PEMERINTAH PROVINSI ACEH TAHUN 2004-2015

(1)

i

TESIS

PENGARUH BENCANA TSUNAMI TERHADAP PENINGKATAN SOFT

POWER DIPLOMACY PEMERINTAH PROVINSI ACEH TAHUN 2004-2015

Disusun oleh:

Risky Novialdi (20140510041)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUBUNGANINTERNASIONAL FAKULTAS PASCA SARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

ii

TESIS

PENGARUH BENCANA TSUNAMI TERHADAP PENINGKATAN SOFT

POWER DIPLOMACY PEMERINTAH PROVINSI ACEH TAHUN 2004-2015

Disusun oleh: Risky Novialdi (20140510041)

Pembimbing Tesis: Dr. Sidik Jatmika

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL PASCA SARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

iii

Tim Penguji Tesis

Dr. Surwandono Penguji Penguji II Tim Penguji Tesis

Takdir Ali Mukti, M.Si Penguji Penguji I

HALAMAN PENGESAHAN

Tesis dengan Judul : Pengaruh Bencana Tsunami Terhadap Peningkatan

Soft Power Diplomacy Bagi Pemerintahan Provinsi Aceh tahun 2004-2015 Disusun Oleh :

Risky Novialdi 20141060041

Telah dipertahankan dalam ujian tesis, dinyatakan lulus dan disahkan di depan Tim Penguji Program Studi Magister Ilmu Hubungan Internasional

Program Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Hari/Tanggal : Rabu, 10 Agustus 2016 Pukul : 13.00 – 14.00 WIB

Tempat : Ruang Study Hall, Gedung Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tim Penguji Tesis

Dr. Sidik Jatmika Ketua Penguji


(4)

iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis saya ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik baik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ataupun di Perguruan Tinggi lain. Dalam Tesis saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai aturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Yogyakarta, 26 Agustus 2016


(5)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam, yang telah mengatur setiap detail di bumi ini, termasuk kejadian bencana yang ditimpakan kepada manusia. Dalam keyakinan Islam, sudah seharusnya kita mempercayai akan adanya qadha dan qadar dari Allah bagi makhluknya, yang selalu menyiratkan makna mendalam di balik semua fenomena, termasuk salah satunya bencana tsunami di Provinsi Aceh. Shalawat bernadakan salam, kita haturkan kepangkuan nabi besar Muhammad Saw, karena atas perjuangan beliau, kita umat di akhir zaman masih bisa merasakan manisnya iman.

Bencana alam sudah menjadi fenomena biasa di alam semseta. Banjir, longsor, kebakaran, gempa dan juga tsunami adalah bentuk-bentuk bencana yang kerap kita temui dalam lingkungan kita. Sebagaimana sering dituturkan oleh ahli hikmah bahwa selalu ada makna di balik semua fenomena, kasih sayang Allah swt lebih besar daripada murkanya. Salah satu bencana terbesar yang melanda bumi ini adalah bencana gempa dan tsunami yang menimpa Provinsi Aceh pada Desember 2004 silam.

Dalam tulisan ini penulis menjelaskan tentang fenomena bencana gempa dan tsunami di Aceh tersebut, yang meliputi segenap “berkah” yang dibawa besertanya. Bencana tsunami di Aceh telah menuntun Aceh menjadi provinsi yang lebih baik dalam tata kelola wilayah dan juga memperbaiki landasannya dalam melakukan hubungan luar negeri. Setelah terjadi bencana tsunami, ada beberapa hal yang merupakan berkah tersendiri bagi provinsi Aceh, antara lain : lahirnya kesepakatan damai antara GAM dan RI (yang dapat menyelesaikan konflik panjang selama 30 tahun lebih dalam bingkai separatisme), terciptanya tata kelola dan infrastruktur yang responsif terhadap bencana yang mana tidak semua daerah di dunia ini punya hal serupa.

Melalui tata kelola dan infrastruktur bencana yang responsif ini membuat provinsi Aceh menjadi “ahli” dalam penanggulangan kebencanaan. Keahlian ini yang kemudian dapat dibagi kepada seluruh daerah lain di tingkat lokal dan juga internasional. Sehingga akhirnya dapat meningkatkan soft power diplomacy bagi pemerintah Provinsi Aceh dalam menjalin kerjasama dengan pihak luar. Hal


(6)

vi

inilah yang kami eksplor lebih dalam tulisan kami guna mengungkap makna di balik semua aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah Aceh baik di tingkat lokal maupun luar negeri, dalam kegiatan kebencanan dan kerjasama.

Terima kasih kami ucapkan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam lahirnya tulisan ini, Pak Sidik Jatmika selaku pembimbing dan juga pak Takdir Ali Mukti yang telah memberikan banyak inspirasi dengan gagasan-gagasannya yang akhirnya juga banyak dicantumkan dalam tulisan ini. Ucapan terima kasih pula saya sampaikan kepada orang tua dan istri tercinta, Zuhera, yang telah setia menjadi editor dalam kesempurnaan tulisan ini.

Semoga dengan adanya tulisan ini bisa lebih memperdalam kajian tentang diplomasi kebencaanaan di Indonesia, yang masih sangat minim dibahas dibandingkan dengan di negara-negara lain. Sebagai salah satu negara yang berada di jalur “ring of fire”, kita bangsa Indonesia harus lebih responsif dalam bidang kebencanaan, tidak hanya pasca bencana melainkan juga sebelum bencana-bencana terjadi. Terlebih lagi kita harus lebih mapan dalam hal penggulangan bencana yang kemudian dapat digunakan sebagai alat diplomasi guna memenuhi kepentingan nasional/daerah kita sendiri.

Yogyakarta, 26 Agustus 2016


(7)

vii DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Alasan Pemilihan Judul ... 1

B. Latar Belakang Masalah ... 1

C. Rumusan Masalah ... 4

D. Tujuan Penelitian ... 5

E. Kontribusi Riset ... 5

F. Studi Pustaka ... 5

G. Kerangka Teoritik ... 9

1. Diplomasi ... 9

2. Disaster Diplomacy (Diplomasi Bencana) ... 12

3. Paradiplomasi ... 15

H. Metodelogi Penelitian ... 17

I. Hipotesa... 18

J. Sistematika Penulisan ... 18 BAB II DIPLOMASI ACEH SEBELUM DAN SESUDAH BENCANA

TSUNAMI ... Error! Bookmark not defined.

A. Dinamika Politik Aceh ... Error! Bookmark not defined.


(8)

viii

C. Bencana Tsunami, sebagai Media Diplomasi AcehError! Bookmark not defined.

D. Diplomasi Dalam Penyelesaian Konflik GAM dan RIError! Bookmark not defined.

E. Diplomasi Aceh dengan Pihak Asing Pasca TsunamiError! Bookmark not defined.

1. Kerjasama Pemerintah Aceh dengan Multi Donor Fund (MDF)Error! Bookmark not defin

2. Kerjasama tentang Perubahan Iklim dan Sektor Kehutanan Tingkat Para Gubernur di Berbagai Negara ... Error! Bookmark not defined.

3. Pinjaman soft Promotion loan Aceh-Pemerintah Jerman (KFW Bank)Error! Bookmark not

4. Kerjasama Di Wilayah IMT-GT Antara Indonesia, Malaysia dan

Thailand, Dari Indonesia Salah Satu Perwakilannya Adalah Provinsi AcehError! Bookmark not

5. Kerjasama dengan Swiscontact dan Canadian Cooperation Asosiation (CCA)... Error! Bookmark not defined.

6. Kerjasama Indonesia-Middle East Update (IMEU)Error! Bookmark not defined.

BAB III PENGARUH TSUNAMI TERHADAP DIPLOMASI ACEHError! Bookmark not defined

A. Bencana Tsunami Sebagai Modal Baru Dalam BerdiplomasiError! Bookmark not defined.

B. Bencana Tsunami Sebagai Pemersatu dan Awal Peningkatan Kualitas Ekonomi ... Error! Bookmark not defined.

C. Peningkatan Kerjasama Provinsi Aceh Sebelum dan Sesudah TsunamiError! Bookmark not

1. Konflik RI dan GAM ... Error! Bookmark not defined.

2. Kurangnya Keamanan dan Kenyamanan Error! Bookmark not defined.

BAB IV DINAMIKA PENGARUH BENCANA TSUNAMI TERHADAP

PENINGKATAN SOFT POWER DIPLOMACY PROVINSI ACEHError! Bookmark not defined.

A. Tata Ruang Yang Lebih Baik Pasca Bencana TsunamiError! Bookmark not defined.


(9)

ix

1. Escape Buliding dan Escape Road ... Error! Bookmark not defined.

2. Sirine Peringatan Tsunami ... Error! Bookmark not defined.

3. Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC)Error! Bookmark not define

4. Museum Tsunami Aceh ... Error! Bookmark not defined.

C. Wewenang Yang Luas Dari Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah AcehError! Bookmark not

BAB V KESIMPULAN ... Error! Bookmark not defined.


(10)

x

DAFTAR TABEL

Tabel I. Upaya Penyelesaian Konflik Aceh ...41 Tabel II. Perkembangan PMDN hingga tahun 2013 ...44 Tabel III. Perkembangan PMA hingga tahun 2013 ...45 Tabel IV. Perbandingan RTRW berdasarkan Qanun yang diterbitkan sebelum dan sesudah Tsunami ...53

DAFTAR GAMBAR

Gambar I . Peta Aceh ………...21 Gambar II . Gelombang Tsunami Aceh ………...26 Gambar III. Kerjasama IMT-GT ...33


(11)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul

Bencana memang memberikan duka yang mendalam bagi sebagian besar umat manusia.Hal ini dikarenakan bencana memberikan kerugian yang cukup besar terhadap materil juga immaterial mereka. Di Indonesia, salah satu bencana terbesar terjadi pada tahun 2004 yang melanda Nanggroe Aceh Darusalam, Bencana tsunami.

Selama hampir setahun, bencana ini seakan tidak memberikan dampak positif sama sekali, dan hanya memberikan duka yang mendalam bagi masyarakat Aceh. Namun setahun setelah bencana tsunami ini, dampak positifnya mulai terlihat, karena mampu menyelesaikan konflik di tanah Aceh. Tsunami yang sebelumnya dianggap sebagai bencana sekarang bisa berubah menjadi “berkah” dengan menjadikan bencana tsunami sebagai dorongan untuk dilangsungkannya perundingan damai antara GAM dan RI, yang telah berkonflik lebih dari 30 tahun. Ilan kelman dalam bukunya Disaster Diplomacy, 2012, menjelaskan tentang terjadinya bencana tsunami yang mendukung terjadinya perundingan GAM dan RI di Helsinki tahun 2005.

Bencana Tsunami menjadi alat diplomasi yang sangat efektif dan secara aktif mewujudkan kesepakatan dalam perundingan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang bencana tsunami yang telah mewujudkan perundingan GAM dan RI. Penulis akan mengeksplor tentang dinamika pengaruh bencana tsunami terhadap diplomasi, terutama bagi pemerintah Aceh. Dengan Alasan tersebut maka penulis akan mengambil judul untuk penelitian ini : Pengaruh Bencana Tsunami Terhadap Peningkatan Soft Power Diplomacy Bagi Pemerintahan Provinsi Aceh tahun 2004-2015.

B. Latar Belakang Masalah

Berdiplomasi bukan sesuatu yang baru bagi kehidupan masyarakat Aceh. Hal ini dikarenakan, sejak masa kerajaan Aceh abad ke 16, Kerajaan Aceh telah melakukan hubungan diplomatik dengan pihak-pihak luar, baik itu di kawasan


(12)

2

Nusantara maupun juga di mancanegara. Mengenai sejarah diplomasi di Aceh pada masa kerajaan ini telah ditulis secara sistematis oleh H.M. Nur El Ibrahimy dalam karyanya yang berjudul “Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan

Aceh”. Dalam buku ini dijelaskan tentang hubungan-hubungan diplomatik yang dilakukan oleh kerajaan Aceh dengan pihak luar seperti Amerika, Turki, Perancis, dan Singapura. Hubungan diplomatik ini dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dan mencari bantuan akibat serangan yang dilakukan oleh Portugis dan Belanda.1

Jauh melewati masa-masa tersebut, pada abad ke 19 dan 20, Aceh resmi bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI). Pada masa awalnya, segala bentuk hubungan diplomatik dengan luar negeri hanya dilakukan oleh pemerintah pusat saja. Namun kemudian pemerintah pusat memberikan wewenang bagi pemerintah daerah untuk melakukan hubungan luar negeri, berupa kerjasama dan lain sebagainya. Salah satu daerah yang mempunyai wewenang ini adalah Provinsi Aceh, ditambah lagi dengan penguatan dari hasil penandatanganan MoU Helsinki pada tahun 2005, membuat pemerintah Aceh mempunyai peluang besar dalam mengelola sendiri pemerintahannya termasuk dalam melakukan hubungan luar negeri dengan daerah di Negara lain, namun hubungam kerjasama ini tetap dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Pengakuan sifat istimewa dan khusus oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Aceh sebenarnya telah melalui perjalanan waktu yang panjang. Tercatat setidaknya ada tiga peraturan penting yang pernah diberlakukan bagi keistimewaan dan kekhususan Aceh yaitu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Provinsi Aceh, UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh. Dengan dikeluarkannya UU Pemerintahan Aceh2 pada tahun 2006, diharapkan dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan di Aceh, untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan yang

1

Nur El Ibrahimy, Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1993. Hal xii

2


(13)

3

berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan di Aceh. Termasuk dalam melangsungkan hubungan diplomatik dengan daerah di Negara lain.

Dalam rangka melakukan hubungan diplomasi dengan daerah di luar negeri, bisa dilakukan dalam bingkai kerjasama kota kembar (sister city/province). Kegiatan ini dilaksanakan dengan cara pemda bersinergi dengan pemerintah pusat untuk merekatkan hubungan antar berbagai bangsa di dunia. Hubungan antara bangsa yang bisa terjalin tanpa bersifat politis (non politic action), secara tidak langsung juga akan mempererat hubungan dari kedua Negara, tempat daerah-daerah itu berasal.

Diplomasi yang handal memerlukan konektivitas dan berpikir out of the box.3 Duta besar RI untuk Amerika Serikat, Dino Patti Djalal, menyatakan bahwa Indonesia mempunyai banyak potensi untuk dijual.4 Tinggal bagaimana diplomatnya dapat menjualnya dengan baik. Menurutnya, kita (Indonesia) mempunyai tiga asset utama sebagai unggulan, kita adalah Negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, berpendudukan muslim terbanyak, dan kita adalah super power lingkungan dengan hutan tropis yang luas.5 Selain dari itu, Indonesia adalah Negara dengan rawan bencana tertinggi di dunia, apabila hal ini dapat dikelola dengan baik, maka juga akan bisa digunakan sebagai alat diplomasi. Sebagai contoh Bencana tsunami yang pernah melanda Aceh.

Gempa dan tsunami di Aceh terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 yang telah menyebabkan korban meninggal lebih dari 200.000 orang di berbagai Negara. Gempa yang terjadi di Aceh ini adalah gempa terbesar selama 40 tahun terakhir.6 Bencana Tsunami adalah salah satu musibah yang mengandung duka, namun juga “berkah” yang mampu melahirkan perundingan antara GAM dan RI. Bahkan Ilan Kelman memasukkan kasus konflik GAM dan RI dalam salah satu sub bab dalam bukunya, yang berjudul Disaster Diplomacy “How Disasters

3

Takdir Ali Mukti, Paradiplomasi “Kerjasama Luar negeri oleh PEMDA di Indonesia”, The Phinisi Press, Yogyakarta, 2013

4

Menjual yang dimaksud bukan dalam arti menjual harga diri Negara atau bangsa, melainkan banyak hal yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mempengaruhi dan menjalain hubungan diplomatik dengan bangsa atau Negara lain

5

Ibid

6


(14)

4

Affect Peace and Conflict.” Dia berpendapat bahwa kesepakatan yang terjadi antara GAM dan RI adalah salah satu bukti sebuah bencana bisa dijadikan alat untuk diplomasi dalam mewujudkan perdamaian.

Setelah terjadi bencana Tsunami, Aceh juga kemudian mempunyai kekuatan baru dalam berdiplomasi ketika melakukan kerjasama luar negeri. Di antaranya yang paling terkenal adalah hubungan kerjasama antara Aceh dengan Jepang7 dan Swiss dalam proses pembangunan setelah adanya kerusakan besar akibat bencana tsunami. Bencana tsunami secara langsung juga mempengaruhi soft power diplomacy bagi pemerintahan Aceh, dalam menjalin hubungan dan mencapai kesepakatan dengan daerah lain.

Soft Power diplomacy akan lebih mudah mencapai kesepemahaman dan kesepakatan apalagi kedua daerah memiliki permasalahan yang sama, tentu kekuatan ini sangat menarik untuk meningkatkan kerjasama asing untuk mewujudkan pembangunan daerah, terutama Aceh setelah dilanda bencana tsunami. Setelah bencana tsunami melanda Aceh, diplomasi pemerintahan provinsi Aceh juga meningkat, dan banyak pihak asing tertarik untuk berkerjasama dan berinvestasi. Maka dapat dipahami bahwa bencana tsunami telah berpengaruh terhadap peningkatan diplomasi di Aceh.

Bedasarkan dari paparan di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang bagaimana pengaruh bencana tsunami terhadap peningkatan soft power diplomacy pemerintahan Aceh, sehingga mampu membawa provinsi Aceh pada posisi yang menarik bagi pihak asing untuk berkerjasama dan berinvestasi.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar belakang di atas, maka diambil rumusan masalah sebagai berikut : Mengapa bencana tsunami berpengaruh terhadap peningkatan soft power Diplomacy bagi Pemerintahan provinsi Aceh tahun 2004-2015?

7

http://www.acehprov.go.id/news/read/2015/11/27/2778/gubernur-kerjasama-aceh-jepang-terjalin-karena-kesamaan-karakter-geologis.html, Diakses pada 27 Februari 2016


(15)

5

D. Tujuan Penelitian

Tujuan merupakan alasan utama dilakukannya suatu penelitian, dimana hasil penelitian yang diperoleh berdasar pada kerangka berfikir ilmiah. Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai penulis adalah:

1. Untuk mengetahui Kebenaran bahwa Tsunami memang telah menjadi alat diplomasi bagi pemerintahan Aceh.

2. Untuk mengetahui lebih lanjut dimana saja peluang diplomasi bencana ini bisa digunakan.

3. Untuk mengetahui apakah tsunami memang mempengaruhi soft power diplomacy bagi pemerintahan Aceh.

4. Memenuhi salah satu persyaratan dalam proses akademika di pasca sarjana universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

E. Kontribusi Riset

Sebuah penelitian diharapkan mampu memberikan dampak positif berupa kontribusinya untuk masyarakat juga bidang ilmu yang diteliti. Penelitian ini akan mempunyai kontribusi sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini akan semakin mengembangkan kajian di bidang akademik tentang Diplomasi Bencana.

2. Memberikan penyadaran kepada pemerintah juga masyarakat tentang alat diplomasi modern yang efektif dan efisien.

F. Studi Pustaka

Kajian tentang diplomasi bencana bukan merupakansuatu halyang baru dalam dunia akademisi. Sudah banyak peneliti yang membahas tema ini dari sudut pandang yang berbeda-beda. Namun tidak begitu dengan di dunia praktis, diplomasi bencana masih sulit dipahami bagi sebagian kalangan, baik itu pejabat pemerintahan, begitu juga dengan masyarakat. Apalagi jika disandingkan dengan istilah “kapitalisasi bencana”, hal ini bisa langsung ditolak. Meskipun demikian, para akademisi terus mengkaji tema ini secara mendalam, Sebagaimana yang dituliskan oleh Andi Amitya Resty Dwiyanti, dalam tesisnya yang berjudul


(16)

6

“Peran Diplomasi bencana Alam dalam Praktik Paradiplomasi” yang mengambil studi kasus dari tempat asalnya sendiri yaitu Sulawesi Selatan.8

Dalam karyanya tersebut, Amitya mengkritisi tentang kinerja penanggulangan bencana di Sulawesi Selatan, dan mengharapkan ada perubahan yang semula hanya berupa aksi cepat tanggap menjadi pengurangan resiko dengan melakukan kerjasama dengan pihak-pihak luar yang lebih mapan dalam hal penanggulangan bencana. Pengurangan resiko bencana apabila dapat dilaksanakan dengan baik akan menekan jumlah korban menjadi lebih sedikit. Salah satu kerjasama dalam lingkup paradiplomasi yang telah dilakukan oleh pemerinatahan Sulawesi selatan adalah dengan Australia Indonesia Facility for Disaster reduction (AIFDR).9 Dalam penelitiannya Amitya juga memaparkan bahwa masih banyaknya pejabat daerah yang belum mengerti dan mengetahui bahwa pemerintah daerah boleh melakukan kerjasama dengan pihak asing dengan inisiatif dari daerah itu sendiri, tidak harus dimulai oleh pemerintah pusat.Pemerintah daerah bisa bersinergi dengan pemerintah pusat untuk menjalin hubungan dengan pihak asing, untuk kepentingan daerah itu sendiri.

Selain itu ada juga yang menulis dengan konsentrasi yang sama, yaitu jurnal penelitian dari Dr. Surwandono dan Ratih Herningtyas dalam karya yang berjudul, Diplomasi bencana alam sebagai sarana kerjasama internasional.10 Dalam penelitian ini disebutkan tentang peluang-peluang yang dimiliki Indonesia jika dapat mengkapitalisasikan bencana. Indonesia dengan potensi bencana yang cukup besar dapat menjalin hubungan luar negeri, dalam bentuk kerjasama untuk menanggulangi bencana atau kerjasama di bidang lainnya seperti kerjasama peningkatan teknologi dan pertukaran informasi.

Hubungan internasional seringkali mengalami stagnasi dalam lingkaran siklus balas membalas kebijakan, sehingga bencana alam yang datang tiba-tiba di suatu Negara akan dipahami sebagai peluang untuk melalui siklus baru

8

Andi Amitya Resty Dwiyanti, dalam tesisnya yang berjudul “Peran Diplomasi bencana Alam dalam Praktik Paradiplomasi”, Thesis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2014

9

Ibid

10

Ratih Herningtyas dan Surwandono, Diplomasi Bencana Alam sebagai Saran Meningkatkan Kerjasama Internasional, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(17)

7

berdasarkan kerjasama. Snyder menyebutkan bahwa Diplomasi bencana alam antar negara yang bertujuan untuk meningkatkan soft power juga menjadi kajian yang menarik, karena soft power dapat diraih sebagai hasil diplomasi bencana alam. Soft power sendiri adalah konsep yang dipopulerkan Joseph Nye, yang bermakna kemampuan suatu pihak untuk memperoleh kepentingannya tanpa dengan koersi atau paksaan.11

Negara yang memilih soft power sebagai basis kekuatan diplomasi, lebih menggantungkan pada kemampuannya untuk bekerjasama dalam mewujudkan tujuan. Strategi diplomasi ini ditelaah lebih efisien secara biaya daripada strategi

“carrot and stick” yang berbasis paksaan. Negara yang banyak memberikan bantuan dalam penanganan bencana akan dihormati dan dituakan. Hal ini secara tidak langsung akan meningkatkan posisi tawar negara pemberi bantuan tersebut dalam interaksi internasional. Sementara itu timbal balik kerjasama yang saling menguntungkan sering muncul setelah diplomasi bencana alam dilakukan.12

Dalam Praktiknya, Diplomasi Bencana alam lebih bersifat politis, sedangkan untuk kerjasama terkait bencana alam lebih bersifat teknis, dan ketika yang bersifat teknis bermuatan politis maka disinilah disebut sebagai proses diplomasi. Secara tersirat, bencana juga akhirnya dapat menjadi kekuatan dalam memulai sebuah kerjasama dalam wujud diplomasi baik itu dalam praktik teknis ataupun politis atau juga kombinasi keduanya.

Selanjutnya, ada penelitian yang dilakukan oleh Ilan Kelman dengan tulisannya yang berjudul Disaster Diplomacy, How Disaster affect peace and conflict. Bisa dikatakan penelitian Kelman adalah yang paling berpengaruh dalam memperkenalkan tentang diplomasi bencana kepada masyarakat internasional. Dalam bukunya Kelman menjelaskan tentang praktek diplomasi bencana yang telah dilakukan di dunia, seperti kesuksesan disaster diplomacy antara Amerika dan Quba, Iran dan USA, Yunani dan Turki, Eritrea dan Ethiopia dan juga dalam kasus perdamaian konflik Aceh (antara GAM dan RI).13

11

Ibid

12

Ibid

13

Kelman, Ilan, Disaster Diplomacy „How Disaster affect Peace and Conflict, New York, Routledge, 2012. Hal 20-40


(18)

8

Penelitian Ilan Kelman ini cukup luas namun tidak mendalam, mengingat banyaknya topik yang diangkat.Namun keluasan pembahasannya ini cukup memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya. Ilan Kelman juga membahas tentang bagaimana disaster diplomacy ini dapat berjalan dengan baik, salah satunya dibutuhkan dukungan dari media. Kelman menyebutkan :

The Media are often particularly prominent in lobbying for disaster diplomacy. Than can go too far, possibly to the point where expectations are raised beyond realistic outcomes, as occurred for India-Pakistan in 2001. That could also go to the point where decision-maker react adversely to suggestions on how they should act vis-à-vis disaster diplomacy, as occurred for Iran-USA after the 2003 earthquake. Rather than spurring them toward disaster-related peace, the leader might go out of their way to avoid dealing with an enemy. This action would show that they do not need disaster- related assistance and they will never

compromise their „principles‟ by collaborating with a nemesis.14

Ilan Kelman juga membahas tentang diplomasi lingkungan (environmental diplomacy) dan juga disaster para-diplomacy.15 Kedua konsep ini muncul akibat perkembangan dari disaster diplomacy yang lingkupannya bisa terus diperluas, karena kajian tentang diplomasi bencana, dengan sendirinya akan berkaitan dengan bidang-bidang lain.

Dari ketiga penelitian di atas telah menunjukkan bahwa tema tentang diplomasi bencana bukan suatu hal yang baru, akan tetapi yang membuat penelitian dari penulis berbeda dengan ketiga penelitian di atas adalah penelitian kami akan lebih menfokuskan diri di pemerintahan Aceh saja, yang notabenenya memiliki kewenangan lebih dari pemerintah pusat dalam menjalankan pemerintahannya dan juga dalam menjalin kerjasama dengan pihak asing. Selain itu penulis juga akan menfokuskan pada bencana tsunami yang terjadi tahun 2004 di kota banda Aceh, yang merupakan ibu kota provinsi Aceh. Untuk lebih memperdalam lagi, penulis juga akan meneliti peningkatan soft power diplomacy dalam diri pemerintahan Aceh setelah bencana tsunami terjadi.

14

Ibid. Hal 148-149 15


(19)

9

G. Kerangka Teoritik

Dalam mengkaji sebuah obyek penelitian dibutuhkan kerangka teoritik yang memadai untuk alat kajiannya. Pada penelitian ini penulis menggunakan kerangka teoritik sebagai berikut :

1. Diplomasi

Sir Ernest Satow sejak tahun 1922 telah mendefinisikan diplomasi sebagai aplikasi intelijen dan taktik untuk menjalankan hubungan resmi antara pemerintah yang berdaulat, yang kadangkala diperluas dengan hubungan negara-negara jajahannya.Sejalan dengan definisi Satow, Barston mendefinisikan diplomasi sebagai manajemen hubungan antar Negara atau hubungan antar aktor-aktor hubungan internasional lainnya.16

Menurut Pannikar dalam bukunya The Principle and Practice of Diplomacy, beliau menyatakan, “diplomasi dalam hubungannya dengan pihak internasional adalah seni mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya

dengan negara lain.”17

Diplomasi bertujuan agar pembicaraan mengenai berbagai masalah mencapai kesepakatan yang sesuai atau sekurangnya tidak terlalu merugikan kepentingan nasional masing-masing.Unsur pokok dalam diplomasi adalah negosiasi. Menurut Herb Cohen, Negosiasi adalah penggunaan informasi dan

kekuatan untuk mempengaruhi sikap dalam suatu “jaringan ketegangan”. Maka dari itu negosiasi ini dilakukan bisa saja menyangkut hajat hidup orang lain dan juga kehidupan pribadi.18

a. Diplomasi Modern

Pada pandangan secara tradisional, perkembangan diplomasi sangat melekat pada kewenangan pemerintah pusat dalam merumuskan kebijakan politik luar negeri dan merencanakan strategi-strategi pelaksanaannya.19 Diplomasi

16

Sukawarsini Djelantik, Diplomasi antara teori dan praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008. Hal 3-4

17

S.L Roy, Diplomasi, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. 1995. Hal. 4

18

Herb Coben, Negosiasi, Pantja Simpati: Jakarta, 1986. Hal. 14

19

Takdir Ali Mukti, Paradiplomasi „kerjasama luar negeri oleh pemda di indonesia‟ The Phinisi press, 2013. Hal.160


(20)

10

seperti ini sejalan dengan pengertian diplomasi yang dijelaskan oleh Berridge (1995), “Diplomacy is the conduct ofinternasional relation by negotiation rather than by force, propaganda, or recouse of low, and by other peaceful mean such as gathering information or engendering goodwill which are either directly or

indirectly designed to promote negotiation.”20

Diplomasi merupakan tata cara dalam melakukan hubungan internasional yang lebih mengutamakan jalur negosiasi dibandingkan dengan penggunaan kekuatan militer, propaganda atau ikatan-ikatan hukum yang memaksa, namun melalui cara-cara yang damai seperti pengumpulan informasi yang akurat (agar tidak mispersepsi antar bangsa) atau melahirkan niat-niat baik para aktornya yang secara langsung ataupun tidak langsung akan mendorong terselenggaranya negosiasi.

Pada masa diplomasi memasuki masa modern, pemaknaan diplomasi sedikit bergeser terutama dari segi aktor dan sarana yang digunakan dalam berdiplomasi, meskipun tujuannya masih sama yakni mendorong terjadinya negosiasi.Pergeseran dari diplomasi tradisonal ke diplomasi modern mengakibatkan beberapa perubahan, yaitu :

1) Berubahnya Para Aktor Diplomasi

Pada era modern, aktor dalam diplomasi tidak hanya melibatkan pemerintah dengan pemerintah, melainkan muncul aktor-aktor baru seperti etnis-etnis masyarakat (sub-State actor), pemerintah daerah dan kota, kelompok masyarakat dan juga aktor perorangan (people to people diplomacy).21

2) Berubahnya Jalur Diplomasi

Dalam diplomasi tradisional, diplomasi hanya satu jalur diplomasi (one Track diplomacy), yang hanya melibatkan pemerintah suatu Negara dengan pemerintah di Negara lain (government to government). Pada diplomasi modern sudah ada jalur baru yang digunakan dalam berdiplomasi atau dikenal dengan

„second track diplomacy‟ yaitu upaya-upaya diplomasi yang dilakukan oleh

20

Berridge, GR, Diplomasi, Theory and practice, Maryland: Prentice hall/Harvester Wheatscheaf, 1995.

21


(21)

11

elemen non pemerintah secara resmi.Second track diplomacy juga dikenal dengan citizen diplomacy (diplomasi publik).22

Perkembangan lebih lanjut memunculkan diplomasi jalur baru, multi track diplomacy, yang merupakan sebuah cara konseptual untuk melihat proses penciptaan perdamaian dunia sebagai sebuah sistem yang hidup. Segala aktifitas dalam kehidupan saling berhubungan dalam mewujudkan perdamaian dunia, baik itu aktifitas antarNegara, individu juga komunitas-komunitas lainya yang lebih luas.

3) Berubahnya Sarana Diplomasi

Diplomasi modern juga mendorong penggunaan sarana diplomasi yang lebih luas, yang diadobsi dari segala aktivitas ataupun peristiwa dalam kehidupan.Sarana diplomasi ini seperti, politik, publik, budaya, pendidikan termasuk juga bencana alam. Melalui sarana diplomasi yang lebih fleksibel ini akan mendorong negosiasi yang lebih baik.

4) Tsunami Sebagai Alat Diplomasi

Tsunami merupakan sebuah bencana alam yang menimbulkan kerusakan yang cukup parah.Tsunami di Aceh salah satunya, menurut data dari badan penaggulangan bencana, kerugian dari segi ekonomi akibat dari bencana gempa dan tsunami di Aceh temasuk wilayah Nias mencapai US$ 4.45 Milyar.Belum lagi kerusakan bangunan dan fisikologis.

Ilan Kelman dalam bukunya disaster diplomacy menjelaskan bahwa bencana tidak hanya akan memberikan duka saja, namun apabila dapat dikelola dengan baik, akan memberikan dampak yang baik untuk perkembangan wilayah yang ditimpa tsunami tersebut, baik untuk urusan pembanguan kembali akibat bencana, maupun untuk penyelesaian konflik di daerah tersebut. Dalam hal ini konflik separatisme yang melibatkan daerah tsunami Aceh antara GAM dengan RI.

Bencana tsunami di Aceh ini, bisa digunakan sebagai alat diplomasi dalam mendorong negosiasi perdamaian antar kedua belah pihak, yang beberapa tahun sebelumnya selalu gagal mencapai kesepakatan damai.Namun pada tahun 2005,

22


(22)

12

atau tepatnya setahun setelah bencana tsunami terjadi, kesepakatan damai ini bisa tercapai dengan ditandatanganinya kesepakatan damai di Helsinki.

Dari peristiwa tersebut disimpulkan bahwa bencana tsunami dapat menjadi sarana yang baik dalam berdiplomasi. Terkait bagaimana sebuah bencana mampu mempengaruhi sebuah perundingan, penjelasan tentang ini akan menjadi pembahasan inti dari tulisan ini dan akan dipaparkan dalam bab IV. Pada akhir bab ini diketahui bahwa bencana tsunami bisa mempengaruhi perundingan, terkait teknis hubungan antara bencana dan perundingan akan dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya. Penggunaan bencana sebagai sarana diplomasi tidak hanya sebagai alat menyelesaikan konflik Aceh, namun juga sebagai sarana kerjasama pemda Aceh dengan pihak luar guna pembangunan Provinsi Aceh.

2. Disaster Diplomacy (Diplomasi Bencana)

Diplomasi bencana menggabungkan dua kata yang cukup umum.Definisi Oxford Dictionary dari „bencana’ adalah kecelakaan tiba-tiba atau bencana alam yang menyebabkan kerusakan besar atau korban jiwa.Kata kedua, „diplomasi’, pada tingkat dasar itu kontras dengan perang yang mana diplomasi diartikan sebagai sisi damai politik, di mana negosiasi adalah jalan pilihan untuk perubahan.

Ketika dua kata dipakai dalam waktu yang sama, merupakan sebuah upaya untuk Melahirkan sebuah gagasan baru tentang bagaimana sebuah bencana bisa digunakan untuk sarana berdiplomasi di tingkat nasional dan Internasional. Salah satu tokoh yang mendukung perkembangan gagasan ini adalah berasal dari Ilan Kelman, yang berkontribusi banyak berupa laporan dan artikel tentang diplomasi bencana, semua yang memuncak dalam bukunya yang dipublikasi pada 2012 tentang diplomasi bencana,Disaster Diplomacy „How disaster affect peace and

conflict‟ (Diplomasi Bencana: Bagaimana Bencana Mempengaruhi Perdamaian dan Konflik).23

Pandangan Kelman tentang dunia diplomasi bencana adalah bagaimana sebuah bencana bisa memberikan kesempatan/peluang untuk melakukan sebuah

23


(23)

13

kerjasama dalam membangun perdamaian.peluang ini menampakkan diri di waktu baik sebelum dan sesudah bencana, yang berarti bahwa setiap kerjasama terkait bencana dipahami untuk menjadi bagian dari diplomasi bencana. Sebagai gambaran aktivitas pra-bencana, salah satu contoh sukses dari kerjasama dari basis bencana adalah kolaborasi ilmuwan Amerika dan Kuba terhadap penyediaan sistem pemantauan badai. Pada dasarnya, Amerika dan Kuba adalah Negara yang saling bermusuhan, namun karena ada permasalahan yang sama, yaitu badai, maka bisa digunakan sebagai alat diplomasi menuju perdamaian.

a. Penilaian Sukses Disaster Diplomacy

Diplomasi ini mengenai bagaimana cara agar kita mampu mengubah situasi.24 Kelman menemukan bahwa diplomasi bencana biasanya menghasilkan dampak sebagai berikut : jangka pendek, jangka panjang, dan efek sebaliknya dari yang diinginkan. Hasil jangka pendek terjadi ketika bencana menyediakan jalan baru untuk negosiasi antara pihak yang bermusuhan. Jadi, untuk menyukseskan hal ini perlu ada “landasan” untuk negosiasi. Hasil jangka panjang adalah prasangka baik yang sudah ada merupakan faktor kuat dalam diplomasi.Sedangkan yang dimaksud dengan efek sebaliknya adalah disebabkan kedekatan selama kerjasama penanggulangan bencana memudar, dan konflik kembali terjadi.Terlepas dari hasil yang berpotensi negatif, kenyataannya tetap respon terhadap bencana biasanya membawa masyarakat yang bermusuhan menjadi damai, meskipun untuk beberapa saat.

Kesuksesan dari sebuah diplomasi bencana dapat dipahami adalah ketika pihak-pihak yang bertikai dapat meninggalkan perselisihan mereka dan melihat iktikadbaik dari kedua belah pihak untuk membangun sebuah hubungan baru dalam konsep perdamaian. Diplomasi bencana dalam kajian Ilan Kelman lebih banyak mengkaji tentang bagaimana mempengaruhi bencana dan konflik. Pada perkembangannya, pada saat dunia diplomasi yang semakin modern, membuat diplomasi bencana juga berpotensi menarik dalam melaksanakan kerjasama luar negeri dalam rangka memenuhi kepentingan nasional/daerah.

24


(24)

14

Ketika sebuah negara/daerah yang pernah dilanda bencana, kemudian mampu bangkit dari keterpurukan bahkan menjadi lebih baik dari sebelumnya, lalu dapat membagikan kemampuan tersebut kepada pihak lain, daerah ini akan menjadi daya tarik bagi pihak asing untuk berkerjasama. Berdasarkan logika tersebut dapat dipahami bahwa provinsi Aceh adalah salah satu daerah yang mempunyai keahlian dan daya tarik dalam hal menanggulangi bencana.

b. Disaster Diplomacy di Aceh

Provinsi Aceh terletak di provinsi barat laut Sumatera, Indonesia, dan merupakan salah satu daerah dengan dampak paling parah akibat tsunami 2004. Selain itu, menurut catatan sejarah, Aceh telah menjadi salah satu daerah konflik sejak pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dibentuk pada tahun 1976. Pemberontakan pertama dengan cepat ditekan, tetapi GAM semakin dikenal karena pelanggaran hak asasi manusia yang banyak disebabkan oleh militer. Perlawanan terus berlanjut sampai tahun 1998 ketika kediktatoran militer Suharto berakhir, ditambah dengan pemerintahan-pemerintahan selanjutnya yang tetap menggunakan cara militer.

Ketika Tsunami terjadi, tiga peristiwa penting meletakkan dasar yang kuat untuk kemungkinan perdamaian.Yang pertama adalah de-militerisasi Indonesia. Yang kedua terjadi ketika DPR mengesahkan undang-undang pada tahun 2004, yang mana UU tersebut diperlukan militer untuk melepaskan semua usaha aktifitasnya. Yang ketiga terjadi ketika militer tidak lagi mampu untuk memesan kursi di parlemen. Hasilnya adalah perjanjian perdamaian abadi yang ditandatangani pasca tsunami dalam bentuk MoU antara pemeritah RI dengan GAM di Helsinki pada 2005.

Dari penjelasan Ilan kelman yang menjelaskan bahwa bencana di Aceh telah menjadi solusi penyelesaian konflik di Aceh. Namun pada perkembangannya, ternyata diplomasi bencana tidak hanya mampu menjadi solusi konflik melainkan juga peningkatan perekonomian melalui kerjasama dan investasi.


(25)

15

3. Paradiplomasi

Sebagaimana disaster diplomacy, paradiplomasi juga masih merupakan fenomena baru dalam kajian hubungan internasional. Paradiplomasi mengacu pada perilaku dan kapasitas melakukan hubungan luar negeri dengan pihak asing yang dilakukan oleh entitas „sub-state’, dalam rangka kepentingan mereka secara spesifik. Istilah paradiplomasi pertama kali diluncurkan dalam perdebatan akademik oleh ilmuwan asal Basque, panayoyis Soldatos tahun 1980-an sebagai penggabungan istilah „parallel diplomacy‟ menjadi „paradiplomacy‟, yang mengacu pada makna „the foreign policy of non central governments‟, menurut Aldecoa, Keating dan Boyer. Istilah lain yang dilontarkan oleh Ivo Duchacek untuk konsep ini adalah „Micro Diplomacy‟.25

Dalam perkembangan hubungan internasional, aktor kerjasama Internasional tidak lagi hanya diperankan oleh pemerintah pusat, melainkan pemerintah daerah juga sudah mulai mengambil peran dengan melewati batas-batas Negara mereka, namun juga ada ketentuan dari Negara tempat mereka berasal,26 ini artinya daerah diperbolehkan berkerjasama dengan daerah lain namun tetap dalam bingkai Negara asalnya. Dari penjelasan ini maka disimpulkan bahwa pemerintah daerah, terlebih daerah yang mempunyai perlakukan khusus dan istimewa juga harus mempunyai keahlian dalam berdiplomasi juga dalam peningkatan soft power diplomacy-nya, agar daerah tersebut dapat lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan spesifiknya.

a. Disaster Para-Diplomacy

Dari kolaborasi antara diplomasi bencana dengan paradiplomasi ini, penulis akan mengidentifikasikan peluang dari kerjasama antara pemerintah Aceh dengan pihak asing. Sehingga dapat disimpulkan tentang peran bencana tsunami terhadap peningkatan soft power diplomacy bagi pemerintah Aceh.

25

Dikutip dari buku Criekemas, David, Are The boundaries between Paradiplomacy and diplomacy watering down?‟ …. Dalam buku “Paradiplomacy”…. Takdir Ali Mukti Hal. 37-38 26

Ketentuan ini di setiap Negara-negara di dunia mempunyai peratuaran yang berbeda dalam mengatur kerjasama yang boleh dilakukan oleh pemerintah provinsi dengan pihak asing


(26)

16

Dalam bukunya Ilan Kelman, Disater Dipolmacy, beliau juga sedikit membahas tentang disaster-para diplomacy, yakni diplomasi yang dapat dilakukan oleh pihak sub-national. Ilan Kelman menyebutkan:

Disaster Para-Diplomacy explores Disaster diplomacy for non-sovereign jurisdictions. That is, sub-national entities interacting directly with foreign governments or international organitations for disaster-related activities.27

b. Soft Power Diplomacy

Soft Power Diplomacy adalah sebauh konsep diplomasi non tradisional yang mulai berkembang pasca abad ke-21. Salah satu tokoh yang paling terkenal dengan munculnya soft power diplomacy ini adalah Joseph Nye, Jr (1990).28 Soft Power Diplomacy atau soft diplomacy ini diartikan sebagai pertukaran gagasan, informasi, seni dan aspek-aspek kebudayaan lain antara Negara dan bangsa, dengan harapan dapat menciptakan pengertian bersama. Keberhasilan soft power diplomacy ini sangat bergantung pada reputasi pelaku dalam komunitas internasional serta pertukaran informasi di antara para pelaku.29

Soft diplomacy bersumber dari soft power diplomacy sebagai lawan kata dari hard power diplomacy. Soft Power adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh suatu Negara (daerah) melalui penampilan bangsa itu di mata Negara lain, bukan dengan jalan pemaksaan atau dengan pembayaran. Inti dari soft power adalah eksplorasi kekuatan kebudayaan suatu bangsa yang bersifat non perang dan non pengikatan secara ekonomi, sebagai metode sekaligus alat untuk melakukan diplomasi dengan Negara30 atau daerah lain.

Dalam perkembangannya, Soft Power ini bisa melingkupi banyak hal yang ada di suatu daerah, termasuk bencana yang kemudian bisa digunakan sebagai alat berdiplomasi. Provinsi Aceh adalah salah satu daerah dengan peluang besar untuk

27

Kelman, Ilan, Disaster Diplomacy ….. Hal. 122

28

http://www.porosilmu.com /2015/02/memahami-konsep-soft-power-diplomacy. html, Diakses pada 27 Februari 2016

29

Dikutip dari Asisten Deputi Bidang pelaksanaan dan pelaporan persidangan, Thanon Aria Dewangga, dalam buku karya Takdir Ali Mukti, Paradiplomasi, ….. Hal 171

30


(27)

17

menggunanakn soft power ini dengan menggunakan bencana tsunami sebagai alat berdiplomasi dengan daerah di Negara lain.

Dengan menggunanakan beberapa kerangka teori ini diharapkan mampu menganalisa dan menemukan hasil yang sistematis terkait tema yang diambil, yaitu penggunaan bencana alam sebagai sarana peningkatan soft power diplomacy bagi pemerintahan provinsi Aceh.

H. Metodelogi Penelitian

Untuk mendukung sistematika penulisan yang baik dan hasil penelitian yang baik pula, maka dibutuhkan sebuah metode yang sesuai dengan tema dan konsentarasi yang dipilih. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metodelogi penelitian sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan fakta-fakta yang terjadi di Aceh setelah bencana tsunami dan pengaruhnya terhadap peningkatan soft power diplomacy pemerintah Aceh.

2. Lokasi dan jangkauan penelitian

Untuk menghindari pelebaran pembahasan, maka penulis hanya akan menfokuskan pembahasan untuk provinsi Aceh pada tahun 2004-2015. Selain itu, penelitian ini juga akan fokus pada bencana tsunami saja tidak untuk bencana-bencana lain.

3. Metode pengumpulan data

Untuk data Primer, Penulis akan langsung melakukan observasi dan wawancara langsung dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan tema ini, yaitu para pejabat atau pegawai di bidang BKPM provinsi Aceh. Untuk tambahan, pengumpulan data juga dilakukan dengan menggunakan teknik studi pustaka (library research), sehingga menghasilkan data-data sekunder. Data tersebut akan diambil dari buku-buku literatur, kitab-kitab, laporan-laporan hasil penelitian sebelumnya, jurnal, majalah, dokumen, surat kabar, dan lain-lain yang relevan dengan penelitian ini.


(28)

18 4. Teknik analisis data

Setelah seluruh data terkumpul, maka kemudian akan dilakukan analisis terhadap data-data tersebut dengan teknik kualitatif, dimana permasalahan digambarkan berdasarkan fakta-fakta yang kemudian dikaitkan antara fakta satu dengan yang lainnya. Selanjutnya dari hasil analisis, penulis akan berusaha untuk menjelaskan tentang pengaruh-pengaruh dari bencana tsunami terhadap diplomasi, baik itu dalam menyelesaikan perundingan antara GAM dam dan RI dan juga dalam kerjasama internasional dalam mewujudkan pembangunan Aceh, dan yang paling utama adalah peningkatan soft power diplomacy bagi pemerintah Aceh.

I. Hipotesa

Berdasarkan latar belakang dan juga rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis mengemukakan beberapa hipotesa, yaitu :

1. Bencana Tsunami telah menempatkan provinsi Aceh sebagai sebuah daerah yang mempunyai citra yang baik ketika mampu bangkit dari keterpurukan dan menjadi ahli dalam penangulangan bencana, melalui suprastruktur dan infrastruktur yang ada di provinsi Aceh.

2. Kemampuan provinsi Aceh dalam menanggulangi tsunami bisa dibagi dengan negara lain, sehingga kemampuan mengelola bencana tsunami ini bisa menjadi peningkatan soft power diplomacy pemerintah Provinsi Aceh, yang berguna untuk meningkatan kerjasama luar negeri dan investasi.

J. Sistematika Penulisan

Dalam upaya penyusunan tulisan ini, akan dibuat sesistematis mungkin yang dirangkum dalam sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I Berisikan Judul, Alasan Pemilihan Judul, Latar Belakang Masalah Kerangka Teori, Hipotesis, Metodelogi penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Terdiri dari pembahasan tentang Biografi Aceh secara umum, kemudian dilanjutkan dengan Sejarah diplomasi Aceh sebelum terjadi Bencana Tsunami serta Undang-undang tentang wewenang pemerintah daerah dalam melakukan kerjasama internasional. Selanjutnya juga Diplomasi di Aceh setelah


(29)

19

bencana tsunami, perundingan antara GAM dan RI di Helsinki, dan juga kerjasama-kerjasama yang pernah terjalin dengan pihak asing dengan dasar kerjasama terkait bencana alam.

BAB III terdiri dari pembahasan tentang Diplomasi, pembahasan tentang hasil yang didapat akibat dari tsunami di provinsi Aceh, peningkatan Soft Power diplomacy bagi pemerintahan Aceh, Kerjasama-kerjasama yang terjalin dari penggunanan soft power diplomacy tersebutdari berkah bencana tsunami.

BAB IV terdiri dari.penjelasan tentang mekanisme pengaruh bencana tsunami terhadap peningkatan soft power diplomacy di provinsi Aceh, lahirnya suprastruktur dan infastruktur yang menunjang pengingkatan soft power diplomacy pemerintah Aceh.

BAB V terdiri dari Kesimpulan dan saran tentang penelitian ini serta masukan-masukan kepada pemerintah Aceh agar lebih mampu mengoptimalkan kerjasama luar negerinya.


(30)

20 BAB II

DIPLOMASI ACEH SEBELUM DAN SESUDAH BENCANA TSUNAMI

Pemerintah Aceh telah melewati beberapa tahap perjuangan dalam bentuk perang dan juga diplomasi dengan jalan damai. Pada bab ini, penulis akan menjelaskan serangkaian dinamika perjalanan Aceh sejak awal mula pada masa kerajaan hingga masa-masa sebelum bencana tsunami tahun 2004, yang mana pembahasaannya meliputi bentuk pemerintahan Aceh, Undang-Undang yang mendukung keistimewaan Aceh dan kerjasama-kerjasama luar negeri yang pernah dilakukan oleh pemerintah Aceh.

A. Dinamika Politik Aceh

Aceh adalah salah satu provinsi yang terletak di bagian paling barat pulau Sumatra. Berdasarkan catatan sejarah, Aceh merupakan tempat pertama kali masuknya budaya dan juga agama, hal ini dikarenakan Aceh adalah tempat persinggahan para pedagang dari Eropa, Arab, India dan China. Namun di antara beberapa budaya dan agama, Aceh paling menonjol dalam perkembangan agama Islam yang dibawa oleh pedagang dari arab pada abad ke 9.

Pada awalnya Aceh merupakan daerah kerajaan, yakni Kerajaan Peureulak dan Pasai. Kerajaan yang dibangun oleh Sultan Ali Mughayatsyah dengan ibukotanya di Kutaraja (Banda Aceh sekarang), lambat laun wilayahnya bertambah luas yang meliputi sebagaian besar pantai Barat dan Timur Sumatra hingga ke Semenanjung Malaka.Kehadiran daerah ini semakin bertambah kokoh dengan terbentuknya Kesultanan Aceh yang mempersatukan seluruh kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di daerah itu. Dengan demikian Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada permulaan abad ke-17, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu pengaruh agama dan kebudayaan Islam begitu besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh, sehingga daerah ini mendapat julukan “ Seuramo Mekkah” (Serambi Mekkah). Keadaan ini tidak berlangsung lama, karena sepeninggal Sultan Iskandar Muda para penggantinya tidak mampu mempertahankan kebesaran kerajaan tersebut.Sehingga kedudukan daerah ini - sebagai salah satu kerajaan besar di


(31)

21

Asia Tenggara - melemah. Hal ini menyebabkan wibawa kerajaan semakin merosot dan mulai dimasuki pengaruh dari luar.1

Pengaruh luar cukup besar, terutama dari Negara-negara barat seperti Inggris dan Belanda. Pada 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang terhadap kesultanan Aceh, puncak kekalahan Aceh dialami pada masa sultan terakhir Aceh, Twk. Muhammad Daud. Sejak saat itu, Aceh secara administratif masuk ke dalam Hindia Timur Belanda (Nederlansch Oost-Indie),2 namun pemberontakan dari pada griliyawan Aceh terus berlangsung. Pada tahun 1942, peperangan beralih melawan Jepang, seiring berkurangnya kekuatan Belanda di Indonesia. Peperangan ini pun berakhir setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada tahun 1945, dan Aceh akhirnya bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Gambar I : Peta Aceh3

1

http://www.acehprov.go.id/profil/read/2014/10/03/104/sejarah-provinsi-aceh.html, diakses pada 03 Maret 2016

2

Ibid

3

http://www.communitywebs.org/NetworkforTsunamiAceh/images/acehmap.jpg. Diakses pada 10 Maret 2016


(32)

22

Aceh telah mengalami beberapa perubahan status dalam kebersamaannya dengan NKRI. Pada masa revolusi kemerdekaan, aceh hanya berbentuk residen (1947) di bawah administratif Sumatera Utara. Pada tahun 1949 status Aceh ditingkatkan menjadi provinsi Aceh, dengan Tengku Muhammad Daud Bereueh menjadi gubernurnya.Berdasarkan peraturan pemerintah melalui UU No. 5 tahun 1950, Aceh kembali ke dalam bentuk residen.Akibat keputusan ini, timbul gejolak politik di Aceh.Untuk menjaga kestabilan politik, Aceh dikembalikan ke dalam bentuk Provinsi pada tahun 1956.

Dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, status Provinsi Aceh menjadi Daerah Swatantra Tingkat I dan pada tanggal 27 Januari 1957 A.Hasjmy dilantik sebagai Gubernur Provinsi Aceh.Namun gejolak politik di Aceh belum seluruhnya berakhir. Untuk menjaga stabilitas Nasional demi persatuan dan kesatuan bangsa, melalui misi Perdana Menteri Hardi yang dikenal dengan nama “Missi Hardi” tahun 1959, dilakukan pembicaraan yang berhubungan dengan gejolak politik, pemerintahan dan pembangunan daerah Aceh. Hasil misi tersebut ditindak lanjuti dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/MISSI/1959. Maka sejak tanggal 26 Mei 1959 Daerah Swatantra Tingkat I atau Provinsi Aceh diberi status “Daerah Istimewa” dengan sebutan lengkap “Provinsi Daerah Istimewa Aceh.” Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan.Status ini dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.4

Namun, Pergelokan politik Aceh masih terus berlanjut, dengan dideklarasikan GAM oleh Hasan Tiro pada tahun 1976. Hal ini ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan pemberian Otonomi Khusus dengan disahkannya Undang-Undang no. 18 tahun 2002 dan Provinsi Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009, ditegaskan bahwa sebutan Daerah

4


(33)

23

Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur "Nanggroe Aceh Darussalam" (NAD) menjadi sebutan/nomenklatur " Aceh ". Ini dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam Pasal 251 UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai provinsi dalam sistem NKRI, akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009.5

Dalam melaksanakan hubungan luar negeri, Aceh tetap di bawah sistem pemerintahan Indoneisa, Pemerintah Aceh diberi wewenang kerjasama dengan pihak asing berdasarkan undang-undang 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, undang-undang tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan undang-undang tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh serta Peraturan Presiden tahun 2010 tentang kerjasama Pemerintah Aceh dengan daerah, lembaga dan badan internasional.

Dengan adanya wewenang tersebut, Pemerintah Aceh harus mempunyai kekuatan dalam berdiplomasi untuk meningkatkan kualitas bargaining (tawar menawar) dengan lawan pihak diplomasi, sebuah kekuatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas kerjasama untuk pembangunan Aceh yang lebih baik.Kekuatan inilah yang kemudian kami sebut Soft power Diplomacy.

B. Diplomasi Aceh Sebelum Bencana Tsunami

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agsustus 1945, kemudian presiden Soekarno pada tahun 1948 berkunjung ke Aceh serta bertemu dengan Tengku Daud Beureu’eh, meminta dukungan Aceh untuk bergabung dengan Indonesia. Dengan seperangkat undang-undang yang telah dijelaskan pada awal pembahasan bab ini, Aceh kembali dapat melakukan hubungan luar negeri, namun dengan soft power diplomacy yang berbeda. Soft Power diplomacy

5


(34)

24

Pemerintahan Aceh tahun 1999-2004 (sebelum bencana tsunami) hanya dari segi seni budaya, yang mana banyak daerah lain juga mempunyai hal serupa.

Konflik politik yang terjadi di Aceh selama lebih dari 30 tahun,membuat perkembangan diplomasinya tidak maksimal.Pada masa konflik ini, hubungan luar negeri yang dilakukan oleh Aceh hanya mencari dukungan dari pihak asing.Pihak asing yang dianggap terlibat membantu pihak Aceh (GAM) pada masa konflik adalah Swedia dan Libya. Kalau Swedia membantu melindungi para petinggi GAM, di Libya menjadi tempat pelatihan tentara GAM.6 Konflik ini terus berlanjut hingga tahun 2004.

Salah satu langkah perdamaian yang dilakukan pihak GAM dan RI untuk menyelesaikan konflik adalah dengan dibuatnya kesepakatan penghentian permusuhan atau dikenal dengan istilah The Cessation Of Hostilities Of Agreement (CoHA).7 Kesepakatan ini terjadi pada tanggal 9 Desember 2002 di Jenewa, kegiatan ini difasilitai oleh organisasi non pemerintah, Henry Dunant Centre (HDC). Sebenarnya pembuatan kesepakatan ini bukanlah sebuah penyelesaian konflik, melainkan ini hanyalah sebuah langkah awal yang masih berupa kerangka kerja yang akan dilakukan kedua belah pihak agar bisa menuju negosiasi yang sesungguhnya. Penciptaan kesepakatan CoHA ini agar kedua belah pihak bisa melakukan penjajakan dan menjalin kemistri untuk kemudian melakukan perundingan.

Sejak awal kesepakatan, bukannya terbentuk kesepahaman, melainkan kedua belah pihak saling menaruh curiga antara satu pihak dengan pihak lain, tentang tujuan dari diadakannya kesepakatan penghentian permusuahan. RI menaruh curiga kepada GAM sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih luas dan kuat dalam mempersiapkan kemerdekaan. Begitu juga GAM mencurigai RI sedang memperhatikan tokoh-tokoh besar yang mejadi dalang pemberontakan selama ini.

6

Kirsten, E. Schulze, The Free Aceh Movement (GAM) : Anatomy of Separatif Organisation, ast West Washington, Washington DC, 2004. Hal. 29

7

Internasional Crisis Group (ICG), Aceh sebuah perdamaian yang rapuh, ICG Asia report N047, 27 Februari 2003


(35)

25

Dengan kecurigaan-kecurigaan ini membuat kesepakatan yang dilakukan dan langkah membuat perundingan menjadi sangat lemah. Dari kesepakatan ini diharapkan tidak terjadi lagi kontak senjata, namun yang terjadi tetap masih ada kontak senjata meskipun tidak sesering sebelum terjadi kesepakatan. Meskipun begitu, kesepakatan ini cukup menjadi langkah awal untuk membuat kesepakatan selanjutnya yang lebih besar.

Soft Power Diplomacy Aceh sebelum terjadinya bencana tsunami cukup lemah, dengan hanya membawa ideologi kemerdekaan, tanpa sedikit pun mengurangi tensi serangan di tengah kekuatan tentara Aceh yang sebelumnya belum cukup kuat. Namun semua ini berubah dengan datangnya bencana tsunami. Pemerintah seakan-akan menemukan kekuatan baru untuk berdiplomasi di tingkat lokal dan juga internasional.

C. Bencana Tsunami, sebagai Media Diplomasi Aceh

Bencana sudah menjadi bagian dalam dinamika kehidupan manusia.Indonesia merupakan salah satu Negara dengan tingkat bencana terbesar di dunia, mulai dari banjir, longsor, gunung meletus, gempa, dan lain sebagainya.Sepanjang tahun 2000-an, sudah banyak sekali bencana yang terjadi di Indonesia. Bencana alam terparah yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2000-an yaitu benc2000-ana tsunami y2000-ang mel2000-anda provinsi Aceh pada tahun 2004 silam.

Istilah tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu Tsu yang berarti “Pelabuhan”, dan Nami yang berarti “gelombang”, sehingga tsunami dapat diartikan sebagai “gelombang pelabuhan.” Istilah ini pertama kali muncul di kalangan nelayan Jepang. Diberi sebutan seperti itu karena panjang gelombang tsunami sangat besar pada saat berada di tengah laut sampai-sampai para nelayan tidak merasakan adanya gelombang ini, namun ketika mereka tiba di pelabuhan, mereka mendapati wilayah disekitar pelabuhan rusak parah. Dengan alasan ini mereka menyimpulkan bahwa gelombang ini hanya timbul di wilayah sekitar pelabuhan, dan tidak terjadi di tengah lautan yang dalam.8

8


(36)

26

Gempa dan tsunami di Indonesia (Aceh) terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 yang telah menyebabkan korban meninggal lebih dari 200.000 orang di berbagai Negara. Gempa yang terjadi di Aceh ini adalah gempa terbesar selama 40 tahun terakhir.9

Gambar II. Gelombang Tsunami Aceh10

Bencana Tsunami di Aceh terjadi berbarengan dengan permasalah politik yang terjadi di provinsi tersebut. Bencana Tsunami ini menarik perhatian dunia yang bersimpati dengan bencana dan korban tewas yang jumlahnya sangat banyak, sekaligus membuat kasus konflik Aceh lebih diketahui di kancah internasional, yakni Konflik separatisme yang melibatkan GAM dan RI. Konflik ini belum terselesaikan meskipun segala upaya telah dilakukan, baik itu dengan jalan perang maupun jalan damai (diplomasi).

Bencana tsunami yang meluluhlantahkan daerah istimewa Aceh, juga mempengaruhi dinamika konflik.Negara yang sebelumnya sedang berkonflik dengan salah satu wilayahnya ini, keduanya mulai “melembut” akibat bencana yang terjadi. Hal ini membuka ruang bagi keduanya untuk menyelesaikan masalah

9

Ibid. Hal 31

10


(37)

27

bersama, yaitu penaggulangan bencana tsunami dan juga mulai menemukan sinergi yang baik untuk menyelesaikan permasalahan konflik (berdamai).

D. Diplomasi Dalam Penyelesaian Konflik GAM dan RI

Jika pada masa sebelum tsunami, diplomasi yang dilakukan oleh Provinsi Aceh sangat minim dengan pihak mana pun, termasuk dengan dalam negeri. Namun hal berbeda ditunjukkan setelah terjadinya tsunami. Daya tarik Aceh meningkat dan hubungan luar negerinya pun semakin meningkat. Perundingan yang paling alot adalah dalam kasus penyelesain konflik di Aceh antara GAM dan RI.

Masa presiden Megawati Soekarno Putri sempat dilakukan perundingan dengan meneruskan rangkaian perundingan yang dirintis oleh presiden sebelumnya, Abdurrahman Wahid dalam program Cessation of Hostilities Agreement (CoHA), yang dirancang sebagai jalan untuk mengakhiri perang, dan “mengembalikan” Aceh ke dalam Republik Indonesia, namun praktek ini gagal bahkan Megawati melakukan kesalahan dengan menggantikan kegagalan CoHA ini dengan menerapkan Darurat Militer sejak 19 Mei 2003, yang akhirnya bukan menyelesaikan konflik bahkan membuat penyelesaian konflik GAM-RI semakin sulit.

Faktor alam kemudian mendukung percepatan negosiasi ini, yaitu gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Setelah peristiwa ini, pihak asing dengan mudah masuk ke Aceh (teritorial wilayah Indonesia) dengan alasan kemanusiaan. Pihak asing ini meminta jaminan agar bantuan dapat disalurkan dengan lancar, apabila masih terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI maka akan mengganggu pemberian bantuan terhadap korban tsunami. Dengan alasan ini juru runding GAM akhirnya menyatakan bahwa demi kepentingan rakyat Aceh, mereka bersedia berunding.Namun faktor alam ini hanyalah pendukung dan percepat negosiasi, karena jalan untuk menuju


(38)

28

perundingan di Helsinki sudah dirintis sejak 2001 oleh Farid Husein atas inisiatif Jusuf Kalla.11

Namun untuk kasus ini, bencana tsunami tidak menjadi poin utama penyebab dilangsungkannya perundingan, tsunami hanya menjadi faktor pendukung dan percepatan terjadinya perundingan. Hal ini disebabkan upaya perundingan telah dilakukan sedemikian rupa di tahun-tahun sebelumnya meskipun puncaknya baru terlaksana dan sukses pada tahun 2005 di Helsinki. Pada perundingan tersebut juga akhirnya di bahas tentang langkah-langkah pembangunan yang dilakukan di provinsi Aceh pasca tsunami, termasuk pembentukan pemerintahan sendiri bagi provinsi Aceh, juga dalam hubungannya dengan pihak asing.

E. Diplomasi Aceh dengan Pihak Asing Pasca Tsunami

Bermula dari undang-undang No. 22 tahun 1999 yang memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan hubungan internasional dan menentukan bidang apa saja yang akan dikerjasamakan, selain yang dikecualikan dalam undang-undang tersebut, pengaturan mengenai teknis kerjasama luar negeri ini berkembang cukup dinamis. Sebelumnya, untuk melakukan kerjasama luar negeri, daerah masih harus berpedoman pada aturan pelaksanaan, yakni Permendagri No. 1 Tahun 1992 tentang penyelenggaraan dan Hubungan Kerjasama Luar Negeri di Jajaran Depdagri. Setelah lahir undang-undang No. 22 tahun 1999, kemudian muncullah Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom yang dengan tegas menyatakan bahwa Pemerintah Pusat berwenang menetapkan pedoman tata cata kerjasama dengan lembaga/badan di luar negeri.12

Mengenai teknis kerjasama luar negeri yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah, Departemen Luar Negeri pada bulan Oktober 2003 mengeluarkan

11

Moch. Nurhasim, Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008

12

Sidik Jatmika, Otonomi Daerah Perspektif hubungan Internasional, Hal 118, BIGRAF, YK, 2001


(39)

29

Panduan umum Tata Cara Hubungan Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah. Dalam panduan tersebut diatur syarat-syarat kerjasama,13 antara lain adalah:

1. Dengan Negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia dan dalam kerangka NKRI.

2. Sesuai dengan bidang kewenangan Pemerintah Daerah. 3. Mendapat persetujuan DPRD.

4. Tidak menggangu stabilitas politik dan keamanan dalam negeri.

5. Tidak mengarah kepada campur tangan urusan dalam negeri masing-masing.

6. Berdasarkan pada asas persamaan hak dan tidak saling memaksakan kehendak.

7. Memperhatikan prinsip persamaan kedudukan, memberi manfaat dan saling menguntungkan bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat.

8. Mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembagunan nasional dan daerah serta pemberdayaan masyarakat.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melakukan hubungan dengan negara atau provinsi asing, dapat menempuh cara-cara sebagai berikut :

1. Pendirian kantor-kantor perwakilan (permanent offices) di negara-negara lain terutama di pusat-pusat perdagangan dan keuangan dunia.

2. Pertukaran kunjungan pejabat-pejabat pemerintah sub nasional di suatu negara dengan pejabat-pejabat pemerintah sub nasional di negara lain. 3. Pengiriman misi-misi teknik, promosi dagang dan investasi.

4. Pembentukan foreign tradezone seperti yang dilakukan oleh 30 negara bagian di Amerika Serikat.

5. Upaya lainnya adalah berpartisipasi dalam organisasi-organisaasi atau konferensi-konferensi internasional.14

Pemerintah Provinsi Aceh setelah bencana tsunami melakukan kerjasama dengan pihak-pihak asing, baik itu negara dan juga organisasi. Bencana tsunami telah membuka peluang bagi pemerintah provinsi Aceh untuk melakukan

13

Takdir Ali Mukti, Paradiplomasi, ...Lihat hal. 187

14

Tulus Warsito, Materi Kuliah Diplomasi, Magister Hubungan Internasional, UMY. Lihat. Takdir Ali Mukti, Paradiplomasi, Hal.173


(40)

30

kerjasama dengan pihak asing dalam bingkai kerjasama luar negeri. Provinsi Aceh yang sebelum tsunami sangap tertutup, kini mulai mengalami proses internasionalisasi akibat dari bencana tsunami. Berikut ini beberapa kerjasama yang terjalin setelah terjadinya bencana tsunami :

1. Kerjasama Pemerintah Aceh dengan Multi Donor Fund (MDF)

Untuk mendukung rekonstruksi Aceh, Pemerintah Aceh menerima bantuan dari MDF dalam bentuk hibah sejumlah $ 655 Juta. Berkat kerjasama yang baik antara semua pemangku kepentingan termasuk pemerintah Aceh dalam merencanakan, membiayai dan melaksanakan proyek, banyak konstruksi yang berhasil seperti rumah, jalan, pelabuhan, instalasi pengolahan air, dan ribuan asset prasarana pedesaan.

Program MDF ini berlangsung hampir 8 tahun mulai dari 2005-2012. Pada periode ini terjadi banyak perubahan ekonomi, sosial dan juga politik.15 Hal ini sangat dipengaruhi oleh adanya upaya rekonstruksi pasca bencana tsunami secara menyeluruh. Para pendonor dalam MDF terdiri dari Negara-negara maju juga organisasi terkemuka di tingkat internasional. Berikut Pendonor yang tergabung dalam Multi Donor Fund (MDF)16 :

1. Belanda 2. Inggris 3. Bank Dunia 4. Swedia 5. Kanada 6. Norwegia 7. Denmark 8. Jerman 9. Belgia

15

Disampaikan Oleh Pak Iskandar, Kepala Badan Investasi dan Promosi Aceh pada 30 September 2015 di Batam dalam rangka Knowledge Sharing Kerjasama Pemerintah Aceh dengan Luar Negeri

16

Multi Donor Fund (MDF), Java Reconstruction Fund (JRF), Rangkaian makalah kerja MDF-JRF : hasil pembelajaran dari rekonstruksi pasca bencana di Indonesia, Rekonstruksi infrastuktur


(41)

31

10.Finlandia

11.Bank Pembangunan Asia 12.Amerika Serikat

13.Selandia Baru 14.Irlandia 15.Uni Eropa

2. Kerjasama tentang Perubahan Iklim dan Sektor Kehutanan Tingkat Para Gubernur di Berbagai Negara

Pada tanggal 18 November 2008, 10 Gubernur dari berbagai Negara (Aceh, Papua, California, Illinois, Winconsin, Amapa, Amazonus, Mato Grosso dan Para) menandatangani MoU pada pertemuan puncak perubahan iklim di Los Angles-California. Kerjasama ini membahas tentang kebijakan, pembiayaan, pertukaran teknologi dan penelitian di bidang perubahan iklim, guna mencegah terjadinya emisi dan efek rumah kaca (GHG) serta degradasi hutan (REDD) maka telah disepakati dilakukan kegiatan-kegiatan reboisasi dan pengelolaan hutan.17

3. Pinjaman soft Promotion loan Aceh-Pemerintah Jerman (KFW Bank)

Pada tanggal 12 Juni 2013, gubernur Aceh bersama Wali Nanggroe dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh melangsungkan pertemuan dengan pimpinan KFW Frankruft Jerman.Bank KFW siap memberikan hibah serta melaksanakan penyempurnaan Feasibility Study rencana pembangunan rumah sakit regional dan Puskesmas serta peningkatan sumber daya kesehatan.18 Kerjasama ini guna meningkatakan kualiatas pelayanan kesehatan di Aceh setelah diterjang bencana tsunami.

17

Ibid

18


(42)

32

4. Kerjasama Di Wilayah IMT-GT Antara Indonesia, Malaysia dan Thailand, Dari Indonesia Salah Satu Perwakilannya Adalah Provinsi Aceh

Kerjasama segitiga ini dalam upaya pembangunan sub regional anatara Indonesia, Malaysia dan Thailand.19 Hubungan kerjasama yang terjalin berkat kedekatan geografis, sejarah, budaya dan bahasa ini, diharapkan dapat memberikan dampak positif kepada setiap daerah. Provinsi Aceh adalah salah satu daerah yang mempunyai peran yang cukup besar dalam kerjasama ini.

Hubungan kerjasama antara tiga Negara ini dilakukan oleh pemerintahan Provinsi yang ada dalam Negara tersebut. Daerah-daerah yang mewakili kerjasama ini adalah :

- 14 provinsi di Thailand Selatan (Krabi, Nakhon Si Thammarat, Narathiwat, Pattani, Phattalung, Satun, Songkhla, Trang, Yala, Chumphon, Ranong, Surat Thani, Phang Nga, Phuket)

- 8 negara bagian Semenanjung Malaysia (Kedah, Kelantan, Malaka, Negeri Sembilan, Penang, Perak, Perlis dan Selangor)

- 10 provinsi di Pulau Sumatera di Indonesia (Aceh, Bangka-Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat)

19


(43)

33

Gambar III : Kerjasama IMT-GT

5. Kerjasama dengan Swiscontact dan Canadian Cooperation Asosiation

(CCA)

Selain bekerjasama dengan Negara-negara, Aceh juga bekerjasama dengan NGO, seperti Swiscontact dan CCA. Dalam upaya pemulihan perekonomian masyarakat Aceh, pemerintah berupaya memberi bantuan di bidang pertanian. Melalui kerjasamanya dengan Swiscontact, masyarakat mendapat pembinaan dalam hal pemilihan bibit unggul dalam penanaman kakao.

Dalam program ini, telah dilatih 12.540 petani kakao di Aceh dengan membuka Sekolah lapang (SL) yang menerapkan metode budidaya (PsPSP), selain itu juga dilakukan binaan dalam hal rehabilitasi dan pasca panen.Swisscontact bersama pemerintah Aceh juga menghadiri World Cocoa


(44)

34

Conference di Utrich, Belanda pada tahun 2010 dan di Washington pada tahun 2012.20

Sedangkan CCA juga bekerjasama dengan Aceh di bidang pertanian.CCA telah membantu para petani dengan memberikan bibit unggul SRI kepada para petani yang berada di wilayah Aceh Jaya dan Pidie, selain itu CCA juga membantu pembangunan koperasi di Pidie dan memberikan modal serta pelatihan kepada para petani. Berbeda dengan Swiscontact yang bekerjasama di bidang peningkatan pertanian di bidang kakao, CCA membantu pertanian padi, yang merupakan mayoritas petani di Aceh bergerak di bidang tersebut.

6. Kerjasama Indonesia-Middle East Update (IMEU)

Indonesia-Middle East Update (IMEU) adalah salah satu bentuk kerjasama antara Indonesia dengan Negara-negara Timur Tengah. Dalam praktiknya pemerintah daerah menjadi fasilitator bagi pengusaha lokal dan pengusaha dari Timur Tengah untuk bekerjasama, atau juga kerjasama antara pemerintah kota dengan pengusaha asal Timur Tengah. IMEU merupakan event tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui kemenlu dan Direktorat Timur Tengah. Aktivitas kerjasama ini di antaranya adalah pertemuan antar pengusaha lokal dan pengusaha Timur tengah pada tanggal 17-20 Oktober 2016 di Banda Aceh. Salah satu pengusaha dari Timur Tengah Bara Ali Abderrahmane berinvestasi untuk membangun hotel bintang 4 di pulau Sabang. Dalam mendukung aktivitas ini, pemerintah melalui KBRI dan Pemerintah Provinsi Aceh mengintensifkan komunikasi antara pihak lokal dengan Bara Ali. Alhasil pada tanggal 9-11 Februari 2016, Bara Ali dan Pemerintah kota Sabang menandatangani MoU kerjasama pembangunan Hotel di Sabang.21

Menyusul komitmen Bara Ali untuk berinvestasi sebagai tindak lanjut IMEU 2015, pengusaha lain peserta IMEU dari Dubai (Persatuan Emirat Arab), Mohamed I.M. Farajallah, juga telah kembali berkunjung ke Aceh pada 16-18 Maret 2016. Dalam kunjungan tersebut, Farajallah bertemu dengan Direktur

20

Op.Cit

21

Agus Hidayatulloh,Tindak lanjut Indonesia-Middle east update 2015. Data ini didapatkan dari Bainprom Aceh


(45)

35

Utama PT. Incona Mega, Sayed Fairuz Syah, untuk menjajaki kerja sama bisnis properti di Banda Aceh.22

Menurut informasi yang dihimpun dari Badan Investasi dan Promosi (Bainprom) Provinsi Aceh, ada pula peserta IMEU 2015 lainnya yang telah melakukan kunjungan kembali ke Aceh, di antaranya 2 pengusaha dari Yordania. Para pengusaha ini tidak semuanya tercatat oleh Direktorat Timur Tengah. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pada IMEU 2015 lalu, digelar pula one-on-one business meeting antara pengusaha asing dan pengusaha lokal sehingga memudahkan mereka untuk berkomunikasi secara langsung. Bainprom Aceh menyatakan pihaknya terus berkomunikasi dengan para peserta IMEU 2015 dan mendorong mereka untuk berinvestasi atau bekerja sama dengan para pengusaha daerah.

22


(46)

36 BAB III

PENGARUH TSUNAMI TERHADAP DIPLOMASI ACEH

Setiap Negara mempunyai kepentingan nasionalnya masing-masing. Kepentingan tersebut dapat terpenuhi melalui interaksinya dengan Negara-negara lain, lewat jalur kerjasama dan diplomasi. Meskipun kepentingan Negara tersebut sudah terpenuhi, namun belum tentu sesuai dengan yang dibutuhkan di setiap daerah di dalam Negara tersebut, oleh karena itu untuk memenuhi kepentingannya yang lebih spesifik, daerah juga melakukan kerjasama dengan pihak lokal juga internasional. Di Indonesia, provinsi Aceh adalah salah satu daerah yang mempunyai kepentingan daerahnya sendiri yang kemungkinan besar berbeda dengan daerah-daerah lain.

Secara garis besar, kepentingan daerah provinsi Aceh adalah terciptanya keamanan dan kenyamanan serta peningkatan kualitas ekonomi, yang dapat diwujudkan melalui peningkatan kerjasama dan investasi. Sebelum tahun 2005, kepentingan-kepentingan ini sangat sulit tercapai, hingga terjadi bencana tsunami pada tahun 2004. Bencana tsunami telah menarik simpati banyak pihak, yang kemudian pemerintah Aceh memanfaatkan kondisi ini untuk mewujudkan kepentingan daerahnya.

Bencana tsunami yang sebelumnya hanya memberikan duka yang mendalam bagi segenap bangsa Aceh, namun kemudian bencana tersebut memberikan hikmah tersendiri kepada provinsi Aceh secara keseluruhan. Dalam bab ini akan disampaikan terkait pengaruh bencana tsunami terhadap peningkatan soft power diplomacy pemerintah Provinsi Aceh. Peningkatan soft power diplomacy ini sendiri dimaksudkan agar Provinsi Aceh lebih mudah dalam memenuhi kepentingan daerahnya.

A. Bencana Tsunami Sebagai Modal Baru Dalam Berdiplomasi

Sebagaimana yang telah disebutkan di awal pembahasan bab ini, setiap daerah mempunyai kepentingan daerah tersendiri yang spesifik dan eklusif dibandingan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Untuk memenuhi


(47)

37

kepentingan daerah ini, pemerintah daerah (PEMDA) melakukan hubungan kerjasama dengan daerah-daerah di luar negeri.

Hubungan kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam suatu negara dikenal dengan sebutan paradiplomacy, yang mengacu pada makna „the foreign policy of non-central governments, menurut Aldecoa, Keating dan Boyer.1 Jika sebelumnya aktivitas hubungan luar negeri hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, maka seiring perkembangan zaman dan aktor internasional, pemerintah daerah dari sebuah negara juga diberi wewenang untuk melakukan hubungan luar negeri. Wewenang itu sendiri diatur melalui Undang-undang untuk mengontrol batas-batas hubungan luar negeri yang dapat dilakukan oleh pemeritah daerah.

Dalam Undang-Undang no. 32 tahun 2004, kewenangan daerah otonom untuk melakukan kerjasama luar negeri ini terdapat dalam pasal 42 ayat (1), bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk memberikan persetujuan terhadap kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah, ditegaskan pula dalam penjelasan pasalnya bahwa selain sister city /province, pemda juga dapat membuat perjanjian kerjasama teknis termasuk bantuan kemanusiaan, kerjasama penerusan pinjaman/hibah, kerjasama penyertaan modal dan kerjasama lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebelum diberlakukan undang-undang no. 32 tahun 2004 ini, kewenangan melakukan kerjasama internasioal telah dimulai sejak diberlakukannya UU tentang pemerintah daerah tahun 1999 atau yang dikenal sebagai undang-undang otonomi daerah.2

Dalam kasus kerjasama internasional yang dapat dilakukan oleh pemerintah Provinsi Aceh, secara lebih spesifik diatur melalui undang-undang tersendiri. Pengaturan kerjasama luar negeri secara khusus diberlakukan untuk pemerintah Aceh diatur melalui undang-undang no. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, hal ini sesuai dengan identitas Aceh dalam bingkai NKRI dalam status khusus dan istimewa.

1

Takdir Ali Mukti, Paradiplomacy, …… Hal 2


(48)

38

Meskipun kewenangan melakukan hubungan internasional ini bersifat tidak wajib, namun dalam praktik pemerintahan di daerah telah menjadi sebuah keniscayaan karena arus globalisasi yang telah merambah ke seluruh pelosok dunia. Pemda selaku pelaksana pemerintahan yang juga pengambil keputusan dalam kebijakan publik yang strategis seperti investasi dan perdagangan, akan sangat ketinggalan apabila tidak berbaur ke dalam pergaulan masyarakat internasional.

Di samping itu, untuk memenuhi kepentingan daerahnya, pemda dituntut untuk terlibat dalam pergaulan internasional, tidak cukup jika hanya mengandalkan hubungan internasional yang dilakukan oleh pemerintah pusat saja, apalagi daerah-daerah yang terdapat dalam sebuah negara dengan teritori yang cukup luas seperti Indonesia, sulit untuk mampu memenuhi kepentingan daerah yang kebutuhannya berbeda-beda,3 Pemerintah daerah harus jeli melihat peluang di dunia internasional sesuai kebutuhan daerahnya sendiri. Maka dari itu pemerintah daerah juga harus terampil dalam melakukan hubungan luar negeri. Pemerintah Aceh dengan wilayah yang cukup luas dan potensi yang dimilikinya, mempunyai peluang yang cukup besar dalam melakukan aktifitas internasional. Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat dilakukan adalah seperti eksebisi, kompetensi, pertukaran misi, negosiasi, dan konferensi.4 Sedangkan sarananya dapat melalui pariwisata, olahraga, pendidikan, perdagangan, dan kesenian serta bencana alam.

Dengan kewenangan yang cukup luas dari pemerintah pusat berdasarkan Undang-Undang seperti yang telah dipaparkan di atas, maka provinsi Aceh harus mempunyai modal yang besar dalam menjalin hubungan luar negeri. Dalam dinamika hubungan internasional, pemerintah provinsi Aceh kini tidak hanya menggunakan seni dan kebudayaan sebagai sarana diplomasi (sebagaimana yang sering dilakukan sebelumnya), namun juga sebuah modal yang lebih besar yaitu bencana tsunami atau dalam dunia akademik dikenal dengan istilah disaster diplomacy (diplomasi bencana).

3

Tentu berbeda jika dibandingkan dengan negara yang daerah teritorialnya cukup kecil seperti Singapura, Singapura bisa mengatur semua kebutuhan warga negaranya.

4

Tulus Warsito dan Wahyuni Kartikasari, Diplomasi Kebudayaan, Konsep dan Relevansinya bagi Negara Berkembang : Studi Kasus Indonesia, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2007. Hal 31


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Eby Hara, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri “Dari Realisme Sampai Konstrutivism”, Nuansa, 2011, Bandung

Berridge, GR, Diplomasi, Theory and practice, Maryland: Prentice hall/Harvester Wheatscheaf, 1995.

Djumala, Darmansjah, Soft Power Untuk Aceh, Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi, Jakarta,Pt Gramedia Pustaka Utama, 2013

Djelantik, Sukawarsini, Diplomasi antara teori dan praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008

Jatmika,Sidik, Otonomi Daerah Perspektif hubungan Internasional, Hal 118, BIGRAF, YK, 2001

Kelman, Ilan, Disaster Diplomacy „How Disaster affect Peace and Conflict, New York, Routledge, 2012

Moch. Nurhasim, Konflik dan Integrasi Politik GERAKAN ACEH MERDEKA, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008

Mukti,Takdir Ali, Paradiplomasi “Kerjasama Luar negeri oleh PEMDA di Indoneisa”, The Phinisi Press, Yogyakarta, 2013

Ishak, Otto, Syamssuddin, Dari Maaf ke Panik Aceh “Sebuah Sketsa Sosiologi – Politik, Edisi 1, Jakarta, Yayasan Tifa, 2000


(2)

Ishak, Otto, Syamssuddin, Dari Maaf ke Panik Aceh “Sebuah Sketsa Sosiologi – Politik, Edisi 3, Jakarta, Yayasan Tifa, 2008

Rusdi Sufi, dkk, Sejarah perlawanan terhadap imperalisme dan kolonialisme di Daerah Istimewa Aceh, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Deraktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah, 1982/1983

Surwandono, Ratih Herningtyas, Diplomasi Bencana Alam sebagai Saran Meningkatkan Kerjasama Internasional, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Sjafrizal, Perencanaan Pembangunan Daerah dalam Era Otonomi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2015

Schulze, Kirsten, The Free Aceh Movement (GAM) : Anatomy of Separatif Organisation, Ast West Washington, Washington DC, 2004

Tiro Hasan, Demokrasi Untuk Indonesia, Jakarta, Teplok Press, 1999

Trianawati Sugito,Nanin, ST., MT. Tsunami, Universitas pendidikan Indonesia, 2008

Warsito, Tulus, Wahyuni Kartikasari, Diplomasi Kebudayaan, Konsep dan Relevansinya bagi Negara Berkembang : Studi Kasus Indonesia, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2007


(3)

, Dinamika Konflik Dalam Transisi Demokrasi, Informasi potensi Konflik dan potensi integrasi bangsa (Nation and Character Building), Deputi Bidang pengkajian dan Pengembangan Sistem Informasi Lembaga informai nasional Republik Indonesia, 2004

, Internasional Crisis Group (ICG), Aceh sebuah perdamaian yang rapuh, ICG Asia report N047, 27 Februari 2003

, Perkembangan Penanaman Modal Tahun 2013, Pemerintah Aceh, Badan Investasi dan Promosi, 2013

http://www.porosilmu.com/2015/02/memahami-konsep-soft-powerdiplomacy.html

http://id.reingex.com/IMT-Growth-Triangle.shtml.

http://www.acehprov.go.id/profil/read/2014/10/03/104/sejarah-provinsi-aceh.html


(4)

LAMPIRAN

Foto Escape building di Aceh, bangunan tahan gempa dan tsunami


(5)

(6)