BALASLAH KEBURUKAN DENGAN KEBAIKAN

Balaslah Keburukan dengan Kebaikan
Suatu ketika pelayan Imam Hasan al-Bashri menyampaikan bahwa
seseorang telah menjelek-jelekkan namanya. Mendengar hal tersebut, sang
Imam kemudian memanggil pelayan dan memintanya untuk memberikan
kurma pada orang tersebut. Pelayan berkata, “wahai imam, bukankah dia telah
menjelekkanmu di hadapan orang banyak. Tetapi, mengapa engkau justeru
memberinya kurma?” Sang Imam pun menjawab, “Bukankah sudah
sepantasnya aku memberikan hadiah bagi orang yang telah menjadikan diriku
dekat di sisi Allah SWT.”
Kisah ini memberikan pelajaran bagi diri kita, bahwa kita ‘sepantasnya’
selalu berusaha untuk berbuat baik kepada siapa pun, termasuk kepada orang
yang telah melalukan keburukan terhadap diri kita. Inilah yang disebut dengan
sikap “hilm”, sebuah sikap yang mengisyaratkan kepaduan antara rifq
(kelembutan), anât (ketenangan) dan shabr (kesabaran).
Ada lagi sebuah riwayat yang mengisahkan tentang sebuah pertanyaan
Rasulullah saw kepada malaikat Jibril: “Apa maksud semua ini wahai Jibril?”
Tanya Rasulullah saw ketika turun ayat: “‫خذ الْعفْو أْمرْ بالْعرْف أعْرضْ عن الْجاهلين‬
(Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh)” (QS Al-A’râf/7: 199). Jibril
pun menjawab, “Wahai Rasulullah, (sesungguhnya Allah SWT
memerintahkanmu untuk memaafkan orang yang mezalimimu, memberi

kepada orang yang pelit kepadamu, dan menyambung silaturahim kepada
orang yang memutuskannya denganmu)”. (HR Abu Nu’aim dari Sa’ad bin
‘Ubadah)
Dari dua riwayat tersebut, kita – sebagai seorang muslim – diajar untuk
menjadi seorang yang lembut, tenang dan sabar. “Jadilah pribadi yang tenang
dan menenangkan. Bukan pribadi yang gelisah dan penuh amarah.” Tenang
bukan berarti tidak mampu, tenang bukan berarti kalah, tenang bukan berarti
lambat. Tenang adalah seni untuk menyampaikan kriti dengan bahasa yang
lembut, tenang adalah penyampaian fakta keras dengan cara yang lembut,
tenang adalah penolakan berat dengan cara yang ringan. Itulah yang
ditunjukkan oleh Rasulullah saw ketika penduduk Thaif melempari beliau
dengan batu. Beliau justeru berdoa, “ ‫( ”الل َّ اهْد قوْمي فإَّ ّْ لا يعْل و‬Ya Allah berilah

hidayah kepada kaumku ini, karena sesungguhnya mereka tidak tahu apaapa).
Memang bukan perkara yang mudah untuk menahan marah atau
emosi. Apalagi kemudian membalasnya dengan hal yang sebaliknya. Tidak
semua orang mampu melakukannya. Sehingga ketika Abdullah bin Amr
menanyakan hal apakah yang bisa menjauhkannya dari murka Allah?
Rasulullah menjawab: “ْ‫( ا تغْضب‬Janganlah kau marah)” (HR Ahmad bin
Hanbal).


Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. tentang
keutamaan puasa, dikisahkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
1

َ َ َََْ
ِ ْ َُْ َ ُ َ َ َ َْ ََُ َ ُ ْ
َ
َ
‫اَي‬
ِ ‫يو‬
ِ ‫ أو شاتٍّ فييلل ِإّ صائًِ رت‬، ّ‫للل و ِإ ِن ا رؤ قاتي‬
َ ََ
َْ
َ ُ ُ َُ َ
َْ ُ َ َْ
َ
ْ
‫يح‬
‫ر‬

َ
‫م‬
‫ال‬
‫ع‬
‫ت‬
‫ل‬
‫ا‬
‫د‬
ِ
‫ع‬
‫ب‬
‫ي‬
‫ط‬
‫أ‬
ً
‫ئ‬
‫ا‬
ّ
‫ا‬
ً

‫ف‬
‫وف‬
‫ي‬
َ
‫ه‬
‫د‬
‫ي‬
‫ب‬
‫س‬
‫ف‬
ِ
ِِ ِ ِ ‫ن‬
ِ
ِ ِ ِ
ِِ
ِ
ْ
ْ
‫ا ٍِس ِم للل‬


“…Jika ada seseorang yang mencaci dan mengajak berkelahi maka katakanlah,
“Saya sedang berpuasa. Demi Zat yang jiwaku berada di genggaman Nya,
sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada
bau minyak kasturi ...”. (HR Bukhari dari Abu Hurairah r.a.).

Mulut yang senantiasa mengucapkan kata-kata indah bukan kata-kata kotor,
kata-kata yang menyejukkan bukan yang menyakiti, kata-kata yang
menenangkan bukan yang menggelisahkan, kata-kata yang memaafkan bukan
yang mendendam, kata-kata yang memuliakan bukan yang menghinakan.
Selaras maknanya dengan firman Allah,

َ َ َ ُ َ ْ َ َ
َ ْ َ ْ ُ َ ّ َ َ َ ُ َ َ َْ
َ‫َو ََ ت َ ْست‬
‫اَي‬
‫ا‬
‫ذ‬
‫إ‬
‫ف‬
َ

‫س‬
‫ح‬
‫أ‬
ِ
ِ
ّ‫ا‬
‫ب‬
‫ع‬
‫ف‬
‫اد‬
ۚ
‫ي‬
‫س‬
‫ا‬
َ
‫و‬
‫ة‬
ِ
‫س‬
ْ‫ا‬

‫ي‬
‫و‬
‫ة‬
‫ئ‬
ِ
ِ ِ ِ
ِ
ِ
ِ
َ
َ
َ
َ
َ
َ ََْ
َ ٌ َ َُ
َ َ ُ َ
َ َ‫ا‬
َ ‫م َو َبيَِْ ُّ َع َد‬
َ‫ي‬

‫و‬
ّ
ّ
‫أ‬
‫ك‬
‫ة‬
‫او‬
ِ‫بي‬
ِ ‫ي‬
ِ َ‫﴾ َوما ييلاها ِإ‬٤٣﴿ ً‫َي‬
ِ
ّ َ ُ َ َ ََُ َ َ َُ َ
َ
﴾٤٣﴿ ً‫ي‬
ٍ ‫صَوا وما ييلاها ِإَ ذو ح ٍظ ع ِظ‬

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat
yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar

dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai
keuntungan yang besar” (QS Fushshilat/41: 34-35).

Jadi, saat ini, mulailah untuk belajar menjadi seorang ‘pemaaf’, yang
selalu bersedia untuk bersikap lembut, tenang dan sabar kepada siapa pun, di
mana pun, kapan pun, serta dalam situasi dan kondisi apa pun.

Ibda’ bi nafsik (mulailah dari dirimu sendiri)!
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Salahuddin El-Ayyubi, M.A., dalam
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/08/24/lqejr9membalas-keburukan-dengan-kebaikan)

2