Bagaimana Yesus menjadi Allah?

Adrianus Yosia

Dosen: Christian Sulistio

215

Laporan Baca TS IV

Hurtado, Larry W. How on Earth Did Jesus Become a God?. Gandum Mas: Malang, 2005,
trans. Jenus Junimen, Ed. Suhadi Yeremia, 260 halaman.
!‫ה אֶהָד‬³‫ה אֱל·הֵינוּ יžהו‬³‫ר´אֵל יžהו‬ ‫שׂ‬¢‫מַע י‬ ‫שׁ‬
(Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!–Bilangan 6:4)
Cuplikan ayat ini merupakan bagian dari shema Israel. Shema ini diberikan sebagai suatu
perintah pada Bangsa Israel untuk menyembah hanya satu Tuhan di tengah kultur budaya
politeistik. Shema ini membingkai worldview dari budaya dan teologi dari Bangsa Israel.
Tawarikh bangsa Israel mulai berlanjut kepada jaman para hakim, para raja sampai pada
pembuangan yang mengakibatkan gaung dari shema ini semakin menebal. Gaung itu
mewujudkan diri di dalam nasionalisme bangsa.
Tapi gaung dari shema ini telah mengalami suatu paradoks. Kelahiran Masehi di dalam
dunia ini membawa suatu perubahan pada paradigma sebagian orang Israel. Hanya 33 tahun
setelah kelahiran sang Masehi, segelintir anggota masyarakat Yahudi menyembah seorang

yang bernama Yesus. Masalahnya, gaung dari shema Israel ini tetap diterapkan. Hanya ada
satu Allah, tapi dalam penyembahan, segelintir orang ini melakukan penyembahan juga
kepada “manusia Allah” (Son of God) Yesus ini. Shema yang sudah menggema selama ribuan
tahun ini mengalami evolusi. Inilah paradoks yang terjadi.
How on earth Jesus become a God? merupakan buku yang ingin membahas
penyembahan terhadap Yesus dalam kazanah sejarah dan tradisi orang Yahudi. Buku ini
diterjemahkan oleh Jenus Junimen dan disunting oleh Suhadi Yeremia. Buku setebal 260
halaman ini diterbitkan oleh Gandum Mas Malang. Buku ini menjelaskan dengan terperinci
tentang penyembahan terhadap Yesus. Penjelasan dari buku ini dibagi menjadi dua bagian.
Jika penyembahan terhadap Yesus dapat diibaratkan sebagai riak air, bagian pertama
merupakan riak-riak yang terlihat. Bagian pertama, yang terdiri dari empat bab, Hurtado
membahas tentang keadaan sosial yang ada pada jaman jemaat mula-mula. Ada suatu fakta
sosial yang menarik, di mana orang-orang ini mengalami paradoks. Paradoks yang terjadi
adalah terjadinya penyembahan terhadap Yesus yang memang menonjol pada jaman itu (hal.
16). Penyembahan ini dapat dideteksi dari riak-riak atau akibat-akibat penyembahan itu.
1

Sedangkan bagian kedua, yang terdiri dari empat bab, merupakan penyebab dari riak-riak
air tersebut. Larry Hurtado mencoba untuk menjelaskan secara komprehensif penyebab dari
penyembahan itu.


RIAK-RIAK ITU TELAH TERDETEKSI!
Pada jaman di mana Yesus hidup, sudah menjadi kebiasaan umum bila ada banyak
penyembahan. Mulai dari malaikat, patung yang dianggap dewi, ataupun roh-roh. Tapi,
penyembahan terhadap Yesus terdapat sesuatu yang unik. Karena itu, bagian pertama ini ingin
menjelaskan bahwa akibat penyembahan ini, terdapat ekses-ekses bagi penyembah Yesus.
Bagaikan riak-riak air, penyembahan terhadap Yesus mempunyai dampak bagi umat
pilihan-Nya.
Gelombang riak yang pertama, Hurtado menjelaskan beberapa cara pendekatan sejarah
yang dapat dilakukan mengenai penyembahan terhadap Yesus. Ada empat pendekatan yang
diajukan oleh beberapa ahli sejarah. Pendekatan itu adalah (1) Penyembahan kepada Yesus
sebagai perkembangan Evolusioner (hal. 24-30), (2) Penyembahan kepada Yesus sebagai
“kultus” mesias dan martir Yahudi (hal. 31-32), (3) Penyembahan kepada Yesus sebagai
kesimpulan teologi (hal. 32 -35), (4) Penyembahan yang lebih memadai (hal. 35-39). Menurut
Hurtado, empat jenis pendekatan inilah yang selama ini digunakan sebagai cara untuk melihat
penyembahan terhadap Yesus.
Pendekatan (1)-(3) adalah pendekatan yang mengasumsikan bahwa penyembahan
terhadap Yesus merupakan hasil sinkretisme budaya Helenistik dan Yahudi. Ketiganya
mengasumsikan bahwa penyembahan terhadap Yesus sama saja dengan penyembahan
terhadap figur transenden lainnya. Pendekatan (1) ingin menyatakan bahwa penyembahan

terhadap Yesus merupakan suatu penyembahan yang berlangsung sebagai perkembangan
agama. Misalkan penyembahan terhadap malaikat, dsb. Tentunya proses ini dipengaruhi oleh
sinkretisme antara Helenisme dan Judaisme.
Penyembahan (2) ingin dijelaskan oleh Hurtado bahwa kultus penyembahan terhadap
mesias sama saja dengan penyembahan Mesias yang lain. Sekali lagi, terdapat sinkretisme
antara Judaisme dan Helenisme yang mengakibatkan pengkultusan terhadap Yesus. Yesus

2

dianggap sama saja dengan malaikat, rasio, dsb.
Penyembahan (3) adalah penyembahan yang mengasumsikan bahwa monoteisme Yahudi
adalah proses berpikir yang melewati Bait Suci kedua. Yesus adalah suatu proses akulturasi
teologis.
Sedangkan pendekatan yang ingin diajukan oleh Hurtado adalah pendekatan terhadap
penyembahan terhadap Yesus dengan tidak mengikuti metode (1)-(4). Alasannya, bahkan
hanya beberapa bulan sesudah kematian Yesus, penyembahan terhadapnya sudah terjadi (Kis
2:). Bahkan, sebelum dokumen-dokumen tentang Yesus muncul (sekitar tahun 50-60 M., kitab
Markus) penyembahan terhadap Yesus sudah terjadi (hal. 35).
Tentunya, sudut pandang ini mengundang sedikit pertanyaan. Mengapa kita harus
melihat divinitas Yesus berdasarkan penyembahan kepada-Nya? Jawabnya sederhana. Konsep

penyembahan pada jaman dulu mungkin berbeda dengan konsep penyembahan di masa kini.
Penyembahaan, pada masa kini, dimaknai sebagai ritual keagamaan. Hal yang sama juga
terjadi di masa lampau. Hanya saja, perbedaannya, agama tidak hanya menjadi suatu label,
tapi agama menjadi suatu identitas sosial, menjadi suatu pemersatu kesukuan. Inilah salah
satu poin yang ingin dikatakan oleh Hurtado pada bab dua.
Inilah gelombang riak yang kedua. Pada bab dua, Hurtado ingin menjelaskan dari mana
asal-usul monoteisme Israel. Monoteisme dari bangsa Israel semakin menebal semenjak bait
suci kedua dibangun. Monoteisme adalah ajaran agama bagi seorang Yahudi yang saleh.
Masalahnya, penyembahan terhadap Yesus justru terjadi di kalangan orang-orang Yahudi yang
saleh (hal. 43).
Premis dari buku ini cukup jelas bahkan meluas. Penyembahan terhadap YHWH dan
Yesus terus mengalami ekspansi. Pertama-tama, penyembahan terhadap figur ’dua tapi satu’
ini dilakukan oleh jemaat mula-mula, yang notebene orang-orang Yahudi. Setelah itu,
orang-orang Yunani, yang notebene politeistik, mau menyembah suatu figur Allah monoteistik
Israel. Jadi, dari Israel kepada Samaria, Yudea, berlanjut kepada Asia kecil dan ke seluruh
dunia. Inilah gelombang riak ketiga dari penyembahan Yesus.
Dampak inilah yang dijelaskan pada bab tiga. Secara sosiokultural dan politik,
orang-orang ini (penyembah Yesus baik Yunani dan Ibrani) dapat diibaratkan mengambil jalan

3


yang gila. Bagaimana tidak? Minimal ada tiga dampak. Pertama, setiap orang yang mengikuti
Yesus akan merasakan pengucilan dari lingkungannya mula-mula. Kedua, konsep shema
Israel (monoteistik) bergema di tengah-tengah situasi politeistik (hal. 71), tentunya hal ini
tidaklah mainstream. Karena kedua hal ini, terjadi pemutusan hubungan keluarga karena
kepercayaan pada Yesus. Ketiga, Paulus menyatakan keharusan untuk murninya agama (hal.
89). Akibatnya, seorang Kristen tidak mungkin dan tidak boleh melakukan sinkretisme. Dari
ketiga hal ini, seorang Kristen mengalami pengucilan total, baik secara sosial, politik, ataupun
budaya.
Dampak Sosial dapat terlihat oleh mata adalah penindasan terhadap orang-orang yang
mengaku percaya pada Kristus (hal. 73), penghukuman (hal. 84), perlakuan kejam (hal. 85).
Tidak hanya itu, orang-orang Kristen juga mengalami dampak politik. Misalkan penderaan
yang dialami oleh Paulus (hal. 91, bdk. 2 Kor. 11:25), hukuman cambuk dan penjara (hal. 91,
bdk. Kis. 16:19-40), persidangan. Jadi, orang-orang Kristen mengalami tekanan baik dari
sesama orang-orang Yahudi ataupun orang-orang Yunani.
Sejarah juga menyatakan bahwa setelah tahun 70 M, ada orang-orang Kristen yang
meregang nyawa karena imannya pada Yesus. Akibatnya, memang terdapat dampak sosial dan
politik pada orang-orang Kristen mula-mula. Penyembahan terhadap Yesus juga mempunyai
suatu bukti nyata berupa lagu-lagu himne. Inilah gelombang riak yang keempat.
Pada bab empat, Larry Hurtado mencoba untuk mendeteksi penyembahan yang

dilakukan oleh orang-orang Kristen lewat catatan Alkitab. Karena latar belakang ke-Yahudian,
mungkin saja orang-orang Yahudi mencoba untuk meniru nyanyian-nyanyian mazmur sebagai
penguat (hal. 99). Ada banyak hymne-hymne yang ada pada dunia orang-orang percaya.
Salah satu himne yang diangkat adalah Filipi 2:5-11. Larik-larik ini merupakan suatu tanda
bahwa memang ada lagu-lagu yang dibuat yang merujuk kepada Yesus (Hal. 98). Inilah suatu
inovasi yang terjadi pada penyembahan Yesus di abad mula-mula.
Mengapa menyebut penyembahan dengan Hymn sebagai inovasi bukanlah sebagai
akulturasi? Everett Ferguson menyatakan dalam background of Christianity bahwa musik
pada jaman Yunani juga sebagai ritus yang memang dilakukan pada jaman Yunani (Ferguson,
1993, 93). Jadi, nyanyian mempunyai suatu muatan teologis di dalamnya. Termasuk juga

4

dengan nyanyian dari Filipi 2:5-11.
Hurtado membahas larik-larik ini dan melakukan eksegesis pada ayat ini. Tujuannya
untuk memastikan bahwa memang lagu-lagu ini mempunyai suatu konsep tentang
penyembahan terhadap Yesus. Keempat gelombang riak inilah yang menjadi pembahasan dari
Hurtado.
Dari keempat gelombang riak ini, Penyembahan terhadap Yesus bukanlah penyembahan
yang biasa. Penyembahan terhadap Yesus dilakukan tanpa meniadakan YHWH, sehingga

penyembahan terhadap Yesus bukanlah sinkretisme, akhir suatu teologi ataupun suatu evolusi
penyembahan. Riak-riak ini baru membiarkan pembaca merasakan cicipan mengenai argumen
utama dari Hurtado. Riak-riak itu berasal dari suatu objek yang mendentum air. Inilah hal
yang ingin dibahas oleh Hurtado pada bagian kedua.

DARI MANAKAH ASAL DARI RIAK-RIAK ITU?
Riak-riak pada aliran air akan tiada tanpa adanya suatu dentuman. Pada pembahasan
yang diberikan oleh Hurtado, ada lebih dari satu dentuman yang terjadi. Dentuman ini juga
didasarkan kepada pembuktian intratekstual dari surat-surat Paulus dan Injil. Dentuman yang
pertama adalah konsep penyembahan monoteisme itu sendiri pada kancah budaya dan tradisi
orang-orang Yahudi.
Pada Bab lima, seperti yang secara implisit ditunjukan oleh bab sebelumnya, Hurtado
membahas monoteisme, dalam hal ini, penyembahan terhadap Yesus dengan mendalam.
Monoteisme murni yang dimaksud oleh Hurtado adalah orang-orang Yahudi zaman
Yunani-Romawi melakukan penghinaan orang-orang non-Yahudi karena mereka menolak
menyembah allah-allah lain. Bahkan orang-orang ‘terhina’ itu sampai bersedia mati sebagai
martir (hal. 144). Hal ini tentunya dicatat pada injil-injil kanonik. Hal ini juga yang menjadi
dentuman yang kedua dan ketiga. Dentuman kedua adalah penggunaan kata-kata tertentu pada
surat-surat Paulus maupun injil kanonik.
Pada Bab enam, Hurtado ingin membahas penyembahan Yesus di dalam konteks

kesejarahannya. Maksudnya penyembahan ini tercatat terlebih dahulu pada surat-surat Paulus
dan surat-surat injil. Di dalam masyarakat beriman, yaitu orang-orang Yahudi saleh, terdapat

5

penyembahan biniterian.
Hurtado menyoroti enam kata penyembahan. Kata penyembahan itu adalah proskune¯
o,
pipt¯
o, prospipt¯
o, prospipt¯
o tais govasin, gonupete¯
o, dan tith¯
emi ta gonata (hal. 154). Makna
kata-kata ini memberikan pengertian bahwa kata ini digunakan sebagai tanda untuk
penyembahan pada ‘Allah’ Yesus. Jadi, lewab bab ini, Hurtado ingin mengajak pembaca
untuk mengukuhkan pendapatnya mengenai ke-Tuhanan Yesus lewat literatur-literatur injil
dan surat Paulus lewat penggunaan kata. Dentuman ketiga adalah dampak dari orang-orang
Yahudi yang tercatat pada kisah injil.
Pada bab tujuh, Hurtado kembali melihat respon dari orang-orang Yahudi yang tidak

percaya kepada Yesus. Mereka mencoba untuk membunuh Yesus karena dia mengakui bahwa
Yesus adalah Allah. Tidak hanya itu, pertentangan terhadap Yesus sendiri tercatat di semua
injil dan Kisah Para Rasul. Dentuman keempat bisa dibilang sebagai kesimpulan dari
semuanya.
Pada bab delapan, Hurtado ingin mengajak pembaca melihat bahwa penyembahan
terhada Yesus bukanlah suatu sinkretisme. Penyembahan terhadap Yesus merupakan suatu
inovasi terhadap penyembahan YHWH. Penyembahan terhadap Yesus dapat disebut sebagai
inovasi karena penyembahan itu tetap memperlakukan YHWH sama, tapi terdapat
penyembahan juga terhadap Yesus. Asumsi mendasar yang digunakan oleh Hurtado adalah
Alkitab juga berisi pengalaman-pengalaman agamawi (hlm 200.) Pengalaman-pengalaman
agamawi inilah yang membentuk inovasi ini.
Dari empat hal ini, ada empat dentuman yang mendasari riak-riak dari Hurtado. Empat
hal ini juga yang membuat Hurtado dapat memberikan landasan bagi riak-riak air yang sudah
dijelaskan pada bagian pertama.

EVALUASI BUKU
Pertama, tama saya akan mencoba untuk membuat bagan dari pemikiran Hurtado. Saya
mencoba membuat bagan pemikiran dari Hurtado. Saya mendapati demikian:

6


Dari bagan ini, kita dapat melihat alur berpikir dari Hurtado. Menurut saya, argumen yang
diberikan oleh Hurtado cukup baik. Hal ini dikarenakan Hurtado menjadikan Alkitab sebagai
dasar pengambilan kesimpulan. Hurtado juga memberikan suatu gambaran mengenai studi
historisitas dari wahyu Allah. Buku ini juga memberikan gambaran yang komprehensif
bagaimana Alkitab dapat bersifat proporsionalis di dalam sejarah.
Saya melihat bahwa setidaknya ada tiga poin keunggulan dari buku ini. Pertama, Larry
W. Hurtado ingin menawarkan suatu bukti yang lain mengenai penyembahan terhadap Yesus.
Dia membuktikan penyembahan terhadap Yesus berdasarkan kesejarahan Alkitab. Kedua,
Hurtado juga memaparkan pendekatan ilmiah dari pembuktian kesejarahan Yesus ini.
Tapi, saya merasa bahwa Hurtado terlalu berbelit-belit di dalam menjelaskan setiap topik
pembahasan. Ada hal-hal yang beririsan dengan pada setiap babnya. Hurtado juga tidak
membahas berbagai sekte yang ada organisasi Yahudi. Bagaimana Hurtado yakin bahwa
semua sekte Yahudi melakukan penyembahan yang sama dengan orang-orang Yahudi di
Palestina.

REFLEKSI TEOLOGIS
Saya mencoba merenungkan masalah monoteisme kontra politeisme. Permasalahan dari
monoteisme versus politeisme terus bergaung sampai saat ini. Hanya saja, illahnya dinyatakan
di dalam bentuk yang berbeda. Pada jaman dahulu, illah-illahnya mungkin selalu

7

diasosiasikan dengan patung-patung. Tapi, pada jaman ini, orang dapat menyembah ‘illah’
yang lain berupa uang, kekuasaan, diri sendiri, gadget, dsb. Seruan untuk menyembah hanya
kepada satu Allah tetap berlaku. Sebagai orang Israel yang baru, Tuhan tetaplah Esa (Bil.
6:24). Seperti apa yang Yesus katakan bahwa kita tidak dapat mengabdi kepada mamon dan
Tuhan (Mat. 6:24). Apakah keputusan iman ini memiliki dampak?
Di tengah permasalahan ini, saya merenungkan bahwa penyembahan terhadap Yesus
mempunyai dampak sosial dan politik. Kenyataannya, penistaan, penganiayaan dan kesulitan
masih menghantam orang-orang Kristen di dunia ini. Bahkan, pengasingan secara politik
ataupun sosial juga terjadi di Indonesia. Tidak hanya itu, dampak penyembahan yang
trinitarian juga mempunyai banyak misteri, yang hampir sama dengan penyembahan
binetarian. Bagaimana mungkin Ia tetap satu tapi tiga (atau dua)?
Kesimpulan yang dapat diambil adalah sampai saat ini, dentuman-dentuman
penyembahan terhadap Kristus, di dalam Trinitas, tetap terjadi. Dentuman-dentuman itu
memberikan riak-riak yang sama dari masa lampau sampai dengan masa kini. Jadi, saya
bertanya kepada diri saya: “apakah yang harus saya lakukan?”
Bagian saya adalah menghidupi shema itu dan terus menyembah Tuhan Yesus. Terus
mencoba untuk merasakan anugerah yang Tuhan berikan dan terus hidup di dalam kasih-Nya.
Saya akan menutup perenungan saya dengan satu ayat.
Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau
kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya,
atau pedang? (Roma 8:35)
Jadi, siapakah yang dapat memisahkan saya dari Kristus? Tidak Ada!

8