PERPINDAHAN KALOR PADA PENUKAR KALOR SELONGSONG DAN PIPA MEMAKAI SEKAT MIRING TIDAK SEJAJAR
JURNAL ILMIAH SEMESTA TEKNIKA
Vol. 15, No. 1, 35-42, Mei 2012
35
Perpindahan Kalor pada Penukar Kalor Selongsong dan Pipa
Memakai Sekat Miring Tidak Sejajar
(Heat Transfer on Shell-and-Tube Heat Exchanger Using an Un-parallell Tilted-Baffle)
MUHAMMAD NADJIB
ABSTRACT
Generally speaking, baffle installation of a shell-and-tube heat exchanger is in
straight-standing with respect to shell axis. A common problem of this arrangement
is that there will be found a stagnant fluid condition in the death-zone. The impact is
the heat transfer coefficient could not reach an optimum value. Based on baffle
configuration, the death-zone effect can be minimized by installing an un-parallel
tilted baffle. The purpose of this research is to investigate the effect of using nonparallel tilted baffle on heat transfer coefficient. The heat exchanger model was made
with single pass fluids. Hot water is going through inside the tube bundles and cold
water pass is in the shell. The baffle was installed in various angle of 0°, 15°, 30°,
and 45° with respect to shell axis. The cold water flow rates were varied from 75
l/hr, 100 l/hr, 125 l/hr, 150 l/hr, 175 l/hr, to 200 l/hr. The hot water flow rate was
fixed at 150 l/hr. Temperature of the hot and cold water at inlet and outlet was
recorded by means of K type thermocouple and data logger. The data was then
analyzed to obtain the convection heat transfer coefficient. The data were also used
to determine the empirical correlation of Nusselt number and Reynolds number. The
results indicate that baffle in angle 0° produce the highest convection heat transfer
coefficient. Installing the baffle at tilted position is not significant in convection heat
transfer coefficient. The empirical correlation of Nusselt number and Reynolds
number is influenced by angle function of the baffle.
Keywords: heat exchanger, shell and tube, baffle, heat transfer coefficient, Nusselt
number
PENDAHULUAN
Salah satu jenis alat penukar kalor (heat
exchanger) yang banyak digunakan di industri
adalah tipe selongsong dan pipa (shell and
tube). Konstruksi alat ini terdiri dari satu
selongsong dan lebih dari satu pipa yang
disusun dengan teratur dan kompak serta
dilengkapi dengan beberapa sekat (baff1e).
Biasanya sekat terpasang tegak lurus sumbu
selongsong. Susunan pipa dan sekat (biasa
disebut tube bundle) berada di dalam
selongsong. Fungsi sekat adalah untuk
menopang susunan pipa agar tidak terjadi
defleksi pipa akibat berat dan getaran yang
terjadi karena pengaruh aliran di dalam dan di
luar pipa. Selain itu, Kern (1983) menyatakan
pemasangan sekat mengarahkan aliran di dalam
selongsong melintang terhadap tube bundle dan
mengakibatkan aliran menjadi turbulen. Dengan
demikian
koefisien
perpindahan
kalor
meningkat jika dibandingkan aliran tanpa sekat
yang mengalir aksial sepanjang sumbu alat
penukar kalor. Kern (1983) menambahkan
bahwa semakin banyak jumlah sekat maka
derajat turbulensi dan kerugian tekanan
semakin meningkat. Hasil penelitian Rubin
(1992) menunjukkan bahwa pada setiap variasi
pengurangan jarak sekat (baffle spacing)
peningkatan kerugian tekanan justru lebih besar
dari pada penambahan laju perpindahan kalor.
Selain itu, Mukherjee (1996) menyatakan
bahwa kalkulasi perancangan untuk parameter
sekat adalah paling rumit. Kemudian Mukherjee
(1998) kembali mengemukakan pemotongan
sekat yang ideal adalah antara 20% - 35%
terhadap diameter selongsong. Jika pemotongan
sekat di luar harga tersebut maka unjuk kerja
36
M. Nadjib / Semesta Teknika, Vol. 15, No. 1, 35-42, Mei 2012
termal akan menurun. Hal senada diketahui
dari penelitian Habib et al. (1994) yang
menunjukkan semakin bertambah ketinggian
sekat, semakin bertambah pula kerugian
tekanan dan laju perpindahan kalor, tetapi
kenaikan kerugian tekanan relatif lebih besar
dibanding kenaikan laju perpindahan kalor.
Aliran fluida di dalam alat penukar kalor secara
umum terjadi pada dua lintasan yang terpisah
satu sama lain yaitu sisi selongsong (shell side)
dan sisi pipa (tube side). Area lintasan fluida
dalam selongsong yang terbentuk dari
pemasangan sekat pada prinsipnya terbagi
menjadi tiga zona karakteristik aliran (Gupta,
1957). Tiap-tiap zona mempunyai korelasi
koefisien perpindahan kalor yang berlainan.
Ketiga zona tersebut adalah zona aliran
menyilang, zona aliran longitudinal dan zona
mati. Zona aliran menyilang adalah daerah di
antara dua sekat dimana fluida melintas
menyilang
tube
bundle.
Zona
aliran
longitudinal adalah daerah aliran fluida di
jendela sekat, sedang zona mati adalah daerah
sudut di dalam sisi selongsong dengan aliran
fluida cenderung tidak bergerak. Dari sisi zona
aliran, pada prinsipnya zona mati harus
diminimalkan karena terjadi stagnasi aliran
sehingga dapat menurunkan unjuk kerja termal.
Agar pengaruh zona mati minimal maka posisi
pemasangan sekat dapat dibuat miring karena
gerakan fluida dapat bebas dan tidak tertahan
oleh sekat yang tegak lurus sumbu alat penukar
kalor.
Pernah dilakukan penelitian aliran arus fluida
yang melintas tube bundle dalam posisi
menyudut (Taborek, 1983). Variasi sudut
pengamatan diambil dari posisi arus datang
yang tegak lurus (90°) sampai kemiringan 30°.
Hasil pengamatannya menunjukkan bahwa
proses perpindahan kalor paling efektif terjadi
pada arus aliran yang datang tegak lurus
terhadap tube bundle. Begitu juga penelitian
yang pernah dilakukan Sappu (2000), dibuat
alat penukar kalor dengan variasi kemiringan
90°, 75°, 60° dan 45° terhadap sumbu alat dan
kemiringan sekat adalah sejajar. Fluida
pemanas adalah air dan fluida yang dipanaskan
adalah udara. Disimpulkan bahwa koefisien
perpindahan kalor konveksi dan kerugian
tekanan terbesar terjadi pada posisi kemiringan
sekat terbesar yaitu 90° (sekat tegak) dan
semakin berkurang dengan berkurangnya sudut
kemiringan sekat.
Pada penelitian ini, alat penukar kalor jenis
selongsong dan pipa dipasang sekat miring
tidak sejajar. Arah kemiringan sekat adalah
terhadap garis tegak lurus sumbu selongsong.
Ketidaksejajaran
pemasangan
sekat
ini
diharapkan dapat mengurangi pengaruh dari
zona mati. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui sejauh mana pengaruh pemasangan
sekat miring tidak sejajar terhadap koefisien
perpindahan kalor konveksi. Penelitian ini juga
akan mencari korelasi antara bilangan Nusselt
dan bilangan Reynolds.
METODE PENELITIAN
Alat Penelitian
Skema alat yang digunakan pada penelitian ini
adalah seperti pada Gambar 1. Selongsong alat
penukar kalor terbuat dari pipa besi galvanis
dengan diameter luar 16,8 cm dan panjang 170
cm. Bahan pipa adalah besi galvanis dengan
diameter luar pipa 1,9 cm dan panjang 100 cm.
Model alat penukar kalor memakai 4 buah pipa
dan aliran airnya satu laluan (single pass).
GAMBAR 1. Skema penelitian
M. Nadjib / Semesta Teknika, Vol. 15, No. 1, 35-42, Mei 2012
Pipa-pipa dirangkum dengan sekat. Jumlah
rangkuman pipa-sekat sebanyak 4 unit dengan
kemiringan sekat (θ) masing-masing adalah
0°, 15°, 30° dan 45° dan jumlahnya 6 buah tiap
unit. Alat dilengkapi dengan bak penampung,
bak air dingin dan bak air panas. Sumber air
panas dari pemanas listrik daya 800 W dan
dilengkapi
termostat
untuk mengatur
temperatur air. Untuk mensirkulasikan air
panas dipakai pompa daya 100 W sedang
sirkulasi air dingin secara gravitasi. Air panas
mengalir di dalam pipa sedangkan air dingin
melewati selongsong. Aliran air yang masuk
alat diatur dengan dua buah rotameter. Pada
sisi inlet dan outlet alat dipasang termokopel
tipe K dan pembacaannya menggunakan 4
channel data logger.
37
perpindahan kalor konveksi untuk setiap
variasi sudut kemiringan dan laju aliran air
pendingin, mencari korelasi antara bilangan
Nusselt (Nu) dan bilangan Reynolds (Re),
dan
membandingkan
kecenderungan
hubungan tersebut dengan
hasil yang
diperoleh peneliti sebelumnya.
Kalor konveksi yang diserap air pendingin
pada alat penukar kalor dinyatakan oleh
Incropera et al., (2007) seperti Persamaan
(1). Kalor ini dapat didefinisikan berdasar
konsep beda temperatur rata-rata logaritmik
seperti Persamaan (2).
Qkonveksi
m .c p .(To
Ti )
Qkonveksi
U o . Ao .F . Tm
(1)
(2)
Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian diawali dengan
pembukaan katup V7 dan V5 sehingga air dari
bak air dingin mengalir melalui alat penukar
kalor. Jika level air pada bak air panas telah
melebihi tinggi pemanas listrik maka pemanas
listrik dihidupkan. Setelah air panas mencapai
80 °C, pelan-pelan katup V2, V8 dan V4
dibuka sehingga air panas masuk ke bak
penampung. Temperatur air panas ini dapat
dipertahankan dengan mengatur tombol
pengaturan termostat. Laju aliran fluida
pendingin dapat diatur dengan rotameter air
sesuai kebutuhan penelitian.
Setelah besaran-besaran dari penunjukan alat
ukur menjadi stabil (temperatur, laju aliran air
pendingin, dan beda tekanan) dan tidak
terdapat kebocoran pada instalasi, maka
pencatatan besaran-besaran tersebut dilakukan
dan hasilnya diambil sebagai data pengamatan
penelitian. Setiap kali pengamatan dilakukan,
laju aliran air panas dibuat konstan (150
lt/jam). Variabel yang dipakai pada penelitian
ini adalah laju aliran air pendingin yaitu dibuat
variasi 75 lt/jam, 100 lt/jam, 125 lt/jam, 150
lt/jam, 175 lt/jam, dan 200 lt/jam. Variasi laju
aliran air ini dilakukan untuk setiap unit alat
penukar kalor dimana masing-masing unit
berbeda sudut kemiringannya.
Analisis Data
Data hasil pengamatan dilakukan analisis
yaitu menghitung koefisien perpindahan
kalor konveksi menyeluruh untuk setiap
variasi sudut kemiringan (θ) dan laju aliran
air
pendingin,
mencari
koefisien
Bila Persamaan (1) dan Persamaan (2)
disamakan, akan menghasilkan koefisien
perpindahan kalor konveksi menyeluruh
sisi luar pipa (Uo).
Uo
m .c p .(To Ti )
(3)
Ao .F . Tm
Koefisien perpindahan kalor
konveksi
selongsong (ho) dapat diperoleh dari
Persamaan (4).
ho
(4)
1
Ao 1
.
Ai hi
1
Uo
Ao ln (ro ri )
2 kL
Sedangkan koefisien perpindahan kalor
konveksi di dalam pipa (hi) dicari dengan
Persamaan (5).
Incropera et al. (2007)
memberikan persamaan Dittus-Boelter untuk
mencari bilangan Nusselt (Persamaan (6)).
hi
Nui
Nui .
k
di
(5)
0,023. Re 0D,8 . Pr0,3
.D
Re D
(6)
(7)
Untuk sekat tegak, bilangan Nusselt untuk
aliran di dalam selongsong dapat dikorelasikan
dengan bilangan Reynolds (Re) dan bilangan
Prandtl (Pr) (Holman, 1988):
Nu
h.
De
k
m. Re a . Prb
(8)
Harga m, a, dan b dapat diketahui dari hasil
penelitian.
38
M. Nadjib / Semesta Teknika, Vol. 15, No. 1, 35-42, Mei 2012
(a)
(b)
GAMBAR 1. Pengaruh laju aliran air pendingin dan variasi sudut sekat terhadap:
(a). koefisien perpindahan kalor menyeluruh (Uo)
(b). koefisien perpindahan kalor konveksi (ho)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Koefisien Perpindahan Kalor Konveksi Sisi
Luar Pipa
Hubungan koefisien perpindahan kalor
menyeluruh dan koefisien perpindahan kalor
konveksi sisi luar pipa terhadap laju aliran air
untuk beberapa variasi sudut kemiringan sekat
disajikan pada Gambar 1. Pada gambar tersebut
terlihat grafik koefisien perpindahan kalor
menyeluruh mempunyai pola yang sama
dengan grafik koefisien perpindahan kalor
konveksi sisi luar pipa, hanya saja nilainya
sedikit lebih besar pada grafik koefisien
perpindahan kalor konveksi.
Secara umum grafik pada Gambar 1 (a)
memperlihatkan kecenderungan bahwa nilai
koefisien
perpindahan
kalor
konveksi
menyeluruh semakin besar seiring dengan laju
aliran air pendingin. Menurut Persamaan (1),
kalor yang diserap air pendingin (Q) semakin
besar bila laju aliran massa (m) meningkat.
Peningkatan laju aliran massa ini diakibatkan
semakin besarnya laju aliran air pendingin yang
melewati selongsong. Di sisi lain berdasar
Persamaan (2), kalor yang diserap air pendingin
dipengaruhi oleh koefisien perpindahan kalor
menyeluruh (Uo). Semakin besar koefisien
perpindahan kalor menyeluruh maka jumlah
kalor yang diserap air pendingin semakin besar
pula. Koefisien perpindahan kalor menyeluruh
berkaitan dengan perpindahan kalor konveksi
sisi luar pipa (ho) sesuai Persamaan (4). Dari
Persamaan (4) diketahui bahwa bila harga
koefisien perpindahan kalor menyeluruh besar
maka harga koefisien perpindahan kalor
konveksi dari dinding luar pipa ke fluida
pendingin juga besar (Gambar 1 (b)). Selain hal
M. Nadjib / Semesta Teknika, Vol. 15, No. 1, 35-42, Mei 2012
tersebut,
fenomena meningkatnya
nilai
koefisien perpindahan kalor konveksi karena
naiknya laju aliran air pendingin dapat
diterangkan berdasar definisi perpindahan kalor
konveksi. Sebagaimana diketahui bahwa cara
perpindahan kalor konveksi terdiri dari dua
mekanisme. Pertama, pengangkutan energi
terjadi secara mikroskopis yaitu adanya gerakan
random molekul (difusi). Kalor terlebih dahulu
mengalir dengan cara konduksi dari permukaan
pipa ke partikel fluida di dekat dinding pipa.
Energi yang berpindah ini meningkatkan energi
dalam fluida. Kemudian perpindahan kalor
dilanjutkan dengan mekanisme kedua yaitu
pengangkutan energi dalam skala makroskopis
yang disebabkan gerakan fluida (adveksi) di
dalam daerah lapis batas. Berdasar mekanisme
kedua inilah maka semakin besar gerakan fluida
maka nilai koefisien perpindahan kalor
konveksi meningkat. Namun demikian menurut
Gambar 1, untuk sekat 15°, 30°, dan 45°
peningkatan nilai koefisien perpindahan kalor
konveksi tidak terjadi sepanjang kenaikan laju
aliran air pendingin. Untuk sekat 15° nilai
koefisien perpindahan kalor konveksinya mulai
menurun setelah laju aliran 175 lt/jam. Untuk
sekat 30° nilai koefisien perpindahan kalor
konveksi mulai menurun setelah laju aliran 125
lt/jam. Sedangkan untuk sekat 45°, nilai
koefisien perpindahan kalor konveksinya mulai
menurun setelah laju aliran 125 lt/jam.
Fenomena ini dimungkinkan terjadi oleh
adanya kebocoran air di antara sekat dan
dinding selongsong. Semakin besar kemiringan
sekat semakin rentan terhadap kebocoran air.
Faktor pabrikasi dapat menjadi sumber
terjadinya kebocoran karena sulit dihindari
adanya celah antara sekat dan dinding
selongsong. Kebocoran air pada daerah
pertemuan sekat dan tube bundles dianggap
tidak ada karena antara sekat dan tube bundles
dilas penuh. Adanya sejumlah air yang bocor
mengakibatkan tidak semua air pendingin
melewati susunan pipa yang bertemperatur
lebih tinggi. Dengan demikian temperatur air
pendingin keluar akan menurun. Penurunan
temperatur ini mengakibatkan kalor yang
diterima air pendingin berkurang. Sesuai
dengan persamaan (2) maka hal ini
mengakibatkan nilai koefisien perpindahan
kalor menyeluruh semakin rendah dan
dampaknya adalah harga koefisien perpindahan
kalor konveksinya berkurang. Kenyataan
kebocoran ini memang tidak dapat dihindari
(Saunders, 1988). Penyebabnya adalah adanya
aliran bypass yang terjadi di dalam selongsong.
Adanya celah yang mengakibatkan kebocoran
aliran secara signifikan mempengaruhi unjuk
kerja termal baik laju perpindahan kalor
maupun kerugian tekanan (Dibyo, 1995).
Di antara keempat kemiringan sekat ternyata
sekat dengan sudut 0° mempunyai nilai
koefisien perpindahan kalor konveksi tertinggi.
Aliran air pendingin pada sekat 0° menimpa
susunan pipa dengan arah tegak lurus
(melintang). Untuk fluida yang mengalir tegak
lurus susunan pipa, pada pipa baris pertama
berlaku sebagaimana aliran melintang silinder
tunggal dimana mula-mula aliran fluida
berbentuk streamline, kemudian setelah
melewati separation point terjadi olakan (di sisi
belakang pipa). Olakan ini kemudian melewati
pipa pada baris berikutnya sebagai upstream
dan akhirnya olakan menjadi lebih besar pada
sisi downstream. Pengaruh olakan aliran ini
mengakibatkan tingkat sapuan permukaan pipa
oleh fluida menjadi lebih besar dan berdampak
pada transfer kalor yang besar. Semakin banyak
baris pipa yang digunakan maka semakin besar
pula laju perpindahan kalor konveksi yang
terjadi. Selain hal itu, pabrikasi sekat 0° relatif
lebih mudah dan lebih presisi dari pada sekat
miring sehingga faktor kebocoran air dapat
diminimalkan. Artinya adalah jumlah air
pendingin yang menyentuh susunan pipa lebih
banyak sehingga kalor yang diterima air lebih
besar. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Sappu (2000) bahwa koefisien
perpindahan kalor konveksi terbesar terjadi
pada posisi kemiringan sekat terbesar yaitu 90°
(sekat tegak) dan semakin berkurang dengan
berkurangnya sudut kemiringan sekat.
Hubungan Bilangan Nusselt dan Bilangan
Reynolds Sisi Selongsong
Pada
Gambar
2
ditampilkan
grafik
kecenderungan hubungan antara bilangan
Nusselt dan bilangan Reynolds selama
pengujian. Bilangan Nusselt berbanding lurus
dengan bilangan Reynolds sebagaimana
Persamaan (8). Semakin besar bilangan
Reynolds maka semakin besar pula bilangan
Nusselt. Dengan kata lain, semakin besar laju
aliran massa air maka harga bilangan Nusselt
semakin tinggi.
39
M. Nadjib / Semesta Teknika, Vol. 15, No. 1, 35-42, Mei 2012
40
GAMBAR 2. Hubungan bilangan Reynolds (Re) dan bilangan Nusselt (Nu)
untuk berbagai variasi sudut sekat dan laju aliran air pendingin
Fenomena ini sesuai dengan pernyataan
Incropera et al. (2007) bahwa untuk aliran
melintang silinder, semakin besar bilangan
Reynolds akan meningkatkan bilangan Nusselt
karena lapis batas yang timbul semakin tipis.
Sebagaimana tertera pada Gambar 2, grafik
hubungan bilangan Reynolds dan bilangan
Nusselt untuk sekat 0° berada pada posisi lebih
tinggi dibanding sekat lainnya. Kondisi ini erat
hubungannya dengan posisi pemasangan sekat
dimana ada fungsi sudut dalam persamaan
bilangan Nusselt (Persamaan (8)). Oleh karena
itu seperti halnya Sappu (2000), Persamaan (8)
harus dikoreksi terhadap sudut kemiringan
sekat.
Korelasi Bilangan Nusselt dan Bilangan
Reynolds Sisi Selongsong
Korelasi empiris unjuk kerja termal merupakan
suatu formula yang menunjukkan pengaruh
berbagai variabel yang dapat menentukan besar
kecilnya perpindahan kalor yang terjadi pada
alat penukar kalor. Persamaan korelasi ini
dibangun berdasarkan data penelitian dan
perhitungan. Berdasarkan hasil pada Gambar 2,
perlu pengembangan dari Persamaan (8) yakni
dengan memasukkan faktor kemiringan sekat.
Persamaan yang dimaksud adalah:
Dalam statistik, bentuk Persamaan (9)
dinamakan “power equation”. Persamaan ini
digunakan untuk menentukan korelasi antara
satu variabel dependen dengan dua atau lebih
variabel independen lainnya yang non-linier.
Teknik untuk mendapatkan korelasi antara
variabel dependen dengan variabel independen
ialah dengan menggunakan analisis regresi
linier. Teknik ini dapat memprediksi dengan
baik hubungan antar variabel. Oleh karena itu,
persamaan di atas harus diubah menjadi
persamaan regresi linier berganda dengan
mentransformasikan
ke
dalam
bentuk
logaritma, yaitu:
Nu m. Re a . Prb . cos c
log Nu = log m + a log Re + b log Pr
+ c log (cos θ)
Untuk mendapatkan korelasi, maka parameterparameter tersebut harus diubah dalam bentuk
dasar logaritma seperti pada Tabel 1. Setelah
diubah dalam bentuk logaritma, selanjutnya
dengan menggunakan menu regression pada
perangkat lunak excell, plot nilai Nusselt ke
sumbu y, sedangkan nilai Reynolds, nilai
Prandtl dan cos diplot ke sumbu x. Berdasar
ploting diperoleh hasil sebagai berikut:
log m = -6,21, maka m = 6,14 10 -7
(9)
a = 0,38
dengan m, a, b, dan c adalah konstanta dan θ
adalah sudut kemiringan sekat.
b = 8,90
Nu
m. Re a . Prb . cos
c
M. Nadjib / Semesta Teknika, Vol. 15, No. 1, 35-42, Mei 2012
c = 2,58
aliran air pendingin adalah laminar sehingga
nilai bilangan Reynoldsnya rendah. Di sisi lain
nilai bilangan Prandlt cukup besar. Mengingat
hal tersebut, dalam penelitian ini yang berperan
lebih dominan dalam transfer kalor adalah
bilangan Prandlt.
log Nu = log m + a log Re + b log Pr
+ c log (cos θ)
log Nu = log -6,21 + 0,38 log Re
+ 8,90 log Pr + 2,58 log (cos θ)
Korelasi Nu dan Re untuk kemiringan sekat (θ)
telah dinyatakan oleh Sappu (2000), yaitu :
Jadi persamaan korelasi empiris Nu adalah:
6,14 10 7. Re 0,38 . Pr 8,90 .(cos ) 2,58
Nu
Persamaan ini berlaku untuk:
Bilangan Reynolds: 474 Re
Bilangan Prandtl: 5,10 Pr
Sudut kemiringan sekat:
0 , 15 , 30 , 45
Nu = 0,26 . Re0,58 . (sin θ)0,91
1347
5,60
Memperhatikan korelasi empirik di atas, terlihat
bahwa pengaruh bilangan Prandlt lebih besar
dibanding bilangan Reynolds. Arti fisis
bilangan Prandlt adalah perbandingan dari dua
sifat angkutan molekular yaitu momentum
aliran yang mempengaruhi distribusi kecepatan
dan difusivitas termal yang mempengaruhi
profil
temperatur.
Sedangkan
bilangan
Reynolds adalah perbandingan gaya inersia
terhadap gaya viskos (Bejan, 1993). Rezim
Bentuk korelasi penelitian terdahulu berbeda
dengan hasil korelasi penelitian ini yang
disebabkan oleh:
1. Penelitian sebelumnya memakai udara
sebagai fluida pendingin (Sappu, 2000)
sehingga harga bilangan Prandtl rendah (≈
0,7) (Koestoer, 2002) sedangkan dalam
penelitian ini memakai air yang harus
memperhitungkan bilangan Prandtl.
2. Sekat pada penelitian sebelumnya adalah
tersusun sejajar dengan sudut θ dibentuk
dari sekat terhadap sumbu alat penukar
kalor (θ = 90° berarti sekat tegak lurus).
TABEL 1. Nilai bilangan Nu, Re, Pr, dan cos
Sudut sekat
(derajat)
0
15
30
45
0
15
30
45
0
15
30
45
0
15
30
45
0
15
30
45
0
15
30
45
Aliran air
(lt/jam)
200
175
150
125
100
75
41
dalam bentuk logaritma
log Nu
log Re
log Pr
log cos θ
1.67
1.17
1.14
1.14
1.63
1.24
1.32
1.06
1.55
1.16
1.32
1.08
1.51
1.06
1.33
1.17
1.42
0.97
1.17
1.13
1.32
0.98
1.12
0.95
3.10
3.13
3.12
3.10
3.05
3.07
3.06
3.04
2.98
3.00
3.00
2.97
2.91
2.92
2.92
2.91
2.81
2.82
2.82
2.81
2.68
2.70
2.70
2.68
0.74
0.71
0.72
0.75
0.73
0.71
0.72
0.75
0.73
0.72
0.72
0.75
0.73
0.72
0.72
0.73
0.73
0.71
0.72
0.73
0.73
0.71
0.72
0.74
0.00
-0.02
-0.06
-0.15
0.00
-0.02
-0.06
-0.15
0.00
-0.02
-0.06
-0.15
0.00
-0.02
-0.06
-0.15
0.00
-0.02
-0.06
-0.15
0.00
-0.02
-0.06
-0.15
42
M. Nadjib / Semesta Teknika, Vol. 15, No. 1, 35-42, Mei 2012
Pada penelitian ini digunakan sekat miring
tidak sejajar dengan sudut θ dibentuk dari
sekat terhadap garis tegak lurus sumbu alat
penukar kalor (θ = 0° berarti sekat tegak
lurus).
3. Pengaruh kemiringan sekat pada penelitian
sebelumnya terlihat dari fungsi sinus (sin
θ), sedangkan pada penelitian ini memakai
fungsi cosinus (cos θ). Hal ini disebabkan
karena
pengambilan
acuan
sudut
kemiringan sekat yang berbeda. Pada
penelitian ini sudut kemiringan sekat
diambil dengan acuan tegak lurus sumbu
selongsong, sedangkan pada penelitian
sebelumnya sudut kemiringan diambil
dengan acuan sumbu selongsong.
KESIMPULAN
1. Nilai koefisien perpindahan kalor konveksi
turun seiring dengan kenaikan sudut
pemasangan sekat. Pemasangan sekat 0°
(sekat tegak) lebih baik dari pada sekat
miring.
2. Zona mati pada sekat miring di satu pihak
tereliminir tetapi berdampak munculnya
zona mati baru yang menghambat transfer
kalor.
3. Untuk alat penukar kalor jenis shell and
tube yang dipasang sekat miring, faktor
sudut (cos θ) harus ditambahkan pada
hubungan antara bilangan Nusselt dengan
bilangan Reynolds dan bilangan Prandtl.
UCAPAN TERIMA KASIH
Industrial and Engineering Chemical,
vol. 49, no. 6, Juni 1957, pp. 998-1012.
Habib, M.A., Mobarak, A.M., Sallak, M.A.,
Hadi, E.A.A. & Affiry, R.I. (1994).
Experimental Investigation of Heat
Transfer and Flow Over Baffles of
Different Heights. J. of Heat Transfer,
vol. 166, pp. 363-368.
Holman, J.P. & Jasti, E. (1988). Perpindahan
Kalor. Jakarta : Erlangga.
Incropera, F.P., Dewitt, D.P., Bergman, T.L. &
Lavine, A.S. (2007). Fundamentals of
Heat and Mass Transfer. Sixth Edition.
New Jersey: John Wiley & Sons.
Kern, D.Q. (1983). Process Heat Transfer. 2nd
Edition. Tokyo: McGraw-Hill Book
Company Inc.
Koestoer, R.A. (2002). Perpindahan Kalor.
Jakarta: Salemba Teknika.
Mukherjee, R. (1996). Don't Let Baffling
Baffle You. J. Chemical Eng. April
1996, pp.72-79.
Mukherjee, R. (1998). Effectively Design
Shell and Tube Heat Exchangers. J.
Chemical Eng., Feb. 1998, pp. 21-37.
Rubin, F.L. (1992). Heat Transfer Topics
Often Overlooked. J. Chemical Eng.
Augs. 1992. pp. 74-85.
Sappu, F.P. (2000). Investigasi Pengaruh
Sudut Kemiringan Baffle Terhadap
Unjuk Kerja Termal dan Kerugian
Tekanan pada Alat Penukar Kalor Jenis
Shell and Tube. Yogyakarta: PPS UGM.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi lewat
TPSDP sehingga penelitian ini dapat
dilaksanakan.
Saunders, E.A.D. (1988). Heat Exchanger
Selection, Design and Construction.
England: Longman Scientific and
Technical.
DAFTAR PUSTAKA
Taborek, J. (1983). Heat Exchanger Theory
and Practice. Washington: Hemisphere
Publishing Corporation.
Bejan, A. (1993). Heat Transfer. New York:
John Wiley & Sons.
Dibyo, S. (1995). Studi Baffle Leakage pada
Penukar Panas Shell – Tube. Jakarta:
Pusat Reaktor Serba Guna - BATAN.
Gupta. (1957). Flow Patterns for Predicting
Shellside Heat Exchanger Coefficient for
Baffled Shell-Tube Exchanger. J.
PENULIS:
Muhammad Nadjib
Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jalan
Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan, Bantul
55183.
Email: [email protected]
Vol. 15, No. 1, 35-42, Mei 2012
35
Perpindahan Kalor pada Penukar Kalor Selongsong dan Pipa
Memakai Sekat Miring Tidak Sejajar
(Heat Transfer on Shell-and-Tube Heat Exchanger Using an Un-parallell Tilted-Baffle)
MUHAMMAD NADJIB
ABSTRACT
Generally speaking, baffle installation of a shell-and-tube heat exchanger is in
straight-standing with respect to shell axis. A common problem of this arrangement
is that there will be found a stagnant fluid condition in the death-zone. The impact is
the heat transfer coefficient could not reach an optimum value. Based on baffle
configuration, the death-zone effect can be minimized by installing an un-parallel
tilted baffle. The purpose of this research is to investigate the effect of using nonparallel tilted baffle on heat transfer coefficient. The heat exchanger model was made
with single pass fluids. Hot water is going through inside the tube bundles and cold
water pass is in the shell. The baffle was installed in various angle of 0°, 15°, 30°,
and 45° with respect to shell axis. The cold water flow rates were varied from 75
l/hr, 100 l/hr, 125 l/hr, 150 l/hr, 175 l/hr, to 200 l/hr. The hot water flow rate was
fixed at 150 l/hr. Temperature of the hot and cold water at inlet and outlet was
recorded by means of K type thermocouple and data logger. The data was then
analyzed to obtain the convection heat transfer coefficient. The data were also used
to determine the empirical correlation of Nusselt number and Reynolds number. The
results indicate that baffle in angle 0° produce the highest convection heat transfer
coefficient. Installing the baffle at tilted position is not significant in convection heat
transfer coefficient. The empirical correlation of Nusselt number and Reynolds
number is influenced by angle function of the baffle.
Keywords: heat exchanger, shell and tube, baffle, heat transfer coefficient, Nusselt
number
PENDAHULUAN
Salah satu jenis alat penukar kalor (heat
exchanger) yang banyak digunakan di industri
adalah tipe selongsong dan pipa (shell and
tube). Konstruksi alat ini terdiri dari satu
selongsong dan lebih dari satu pipa yang
disusun dengan teratur dan kompak serta
dilengkapi dengan beberapa sekat (baff1e).
Biasanya sekat terpasang tegak lurus sumbu
selongsong. Susunan pipa dan sekat (biasa
disebut tube bundle) berada di dalam
selongsong. Fungsi sekat adalah untuk
menopang susunan pipa agar tidak terjadi
defleksi pipa akibat berat dan getaran yang
terjadi karena pengaruh aliran di dalam dan di
luar pipa. Selain itu, Kern (1983) menyatakan
pemasangan sekat mengarahkan aliran di dalam
selongsong melintang terhadap tube bundle dan
mengakibatkan aliran menjadi turbulen. Dengan
demikian
koefisien
perpindahan
kalor
meningkat jika dibandingkan aliran tanpa sekat
yang mengalir aksial sepanjang sumbu alat
penukar kalor. Kern (1983) menambahkan
bahwa semakin banyak jumlah sekat maka
derajat turbulensi dan kerugian tekanan
semakin meningkat. Hasil penelitian Rubin
(1992) menunjukkan bahwa pada setiap variasi
pengurangan jarak sekat (baffle spacing)
peningkatan kerugian tekanan justru lebih besar
dari pada penambahan laju perpindahan kalor.
Selain itu, Mukherjee (1996) menyatakan
bahwa kalkulasi perancangan untuk parameter
sekat adalah paling rumit. Kemudian Mukherjee
(1998) kembali mengemukakan pemotongan
sekat yang ideal adalah antara 20% - 35%
terhadap diameter selongsong. Jika pemotongan
sekat di luar harga tersebut maka unjuk kerja
36
M. Nadjib / Semesta Teknika, Vol. 15, No. 1, 35-42, Mei 2012
termal akan menurun. Hal senada diketahui
dari penelitian Habib et al. (1994) yang
menunjukkan semakin bertambah ketinggian
sekat, semakin bertambah pula kerugian
tekanan dan laju perpindahan kalor, tetapi
kenaikan kerugian tekanan relatif lebih besar
dibanding kenaikan laju perpindahan kalor.
Aliran fluida di dalam alat penukar kalor secara
umum terjadi pada dua lintasan yang terpisah
satu sama lain yaitu sisi selongsong (shell side)
dan sisi pipa (tube side). Area lintasan fluida
dalam selongsong yang terbentuk dari
pemasangan sekat pada prinsipnya terbagi
menjadi tiga zona karakteristik aliran (Gupta,
1957). Tiap-tiap zona mempunyai korelasi
koefisien perpindahan kalor yang berlainan.
Ketiga zona tersebut adalah zona aliran
menyilang, zona aliran longitudinal dan zona
mati. Zona aliran menyilang adalah daerah di
antara dua sekat dimana fluida melintas
menyilang
tube
bundle.
Zona
aliran
longitudinal adalah daerah aliran fluida di
jendela sekat, sedang zona mati adalah daerah
sudut di dalam sisi selongsong dengan aliran
fluida cenderung tidak bergerak. Dari sisi zona
aliran, pada prinsipnya zona mati harus
diminimalkan karena terjadi stagnasi aliran
sehingga dapat menurunkan unjuk kerja termal.
Agar pengaruh zona mati minimal maka posisi
pemasangan sekat dapat dibuat miring karena
gerakan fluida dapat bebas dan tidak tertahan
oleh sekat yang tegak lurus sumbu alat penukar
kalor.
Pernah dilakukan penelitian aliran arus fluida
yang melintas tube bundle dalam posisi
menyudut (Taborek, 1983). Variasi sudut
pengamatan diambil dari posisi arus datang
yang tegak lurus (90°) sampai kemiringan 30°.
Hasil pengamatannya menunjukkan bahwa
proses perpindahan kalor paling efektif terjadi
pada arus aliran yang datang tegak lurus
terhadap tube bundle. Begitu juga penelitian
yang pernah dilakukan Sappu (2000), dibuat
alat penukar kalor dengan variasi kemiringan
90°, 75°, 60° dan 45° terhadap sumbu alat dan
kemiringan sekat adalah sejajar. Fluida
pemanas adalah air dan fluida yang dipanaskan
adalah udara. Disimpulkan bahwa koefisien
perpindahan kalor konveksi dan kerugian
tekanan terbesar terjadi pada posisi kemiringan
sekat terbesar yaitu 90° (sekat tegak) dan
semakin berkurang dengan berkurangnya sudut
kemiringan sekat.
Pada penelitian ini, alat penukar kalor jenis
selongsong dan pipa dipasang sekat miring
tidak sejajar. Arah kemiringan sekat adalah
terhadap garis tegak lurus sumbu selongsong.
Ketidaksejajaran
pemasangan
sekat
ini
diharapkan dapat mengurangi pengaruh dari
zona mati. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui sejauh mana pengaruh pemasangan
sekat miring tidak sejajar terhadap koefisien
perpindahan kalor konveksi. Penelitian ini juga
akan mencari korelasi antara bilangan Nusselt
dan bilangan Reynolds.
METODE PENELITIAN
Alat Penelitian
Skema alat yang digunakan pada penelitian ini
adalah seperti pada Gambar 1. Selongsong alat
penukar kalor terbuat dari pipa besi galvanis
dengan diameter luar 16,8 cm dan panjang 170
cm. Bahan pipa adalah besi galvanis dengan
diameter luar pipa 1,9 cm dan panjang 100 cm.
Model alat penukar kalor memakai 4 buah pipa
dan aliran airnya satu laluan (single pass).
GAMBAR 1. Skema penelitian
M. Nadjib / Semesta Teknika, Vol. 15, No. 1, 35-42, Mei 2012
Pipa-pipa dirangkum dengan sekat. Jumlah
rangkuman pipa-sekat sebanyak 4 unit dengan
kemiringan sekat (θ) masing-masing adalah
0°, 15°, 30° dan 45° dan jumlahnya 6 buah tiap
unit. Alat dilengkapi dengan bak penampung,
bak air dingin dan bak air panas. Sumber air
panas dari pemanas listrik daya 800 W dan
dilengkapi
termostat
untuk mengatur
temperatur air. Untuk mensirkulasikan air
panas dipakai pompa daya 100 W sedang
sirkulasi air dingin secara gravitasi. Air panas
mengalir di dalam pipa sedangkan air dingin
melewati selongsong. Aliran air yang masuk
alat diatur dengan dua buah rotameter. Pada
sisi inlet dan outlet alat dipasang termokopel
tipe K dan pembacaannya menggunakan 4
channel data logger.
37
perpindahan kalor konveksi untuk setiap
variasi sudut kemiringan dan laju aliran air
pendingin, mencari korelasi antara bilangan
Nusselt (Nu) dan bilangan Reynolds (Re),
dan
membandingkan
kecenderungan
hubungan tersebut dengan
hasil yang
diperoleh peneliti sebelumnya.
Kalor konveksi yang diserap air pendingin
pada alat penukar kalor dinyatakan oleh
Incropera et al., (2007) seperti Persamaan
(1). Kalor ini dapat didefinisikan berdasar
konsep beda temperatur rata-rata logaritmik
seperti Persamaan (2).
Qkonveksi
m .c p .(To
Ti )
Qkonveksi
U o . Ao .F . Tm
(1)
(2)
Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian diawali dengan
pembukaan katup V7 dan V5 sehingga air dari
bak air dingin mengalir melalui alat penukar
kalor. Jika level air pada bak air panas telah
melebihi tinggi pemanas listrik maka pemanas
listrik dihidupkan. Setelah air panas mencapai
80 °C, pelan-pelan katup V2, V8 dan V4
dibuka sehingga air panas masuk ke bak
penampung. Temperatur air panas ini dapat
dipertahankan dengan mengatur tombol
pengaturan termostat. Laju aliran fluida
pendingin dapat diatur dengan rotameter air
sesuai kebutuhan penelitian.
Setelah besaran-besaran dari penunjukan alat
ukur menjadi stabil (temperatur, laju aliran air
pendingin, dan beda tekanan) dan tidak
terdapat kebocoran pada instalasi, maka
pencatatan besaran-besaran tersebut dilakukan
dan hasilnya diambil sebagai data pengamatan
penelitian. Setiap kali pengamatan dilakukan,
laju aliran air panas dibuat konstan (150
lt/jam). Variabel yang dipakai pada penelitian
ini adalah laju aliran air pendingin yaitu dibuat
variasi 75 lt/jam, 100 lt/jam, 125 lt/jam, 150
lt/jam, 175 lt/jam, dan 200 lt/jam. Variasi laju
aliran air ini dilakukan untuk setiap unit alat
penukar kalor dimana masing-masing unit
berbeda sudut kemiringannya.
Analisis Data
Data hasil pengamatan dilakukan analisis
yaitu menghitung koefisien perpindahan
kalor konveksi menyeluruh untuk setiap
variasi sudut kemiringan (θ) dan laju aliran
air
pendingin,
mencari
koefisien
Bila Persamaan (1) dan Persamaan (2)
disamakan, akan menghasilkan koefisien
perpindahan kalor konveksi menyeluruh
sisi luar pipa (Uo).
Uo
m .c p .(To Ti )
(3)
Ao .F . Tm
Koefisien perpindahan kalor
konveksi
selongsong (ho) dapat diperoleh dari
Persamaan (4).
ho
(4)
1
Ao 1
.
Ai hi
1
Uo
Ao ln (ro ri )
2 kL
Sedangkan koefisien perpindahan kalor
konveksi di dalam pipa (hi) dicari dengan
Persamaan (5).
Incropera et al. (2007)
memberikan persamaan Dittus-Boelter untuk
mencari bilangan Nusselt (Persamaan (6)).
hi
Nui
Nui .
k
di
(5)
0,023. Re 0D,8 . Pr0,3
.D
Re D
(6)
(7)
Untuk sekat tegak, bilangan Nusselt untuk
aliran di dalam selongsong dapat dikorelasikan
dengan bilangan Reynolds (Re) dan bilangan
Prandtl (Pr) (Holman, 1988):
Nu
h.
De
k
m. Re a . Prb
(8)
Harga m, a, dan b dapat diketahui dari hasil
penelitian.
38
M. Nadjib / Semesta Teknika, Vol. 15, No. 1, 35-42, Mei 2012
(a)
(b)
GAMBAR 1. Pengaruh laju aliran air pendingin dan variasi sudut sekat terhadap:
(a). koefisien perpindahan kalor menyeluruh (Uo)
(b). koefisien perpindahan kalor konveksi (ho)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Koefisien Perpindahan Kalor Konveksi Sisi
Luar Pipa
Hubungan koefisien perpindahan kalor
menyeluruh dan koefisien perpindahan kalor
konveksi sisi luar pipa terhadap laju aliran air
untuk beberapa variasi sudut kemiringan sekat
disajikan pada Gambar 1. Pada gambar tersebut
terlihat grafik koefisien perpindahan kalor
menyeluruh mempunyai pola yang sama
dengan grafik koefisien perpindahan kalor
konveksi sisi luar pipa, hanya saja nilainya
sedikit lebih besar pada grafik koefisien
perpindahan kalor konveksi.
Secara umum grafik pada Gambar 1 (a)
memperlihatkan kecenderungan bahwa nilai
koefisien
perpindahan
kalor
konveksi
menyeluruh semakin besar seiring dengan laju
aliran air pendingin. Menurut Persamaan (1),
kalor yang diserap air pendingin (Q) semakin
besar bila laju aliran massa (m) meningkat.
Peningkatan laju aliran massa ini diakibatkan
semakin besarnya laju aliran air pendingin yang
melewati selongsong. Di sisi lain berdasar
Persamaan (2), kalor yang diserap air pendingin
dipengaruhi oleh koefisien perpindahan kalor
menyeluruh (Uo). Semakin besar koefisien
perpindahan kalor menyeluruh maka jumlah
kalor yang diserap air pendingin semakin besar
pula. Koefisien perpindahan kalor menyeluruh
berkaitan dengan perpindahan kalor konveksi
sisi luar pipa (ho) sesuai Persamaan (4). Dari
Persamaan (4) diketahui bahwa bila harga
koefisien perpindahan kalor menyeluruh besar
maka harga koefisien perpindahan kalor
konveksi dari dinding luar pipa ke fluida
pendingin juga besar (Gambar 1 (b)). Selain hal
M. Nadjib / Semesta Teknika, Vol. 15, No. 1, 35-42, Mei 2012
tersebut,
fenomena meningkatnya
nilai
koefisien perpindahan kalor konveksi karena
naiknya laju aliran air pendingin dapat
diterangkan berdasar definisi perpindahan kalor
konveksi. Sebagaimana diketahui bahwa cara
perpindahan kalor konveksi terdiri dari dua
mekanisme. Pertama, pengangkutan energi
terjadi secara mikroskopis yaitu adanya gerakan
random molekul (difusi). Kalor terlebih dahulu
mengalir dengan cara konduksi dari permukaan
pipa ke partikel fluida di dekat dinding pipa.
Energi yang berpindah ini meningkatkan energi
dalam fluida. Kemudian perpindahan kalor
dilanjutkan dengan mekanisme kedua yaitu
pengangkutan energi dalam skala makroskopis
yang disebabkan gerakan fluida (adveksi) di
dalam daerah lapis batas. Berdasar mekanisme
kedua inilah maka semakin besar gerakan fluida
maka nilai koefisien perpindahan kalor
konveksi meningkat. Namun demikian menurut
Gambar 1, untuk sekat 15°, 30°, dan 45°
peningkatan nilai koefisien perpindahan kalor
konveksi tidak terjadi sepanjang kenaikan laju
aliran air pendingin. Untuk sekat 15° nilai
koefisien perpindahan kalor konveksinya mulai
menurun setelah laju aliran 175 lt/jam. Untuk
sekat 30° nilai koefisien perpindahan kalor
konveksi mulai menurun setelah laju aliran 125
lt/jam. Sedangkan untuk sekat 45°, nilai
koefisien perpindahan kalor konveksinya mulai
menurun setelah laju aliran 125 lt/jam.
Fenomena ini dimungkinkan terjadi oleh
adanya kebocoran air di antara sekat dan
dinding selongsong. Semakin besar kemiringan
sekat semakin rentan terhadap kebocoran air.
Faktor pabrikasi dapat menjadi sumber
terjadinya kebocoran karena sulit dihindari
adanya celah antara sekat dan dinding
selongsong. Kebocoran air pada daerah
pertemuan sekat dan tube bundles dianggap
tidak ada karena antara sekat dan tube bundles
dilas penuh. Adanya sejumlah air yang bocor
mengakibatkan tidak semua air pendingin
melewati susunan pipa yang bertemperatur
lebih tinggi. Dengan demikian temperatur air
pendingin keluar akan menurun. Penurunan
temperatur ini mengakibatkan kalor yang
diterima air pendingin berkurang. Sesuai
dengan persamaan (2) maka hal ini
mengakibatkan nilai koefisien perpindahan
kalor menyeluruh semakin rendah dan
dampaknya adalah harga koefisien perpindahan
kalor konveksinya berkurang. Kenyataan
kebocoran ini memang tidak dapat dihindari
(Saunders, 1988). Penyebabnya adalah adanya
aliran bypass yang terjadi di dalam selongsong.
Adanya celah yang mengakibatkan kebocoran
aliran secara signifikan mempengaruhi unjuk
kerja termal baik laju perpindahan kalor
maupun kerugian tekanan (Dibyo, 1995).
Di antara keempat kemiringan sekat ternyata
sekat dengan sudut 0° mempunyai nilai
koefisien perpindahan kalor konveksi tertinggi.
Aliran air pendingin pada sekat 0° menimpa
susunan pipa dengan arah tegak lurus
(melintang). Untuk fluida yang mengalir tegak
lurus susunan pipa, pada pipa baris pertama
berlaku sebagaimana aliran melintang silinder
tunggal dimana mula-mula aliran fluida
berbentuk streamline, kemudian setelah
melewati separation point terjadi olakan (di sisi
belakang pipa). Olakan ini kemudian melewati
pipa pada baris berikutnya sebagai upstream
dan akhirnya olakan menjadi lebih besar pada
sisi downstream. Pengaruh olakan aliran ini
mengakibatkan tingkat sapuan permukaan pipa
oleh fluida menjadi lebih besar dan berdampak
pada transfer kalor yang besar. Semakin banyak
baris pipa yang digunakan maka semakin besar
pula laju perpindahan kalor konveksi yang
terjadi. Selain hal itu, pabrikasi sekat 0° relatif
lebih mudah dan lebih presisi dari pada sekat
miring sehingga faktor kebocoran air dapat
diminimalkan. Artinya adalah jumlah air
pendingin yang menyentuh susunan pipa lebih
banyak sehingga kalor yang diterima air lebih
besar. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Sappu (2000) bahwa koefisien
perpindahan kalor konveksi terbesar terjadi
pada posisi kemiringan sekat terbesar yaitu 90°
(sekat tegak) dan semakin berkurang dengan
berkurangnya sudut kemiringan sekat.
Hubungan Bilangan Nusselt dan Bilangan
Reynolds Sisi Selongsong
Pada
Gambar
2
ditampilkan
grafik
kecenderungan hubungan antara bilangan
Nusselt dan bilangan Reynolds selama
pengujian. Bilangan Nusselt berbanding lurus
dengan bilangan Reynolds sebagaimana
Persamaan (8). Semakin besar bilangan
Reynolds maka semakin besar pula bilangan
Nusselt. Dengan kata lain, semakin besar laju
aliran massa air maka harga bilangan Nusselt
semakin tinggi.
39
M. Nadjib / Semesta Teknika, Vol. 15, No. 1, 35-42, Mei 2012
40
GAMBAR 2. Hubungan bilangan Reynolds (Re) dan bilangan Nusselt (Nu)
untuk berbagai variasi sudut sekat dan laju aliran air pendingin
Fenomena ini sesuai dengan pernyataan
Incropera et al. (2007) bahwa untuk aliran
melintang silinder, semakin besar bilangan
Reynolds akan meningkatkan bilangan Nusselt
karena lapis batas yang timbul semakin tipis.
Sebagaimana tertera pada Gambar 2, grafik
hubungan bilangan Reynolds dan bilangan
Nusselt untuk sekat 0° berada pada posisi lebih
tinggi dibanding sekat lainnya. Kondisi ini erat
hubungannya dengan posisi pemasangan sekat
dimana ada fungsi sudut dalam persamaan
bilangan Nusselt (Persamaan (8)). Oleh karena
itu seperti halnya Sappu (2000), Persamaan (8)
harus dikoreksi terhadap sudut kemiringan
sekat.
Korelasi Bilangan Nusselt dan Bilangan
Reynolds Sisi Selongsong
Korelasi empiris unjuk kerja termal merupakan
suatu formula yang menunjukkan pengaruh
berbagai variabel yang dapat menentukan besar
kecilnya perpindahan kalor yang terjadi pada
alat penukar kalor. Persamaan korelasi ini
dibangun berdasarkan data penelitian dan
perhitungan. Berdasarkan hasil pada Gambar 2,
perlu pengembangan dari Persamaan (8) yakni
dengan memasukkan faktor kemiringan sekat.
Persamaan yang dimaksud adalah:
Dalam statistik, bentuk Persamaan (9)
dinamakan “power equation”. Persamaan ini
digunakan untuk menentukan korelasi antara
satu variabel dependen dengan dua atau lebih
variabel independen lainnya yang non-linier.
Teknik untuk mendapatkan korelasi antara
variabel dependen dengan variabel independen
ialah dengan menggunakan analisis regresi
linier. Teknik ini dapat memprediksi dengan
baik hubungan antar variabel. Oleh karena itu,
persamaan di atas harus diubah menjadi
persamaan regresi linier berganda dengan
mentransformasikan
ke
dalam
bentuk
logaritma, yaitu:
Nu m. Re a . Prb . cos c
log Nu = log m + a log Re + b log Pr
+ c log (cos θ)
Untuk mendapatkan korelasi, maka parameterparameter tersebut harus diubah dalam bentuk
dasar logaritma seperti pada Tabel 1. Setelah
diubah dalam bentuk logaritma, selanjutnya
dengan menggunakan menu regression pada
perangkat lunak excell, plot nilai Nusselt ke
sumbu y, sedangkan nilai Reynolds, nilai
Prandtl dan cos diplot ke sumbu x. Berdasar
ploting diperoleh hasil sebagai berikut:
log m = -6,21, maka m = 6,14 10 -7
(9)
a = 0,38
dengan m, a, b, dan c adalah konstanta dan θ
adalah sudut kemiringan sekat.
b = 8,90
Nu
m. Re a . Prb . cos
c
M. Nadjib / Semesta Teknika, Vol. 15, No. 1, 35-42, Mei 2012
c = 2,58
aliran air pendingin adalah laminar sehingga
nilai bilangan Reynoldsnya rendah. Di sisi lain
nilai bilangan Prandlt cukup besar. Mengingat
hal tersebut, dalam penelitian ini yang berperan
lebih dominan dalam transfer kalor adalah
bilangan Prandlt.
log Nu = log m + a log Re + b log Pr
+ c log (cos θ)
log Nu = log -6,21 + 0,38 log Re
+ 8,90 log Pr + 2,58 log (cos θ)
Korelasi Nu dan Re untuk kemiringan sekat (θ)
telah dinyatakan oleh Sappu (2000), yaitu :
Jadi persamaan korelasi empiris Nu adalah:
6,14 10 7. Re 0,38 . Pr 8,90 .(cos ) 2,58
Nu
Persamaan ini berlaku untuk:
Bilangan Reynolds: 474 Re
Bilangan Prandtl: 5,10 Pr
Sudut kemiringan sekat:
0 , 15 , 30 , 45
Nu = 0,26 . Re0,58 . (sin θ)0,91
1347
5,60
Memperhatikan korelasi empirik di atas, terlihat
bahwa pengaruh bilangan Prandlt lebih besar
dibanding bilangan Reynolds. Arti fisis
bilangan Prandlt adalah perbandingan dari dua
sifat angkutan molekular yaitu momentum
aliran yang mempengaruhi distribusi kecepatan
dan difusivitas termal yang mempengaruhi
profil
temperatur.
Sedangkan
bilangan
Reynolds adalah perbandingan gaya inersia
terhadap gaya viskos (Bejan, 1993). Rezim
Bentuk korelasi penelitian terdahulu berbeda
dengan hasil korelasi penelitian ini yang
disebabkan oleh:
1. Penelitian sebelumnya memakai udara
sebagai fluida pendingin (Sappu, 2000)
sehingga harga bilangan Prandtl rendah (≈
0,7) (Koestoer, 2002) sedangkan dalam
penelitian ini memakai air yang harus
memperhitungkan bilangan Prandtl.
2. Sekat pada penelitian sebelumnya adalah
tersusun sejajar dengan sudut θ dibentuk
dari sekat terhadap sumbu alat penukar
kalor (θ = 90° berarti sekat tegak lurus).
TABEL 1. Nilai bilangan Nu, Re, Pr, dan cos
Sudut sekat
(derajat)
0
15
30
45
0
15
30
45
0
15
30
45
0
15
30
45
0
15
30
45
0
15
30
45
Aliran air
(lt/jam)
200
175
150
125
100
75
41
dalam bentuk logaritma
log Nu
log Re
log Pr
log cos θ
1.67
1.17
1.14
1.14
1.63
1.24
1.32
1.06
1.55
1.16
1.32
1.08
1.51
1.06
1.33
1.17
1.42
0.97
1.17
1.13
1.32
0.98
1.12
0.95
3.10
3.13
3.12
3.10
3.05
3.07
3.06
3.04
2.98
3.00
3.00
2.97
2.91
2.92
2.92
2.91
2.81
2.82
2.82
2.81
2.68
2.70
2.70
2.68
0.74
0.71
0.72
0.75
0.73
0.71
0.72
0.75
0.73
0.72
0.72
0.75
0.73
0.72
0.72
0.73
0.73
0.71
0.72
0.73
0.73
0.71
0.72
0.74
0.00
-0.02
-0.06
-0.15
0.00
-0.02
-0.06
-0.15
0.00
-0.02
-0.06
-0.15
0.00
-0.02
-0.06
-0.15
0.00
-0.02
-0.06
-0.15
0.00
-0.02
-0.06
-0.15
42
M. Nadjib / Semesta Teknika, Vol. 15, No. 1, 35-42, Mei 2012
Pada penelitian ini digunakan sekat miring
tidak sejajar dengan sudut θ dibentuk dari
sekat terhadap garis tegak lurus sumbu alat
penukar kalor (θ = 0° berarti sekat tegak
lurus).
3. Pengaruh kemiringan sekat pada penelitian
sebelumnya terlihat dari fungsi sinus (sin
θ), sedangkan pada penelitian ini memakai
fungsi cosinus (cos θ). Hal ini disebabkan
karena
pengambilan
acuan
sudut
kemiringan sekat yang berbeda. Pada
penelitian ini sudut kemiringan sekat
diambil dengan acuan tegak lurus sumbu
selongsong, sedangkan pada penelitian
sebelumnya sudut kemiringan diambil
dengan acuan sumbu selongsong.
KESIMPULAN
1. Nilai koefisien perpindahan kalor konveksi
turun seiring dengan kenaikan sudut
pemasangan sekat. Pemasangan sekat 0°
(sekat tegak) lebih baik dari pada sekat
miring.
2. Zona mati pada sekat miring di satu pihak
tereliminir tetapi berdampak munculnya
zona mati baru yang menghambat transfer
kalor.
3. Untuk alat penukar kalor jenis shell and
tube yang dipasang sekat miring, faktor
sudut (cos θ) harus ditambahkan pada
hubungan antara bilangan Nusselt dengan
bilangan Reynolds dan bilangan Prandtl.
UCAPAN TERIMA KASIH
Industrial and Engineering Chemical,
vol. 49, no. 6, Juni 1957, pp. 998-1012.
Habib, M.A., Mobarak, A.M., Sallak, M.A.,
Hadi, E.A.A. & Affiry, R.I. (1994).
Experimental Investigation of Heat
Transfer and Flow Over Baffles of
Different Heights. J. of Heat Transfer,
vol. 166, pp. 363-368.
Holman, J.P. & Jasti, E. (1988). Perpindahan
Kalor. Jakarta : Erlangga.
Incropera, F.P., Dewitt, D.P., Bergman, T.L. &
Lavine, A.S. (2007). Fundamentals of
Heat and Mass Transfer. Sixth Edition.
New Jersey: John Wiley & Sons.
Kern, D.Q. (1983). Process Heat Transfer. 2nd
Edition. Tokyo: McGraw-Hill Book
Company Inc.
Koestoer, R.A. (2002). Perpindahan Kalor.
Jakarta: Salemba Teknika.
Mukherjee, R. (1996). Don't Let Baffling
Baffle You. J. Chemical Eng. April
1996, pp.72-79.
Mukherjee, R. (1998). Effectively Design
Shell and Tube Heat Exchangers. J.
Chemical Eng., Feb. 1998, pp. 21-37.
Rubin, F.L. (1992). Heat Transfer Topics
Often Overlooked. J. Chemical Eng.
Augs. 1992. pp. 74-85.
Sappu, F.P. (2000). Investigasi Pengaruh
Sudut Kemiringan Baffle Terhadap
Unjuk Kerja Termal dan Kerugian
Tekanan pada Alat Penukar Kalor Jenis
Shell and Tube. Yogyakarta: PPS UGM.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi lewat
TPSDP sehingga penelitian ini dapat
dilaksanakan.
Saunders, E.A.D. (1988). Heat Exchanger
Selection, Design and Construction.
England: Longman Scientific and
Technical.
DAFTAR PUSTAKA
Taborek, J. (1983). Heat Exchanger Theory
and Practice. Washington: Hemisphere
Publishing Corporation.
Bejan, A. (1993). Heat Transfer. New York:
John Wiley & Sons.
Dibyo, S. (1995). Studi Baffle Leakage pada
Penukar Panas Shell – Tube. Jakarta:
Pusat Reaktor Serba Guna - BATAN.
Gupta. (1957). Flow Patterns for Predicting
Shellside Heat Exchanger Coefficient for
Baffled Shell-Tube Exchanger. J.
PENULIS:
Muhammad Nadjib
Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jalan
Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan, Bantul
55183.
Email: [email protected]