Efektifitas Edukasi Diabetes Terpadu untuk Meningkatkan Efikasi Diri Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2

(1)

TESIS

Oleh

YULIS HATI

127046037 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister IlmuKeperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

Oleh

YULIS HATI

127046037 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Wiwik Sulistyaningsih,M.Si Anggota : 1. Yesi Ariani, S.Kep., Ns., M.Kep

2. Drs. Heru Santosa., MS., Ph.D


(5)

(6)

Nama Mahasiswa : Yulis Hati

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Diabetes Mellitus merupakan kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya yang harus dilakukan pengelolaan sehingga tidak terjadi komplikasi lebih lanjut. Pengelolaan DM meliputi edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis yang dapat diberikan melalui edukasi terpadu. Penerapan edukasi dengan metode DSME dengan maksud untuk mengoptimalkan kontrol metabolik dan kualitas hidup pasien. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektifitas edukasi diabetes terpadu untuk meningkatkan efikasi diri pasien DM tipe 2. Jenis penelitian quasi eksperimen

dengan desain pre-test and post-test with control group desain.yang dilakukan di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung, dengan sampel menggunakan tabel power analysis sebanyak 38 orang. Hasil Penelitian ini adalah adanya efek edukasi terpadu untuk meningkatkan efikasi diri pada pasien DM tipe 2, dengan


(7)

dengan t=-5,217. Efikasi diri pasien setelah dilakukan edukasi diabetes terpadu menunjukkan peningkatan.


(8)

Name : Yulis Hati

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases with characteristic hyperglycemia that occurs due to abnormal insulin secretion, insulin action or both should be done so that the management is not in further complications. Management of diabetes include education, medical nutrition therapy, physical exercise and pharmacological interventions that can be provided through an integrated education. Application of the method DSME education with a view to optimizing metabolic control and quality of life of patients. The purpose of this study to determine the effectiveness of an integrated diabetes education to improve self-efficacy of patients with type 2 diabetes type quasi-experimental research design with pre-test and post-test with control group performed at the health center desain.yang District of Medan Tembung Often, by using the sample table power analysis as many as 38 people. The result of this study is the effect of an integrated education to improve self-efficacy in patients with type 2 diabetes,


(9)

5.217. Self-efficacy of patients after an integrated diabetes education showed an increase


(10)

“Efektifitas Edukasi Diabetes Terpadu Untuk Meningkatkan Efikasi Diri Pasien DM Tipe 2 “. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dorongan serta do’a dari berbagai pihak.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak dr. Dedi Ardinata., M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan USU beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk melanjutkan studi ke jenjang Magister Keperawatan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Setiawan, S.Kp., MNs., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan USU dan Bapak Achmad Fathi, S.Kep, Ns., MNS, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas keperawatan USU yang telah memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan laporan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih., M.Si selaku Pembimbing I dan Ibu Yesi Ariani, S.Kep, Ns., M.Kep selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan serta masukan demi kesempurnaan tesis ini dan mohon maaf apabila ada sikap maupun perilaku saya yang tidak berkenan di hati selama melakukan bimbingan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Heru Santosa, MS., Ph.D dan Ibu Cholina Trisa Siregar, S.Kep, Ns., M.Kep., Sp. KMB, selaku komisi penguji yang telah memberikan kritik dan saran demi selesainya laporan tesis ini.


(11)

Yayasan Pendidikan Haji Sumatera Utara atas kesempatan dan dukungan yang diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Papa (Alm). Drs. Yunizar Noor, M.pd dan Mama Novialisa, S.Pd, Ibunda Saniah yang selalu ikhlas memberikan dukungan serta do’a. Suami tercinta Muhammad Arsyad, SST dan anakku Qanita Ilahiyah Arsyad yang sabar dan memberi kekuatan serta kepercayaan disetiap langkah penulis menyelesaikan studi ini.

Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan Program Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan USU Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah Angkatan 2013/2014, terima kasih atas solidaritas, motivasi dan kerjasama selama pendidikan di Fakultas Keperawatan USU.

Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini dan harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya profesi keperawatan.

Medan, 06 September 2014 Penulis


(12)

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 04 Januari 1982

Alamat : Jl. Pimpinan Gg. Suka Rahmat No.10 A

Kelurahan Sei Kera Hilir kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan

No. Hp : 082168556904

Riwayat pendidikan:

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SD Negeri 020274 Binjai 1994

SMP SMP Negeri 1 Binjai 1997

SMU SMA Negeri 3 Binjai 2000

Sarjana S1 Keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

2005

Profesi Ners Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

2005

Magister Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

2014

Riwayat Pekerjaan:

Staf dan Dosen tetap Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Haji Sumatera Utara Mulai 2006 sampai sekarang


(13)

Analisis Data dengan Content Analysis & Weft-QDA”, 31 Januari 2012,

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Peserta Seminar Keperawatan Nursing Leadership menyongsong Asean Community 2015, 30 Januari 2013 Fakultas Keperawatan, USU.

Peserta pada 2013 MEDAN INTERNATIONAL NURSING CONFERENCE

“The Application of Nursing Education Advanced Research and Clinical Practice”, 1 – 2 April 2013, Hotel Garuda Plaza, Medan, Sumatera Utara.

Peserta “Pelatihan Perawatan Luka Dasar Certified Wound Care Clinician Associate (CWCCA)”, 16 – 19 September 2013, Indonesian Etnep

Peserta “Pelatihan Hipnoterapi”, 20 -21 September 2013, Indonesian Etnep

Peserta “Seminar & Workshop Diagnostic Reasoning NANDA dan ISDA Basic, 24 November 2014, Fakultas Keperawatan, USU.


(14)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan Penelitian ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Hipotesis ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1.Diabetes Mellitus ... 12

2.1.1. Definisi ... 12

2.1.2. Faktor Resiko DM ... 12

2.1.3. Klasifikasi... 14

2.1.4. Diagnosis ... 15

2.1.5. Manifestasi Klinis ... 17

2.1.7. Komplikasi ... 18

2.1.8. Penatalaksanaan ... 19

2.2. Edukasi ... 23

2.3. Diabetes Self-Management Education (DSME) ... 23

2.3.1. Definisi DSME ... 23

2.3.2. Tujuan DSME ... 24

2.3.3. Prinsip DSME ... 24

2.3.4. Komponen DSME ... 25

2.3.5. Tingkat Pembelajaran DSME... 26

2.3.6. Pelaksanaan DSME ... 27

2.4. Efikasi Diri ... 27


(15)

2.4.7. Cara Meningkatkan Efikasi Diri ... 37

2.5. Landasan Teori ... 39

2.5.1. Sejarah Dorothea Orem ... 39

2.5.2. Teori Self Care Deficit ... 40

2.5.3. Kaitan Teori dengan Penelitian ... .. 45

2.6. Kerangka Teori ... 47

2.7. Kerangka Konsep ... 48

BAB 3. METODE PENEITIAN... 49

3.1.Jenis Penelitian ... 49

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 50

3.3.Populasi dan Sampel ... 50

3.4.Metode Pengumpulan Data ... 52

3.4.1 Tahap Persiapan ... 52

3.4.2 Prosedur Eksperimen... 54

3.4.3 Prosedur Pengambilan Data ... 56

3.5.Variabel dan Definisi Operasional ... 58

3.6.Metode Pengukuran ... 60

3.7.Validitas dan reabilitas ... 61

3.8.Metode Analisa Data ... 61

3.9.Pertimbangan Etik ... 63

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 66

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 66

4.2. Deskripsi Subjek Penelitian ... 67

4.3. Hasil Analisa Data Kelompok ... 69

4.3.1 Efikasi Diri Sebelum Perlakuan ... 69

4.3.2 Efikasi Diri Setelah Perlakuan ... 69

4.4. Perbedaan Efikasi Diri Sebelum dan sesudah Pada kelompok control dan kelompok intervensi ... 72

4.5 Hasil Analisa KGD ... 73


(16)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

6.1. Kesimpulan ... 93

6.2. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96


(17)

Tabel 3.1 Rancangan Penelitian ... 48

Tabel 3.2 Blue Print Edukasi Diabetes Terpadu ... 53

Tabel 3.3 Definisi Operasional ... 60

Tabel 3.4 Hasil Uji Normalitas Sebaran ... 62

Tabel 3.5 Hasil Uji Homogenitas Antara Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol ... 63

Tabel 4.1 Deskripsi Subjek Penelitian berdasarkan Karakteristik Demografi di Puskesmas Sering Tahun 2014 ... 68

Tabel 4.2 Deskripsi Efikasi Diri Sebelum, Sesudah Perlakuan dan Follow Up di Puskesmas Sering Tahun 2014 ... 69

Tabel 4.3 Data Rerata Efikasi Diri Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Sesudah Perlakuan dan Follow Up di Puskesmas Sering 2014 ... 70

Tabel 4.4 Uji t Efikasi Diri Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Sesudah Perlakuan di Puskesmas Sering Tahun 2014 ... 71

Tabel 4.5 Uji t kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah Diberi Perlakuan Derta Follow Up di Puskesmas Sering Tahun 2014 ... 72


(18)

Gambar 2.1. Teori Sistem Dasar Orem ... 44 Gambar 2.2. Kerangka Teori ... 47 Gambar 2.3. Kerangka Konsep ... 48 Gambar 4. 1. Distribusi Skor Efikasi Diri kelompok Intervensi

Sebelum, Sesudah Intervensi dan Follow Up ... 71

Gambar 4.2. Histogram Rerata Efikasi Diri Kelompok Intervensi

Dan Kelompok Kontrol Setelah Perlakuan ... 73

Gambar 4.3. Distribusi Skor, Efikasi Diri kelompok Intervensi


(19)

Lampiran 1 Instrumen Penelitian ... 101

a. Lembar Penjelasan tentang Penelitian ... 102

b. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 103

c. Kuesioner Penelitian ... 104

d. Catatan AktivitasHarian Responden ... 105

e. Panduan Wawancara ... 106

f. Lembar Observasi ... 107

g. Materi Edukasi ... 108

Lampiran 2 Biodata Translator ... 142

Lampiran 3 Izin Penelitian ... 145

a. Surat Pengambilan Data dari Dekan Fakultas Keperawatan ... 146

b. Surat Persetujuan Etik Peneltian ... 148


(20)

Nama Mahasiswa : Yulis Hati

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Diabetes Mellitus merupakan kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya yang harus dilakukan pengelolaan sehingga tidak terjadi komplikasi lebih lanjut. Pengelolaan DM meliputi edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis yang dapat diberikan melalui edukasi terpadu. Penerapan edukasi dengan metode DSME dengan maksud untuk mengoptimalkan kontrol metabolik dan kualitas hidup pasien. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektifitas edukasi diabetes terpadu untuk meningkatkan efikasi diri pasien DM tipe 2. Jenis penelitian quasi eksperimen

dengan desain pre-test and post-test with control group desain.yang dilakukan di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung, dengan sampel menggunakan tabel power analysis sebanyak 38 orang. Hasil Penelitian ini adalah adanya efek edukasi terpadu untuk meningkatkan efikasi diri pada pasien DM tipe 2, dengan


(21)

dengan t=-5,217. Efikasi diri pasien setelah dilakukan edukasi diabetes terpadu menunjukkan peningkatan.


(22)

Name : Yulis Hati

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases with characteristic hyperglycemia that occurs due to abnormal insulin secretion, insulin action or both should be done so that the management is not in further complications. Management of diabetes include education, medical nutrition therapy, physical exercise and pharmacological interventions that can be provided through an integrated education. Application of the method DSME education with a view to optimizing metabolic control and quality of life of patients. The purpose of this study to determine the effectiveness of an integrated diabetes education to improve self-efficacy of patients with type 2 diabetes type quasi-experimental research design with pre-test and post-test with control group performed at the health center desain.yang District of Medan Tembung Often, by using the sample table power analysis as many as 38 people. The result of this study is the effect of an integrated education to improve self-efficacy in patients with type 2 diabetes,


(23)

5.217. Self-efficacy of patients after an integrated diabetes education showed an increase


(24)

1.1.Latar Belakang

Menurut ADA (American Diabetes Association) Tahun 2010, diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. DM merupakan penyakit kronis yang memerlukan pengelolaan untuk mengontrol dan mencegah komplikasi. Insulin, hormon yang diproduksi oleh pankreas, mengontrol tingkat glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanan glukosa. Sel-sel pada pasien DM mungkin berhenti merespons insulin atau pankreas berhenti memproduksi insulin mungkin seluruhnya. Hal ini menyebabkan hiperglikemia, yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik akut seperti diabetic ketoacidosis (DKA) dan hiperglikemia hiperosmolar nonketotic syndrome (HHNS) (Smeltzer & Bare, 2009).

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI, 2008) DM Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau fungsi (retensi) insulin. Dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin pada DM tipe 2 resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin mengacu pada sensitivitas jaringan terhadap insulin menurun, insulin mengikat reseptor khusus pada permukaan sel dan memulai serangkaian reaksi yang terlibat dalam


(25)

metabolisme glukosa. Reaksi intraseluler juga berkurang, sehingga rendering insulin kurang efektif merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan dan pada mengatur pelepasan glukosa oleh hati (Smeltzer & Bare, 2009)

World Health Organization (WHO, 2000) dalam PERKENI (2008), menyatakan bahwa dari statistik kematian dunia, 57 juta jiwa kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular (PTM) dan diperkirakan sekitar 3,2 juta jiwa per tahun penduduk dunia meninggal akibat DM. Selanjutnya pada tahun 2003 WHO memperkirakan 194 juta jiwa atau 5,1% dari 3,8 miliar penduduk dunia yang berusia 20 – 79 tahun menderita DM pada 2025 akan meningkat menjadi 333 juta jiwa. WHO memprediksi Indonesia, bahwa ada kenaikan dari 8,4 juta diabetisi pada tahun 2030. Hal ini menjadikan Indonesia menduduki rangking ke empat setelah Amerika Serikat, China dan India dalam prevalensi DM

Menurut PERKENI (2011), diperkirakan sekitar 50% penyandang DM yang belum terdiagnosis di Indonesia. Dua per tiga yang terdiagnosis yang menjalani pengobatan baik non farmakologis maupun farmakologis, yang menjalani pengobatan hanya sepertiganya saja KGD dapat terkendali dengan baik. Bukti-bukti menunjukkan bahwa komplikasi DM dapat dicegah dengan kontrol glikemik yang optimal. Namun di Indonesia target pencapaian kontrol glikemik belum tercapai, rerata HbA1c masih 8%, masih diatas target yaitu 7%. Hasil dari Pusat data dan informasi Kemenkes RI (2012) mencatat bahwa diabetes mellitus termasuk sepuluh besar penyakit yang menyebabkan kematian di Indonesia


(26)

setelah perdarahan intrakranial, stroke, gagal ginjal, gagal jantung, dan penyakit jantung lainnya.

Propinsi Sumatera Utara menurut Supriadi (2009), berdasarkan data dari laporan data Surveilens Terpadu Penyakit (STP) tahun 2008 terlihat jumlah kasus DM merupakan kasus terbanyak dengan jumlah kasus 1.717 pasien rawat jalan yang dirawat di rumah sakit dan puskesmas Kabupaten/Kota. Pasien DM rawat jalan mencapai 918 pasien yang dirawat di 123 rumah sakit seluruh Sumatera Utara dan 998 pasien yang dirawat di 487 puskesmas yang ada di 28 Kabupaten/Kota. Pada tahun 2009 pasien mencapai 108 pasien yang dirawat di rumah sakit dan 934 pasien dirawat di puskesmas selama Januari hingga Juni 2009.

DM merupakan penyakit menahun yang akan diderita sumur hidup. Selain itu DM disebut the great imitator karena DM termasuk penyakit yang menyebabkan komplikasi pada bagian tubuh yang jika penanganannya tidak dilakukan dapat menyebabkan kematian (Sam, 2007). Pengelolaan pasien DM memerlukan tenaga ahli di bidang kesehatan, selain dokter, perawat, ahli gizi dan tenaga kesehatan lain, peran pasien dan keluarganya menjadi sangat penting. Edukasi kepada pasien dan keluarganya bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai perjalanan penyakit, pencegahan penyulit dan penatalaksanaan DM, akan sangat membatu meningkatkan keikutsertaan keluarga dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan (PERKENI, 2011).

Menurut PERKENI (2008), pilar penatalaksanaan DM meliputi edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis. Pengelolaan DM


(27)

dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu), jika kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi pada kondisi tertentu dan sesuai dengan indikasi. Insulin dapat langsung diberikan dalam keadaan dekompensasi metabolik yang berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan menurun dengan cepat, adanya ketonuria. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.

Salah satu pilar dalam penatalaksanaan DM adalah pendidikan kesehatan (PERKENI, 2008), dimana dalam prosesnya memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan salah menjadi edukator mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi berguna untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku. Orem (1995) menyatakan bahwa perawat sebagai seorang edukator dan konselour bagi pasien dapat memberikan bantuan kepada pasien dalam bentuk

supportive-educative dengan tujuan agar pasien mempu melakukan perawatan secara mandiri (Tomey & Aligood, 2006).

Edukasi yang merupakan salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam peñatalaksanaan DM Tipe 2 dapat diberikan kepada pasien dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pasien sehingga pasien


(28)

memiliki prilakun preventif dalam gaya hidupnya untuk menghindari komplikasi DM Tipe 2 jangka panjang (Smletzer & Bare, 2009).

Menurut Funnel et, al (2011) Diabetes Self Management Education (DSME) merupakan komponen penting dalam perawatan Pasien DM dan sangat dibutuhkan dalam upaya memperbaiki status kesehatan pasien. DSME adalah suatu proses berkelanjutan yang dilakukan untuk memfasilitasi pengatahuan, keterampilan dan kemampuan pasien DM untuk melakukan perawatan mandiri. DSME merupakan suatu proses yang memfasilitasi pengetahuan, keterampilan dan kemampuan perawatan mandiri yang sangat dibutuhkan oleh penderita DM, sebab pendidikan kesehatan tersebut dapat mengubah pola hidupnya, sehingga dapat mengontrol kadar glukosanya dengan baik.

Tujuan DSME adalah mengoptimalkan kontrol metabolik dan kualitas hidup pasien dalam upaya mencegah komplikasi akut dan kronik. Sekaligus mengurangi penggunaan biaya perawatan klinis (Norris et.al, 2002), sedangkan menurut Funnel et.al tujuan DSME adalah mendukung pengambilan keputusan perawatan diri, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim kesehatan untuk meningkatkan hasil klinis, status kesehatan dan kualitas hidup. Beberapa penelitian menyebutkan DSME memiliki dampak positif pada kesehatan dan psikososial pasien DM, khususnya meningkatkan kemampuan pasien dalam pengontrolan kadar glukosa darah, diet, olah raga, perawatan kaki, dan penggunaan obat (Tang T.S, Funnel M.M, Anderson. M, 2006).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh McGowan (2011), bahwa terdapat perubahan A1C dan berat badan pada kedua kelompok setelah 6 bulan, namun


(29)

perubahan prilaku dan hasil biologis hanya terdapat pada kelompok yang mendapat intervensi DSME saja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa DSME memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku dan hasil klinis pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Penelitian Rygg et all (2010) dan Silvia (2008) menunjukkan hasil bahwa dengan diberikannya DSME partisipan merasa mendapatkan informasi dan kenyamanan sehingga dua hal tersebut menjadi alasan bagi para responden untuk menghadiri kelas edukasi setiap sesi nya. Edukasi juga dapat mengurangi rasa terisolasi ketika berhadapan dengan penyakit diabetes yang mereka hadapi.

Penelitian yang Dilakukan Ariyanti (2012) tentang “Peningkatan Self-Empowerment Penderita DM Tipe 2 dengan pendekatan DSME. Penerapan Edukasi dengan metode DSME dapat menimbulkan kemampuan manajemen diri yang baik sehingga dapat meningkatkan prilaku kepatuhan diet pada penderita DM tipe 2

Hasil Penelitian Laili, Dewi dan Widyawati (2012), menyatakan bahwa terdapat adanya perubahan pengetahuan, sikap dan tindakan sebelum dan sesudah dilakukan edukasi dengan pendekatan DSME di wilayah kerja Puskesmas Kebonsari Surabaya. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Rondhianto (2011) yang menyatakan bahwa penerapan DSME dalam discharge planning

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepercayaan diri dan prilaku pasien sehingga mampu merubah pola hidup yang baik sehingga efikasi diri dapat meningkat.


(30)

Menurut Bandura (2004) efikasi diri adalah keyakinan seorang individu mengenai kemampuannya dalam mengorganisasi dan menyelesaikan suatu tugas yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Efikasi diri yakni keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan mendapatkan hasil positif. Efikasi diri juga merupakan konsep sentral dalam perilaku regulasi diri yang berkontribusi terhadap perilaku manajemen diri yang baik dan kontrol terhadap penyakit. Bandura menuliskan bahwa efikasi diri tersebut bersifat dinamis karena dapat dipengaruhi oleh latihan yang dilakukan terhadap materi yang akan membentuk pengalaman individu terhadap materi tersebut.

Efikasi diri pasien diabetes mellitus tipe 2 berfokus kepada keyakinan pasien untuk mampu melakukan prilaku yang dapat mendukung perbaikan penyakitnya dan meningkatkan pengelolaan perawatan diri seperti makanan, latihan fisik, obat-obatan, kontrol kadar glukosa dan perawatan diabetes mellitus secara garis besar (Wu et. Al, 2006).

Pasien diabetes mellitus seringkali kurang mendapatkan informasi tentang penyakit diabetes dan pengelolaannya membentuk persepsi yang kurang akurat terhadap diabetes (illness perception buruk). Pasien tidak memahami gejala diabetes, penyebab, konsekuensi, kontrol/perawatan dan jangka waktu penyakit diabetes. Ketidakpahaman pasien tentang penyakitnya sebagai akibat dari kurangnya informasi yang diterima pasien, menyebabkan munculnya emosi negatif (diabetes distress meningkat) dan tidak yakin mengelola penyakit diabetes sehingga dapat terhindar dari komplikasi (efikasi diri diabetes menurun). Perawat


(31)

tidak pernah memberikan edukasi kepada pasien DM dengan alasan ketebatasan waktu, kurangnya SDM dan banyaknya pasien DM Tipe 2 yang kontrol ke RS.

Medan merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menunjukkan prevalensi DM yang meningkat. Ketua PERKENI Cabang Medan, Dharma Lindarto mengatakan pasien penderita diabetes di Sumatera Utara (Sumut) meningkat setiap tahunnya (Warta, 2013) prevalensi penderita diabetes di Sumut sudah hampir mendekati rata-rata nasional. Sumut memiliki prevalensi sebesar 5,3%, atau hanya 0,4% dibawah rata-rata nasional yang mencapai 5,7 persen, dari prevalensi rata-rata nasional diabetes 5.7%, penderita yang telah mengetahui memiliki diabetes sebelumnya hanya sebesar 26%. Sedangkan sebagian besar yang terdiagnosis diabetes atau sekitar 74 % tidak mengetahui menderita diabetes. Edukasi dapat diberikan di setiap layanan kesehatan, baik di rumah sakit, puskesmas maupun komunitas. Depkes (2004) pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) adalah unit fungsional pelayanan kesehatan terdepan sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kota atau Kabupaten yang melaksanakan upaya penyuluhan, penanganan kasus-kasus penyakit di wilayah kerjanya, secara terpadu dan terkoordinasi. Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya. Pelayanan kesehatan masyarakat yang diberikan puskesmas merupakan pelayanan kesehatan yang menyeluruh yang meliputi pelayanan kuratif (pengobatan), preventif (upaya pencegahan) promotif (peningkatan kesehatan), rehabilitatif (pemulihan


(32)

Puskesmas Sering merupakan satu-satunya puskesmas di kota Medan yang memiliki klinik DM. Klinik ini didirikan tanggal 30 Mei 2008 dengan tujuan memberikan pelayanan DM yang berkualitas dan terjangkau ditingkat puskesmas, Memberikan edukasi agar pasien DM dapat mengatur diet sendiri, mendidik pasien agar terhidar dari komplikasi DM, memberikan penyuluhan kepada pasien dan masyarakat yang mempunyai faktor resiko penyakit DM agar tidak tercetus penyakit DM (Profil Puskesmas Sering, 2009). Berdasarkan medical record

Puskesmas Sering terdata bahwa pasien DM bulan Juli s/d Desember 2013 rata-rata perbulan mencapai 30 – 40 pasien.

1.2. Permasalahan

DM merupakan penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan tetapi bisa dikontrol untuk mencegah komplikasi. Pasien DM sering datang dengan masalah DM sudah dengan komplikasi. Edukasi pada pasien DM diharapkan dapat menambah pengetahuan pasien dan nantinya dapat merubah prilaku dalam pengelolaan DM. survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada beberapa penderita diabetes melitus di lokasi penelitian alasan penderita diabetes tidak datang lagi berobat pada waktu yang ditentukan adalah karena pada pemeriksaan terakhir mereka memiliki kadar glukosa darah mendekati nilai normal dan akan kembali datang lagi berobat apabila merasa kadar glukosa darahnya sudah tidak normal lagi. Selain itu ada juga yang lupa minum obat karena cara minum obat diabetes harus sesuai dengan anjuran dokter, sehingga masih banyak obat yang tersisa dan mereka menunggu sampai obat tersebut habis. Jadi dengan kata lain pasien belum memiliki efikasi yang baik. Salah satu cara untuk meningkatkan


(33)

efikasi diri adalah melalui edukasi. Dari observasi diatas peneliti merasa perlu meneliti adakah efektifitas Edukasi Diabetes Terpadu terhadap efikasi diri pada pasien diabetes melitus tipe 2

1.3.Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menguji efektifitas edukasi diabetes terpadu terhadap efikasi diri pasien diabetes mellitus tipe 2

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan Khusus penelitian ini adalah untuk:

a. Mendeskripsikan efikasi diri pasien diabetes mellitus tipe 2 pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi sebelum perlakuan

b. Mendeskripsikan efikasi diri pasien diabetes mellitus tipe 2 pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi setelah perlakuan

c. Membandingkan efikasi diri pasien DM pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi setelah perlakuan

1.4. Hipotesis

Hipotesa penelitian adalah jawaban sementara penelitian yang diajukan oleh peneliti yang akan diuji kebenarannya yaitu edukasi diabetes terpadu efektif untuk meningkatkan efikasi diri pada pasien diabetes mellitus tipe 2.

1.5. Manfaat Penelitian


(34)

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai kontribusi dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien diabetes melitus tipe 2 yang menitikberatkan kepada pemberian pendidikan melalui metode Diabetes self-management education yang manfaatnya akan dapat meningkatkan motivasi, pengetahuan, efikasi dan pengelolaan diabetes secara mandiri hingga akhirnya pasien dapat meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidupnya.

1.5.2. Pendidikan Keperawatan

Hasil dari penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan keperawatan khususnya tentang pemberian edukasi diabetes terpadu pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan metode Diabetes Self Management Education (DSME) dan juga tentang efikasi pasien diabetes mellitus.

Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya yang berfokus pada edukasi pasien diabetes mellitus dengan metode edukasi lain, desain dan metodologi penelitian yang berbeda.


(35)

2.1.Diabetes Mellitus

2.1.1. Definisi

Menurut American Diabetes Association (2010), DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terkadi karena kelalaian sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2011)

DM adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin (Suyono S, dkk, 2011)

2.1.2.Faktor Resiko DM

PERKENI (2011) mengatakan bahwa faktor resiko dari DM adalah:

a. Faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi 1) Ras dan Etnik

Ras African American, Mexican Americans, American Indians, Hawaiians dan beberapa Asian American memiliki resiko tinggi mengalami DM dan penyakit jantungdikarenakan tingginya kadar glukosa darah, obesitas, dan jumlah


(36)

2) Jenis Kelamin

Kemungkinan laki-laki menderita penyakit DM lebih beresiko dari pada perempuan. Namun, jika perempuan telah menopause maka kemungkinan menderita penyakit jantung pun ikut meningkat meskipun prevalensinya tidak setinggi laki-laki (Nabyl, 2012).

3) Riwayat Keluarga DM (anak penyandang diabetes)

Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang diabetes maka kemungkinan anda untuk menyandang diabetes pun meningkat (Nabyl, 2012)

4) Usia

Resiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia

5) Riwayat Melahirkan Bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram, atau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG)

6) Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.

Bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai resiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan Berat badan normal.

b. Faktor resiko yang bisa dimodifikasi 1) Obesitas

Menurut Shai et.al (2006) dalam Yuanita (2013), orang yang mengalami obesitas akan mengalami resiko DM lebih tinggi dari orang yang tidak obesitas. Hal tersebut dikarenakan kandungan lemak yang lebih banyak dapat menurunkan sensitivitas insulin


(37)

2) Kurang aktivitas fisik

Aktivitas fisik merupakan faktor risiko yang dapat diubah pada penyandang DMtipe 2, sebagian melalui kerjanya terhadap sensitivitas insulin. Akumulasi aktivitas fisik sehari-hari merupakan faktor utama yang menentukan sensitivitas insulin. Sedangkan waktu yang dihabiskan untuk bermalas-malasan, waktu yang dihabiskan untuk aktivitas ringan, serta aktivitas sedang atau berat tidak mempengaruhi sensitivitas insulin jika disesuaikan dengan aktivitas total (Balkau et.al, 2008)

3) Hipertensi

Hipertensi menyebabkan resistensi insulin, dislipidemia, meningkatnya albuminuria dan pencatatan tekanan darah selama 24 jam dengan orang yang menderita DM

4) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl) 5) Diet yang Tidak sehat (Unhealthy diet).

Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan resiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa pada DM tipe 2 (PERKENI, 2011)

c. Faktor lain terkait dengan resiko diabetes

1) Pasien polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin. PCOS merupakan kelainan endokrinopati pada wanita usia reproduksi. PCOS sering dikaitkan dengan adanya

2) Pasien Sindrom Metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah terganggu (GDPT) sebelumnya, pasien dengan


(38)

riwayat penyakit Kardiovaskuler, seperti stroke, PJK, atau PAD (peripheral arterial diseases)

2.1.3. Klasifikasi

PERKENI (2008) mengatakan bahwa DM terbagi dalam empat klasifikasi, yaitu:

a. DM Tipe 1

DM tipe 1 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat destruksi (kerusakan) sel beta pankreas atau kelenjar ludah perut karena suatu sebab tertentu yang menyebabkan produksi insulin tidak ada sama sekali sehingga penderita sangat memerlukan tambahan insulin dari luar.

b. DM Tipe 2

DM Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau fungsi insulin (resistensi insulin)

c. DM Tipe Lain

DM tipe lain adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat dan zat kimia,


(39)

infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

d. DM Tipe Gestasional

DM tipe gestasional adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kanaikan kadar gula darah yang terjadi pada wanita hamil, biasanya terjadi pada usia 24 minggu masa kehamilan, dan setelah melahirkan kadar gula darah kembali normal

2.1.4. Diagnosis

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan BB yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain dapat berupa keluhan lemas badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsu ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Yang pertama jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosa DM. yang kedua yaitu pemeriksaan glukosa plasma puasa > 126 mg/dl dengan adanya keluhan klasik. Yang ketiga yaitu tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitive dan spesifik disbanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan


(40)

Hasil pemerisaan diagnostik yang tidak memenuhi criteria normal atau DM tipe 2 dapat digolongkan kelompok toleransi glukosa tergangu (TGT) glukosa darah puasa terganggu (GDPT).kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) yang bila setelah pemeriksaan TTGO diperoleh glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dl. Kelompok glukosa darah puasa terganggu (GDPT) yaitu bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa diperoleh antara 100 – 125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dl (PERKENI, 2011)

2.1.5. Manifestasi Klinis

Menurut Tarwoto (2012) dan Smeltzer & Bare (2009), manifestasi klinis dari DM adalah:

a. sering kencing/miksi atau meningkatnya frekuensi buang air kecil (poliuria) Adanya hiperglikemia menyebabkan sebagian glukosa dikeluarkan oleh ginjal bersama urin karena keterbatasan kemampuan filtrasi ginjal dan kemampuan reabsorbsi dari tubulus ginjal. Untuk mempermudah pengeluaran glukosa maka diperlukan banyak air, sehingga frekuensi miksi menjadi meningkat b. Meningkatnya rasa haus (polidipsia)

Banyaknya miksi menyebabkan tubuh kekurangan cairan (dehidrasi), hal ini merangsang pusat haus yang mengakibatkan peningkatan rasa haus.

c. Peningkatan rasa lapar (polipagia)

Meningkatnya katabolisme, pemecahan glikogen untuk energi menyebabkan cadangan energi berkurang, keadaan ini menstimulasi pusat lapar.


(41)

d. Penurunan berat badan

Penurunan berat badan disebabkan karena banyaknya kehilangan cairan, glikogen dan cadangan trigleserida serta massa otot

e. Kelainan pada mata, penglihatan kabur

Pada kondisi kronis, keadaan hiperglikemia menyebabkan aliran darah menjadi lambat, sirkulasi ke vaskuler tidak lancar, termasuk pada mata yang dapat merusak retina serta kekeruhan pada lensa.

f. Gatal pada kulit

Kulit gatal, infeksi kulit, gatal-gatal disekitar penis dan vagina. Peningkatan glukosa darah mengakibatkan penumpukan pula pada kulit sehingga menjadi gatal, jamur dan bakteri mudah menyerang kulit.

g. Ketonuria

Ketika glukosa tidak lagi digunakan untuk energi, asam lemak akan dipecah menjadi keton yang kemudian berada pada darah dan dikeluarkan melalui ginjal

h. Kelemahan/keletihan

Kurangnya cadangan energi, adanya kelaparan sel, kehilangan potassium akan membuat pasien mudah lelah dan letih

i. Terkadang tanpa gejala

Pada keadaan tertentu, tubuh sudah dapat beradaptasi dengan peningkatan glukosa darah


(42)

Komplikasi DM diklasifikasikan menjadi dua yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronis:

a. Komplikasi Akut

Ada tiga komplikasi akut pada DMyang penting dan berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka waktu pendek. Ketiga komplikasi tersebut adalah hipoglikemia, ketoasidosis diabetik dan sindrom koma hiperglikemik hiperosmolar non ketotik (HHNK) (Smeltzer & Bare, 2009)

b. Komplikasi Kronis

Komplikasi ini adalah akibat lama dan beratnya hiperglikemia (Bandero , Dayrit, Siswadi, 2009). Komplikasi jangka panjang atau komplikasi kronis semakin terlihat pada penderita DM yang berumur panjang, komplikasi ini dapat menyerang semua sistem organ ditubuh. Kategori komplikasi kronis adalah penyakit makrovaskuler, mikrovaskular dan neoropati (Smeltzer & Bare, 2009)

2.1.8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan DM tipe 2 secara umum bertujuan untuk meningkatkankualitas hidup pasien. Penatalaksanaan DM tipe 2 terdiri dari penatalaksanaan jangka pendek dan penatalaksanaan jangka panjang. Tujuan penatalaksanaan jangka pendek adalah menghilangkan tanda dan gejala DM tipe 2, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.


(43)

Tujuan penatalaksanaan jangka panjang adalah mencegah dan menghambat progresivitas komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neuropati diabetik. Tujuan akhir dari penatalaksanaan DM tipe 2 adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2009; PERKENI, 2011). Pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid perlu dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku (Mansjoer dkk., 2005).

Menurut PERKENI (2011), ada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.

a. Edukasi

Edukasi memegang peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan DM tipe 2 karena pemberian edukasi kepada pasien dapat merubah perilaku pasien dalam melakukan pengelolaan DM secara mandiri. Pemberian edukasi kepada pasien harus dilakukan dengan melihat latar belakang pasien, ras, etnis, budaya, psikologis, dan kemampuan pasien dalam menerima edukasi. Edukasi mengenai pengelolaan DM secara mandiri harus diberikan secara bertahap yang meliputi konsep dasar DM, pencegahan DM, pengobatan DM, dan selfcare (IDF, 2005; Funnell et.al., 2008).

Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan tingkat lanjut. Materi edukasi tingkat awal meliputi perjalanan penyakit DM, perlunya


(44)

nonfarmakologis, interaksi makanan, aktivitas, dan obat-obatan, cara pemantauan glukosa darah mandiri, pentingnya latihan jasmani, perawatan kaki dan cara mengatasi hipoglikemi. Sedangkan materi edukasi lanjut meliputi mengenal dan mencegah penyulit akut DM, penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain, makan di luar rumah, rencana untuk kegiatan khusus dan hasil penelitian terkini dan teknologi mutakhir (PERKENI, 2011)

b. Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) atau diet merupakan bagian dari penatalaksanaan DM tipe 2. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari tenaga kesehatan (dokter, ahli gizi, tenaga kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Prinsip pengaturan nutrisi pada pasien DM tipe 2 yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pengaturan jadwal, jenis, dan jumlah makanan merupakan aspek yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama pada pasien dengan terapi insulin (PERKENI, 2011; Smeltzer & Bare, 2009).

Bagi pasien yang obesitas, penurunan berat badan merupakan kunci dalam penanganan DM. Secara umum penurunan berat badan bagi individu obesitas merupakan faktor utama untuk mencegah timbulnya penyakit DM. Obesitas akan disertai peningkatan terhadap insulin dan merupakan salah satu faktor etiologi yang menyertai DM tipe 2.

Perhitungan kebutuhan kalori menggunakan rumus Brocca yaitu :


(45)

Status gizi: BB kurang (BB < 90% BBI), BB normal (BB = 90-110% BBI),

BB lebih (BB = 110-120% BBI), BB gemuk (BB >120% BBI)

Makanan dibagi atas 3 porsi besar: pagi (20%), siang (30%), sore (25%) dan sisa untuk snack diantara makan pagi-siang dan siang sore. Selanjutnya perubahan disesuaikan dengan pola makan pasien. Standar yang dianjurkan untuk komposisi makanan adalah: Karbohidrat (KH) 45-65%, Protein 10-20%, Lemak 20-25% total asupan energi, Natrium 6-7 gr (1 sendok teh), serat ± 25g/1000 kkal/hari dan pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (PERKENI, 2008).

c. Latihan jasmani

Latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit yang sifatnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance training). Prinsip CRIPE tersebut menjadi dasar dalam pembuatan materi DSME yang memiliki arti latihan jasmani dilakukan secara terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur, gerak cepat dan lambat secara bergantian, berangsur-angsur dari latihan ringan ke latihan yang lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu. Latihan jasmani bertujuan untuk menjaga kebugaran tubuh, menurunkan berat badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan


(46)

dapat meningkatkan intensitas latihan jasmani, sedangkan pasien DM tipe 2 yang mengalami komplikasi dapat mengurangi intensitas latihan jasmani (PERKENI, 2011.).

d. Intervensi farmakologis

Intervensi farmakologis meliputi pemberian obat-obatan kepada pasien DM tipe 2. Obat-obatan yang diberikan dapat berupa obat oral dan bentuk suntikan. Obat dalam bentuk suntikan meliputi pemberian insulin dan agonis GLP-1/incretin mimetic (PERKENI, 2011). Berdasarkan cara kerjanya, obat hiperglikemik oral (OHO) dibagi menjadi 5 golongan, yaitu pemicu sekresi insulin (misalnya

sulfonilurea dan glinid), peningkat sensitivitas terhadap insulin (misalnya

metformin dan tiazolidindion), penghambat glukoneogenesis (misalnya metformin), penghambat absorpsi glukosa (misalnya penghambat glukosidase alfa), dan DPP-IV inhibitor (Mansjoer dkk., 2005; PERKENI, 2011).

2.2. Edukasi

Edukasi adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui teknik praktik belajar atau instruksi, dengan tujuan untuk mengingat fakta atau kondisi nyata, dengan cara memberi dorongan terhadap pengarahan diri (self direction), aktif memberikan informasi-informasi atau ide baru. Edukasi merupakan serangkaian upaya yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain, mulai dari individu, kelompok, keluarga dan masyarakat agar terlaksananya perilaku hidup sehat (Setiawati, 2008).


(47)

Edukasi merupakan proses interaktif yang mendorong terjadinya pembelajaran, dan pembelajaran merupakan upaya menambah pengetahuan baru, sikap serta keterampilan melalui penguatan praktik dan pengalaman tertentu (Potter & Perry, 2008). Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa pendidikan (education) secara umum adalah sebagai upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat, sehingga dapat melakukan apa yang diharapkan oleh pendidik. Dalam konteks kesehatan, maka edukasi diberikan kepada pasien dan keluarganya sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat untuk meningkatkan kesehatannya.

2.3. Diabetes Self-Management Education (DSME)

2.3.1. Definisi DSME

Diabetes Self Management Education (DSME) adalah suatu proses berkelanjutan yang dilakukan untuk memfasilitasi pengetahuan, keterampilan dan kemampuan pasien DM untuk melakukan perawatan mandiri (Funnel et.al, 2008), Menurut Jack et all (2004) DSME dilakukan dengan menggunakan metode pedoman, konseling dan intervensi prilaku untuk meningkatkan pengetahuan mengenai DM dan meningkatkan keterampilan individu dan keluarga dalam pengelolaan DM.

DSME dapat dilakukan di berbagai metode, bisa dilakukan secara individu maupun berkelompok. Metode individu biasanya dilakukan dalam setting rumah sakit sedangkan dalam kelompok lebih bervariatif, dapat dilakukan di rumah sakit,


(48)

komunitas, group diabetes, klas atau organisasi diabetes (Rickheim P.L, Weaver T.W, Flader J, Kendall D.M, 2002).

2.3.2. Tujuan DSME

Tujuan DSME adalah mengoptimalkan kontrol metabolik dan kualitas hidup pasien dalam upaya mencegah komplikasi akut dan kronis, sekaligus mengurangi penggunaan biaya perawatan klinis (Norris et.al., 2002). Menurut Funnell et.al. (2008) tujuan umum DSME adalah mendukung pengambilan keputusan, perawatan diri, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim kesehatan untuk meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup

2.3.3. Prinsip DSME

Prinsip utama DSME menurut Funnell et.al. (2008) adalah pendidikan DM efektif dalam memperbaiki hasil klinis dan kualitas hidup pasien meskipun dalam jangka pendek, DSME telah berkembang dari model pengajaran primer menjadi lebih teoritis yang berdasarkan pada model pemberdayaan pasien, tidak ada program edukasi yang terbaik namun program edukasi yang menggabungkan strategi perilaku dan psikososial terbukti dapat memperbaiki hasil klinis, dukungan yang berkelanjutan merupakan aspek yang sangat penting untuk mempertahankan kemajuan yang diperoleh pasien selama program DSME, dan penetapan tujuan-perilaku adalah strategi efektif mendukung selfcare behaviour.


(49)

2.3.4. Komponen DSME

Menurut Schumacher dan Jancksonville (2005 dalam Rondhianto, 2012) komponen dalam DSME yaitu:

a. Pengetahuan dasar tentang diabetes, meliputi definisi, patofisiologi dasar, alasan pengobatan, dan komplikasi diabetes;

b. Pengobatan, meliputi definisi, tipe, dosis, dan cara menyimpan. Penggunaan insulin meliputi dosis, jenis insulin, cara penyuntikan, dan lainnya. Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) meliputi dosis, waktu minum dan lainnya;

c. Monitoring, meliputi penjelasan monitoring yang perlu dilakukan, pengertian tujuan, dan hasil dari monitoring, dampak hasil dan strategi lanjutan, peralatan yang digunakan dalam monitoring, frekuensi, dan waktu pemeriksaan;

d. Nutrisi, meliputi fungsi nutrisi bagi tubuh, pengaturan diet, kebutuhan kalori jadwal makan, manjemen nutrisi saat sakit, kontrol berat badan, gangguan makan dan lainnya;

e. Olahraga dan aktivitas, meliputi kebutuhan evaluasi kondisi medis sebelum melakukan olahraga, penggunaan alas kaki dan alat pelindung dalam berolahraga, pemeriksaan kaki dan alas kaki yang digunakan, dan pengaturan kegiatan saat kondisi metabolisme tubuh sedang buruk;


(50)

g. Perawatan kaki, meliputi insidensi gangguan pada kaki, penyebab, tanda dan gejala, cara mencegah, komplikasi, pengobatan, rekomendasi pada pasien jadwal pemeriksaan berkala;

h. Sistem pelayanan kesehatan dan sumber daya, meliputi pemberian informasi tentang tenaga kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan yang ada di lingkungan pasien yang dapat membantu pasien

2.3.5. Tingkat Pembelajaran DSME

Menurut Jones et.al. (2008) tingkat pembelajaran DSME terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

a. Survival/basic level

Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam upaya mencegah, mengidentifikasi dan mengobati komplikasi jangka pendek.

b. Intermediate level

Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam upaya mencapai kontrol metabolik yang direkomendasikan, mengurangi resiko komplikasi jangka panjang dan memfasilitasi penyesuaian hidup pasien.

c. Advanced level

Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam


(51)

upaya mendukung manajemen DM secara intensif untuk kontrol metabolik yang optimal, dan integrasi penuh ke dalam kegiatan perawatan kehidupan pasien.

2.3.6. Pelaksanaan DSME

DSME dapat dilakukan secara individu maupun kelompok, baik di klinik maupun komunitas (Norris et.al., 2002). Pelaksanaan DSME dapat dilakukan sebanyak 4 sesi dengan durasi waktu antara 1-2 jam untuk tiap sesi (Central Dupage Hospital, 2011), yaitu:

a. Sesi 1 membahas pengetahuan dasar tentang DM (definisi, etiologi, klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, diagnosis, pencegahan, pengobatan, komplikasi);

b. Sesi 2 membahas pengaturan nutrisi/diet dan aktivitas/latihan fisik yang dapat dilakukan;

c. Sesi 3 membahas perawatan kaki dan monitoring yang perlu dilakukan; dan d. Sesi 4 membahas manajemen stress dan dukungan psikososial, dan akses

pasien terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.

2.4. Efikasi Diri

2.4.1. Definisi Efikasi diri

Menurut Bandura (1977) efikasi diri adalah keyakinan seorang individu mengenai kemampuannya dalam mengorganisasi dan menyelesaikan suatu tugas yangdiperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Efikasi diri yakni keyakinan bahwa


(52)

(Santrock, 2007) mengatakan bahwa efikasi diri berpengaruh besar terhadap perilaku.

Efikasi diri pertama dikemukakan oleh Bandura yang merupakan teori kognitif sosial (social cognitif theory). Teori ini memandang pembelajaran sebagai penguasaan pengetahuan melalui proses kognitif informasi yang diterima. Dimana sosial mengandung pengertian bahwa pemikiran dan kegiatan manusia berawal dari apa yang dipelajari dalam masyarakat. Sedangkan kognitif mengandung pengertian bahwa terdapat kontribusi influensial proses kognitif terhadap motivasi, sikap, perilaku manusia. Secara singkat teori ini menyatakan, sebagian besar pengetahuan dan perilaku anggota organisasi digerakkan dari lingkungan, dan secara terus menerus mengalami proses berpikir terhadap informasi yang diterima. Sedang proses kognitif setiap individu berbeda tergantung keunikan karakteristik personalnya (Chairulmuslimna, 2009)

2.4.2. Proses Pembentukan efikasi diri

Proses efikasi diri mempengaruhi fungsi manusia bukan hanya secara langsung, tetapi juga mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap faktor lain. Secara langsung, proses efikasi diri mulai sebelum individu memilih pilihan mereka dan mengawali usaha mereka. Yang penting, langkah awal dari proses tersebut tidak begitu berhubungan dengan kemampuan dan sumber individu, tetapi lebih pada bagaimana mereka menilai atau meyakini bahwa mereka dapat menggunakan kemampuan dan sumber mereka untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.


(53)

Menurut Bandura (1994) efikasi diri mengatur manusia melalui empat proses utama yaitu :

a. Proses Kognitif

Efikasi diri mempengaruhi proses berpikir yang dapat meningkatkan atau mempengaruhi performance dan bisa muncul dalam berbagai bentuk, antara lain konstruksi kognitif dan inferential thinking.

Konstruksi Kognitif merupakan Sebagian besar tindakan yang pada awalnya dibentuk dalam pikiran konstruksi kognitif tersebut kemudian hadir sebagai penuntun tindakan. Keyakinaan orang akan efikasi diri nya akan mempengaruhi bagaimana mereka menafsirkannya situasi dan tipe-tipe skenario pengantisipasi dan menvinsualisasikan masa depan yang mereka gagas. Orang memiliki efikasi diri yang tinggi akan memandang situasi yang dihadapi sebagai sesuatu yang menghadirkan kesempatan yang dapat dicapai.

Inferential Thinking dimana sebagai fungsi utama berfikir adalah agar orang mampu untuk memprediksi hasil dari berbagai tindakan yang berbeda dan untuk menciptakan kontrol terhadap hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, ketrampilan-ketrampilan dalam problem solving memerlukan pemrosesan kognitif dari berbagai informasi yang kompleks, ambigu dan tidak pasti, secara efektif fakta bahwa faktor-faktor prediktif yang sama mungkin memiliki predictor yang berbeda menciptakan suatu ketidakpastian efikasi diri yang tinggi diperlukan dalam menghadapi berbagai ketidak pastian.


(54)

b. Proses Motivasional

Kemampuan untuk memotivasi diri dan melakukan tindakan yang memiliki tujuan berdasarkan pada aktivitas kognitif. Orang memotivasi dirinya dan membimbing tindakannya melalui pemikirannya. Mereka membentuk keyakinan bahwa diri mereka bisa dan mengantisipasi berbagai kemungkinan

outcome positif dan negatif, dan mereka menetapkan tujuan dan merencanakan tindakan yang dibuat untuk merealisasikan nilai-nilai yang diraih dimasa depan dan menolak hal-hal yang tidak diinginkan.

c. Proses Afektif

Keyakinan seseorang mengenai kemampuannya dipengaruhi seberapa banyak tekanan yang dialami ketika menghadapi situasi-situasi yang mengancam. Reaksi-reaksi emosional tersebut dapat mempengaruhi tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pengubahan jalan pikiran. Orang percaya bahwa dirinya dapat mengatasi situasi yang mengancam, menunjukkan kemampuan oleh karena itu tidak merasa cemas atau terganggu oleh ancaman-ancaman yang dihadapinya, sedangkan orang yang merasa bahwa dirinya tidak dapat mengontrol situasi yang mengancam akan mengalami kecemasan yang tinggi.

d. Proses Seleksi

Dengan menyeleksi lingkungan, orang mempunyai kekuasaan akan menjadi apa mereka. Pilihan–pilihannya dipengaruhi oleh keyakinan kemampuan personalnya. Orang akan menolak aktivitas-aktivitas dan lingkungan yang mereka yakini melebihi kemampuan mereka, tetapi siap untuk melakukan aktivitas dan


(55)

memilih lingkungan sosial yang mereka nilai dapat mereka atasi semakin tinggi penerimaan efikasi diri, semakin menantang aktivitas yang mereka pilih.

2.4.3. Sumber efikasi diri

Efikasi diri seseorang berkembang melalui empat sumber utama yaitu pengalaman pribadi/ pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, persuasi verbal serta kondisi fisik dan emosional (Bandura, 1994):

a. Pengalaman langsung dan pencapaian prestasi

Hal ini merupakan cara paling efektif untuk membentuk efikasi diri yang kuat. Seseorang yang memiliki pengalaman sukses cenderung menginginkan hasil yang cepat dan lebih mudah jatuh karena kegagalan. Beberapa kesulitan dan kegagalan diperlukan untuk membentuk individu yang kuat dan mengajarkan manusia bahwa kesuksesan membutuhkan suatu usaha, seseorang yang memiliki keyakinan akan sukses mendorongnya untuk bangkit dan berusaha untuk mewujudkan kesuksesan tersebut.

b. Pengalaman orang lain

Seseorang dapat belajar dari pengalaman orang lain dan meniru perilakunya untuk mendapatkan seperti apa yang didapatkan oleh orang lain.

c. Persuasi Verbal

Persuasi verbal dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak atau berperilaku. Dengan persuasi verbal, individu mendapat sugesti bahwa ia mampu


(56)

perilaku untuk mencapai kesuksesan tersebut dan sebaliknya seseorang dapat menjadi gagal karena pengaruh atau sugesti buruk dari orang lain dan lingkungannya.

d. Kondisi fisik dan emosional

Hambatan yang dapat mempengaruhi efikasi diri antara lain nyeri, kelemahan, dan ketidaknyamanan demikian juga dengan kondisi fisik dan emosional dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan terkait efikasi dirinya.

2.4.4. Dimensi Efikasi Diri

Bandura (1977) mengajukan tiga dimensi efikasi diri, yakni: 1) Magnitude,

yang berkaitan dengan derajat kesulitan tugas, sejauh mana individu merasa mampu dalam melakukan berbagai tugas dengan derajat tugas mulai dari yang sederhana, yang agak sulit, hingga yang sangat sulit; 2) Generality, sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukan suatu aktivitas atau situasi tertentu hingga dalam serangkaian tugas atau situasi yang bervariasi. 3) Strength, kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki.

2.4.5. Faktor yang mempengaruhi efikasi diri

Perubahan perilaku didasari oleh adanya perubahan efikasi diri. Oleh karena itu, efikasi diri dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan maupun diturunkan, tergantung pada sumbernya. Apabila sumber efikasi diri berubah maka perubahan perilaku akan terjadi.


(57)

Berikut ini adalah sumber-sumber efikasi diri (Alwisol, 2006), antara lain :

a. Pengalaman Performansi (Performance Accomplishment)

Keberhasilan dan prestasi yang pernah dicapai dimasa lalu dapat meningkatkan efikasi diri seseorang, sebaliknya kegagalan menghadapi sesuatu mengakibatkan keraguan pada diri sendiri (self doubt). Sumber ini merupakan sumber efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya untuk mengubah perilaku. Pencapaian keberhasilan akan memberikan dampak efikasi yang berbeda-beda, tergantung proses pencapaiannya

Proses pencapaiannya terdiri dari 6 yaitu: Keberhasilan mengatasi tugas yang sulit bahkan sangat sulit, akan meningkat efikasi diri individu. Bekerja sendiri, lebih meningkatkan self-efficacy dibandingkan bekerja kelompok atau dibantu orang lain. Kegagalan menurunkan efikasi diri, meskipun seorang individu merasa sudah bekerja sebaik mungkin. Kegagalan yang terjadi ketika kondisi emosi sedang tertekan dapat lebih banyak pengaruhnya menurunkan efikasi diri, dibandingkan bila kegagalan terjadi ketika individu sedang dalam kondisi optimal. Kegagalan sesudah individu memiliki efikasi diri yang kuat, dampaknya tidak akan seburuk ketika kegagalan tersebut terjadi pada individu yang efikasi diri-nya belum kuat. Individu yang biasanya berhasil, sesekali mengalami kegagalan, belum tentu akan mempengaruhi efikasi diri-nya.

b. Pengalaman Vikarius (Vicarious Experiences)


(58)

Pengalaman tidak langsung meningkatkan kepercayaan individu bahwa mereka juga memiliki kemampuan yang sama seperti model yang diamati saat dihadapkan pada persoalan yang setara. Intensitas efikasi diri dalam diri individu ditentukan oleh tingkat kesamaan dan kesesuaian kompetensi yang ada dalam model terhadap diri sendiri. semakin setara kompetensi yang dimaksud maka individu akan semakin mudah merefleksikan pengalaman model social sebagai takaran kemampuan yang ia miliki. Dalam proses atensi individu melakukan pengamatan terhadap model sosial yang dianggap merepresentasikan dirinya. Kegagalan dan kesuksesan yang dialami model sosial kemudi

c. Persuasi Sosial (Social Persuasion)

Akan lebih mudah untuk yakin dengan kemampuan diri sendiri, ketika seseorang didukung, dihibur oleh orang-orang terdekat yang ada disekitarnya. Akibatnya tidak ada atau kurangnya dukungan dari lingkungan sosial juga dapat melemhkan efikasi diri. Bentuk persuasi sosial bisa bersifat verbal maupun non verbal, yaitu berupa pujian, dorongan dan sejenisnya. Efek dari sumber ini sifatnya terbatas, namun pada kondisi yang tepat persuasi dari orang sekitar akan memperkuat efikasi diri. Kondisi ini adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi dan dukungan realistis dari apa yang dipersuasikan.

d. Keadaan Emosi (Emotional and Psychological)

Keadaan emosi yang mengikuti suatu perilaku atau tindakan akan mempengaruhi efikasi diri pada situasi saat itu. Emosi takut, cemas, dan stress yang kuat dapat mempengaruhi efikasi diri namun, bisa juga terjadi peningkatan emosi (yang tidak berlebihan). Begitu juga dengan kondisi fisiologis, ketika


(59)

terlibat dalam aktivitas yang membutuhkan stamina yang kuat, namun tubuh merasa mudah lelah, nyeri atau pegal dapat melemahkan efikasi diri karena merasa fisik tidak mendukung lagi. Sehingga peningkatan efikasi diri dapat dilakukan dengan menjaga dan meningkatkan status kesehatan fisik.

2.4.6. Perkembangan efikasi diri selama masa kehidupan

a. Bersumber dari diri sendiri (origins of sense of personal agency)

Bayi yang baru dilahirkan akan mengembangkan rasa keberhasilannya melalui eksplorasi bagaimana pengalaman yang memberikan efek terhadap lingkungan sekitarnya. Getaran pada box bayi atau tangisan akan membawa orang dewasa mendekatinya sehingga bayi belajar bahwa tindakan akan menghasilkan efek. Bayi yang berhasil mengendalikan peristiwa lingkungannya akan menjadi lebih perhatian terhadap prilakunya sendiri dan merasa berbeda dengan bayi yang lainnya (Bandura, 1994)

b. Efikasi diri yang bersumber dari keluarga (Familial sources of self-efficacy) Bayi dan anak-anaknya harus terus belajaruntuk mengembangkan kemampuan kognitif dan keterampilan fisik untuk mengetahui dan mengelola berbagai situasi social. Perkembangkan kemampuan sensori motorik akan memperluas lingkungan kemampuan eksplorasi bayi dan anak-anak dalam bermain. Tersedianya peluang ini akan memperbesar keterampilan dasar dan rasa keberhasilan. Pengamalan akan kesuksesan dalam menjalankan control pribadi adalah pengembangan awal kompetensi social dan kognitif yang berpusat di


(60)

c. Memperluas efikasi diri melalui pengaruh kelompok (broading of self-efficacy trough peer influences)

Seseorang yang masuk dalam sebuah kelompok akan memperluas kemampuan pengetahuannya. Sebahagian besar pembelajaran sosial akan terjadi di antara anggota kelompok memberikan pengaruh yang besar pada efikasi diri anggotanya. Anggota kelompok akaPerbedaan usia juga akan mempengaruhi efikasi diri seseorang. Pengaruh rasa efikasi diri rendah kepada anggota kelompok akan mempengaruhi efikasi diri anggota kelompok lainya, begitupun sebaliknya (Bandura, 1994)

d. Sekolah sebagai pembentukan kognitif efikasi diri (school of an agency forndura, cultivating cognitive self-efficacy)

Sekolah adalah tempat untuk mengembangkan kompetensi kognitif. Anak-anak menembangkan kompetensi kognitif dan pengetahuannya dalam memecahkan masalah dengan berpartisipasi aktif di masyarakat. Kemampuan kognitif dan pengetahuan yang dimiliki akan menjadi dasar bagi pembentukan keyakinan akan keberhasilan. Sehingga pengalaman keberhasilan dan kegagalan yang dialami akan membentuk efikasi diri bagi anak-anak (Banura, 1994).

e. Pertumbuhan efikasi diri melalui pengalaman transisi masa remaja (Growth of self-efficacy through transitional experience of adolescernce)

Remaja belajar memikul penuh tanggung jawab pribadi disemua dimensi kehidupan. Kompetensi baru dan keyakinan akan sebuah keberhasilan perlu terus dikembangkan. Remaja memperluas dan memperkuat rasa keberhasilannya dengan mencoba menghadapi berbagai peristiwa kehidupan. Keyakinan akan


(61)

efikasi diri dibangun melalui penguasaan pengalaman sebelumnya (Bandura, 1994)

f. Efikasi diri masa dewasa (self-efficacy concerns of adulthood)

Dewasa muda adalah masa ketika orang harus belajar memenuhi kebutuhan baru yang timbul karena kemitraan, hubungan perkawinan, orang tua ataupun pekerjaan. Pemenuhan kebutuhan baru tersebut dapat terpenuhi dengan efikasi diri yang tinggi. Mereka yang memasuki usia dewasa muda dengan keterampilan yang kurang akan merasa tidak yakin dengan diri sendiri dalam menghadapi berbagai aspek kehidupan yang menimbulkan stress dan tekanan. Pengalaman kemampuan dan keterampilan dalam mengelola motivasi, emosional dan proses berfikir akan meningkatkan pengaturan afikasi diri seseorang (Bandura, 1994)

g. Menilai kembali efikasi diri melalui bertambahnya usia (Reappraisals of self-efficacy with advancing age)

Dimensi generalisasi berfokus pada kekuatan atau keyakinan dalam melakukan sebuah usaha. Harapan yang lemah bisa disebabkan oleh pengalaman yang buruh. Tetapi bila seseorang mempunyai harapan yang kuat mereka akan tetap berusaha walaupun mengalami sebuah kegagalan (Bandura, 1994)

2.4.7. Cara Meningkatkan Efikasi Diri

Strategi untuk meningkatkan motivasi dan efikasi diri pada pasien dengan penyakit kronis terutama diabetes adalah dengan pendidikan/edukasi


(62)

kesehatan melalui pendekatan diabetes self management education (DSME), empowerment, dan motivational interviewin (Lakhanpal, 2007)

Pendekatan pendidikan kesehatan dengan metode DSME tidak hanya

menggunakan metode ceramah, penyuluhan baik langsung atau tidak langsung namun telah berkembang dengan mendorong partisipasi dan kerjasama pasien dan keluarganya. Pada DSME tidak hanya memberikan informasi tentang penyakit dan ketrampilan teknikal saja, metode ini juga berisi tentang ketrampilan menyelesaikan masalah (problem solving), koping, dan manejemen diri diabetes. Tujuan DSME selain meningkatkan pengetahuan tentang diabetes, yang paling utama adalah meningkatkan efikasi diri dan motivasi pasien untuk menjalankan perawatan DM. DSME dapat diberikan oleh dokter, perawat, kader kesehatan yangterlatih atau orang yang hidup dengan penyakit kronis (Bodenheimer, Lorig, Holmadan Grumbach, 2002 dalam Lakhanpal, 2007).

Pasien yang diberi edukasi dan pedoman dalam perawatan diri dengan terstruktur dan bertahap akan mengubah pola hidupnya, sehingga dapat mengontrol kadar glukosa darah dengan baik. Intervensi DSME yang diberikan kepada pasien dapat meningkatkan aspek kognisi dan afeksi pasien DM dan keluarganya secara simultan akan mempengaruhi peninfkatan prilaku sehat pasien. Prilaku sehat tersebut terdiri dari monitoring kadar glukosa darah secara mendiri, perencanaan diet, latihan jasmani dan istirahat yang cukup, konsumsi obat glikemik yang benar dan mneghindari rokok (Rondhianto, 2012)


(63)

Atak (2007) mengatakan bahwa Peningkatan efikasi diri sebagai hasil dari intervensi jangka pendek berupa edukasi karena pasien berpikir mereka bisa dengan mudah melakukan kegiatan yang diharapkan dari mereka karena pengetahuan yang didapat dari edukasi tentang mengelola penyakit mereka dapat mengubah perilaku manajemen diri.

Teaching (pendidikan kesehatan) merupakan intervensi untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang DM dan perawatannya, yang dapat meningkatkan motivasi dan efikasi diri pasien. Perawat perlu melakukan pendidikan kesehatan terstruktur dan berkala dalam waktu tertentu untuk meningkatkan pengetahuan pasien. Selain itu bisa juga dengan membuat suatu kelas untuk pendidikan kesehatan yang dapat dievaluasi baik melalui penelitian atau hasil diagnostik seperti hasil laboratorium (Ariani, 2011)

Hasil penelitian Temple (2003) tentang pengaruh diabetes self-care management education terhadap efikasi diri, perawatan diri dan penilaian psikologis pada pasien diabetes menunjukkan hasil bahwa diabetes self-care management education yang dilakukan memfasilitasi peningkatan prilaku perawatan diri pasien pada masalah diet, olah raga dan pemeriksaan glukosa darah, namun tidak terhadap pengobatan

2.5. Landasan Teori


(64)

yang berisi tentang edisi pertama diperluas pada keluarga, kelompok dan masyarakat. Tahun 1985 mempublikasikan buku kedua yang berisi tentang tiga teori, yaitu: Theory self care, theory self care deficit, theory system keperawatan.. Dalam bidang keperawatan dapat dikatakan bahwa ahli Keperawatan dari Amerika, adalah Dorothea E. Orem, termasuk salah seorang yang terpenting diantara orang yang mengembangkan pandangan dalam bidang Keperawatan.

2.5.2. Self-Care Ceficit Theory of Nursing

Self-Care Deficit Theory of Nursing yang dikembangkan oleh Dorothea Orem terdiri dari tiga teori umum yang saling berkaitan, yaitu :

a. The Theory of Self-Care

Untuk memahami tentang teori perawatan diri, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai konsep dasar perawatan diri (self-care), kemampuan perawatan diri (self-care agency), faktor yang mempengaruhi perawatan diri (basic conditioning factors), dan terapi kebutuhan perawatan diri (therapeutic self-care demand).

Perawatan diri (self-care) adalah pelaksanan aktivitas individu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dalam mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraan. Jika perawatan diri dapat dilakukan dengan efektif, maka dapat membantu individu dalam mengembangkan potensi dirinya. (Orem, 1991)

Kemampuan perawatan diri (self-care agency) adalah kemampuan individu untuk terlibat dalam proses perawatan diri. Kemampuan ini berkaitan dengan faktor pengkondisian perawatan diri.


(65)

Faktor yang mempengaruhi perawatan diri (basic conditioning factor) yang terdiri dari faktor usia, jenis kelamin, status kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem perawatan kesehatan, kebiasaan keluarga, pola hidup, faktor lingkungan dan keadaan ekonomi. Terapi kebutuhan perawatan diri (therapeutic self-care demand), yaitu tindakan yang dilakukan sebagai bantuan untuk memenuhi syarat perawatan diri.

b. The Theory of Self-Care Deficit

Teori ini merupakan inti dari teori keperawatan Orem. Teori ini mengambarkan kapan keperawatan dibutuhkan. Keperawatan diperlukan ketika individu tidak mampu atau mengalami keterbatasan dalam memenuhi syarat perawatan diri yang efektif. Keperawatan diberikan jika tingkat kemampuan perawatan diri lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan perawatan diri atau kemampuan perawatan diri seimbang dengan kebutuhan namun hubungan deficit dapat terjadi selanjutnya akibat penurunan kemampuan, peningkatan kualitas dan kuantitas kebutuhan atau keduanya.

Teori self care deficit diterapkan bila anak belum dewasa, kebutuhan melebihi kemampuan perawatan, kemampuan sebanding dengan kebutuhan tetapi diprediksi untuk masa yang akan datang, kemungkinan terjadi penurunan kemampuan dan peningkatan kebutuhan.

Dalam pemenuhan perawatan diri sendiri serta membantu dalam proses penyelesaian masalah, Orem memiliki metode untuk proses tersebut diantaranya;


(66)

support baik secara fisik atau psikologis, meningkatkan pengembangan lingkungan untuk pengembangan pribadi serta mengajarkan atau memberi pendidikan pada orang lain.

Inti dari teori ini menggambarkan manusia sebagai penerima perawatan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan perawatan dirinya dan memiliki berbagai keterbatasan-keterbatasan dalam mencapai taraf kesehatannya. Perawatan yang diberikan didasarkan kepada tingkat ketergantungan; yaitu ketergantungan total atau parsial. Defisit perawatan diri menjelaskan hubungan antara kemampuan seseorang dalam bertindak/beraktivitas dengan tuntutan kebutuhan tentang perawatan diri. Sehingga bila tuntutan lebih besar dari kemampuan, maka ia akan mengalami penurunan/defisit perawatan diri.

Self care adalah kemampuan individu untuk melakukan perawatan diri. Perawatan diri dapat mengalami gangguan atau hambatan bila seseorang jatuh pada kondisi sakit atau kondisi yang melelahkan seperti stress fisik dan psikologis. Self care deficit terjadi bila agen self care atau orang yang memberikan perawatan diri baik pada diri sendiri maupun pada orang lain tidak dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri individu dan lebih memberikan self care theraupetic. Nursing agency menggunakan kegiatan gabungan berarti bahwa kegiatan perawat perlu dikoordinasi, dilakukan secara serentak atau berhubungan dengan layanan asuhan keperawatan yang akan diberikan. Seseorang yang melakukan kegiatan ini harus mempunyai pengetahuan tentang asuhan keperawatan yang diberikan sehingga dapat mengambil suatu keputusan yang tepat bagi klien.


(67)

c. The Theory of Nursing System

Nursing system adalah bagian dari pertimbangan praktek keperawatan yang dilakukan oleh perawat berdasarkan koordinasi untuk mencapai kebutuhan perawatan diri (self-care demand) pasiennya dan untuk melindungi dan mengontrol latihan/pengembangan dari kemampuan perawatan diri pasien ( self-care agency).

Orem (1991) mengidentifikasi tiga klasifikasi dari sistem keperawatan berdasarkan kemampuan pasien dalam mencapai syarat pemenuhan perawatan diri.

1) Wholly Compensatory System

Sistem penyeimbang keperawatan menyeluruh merupakan suatu tindakan keperawatan dengan memberikan kompensasi penuh kepada pasien disebabkan karena ketidakmampuan pasien dalam memenuhi tindakan keperawatan secara mandiri. Sistem penyeimbang keperawatan menyeluruh dibutuhkan ketika perawat harus menjadi peringan bagi ketidakmampuan total seorang pasien dalam hubungan kegiatan merawat yang membutuhkan tindakan penyembuhan dan manipulasi. Perawat mengambil alih pemenuhan kebutuhan self caresecara menyeluruh kepada pasien yang tidak mampu, misal: pada pasien koma atau pasien bayi.

2) Partly Compensatory System


(68)

pasien yang memerlukan bantuan secara minimal. Perawat mengambil alih beberapa aktifitas yang tidak dapat dilakukan oleh pasien dalam memenuhi kebutuhan self care-nya, dijalankan pada saat perawat dan pasien menjalankan intervensi perawatan atau tindakan lain yang melibatkan tugas manipulatif atau penyembuhan, misal: pasien usia lanjut, pasien stroke dengan kelumpuhan.

3) Supportive-Educative System

Sistem yang mendukung/mendidik yaitu tindakan keperawatan yang bertujuan untuk memberikan dukungan dan pendidikan agar pasien mampu melakukan perawatan mandiri. Perawat memberikan pendidikan kesehatan atau penjelasan untuk memotivasi melakukan self care, tetapi yang melakukan self care adalah pasien sendiri, misal: mengajarkan pasien merawat lukannya, mengajarkan bagaimana menyuntik insulin. Diperlukan pada situasi dimana pasien harus belajar untuk menjalankan ketentuan yang dibutuhkan secara eksternal atau internal yang ditujukan oleh therapeutic self care, namun tidak dapat melakukan tanpa bantuan. Metode bantuan diantaranya: tindakan, panduan, pelajaran, dukungan dan memberikan lingkungan yang membangun.


(69)

Gambar 2.1 Sistem Dasar Teori Orem

2.5.3. Kaitan Teori Dengan Penelitian

Keperawatan diperlukan ketika individu tidak mampu atau mengalami keterbatasan dalam memenuhi syarat perawatan diri yang efektif. Keperawatan diberikan jika tingkat kemampuan perawatan diri lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan perawatan diri atau kemampuan perawatan diri seimbang dengan kebutuhan namun hubungan deficit dapat terjadi selanjutnya akibat penurunan kemampuan, peningkatan kualitas dan kuantitas kebutuhan atau keduanya.


(70)

Dalam pemenuhan perawatan diri sendiri serta membantu dalam proses penyelesaian masalah, orem memiliki metode untuk proses tersebut diantaranya; bertindak atau berbuat untuk orang lain, sebagai pembimbing orang lain, memberi support baik secara fisik atau psikologis, meningkatkan pengembangan lingkungan untuk pengembangan pribadi serta mengajarkan atau memberi pendidikan pada orang lain

DM jika tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan terjadinya bagai penyulit menahun. Jika kadar glukosa darah dapat selalu dikendalikan dengan baik, diharapkan semua penyulit manahun tersebut dapat dicegah paling tidak sedikit dihambat (Suyono dkk, 2011). Pengobatan yang dianjurkan di 2012 klinik panduan dari American Diabetes Association untuk memastikan kontrol glikemik dan mencegah komplikasi pada pasien DM meliputi pengobatan nutrisi, aktivitas fisik, insulin pengobatan oral, pemantauan glukosa darah mandiri dan DM pendidikan pengelolaan diri (ADA, 2012). Jadi pasien DM perlu mengatur kembali pengobatan nutrisi medis dan aktivitas fisik, jika perlu, menggunakan pemantauan obat dan glukosa darah untuk mengevaluasi hasil kegiatan perawatan diri. Pasien DM harus belajar bagaimana untuk mengevaluasi diri, memutuskan tindakan apa yang perlu diambil untuk mengurus kebutuhan mereka, dan melakukan tindakan-tindakan, dan tindakan ini akan menjadi mungkin dengan pendidikan tentang DM . Teori self-care deficit Orem bisa menjadi panduan yang berguna pada diabetes manajemen diri pendidikan untuk meningkatkan perilaku perawatan diri seorang pasien DM (Surucu & Kizilci, 2012).


(71)

Dari Supportive-Educative System Orem juga jelas dikatakan bahwa Sistem yang mendukung/mendidik yaitu tindakan keperawatan yang bertujuan untuk memberikan dukungan dan pendidikan agar pasien mampu melakukan perawatan mandiri. Edukasi diperlukan pada situasi dimana pasien harus belajar untuk menjalankan ketentuan yang dibutuhkan secara eksternal atau internal yang ditujukan oleh therapeutic self care, namun tidak dapat melakukan tanpa bantuan. Metode bantuan diantaranya: tindakan, panduan, pelajaran, dukungan dan memberikan lingkungan yang membangun

DSME merupakan cara edukasi yang diberikan kepada pasien DM yang merupakan suatu proses yang memfasilitasu pengetahuan, keterampilan dan kemampuan perawatan mandiri (self care behavior) yang sangat dibutuhkan oleh pasien DM dimana nantinya melalui edukasi tersebut pasien DM akan dapat mengubah pola hidupnya, sehingga dapat mengontrol kadar glukosa darah dengan baik (Funnel et al., 2008)


(72)

Resistensi dan gangguan sekresi insulin

DM

Pencegahan Komplikasi dengan 4 pilar 1. Edukasi

2. Diet

3. Aktivitas Fisik

4. Intervensi Farmakologis

Edukasi Dengan metode DSME

1. Pengetahuan DM 2. Diet

3. Latihan Fisik 4. Senam Kaki dan

perawatan kaki 5. Manajemen Stres

dan dukungan psikososial

Terpenuhinya perawatan diri

Mengatur perkembangan dan perbaikan proses perawatan diri

Supportive-educative system by Orem’s Theory

Efikasi Diri Faktor Resiko 1. Genetik 2. Ras 3. Usia 4. Obesitas 5. Hiperkolesterol 6. Gaya Hidup

Manajemen Perawatan diri

Gula Darah Terkontrol

2.6. Kerangka Teori


(73)

2.7. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Edukasi Efikasi Diri

Diabetes Self

Management Education (DSME :

1. Pengetahuan DM 2. Diet

3. Latihan Fisik

4. Senam Kaki dan perawatan kaki 5. Manajemen Stres dan

dukungan psikososial

Perubahan Prilaku : 1. Pengontrolan KGD 2. Pengelolaan Diet 3. Latihan Fisik

teratur

4. Manajemen Stress 5. Pencegahan


(74)

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperiment dengan desain penelitian pre-test and post-test with control group design. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas edukasi diabetes terpadu untuk meningkatkan efikasi diri pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di puskesmas Sering. Responden dalam penelitian ini dibagi kedalam 2 kelompok yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pada kedua kelompok diawali dengan pretes, setelah itu kelompok intervensi diberi per akuan sedangkan kelompok kontrol tidak. Setelah itu kelompok intervensi diberikan post test (Nursalam, 2008)

Tabel 3.1 Rancangan Penelitian

Pre Test Intervensi Post Test Follow up

Kelompok Kontrol O O1 O2

Kelompok Intervensi O X O1 O2

Keterangan:

X : Intervensi (Diabetes Self-Management Education)

O : Pre test (Efikasi diri awal pada kelompok control dan intervensi) O1 : Post test (Efikasi diri akhir pada kelompok control dan intervensi) O2 : Follow up (Efikasi diri kelopok kontrol dan intervensi 1 minggu


(1)

LAMPIRAN 2


(2)

LAMPIRAN 3

IZIN PENELITIAN

147


(3)

(4)

149


(5)

(6)

151