Bahan tesis

Presiden Indonesia terpilih, Joko Widodo, baru-baru ini mengejutkan beberapa
pengamat ketika beliau mengumumkan susunan kabinet, yang mengombinasikan
kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi satu kementerian, dipimpin
oleh Ibu Siti Nurbaya, seorang politisi dengan banyak pengalaman dengan
pemerintah daerah dan pusat.
Keputusan tersebut menimbulkan riak di seluruh komunitas lingkungan hidup dan
kebijakan Indonesia-dan dapat menjadi tanda bahwa suatu agenda luas dan lintassektoral di bidang lingkungan hidup akan melemah dan disederhanakan. Pada
waktu bersamaan, hal tersebut mungkin memperkuat yurisdiksi di wilayah
berhutan, yang akan dikonsolidasikan di bawah satu kementerian. Ketika Presiden
berulang-ulang mengingatkan bangsa Indonesia bahwa selama ini kita telah
melupakan urusan kelautan, orang hanya dapat berharap bahwa beliau juga ingat
bahwa ada banyak konflik lahan dan kepemilikan lahan yang belum terselesaikan di
kebun belakang kita.
Bagaimanapun, hal tersebut adalah sebuah langkah berani: Ramifikasi politis dari
penggabungan kementerian dapat menyusahkan dan merepotkan. Melebur dua
birokrasi berbeda-dengan kekuatan, kelemahan dan kapasitas mereka masingmasing yang berbeda–merupakan sebuah tantangan di negara mana pun, dalam
konteks apa pun. Mungkin perlu beberapa waktu sebelum kementerian baru ini
dapat beroperasi dengan kecepatan penuh. Tak perlu disinggung, pembenaran
Presiden untuk memperoleh suatu keseimbangan antara para profesional dan
politisi dalam Kabinetnya akan tetap berada dalam pengawasan publik.
Tetapi di luar birokrasi dan politik, apakah artinya hal ini untuk lingkungan hidup

Indonesia, dan untuk hutan-hutannya? Laju deforestasi dan degradasi hutan yang
tinggi di Indonesia menimbulkan berbagai masalah serius lingkungan hidup lokal,
nasional dan global–yang meningkatkan pertaruhan tentang signifikasi
penggabungan ini.

Di Forum Bentang Alam Global:Apakah penggabungan kementerian
Indonesia akan menempatkan hutan dalam suatu bentang alam kebijakan yang
lebih luas? Bagaimana tindakan seperti ini memperkuat bentang alam –dan
mencapai Sasaran Pembangunan Berkelanjutan? Hal-hal ini dan berbagai topik
lain akan didiskusikan di suatu sesi di Forum Bentang Alam Global mendatang,
6-7 Desember di Lima, Peru. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.
Banyak peluang timbul dari pembentukan kementerian baru ini.
Di satu pihak, hal tersebut dapat membantu mengonsolidasikan pengelolaan
berbagai isu yang tadinya berada dalam yurisdiksi parsial dari kedua kementerian.
Kebakaran lahan dan hutan di Sumatra dan Kalimantan, misalnya, seharusnya tidak
lagi menjadi latihan tuding-menuding pada tingkat nasional–sebaliknya, satu
kementerian tunggal dapat mengambil tindakan riil dan terpadu untuk menangani
penyebab mendasar dari kebakaran tersebut, sehingga pencegahan kebakaran
lebih efektif daripada usaha pemadamannya.
Kedua, kekuatan dan kelemahan dari dua kementerian lama tersebut dapat saling

melengkapi, khususnya dalam pengertian finansial dan sumber daya manusia.
Berbagai undang-undang lingkungan hidup yang kuat dapat menjadi lemah bila
tidak ada cukup sumber daya untuk melaksanakannya; menggabungkan dua
kementerian dapat membantu mengisi berbagai celah dalam keahlian atau sumber
daya yang diperlukan untuk menyelenggarakan berbagai tugas besar di depan.
Ketiga, satu kementerian tunggal dapat lebih kuat secara politis daripada dua
kementerian yang lebih kecil-dengan syarat bahwa sumber daya yang tersedia
dioptimasikan dan/atau dimobilisasikan untuk mencapai berbagai sasaran baru dan
sama. Selain pemilahan berbagai tugas dan tanggung jawab dalam kementerian

baru tersebut, peningkatan terus-menerus dari kapasitas staf akan merupakan hal
penting.

UNTUK BERBAGAI KEMENTERIAN, 1+1 ≠ 2
Namun, ada juga berbagai tantangan yang dihadirkan oleh langkah tersebut.
Di satu pihak, dengan tidak adanya satu kementerian tunggal yang terfokus pada
kehutanan, apakah hutan-hutan Indonesia akan tersuramkan oleh berbagai prioritas
lain? Sebagai contoh, apakah penggunaan lahan hutan akan ditangani oleh
Kementerian Agraria dan Tata Ruang, yang sama-sama baru dibentuk?
Kedua, apakah kementerian yang baru ini mampu untuk mengatasi konflik

perebutan pengaruh, agar dapat berhasil bergabung menjadi satu? Banyak hal akan
bergantung pada struktur akhir dari kementerian baru tersebut. Misalnya, keenam
Direktoral Jenderal besar di Kementerian Kehutanan yang lama tidak akan mudah
diselaraskan dengan enam unit besar lainnya di bawah enam deputi di Kementerian
Lingkungan Hidup menjadi satu sistem besar yang fungsional. Ini merupakan
tantangan besar yang mungkin akan menyingkirkan beberapa pejabat berperingkat
tinggi dari pekerjaan mereka.
Merancang berbagai instrumen legal, ambil saja contoh Undang-undang No.
41/1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang No. 32/2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bukanlah tugas yang mudah. Akan diperlukan
kepemimpinan yang kuat dari seorang konduktor yang sensibel untuk
menyinkronkan berbagai nada yang dulunya ditampilkan pada berbagai panggung
berbeda di hadapan audiens yang berlainan. Memenangkan keyakinan dari para
pemangku kepentingan kementerian yang baru ini akan memerlukan pembuktian
konsep yang tepat waktu; demikian juga, para pemangku kepentingan tidak boleh
membiarkan “anak baru” ini tersandung keluar dari blok-bloknya dan tersesat tanpa
tuntunan. Membantu mereka untuk tetap terfokus adalah merupakan tanggung
jawab masyarakat Indonesia.
Penggabungan ini merupakan momen penting potensial untuk masa depan hutanhutan Indonesia. Diharapkan bahwa kementerian baru ini bukan hanya akan
mempertahankan lanskap berhutan Indonesia pada bagian teratas agenda, tetapi

akan menyediakan sumber daya dan pengaruh untuk menyeimbangkan nilai tinggi
dari barang-barang ekonomi yang berasal dari hutan, sambil mengamankan lahanlahan tersebut dan layanan sangat berharga yang disediakannya.
Kementerian baru ini dapat memberi implikasi yang nyata bukan hanya bagi negara
ini, tetapi juga untuk dunia.