Mahasiswa Acicis UMM Teliti Arema dan Politik
Universitas Muhammadiyah Malang
Arsip Berita
www.umm.ac.id
Mahasiswa Acicis UMM Teliti Arema dan Politik
Tanggal: 2011-12-13
James Dawson meneliti tentang Arema.
Entah sudah berapa penelitian yang dihasilkan dari fenomena dunia persepak bolaan di Malang yang dikenal dengan
fenomena Aremania ini. Semua penelitian itu tentu menarik untuk dibaca. Namun bagaimana jika penelitinya adalah
seorang mahasiswa asing asal Australia. Itulah yang terjadi pada program Australian Consortium for In-country
Indonesian Studies (Acicis) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
James Dawson, mahasiswa Australia National University (ANU) yang saat ini mengikuti Acicis UMM, meneliti “Arema
dan Aremania, Cermin Politik Malang”. Hasil akhir penelitian ini dipresentasikan dihadapan para pembimbing, penguji
dan mahasiswa UMM, Selasa (13/12) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UMM.
Dengan pakaian ala Aremania lengkap dengan baju biru kebesarannya, Dawson, memaparkan temuan-temuan
menariknya. Menurutnya, sepak bola sangat dipengaruhi oleh hal-hal dan tokoh-tokoh politik meski suporter olah raga
paling banyak penggemarnya ini tidak menyukai hal itu. “Tim olah raga, khususnya yang sukses, didekati oleh tokoh
politik untuk meraih prestasinya,” kata Dawson.
Dawson mengamati dan mewawancarai warga Malang, dosen, tokoh Aremania, serta mengumpulkan dokumentasi dari
media massa dan blog olah raga. Pertanyaan besar yang dibawanya adalah mengapa sepak bola penting di bidang
politik. Juga tentang bagaimana Arema dan Aremania mempengaruhi dan dipengaruhi politik.
Ketertarikan Dawson kepada Arema tak hanya soal fanatisme Aremania dan tarik-menarik dalam politik, tetapi juga
karena Arema sebagai tim yang bebas dari pendanaan APBD. “Kebanyakan klub sepak bola didanai APBD dan diurus
oleh pejabat pemerintah sehingga tidak bisa dijauhkan dari kepentingan politik,” terangnya.
Arema, dalam pandangan Dawson adalah swasta, tanpa APBD sehingga lebih ‘miskin’ disbanding klub lain. “Arema
tergantung pada penjualan tiket dan sponsorisasi serta iuran Aremania. Ini yang luar biasa,” tambah Dawson.
Fanatisme Aremania menurut Dawson menjadi sumberdaya yang menarik di luar masalah pendanaan. Itulah sebabnya,
Aremania sesungguhnya sangat tidak ingin pencampuran urusan sepak bola dengan politik. “Aremania sebagai
lembaga tidak boleh digunakan sebagai kendaraan politik secara terbuka, karena bisa dimusuhi oleh Aremania,”
lanjutnya lagi. Itulah sebabnya, ketika dirijen Aremania Yuli Sumpil hendak ditarik oleh salah satu Parpol memilih
menolak untuk menghargai sikap Aremania itu. Namun demikian, tak bisa dielakkan tokoh Aremania di tingkat Korwil
masih saja ada yang ditarik-tarik oleh Parpol, misalnya untuk kampanye.
Presentasi Dawson mengundang diskusi yang menarik di kalangan dosen dan mahasiswa. Dr. A Habib, misalnya,
meminta Dawson menarik fenomena itu hingga ke tingkat pusat atau nasional. Problem pelik sepak bola di Malang, kata
Habib, tak lepas dari masalah di tingkat nasional. “Misalnya, ISL dan IPL memiliki background politik masing-masing.
Jadi fenomena Arema bisa saja ditarik dari situ,” saran Habib.
Pengamat sepakbola UMM, Victor Pradipta, mempertanyakan apakah kisruh dualism, atau yang oleh Dawson disebut
“Tigalisme” berpengaruh pada tingkat grassroot. Sebab, hingga saat ini belum terlihat perpecahan di tingkat Aremania
tetapi tanda-tanda kea rah itu mulai terlihat. Dosen HI UMM ini khawatir ini akan memperburuk Arema sendiri.
Atas berbagi masukan, Dawson mengaku akan mempertimbangkannya. Dalam studi kualitatif lapangan itu mungkin
saja akan diperluas dengan usulan Habib atau hingga efek sosiologis yang diusulkan Victor.
Selain Dawson, ada delapan mahasiswa Acicis UMM lain yang juga melakukan presentasi akhir. Mereka mengangkat
tema-tema unik, termasuk tema yang serius. Max Eddie, mengangkat tema efek pertumbuhan minimart terhadap pasar
tradisional di Malang. Presentasi Max memperoleh pujian dari Residence Director Acicis, Philip King. Max berhasil
memaparkan data yang mengejutkan berdasarkan temuannya. Misalnya, kerawanan pasar atau toko tradisional yang
ditopang dari 88,9% modal sendiri.
Selain itu, temuan Max yang menarik adalah sikap masyarakat yang berbeda dengan sikap pedagang tradisional
terhadap serbuan minimart. "Masyarakat cenderung tidak suka dengan kehadiran minimart itu karena tidak tau siapa
pemiliknya dan mengusai ekonomi di sekeliling masyarakat itu," simpul seorang peserta. (nas)
page 1 / 1
Arsip Berita
www.umm.ac.id
Mahasiswa Acicis UMM Teliti Arema dan Politik
Tanggal: 2011-12-13
James Dawson meneliti tentang Arema.
Entah sudah berapa penelitian yang dihasilkan dari fenomena dunia persepak bolaan di Malang yang dikenal dengan
fenomena Aremania ini. Semua penelitian itu tentu menarik untuk dibaca. Namun bagaimana jika penelitinya adalah
seorang mahasiswa asing asal Australia. Itulah yang terjadi pada program Australian Consortium for In-country
Indonesian Studies (Acicis) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
James Dawson, mahasiswa Australia National University (ANU) yang saat ini mengikuti Acicis UMM, meneliti “Arema
dan Aremania, Cermin Politik Malang”. Hasil akhir penelitian ini dipresentasikan dihadapan para pembimbing, penguji
dan mahasiswa UMM, Selasa (13/12) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UMM.
Dengan pakaian ala Aremania lengkap dengan baju biru kebesarannya, Dawson, memaparkan temuan-temuan
menariknya. Menurutnya, sepak bola sangat dipengaruhi oleh hal-hal dan tokoh-tokoh politik meski suporter olah raga
paling banyak penggemarnya ini tidak menyukai hal itu. “Tim olah raga, khususnya yang sukses, didekati oleh tokoh
politik untuk meraih prestasinya,” kata Dawson.
Dawson mengamati dan mewawancarai warga Malang, dosen, tokoh Aremania, serta mengumpulkan dokumentasi dari
media massa dan blog olah raga. Pertanyaan besar yang dibawanya adalah mengapa sepak bola penting di bidang
politik. Juga tentang bagaimana Arema dan Aremania mempengaruhi dan dipengaruhi politik.
Ketertarikan Dawson kepada Arema tak hanya soal fanatisme Aremania dan tarik-menarik dalam politik, tetapi juga
karena Arema sebagai tim yang bebas dari pendanaan APBD. “Kebanyakan klub sepak bola didanai APBD dan diurus
oleh pejabat pemerintah sehingga tidak bisa dijauhkan dari kepentingan politik,” terangnya.
Arema, dalam pandangan Dawson adalah swasta, tanpa APBD sehingga lebih ‘miskin’ disbanding klub lain. “Arema
tergantung pada penjualan tiket dan sponsorisasi serta iuran Aremania. Ini yang luar biasa,” tambah Dawson.
Fanatisme Aremania menurut Dawson menjadi sumberdaya yang menarik di luar masalah pendanaan. Itulah sebabnya,
Aremania sesungguhnya sangat tidak ingin pencampuran urusan sepak bola dengan politik. “Aremania sebagai
lembaga tidak boleh digunakan sebagai kendaraan politik secara terbuka, karena bisa dimusuhi oleh Aremania,”
lanjutnya lagi. Itulah sebabnya, ketika dirijen Aremania Yuli Sumpil hendak ditarik oleh salah satu Parpol memilih
menolak untuk menghargai sikap Aremania itu. Namun demikian, tak bisa dielakkan tokoh Aremania di tingkat Korwil
masih saja ada yang ditarik-tarik oleh Parpol, misalnya untuk kampanye.
Presentasi Dawson mengundang diskusi yang menarik di kalangan dosen dan mahasiswa. Dr. A Habib, misalnya,
meminta Dawson menarik fenomena itu hingga ke tingkat pusat atau nasional. Problem pelik sepak bola di Malang, kata
Habib, tak lepas dari masalah di tingkat nasional. “Misalnya, ISL dan IPL memiliki background politik masing-masing.
Jadi fenomena Arema bisa saja ditarik dari situ,” saran Habib.
Pengamat sepakbola UMM, Victor Pradipta, mempertanyakan apakah kisruh dualism, atau yang oleh Dawson disebut
“Tigalisme” berpengaruh pada tingkat grassroot. Sebab, hingga saat ini belum terlihat perpecahan di tingkat Aremania
tetapi tanda-tanda kea rah itu mulai terlihat. Dosen HI UMM ini khawatir ini akan memperburuk Arema sendiri.
Atas berbagi masukan, Dawson mengaku akan mempertimbangkannya. Dalam studi kualitatif lapangan itu mungkin
saja akan diperluas dengan usulan Habib atau hingga efek sosiologis yang diusulkan Victor.
Selain Dawson, ada delapan mahasiswa Acicis UMM lain yang juga melakukan presentasi akhir. Mereka mengangkat
tema-tema unik, termasuk tema yang serius. Max Eddie, mengangkat tema efek pertumbuhan minimart terhadap pasar
tradisional di Malang. Presentasi Max memperoleh pujian dari Residence Director Acicis, Philip King. Max berhasil
memaparkan data yang mengejutkan berdasarkan temuannya. Misalnya, kerawanan pasar atau toko tradisional yang
ditopang dari 88,9% modal sendiri.
Selain itu, temuan Max yang menarik adalah sikap masyarakat yang berbeda dengan sikap pedagang tradisional
terhadap serbuan minimart. "Masyarakat cenderung tidak suka dengan kehadiran minimart itu karena tidak tau siapa
pemiliknya dan mengusai ekonomi di sekeliling masyarakat itu," simpul seorang peserta. (nas)
page 1 / 1