Bahan Tesis

“PELAYANAN PASTORAL BAGI KELUARGA”
(Oleh: Nasib Sembiring Brahmana)
I. Pendahuluan
Pelayanan pastoral adalah suatu jawaban terhadap kebutuhan setiap orang akan kehangatan,
perhatian penuh, dukungan, dan pendampingan; kebutuhan yang memuncak pada waktu
tekanan pribadi dan kekacauan sosial terjadi. Oleh karena itu, pelayanan pastoral pernikahan
merupakan dimensi pelayanan gereja yang perlu dilakukan mengingat sepanjang rentang
kehidupannya, umat tidak akan terlepas dari krisis-krisis atau persoalan-persoalan
pernikahan, yang terduga maupun yang tidak terduga.
II. Permasalahan Dalam Keluarga
Banyak hal yang dapat menimbulkan dan memicu persoalan atau masalah dalam pernikahan
dan rumah tangga. Secara jelas dan detail M.S Hadisubrata memaparkan masalah-masalah
yang timbul dalam pernikahan. Menurutnya masalah-masalah dalam pernikahan timbul
karena pengaruh dari luar dan dari dalam hubungan pernikahan itu sendiri. Masalah yang
timbul karena pengaruh dari luar misalnya adalah dampak modernisasi sebagai era peradaban
teknologi modern yang membawa banyak perubahan bagi kehidupan keluarga. Salah satu
perubahan karena modernisasi adalah pergeseran dari masyarakat agraris ke masyarakat
industri. Pergeseran ini berdampak terhadap hubungan kekerabatan dalam keluarga.
Misalnya, dalam masyarakat agraris keluarga dipahami sebagai keluarga besar
(extended family) yang tinggal dalam satu rumah, mencari makan bersama dan dimakan
bersama. Sedangkan dalam masyarakat industri keluarga hanya berarti ayah, ibu dan anak

yang belum menikah (nuclear family), mereka harus bertanggung jawab atas keluarganya
sendiri-sendiri. Perubahan pola hidup keluarga ini juga berdampak terhadap peranan masingmasing anggota keluarga (Hadi Subrata, 2008: 22-23). Jika perubahan ini tidak diantisipasi
dan ditangani, maka akan menimbulkan masalah-masalah serius dalam rumah tangga.
Sedangkan masalah-masalah yang timbul dari dalam pernikahan biasanya disebabkan
oleh ketidakmampuan dalam penyelesaian kepribadian dan dalam mengatasi masalahmasalah yang berhubungan dengan pernikahan itu sendiri.
Masalah-masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut (Hadi Subrata:2008, 30-35):
a.Harapan-harapan yang tidak realistis. Biasanya harapan-harapan ini muncul pada masa
romantik, yakni selama pacaran dan tahun-tahun pertama pernikahan. Harapan-harapan
yang tidak realistis ini misalnya, mereka merasa bahwa pernikahan mereka akan
membuat mereka bahagia selamanya, hubungan seksual mereka akan selalu
menyenangkan, mereka tidak akan pernah kesepian lagi, dengan perkawinan ini
pasangan mereka akan berubah menjadi lebih baik, dan sebagainya.Ketika harapanharapan ini tidak terpenuhi, maka dapat menimbulkan kekecewaan bagi kedua belah
pihak.
b.Sumber konflik dalam pernikahan. Sumber konflik ini dapat mencakup dua hal.
Pertama. Konflik yang bersumber pada kepribadian pasangan yang biasanya disebabkan
ketidakmatangan kepribadian, adanya sifat-sifat kepribadian yang tidak cocok untuk
menjalin hubungan pernikahan misalnya pemabuk, penjudi, egois, tertutup, keras kepala

dan lain-lain, dan adanya kelainan mental misalnya homoseks atau lesbian,
schizophrenia, sadisme dan lain-lain. Kedua, konflik yang bersumber pada hal-hal yang

erat kaitannya dengan perkawinan, misalnya masalah keuangan, kehidupan dan
tempramen sosial, pendidikan anak, agama, hubungan dengan mertua dan ipar,
penyelewengan dalam hubungan seksual dan lain-lain.
c.Ketidakpuasan seksual; hal ini dapat disebabkan sebagai akibat dari kekecewaan
terhadap pasangan yang dapat mengakibatkan mengendornya hubungan pribadi suamiisteri. Ketidakpuasan dalam hubungan seksual ini dapat juga disebabkan oleh anggapan
yang salah (tabu) mengenai aktivitas seksual. Hambatan-hambatan yang menyebabkan
ketidakpuasan seksual dapat meliputi hambatan psikologis, misalnya rasa takut dan
cemas akan kehamilan, dan hambatan fisik, misalnya dalam bentuk kelainan seksual.
d.Masalah penyesuaian diri terhadap keluarga: latar belakang keluarga yang berbeda,
cara bergaul, cita-citanya tentang rumah tangga, disiplin dalam rumah tangga, sikap
mereka terhadap keluarga kedua belah pihak, tentang hubungan saudara ipar, dan lainlain.
e.Masalah pengendalian keuangan: Hasil survai para ahli menyatakan lebih50 %
perceraian disebabkan karena masalah keuangan dalam keluarga (Vivian: 2001, 118).
f.Masalah harapan-harapan: harapan-harapan mengenai soal keuangan, anak, cita-cita,
masa depan, masalah seksual dan lain-lain dalam rumah(keluarga) yang dibina.
g.Kehidupan rohani (spritual life): Keanggotaan gereja, doa dan kebaktian bersama,
peran serta atau partisipasi dalam gereja, dan lain-lain.
Untuk itulah pelayanan pastoral pernikahan diperlukan.
III. Pelayanan Pastoral Bagi Keluarga
Clinebell mengatakan penggembalaan adalah pelayanan pendeta dan anggota jemaat secara

bersama. Pendeta (pelayan yang ditahbiskan) merupakan pelatih yang bertanggung jawab
untuk memampukan anggota jemaat saling melayani di samping menjalankan pelayanannya
sendiri yang unik dan berharga (Clinebell: 1984, 34.) Menurut John Patton dalam
bukunya Pastoral Counseling: A Ministry of The Church, pelayanan pastoral adalah
pelayanan gereja yang berdasar pada pelayanan Kristus (Potton, 1983: 16).
Di dalam bukunya, “Apakah Penggembalaan Itu?”, Bons-Storm mengemuka- kan bahwa
pelayanan pastoral merupakan pelayanan yang menekankan manusia sebagai individu (satu
persatu) dan pribadi, serta relasi antara pelayan dan anggota-anggota jemaat yang setara,
mencakup krisis-krisis dalam kehidupan, bertujuan kesembuhan dalam bentuk kekuatan dan
pertumbuhan dalam diri orang-orang yang dilayani dengan menggunakan sumber-sumber
teologis-alkitabiah dan psikologi.Bons-Storm mengemukakan bahwa penggembalaan
menjadi jelas gambarannya kalau kita membaca Yoh 21:15-19 (menggembalakan anak
domba maupun domba dewasa) (Bons-Storm: 1982, 20).
Jadi Pelayanan pastoral pernikahan adalah salah satu bentuk pembinaan yang bersifat
penggembalan bagi pasangan suami-isteri dan anak dalam keluarga yang bertujuan untuk
melengkapi tiap individu, memberikan cara untuk bagaimana mengatasi masalah dan
pencegahannya.

Menurut Clinebell ada empat faktor yang saling berkaitan erat antara pelayanan pastoral
pernikahan dengan keharmonisan pernikahan yaitu (Clinebell: 1984, 318-320):

1.Pelayanan pastoral pernikahan memungkinkannya tetap berhubungan secara tetap
dengan pasangan suami-isteri dan keluarga pada setiap tahap dan kejadian tertekan
dalam kehidupan keluarga. Pendeta mempunyai kesempatan pendampingan dan
konseling yang amat banyak dalam pelayanan kepada pasangan suami-isteri di dalam
kunjungan keluarga, serta dalam keterlibatannya dalam kehidupan anggota keluarga
masing-masing dari semua tahapan pernikahan dan juga baik dalam duka dan
sukacita.Selanjutnya peran konseling ini memampukan dan memberikan pemahaman
bagi pasangan suami-isteri untuk menguatkan pergaulan dan keterampilan komunikasi
penyelesaian konflik kontemporer. Konseling semacam ini bisa bertumbuh dalam
kesempatan konseling ketika pasangan didera krisis.
2.Pelayanan pastoral pernikahan dapat memberikan sumbangan bagi kesehatan mental,
kesehatan jasmani dan kesehatan rohani dari pasangan suami-isteri. Konseling semacam
ini dapat memfokuskan sinar yang menyembuhkan dan menumbuhkan pada akar-akar
kesehatan dan penyakit kepribadian. dengan demikian, konseling pernikahan merupakan
suatu bentuk yang diperlukan untuk pencegahan penyakit mental dan rohani yang
pengaruhnya dapat berlanjut ke masa depan.
3.Pelayanan pastoral pernikahan memberikan keterampilan bagi pasangan suami-isteri
guna mengatasi persoalan-persoalan dalam pernikahan kelak nanti.
4.Pastoral pernikahan dapat mengubah secara mendalam peranan, hubungan, citra atau
identitas dari suami dan isteri. Melalui pastoral pernikahan akan diajarkan serta

diberikan keterampilan bagaimana menjalin hubungan kerja yang sederajat dalam hal
mana didalamnya melibatkan hubungan komitmen dan kesetiaan.

Secara alkitabiah, pelayanan pastoral/penggembalaan pernikahan perlu dilakukan karena hal
itulah yang dilakukan dan ditunjukkan Allah dan Yesus Kristus kepada umat manusia dalam
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Allah dan Yesus Kristus digambarkan sebagai gembala
yang mencirikan suatu kualitas, karakter dan pekerjaan yang dimiliki dan dikerjakan oleh
Allah dan Yesus kepada umat manusia sebagai domba-domba-Nya. Gereja harus melakukan
pelayanan ini karena secara alkitabiah inilah salah satu alasan pelayanan gereja (motif
menggembalakan), selain karena Tuhan sendiri memerintahkannya (Yoh. 21:15, 16, 18, bnd.
Yeh. 34). (Brister: 1992, 33-34).
Pelayanan Pastoral pernikahan bersifat holistik berarti keseluruhan hidup manusia itu
berelasi satu dengan yang lainnya, sekaligus bertujuan menyeimbangkan dan meningkatkan
seluruh aspek kehidupan yang ada. Menurut Clinebell, dalam BasicTypes of Pastoral Care
and Counseling, ada enam aspek (Clinebell: 1984, 31):
1. Merayakan jiwa (mind), termasuk perasaan, pikiran, pengalaman, dan kreasi,
memperkaya kesadaran, membebaskan kreativitas, mempertajam kesadaran,
memperluas wawasan. Bagian ini menekankan suami-isteri merupakan dua perasaan,
pikiran, pengalaman yang berbeda. Karena itu, tiap pasangan perlu berkreasi dalam
menghadapi segala persoalan pernikahan. Merayakan perbedaan-perbedaan yang ada

dalam pasangan nikah, justru bukanlah modal perpecahan dalam keluarga, melainkan

kekuatan untuk membangun pernikahan. Perbedaan dalam masing-masing pasangan
bukanlah sumber perpecahan.
2. Merevitalisasi tubuh atau jasmani (body): memampukan untuk mengatasi sikap
egois dan stress. Bagian ini ingin menekankan bahwa untuk mengatasi sikap-sikap
semacam itu, dibutuhkan revitalisasi tubuh atau jasmani.
3. Memperbaharui dan memperkaya hubungan intim pasangan. Bagian ini menekankan
bahwa hubungan intim bukan saja soal hubungan seks, namun juga patut diperhatikan
hubungan-hubungan yang positif yang membangun pernikahan itu.
4. Memperdalam hubungan seseorang dengan alam dan lingkungan: seseorang dapat disebut
utuh ketika secara fisik, mental dan spiritual, membangun dan memelihara alam. Bagian
menekankan bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang terasing dalam alam maupun
lingkungan.
5. Meningkatkan hubungan dengan lembaga-lembaga dalam kehidupan seseorang. Pada
bagian ini, terlalu sering didengar bahwa pelayanan pastoral sering terlalu hiperindividualistis. Karena itu, perlu diperhatikan sisi lain dari pribadi yaitu masyarakat.
Lembaga-lembaga yang dimaksud adalah keluarga, gereja maupun lembaga adat.
6. Meningkatkan dan memvitalkan hubungan seseorang dengan Tuhan.
Tuhan merupakan sumber seluruh kehidupan, sumber segala keutuhan. Bagian
ini menekankan bahwa patut diakui bahwa segala sumber kehidupan, sumber

segala keutuhan adalahTuhan. Meningkatkan dan memvitalkan hubungan
dengan Tuhan justru semakin mengokohkan pernikahan itu sendiri.

Tujuan pelayanan pastoral pernikahan berarti juga menjadikan pelayanan pastoral menjadi
efektif. Tujuan holistik dari pelayanan pastoral ini adalah meningkatkan kemampuan berelasi
dengan keseluruhan yang ada dalam diri sendiri dan orang lain atau pasangan, untuk
meningkatkan hubungan yang mutualistis sekaligus memuaskan. Selain itu juga
mempersiapkan suami-isteri dilengkapi agar ketika masalah-masalah dalam keluarga muncul
dapat diatasi secara lebih membangun. Pasangan juga diperlengkapi agar mereka dapat
meningkatkan hubungan yang bermakna dengan Allah. Pasangan suami-isteri juga
dimampukan sekaligus diperlengkapi agar menjadi agen-agen rekonsiliasi secara keseluruhan
baik dalam keluarga, komunitas dan gereja.
Kerinduan menciptakan pernikahan bahagia haruslah memerlukan upaya “merajut
bersama”, cinta kasih, kesetiaan dan relasi yang baik di antara suami-isteri, terlebih kepada
Tuhan, Sang Maha Kasih yang ilahi.
1. Cinta Kasih dalam Pernikahan
Kasih digunakan sebagai gambaran sifat Allah dan sebagai paradigma untuk hubungan yang
ideal. Kasih adalah sebagai kekuatan yang menyatukan. Panggilan Allah terhadap manusia
tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik kalau manusia tidak merasakan kasih Allah
dalam hidup mereka, atau mereka akan melaksanakan tanggung jawab itu dengan terpaksa.

Pernikahan adalah salah satu anugerah Allah yang besar untuk dapat menghayati kasih itu.
Kasih memegang peranan yang begitu penting dalam kehidupan seorang Kristen, baik secara
umum maupun secara khusus dalam hubungan suami-isteri (Campell: 1990, 666).

Berbicara tentang cinta-kasih, kita mengenal kasih agape. Agape berarti cinta yang tidak
mementingkan diri sendiri, cinta rohani, cinta persaudaraan, kemurahan hati dan keharuan.
Agape merupakan kasih yang berdasarkan pada hormat dan pengetahuan yang dalam akan
ketuhanan-Nya termasuk pada perintah-perintah-Nya untuk manusia (Rottschafer: 1999,
706). Abineo menegaskan bahwa cinta agape adalah cinta yang murni. Allah adalah cinta
murni, cinta yang dicurahkan (Rm. 5:5). Agape artinya berada untuk orang lain. Penulis
kitab-kitab Perjanjian Baru menggunakan kata “agapan” untuk menyatakan bahwa Allah
bukanlah Allah yang egois dalam cinta-Nya kepada orang-orang yang hidup bermusuhan
dengan Dia. Cinta Allah tidak mencari apa yang menyenangkan, tetapi Ia membuat menjadi
menyenangkan. Ia mencurahkan dan membagi-bagikan karunia-Nya tanpa syarat kepada
orang-orang berdosa. Agape ialah cinta kepada seseorang yang tidak layak untuk dicintai.
Agape ialah kemurahan, belas kasih yang sedalam-dalamnya (Abineno: 1983, 67-68).
Dalam pernikahan suami-isteri hanya dapat menemukan kebahagiaan dalam
pasangannnya kalau ia mau hidup untuk dia. Disinilah letak cinta-kasih (agape) dalam
pernikahan. Agape juga berperan dalam hubungan seksual. Agape tidak dapat berfungsi
sepenuhnya dalam hubungan suami-isteri kalau dalam hubungan itu sedikitpun tidak terdapat

unsur erotic. Kekecewaan, konflik dan kesulitan lain yang merongrong banyak pernikahan
sering disebabkan oleh eros yang tidak dipimpin, diatur dan dikekang oleh agape. Hanya
cinta agape Allah yang dapat membebaskan kita dari cinta kita yang hanya berpusat pada diri
dan kepentingan sendiri, serta mengajar kita untuk mencintai sesama manusia, juga kepada
tidak mencintai atau memusuhi kita. Dalam hubungan suami-isteri kita dapat saling
mengampuni dan mengandalkan cinta Allah. Dengan pengampunan (mengampuni seorang
akan yang lain) pernikahan akan bisa rukun dan bahagia (Abineno: 1983, 71-73).
2. Kesetiaan dalam Pernikahan
Richard Foster menuliskan bahwa pernikahan Kristen merupakan perjanjian. Sebuah
perjanjian adalah ikrar, sebuah janji kasih dan kesetiaan. Sebuah perjanjian melibatkan
kesinambungan dalam pengertian melihat ke masa depan dan menoleh ke belakang kepada
sejarah bersama-sama. Sebuah perjanjian berarti keterlibatan, sebuah pengabdian kepada
sebuah hubungan kasih dan perhatian yang kaya semakin bertumbuh (Foster, 155-156).
Gagasan pernikahan sebagai suatu covenant relationship (ikat janji) juga didukung
oleh pendapat Kartini Kartono yang mengatakan bahwa ikatan laki-laki dan perempuan
dalam bentuk relasi suami-isteri itu sebenarnya merupakan ikatan janji kesetiaan cinta-kasih
yang diikrarkan dalam janji nikah. Nikah merupakan manisfetasi ikatan janji setia di antara
laki-laki dan perempuan yang memberikan batasan-batasan dan pertanggungjawaban tertentu,
baik kepada sang suami maupun pada si isteri (Kartini: 1986, 18).
Prinsip fidelitas atau kesetiaan dalam pernikahan berarti tetap berusaha menjaga

kesetiaan dan kekudusan pernikahan. Arti kesetiaan dalam pernikahan yang dimaksud
sebagaimana ditulis lebih rinci oleh Richard Foster, adalah (a) monogami; (b) sebuah janji
seumur hidup untuk mengasihi dan setia; (c) saling merendahkan diri dalam dan takut akan
Kristus; (d) pengendalian seksual di luar perjanjian pernikahan; dan (e) kebebasan seksual di
dalam janji pernikahan (Foster, 156-162).
Kesetiaan dalam pernikahan sangat menentukan untuk kebahagiaan dalam rumah
tangga. Demikianlah Budyapranata menyimpulkan, bahwa maksud Allah dalam memberikan
Hukum Taurat, khususnya hukum ketujuh (jangan engkau berzinah, Ulangan 20:14) adalah

untuk melindungi kebahagiaan dan keutuhan keluarga dari hanya pelampiasan hawa
nafsu (Budyaprana: 1987, 38). Orang Kristen dewasa ini harus melihat perintah tersebut
sebagai suatu “penjaga” atas keberlangsungan ikatan pernikahan (Shelton: 1993, 39).
Dasar dan teladan kesetiaan kita dalam pernikahan adalah Allah sendiri. Allah
sebagaimana yang dinyatakan dalam Alkitab adalah Allah yang setia (I Kor. 1:9;
Mzm.145:13). Paulus juga menyebutkan bahwa kesetiaan merupakan salah satu dari buah
Roh (Gal.5:22). Oleh sebab itu kesetiaan harus dipertahankan, sebab kita memiliki Allah
yang setia dan kita ingin hidup sesuai dengan keteladanan-Nya.
3. Membangun Relasi yang Baik
Hidup adalah sebuah relasi. Hubungan yang baik menghasilkan suasana yang baik. Oleh
sebab itu, sangat penting dibangun suatu relasi. Dalam pernikahan, masing-masing orang

(suami atau isteri) berupaya supaya terbangun relasi yang baik dengan menjalin komunikasi
yang baik setiap hari. Dasar dan pusat dari relasi ini adalah Yesus Kristus. Relasi yang baik
antara suami-isteri selalu dapat diukur dengan bagaimana suami-isteri terhadap Tuhannya.
Dimensi kedekatan relasi ini dapat digambarkan secara sederhana dengan “segi tiga cinta” di
bawah ini:

Diagram “Segi tiga cinta” di atas memperlihatkan bahwa suami dan isteri yang berupaya
mendekat kepada Tuhan maka dengan sendirinya relasi mereka pun semakin dekat terhadap
satu sama lain. Menambahkan dimensi rohani akan mengubah hubungan pernikahan menjadi
ikatan rumah tangga yang kuat. Tanpa kesatuan rohani tidak akan pernah ada keutuhan
pemahaman, komunikasi, ataupun seks (Nancy: 2006, 162). Tanpa campur tangan Tuhan
dalam “membangun rumah tangga”, maka sia-sialah kita membangunnya (Mzm. 127:1).
IV. Kesimpulan
Pada hakikatnya pelayanan pastoral merupakan pelayanan gereja yang mencerminkan
pemeliharaan Allah terhadap ciptaan-Nya, khususnya terhadap manusia. Melalui layanan
pastoral tercerminlah sikap Allah yang memelihara dan mempedulikan kehidupan manusia.
Oleh sebab itu, dengan menyebut pelayanan pastoral pernikahan dan keluarga hal yang mau
diperlihatkan adalah bagaimana upaya dan perhatian gereja dalam memelihara dan
mempedulikan pernikahan warga jemaat supaya tetap lestari, kokoh dan harmonis.

Pernikahan yang direncanakan Allah adalah pernikahan yang dilandasi cinta-kasih.
Persekutuan cinta kasih ini harus selalu diperjuangkan supaya tetap menjadi suatu pernikahan
yang ideal (sesuai dengan rancangan Allah) dan bahagia. Kebahagiaan pernikahan dapat
terjadi apabila Kristus hadir sebagai pusat dari relasi pernikahan tersebut. Cinta-kasih,
kesetiaan dan relasi yang baik antara suami-isteri terus dibangun dan dipertahankan dalam
dan bersama Kristus
----------Daftar Pustaka

- Abineno, JL.Ch. Pernikahan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983.
- Brister, C.W. Pastoral Care in The Church. New York: Harper Collins
Publishers, 1992.
- Campbell, A.V. “Love”, dalam Rodney J. Hunter, et.al. (eds.), Dictionary of
Pastoral Care and Counseling. Nashville: Abingdon Press, 1990.
- Clinebell, Howard. Basic Types of Pastoral Care and Counseling. Nashville:
Abingdon Press, 1984.
- Hadisubrata, M.S. Keluarga dalam Dunia Modern. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2008.
- Patton, John. Pastoral Counseling: A Ministry of The Church . Nashville:
Abingdon Press, 1983.
- Pelt van Nancy, The Compleat Marriage (terj.) Bandung: Indonesia Publishing
House, 2006.
- Rottschafer, R.H. “Love”, dalam David G. Benner & Peter C. Hill et.al. (eds.),
Baker Encyclopedia of Psychology & Counseling (Michigan: Baker Book House
Corp., 1999.
- Soesilo, Vivian.A. Bimbingan Pranikah. Cet. Ke 3. Malang: SAAT, 2001.
- Storm, M.Born. Apakah Penggembalaan Itu? Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet.
ke-3, 1982.

Biografi Penulis

Nasib Sembiring, lahir di perladangan Ujung Teran - Langkat 03 Juli 1949. Anak ke-4 dari 5
bersaudara di keluarga Malem Sembiring Brahmana (+ 1953) dan Tera Malem br. Sitepu
Pandebesi (+ 2006). Dosen tetap dan Direktur pascasarjana di STT Lintas Budaya Jakarta.
Alumnus SMA negeri-IV Medan (1967). Insinyur Teknik Industri (Ir.) dari Fakultas Teknik
USU Medan (1976). Karyawan di PT Socfindo Medan (1975-2005); Head of Enginering PT
MAKIN GROUP Jakarta (Jan-Mei 1976). Dosen dan Direktur Pascasarjana STT Lintas
Budaya (2012-2016) Master of Business Administration (M.B.A) dari Kennedy Western
University Wyoming USA – LMII Medan (2000); Magister Ministri (M.Min) dari STT
Jakarta (2008); Master of Arts in Counseling (M.A) dari IFTK Jaffray Jakarta (2010); Master
Teologiae (M.Th) dan Doctor of Ministry (D.Min) dari STT Lintas Budaya (2011);
Mahasiswa program Doktor Ilmu Psikologi Angkatan ke-IX/2012-2015 di Universitas
Persada Indonesia – Y.A.I Jakarta. Mempunyai isteri bernama Tetap br. Sitepu Buahdiken,
BA (61 Thn) bebere Bangun dan dikaruniai lima orang puteri; tiga menantu, dan lima orang
orang cucu laki-laki.-

RIWAYAT HIDUP / CURRICULUM VITAE
Nama

: Nasib Sembiring Brahmana.

Tempat / tgl lahir
bersaudara

: Ujung Teran-Langkat, 03 Juli 1949 merupakan anak ke-4 dari 5

di keluarga Malem Brahmana (+1953) dan Tera Malem Sitepu (+ 2006).
Email / Face Book

: NasibSembiringBrahmana@yahoo.co.id HP.: +62 812 606 2390.

Pekerjaan

: Mengajar, konselor, menulis dan bertani.

Anggota Gereja

: GBKP Majelis Darussalam – Medan ( PJJ – Jalan Binjai Barat 1A )
GBKP Majelis Jakarta Pusat ( Sektor-5 Pejompongan )

Tempat Tinggal

: 1. Jalan Titi Papan Gang Rezeki No. 21, Medan - Petisah ( 20119 )
: 2. Apartemen Taman Rasuna, Tower 12 – 17 H
Menteng Atas, Kecamatan Setia Budi - Jakarta Selatan ( 12920 )
Telepon No. (021) - 8378 6373.

Pendidikan :
1.

Sekolah Rakyat Negeri No-2 - Tanjung Langkat, Kec. Salapian
1961

lulus

2.

Sekolah Menengah Pertama Harapan - Tanjung Langkat
1964

lulus

3.

Sekolah Menengah Atas Negeri – IV - Medan

lulus 1968

4.

Fakultas Teknik USU Medan - Jurusan Teknik Industri
1976

lulus

5.

Kennedy Western University – Wyoming USA Program - MBA
2000

lulus

6.

Sekolah Tinggi Teologi Jakarta – Magister Ministri – M.Min
2008

lulus

7.

Sekolah Tinggi Teologi Jaffray - Jakarta – M.A in Christian Counseling
2010

lulus

8.

Sekolah Tinggi Teologi Lintas Budaya – M.Th dan ujian negara
2011

lulus

9.

Sekolah Tinggi Lintas Budaya – Doctor of Ministry – D.Min
2011

lulus

10.

Univ. Persada Indonesia YAI Mahs. Doktor Ilmu Psikologi Angk ke-9 2012-2015

Pengalaman Bekerja:
1.

1970 – 1973 Asisten Laboratorium Kimia di Fakultas Teknik USU – Medan.

2.

1975 – 2005 Pegawai Staf di PT Socfin Indonesia (SOCFINDO) – Medan.

3.

2006 (Januari – Mei) Head of Engineering Department PT MAKIN Group – Jakarta.

4.

2012 - Konselor di Palm Oil Mill swasta di Sumatera dan Kalimantan.

Pengabdian di GBKP, Pendidikan dan Masyarakat:
1.

2004 - 2005 Wakil Ketua Perluasan Areal Retreat Centre GBKP - Suka Makmur.

2.

2007 -

Direktur Produksi PT JASANIOGA & GBKP – Medan.

3.

2009 -

Anggota Dewan Penyantun Neumann Development Centre – Medan.

4.

2008 -

Anggota PT Namo Tiara/ Yayasan GBKP – Medan.

5.

2009 - 2010
Makmur.

Bendahara Umum, Panitia Sidang Sinode GBKP ke – 34 Suka

6.

2009 - 2014

Ketua Sie Pastoral Counseling GBKP Majelis Darussalam – Medan.7.

7.

2009 - 2013 Bendahara Umum Asosiasi Pastoral Indonesia ( API ) Pusat – Jakarta.

8.

2011 -

Bendahara Forum Diskusi Kemah Kaleb Medan.

9.

2012-2016

Pengurus Majelis Pusat Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Jakarta.

10.

2012-2016

Dosen dan Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi Lintas Budaya

Susunan Keluarga:

1.

Isteri : Tetap Br. Sitepu, BA No. Hp. 0811656734.

2.

Anak: 5 orang puteri / 3 orang menantu / 5 orang cucu laki-laki.
Reh Menda Ulina, M.Bus.Sys(Monash University)/ Kushara Kandana, M.Bus

1.

– Vic.

-

Ethan Jeremial Parera Ginting

Reh Milna Aprina, B. App.Scs(RMIT)/ Gelora K.P.Gintings, SSTP., M.M –

2.

Medan.
-

Rafael Reguna Gintings.

-

Ronan Reginald Gintings.

-

Reymen Remire Gintings

Reh Diana Pujinta, B.Bus Acct(Swinburne)/ Haniel Julienda Kaban, ST –

3.

Jakarta.
-

Damianici Bestanta Kaban.

Reh Dame Meitha Sembiring, MBA International (Daikin University) -

4.

Jakarta.

Reh Gia Saberina Sembiring, B.Bus. Marketing (Swinburne University) -

5.

Melbourne.
- See more at: http://www.gbkp.or.id/index.php/84-gbkp/artikel/367-pelayanan-pastoral-bagikeluarga#sthash.ZpBQEKVS.dpuf

Membangun Keluarga Sejahtera, Tinjauan Prespektif
Iman Katolik
Oleh : Mansetus Balawala | 16-Jul-2009, 13:49:04 WIB

KabarIndonesia - Undang-Undang Nomor 10/1992 serta Garis-garis Besar Haluan Negara
Tahun 1993 menyebutkan keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari
suami-istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
Dalam BAB I pasal 1, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, secara tegas
dinyatakan bahwa keluarga dibentuk melalui suatu proses perkawinan yang sah yang
dilangsungkan berdasarkan agama dan kepercayaan dari masing-masing orang (pasangan).

Ditingkat hukum internasional, Pasal 16 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia juga
menyatakan bahwa keluarga sebagai unit terkecil dan mendasar yang harus mendapat
perlindungan dari negara dan masyarakat. Batasan keluarga versi hukum internasional ini
sesungguhnya menyatakan bahwa masyarakat internasional menyadari bahwa jaminan
terhadap ketentraman keluarga juga harus menjadi tanggung jawab negara dan semua pihak,
tidak saja dalam artian bahwa keluarga bebas dari kekerasan secara fisik dan non fisik tapi
juga upaya untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga itu sendiri.
Pada dokumen dasarnya, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Katolik, Konsili menyebut
keluarga sebagai “Gereja setempat”. Ini berarti bahwa keluarga mempunyai “pemberian
khusus diantara hamba Tuhan”. Melalui gereja, rahmat yang besar yang datang kepada
gereja itu, dan gereja menyumbangkan bantuannya kepada keluarga. Sepasang suami-isteri
mengambil bagian dari kesatuan itu dan membuahkan cinta kasih yang hidup diantara Kristus
dan orang-orangnya.
Keluarga harus memperlihatkan segi yang menolong dari gereja. Orang tua harus mengajar
dan menyampaikan pesannya kepada anak-anak mereka. Dalam hal ini keluarga mengisi
praturan yang spesifik dan unik dalam pekerjaan yang sulit dalam membawa persatuan di
dunia. Uskup-uskup Amerika Latin pada pertemuan luar biasa di Puebla tahun 1979
memandang keluarga sebagai kunci dari usaha gereja untuk penyebaran Injil di dunia.
Keluargalah pewarta injil dan pengajar agama yang pertama dan utama. Pendidikan iman,
kemurnian dan keutamaan-keutamaan Kristiani lainnya, serta pendidikan seksuil harus
dimulai dari dalam keluarga. Cakrawala pandangan keluarga Kristen tidak boleh sempit dan
terbatas hanya pada lingkungannya sendiri.
Seluruh keluarga umat manusia harus diperhatikan. Ia mempunyai tugas dalam masyarakat
luas untuk memberikan kesaksian tentang nilai-nilai kristiani. Keluarga ikut memajukan
keadilan sosial dan siap sedia membantu orang miskin dan tertindas.
Gereja Katolik juga meyakini hidup berkeluarga sebagai panggilan atas titah Tuhan
sebagaimana dalam Kitab Kejadian. Diawal penciptaannya, Tuhan menciptakan manusia
sebagai pria dan wanita menurut citra dirinya dan berfirman kepada mereka, “beranak
cuculah dan bertambah banyak penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikanikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segalah binatang yang merayap di bumi
(Kej : 1 : 26-29)”.
Tuhan mencipatkan manusia sebagai pria dan wanita maksudnya, sebagai partner terhadap
sesamanya. Sebagai partner berarti pria dan wanita itu memang berbeda secara biologis
maupun psikologis, namun dengan perbedaan itu bisa saling melengkapi dan membutuhkan
satu sama lain. Pria membutuhkan wanita dan wanita membutuhkan pria untuk menjadi
pribadi yang utuh dan sempurna. Keduanya sama derajatnya, yang satu tidak melebihi yang
lain. Menyadari bahwa hidup berkeluarga merupakan sebuah panggilan, maka Gereja Katolik
turut mengambil bagian dalam membina keluarga menuju kemandirian mencapai
kesejahteraan lahir dan batin.
Terlepas dari rumusan keluarga yang ditemukan di berbagai literatur, baik dalam bentuk
undang-undang maupun rumusan dari para ahli dan ajaran Gereja Katolik, namun pada
hakekatnya, keluarga merupakan unit sosial, dimana terjadi hubungan sosial yang dibentuk
oleh perkawinan. Keluarga juga membentuk fungsi yang esensial bagi kestabilan dan
kelangsungan hidup masyarakat. Karena itu keluarga perlu pengelolaan yang serius untuk
mencapai kesejahteraan.
Sedangkan sejahtera oleh Indrawan WS dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
mengartikannya sebagai aman sentosa dan makmur, selamat, terlepas dari segala macam
gangguan, kesukaran dan sebagainya. Karena itu kesejahteraan diartikan sebagai keamanan
dan keselamatan, kesenangan hidup dan sebagainnya.
Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992, keluarga sejahtera dijabarkan sebagai keluarga
yang dibentuk atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan
material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi,
selaras, dan seimbang antara anggota keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya.
Perkawinan Sebagai Sakramen
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan itu sendiri didasari
atas ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan

membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Meski rumusan ini secara tegas menyatakan bahwa perkawinan itu kekal adanya, namun
disatu sisi Undang-undang Nomor 1/1974 masih memperbolehkan seseorang untuk menikah
lagi dengan alasan–alasan tertentu seperti, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama
2 tahun bertutut-turut tanpa pemberitahuan, salah satu pihak tidak menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau isteri, dan berbagai alasan lainnya.
Tidak demikian bagi Gereja Katolik yang menjadikan Perkawinan sebagai sakramen dalam
memulai kehidupan berkeluarga. Sebagai sakramen, perkawinan yang telah diberikan kepada
pasangan yang hendak berkeluarga bersifat kekal, dimana tidak bisa diceraikan oleh
manusia, karena perkawinan itu sesungguhnya diberikan Tuhan sendiri melalui tangan-tangan
orang yang diurapi (baca; imam/pastor).
Bukti intervensi Allah dalam Sakramen Perkawinan itu sendiri nampak jelas pada pengucapan
janji perkawinan yang ditujukan kepada Allah sendiri dengan disaksikan imam dan umat yang
hadir. Di sini Allah sendiri saecara tegas menyatakan orang yang telah menerima Sakramen
Perkawinan akan menjadi satu daging, dan mereka bukan lagi dua melainkan satu Karena itu
dalam iman Katolik perceraian tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun (Markus, 10:59).
Kendati demikian, dalam kehidupan berkeluarga ada juga praktek perceraian yang dilakonkan
umat Nasrani. Menghadapi kenyataan demikian, Gereja Katolik memilki wadah yang disebut
dengan Tribunal. Bagi pasangan yang hendak bercerai Gereja Katolik selalu mengupayakan
perdamaian sebagai langkah pertama. Bila upaya ini gagal akan dilakukan pisah ranjang.
Kedua belah pihak dalam hal ini suami-isteri tinggal berlainan rumah untuk jangka waktu
tertentu guna rekonsiliasi. Apabila langkah ini pun gagal maka dibuat gugatan ke Pengadilan
Gereja dengan mencari bukti-bukti sejarah hidup untuk dianalisis. Namun gereja tidak
memiliki sikap tegas mengenai apakah salah satu pihak boleh menikah lagi setelah proses
analisa mengenai bukti-bukti sejarah hidup.
Gereja Katolik juga memandang perkawinan memiliki sifat partnership, dimana suami-isteri
yang utuh dan lengkap. Yang menjadi dasar hubungan partnership antara pria dan wanita
adalah penciptaan manusia oleh Allah sebagai citraNya, sebagai partner atau lawan
bicaranya. Sedangkan cipataan-cipataan lainnya tidak demikian. Karena itu manusia harus
terbuka kepada Allah. Dengan demikian hendaknya hubungan cinta antara Kristus dan
gerejaNya dijadikan ideal dan patokan bagi hubunghan antara suami- isteri. Meski ideal dan
patokan ini terlalu tinggi, tetapi suami- isteri tidak usah takut, karena Tuhan sendiri akan
menyanggupkan mereka untuk itu. Jesus telah menjadikan perkawinan ‘alat keselamatan’
bagi suami isteri.
Strategi Gereja Katolik Membangun Keluarga Sejahtera
Gereja Katolik secara hirarki selalu dan senantiasa memainkan peran dalam upaya-upaya
mewujudkan keluarga sejahtera. Hal ini ditandai dengan berbagai dukungan konkrit kepada
pemerintah dan aksi-aksi nyata yang dilakukan Gerja Katolik dalam rangka mewujudkan
keluarga sejahtera lahir dan batin.
Dalam hal upaya mensukseskan program Gerakan Keluarga Berencana (KB) sebagai upaya
peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan,
pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga
untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera, Gereja Katolik memberikan
dukungan konkrit melalui penandatanganan naskah kerja sama antara Konperensi Wali Gereja
Indonesia (KWI) dengan Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Semarang
pada tanggal 14 Pebruari 1992.
Dalam Naskah Kerja Sama ini Gereja Katolik mengambil peranan dalam peningkatan
partisipasi generasi muda Katolik dalam gerakan KB nasional melalui pendidikan keluarga
bertanggung Jawab. Gereja mendukung program KB karena program ini memiliki tujuan yang
mulia yakni membuat jumlah anak semakin berkurang dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan keluarga. Bila keluarga sejahtera, rakyat seluruhnya pun ikut sejahtera dan
makmur, karena keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat.
Dukungan Gereja Katolik terhadap Program KB ini tentunya tetap mengacu pada Iman
Kristiani. Karena itu Gereja Katolik mengehadaki umatnya menggunakan metode Keluarga
Berencana Alamiah (KBA) dan jangan sampai menggunakan cara-cara yang melangar hukum
Tuhan yakni jangan membunuh.

Strategi lain yang dilakukan Gereja Katolik terhadap upaya mewujudkan keluarga sejahtera
juga dilakukan dengan pembentukan komisi – komisi di setiap Keuskupan seperti Komisi
Pengembangan Sosial Ekonomi, Komisi Keadilan dan Perdamaian, Komisi Kepemudaan dan
sejumlah komisi lainnya yang berkarya demi kesejahteraan keluarga sesuai dengan tugas dan
karya pelayanan masing-masing. Berbagai komisi yang dibentuk, tentunya sesuai dengan
kebutuhan hidup masyarakat, karena untuk mewujudkan kesejahteraan, tidak hanya
terpenuhinya kebutuhan secara ekonomi tapi juga terpenuhinya kebutuhan lahiria.
Gereja Katolik juga memiliki lemabaga-lembaga sosial lainnya dalam bentuk yayasan yang
bergerak dalam berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi
masyarakat dan sebagianya. Bahkan organisasi-organsiasi Katolik begitu banyak dibentuk
hingga ke tingkat kelompok Basis Gerejani (KGB).
Gereja Katolik juga sangat menaruh perhatian peningkatan kerasulan dan pastoral keluarga
dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh selurih umat Allah melalui paroki dan khususnya
melalui bantuan para pastor dan kaum awam yang membaktikan dirinya pada karya pastoral
keluarga. Mereka ini merasul diantara orang-perseorangan, pasangan-pasangan suami-isteri
dan keluarga-keluarga guna membantu mereka mewujudkan sesempurna mungkin panggilan
hidup perkawinan mereka. Kerasulan ini mencakup persiapan perkawinan, bantuan bagi
pasangan-psangan suami-isteri pada segala macam tingkatan hidup perkawinan mereka.
Termasuk pula, program katakese dan ibadat khsusus untuk keluarga; bantuan bagi pasangan
suami-isteri yang tidak mempunyai anak; pertolongan bagi keluarga yanag hanya mempunyai
bapa atau ibu saja; ibu-ibu yang ditinggalkan suami; bagi janda-janda; bagi keluarga yang
hidup terpisah dan cerai; dan secara khsusu bagi keluarga-keluarga dan pasangan suamiisteri yang menderita beban berat karena kemiskinan; ketegangan emosional dan kelainan
psikologis; rintangan fisik dan mental; dan berbagai keadaan lainnya yang mengganggu
kestabilan keluarga. Gereja juga mendorong usaha mewujudkan kesejahteraan keluarga
melalui tema-tema Aksi Puasa Pembangunan (APP) setiap tahunnya. Tema-tema APP diangkat
susuai kebutuhan masyarakat seiring dengan issu-issu yang dipandang strategis untuk
dijalankan oleh umat ditingkat Kelompok Basis Grejani (KBG).
Di bidang pendidikan, Gereja Katolik telah melahirkan kurikulum pendidikan untuk pengajaran
Agama Katolik mengenai Kesehatan Reproduksi yang diperkenalkan kepada remaja sekolah
tingkat SLTA. Gereja memandang bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga tidak
hanya mencakup pemenuhan kebutuhan ekonomi belaka tapi juga pemenuhan akan berbagai
kebutuhan lainnya termasuk kebutuhan biologis.
Usaha-usaha untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga yang dilakukan Gereja Katolik,
bertitik tolak dari ajaran gereja tentang Cinta Kasih terhadap sesama manusia. Untuk itulah
Gereja Katolik dalam usaha-usaha mensejahterakan umatnya memiliki dasar hukum
sebagaimana yang dikemukakan oleh Matius 25:40 “Aku berkata kepadamu, sesungguhya
segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari sudaraKu yang paling hina ini ,
kamu telah melakukannya untuk Aku.” Juga dalam II Kor, 5 : 15 “Kristus telah mati untuk
semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri tetapi untuk
Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.”
Hal mengenai kesejahteraan sosial ini pun oleh negara diatur dalam Undang-undang Nomor 6
tahun 1974 mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negera No
53, 1974 yang menyebutkan: “Kesejahteraan soaial ialah suatu tata kehidupan dan
penghidupan sosial material maupun spritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan
dan ketentraman lahir bathin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk
mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya
bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak azasi serta serta
kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila (Pasal 2 ayat 1).
Usaha-usaha untuk meningkatkan keluarga sejahtera merupakan semua upaya, program dan
kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan
mengembangkan kesejahteraan keluarga. Karena itu, hendaklah dalam melaksanakan usaha
kesejahteraan keluarga dapat berpedoman pada beberapa hal yang dapat menjadi pegangan
sebagai berikut :
Melihat setiap manusia sebagai individu yang unik, yang lain daripada yang lain. Dan kita
membantu orang itu pda waktu dimana dia berada. Begitupula halnya kalau kita akan
membantu kelompok ataupun masyarakat.

Memberi kesempatan kepada yang dibantu untuk menyatakan perasaan-perasaannya tidak
hanya karena ia ingin diperlakukan sebagai individu, tetapi juga untuk meringankan
penderitaannya dan memenuhi kebutuhan serta turut serta mengatasi masalahnya.
Mengekang emosi :
Janganlah kita melibatkan diri kita dengan perasaan emosionil yang tak terkendali.
Dimaksudkan disini, untuk membantu orang lain, keterlibatan diri kita memang penting, akan
tetapi tak ada gunanya bila kita membantu dengan tidak mengendalikan emosi kita. Hal ini
untuk kepentingan orang yang akan dibantu. Menguasi perasaan diri kita sendiri adalah wajib.
Respek:
Penerimaan dengan respek kepada seseorang sebagaiman adanya merupakan sesuatu yang
harus kita perhatikan apalagi kita akan membantu orang itu. Dengan penuh pengertian kita
harus dapat menerima pengakuan dari orang tersebut dan memahami keadaan sebenarnya
apa yang menimpa orang itu dengan penuh respek.
Sikap yang tidak menghakimi
Bila kita sudah memutuskan untuk membantu seseorang/kelompok ataupun masyarakat, hal
mana merupakan usaha sosial kita, maka tak perlu kita mencari kesalahan atau menyalahkan
orang/kelompok yang akan kita bantu tersebut. Kita harus menerima realita bahwa memang
demikianlah adanya.
Memberi kesempatan untuk memilih pilihannya sendiri
Mengharagai sesorang dengan dibuktikan bahwa kita akan memberi kesempatan kepadanya
untuk menentukan pilihannya sendiri, tidak mendikte ataupun bersikap dominan, biarpun
pada orang yang akan kita bantu.
Kerahasiaan
Bila orang yang kita bantu mempercayakan segala sesuatu kerahasiaannya kepada kita, kita
patut dan harus menghormati kepercayaan itu, tidak menyia-nyiakan dengan menceriterakan
urusannya ataupun keadaannya kepada orang lain yang tak berkepentingan.
Dari uraian di atas maka diakhir tulisan ini, penulis memberikan suatu kesimpulan bahwa
Gereja Katolik secara hirarki selalu mendukung upaya-upaya untuk mewujudkan
kesejahteraan keluarga. Namun dukunga itu tetap mengacu pada doktrin dan ajaran moral
gereja. Karena itu, cara-cara yang dilakukan gereja untuk mewujudkan keluarga sejahtera
selalu bertitik tolak pada penghargaan atas kehidupan manusia sebagai ciptaan Tuhan yang
paling sempurna. (*)
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://www.kabarindonesia.com/

Tong Stephen Pdt.Dr, KELUARGA BAHAGIA, (Surabaya : Momentum, 2006).
Borrong P Robert. Dr, ETIKA KRISTEN, (Bandung : INK Media, 2006).

PENDAHULUAN

1.1 Alasan Memilih Judul
Judul Tulisan ini adalah: KELUARGA KRISTEN YANG BERTANGGUNG JAWAB,
SUATU TINJAUAN ETIS TEOLOGIS DAN IMPLIKASINYA BAGI GEREJA MASA KINI.

Keluarga adalah lembaga yang pertama yang ada di dunia ini. semua bermula dari keluarga, baik itu
pendidikan, ilmu atau iman. Keluarga Kristen adalah bagian integral dari keluarga-keluarga dalam
masyarakat yang plural. Dalam hal ini tentunya keluarga Kristen juga memiliki hak dan
tanggungjawab dalam pembangunan masyarakat yang madani, adil dan sejahtera. Tentunya hal ini
harus senantiasa di bangun atas dasar kesadaran dan apresiasinya akan eksistensinya sebagai ciptaan
Allah yang istimewa. Ada tanggungjawab dalam setiap keluarga Kristen untuk memberi kontribusi
positif dalam pembentukan masyarakat yang teratur, damai dan sejahtera.
Alkitab (secara khusus kitab Kejadian) dengan tegas dan lugas mendeskripsikan
eksistensi manusia. Pendeskripsian ini dimulai dari proses penciptaan hingga pada
pengingkaran manusia kepada Allah (dosa). Dalam proses penciptaan dinyatakan bahwa
manusia adalah ciptaan Allah yang istimewa. Keistimewaan ini terletak pada penciptaan
manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Imago Dei) dan juga
diciptakan dengan sikap proaktif Allah. Keistimewaan manusia ini pada akhirnya
menimbulkan suatu tanggungjawab manusia kepada Allah. Pertanggungjawaban manusia
kepada Allah nyata dalam mandat Allah kepada manusia untuk menaklukkan dan
menguasai segenap ciptaan. Dengan kata lain, keutuhan dan bahkan kesejahteraan seluruh
ciptaan adalah tanggungjawab manusia. Manusia harus senantiasa proaktif untuk
mewujudkan dunia yang diwarnai dengan keteraturan, kedamaian dan kesejahteraan
sebagai konsekwensi keistimewaan itu.
Paling tidak ada dua hal yang harus diperlihatikan setiap keluarga Kristen dalam penyataan
kontribusi positifnya dalam pembentukan tatanan masyarakat yang teratur, damai dan sejahtera.
Pertama: Setiap keluarga Kristen harus senantiasa sadar akan keistimewaannya sebagai ciptaan, yang
pada akhirnya membawanya pada sikap yang sadar bahwa ia bertanggungjawab atas keteraturan,
kedamaian dan kesejahteraan masyarakat dimana ia berada. Kesadaran ini di implementasikan dalam
kepeduliaan terhadap sesama dan lingkungan. Ada peran yang senantiasa diperlihatkan keluarga
Kristen dalam masyarakat dimana ia berada. Jadi tanggungjawab tersebut tidaklah bersifat abstrak.

Kedua : Kesadaran akan hal di atas kemudian dinyatakan terlebih dahulu secara internal melalui pola
hidup pribadi dan keluarga yang layak untuk diteladani oleh orang lain. Teladan yang dimaksud di sini
tentunya berpusat pada firman Allah yang senantiasa dijadikan sebagai orientasi hidup. Artinya,
keteladanan itu adalah buah dari kedekatan dan ketaatannya kepada firman Allah. Dari kedua hal di

atas kita melihat bahwa setiap keluarga Kristen harus peka dan peduli pada realitas masyarakat dan ia
harus mampu menjadi teladan positif dalam masyarakat. Dan itu diekspresikan pertama-tama dari
pribadi, kemudian keluarga sebagai buah kedekatan dan ketaatannya kepada Allah.
Keluarga Kristen dalam masyarakat dewasa ini diperhadapkan dengan multi pergumulan.
Dalam ranah sosial, realitas yang ada adalah kemiskinan dan kelaparan; kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) sebagai bias budaya patriakhat; tingginya angka kematian ibu dan anak sebagai buah
dari rendahnya kesadaran akan pola hidup sehat dalam masyarakat. Pemanasan global (global
warming), tingginya angka kriminalitas anak dan remaja, meningkatnya angka perceraian dan
keluarga yang tidak harmonis, dan ragam masalah sosial sebagai bias dari kemajuan teknologi dan
informasi yang merusak moral, spiritual dan tatanan masyarakat. Dan dalam ranah kepercayaan/ iman,
realitas yang terbentang juga tak kalah ragamnya. Maraknya model dan corak kepercayaan yang
berkembang tidak jarang membuat keluarga dan masyarakat kehilangan iman, terjebak pada pola
keberimanan yang cenderung pragmatis, semu dan ekstrim. Dinginnya minat dan kontribusi anggota
keluarga dalam pelayanan, dan lain lain. Inilah ragam tantangan yang harus dijawab setiap keluarga
Kristen di tengah-tengah masyarakat dewasa ini.
Keluarga Kristen yang adalah ciptaan yang istimewa dan bertanggungjawab sudah
selayaknya menunjukkan sikap yang proaktif menanggapi semua realitas tersebut. Bukanlah sikap
yang bertanggungjawab jika dalam realitas yang ada kita masih berpangku tangan, duduk diam
menjadi penonton yang budiman. Sekaranglah saatnya setiap keluarga Kristen menampilkan dirinya
sebagai sosok teladan yang senantiasa peduli dan bereaksi serta memberi kontribusi positif untuk
menanggapi segala persoalan yang ada. Keluarga Kristen diharapkan mampu mempromosikan nilainilai positif ditengah-tengah masyarakat. Hal ini tentunya dimulai dari pribadi dan keluarga yang
layak untuk diteladani.
Keluarga adalah tempat yang begitu indah untuk berbagi dan bertumbuh. Tanpa keluarga, kita
tidak akan tetap tegar dalam menjalani hari-hari kita. Saat kita susah, senang, gagal, ataupun berhasil,
keluargalah yang paling setia menemani dan menerima kita. Tidak ada seorang pun yang ingin
terpisah dari keluarga. Namun, ada kalanya kita harus pergi meninggalkan keluarga karena studi atau
pernikahan. Akan tetapi, hal ini tidak berarti kita putus hubungan dengan keluarga. Allah menetapkan
keluarga sebagai wadah untuk menyatakan rencana-Nya bagi dunia. Allah sebagai pembentuk
keluarga memiliki misi agar keluarga menjadi komunitas yang memancarkan rencana dan kasih-Nya

bagi dunia. Dalam tujuan ini Allah membentuk keluarga serta mengikatnya oleh persekutuan yang
berbasis iman dan tentunya memiliki kasih dalam setiap relasi yang dibangun.
Di dunia yang kacau dan sedang tidak menentu ini, adalah lebih penting daripada
sebelumnya untuk menjadikan keluarga pusat dari kehidupan kita dan prioritas tertinggi kita.
Keluarga menjadi inti dalam rencana Bapa Surgawi kita. Pernyataan dalam “Keluarga:
Pernyataan kepada Dunia” menegaskan tanggung jawab orang tua bagi keluarga mereka:
Supaya anak-anak mereka tidak Terjerat oleh kemajuan zaman yang menyuguhkan
berbagai situasi yang cepat menarik perhatian muda/i Kristen sehingga mereka bisa
terjebak pada hal-hal yang tidak di inginkan semisal NAPZA, NARKOBA, SEKS BEBAS,
PERGAULAN BEBAS dan lain sebagainya.
“Suami dan istri memiliki tanggung jawab kudus untuk mengasihi dan memelihara
satu sama lain dan anak-anak mereka. ‘Anak-anak adalah milik pusaka daripada Tuhan’
(Mazmur 127:3). Orang tua memiliki kewajiban kudus untuk membesarkan anak-anak
mereka dalam kasih dan kebenaran, menyediakan kebutuhan fisik dan rohani mereka,
mengajar mereka untuk saling mengasihi dan melayani, untuk mematuhi perintah-perintah
Allah, mereka menjadi penduduk yang mematuhi hukum di mana pun mereka tinggal. Para
suami dan istri, para ibu dan ayah akan bertanggung jawab di hadapan Allah untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut.”
Menurut pengalaman dan penglihatan penulis banyak keluarga Kristen sekarang ini
yang mengalami kehancuran, akibat perceraian, perselingkuhan, kenakalan anak anak bisa
membawa pertikaian/permasalahan dalam keluarga. Banyak suami- suami yang tidak
memahami peranannya dalam keluarga, fungsi dan tugasnya, demikian sebaliknya isteri
tidak memahami hakekat dan makna, fungsi dan peranannya dalam keluarga dan rumah
tangga. Anak tidak patuh dan hormat lagi kepada orang tua yang merawat dan
membesarkannya.
Menurut pengamatan penulis alangkah mudahnya seorang bapak (suami) yang nota
bene adalah kepala keluarga sering nongkrong di kedai (lapo) sampai larut malam, duduk
santai dan minum sampai mabuk mabukan, sangatlah janggal apabila seorang ayah
menyuruh anaknya pergi ke sekolah minggu, sedangkan dia tak pernah sekalipun pergi ke
Gereja kecuali pada waktu natalan atau tahun baruan, pembabtisan dan sidi. sangatlah
tidak enak apabila seorang isteri tidak memenuhi tugasnya sebagai isteri semisal terlalu

banyak ngerumpi dengan teman-temannya tanpa memperdulikan bagaimana anak-anaknya
pergi dan pulang sekolah, makan atau tidak makan. Demikian juga dengan anak yang
sesukanya bolos dan tawuran padahal orang tuanya susah payah mencari nafkah untuk
kepentingan dan biaya sekolahnya.
Maka dari itu penulis merasa perlu menuliskan dan menguraikan perlunya keluarga
Kristen yang bertanggung jawab, baik tanggung jawab sebagai orang tua, Isteri dan anak,
dewasa ini semakin diperlukan jiwa jiwa yang penuh tanggungjawab baik di masyarakyat,
sosial terlebih di dalam Gereja, maka dengan demikian akan membuat Iman semakin
dewasa dan makin bertanggung jawab di segala bidang. Dan dapat mengimplementasikan
Imannya dalam Gereja masa kini.
Pertanggungjawaban manusia sebagai ciptaan yang unik dan istimewa berpusat
kepada Allah. Dan yang menarik dalam hal ini adalah, kekuatan dan kesanggupan manusia
dalam pelaksanaan tanggungjawab tersebut juga tergantung kepada Allah sebagai pemberi
tanggungjawab. Dengan demikian perlu ada komunikasi dan koordinasi yang kontiniu antara
manusia dengan Allah dalam perw