Teori Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

masalah pokok “Crime and Development” juga pernah menegaskan : “any dictionary between a country’s policies for social defence and its planning for national development was unreal by definitions”. 31 Makna yang dapat diambil dari penegasan Kongres di atas adalah banyak aspek dari kebijakan kriminal yang harus dikoordinasikan dan diintegrasikan ke dalam kebijakan sosial setiap negara. Penegasan Kongres di atas membuktikan perlunya integrasi antara kebijakan sosial social policy dengan kebijakan kriminal criminal policy. Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa bertolak dari konsepsi kebijakan, integral sebagaimana penegasan Kongres PBB di atas, maka kebijakan penanggulangan kejahatan tidak banyak artinya apabila kebijakan sosial kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-faktor kriminogen dan victimogen. 32 Upaya kebijakan, penanggulangan tindak pidana criminal policy, G. Peter Hoefnogels menggambarkan ruang lingkupnya, bahwa kebijakan criminal criminal policy mencakup; pertama, mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pidana lewat media massa; kedua, penerapan hukum pidana kriminologi praktis dan ketiga, pencegahan tanpa pidana yang meliputi: politik sosial, rencana kesehatan mental masyarakat, dan lainnya. Gambaran Hoefnagels mengenai “pencegahan tanpa pidana, menunjukkan sifat non penalnya dari fungsionalisasi criminal policy yang berarti lebih menitik beratkan pada sifat preventif, sementara penggunaan sarana penal lebih bersifat represif”. Sudarto 31 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 50 32 Ibid, hlm. 7 memberikan pemahaman, bahwa tindakan represif, pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. Kebijakan penanggulangan tindak pidana melalui jalur non penal ini oleh Barda Nawawi Arief dikatakan, bahwa jalur ini lebih bersifat pencegahan terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif untuk penyebab terjadinya kejahatan. faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Melengkapi upaya penanggulangan tindak pidana dengan sarana Non Penal, Kongres PBB ke 7 Tahun 1985 di Milan, Italia, dalam dokumen ACONF.121L9 tentang “Crime Prevention in the Context of Development” ditegaskan, bahwa upaya penghapusan sebab-akibat dan kondisi yang menimbulkan kejahatan harus merupakan “strategi pencegahan kejahatan yang mendasar” the basic crime prevention strategies. “Guiding Priciples” yang dihasilkan kongres ke 7 ditegaskan antara lain bahwa “Kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidak adilan yang bersifat sosio-ekonomi, di mana kejahatan sering hanya merupakan gejalasymptom”. Dalam guiding principles di atas dampak keharusan penggunaan upaya non penal, seperti mempertimbangkan faktor struktural dan faktor ketidak adilan dalam tindak pidana.

F. Teori Faktor Penghambat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hambatan adalah halangan atau rintangan. Hambatan merupakan keadaan yang dapat menyebabkan pelaksanaan terganggu dan tidak terlaksana. Menurut Soerjono Soekanto ada beberapa faktor penghambat dalam proses penegakan hukum yakni: 1. Faktor Perundang-undangan Substansi hukum Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Pada hakekatnya, hukum itu mempunyai unsur-unsur antara lain hukum perundang-undangan, hukum traktat, hukum yuridis, hukum adat, dan hukum ilmuwan atau doktrin. Secara ideal unsur-unsur itu harus harmonis, artinya tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun horizontal antara perundang- undangan yang satu dengan yang lainnya, bahasa yang dipergunakan harus jelas, sederhana, dan tepat karena isinya merupakan pesan kepada warga masyarakat yang terkena perundang-undangan. 2. Faktor Penegak Hukum Faktor ini adalah salah satu faktor penting pada penegakan hukum, karena penegak hukum merupakan aparat yang melaksanakan proses upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu sendiri. Menurut J.E Sahetapy yang menyatakan bahwa: “Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum inklusif manusianya keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan.” Penegakan hukum menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum, artinya hukum identik dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Maka penegak hukum dalam melaksanakan wewenangnya harus tetap menjaga citra dan wibawa penegak hukum, agar kualitas aparat penegak hukum tidak rendah dikalangan masyarakat. 3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan atau pengetahuan. Masalah perangkat keras dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan aktual. 4. Faktor Masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Adanya kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sikap masyarakat yang kurang menyadari bahwa setiap warga turut serta dalam penegakan hukum tidak semata-mata menganggap tugas penegakan hukum urusan penegak hukum menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum. 5. Faktor Kebudayaan Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis perundang-undangan harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegak hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya.