Jenis jenis Asplenium2 (1)

(1)

PROPOSAL PENELITIAN

JENIS-JENIS ASPLENIACEAE DI GUNUNG SINGGALANG SUMATERA BARAT DAN DISTRIBUSINYA

OLEH: HARI FITRAH B.P. 09 1042 3080

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ANDALAS


(2)

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tumbuhan paku tersebar di seluruh bagian dunia, sebagian besar tumbuh di daerah tropika basah yang lembab, kecuali daerah bersalju abadi dan kering (gurun). Keragaman spesies tumbuhan paku tertinggi terdapat pada kawasan yang beriklim tropis yang memiliki hutan pengunungan (Winter dan Amoroso, 2003). Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis, mempunyai sejumlah gunung yang sesuai untuk tempat hidup tumbuhan paku. Salah satu contohnya adalah Gunung Singgalang. Gunung Singgalang merupakan sebuah gunung yang memiliki hutan pegunungan yang sangat lembab. Gunung Singgalang terletak di propinsi Sumatera Barat, Indonesia dengan ketinggian 2,877 mdpl (National Geographic Indonesia, 2007).

Gunung Singgalang merupakan kawasan dengan hutan pegunungan yang masih steril dari tangan manusia. Keanekaragaman tumbuhan paku digunung Singgalang sangat tinggi ini dikarenakan tumbuhan paku menyukai tempat yang memiliki naungan. Salah satu contohnya adalah Aspleniaceae. Famili ini biasa di kenal dengan sebutan “Paku sarang burung” atau “Spleenworth”. Lebih dari 700 spesies pada famili ini tersebar di seluruh dunia dan jumlahnya terus meningkat, sebagian besar di temukan di daerah tropis (Winter dan Amoroso, 2003). Aspleniaceae merupakan famili terbesar dan di kawasan Malaya ditemukan 27 spesies (Holltum, 1967).

Distribusi dari tumbuhan paku khususnya Aspleniaceae di pengaruhi oleh iklim yang mendukung pertumbuhannya. Selain itu, famili ini menyukai tempat-tempat yang memiliki naungan sehingga distribusinya di hutan pengunungan beragam. Michael (1994), mengelompokan pola distribusi tumbuhan di hutan pegunungan menjadi tiga kelompok, yaitu pola penyebaran teratur atau seragam,


(3)

dimana induvidu-induvidu berada dalam suatu komunitas, penyebaran acak yaitu induvidu-induvidu menyebar dalam beberapa tempat dan mengelompok pada tempat-tempat lainnya, penyebaran berumpun yaitu induvidu-induvidu selalu berada dalam kelompok - kelompok dan sangat jarang terlihat terpisah.

Persebaran yang luas pada famili Aspleniaceae, tidak terlepas dari bentuk hidupnya yang beragam. Famili ini memiliki bentuk hidup terrestrial, eplitik dan epifit, namun rata-rata hidup secara epifit. Mudiana (2008), menyatakan ada beberapa jenis-jenis inang yang menjadi tempat tumbuh dari Asplenium diantaranya Durio zibertinus, Arthocarpus elasticus, Shorea johorensis, Macaranga sp, Lansium domesticum, Hevea brasiliensis, Sarcocephalus sp, Randia maculate, Aglaia latifolia, Pithecelobium jiringa, Metrosideros vera, Lepisanthes sp, Dysoxylum sp, Octomeles sumatrana. Umumnya karakter morfologi yang dimiliki inang adalah pohon yang mempunyai batang yang besar, kulit yang kasar dan berlekuk, dan memiliki cabang yang besar (Hariyadi, 2000)

Asplenium secara umum memilki potensi yang besar dalam perdagangan serta peranannya di alam. Rahajoe (2004) menyatakan, ada sekitar 12 spesies dari famili ini yang dapat dijadikan sebagai tanaman hias dan dibudidayakan sehingga memiliki nilai ekonomi. Asplenium juga memiliki peranan penting sebagai menompang kehidupan mikroorganisme. Hal ini di dukung oleh Ellwood et al (2002), yang menyatakan ada sekitar 41.000 mirkoorganisme dalam sistem perakaran Asplenium nidus dengan diameter akar berbeda-beda. Mardiya (2012), menyatakan Asplenium phllitidys dan Asplenium nidus, sebagai jenis paku yang banyak ditemukannya koloni-koloni semut. Potensi lain yang dimiliki Asplenium, di kawasan Malaya Asplenium nidus digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan rambut. Wanita “Sakai” mengunakannya sebagai infuse untuk mengurangi rasa nyeri pada saat persalinan (Winter dan Amoroso, 2003).


(4)

Dengan potensi yang dimiliki famili ini maka, ekplorasi alam akan Jenis-jenis Aspleniaceae di Gunung Singgalang Sumatera Barat dan Distribusinya penting untuk dilakukan. Penelitian tentang tumbuhan paku (famili Aspleniaceae) telah banyak di lakukan, Mitsuta et al (1980) melakukan penelitian dengan melihat struktur stele dari famili Aspleniaceae. Mudiana (2008), melaporkan 160 induvidu Asplenium nidus tumbuh pada 14 jenis, pohon inang yang terdiri dari 66 induvidu pohon di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kelam, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Rahajoe (2004) melaporkan ada 12 jenis paku sarang burung yang memiliki potensi dibidang perdagangan tanaman hias. Mildawati (2012) melaporkan ada 11 jenis spesies famili Aspleniaceae yang di temukan di Gunung Tandikek Sumatera Barat. Namun, penelitian Jenis-jenis Aspleniaceae di Gunung Singgalang dan Distribusinya belum pernah di laporkan.

I.2 Perumusan Masalah

Gunung Singgalang diperkirakan memiliki kondisi keanekaragaman jenis Aspleniaceae lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut maka dirumuskan permasalahan yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

1). Apa saja jenis-jenis Aspleniaceae yang menyusun vegetasi di Gunung Singgalang Sumatera Barat?

2). Bagaimana bentuk pola distribusi famili Aspleniaceae di Gunung Singgalang Sumatera Barat?

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1). Menentukan jenis-jenis Aspleniaceae yang berada di Gunung Singgalang Sumatera Barat


(5)

2). Mengungkapkan pola distribusi Aspleniaceae di Gunung Singgalang Sumatera Barat.

1.4 Manfaat Penelitian

Data dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta gambaran data tumbuhan paku (Aspleniaceae) untuk penelitian lanjutan, serta aplikasinya pada ilmu murni dan terapan dan juga memberikan masukan bagi masyarakat, pemerintah dan instasi atau lembaga terkait pengelolaan dan pengembagan serta konservasi tumbuhan paku.


(6)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tumbuhan paku (Pteridophyta) merupakan tumbuhan yang benar-benar telah berupa kormus yaitu jelas akar, batang dan daun. Tumbuhan paku tidak menghasilkan biji, melainkan bereproduksi dengan spora sehingga tumbuhan paku dapat dibedakan dengan tumbuhan lain dengan mudah, selain itu perawakan dari tumbuhan paku yang khas juga menjadi pedoman dalam mengenali tumbuhan ini (Tjitrosoepomo, 1989; Lawrence, 1962).

Ciri utama dari pengenalan Pteridophyta adalah spora. Spora merupakan alat perkembangbiakan utama dari tumbuhan paku yang memilki peranan penting dalam siklus tumbuhan paku. Lebih lanjut ciri-ciri lain sebagai pembeda taksonomi (key identification) pada tumbuhan paku adalah sporangium, sorus, indusia, sisik atau rambut dan venasinya (Holttum, 1967). Dengan alat reproduksinya berupa spora tumbuhan paku mempunyai kelebihan tersendiri dalam penyebarannya. Salah satu famili yang memiliki persebaran terluas adalah famili Aspleniaceae. Aspleniaceae terdisitribusi kesuluruh bagian dunia, 30% ditemukan pada daerah Neotropik, 22% di Afrika, 33% di Asia, 10% dikawasan Pasifik dan Australia dan 5% di Eropa. Family ini berasal dari Antartika dan telah berevolusi menjadi beberapa grup kecil sebelum penyebarannya (Copeland, 1947).

Aspleniaceae merupakan famili yang dapat hidup di daerah terbuka dan tertutup namun untuk keanekaragaman, famili banyak di temukan di hutan pengunungan tropis. Hutan pengunungan adalah suatu tempat yang banyak di jumpai tumbuhan paku. Hal ini juga dinyatakan menurut Satrapradja et al (1980) bahwa umumnya di daerah pegunungan, jumlah jenis paku lebih banyak dari pada di dataran rendah. Mackinon et al (2000) menyatakan bahwa hutan di pegunungan terdapat zona-zona vegetasi, dengan jenis dan struktur penampilan yang berbeda. Zona –zona


(7)

vegetasi tersebut dapat dikenali di semua gunung di daerah tropis meskipun tidak ditentukan ketinggian saja.

Aspleniaceae merupakan famili dari tumbuhan paku yang rata-rata hidupnya adalah epifit. Rhizomnya menjalar dan memiliki sisik dalam skala kecil, daun simpel pinnatus, dan kebanyakan ukuran daun tidak kurang dari 1 meter, sorus berada di belakang daun dan panjang, Lamina bergelombang dan mempunyai tulang daun yang bebas. Aspleniaceae termasuk dalam ordo filicales yang memiliki satu genus dengan spesies yang beragam. Aspleniaceae memiliki kedekatan dengan famili Athryaceae, Blechnaceae atau Thelypteridaceae, namun kedekatan yang dimiliki famili ini masih didasari atas aspek morfologi dengan kemiripan yang sangat sedikit (Winter dan Amoroso, 2003)

Pada kawasan oriental tropis Asplenium mempunyai daun yang simpel. Holltum, (1967) mengelompokan Aspleniaceae sebagai subfamili dari Denstaedtiaceae. Famili ini terdiri dari satu genus yang besar dan beragam yang dikelompokan ke dalam 5 grup yaitu A. robustum, A. Caudatum, A. tenerum, A. unilaterale, dan A. scolopendrioides. Asplenium nidus termasuk ke dalam group Asplenium tenerum bersama dengan: A. belengeri, A. scortechinii, A. salignum, A. squamulatum, A. tenerum, dan A. phyllitidis. Sinonim untuk Asplenium nidus L. adalah Thamnopteris nidus.

Namun beberapa ahli Pteridologists menyatakan bahwa Aspleniaceae memiliki 3 genus, yaitu Ceterach, Phyllitis dan Tarachia, spesies ini dapat membentuk spesies yang hibrid dengan Asplenium yang lainnya, sehingga didefinisikan sebagai Asplenium secara luas (Schneider, 2004, cit. Lashin, 2012).

Asplenium atau paku sarang burung memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Plantae


(8)

Kelas : Filicopsida Ordo : Filicales Famili : Aspleniaceae Genus : Asplenium

Spesies : Asplenium nidus L (Piggot, 1988)

Gambar 1: Morofologi dari Aspleniaceae (Tyron dan Stolze, 1993) Seiring berkembanganya teknologi, pengkajian taxonomi tumbuhan tidak hanya dilihat dari morfologinya saja. Rambe, (2003, cit. Rambe, 2008) membagi Aspleniaceae ke dalam 7 kelompok, yaitu Asplenium unilateral , Asplenium nidus, Asplenium tenerum, Asplenium aethiopicum, Asplenium caudatum, Asplenium robostum dan Asplenium normale. Pembagian ini dilakukan dengan mengunakan


(9)

metode “rbCl. Sequences”. Asplenium nidus yang dahulunya masuk ke dalam kelompok A. tenerum, dipisahkan dan memiliki kelompok tersendiri. Spesies-spesies yang masuk ke dalam kelompok A. nidus adalah A. nidus, A. phylitidis, A. scalare, A. scolopendroides, A.batuense. karakter pada kelompok ini, memiliki rhizome yang tegak, tulang daun kehitaman, bentuk daun simpel, lamina seperti kulit, vena daun mengarpu satu atau lebih dan lebih dekat ke tepi daun. Rambe, (2003,cit. Rambe, 2008) juga menambahkan Asplenium aethiopicum ke dalam kelompok dari Aspleniaceae. Kelompok ini memiliki karakter dengan rhizome panjang dan menjalar, tulang daun berwarna gelap kecoklatan, bentuk frond daun ada yang pinatus dan tripinatus. A. conigums, A. aethiopicum termasuk dalam grup ini.

Asplenium memiliki nilai-nilai ekonomi, etnic dan medical. Asplenium memiliki nilai jual yang tinggi karena pada zaman sekarang, paku ini banyak di perdagangkan sebagai tanaman hias. Masyarakat Malaya percaya bahwa apabila paku ini tumbuh subur di perkarangan rumah, maka keluarga akan hidup sejahterah dan sebaliknya. Di Vanuatu, Asplenium nidus digunakan sebagai obat penghilang nyeri kontraksi bagi wanita muda yang menstruasi (Winter dan Amoroso, 2003).


(10)

III. PELAKSANAAN PENELITIAN

III.1Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret 2013 sampai dengan Juli 2013, di Gunung Singgalang, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, kemudian dilanjutkan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan dan Herbarium Universitas Andalas (ANDA), Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas.

III.2Deskripsi Lokasi Penelitian

Kawasan hutan Gunung Singgalang bersama dengan kawasan hutan Gunung Tandikek ditetapkan sebagai Cagar Alam Singgalang Tandikat berdasarkan Sk. Menteri Pertanian No. 623/ Kpts/ Um/ 8/ 1982 tanggal 22 Agusuts 1982, seluas 9.658 ha. Cagar Alam Singgalang Tandikat terletak pada tiga kabupaten Tanah Datar, Agam dan Padang Pariaman (BKSDA, 2002).

Gunung Singgalang merupakan gunung yang tidak aktif lagi, di puncak Singgalang terdapat Telaga Dewi yang dahulunya diperkirakan merupakan salah satu kaldera dengan luas ± 2 ha. Gunung ini ditutupi oleh hutan hujan tropis (BKSDA, 2002).

III.3Pelaksanaan Penelitian 3.3.1 Alat dan Bahan

Alat-alat

Meteran, tali rafia, alat tulis lapangan (Buku Identifikasi), parang/pisau/gunting, koran bekas, plastik packing, label specimen, lakban. Lux meter, camera, Gps, Thermometer, Soil termometer, Higrometer.

Bahan

Alkohol 70%, aquades dan bagian-bagian dari tumbuhan yang akan di koleksi pada seluruh transek penelitian.


(11)

3.3.2 Di Lapangan

Paku yang di temukan di lokasi penelitian diamati, dilakukan pencatatan data atau informasi penting di lapangan seperti bentuk hidup, warna daun ada atau tidak dimophisme daun, letak dan warna sori, ada atau tidaknya sisik pada rhizom. Host dari tumbuhan paku juga dicatat nama jenisnya. Kemudian sampel yang didapatkan dikoleksi.

Untuk melihat pola distribusi dari Aspleniaceae dilakukan dengan metode purposive sampling, berdasarkan keberadaan tumbuhan paku yang akan diteliti dan dianggap mewakili tempat tersebut. Pengamatan dan pengambilan koleksi tumbuhan paku di lakukan dengan menggunakan petak, contoh berbentuk kuadrat dan penempatannya secara petak berganda.

Pada setiap lokasi di buat petak tunggal berukuran 100 m x 5 m yang di bagi menjadi 20 subplot dengan ukuran 5 m x 5 m. Total subplot dari tiga petak tunggal seluruhnya adalah 20. Dengan jarak antar plot 100 meter. Tumbuhan paku di koleksi dan di beri label gantung, tumbuhan yang diambil di usahakan memiliki spora agar mudah dalam hal pengidentifikasian

Gambar 2 : Jalur dan Plot Pengamatan

Adapun di lapangan dilakukan pengukuran faktor abiotik, yaitu: ketinggian dengan menggunakan GPS, intesitas cahaya dengan Luxmeter, suhu udara dengan Thermometer, kelembaban udara dengan Sling psychometer, suhu tanah dengan Soil thermometer.


(12)

3.4 Di Laboratorium

Koleksi tumbuhan yang dikumpulkan dari lapangan diproses menjadi specimen Herbarium meliputi:

3.4.1. Pengeringan

Specimen yang berasal dari lapangan disusun dalam apitan kardus dengan susunan kardus-spesimen-kardus-spesimen dan seterusnya yang diikat dengan tali rafia, kemudian di keringkan dengan oven selama 46-48 jam pada suhu 70-80°C.

3.4.2. Penempelan (Mounting)

Spesimen yang telah dikeringkan selanjutnya dijahit pada kertas tik dengan ukuran 30 - 42 cm yang di lengkap dengan label herbarium.

3.4.3. Pengidentifikasian

Identifikasi dilaboratorium Taksonomi Tumbuhan Universitas Andalas dengan mengunakan buku Piggott (1998), Sastrapradja (1980), Andrew (1990), Jhonson (1960).

3.4.3. Kunci Determinasi dan Monograf

Kunci determinasi dibutuhkan untuk mengelompokan tumbuhan paku dengan karakter pada tiap spesies. Monograf untuk melengkapi data-data diskripsi paku.

3.5 Analisis Data 3.5.1 Pola Distribusi

Pola distribusi Suatu jenis pada setiap tingkat pertumbuhan dihitung dengan menggunakan rumus Indeks Penyebaran Morista sebagai berikut :

Id = n

[

(Σ n x

t2 )- N

]……… (

Michael, 1994)


(13)

Keterangan:

Id = indeks disperse

n = jumlah unit pengambilan contoh xi = jumlah induvidu setiap petak contoh

N = jumlah induvidu total yang diperoleh

Kriteria pola distribusi dikelompokan sebagai berikut : Id < 1 : penyebaran spesies seragam

Id = 1 : penyebaran spesies secara acak Id > 1 : penyebaran berkelompok

3.6 Jadwal Penelitian

Penelitian ini dilakukan menurut jadwal dibawah ini Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

No .

Kegiatan Bulan

1 2 3 4 5

1. Persiapan dan seminar proposal 2. Pelaksanaan penelitian

3. Pengolahan data dan Analisi data 4. Persiapan seminar hasil


(14)

Andrew, S. B. 1990. Fern of Queensland. Queensland Dapartement of Primary Industries. Brisbane.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam, 2002. Rencana Pengelolaan Cagar Alam Singgalang Tandikat Propinsi Sumater Barat. Balai KSDA Sumatera Barat. Padang

Copeland, E. B. 1947. Genera Filicum The Genera of Ferns. The Chronica Botanica Company. USA.

Ellwood, M. D. F., D. T. Jones, And W. A. Foster. 2002. Canopy ferns in lowland dipterocarp forest support a prolific abundance of ants, termites, and other invertebrates. Biotropica 34: 575–583.

Holttum. 1967. A Revised Flora of Malaya Volume II. Ferns of Malaya. Government Printing Office. Singapore.

Jhonsen, A. 1960. Student Guide to The Ferns of Singapore Island. Singapore University Press. Singapore.

Lashin. M. A. G. 2012. Palynological Studies of Some Species of Aspleniaceae-Pteridophyta. American Journal of Plants Sciences. 397-402.

Lawrance, G. H. M. 1962. An Introduction to Plant Taxonomy. Macmillan Company. New York.

Mackinon, K.G. Hatta, H. Halim dan A. Mangalik. 2000. Ekologi Kalimantan. Buku III. Prenhallindo. Jakarta.

Mardiya, A. 2012. Jenis-Jenis Semut Pada Paku Epifit Di Hutan Pendidikan Dan Penelitian Biologi (Hppb) Dan Lingkungan Kampus Unand, Padang. Skripsi Sarjana. Universitas Andalas. Padang.

Michael, P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboraturium. Diterjemahkan oleh Y.R. Koseter dan S. Suharto. Penerbit Universitas Indonesia. 616p.

Mildawati. 2012. Keanekaragaman Pteridophyta di Gunung Tandikek Sumatera Barat. Laporan Penelitian Dosen Muda. Universitas Andalas. Padang.

Mitsuta, S., M. Kato And K. Iwatsuki. 1980. Stelar Structure of Aspleniaceae. Department of Botany, Faculty of Science, Kyoto Univesity. Kyoto.

Mudiana. D. 2008. Asplenium nidus L. pada Beberapa Pohon Inang di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kelam, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Biota Vol. 13 (2): 75-81.

National Geographic Indonesia. 2011. Gunung Singgalang. http://fotokita.net/foto/132198772110_0028005/gunung-singgalang.Diakses Pada Tanggal 25 Desember 2013..


(15)

Piggott, C. J. 1988. Ferns of Malaysia in Color. Tropical Press. Kuala Lumpur. Malaysia.

Rahajoe, J. S. 2004. Paku Sarang Burung, Tanaman Hias Berpotensi untuk Perdagangan dengan Berwawasan Konservasi Ditinjau dari Keberadaan dan peranannya di Alam. Pusat Penelitian Biologi. LIPI. Bogor.

Rambe, S.K, 2008. Aspleniaceae in Phylogeny and Biosystematic. Nanyang Technological University. Singapore. Biosaintifika Vol. 1, No. 1: 88-100. Sastrapradja, S., Afriastini, J. J., Darnaedi, D. dan Widjaya, E. A. 1980. Jenis Paku

Indonesia. Lembaga Biologi Nasional - LIPI. Bogor.

Tjitrosoepomo, G. 1989. Taksonomi Tumbuhan Rendah (Taksonomi Tumbuhan Khusus). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tryon, R.M dan Stolze, R.G. 1993. Pteridophyta of Peru Part V. In: Leon, B. Fieldiana Botany New Series, No. 32. Field Museum of Natural History. 19-21. Winter, W. P., dan Amoroso, V. B., 2003. Plant Resources of South-East Asia.


(1)

III. PELAKSANAAN PENELITIAN

III.1Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret 2013 sampai dengan Juli 2013, di Gunung Singgalang, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, kemudian dilanjutkan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan dan Herbarium Universitas Andalas (ANDA), Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas.

III.2Deskripsi Lokasi Penelitian

Kawasan hutan Gunung Singgalang bersama dengan kawasan hutan Gunung Tandikek ditetapkan sebagai Cagar Alam Singgalang Tandikat berdasarkan Sk. Menteri Pertanian No. 623/ Kpts/ Um/ 8/ 1982 tanggal 22 Agusuts 1982, seluas 9.658 ha. Cagar Alam Singgalang Tandikat terletak pada tiga kabupaten Tanah Datar, Agam dan Padang Pariaman (BKSDA, 2002).

Gunung Singgalang merupakan gunung yang tidak aktif lagi, di puncak Singgalang terdapat Telaga Dewi yang dahulunya diperkirakan merupakan salah satu kaldera dengan luas ± 2 ha. Gunung ini ditutupi oleh hutan hujan tropis (BKSDA, 2002).

III.3Pelaksanaan Penelitian 3.3.1 Alat dan Bahan

Alat-alat

Meteran, tali rafia, alat tulis lapangan (Buku Identifikasi), parang/pisau/gunting, koran bekas, plastik packing, label specimen, lakban. Lux meter, camera, Gps, Thermometer, Soil termometer, Higrometer.

Bahan

Alkohol 70%, aquades dan bagian-bagian dari tumbuhan yang akan di koleksi pada seluruh transek penelitian.


(2)

3.3.2 Di Lapangan

Paku yang di temukan di lokasi penelitian diamati, dilakukan pencatatan data atau informasi penting di lapangan seperti bentuk hidup, warna daun ada atau tidak dimophisme daun, letak dan warna sori, ada atau tidaknya sisik pada rhizom. Host dari tumbuhan paku juga dicatat nama jenisnya. Kemudian sampel yang didapatkan dikoleksi.

Untuk melihat pola distribusi dari Aspleniaceae dilakukan dengan metode purposive sampling, berdasarkan keberadaan tumbuhan paku yang akan diteliti dan dianggap mewakili tempat tersebut. Pengamatan dan pengambilan koleksi tumbuhan paku di lakukan dengan menggunakan petak, contoh berbentuk kuadrat dan penempatannya secara petak berganda.

Pada setiap lokasi di buat petak tunggal berukuran 100 m x 5 m yang di bagi menjadi 20 subplot dengan ukuran 5 m x 5 m. Total subplot dari tiga petak tunggal seluruhnya adalah 20. Dengan jarak antar plot 100 meter. Tumbuhan paku di koleksi dan di beri label gantung, tumbuhan yang diambil di usahakan memiliki spora agar mudah dalam hal pengidentifikasian

Gambar 2 : Jalur dan Plot Pengamatan

Adapun di lapangan dilakukan pengukuran faktor abiotik, yaitu: ketinggian dengan menggunakan GPS, intesitas cahaya dengan Luxmeter, suhu udara dengan Thermometer, kelembaban udara dengan Sling psychometer, suhu tanah dengan Soil thermometer.


(3)

3.4 Di Laboratorium

Koleksi tumbuhan yang dikumpulkan dari lapangan diproses menjadi specimen Herbarium meliputi:

3.4.1. Pengeringan

Specimen yang berasal dari lapangan disusun dalam apitan kardus dengan susunan kardus-spesimen-kardus-spesimen dan seterusnya yang diikat dengan tali rafia, kemudian di keringkan dengan oven selama 46-48 jam pada suhu 70-80°C.

3.4.2. Penempelan (Mounting)

Spesimen yang telah dikeringkan selanjutnya dijahit pada kertas tik dengan ukuran 30 - 42 cm yang di lengkap dengan label herbarium.

3.4.3. Pengidentifikasian

Identifikasi dilaboratorium Taksonomi Tumbuhan Universitas Andalas dengan mengunakan buku Piggott (1998), Sastrapradja (1980), Andrew (1990), Jhonson (1960).

3.4.3. Kunci Determinasi dan Monograf

Kunci determinasi dibutuhkan untuk mengelompokan tumbuhan paku dengan karakter pada tiap spesies. Monograf untuk melengkapi data-data diskripsi paku. 3.5 Analisis Data

3.5.1 Pola Distribusi

Pola distribusi Suatu jenis pada setiap tingkat pertumbuhan dihitung dengan menggunakan rumus Indeks Penyebaran Morista sebagai berikut :

Id = n

[

(Σ n x

t2 )- N

]……… (

Michael, 1994)


(4)

Keterangan:

Id = indeks disperse

n = jumlah unit pengambilan contoh xi = jumlah induvidu setiap petak contoh

N = jumlah induvidu total yang diperoleh

Kriteria pola distribusi dikelompokan sebagai berikut : Id < 1 : penyebaran spesies seragam

Id = 1 : penyebaran spesies secara acak Id > 1 : penyebaran berkelompok 3.6 Jadwal Penelitian

Penelitian ini dilakukan menurut jadwal dibawah ini Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

No .

Kegiatan Bulan

1 2 3 4 5

1. Persiapan dan seminar proposal 2. Pelaksanaan penelitian

3. Pengolahan data dan Analisi data 4. Persiapan seminar hasil


(5)

Andrew, S. B. 1990. Fern of Queensland. Queensland Dapartement of Primary Industries. Brisbane.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam, 2002. Rencana Pengelolaan Cagar Alam Singgalang Tandikat Propinsi Sumater Barat. Balai KSDA Sumatera Barat. Padang

Copeland, E. B. 1947. Genera Filicum The Genera of Ferns. The Chronica Botanica Company. USA.

Ellwood, M. D. F., D. T. Jones, And W. A. Foster. 2002. Canopy ferns in lowland dipterocarp forest support a prolific abundance of ants, termites, and other invertebrates. Biotropica 34: 575–583.

Holttum. 1967. A Revised Flora of Malaya Volume II. Ferns of Malaya. Government Printing Office. Singapore.

Jhonsen, A. 1960. Student Guide to The Ferns of Singapore Island. Singapore University Press. Singapore.

Lashin. M. A. G. 2012. Palynological Studies of Some Species of Aspleniaceae-Pteridophyta. American Journal of Plants Sciences. 397-402.

Lawrance, G. H. M. 1962. An Introduction to Plant Taxonomy. Macmillan Company. New York.

Mackinon, K.G. Hatta, H. Halim dan A. Mangalik. 2000. Ekologi Kalimantan. Buku III. Prenhallindo. Jakarta.

Mardiya, A. 2012. Jenis-Jenis Semut Pada Paku Epifit Di Hutan Pendidikan Dan Penelitian Biologi (Hppb) Dan Lingkungan Kampus Unand, Padang. Skripsi Sarjana. Universitas Andalas. Padang.

Michael, P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboraturium. Diterjemahkan oleh Y.R. Koseter dan S. Suharto. Penerbit Universitas Indonesia. 616p.

Mildawati. 2012. Keanekaragaman Pteridophyta di Gunung Tandikek Sumatera Barat. Laporan Penelitian Dosen Muda. Universitas Andalas. Padang.

Mitsuta, S., M. Kato And K. Iwatsuki. 1980. Stelar Structure of Aspleniaceae. Department of Botany, Faculty of Science, Kyoto Univesity. Kyoto.

Mudiana. D. 2008. Asplenium nidus L. pada Beberapa Pohon Inang di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kelam, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Biota Vol. 13 (2): 75-81.

National Geographic Indonesia. 2011. Gunung Singgalang. http://fotokita.net/foto/132198772110_0028005/gunung-singgalang.Diakses Pada Tanggal 25 Desember 2013..


(6)

Piggott, C. J. 1988. Ferns of Malaysia in Color. Tropical Press. Kuala Lumpur. Malaysia.

Rahajoe, J. S. 2004. Paku Sarang Burung, Tanaman Hias Berpotensi untuk Perdagangan dengan Berwawasan Konservasi Ditinjau dari Keberadaan dan peranannya di Alam. Pusat Penelitian Biologi. LIPI. Bogor.

Rambe, S.K, 2008. Aspleniaceae in Phylogeny and Biosystematic. Nanyang Technological University. Singapore. Biosaintifika Vol. 1, No. 1: 88-100. Sastrapradja, S., Afriastini, J. J., Darnaedi, D. dan Widjaya, E. A. 1980. Jenis Paku

Indonesia. Lembaga Biologi Nasional - LIPI. Bogor.

Tjitrosoepomo, G. 1989. Taksonomi Tumbuhan Rendah (Taksonomi Tumbuhan Khusus). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tryon, R.M dan Stolze, R.G. 1993. Pteridophyta of Peru Part V. In: Leon, B. Fieldiana Botany New Series, No. 32. Field Museum of Natural History. 19-21. Winter, W. P., dan Amoroso, V. B., 2003. Plant Resources of South-East Asia.