2.3. TES FUNGSI TROMBOSIT
Tes fungsi trombosit dimulai dengan dilakukannya bleeding time in vivo oleh Duke pada tahun 1910,
45
dan masih dianggap sebagai tes penyaring fungsi trombosit yang paling bermanfaat hingga awal tahun 1990-
an.
46-48
Selama 10-15 tahun terakhir ini, penggunaan bleeding time sudah semakin menurun karena telah diketahui keterbatasannya dan
berkembangnya tes penyaring lain yang tidak terlalu invasive.
49-50
Pada tahun 1960-an ditemukan alat pengukur aggregasi trombosit light transmission aggregometry [LTA] yang kemudian merubah cara
identifikasi dan diagnosis dari kelainan hemostasis primer.
51,53
LTA masih dianggap sebagai gold standard untuk pemeriksaan fungsi trombosit dan,
dengan menambahkan agonis dalam beberapa konsentrasi berbeda pada trombosit yang diaduk stirred, memungkinkan untuk mendapatkan banyak
informasi dari berbagai aspek yang berbeda pada fungsi dan biokimia trombosit.
15
Walaupun LTA telah menjadi gold standard yang tidak tergantikan untuk mendiagnosis kelainan-kelainan yang berkaitan dengan trombosit,
juga diketahui dengan baik bahwa LTA tidak menggambarkan fungsi trombosit seperti pada kondisi invivo dengan akurat, dan penggunaannya
masih terbatas pada laboratorium-laboratorium umum. Meskipun banyak peneliti yang telah menggunakan flow chambers dan mikroskop untuk
mempelajari perilaku trombosit pada keadaan yang menyerupai kondisi in vivo, tes ini masih terbatas pada laboratorium khusus tertentu saja dan tidak
ideal untuk digunakan sebagai tes rutin. Hal ini, ditambah dengan kekurangan LTA dan bleeding time, membuka jalan untuk berkembangnya
model alat pengukur aggregasi trombosit yang mudah digunakan.
15
2.3.1. Light Transmission Aggregometer LTA
2.3.1.1. Prinsip Pemeriksaan
Tahun 1962 O`Brien dan Born menemukan instrument untuk mengukur aggregasi trombosit yang memakai dasar
Universitas Sumatera Utara
turbidimetri
45
, dan memanfaatkan prinsip bahwa absorben dari suatu suspensi tergantung pada jumlah partikel bukan
ukuran. Darah sodium sitrat diputar menggunakan centrifuge berkecepatan rendah 850g selama 3 menit atau
100g selama 10 menit untuk mendapatkan platelet-rich plasma PRP yang dianggap sebagai 0 aggregasi. PRP
kemudian dipindahkan ke cuvet dengan stirrer dan diaduk 900-1200 rpm selagi ditambahkan agonis pada suhu 37
C. Saat aggregasi terbentuk, jumlah partikel berkurang dan
transmisi cahaya meningkat. Platelet-poor plasma PPP digunakan sebagai blank untuk aggregometer, dianggap
sebagai 100 aggregasi.
39
gambar 2.7.
Gambar 2.7. Respon trombosit yang diukur dalam cuvette aggregometer
53
Untuk mengukur persentasi aggregasi yang terjadi, jarak antara baseline dan 100 aggregasi B diukur dan
dibandingkan dengan jarak antara baseline dengan amplitudo maksimum yang terbentuk A. Pembagian nilai
A dengan B merupakan persentasi maksimal aggregasi gambar 2.8.
54
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8. Perhitungan persentasi aggregasi trombosit.
54
Agonis yang berbeda akan menghasilkan pola agregasi yang berbeda. Pola agregasi yang tercatat merupakan kurva
waktu vs optical density OD, yang dapat memperlihatkan lag phase, shape phase, dan gelombang pertama dan kedua
dari proses aggregasi gambar 2.9.
55
Gambar 2.9. Tahapan aggregasi trombosit.
55
Universitas Sumatera Utara
Pola aggregasi trombosit dikenal dengan istilah respon primer trombosit yang timbul akibat penambahan agonis
eksogen seperti ADP, diikuti oleh respon sekunder yang timbul dari pelepasan adenine nukleotida yang terdapat
dalam dense granul trombosit. Respon tersebut dikenal sebagai gelombang pertama dan kedua gambar 2.10.
54
Respon bifasik ini dapat tidak terlihat pada penambahan agonis konsentrasi tinggi.
53
Gambar 2.10. Pola biphasic pada aggregasi trombosit.
54
2.3.1.2. Variabel Pemeriksaan Aggregasi Trombosit