B ing indo jasmira

(1)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 latar belakang

Ilmu tanah adalah pengkajian terhadap tanah sebagai sumber daya alam. Dalam ilmu ini dipelajari berbagai aspek tentang tanah, seperti pembentukan, klasifikasi, pemetaan, berbagai karakteristik fisik, kimiawi, biologis, kesuburannya, sekaligus mengenai pemanfaatan dan pengelolaannya. Tanah adalah lapisan yang menyeliputi bumi antara litosfer (batuan yang membentuk kerak bumi) dan atmosfer. Tanah menjadi tempat tumbuh tumbuhan dan mendukung kehidupan hewan dan manusia

Dalam dunia pertanian, tanah mempunyai peranan yang penting, tanah sangat dibutuhkan tanaman. Dengan bertambah majunya peradaban manusia yang sejalan dengan perkembangan pertanian dan disertai perkembangan penduduk yang begitu pesat, memaksa manusia mulai menghadapi masalah-masalah tentang tanah, terutama untuk pertanian sebagai mata pencaharian pokok pada waktu itu.

Sebagai manusia biasa mungkin kita hanya dapat mempelajari sedikit tentang sifat – sifat tanah , struktur tanah, tekstur tanah maupun pengetahuan tentang unsur-unsur yang terkandung dalam tanah. Tanah merupakan kendaraan pokok bagi kegiatan pertanian manusia, oleh karena itu adalah sangat penting mempelajari ilmu tanah guna menunjang kegiatan pertanian di masa mendatang. Disinilah pentingnya membekali kegiatan praktikum mengenai ilmu tanah bagi mahasiswa pertanian yang motabene akan menjadi generasi yang akan berjuang memajukan dunia pertanian Indonesia.


(2)

Sebagai manusia biasa mungkin kita hanya dapat mempelajari sedikit tentang sifat – sifat tanah , struktur tanah, tekstur tanah maupun pengetahuan tentang unsur-unsur yang terkandung dalam tanah. Tanah merupakan kendaraan pokok bagi kegiatan pertanian manusia, oleh karena itu adalah sangat penting mempelajari ilmu tanah guna menunjang kegiatan pertanian di masa mendatang. Disinilah pentingnya membekali kegiatan praktikum mengenai ilmu tanah bagi mahasiswa pertanian yang motabene akan menjadi generasi yang akan berjuang memajukan dunia pertanian Indonesia.

Sebagai manusia biasa mungkin kita hanya dapat mempelajari sedikit tentang sifat – sifat tanah , struktur tanah, tekstur tanah maupun pengetahuan tentang unsur-unsur yang terkandung dalam tanah. Tanah merupakan kendaraan pokok bagi kegiatan pertanian manusia, oleh karena itu adalah sangat penting mempelajari ilmu tanah guna menunjang kegiatan pertanian di masa mendatang. Disinilah pentingnya membekali kegiatan praktikum mengenai ilmu tanah bagi mahasiswa pertanian yang motabene akan menjadi generasi yang akan berjuang memajukan dunia pertanian Indonesia.

1.2 Tujuan

Dengan mempelajari jenis-jenis tanah yang ada, maka kita dapat mempermudah mempelajari ilmu tanah serta merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Dasar-dasa Ilmu Tanah.

1.3 Mamfaat

Setiap mahasiswa yang khususnya mendapat tugas ini, bermamfaat untuk mendalami ilmu tanah jenis-jenis tanah yang ada di Indonesia dan belahan dunia.


(3)

BAB II PEMBAHASAN 2.2. Jenis-Jenis Tanah

Ada dua jenis tanah yaitu:

2.2.1 Tanah Alfisol

Pengertian Tanah alfisol merupakan morfologi yang khas dari Alfosol dicirikan oleh horizon eluviasi dan iluviasi yang jelas, yang mana horizon permukaan umumnya berwarna terang karena dipengaruhi oleh beberapa jenis mineral seperti kuarsa yang dapat mempengaruhi warna tanah Alfisol lebih terang. (Handayani, 2003). Perkembangan struktur yang berbeda diantara horizon juga merupakan morfologi yang khas dari Alfosol. Alfisol diartikan oleh horizon Argilik yaitu horizon B yang paling sedikit mengandung 1,2 kali lielt lebih besar daripada liat diatasnya. Horizon B utamanya Bt memperlihatkan struktur tersudut atau kubus, sedang sampai kuat. (Handayani, 2003).

Tanah Alfisol memiliki struktur tanah yang liat. Liat yang tertimbun di horizon bawah ini berasal dari horizon diatasnya dan tercuci ke bawah bersama dengan gerakan air. Dalam banyak pola Alfisol digambar adanya perubahan tekstur yang sangat jelas dalam jarak vertikal yang sangat pendek yang dikenal Taksonomi Tanah (USDA, 1985) sebagai Abrupat Tekstural Chage (perubahan tekstur yang sangat ekstrim)(Handayani, 2003). Tanah Alfisol dilambangkan oleh tanah yang disebut Gray-Brown Podzolic dalam sistem lama. Alfisol mempunyai permukaan abu-abu sampai coklat, kandungan basa sampai sedang sampai besar dan mengandung horizon iluvial dimana menimbun lempung silikat. Horizon ini disebut Argilik. Jika hanya terdapat lempung silikat dan disbut natrik jika


(4)

disamping lempung, lebih dari 15 % jenuh dengan natrium dengan berstruktur tiang dan pilar. Horizon lempung umumnya lebih dari 35 % jenuh basa. (Handayani, 2003). Pada tanah Alfisol terdapat penimbunan liat di horizon bawah (horizon Argilik) dan mempunyai kejenuhan basa tinggi yaitu lebih dari 35 % pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah. (Handayani, 2003) pH dalam tanah Alfisol seringkali berubah dengan meningkatnya kedalaman dan kecenderungan lebih tinggi pada bagian bawah profil dan sejumlah bahan-bahan glacial sampai ke suatu karbonat bebas dengan pH 8,0 lebih tinggi. Ini menyebabkan berubahnya mobilitas elektroporetik koloid-koloid hasil pelapukan-pelapukan kimia yang sementara ini umumnya dianggap bergerak ke bawah namun juga berdimensi horizon, dimana terakhir berhubungan erat dengan perkembangan akar. (Handayani, 2003).

Alfisol nampaknya mengalami pelapukan lebih hebat dari pada inseptisol akan tetapi kurang daripada spodosol. Mereka sebagian besar terbentuk di daerah lembah di bawah sisa-sisa tanaman hutan asli, walaupun kadang-kadang aslinya rumput vegetasi. Sebagai tambahan pada tanah Gray-Brown Podzolic. Alfisol mencakup sebagian besar area yang dulu disebut tanah Non Clasic Brown dan Gray Wooded dan beberapa diantaranya disebut Palnosol, Half Bag dan Solodized Solonetz. Pada umumnya, Alfisol adalah tanah yang sangat produktif kandungan basa yang sedang sampai besar itu umumnya menguntungkan untuk menghasilkan tanaman yang cukup besar. (Handayani, 2003). Tanah dengan drainase yang baik akan berwarna kelabu dengan bercak-bercak kuning pada lapisan air dan menguntungkan untuk satu peristiwa kimia . Besi dalam tanah teroksidasi dan terhidrasi sehingga menjadi senyawa yang berwarna merah kuning. Hal ini diketemukan pada tanah Alfisol karena tanah Alfisol ini merupakan tanah dengan drainase yang baik. (Handayani, 2003).


(5)

2.2.2. Tanah Ultisol

Pengertian Tanah Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung. Ultisol dapat berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang bersifat masam hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah batuan sedimen masam. Luas tanah Ultisol berdasarkan bahan induknya disajikan pada Tabel 1. Di antara grup Ultisol, Hapludults mempunyai sebaran terluas. Hal ini karena persyaratan klasifikasinya hanya didasarkan pada nilai kejenuhan basa yaitu < 35% dan adanya horizon argilik, tanpa ada syarat tambahan lainnya.

Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada tanah Ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan bahan organik pada lapisan atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan organik dan hara. Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Di Indonesia, Ultisol umumnya belum


(6)

tertangani dengan baik. Dalam skala besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani kendala ekonomi merupakan salah satu

penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan baik.

2.3. Klasifikasi Teknis tanah

Klasifikasi teknis yakni klasifikasi tanah yang didasarkan atas sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kemampuan untuk penggunaan tertentu. Misalnya, untuk menanam tanaman semusim, tanah diklasifikasikan atas dasar sifat-sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman semusim seperti kelerengan, tekstur, pH dan lain-lain. Dalam praktiknya untuk mempelajari jenis tanah maka sistem klasifikasi yang digunakan adalah sistem klasifikasi alami.

Pada awalnya jenis tanah diklasifikasikan berdasarkan prinsip zonalitas, yaitu :

1. Tanah zonal, yakni tanah dengan faktor pembentuk tanah berupa iklim dan vegetasi,

2. Tanah intrazonal, yakni tanah dengan faktor pmbentuk tanah berupa faktor lokal terutama bahan induk dan relief,

3. Tanah azonal, yakni tanah yang belum mennjukkan perkembangan profil dan dianggap sebagai awal proses pembentukan tanah.

Kemudian dalam perkembangannya jenis tanah diklasifikasikan berdasarkan sifat tanah (taksonomi tanah). Sistem ini pertama kali dikembangkan oleh USDA (United State Departement of Agriculture) pada tahun 1960 yang dikenal dengantujuh pendekatan dan sejak tahun 1975 dikenal dengan nama taksonomi tanah. Sistem ini bersifat alami berdasarkan karakteristik tanah yang teramati dan terukur yang dipengaruhi oleh proses genesis.


(7)

Berdasarkan ada tidaknya horizon penciri dan sifat penciri lainnya maka dalam taksonomi tanah dibedakan atas enam kategori yakni ordo, subordo, greatgroup, subgroup, family dan seri. Pada edisi Taksonomi tanah tahun 1998 terdapat 12 ordo jenis tanah. Kedua belas ordo tersebut adalah Alfisols, Andisols, Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols, Mollisols, Oxisols, Spodosols, Ultisols dam Vertisols.

.

2.4 Pengolahan Lahan

Lahan atau tanah merupakan sumberdaya alam fisik yang mempunyai peranan penting dalam segala kehidupan manusia, karena lahan atau tanah diperlukan manusia untuk tempat tinggal dan hidup, melakukan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan dan sebagainya. Karena pentingnya peranan lahan atau tanah dalam kehidupan manusia, maka ketersediaannya juga jadi terbatas. Keadaan ini menyebabkan penggunaan tanah yang rangkap (tumpang tindih), misalnya tanah sawah yang digunakan untuk perkebunan tebu, kolam ikan atau penggembalaan ternak atau tanah hutan yang digunakan untuk perladangan atau pertanian tanah kering.

Secara teoritis, lahan kering di Indonesia dibedakan dalam dua kategori, yaitu lahan kering beriklim kering, banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, dan lahan kering beriklim basah, banyak ditemui di kawasan barat Indonesia. Cukup banyak tipologi wilayah pengembangan lahan kering yang terdapat di dua kategori tersebut. Namun wilayah pengembangan lahan kering yang dominan di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan potensi dan dominasi vegetasinya (Bamualim, 2004)


(8)

Pendayagunaan lahan atau tanah memerlukan pengelolaan yang tepat dan sejauh mungkin mencegah dan mengurangi kerusakan dan dapat menjamin kelestarian sumber daya alam tersebut untuk kepentingan generasi yang akan datang. Pada sistem lingkungan tanah, usaha-usaha yang perlu dikerjakan ialah rehabilitasi, pengawetan, perencanaan dan pendayagunaan tanah yang optimum (Handayani, 2003).

Pendayagunaan lahan atau tanah yang kurang tepat akan menyebabkan lahan atau tanah tersebut menjadi rusak (kritis) dan kehilangan fungsinya. Hilangnya fungsi produksi dari sumber daya tanah dapat terus menerus diperbaharui, karena diperlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk pembentukan tanah tersebut.

Akhir-akhir ini masalah kerusakan sumberdaya tanah, terutama tanah pertanian lahan kering didaerah aliran sungai (DAS) bagian hulu, sudah mencapai tahap sangat mengkhawatirkan. Dari tahun ketahun laju pertambahan kerusakan tanah semakin meningkat, diperkirakan luas tanah yang rusak bertambah sekitar satu sampai dua persen setiap tahunnya (Handayani, 2003).

Apabila pengolahan tanah kering secara lestari telah dikuasai masyarakat pedesaan, maka tidak akan ada kritis mata pencaharian yang menyebabkan tanah menjadi kritis. Pengendalian teknologi pengolahan tanah kering secara lestari adalah sederhana, tidak memerlukan peralatan serba modern (canggih) dan pendidikan tinggi. Azas pengelolaan lahan kering adalah menciptakan lingkungan perakaran yang dalam, mempertahankan kemampuan tanah menyimpan air dan mengedarkan udara, tindakan terakhir adalah memperkaya tanah dengan zat hara tersedia untuk


(9)

akar. Zat hara tersebut didapat dari pupuk buatan, pupuk kandang (kotoran ternak) dan mulsa atau pupuk hijau.

Pemanfaatan lahan untuk pengembangan peternakan menimbulkan isu-isu yang santer, pandangan tentang dampak ternak terhadap lahan terpecah dalam dua kutub. Di satu pihak terdapat pandangan ekstrim yang memandang ternak sebagai hama yang menimbulkan kerusakan sumber daya alam. Di pihak lain terdapat keyakinan bahwa ternak justru dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan dan menjaga kesuburan tanah. Kedua pandangan tersebut sama-sama mengandung kebenaran, karena ternak memang ibarat pisau bermata dua. Dengan pengelolaan yang tepat ternak dapat dimanfaatkan, sebaliknya dapat menjadi musibah kalau dikelola secara ceroboh (Handayani, 2003).

Di Indonesia, pandangan orang tentang hubungan peternakan dengan lahan masih sangat bersimpang siur. Di satu pihak orang berpendapat bahwa peternakan telah berkembang tanpa basis ekologi berada ditangannya. Kelompok ini memandang keadaan ini sebagai suatu kelemahan. Dipihak lain berkembang pendapat bahwa sifat tidak tergantung pada lahan (non-land base) justru merupakan ciri kekuatan peternakan. Kekeliruan ini terdapat di sementara kalangan di luar peternakan. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena akan membawa kerugian kepada semua pihak.

Pergesekan kepentingan (conflict of interest) sudah sering terjadi antar sub-sektor yang menuntut jurisdiksi terhadap lahan. Masing-masing pihak menuntut secara maksimal lahan untuk pengembangan bidangnya sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab masing-masing. Permasalahan muncul terutama di tingkat pelaksanaan, meskipun ketidakpastian tersebut juga sangat mempersulit perencanaan pembangunan (Handayani, 2003).


(10)

BAB III PENUTUP Kesimpulan

Ilmu tanah dipelajari oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti ilmu-ilmu keteknikan (rekayasa), agronomi/pertanian, kimia, geologi, geografi, ekologi, biologi (termasuk cabang-cabangnya), ilmu sanitasi, arkeologi, dan perencanaan wilayah. Akibat banyaknya pendekatan untuk mengkaji tanah, ilmu tanah bersifat multidisiplin dan memiliki sisi ilmu murni maupun ilmu terapan. Ilmu tanah dibagi menjadi dua cabang utama: pedologi dan edafologi. Pedologi mempelajari tanah sebagai objek geologi. Edafologi, atau ilmu kesuburan tanah, mempelajari tanah sebagai benda pendukung kehidupan. Keduanya menggunakan alat-alat dan sering kali juga metodologi yang sama dalam mempelajari tanah, sehingga muncul pula disiplin ilmu seperti fisika tanah, kimia tanah, biologi tanah (atau ekologi tanah), serta ilmu konservasi tanah. Karena tanah juga memiliki aspek ketataruangan dan sipil, berkembang pula disiplin seperti mekanika tanah, pemetaan (kartografi), geodesi dan survai tanah, serta pedometrika atau pedostatistika. Penggunaan informatika juga melahirkan beberapa ilmu campuran seperti geomatika.


(11)

DAFTAR PUSTAKA

Hardjowigeno, S. 2003. IlmuTanah. Akademika Presindo : Jakarta. Sarief, Saifuddin. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana :

Bamualim, A., 2004. Strategi Pengembangan Peternakan pada Daerah Kering. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan. IPB, Bogor.

Handayani, I. P. 2003. Pengaruh Konversi Lahan Dan Lamanya Masa Budidaya Tanaman Terhadap Sifat-Sifat Alfisol. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia Volume 5 Hal 1-6. Universitas Bengkulu.


(1)

tertangani dengan baik. Dalam skala besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani kendala ekonomi merupakan salah satu

penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan baik. 2.3. Klasifikasi Teknis tanah

Klasifikasi teknis yakni klasifikasi tanah yang didasarkan atas sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kemampuan untuk penggunaan tertentu. Misalnya, untuk menanam tanaman semusim, tanah diklasifikasikan atas dasar sifat-sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman semusim seperti kelerengan, tekstur, pH dan lain-lain. Dalam praktiknya untuk mempelajari jenis tanah maka sistem klasifikasi yang digunakan adalah sistem klasifikasi alami.

Pada awalnya jenis tanah diklasifikasikan berdasarkan prinsip zonalitas, yaitu :

1. Tanah zonal, yakni tanah dengan faktor pembentuk tanah berupa iklim dan vegetasi,

2. Tanah intrazonal, yakni tanah dengan faktor pmbentuk tanah berupa faktor lokal terutama bahan induk dan relief,

3. Tanah azonal, yakni tanah yang belum mennjukkan perkembangan profil dan dianggap sebagai awal proses pembentukan tanah.

Kemudian dalam perkembangannya jenis tanah diklasifikasikan berdasarkan sifat tanah (taksonomi tanah). Sistem ini pertama kali dikembangkan oleh USDA (United State Departement of Agriculture) pada tahun 1960 yang dikenal dengantujuh pendekatan dan sejak tahun 1975 dikenal dengan nama taksonomi tanah. Sistem ini bersifat alami berdasarkan karakteristik tanah yang teramati dan terukur yang dipengaruhi oleh proses genesis.


(2)

Berdasarkan ada tidaknya horizon penciri dan sifat penciri lainnya maka dalam taksonomi tanah dibedakan atas enam kategori yakni ordo, subordo, greatgroup, subgroup, family dan seri. Pada edisi Taksonomi tanah tahun 1998 terdapat 12 ordo jenis tanah. Kedua belas ordo tersebut adalah Alfisols, Andisols, Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols, Mollisols, Oxisols, Spodosols, Ultisols dam Vertisols.

.

2.4 Pengolahan Lahan

Lahan atau tanah merupakan sumberdaya alam fisik yang mempunyai peranan penting dalam segala kehidupan manusia, karena lahan atau tanah diperlukan manusia untuk tempat tinggal dan hidup, melakukan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan dan sebagainya. Karena pentingnya peranan lahan atau tanah dalam kehidupan manusia, maka ketersediaannya juga jadi terbatas. Keadaan ini menyebabkan penggunaan tanah yang rangkap (tumpang tindih), misalnya tanah sawah yang digunakan untuk perkebunan tebu, kolam ikan atau penggembalaan ternak atau tanah hutan yang digunakan untuk perladangan atau pertanian tanah kering.

Secara teoritis, lahan kering di Indonesia dibedakan dalam dua kategori, yaitu lahan kering beriklim kering, banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, dan lahan kering beriklim basah, banyak ditemui di kawasan barat Indonesia. Cukup banyak tipologi wilayah pengembangan lahan kering yang terdapat di dua kategori tersebut. Namun wilayah pengembangan lahan kering yang dominan di


(3)

Pendayagunaan lahan atau tanah memerlukan pengelolaan yang tepat dan sejauh mungkin mencegah dan mengurangi kerusakan dan dapat menjamin kelestarian sumber daya alam tersebut untuk kepentingan generasi yang akan datang. Pada sistem lingkungan tanah, usaha-usaha yang perlu dikerjakan ialah rehabilitasi, pengawetan, perencanaan dan pendayagunaan tanah yang optimum (Handayani, 2003).

Pendayagunaan lahan atau tanah yang kurang tepat akan menyebabkan lahan atau tanah tersebut menjadi rusak (kritis) dan kehilangan fungsinya. Hilangnya fungsi produksi dari sumber daya tanah dapat terus menerus diperbaharui, karena diperlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk pembentukan tanah tersebut.

Akhir-akhir ini masalah kerusakan sumberdaya tanah, terutama tanah pertanian lahan kering didaerah aliran sungai (DAS) bagian hulu, sudah mencapai tahap sangat mengkhawatirkan. Dari tahun ketahun laju pertambahan kerusakan tanah semakin meningkat, diperkirakan luas tanah yang rusak bertambah sekitar satu sampai dua persen setiap tahunnya (Handayani, 2003).

Apabila pengolahan tanah kering secara lestari telah dikuasai masyarakat pedesaan, maka tidak akan ada kritis mata pencaharian yang menyebabkan tanah menjadi kritis. Pengendalian teknologi pengolahan tanah kering secara lestari adalah sederhana, tidak memerlukan peralatan serba modern (canggih) dan pendidikan tinggi. Azas pengelolaan lahan kering adalah menciptakan lingkungan perakaran yang dalam, mempertahankan kemampuan tanah menyimpan air dan mengedarkan udara, tindakan terakhir adalah memperkaya tanah dengan zat hara tersedia untuk


(4)

akar. Zat hara tersebut didapat dari pupuk buatan, pupuk kandang (kotoran ternak) dan mulsa atau pupuk hijau.

Pemanfaatan lahan untuk pengembangan peternakan menimbulkan isu-isu yang santer, pandangan tentang dampak ternak terhadap lahan terpecah dalam dua kutub. Di satu pihak terdapat pandangan ekstrim yang memandang ternak sebagai hama yang menimbulkan kerusakan sumber daya alam. Di pihak lain terdapat keyakinan bahwa ternak justru dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan dan menjaga kesuburan tanah. Kedua pandangan tersebut sama-sama mengandung kebenaran, karena ternak memang ibarat pisau bermata dua. Dengan pengelolaan yang tepat ternak dapat dimanfaatkan, sebaliknya dapat menjadi musibah kalau dikelola secara ceroboh (Handayani, 2003).

Di Indonesia, pandangan orang tentang hubungan peternakan dengan lahan masih sangat bersimpang siur. Di satu pihak orang berpendapat bahwa peternakan telah berkembang tanpa basis ekologi berada ditangannya. Kelompok ini memandang keadaan ini sebagai suatu kelemahan. Dipihak lain berkembang pendapat bahwa sifat tidak tergantung pada lahan (non-land base) justru merupakan ciri kekuatan peternakan. Kekeliruan ini terdapat di sementara kalangan di luar peternakan. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena akan membawa kerugian kepada semua pihak.

Pergesekan kepentingan (conflict of interest) sudah sering terjadi antar sub-sektor yang menuntut jurisdiksi terhadap lahan. Masing-masing pihak menuntut secara maksimal lahan untuk pengembangan bidangnya sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab masing-masing. Permasalahan muncul terutama di tingkat pelaksanaan, meskipun ketidakpastian tersebut juga sangat mempersulit


(5)

BAB III PENUTUP Kesimpulan

Ilmu tanah dipelajari oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti ilmu-ilmu keteknikan (rekayasa), agronomi/pertanian, kimia, geologi, geografi, ekologi, biologi (termasuk cabang-cabangnya), ilmu sanitasi, arkeologi, dan perencanaan wilayah. Akibat banyaknya pendekatan untuk mengkaji tanah, ilmu tanah bersifat multidisiplin dan memiliki sisi ilmu murni maupun ilmu terapan. Ilmu tanah dibagi menjadi dua cabang utama: pedologi dan edafologi. Pedologi mempelajari tanah sebagai objek geologi. Edafologi, atau ilmu kesuburan tanah, mempelajari tanah sebagai benda pendukung kehidupan. Keduanya menggunakan alat-alat dan sering kali juga metodologi yang sama dalam mempelajari tanah, sehingga muncul pula disiplin ilmu seperti fisika tanah, kimia tanah, biologi tanah (atau ekologi tanah), serta ilmu konservasi tanah. Karena tanah juga memiliki aspek ketataruangan dan sipil, berkembang pula disiplin seperti mekanika tanah, pemetaan (kartografi), geodesi dan survai tanah, serta pedometrika atau pedostatistika. Penggunaan informatika juga melahirkan beberapa ilmu campuran seperti geomatika.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Hardjowigeno, S. 2003. IlmuTanah. Akademika Presindo : Jakarta. Sarief, Saifuddin. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana :

Bamualim, A., 2004. Strategi Pengembangan Peternakan pada Daerah Kering. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan. IPB, Bogor.

Handayani, I. P. 2003. Pengaruh Konversi Lahan Dan Lamanya Masa Budidaya Tanaman Terhadap Sifat-Sifat Alfisol. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia Volume 5 Hal 1-6. Universitas Bengkulu.