Ayer Dan Kant Dalam Interaksi Mutualisme; Menilik Perang Tanpa Usai Universalitas Nilai Versus Nilai Komunal

Ayer Dan Kant Dalam Interaksi Mutualisme;
Menilik Perang Tanpa Usai Universalitas Nilai Versus Nilai Komunal
Posisi Ayer Dalam Etika
Alfred Jules Ayer layak disejajarkan dengan Bapak empirisme Inggris David Hume. Satu
hal yang menarik dari Ayer adalah bagaimana ia sebagai seorang positivis logis mempertahankan
dengan sungguh posisinya. Meskipun ia hidup di antara dua perang besar, Perang Dunia I dan II,
yang tidak saja saling mengadu kekuatan senjata namun juga ideologi dan kekuasaan, Ayer tetap
duduk pada kursi yang dipilihnya. Pada tempat ini, Ayer layak diapresiasi karena kekokohannya
pada posisinya berhadapan dengan sejumlah kesadaran olahan yang berkuasa dan tren-tren
tawaran dunia pra maupun pasca perang.
Konsekuensi logis dari positivisme logis yang diimani Ayer adalah agnostisisme.
Mengutip Wittgenstein, posisi kaum agnostik dapat didasarkan pada adagium mashyur
Wittgenstein: tentang yang tak terkatakan orang harus diam. Artinya, tentang Allah, entah ia ada
atau tidak, benar atau tidak, tidak berdampak apapun sehingga tidak perlu dipikirkan. Merujuk
pada Juan Luis Segundo, seorang teolog pembebasan asal Uruguay, sosok Allah itu sendiri
merupakan personifikasi dari nilai tertinggi yang diimani seseorang atau sekelompok orang. Jadi,
nilai tertinggi yang dipersonifikasi dalam wujud mahamutlak itu, sebagaimana diimani oleh
orang-orang beragama, dapat ada namun tanpa arti, tanpa makna, kosong bagi kaum agnostik.
Perlu diluruskan bahwa posisi tanpa makna dan kosong bagi kaum agnostik tidak berarti sesuatu
itu tidak ada, eksis atau tidak namun lebih kepada aspek kebenaran maupun kesalahan yang
terkandung di dalamnya. Kiranya pada titik ini Ayer dapat dikatakan memeluk relativisme etis.

Jika pertanyaan tentang apakah nilai moral itu ada dialamatkan kepada kaum positivis logis,
maka jawabannya adalah ya dan tidak. Ya, karena nilai itu ada dan dapat ada tergantung dari
pendidikan moral seseorang (Ayer dalam Suseno, 2006: 52). Tidak, karena kebenaran atau
kesalahan suatu nilai di mata kaum positivis tidak dapat diperdebatkan karena pernyataan tentang
baik atau buruk, benar atau salah sebuah nilai merupakan pernyataan yang irasional.
Sesuatu yang dianggap ada namun sekaligus dianggap tidak bermakna, kosong, tentu
diabaikan sehingga perdebatan seputar kebenaran nilai-nilai tidak relevan sama sekali. Berkaitan
dengan ini, posisi Ayer tampaknya jelas. Ia tidak menolak adanya nilai-nilai moral namun
menolak klaim kebenaran atau kesalahan dari nilai itu sendiri. “… bahwa seseorang mempunyai
1

prinsip moral tertentu, kita mempertahankan bahwa ia harus bereaksi secara moral dengan cara
tertentu terhadap kenyataan tertentu kalau ia mau konsisten. Yang tidak kita argumentasikan dan
memang tidak mungkin diargumentasikan adalah keabsahan prinsip-prinsip moral itu” (Ayer
dalam Suseno, 2006: 53). Dengan ini, secara implisit Ayer menolak adanya nilai universal: “kita
tidak dapat mengajukan argumen apapun untuk memperlihatkan bahwa sistem nilai kita lebih
tinggi” (Ayer dalam Suseno, 2006: 52).
Berhadapan dengan teori etika secara umum, Ayer tetap mempertahankan posisinya. Ayer
pada tempat pertama tidak merumuskan sebuah teori etika. Teori etika emotif yang
dicetuskannya merupakan implikasi dari iman positivisme logisnya. Pokok pemikiran Ayer

sendiri berpusat pada analsis bahasa, menyangkut keabsahan pernyataan-pernyataan. Diskursus
etika menurutnya seharusnya bukanlah etika melainkan metaetika sehingga teori-teori etika yang
dicetuskan sebelumnya seperti teori etika formalistis Kant, aksiologis Scheller, eudonistis
Aristoteles, hedonis Epikuros, utilitaris Bentham dan lain sebagainya lebih merupakan teori-teori
sosiologi dan psikologi. Semua pernyataan moral entah sebagai refleksi atas nilai yang diimani
entah sebagai garis demarkasi tindakan adalah irasional karena tidak dapat diverifikasi dan tidak
termasuk dalam pernyataan analitis. Guna menjelaskan mengapa orang-orang tetap membuat
pernyataan moral meskipun pernyataan moral itu irasional, Ayer mengedepankan emosi
seseorang, bagaimana orang bereaksi terhadap kenyataan tertentu. Ayer menegaskan bahwa “kita
hanya bisa memuji atau mengutuk prinsip-prinsip moral itu dalam terang perasaan” (Ayer dalam
Suseno, 2006: 53). Dengan ini, posisi etis Ayer secara kurang lebih tepat adalah relativisme etisemotif: penerimaan nilai-nilai tertentu atas dasar emosi tanpa memandang dan bahkan menolak
adanya nilai universal.
Formalisme Etis Kant “Yang Universal”
Teori etika Immanuel Kant tercantum dengan jelas dalam karyanya Metaphysical
Foundation Of Morals. Tiga maksim yang ditelurkan Kant dalam imperatif kategorisnya menjadi
kiblat utama teori etika pada umumnya. Pengandaian yang dapat dibuat adalah bahwa Kant tidak
memposisikan teori etikanya ini berhadapan dengan pluralitas nilai yang niscaya dalam zaman
ini. Kompleksitas yang ditemukan dalam perbenturan antar nilai yang partikular dalam konteks
kebudayaan tertentu memuat urgensitas diskusi yang lebih lanjut. Memang, tidak dapat dinafikan
bahwa Kant berusaha menciptakan sebuah imperatif kategoris yang dapat berlaku universal agar

2

dapat mengayomi seluruh perdebatan tentang moralitas. Namun kemendesakkan persoalan
kemajemukan nilai menuntut pertanggungjawaban universalitas imperatif kategoris Kant: apakah
nilai baik, benar, buruk dan salah tidak memiliki arti sama sekali?
Pendasaran utama imperatif kategoris Kant adalah otonomi ratio. Dengan jelas Kant
menempatkan basis segala konsep moral secara apriori dalam akal budi. Kant menolak konsep
moral yang berdiri di luar kondisi apriori akal budi ini: “konsep moral tidak dapat diperoleh dari
abstraksi empiris apapun dan lebih jauh pada pengetahuan kontigens” (Kant, 1949: 159). Sumber
satu-satunya dari konsep moral adalah akal budi. Prosesnya juga terjadi secara apriori sembari
menolak yang aposteriori. Dapat dikatakan di sini bahwa Kant menolak campur tangan
pengalaman sehingga konsep moral hadir sebelum tindakan dilakukan dan tanpa kalkulasi
kontigens. Lebih jauh imperatif kategoris Kant ini tidak dibatasi oleh kondisi apapun. Bagi Kant,
hukum moral itu sendiri merupakan unconditional necessity yang mana objektif dan valid secara
universal (Kant, 1949: 165).
Maksim pertama Kant menuntut penyerasian tindakan dengan hukum umum. Hukum
umum di sisi berarti apakah maksim tersebut dapat diuniversalisasikan (Tjahjadi, 2010: 80).
Harus ada pengandaian apriori bagaimana seandainya maksim itu dijalankan oleh orang lain.
Maksim ini berhasil jika tindakan yang dilakukan dapat juga dilakukan oleh orang lain dalam
artian berlaku umum. Maksim kedua menempatkan martabat manusia sebagai yang paling

utama; “menempatkan manusia sebagai tujuan dalam dirinya sendiri dan bukan semata-mata
sebagai sarana belaka” (Kant, 1949: 178). Sementara itu maksim ketiga mengetengahkan
otonomi individu dalam bertindak. Artinya, aku sendiri yang menghendaki dan menjalankannya;
aku yang membuat hukum tanpa ditentukan oleh sesuatu yang lain di luar diriku (Tjahjadi, 2010:
83). Pada titik ini, Kant berseberangan dengan Ayer di mana aspek-aspek di luar kehendak
seperti perasaan, tujuan, otoritas tidak memiliki andil dalam menentukan tindakan mana yang
harus “dikehendaki”. Prinsip otonomi ini menggarisbawahi keseluruhan wacana etika Kant;
melihat kewajiban semata-mata sebagai kewajiban, karena ia berlaku umum, tidak mengusik
martabat orang lain dan tanpa tekanan dari luar.
Imperatif kategoris Kant mengandaikan beberapa hal yakni pertama; adanya ide atas
hukum universal yang diakui bersama. Secara apriori, ide universal itu mendukung asumsi
bahwa orang tertentu pasti akan bertindak sama seperti apa yang “aku” lakukan. Tanpa ide
universal ini mustahil untuk melakukan tindakan moral karena tiadanya standar yang
3

memungkinkan orang lain mengamini tindakan tersebut sebagai sebuah kewajiban moral. Ide
universal itu termaktub dalam martabat manusia di mana tindakan baru dapat dijadikan hukum
umum jika dihadapkan dengan orang lain. Kedua, kebebasan memungkinkan seseorang
bertindak secara moral. Dengan otonominya manusia melakukan sebuah tindakan dan karena
otonominya tindakan tersebut dapat disebut tindakan moral. Dengan mencampur adukkan

otonomi ini dengan perasaan maka maksim kedua dilanggar; pribadi menjadi sarana untuk tujuan
tertentu. Ketidakbebasan berarti moralitas yang ingin dicapai tidak terpenuhi. Manusia baru
mencapai moralitas dalam kebebasannya (Tjahjadi, 2010: 84).
Tidak ada nilai yang secara implisit memungkinkan tindakan moral itu diambil. Bagi
Kant, moralitas selalu berkaitan dengan kesesuaian atau ketidaksesuaian sikap dan tindakan
dengan apa yang dipandang sebagai kewajiban. Kewajiban memang tidak sama dengan nilai
namun dalam Kant, kewajiban menggantikan posisi nilai. Karena itu sebuah tindakan hanya bisa
menjadi hukum umum karena itu adalah kewajiban. Tindakan baru menjadi serasi dengan
kewajiban bila dilakukan oleh manusia yang otonom.
Berbenturan?
Ayer mengkritik imperatif kategoris Kant sebagai berat sebelah di mana imperatif
kategoris Kant ini “bagi orang-orang tertentu mempunyai kekuatan perintah-perintah yang tidak
dapat ditawar” (Ayer dalam Suseno, 2006: 55). Ayer menyoroti teori Kant ini dari sis ketaatan
atau kepatuhan terhadap kode moral Kant. Menurut Ayer, sebab utama

kelakuan moral

“kategoris “ adalah ketakutan, entah terhadap pangucilan masyarakat maupun kemarahan otoritas
tertentu. Ayer mengklaim bahwa kode moral Kant lahir dari syarat-syarat kebahgiaan yang
dianjurkan dengan sanksi-sanksi moral tertentu sebagai limitasi sebagaimana kepercayaan

masyarakat setempat. Kepercayaan ini erat bergantung pada kepuasan masyarakat sebagai
keseluruhan.
Lebih jauh, cacat hakiki yang dikemukakan Ayer terhadap teoti Kant terarah pada
irasionalitas prinsip-prinsip moral. Menurut Ayer, Kant memperlakukan pernyataan-pernyataan
yang mengungkapkan sebab dan ciri perasaan berhadapan dengan definisi moral konsep-konsep
moral. Artinya, Kant menempatkan apa yang oleh Ayer sebagai ungkapan perasaan sebagai
sebuah pernyataan moral murni padahal keabsahan pernyataan moral tidak dapat diperdebatkan.

4

Ayer meragukan bahwa perasaan sebagaimana dalam Kant tidak memiliki kemampuan untuk
mengintervensi kekuatan imperatif kategoris.
Menghadapkan Kant Dengan Ayer; Sebuah Interaksi Mutualisme
Berpatokan pada teori kedua filsuf ini, juga perbenturan di antara keduanya, penting juga
untuk menjabarkan teori mereka ini pada satu kasus. Kiranya relevan jika menyoroti kasus
human trafficking.
Kant pasti menolak dan dengan tegas mengutuk human trafficking. Pernyataan “human
trafficking itu jahat” dibenarkan dalam teori Kant karena 1) tindakan itu tidak dapat
diuniversalisasikan; 2) merendahkan martabat manusia; dan 3) tindakan itu secara implisit
dipengaruhi oleh sikap keserakahan akan uang meskipun dapat disebutkan bahwa pribadi

tertentu mungkin dengan bebas menjual komoditas bernama manusia itu secara bebas. Jadi, ada
nilai universal yang “seolah-olah” dipegang di sini berhadapan dengan kasus human trafficking
yakni nilai kemanusiaan.
Jika dari pihak Ayer, pernyataan “human trafficking itu jahat” menjadi ambigu. Orang
dapat saja menilai bahwa tindakan itu tidak dapat dibenarkan, atau menolaknya dan mungkin
saja orang diam terhadap kasus ini. Emosi seseorang sangat mempengaruhi perdebatan seputar
“keabsahan” (dalam artian emotif Ayer) dari kasus ini. Jadi relativisme etis-emotif sangat
menentukan tanggapan orang atas sebuah kasus.
Tanpa harus berpegang pada prinsip kaum positivis, jika kedua “pernyataan” moral ini
saling dihadapkan maka teori Kant menuai banyak persetujuan. Mengapa? Nilai kemanusiaan
dan kebebasan menjadi tema utama perjuangan universal saat ini. Apakah dengan demikian Ayer
patut ditolak? Tidak. Kant memang merumuskan formalisme etisnya guna mencapai nilai
universal karena baginya kewajiban mendahului nilai. Dalam formalisme kewajiban, tetap
terbersit nilai, telos yang sudah secara apriori diandaikan untuk dicapai meskipun berada dalam
bentuk yang paling sederhana (misalnya keteraturan, ketertiban, kebaikan). Persoalan yang
muncul adalah apakah kewajiban itu akan selalu dipandang sebagai kewajiban dalam masyarakat
yang multikultural? Bukankah ada tendensi otoritarianisme dan totaliter dalam menetapkan
kewajiban sebagai kewajiban secara universal? Pada titik ini kewajiban dipandang seakan-akan
sebagai nilai. Ironisnya ada bentuk-bentuk kewajiban yang berbenturan antara masyarakat
majemuk. Tak terpungkiri menguatnya wacana akan satu ide universal yang mampu menyatukan

5

pluralitas tanpa harus menyeragamkannya menjadi penting dewasa ini. Pada sisi ini formalisme
Kant justru meniadakan pluralitas karena merangkumkan semua persoalan etika dan moral dalam
metanarasi bernama kewajiban. Selain itu, formalisme Kant meniadakan partikularitas nilai-nilai
kultural yang lazimnya dikotakkan sebagai relativisme nilai dengan mematok standar uatama
“kewajiban”.
Penawar dari formalisme Kant dapat ditemukan dalam Ayer. Namun emotivisme dan
positivisme logis Ayer tentang pernyataan dan nilai moral memang harus dikritisi dan dikritik.
Orang harus memandang sebuah nilai sebagai yang benar untuk menjadi patokan tindakan moral
meskipun emosi dapat mewarnai pernyataan moral tetapi tidak mutlak. Ada tata nilai yang harus
berlaku. Di satu sisi agnostisisme Ayer secara implisit memberikan sudut pandang positif
terhadap keberadaan nilai. Tanpa harus mengadopsi skeptisisme atas keabsahan nilai satu
komunitas sembari meragukan kemutlakan kebenaran terhadap nilai masyarakat lain, Ayer
memungkinkan nilai-nilai partikular dipandang secara positif. Kelemahan akan munculnya
hegemoni nilai kultural dapat didamaikan dalam formalisme Kant sedangkan otoritarianisme dan
totalitarianisme serta metanarasi nilai-nilai kaum berkuasa dapat ditawarkan dengan posisi
agnostik dalam Ayer namun dalam artian positif. Kiranya interaksi mutualisme antara teori kedua
filsuf ini mampu memperdamaikan perbenturan nilai-nilai komunal dengan nilai universal yang
secara positif dijadikan pedoman dan standar. “Keraguan” atas nilai komunal harus muncul

sebagai catatan kritis rasional (dalam artian Kantian) sehingga tidak ada nilai yang totaliter dari
kaum berkuasa juga hegemoni nilai kultural. Tanpa berusaha membangun sebuah konsensus,
apakah dengan interaksi mutualisme ini perang tanpa usai antara kaum komunitarian dengan
kaum liberal dapat diredam?

Sumber Acuan:
Kant, Immanuel. “Metaphysical Foundation Of Morals” dalam Carl J. Friedrich (Ed.). The
Philosophy Of Kant; Immanuel Kant’s Morals And Political Writings. New York: The
Modern Library, 1949.
6

Suseno, F. M. Etika Abad Kedua puluh 12 Teks Kunci. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006.
-------,------- . 12 Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000.
Tjahjadi, S. P. “Kepublikan Dalam Filsafat Kant” dalam F. B. Hadirman (Ed.), Ruang Publik;
Melacak “Partisipasi Demokratis” Dari Polis Sampai Cyberspace. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2010.

7