Bentuk Pertanggungjawaban Indonesia Atas Protes Malaysia Dan Singapura Dalam Masalah Kabut Asap Dan Kebakaran Hutan Di Propinsi Riau

(1)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum


(2)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

!! ! !

"#$ " %&'()( " *++, *-(.' %/


(3)

Segala Hormat dan Puji dan Syukur hanya bagi-Nya. Yang menciptakan segala yang ada di bumi dan surga dan yang memampukan Penulis untuk menjalani perkuliahan sampai menyelesaikan skripsi ini pada akhirnya. Di dalam Kasih dan Anugerah-Nya yang begitu besar, yang sama sekali tidak terpikirkan oleh akal budi Penulis, membuat Penulis selalu bersyukur dan menyadari bahwa semuanya adalah karena Penulis begitu berharga sebagai ciptaan-Nya.

Penulisan skripsi yang berjudul :

adalah guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang banyak membantu Penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk semua itu, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

· Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum USU

Medan;

· Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan I;

· Bapak Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M selaku Pembantu Dekan II;


(4)

· Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional dan Dosen Pembimbing II

· Bapak Prof.Dr.Suhaidi,S.H, M.H selaku Dosen Pembimbing I

· Bapak Mohammad Eka Putra,S.H., M.Hum. selaku Dosen Wali;

· Kedua orang tua serta seluruh anggota keluarga Penulis yang sangat Penulis

sayangi, yang membimbing, mengasihi, mendukung, dan memperhatikan Penulis dalam segala hal sampai saat ini.

· Bapak dan Ibu Dosen yang telah mendidik Penulis selama empat tahun

menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

· Seluruh dosen Departemen Hukum Internasional yang telah menjadi inspirasi

dan penyemangat bagi Penulis selama ini, terima kasih atas perhatiannya;

· Nerissa Arviana Lore, Jesslyn, Mariana Ramli, Aini, Agustina, Milana Dewi,

jeffry Leander, Eric, Iskandar Tandanu, Hendro Chandra, Ferry Suwandi Natio, Abidin, , Benny, Eri, terima kasih karena kalian begitu baik kepada Penulis, yang selalu memberi waktu untuk mendengar keluh kesah, memberikan saran, dukungan, doa, motivasi dan menghibur Penulis;

· Seluruh pembimbing, pengurus, serta teman-teman anggota ILSA

(International Law Student Association) yang namanya tidak dapat disebutkan Penulis satu persatu, terima kasih untuk waktu motivasi, dukungan dan perhatian kepada Penulis serta kebersamaan kita selama kuliah dan pada saat Study Tour, merupakan suatu momen yang tidak dapat Penulis lupakan;

· Seluruh teman-teman stambuk 2008;


(5)

· Semua adik-adik di Fakultas Hukum USU;

Penulis juga menyadari kekurangan dan keterbatasan dari skripsi ini, karena itu Penulis selalu terbuka untuk dikoreksi dan menerima setiap masukan yang membangun.

Dan akhirnya Penulis kembali mengucapkan terima kasih untuk semua dukungan dan perhatian yang ada selama ini, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap pembaca.

Medan, 3 Juli 2012


(6)

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

Abstraksi... vi

'1 *2)'&%+%'2 ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 11

D. Tinjauan Pustaka ... 12

E. Metode Penelitian ... 17

F. Sistematika Penulisan ... 19

'1 *23'4%"'2 %5%/ 24*"2'6(#2'+ *24'23 '233%23 '7'1 *3'"' 21 A. Pengertian Tanggung Jawab Negara ... 21

B. akibat Kebakaran Hutan ... 23

C. Pengaturan Hukum Internasional tentang Tanggungjawab Negara... 33

'1 %4%6'289%4%6'2 '&5'/'& 24*"2'6(#2'+ 4'6 '6%68 '6%6 *2:*/'"'2 (24'6 '4'6 ... 44

A. Putusan Berdasarkan Hukum Internasional ... 50

B. Kasus ... 55

C. ... 57

D. ... 58

'1 *24%5 *"4'233%23;'7'1'2 2)#2*6(' *"&')'9 "#4*6 '+',6(' )'2 (23'9%"' ... 61


(7)

A. Faktor Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan ... 61

B. Dampak dan Kerugian yang Timbul ... 66

C. Kebakaran Hutan Sebagai Bencana Alam... 68

D. Bentuk Pertanggungjawaban Indonesia... 71

E. Penanganan Kebakaran Hutan... 74

'1 *2%4%9 ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 82


(8)

ABSTRAK

Saat ini kebakaran hutan telah menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi. Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas negara. Berkaitan dengan hal tersebut maka penting untuk diteliti hal-hal sebagaimana berikut : Bagaimana pengaturan hukum internasional tentang tanggung jawab Negara, bagaimana putusan-putusan dari Mahkamah Internasional atas kasus-kasus pencemaran lintas batas, dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban Indonesia terhadap protes Malaysia dan Singapura. Penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif, dimana diadakan penelitian atas norma-norma hukum internasional yang mengatur tentang kebakaran hutan baik yang berbentuk konvensi maupun prinsip-prinsip hukum umum.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengaturan hukum

internasional tentang tanggung jawab Negara berlaku terhadap Negara yang telah

melakukan pelanggaran atau kelalaian atas hukum internasional. Sementara itu ketentuan hukum internasional yang mengatur masalah tanggung jawab Negara sampai saat ini belum ada yang mapan, dan terus mengalami perkembangan

sesuai dengan perkembangan jaman. ILC ( )

merupakan badan PBB yang bertugas mengurusi dan membahas draft tentang ketentuan tanggung jawab Negara. Prinsip tanggung jawab negara lahir dari

kewajiban internasional yang bersifat primer ( ! yakni

suatu prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban suatu negara. Setiap negara yang menyandang hak tertentu adalah juga merupakan subjek yang mendukung kewajiban tertentu pula. Kewajiban ini merupakan sisi lain dari hak yang diberikan oleh hukum.

Penelitian ini merumuskan beberapa hal berupa saran yang terkait dengan hasil penelitian, yakni sebagai berikut :

PBB melalui ILC harus segera merumuskan aturan-aturan yang terkait dengan masalah tanggung jawab Negara khusunya yang berhubungan dengan tanggung jawab atas kebakaran hutan, Putusan Mahkamah Internasional sebaiknya tidak hanya berorientasi pada prinsip ganti rugi melainkan selalu diimbangi dengan kewajiban-kewajiban lain seperti memberikan bantuan teknis, dan untuk ikut serta dalam mengatasi dampak , mencegah dan menghentikan dampak selanjutnya. Hanya saja, dalam praktek penerapan prinsip demikian tetap belum dapat memenuhi upaya-upaya pemulihan lingkungan ke keadaan semula. Sifat khusus ini segera menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan lain terhadap bentuk-bentuk baru penerapan prinsip-prinsip hukum internasional untuk menjamin agar hukum dapat berperan lebih optimal sebagai instrument pertama perlindungan lingkungan.


(9)

ABSTRAK

Saat ini kebakaran hutan telah menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi. Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas negara. Berkaitan dengan hal tersebut maka penting untuk diteliti hal-hal sebagaimana berikut : Bagaimana pengaturan hukum internasional tentang tanggung jawab Negara, bagaimana putusan-putusan dari Mahkamah Internasional atas kasus-kasus pencemaran lintas batas, dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban Indonesia terhadap protes Malaysia dan Singapura. Penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif, dimana diadakan penelitian atas norma-norma hukum internasional yang mengatur tentang kebakaran hutan baik yang berbentuk konvensi maupun prinsip-prinsip hukum umum.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengaturan hukum

internasional tentang tanggung jawab Negara berlaku terhadap Negara yang telah

melakukan pelanggaran atau kelalaian atas hukum internasional. Sementara itu ketentuan hukum internasional yang mengatur masalah tanggung jawab Negara sampai saat ini belum ada yang mapan, dan terus mengalami perkembangan

sesuai dengan perkembangan jaman. ILC ( )

merupakan badan PBB yang bertugas mengurusi dan membahas draft tentang ketentuan tanggung jawab Negara. Prinsip tanggung jawab negara lahir dari

kewajiban internasional yang bersifat primer ( ! yakni

suatu prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban suatu negara. Setiap negara yang menyandang hak tertentu adalah juga merupakan subjek yang mendukung kewajiban tertentu pula. Kewajiban ini merupakan sisi lain dari hak yang diberikan oleh hukum.

Penelitian ini merumuskan beberapa hal berupa saran yang terkait dengan hasil penelitian, yakni sebagai berikut :

PBB melalui ILC harus segera merumuskan aturan-aturan yang terkait dengan masalah tanggung jawab Negara khusunya yang berhubungan dengan tanggung jawab atas kebakaran hutan, Putusan Mahkamah Internasional sebaiknya tidak hanya berorientasi pada prinsip ganti rugi melainkan selalu diimbangi dengan kewajiban-kewajiban lain seperti memberikan bantuan teknis, dan untuk ikut serta dalam mengatasi dampak , mencegah dan menghentikan dampak selanjutnya. Hanya saja, dalam praktek penerapan prinsip demikian tetap belum dapat memenuhi upaya-upaya pemulihan lingkungan ke keadaan semula. Sifat khusus ini segera menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan lain terhadap bentuk-bentuk baru penerapan prinsip-prinsip hukum internasional untuk menjamin agar hukum dapat berperan lebih optimal sebagai instrument pertama perlindungan lingkungan.


(10)

Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya, karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat. Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas negara.


(11)

"Siklus terjadinya kebakaran hutan terus menerus serta pengrusakan hutan di Indonesia harus mulai dianggap sebagai masalah global karena negara kita merupakan penyumbang besar terhadap perubahan iklim dunia. Pemerintah harus mengambil langkah lebih berani untuk mencegah masalah ini dengan pertama-tama mendeklarasikan moratorium atas penghancuran dan konversi hutan gambut

secara nasional,” kata Hapsoro, Juru Kampanye Greenpeace Asia Tenggara.1

Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui atau mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan amphibi, 1.519 spesies burung dan 25%

dari spesies ikan dunia. Sebagian diantaranya adalah endemik atau hanya dapat

ditemui di daerah tersebut. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah

kehilangan hutan aslinya sebesar 72%.2 Sebagian dari hutan tropis terbesar di

dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luasannya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik Denokrasi Kongo dan hutan-hutan ini memiliki kekayaan hayati yang unik. Tipe-tipe hutan-hutan utama di Indonesia

berkisar dari hutan-hutan " # # dataran rendah yang selalu hijau di

Sumatera dan Kalimantan, sampai hutan-hutan monsun musiman dan padang

savana di Nusatenggara, serta hutan-hutan non " # # dataran rendah

dan kawasan alpin di Papua. Indonesia juga memiliki hutan mangrove terluas di

1

Hapsoro, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, “Kebakaran hutan di Indonesia menjadi ancaman global” diakses dari

http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/kebakaran -hutan-indonesia-menj/, pada


(12)

dunia. Luasnya diperkirakan sebesar 4.25 juta ha pada awal tahun 1990-an. luas

seluruh hutan di Indonesia adalah sekitar 106 juta hektar.3

Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya

sebesar 72 persen [* + # ! , -]. Penebangan hutan Indonesia

yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1985-1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan

hutan. [. " ! /001].

Saat ini kebakaran hutan telah menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi. Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena dampaknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi emisi karbon serta bagi keanekaragaman hayati. Penghujung tahun 1997 dan awal tahun 1998, dunia dapat menyaksikan dan mengamati betapa sedih dan mengerikan pada saat api membinasakan berjuta-juta hektar hutan tropika di Indonesia. Peristiwa kebakaran yang merusak tersebut mengakibatkan terjadinya lintasan panjang di Pulau Sumatera dan Kalimantan, berbentuk selimut asap yang tebal dan secara serius membahayakan kesehatan manusia. Kebakaran ini juga

3

http://insidewinme.blogspot.com/2007/11/sebab-kebakaran-hutan.html diakses pada tanggal 20 November 2011


(13)

membahayakan keamanan perjalanan udara serta menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar di seluruh kawasan dan menimbulkan banyak keluhan dari Negara tetangga.

Propinsi Riau yang letaknya berdekatan dengan Malaysia dan Singapura

menjadi sumber bagi kedua negara tersebut. Dari

sejumlah titik api yang terdeteksi terbanyak ditemukan di Riau dan Kalimantan

Barat. Dalam periode 1-30 Juli 2006, berdasarkan Data % +

# , di Provinsi Riau terdeteksi sejumlah 1.419 titik api,

yang terdiri dari: lahan masyarakat (55,39%), kawasan HTI (23,82%) dan

perkebunan (20,79%).4

Data yang terkumpul terhitung sejak 1997-98, rata-rata 80% kebakaran hutan dan lahan terjadi di lahan gambut. Data yang dianalisis WWF-Indonesia menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah mayoritas kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2002-2003 terjadi di lahan gambut sedangkan di Provinsi Riau dalam periode tahun 2001-2006, sekitar 67% hotspots (titik panas) terjadi di lahan gambut. Data terakhir berdasarkan pantauan koalisi LSM di Riau, Eyes on the Forest, antara 1-31 Juli 2006, terdapat 56% titik panas yang ditemukan di Provinsi Riau, terdapat pada lahan gambut. Pada periode yang sama, hampir 30% dari titik panas yang terdeteksi di Kalimantan

Barat juga terdapat pada tanah gambut.5

4


(14)

1-Hutan pada lahan gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan karbon (30% kapasitas penyimpanan karbon global dalam tanah) dan moderasi iklim sekaligus memberikan manfaat keanekaragaman hayati, pengatur tata air, dan pendukung kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki 20 juta ha lahan gambut yang terutama terletak di Sumatera (Riau memiliki 4 juta ha) dan Kalimantan. Pondasi utama dari lahan gambut yang baik adalah air. Bila terjadi pembukaan hutan gambut maka hal ini akan mempengaruhi unit hidrologinya. Dengan sifat gambut yang seperti spons (menyerapair), maka pada saat pohon ditebang dan lahannya dibuka, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air dan kemudian mengering. Dalam proses ini, terjadilah pelepasan karbon dan sekaligus mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang pada gilirannya

dapat menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut.6

Menurut Data Kementerian Lingkungan Hidup, diperkirakan lahan gambut di Riau saja menyimpan kandungan karbon sebesar 14.605 juta ton. Bila pembukaan lahan gambut dibiarkan apalagi diikuti dengan pembakaran hutan dan lahan, maka dapat dibayangkan berapa banyak karbon yang terlepas ke atmosfer dan pemanasan global ataupun perubahan iklim menjadi lebih cepat terjadi sekaligus dampak ikutan seperti asap dan lainnya akan terus dirasakan oleh masyarakat

setiap tahunnya.7

6


(15)

Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah internasional karena kasus

ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga 2

) sehingga mereka mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya masalah ini. Berdasarkan pada pertemuan menteri lingkungan hidup ASEAN dalam masalah polusi kabut asap lintas batas pada 13 Oktober 2006, Malaysia dan Singapura mendesak Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini. Tetapi Indonesia tidak langsung setuju dengan permintaan Malaysia dan Singapura. Protes Malaysia dan Singapura ini didasarkan pada alasan bahwa kabut asap tersebut telah menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat dan pariwisata mereka. Pernyataan maaf secara resmi terhadap masalah ini sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Malaysia dan Singapura karena mereka belum merasa puas. Inti ketidakpuasan dari negara-negara ASEAN terutama Malaysia dan Singapura, Indonesia sampai saat ini

belum meratifikasi , - & 3&4 &

2&& .8

Negara ASEAN lain sudah meratifikasi AATHP kecuali Filipina. Sampai dengan bulan Juli 2005, tujuh negara ASEAN telah meratifikasi yakni Brunei, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam dan Laos dan Kamboja.

Untuk menyelesaikan persoalan pencemaran lintas batas ini sebaiknya diperhatikan ketentuan hukum internasional, khususnya hukum kebiasaan


(16)

tersirat dalam Deklarasi Stockholm. Prinsip ini mengatakan kalau setiap negara memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya tanpa merugikan negara lain.

Contoh kasus yang serupa dengan kasus ini adalah .

Prinsip-prinsip internasional ini juga telah diakui dalam Mahkamah Internasional dan dalam dokumen-dokumen hukum lingkungan internasional seperti Deklarasi Stockholm 1972 dan Deklarasi Rio 1992. Walaupun prinsip-prinsip ini belum dikodifikasikan dalam perjanjian internasional, tetapi bisa dikatakan bahwa

kebiasaan internasional telah berkembang.9

Hukum lingkungan internasional pada mulanya berkembang dalam bentuk hukum kebiasaan, yaitu keputusan-keputusan yang dibentuk oleh badan-badan arbitrasi, yang dibentuk oleh negara-negara yang bersengketa, yang ingin menyelesaikan sengketanya secara damai. Pada umumnya mengacu kepada prinsip-prinsip hukum internasional, yaitu prinsip tanggungjawab negara (

), yang mewajibkan setiap negara bertanggungjawab terhadap setiap akibat tindakannya yang merugikan negara lain. Orientasi penerapan prinsip tersebut bukanlah perlindungan lingkungan, melainkan perlindungan dan

pemulihan hak-hak negara yang dirugikan.10

9

AzmiSharom,http://thestar.com.my/columnists/story.asp?file=/2007/7/12/columnists/ bravenew world/18255105&sec=Brave%20New%20World (diakses pada 24 November 2011)

10

Ida Bagus Wyasa Putra, 2003 Hukum Lingkungan Internasional, Refika Aditama, hlm.18


(17)

Menurut hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara yang bersangkutan merugikan negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Apabila kemudian terbukti adanya pelanggaran tersebut, maka diperlukan adanya upaya pemulihan yang

dapat berupa # , misalnya permohonan ma'af secara resmi, ataupun

berwujud # , misalnya dengan pemberian ganti rugi material.11

Istilah ' ' digunakan untuk menunjuk pada kewajiban ( ),

atau menunjuk pada standar pemenuhan suatu peran sosial yang ditetapkan oleh

sistem hukum tertentu. Sedangkan istilah ' ' digunakan untuk menunjuk

pada konsekuensi dari suatu kesalahan atau kegagalan untuk melaksanakan suatu kewajiban atau untuk memenuhi suatu standar tertentu yang telah ditetapkan. Lebih jelasnya lagi dapat diketahui dari rumusan ketentuan Pasal 139 (1 & 2) KHL-1982, sebagai berikut :

6 # 6

& ! # !

7 # #

# 6 # ! #

# 8

# 6 & # #

* 7 # & 9 ! # //!

#

# :

# 7

6 8 & 6 #

#

# , 1! / 2 ! ; #


(18)

# # 6 # # # , 1!

! & 9 ! # .12

Dalam konteks perlindungan lingkungan, untuk mengetahui ada tidaknya

pertanggungjawaban negara ( dan atau ( ) dalam suatu

peristiwa, Zemanek mengingatkan perlunya dilakukan penelitian terhadap empat

aspek dari keadaan faktual yang bersangkutan, yang meliputi: akibat ( #);

kegiatan ( # 6 ); tempat/ruang lingkup ( # ); serta sumber dan korban

( # 6 # ).6 Mengenai ada tidaknya akibat yang ditimbulkan dalam

suatu peristiwa, pertama-tama perlu untuk dibedakan mengenai pengertian

kerusakan ( ) dan pengertian membahayakan ( ).

Dalam hukum internasional, yaitu sebagaimana dirumuskan dalam Art. 1

(a) -1972, pengertian 'kerusakan' didefinisikan sebagai berikut:

" < < ! 7

! ! 7 # !

6 ".13

Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Pasal 25 juga memberikan pernyataan bahwa :

36 6 =

5 ! # ! # !

# # # # 6 # ! #

6 ! #; ! ! ! #;

6 # # # # 8

13


(19)

% # # # # 8 &

# ! #;! 7 #

# 8,

Ketentuan Pasal 1 " (ILC) tentang

Pertanggungjawaban Negara berisi bahwa: ”36 #

”.15 Selain itu sesuai dengan prinsip ke-14 Deklarasi Rio 1992 yang megatakan “Pencegahan peralihan bahan perusak lingkungan dari satu negara ke negara lainnya oleh setiap

pemerintah.”16

Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan Hukum Internasional tentang tanggung jawab Negara?

2. Bagaimana putusan-putusan dari Mahkamah Internasional atas

kasus-kasus pencemaran lintas batas>

3. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban Indonesia terhadap protes Malaysia dan Singapura?

<

*2*+(4('2 (2( /*/(+(5( 1*1*"'9' 4%;%'2 613/2 1"54 =

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional tentang tanggung jawab Negara.


(20)

2. Untuk mengetahui putusan-putusan dari Mahkamah Internasional atas kasus-kasus pencemaran lintas batas.

3. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban Indonesia terhadap protes Malaysia dan Singapura.

Selanjutnya manfaat yang diperoleh dari penulisan ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan pustaka tentang aspek hukum internasional dari pencemaran lintas batas. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis

Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menangani kasus-kasus pencemaran lintas batas. Sedangkan bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang dampak dari kebakaran hutan yang bersifat lintas batas berikut pengaturan hukumnya.

Prinsip bahwa setiap negara berdaulat diakui dan dilindungi oleh hukum internasional. Oleh karena itu semua negara yang menjadi bagian dari masyarakat internasional harus mengakui dan menghormati hal tersebut. Namun kedaulatan yang dimiliki oleh negara itu bukan tak terbatas. Maksudnya adalah bahwa di


(21)

dalam kedaulatan itu, terkait di dalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Jadi jika suatu negara melanggar ketentuan-ketentuan internasional atau melakukan tindakan yang tidak sah secara

internasional akan dikenai suatu tanggung jawab negara.17

Dalam tata hukum internasional, ketentuan berkenaan dengan masalah pertanggungjawaban negara ini memang belum ada yang pasti.

(ILC), salah satu organ PBB yang bertugas untuk melakukan perumusan dan pembahasan ketentuan dan hukum internasional sampai saat ini

masih berusaha merumuskan dan membahas tentang ketentuan tanggung

jawab negara. Meskipun hasil kerjanya masih dalam bentuk ! tetapi aktivitas

ILC dalam mempersiapkan dan melakukan perkembangan hukum internasional khususnya mengenai tanggung jawab negara yang dilakukan oleh para ahli hukum terkemuka yang mewakili kebudayaan-kebudayaan terpenting di dunia yang mempunyai nilai tinggi yang tergabung di dalam Panitia Hukum Internasional (ILC), dapat digunakan sebagai sumber tambahan hukum internasional. Jika ketentuan ini dipakai dalam praktek kenegaraan maka akan menjadi hukum kebiasaan internasional.

Sampai saat ini walaupun belum ada ketentuan yang mapan, tanggung jawab negara tetap merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional. Dalam hal ini baru bisa dikemukakan mengenai syarat-syarat atau


(22)

karakteristik tanggung jawab negara, seperti dikemukakan oleh Shaw yang dikutip

oleh Huala Adolf 18 sebagai berikut :

1. Ada suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tersebut;

2. Ada suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara; dan 3. Ada kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang

melanggar hukum atau kelalaian

Persyaratan-persyaratan ini kerapkali digunakan untuk menangani sengketa yang berkaitan dengan tanggung jawab negara. Misalnya dalam kasus

? % ## . Hakim Huber dalam kasus ini menegaskan bahwa

tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari adanya suatu hak. Hak-hak yang bersifat internasional tersangkut di dalamnya tanggung jawab internasional. Tanggung jawab ini melahirkan kewajiban untuk mengganti kerugian manakala

suatu negara tidak memenuhi kewajibannya.19

Timbulnya tanggung jawab negara atas lingkungan didasarkan pada adanya tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang berada di wilayah suatu negara atau di bawah pengawasan negara tersebut yang membawa akibat yang merugikan terhadap lingkungan tanpa mengenal batas negara. Hukum lingkungan internasional mengatur bahwa setiap negara mempunyai hak yang

18

Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT. Radja Grafindo Persada, ed. 1, cet. 2., Jakarta, 1996, h. 174

19


(23)

sama untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat bagi warga negaranya. Pasal 5 butir 1 Undang- Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat. Demikian pula Deklarasi Universal PBB mengenai Hak-Hak Asasi Manusia 10 Desember 1948 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas standar kehidupan yang memadai

untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya.20

Pembahasan masalah tanggung jawab atas lingkungan seperti telah dikemukakan di atas berkaitan dengan prinsip kedaulatan negara dan prinsip hormat-menghormati negara lain. Menurut Daud Silalahi konsep

5 dalam kerangka hukum lingkungan internasional mengacu

pada pembahasan # 6 dan .21

Prinsip ini sangat berguna dalam menyelesaikan sengketa lingkungan internasional yakni dalam hal terjadi pencemaran lintas batas (

) yang menimbulkan kerusakan lingkungan di wilayah negara lain,

missal dalam kasus .

Tanggung jawab negara terhadap akibat-akibat dari tindakannya terhadap negara lain dan hak-hak negara terhadap lingkungan ditegaskan pula dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972. Prinsip 21

20

@ 6 " # + : & A B . Terjemahan : Hendriati Trianita, " ; @ 6 ; & % : B , Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), cet. 2, Jakarta, 2000, h. 36


(24)

Deklarasi Stockholm (Resolusi MU No. 2992 (XXVII)) 15 Desember 1972)

menyatakan bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk

mengeksploitasi kekayaan alamnya dan bertanggung jawab agar kegiatan eksploitasi yang dilakukan di dalam wilayah atau di bawah pengawasannya tersebut tidak menyebabkan kerugian atau kerusakan terhadap negara lain.

Rumusan yang sama ditetapkan dalam Pasal 194 Konvensi Hukum Laut 1982 22

yaitu bahwa Negara harus mengambil tindakan yang perlu untuk menjamin agar kegiatan-kegiatan yang berada di bawah yurisdiksinya atau di bawah pengawasannya dilakukan dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak mencemari wilayah negara lain. Sedangkan ketentuan Prinsip 22 Deklarasi Stockholm berkaitan dengan masalah tanggung jawab dan kompensasi bagi para korban pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya yang disebabkan oleh kegiatan di dalam wilayah yurisdiksi atau di bawah pengawasan suatu negara. Hal serupa dikemukakan Komar Kantaatmadja, yakni bahwa perbuatan yang menyebabkan terjadinya kerugian menimbulkan kewajiban untuk memenuhi ganti rugi.

Adapun prinsip-prinsip mengenai hak dan kewajiban negara seperti termuat dalam rancangan Deklarasi dapat digunakan sebagai pedoman untuk saat ini. Adapun hak-hak dan kewajiban tersebut adalah :

a. Hak-hak negara :

1. Hak atas kemerdekaan (Pasal 1)

22

UN Doc. A/CONF.62/122, “" # @4 # # ' ) diakses dari www.search.un.org pada tanggal 22 Mei 2012


(25)

2. Hak untuk melaksanakan jurisdiksi terhadap wilayah, orang dan benda yang berada di dalam wilayahnya (Pasal 2)

3. Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan negara-negara lain (Pasal 5);

4. Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif (Pasal 12). b. Kewajiban negara

1. Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang terjadi di negara lain (Pasal 3);

2. Kewajiban untuk tidak menggerakkkan pergolakan sipil di negara lain (Pasal 4);

3. Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia (Pasal 6); 4. Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan

perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 7);

5. Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai (Pasal 8);

6. Kewajiban untuk tidak menggunakan kekuatan atau ancaman senjata (Pasal 9);

7. Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya pasal 9 di atas;

8. Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh melalui cara-cara kekerasan (Pasal 12);

9. Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan itikad baik (Pasal 13); dan


(26)

10. Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan negaranegara lain sesuai

dengan hukum internasional (Pasal 14).23

Pembahasan ini akan dilakukan dengan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari data yang terdapat dalam buku atau literatur, tulisan–tulisan ilmiah, dokumen-dokumen dan peraturan–peraturan perundang–undangan yang berhubungan dengan obyek penelitian, yang meliputi: Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari :

a. Bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari :

1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

3) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer yang terdiri dari :

Boer Mauna, ”Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global” Alumni, 2000, Bandung , hlm.51-52


(27)

1) & 3&4 &

2) Deklarasi Rio 1992 tentang HAM dan Lingkungan (KTT Bumi)

3) " & # + *

&# ! " !

4) Buku-buku mengenai Hukum Lingkungan Internasional

5) Bahan-bahan lain yang berkaitan dengan .

6) Majalah, surat kabar, tulisan yang berkaitan dengan materi pembahasan

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier meliputi :

1) Kamus Hukum

2) Kamus Besar Bahasa Indonesia

Pertanggungjawaban sistematika bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan sistematis, sehingga dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 4 (empat) bab yaitu sebagai berikut :

'1 merupakan pendahuluan yang terbagi dalam 6 (enam) sub bab, yaitu

latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian / pembahasan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian / pembahasan dan sistematika pembahasan.


(28)

'1 merupakan pembahasan umum mengenai tanggung jawab negara

dan , apa saja pembagian tanggung jawab negara ,

kriteria-kriteria tanggung jawab negara serta peraturan-peraturan yang berkaitan dengan itu.

'1 merupakan mengenai putusan-putusan dari

Mahkamah Internasional atas kasus-kasus pencemaran lintas batas

'1 merupakan pembahasan mengenai bentuk pertanggungjawaban

Indonesia terhadap protes Malaysia dan Singapura terkait kasus kabut asap akibat kebakaran hutan di Riau.

'1 penutup. Berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran dari

penulis. Adapun isi dari kesimpulan adalah tentang jawaban dari rumusan masalah baik permasalahan yang pertama maupun permasalahan yang kedua agar lebih jelas. Dan bagian kedua adalah saran. Saran merupakan rekomendasi penulis kepada dunia ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya hukum internasional.

Hal terakhir merupakan daftar pustaka yang digunakan penulis untuk merampungkan skripsi ini.


(29)

(30)

Tanggung jawab secara harafiah dapat diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai

akibat sikapnya oleh pihak lain.24 Menurut Sugeng Istanto, pertanggungjawaban

berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas semua hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya. Menurut hukum internasional pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara itu merugikan negara lain. Pertanggungjawaban negara dibatasi pada pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar hukum internasional saja. Perbuatan suatu negara yang merugikan negara lain tetapi tidak melanggar hukum internasional tidak menimbulkan pertanggungjawaban. Misalnya perbuatan negara menolak seorang warga negara asing yang masuk ke

dalam wilayah negaranya.25

Pertanggungjawaban negara atau mengandung

kewajiban dalam bagian dari suatu negara untuk memperbaiki kerusakan yang dihasilkan dari sebuah serangan yang dilakukan dalam wilayah yurisdiksinya dan

melawan anggota lainnya dari komunitas internasional.26 Dapat dikatakan bahwa

keberadaan konsep tanggung jawab negara dalam hukum internasional adalah

24

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, C . . , Balai Pustaka, Jakarta, h. 1006

25

F, Soegeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, Yogyakarta: Penerbitan UAJYogyakarta hlm.77

26

Joseph P Harris – Consulting editor,1935, Introduction to the Law of Nations, McGraw Hill Series Inc., Political science, New York-Toronto-London, hlm.133


(31)

untuk mencegah terjadinya konflik antar negara, disamping juga bertujuan memberikan perlindungan hukum.

Prinsip bahwa setiap negara adalah berdaulat memang diakui dan dilindungi oleh hukum internasional. Oleh karena itu semua negara yang menjadi bagian dari masyarakat internasional harus menghormati dan mengakui hal tersebut. Namun kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara itu tidak tak terbatas. Artinya dalam melaksanakan hak berdaulat itu terkait di dalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut.

Suatu negara dapat dimintai pertanggungjawaban untuk tindakan-tindakannya yang melawan hukum akibat kelalaian-kelalaiannya. Latar belakang timbulnya tanggung jawab di dalam hukum internasional adalah bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak negara lain. Setiap perbuatan atau kelalaian terhadap hak negara lain, menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaiki pelanggaran hak tersebut.

atau yang dikenal juga sebagai polusi kabut asap adalah asap dari kebakaran hutan atau lahan yang menghasilkan efek berbahaya bagi kesehatan manusia, makhluk hidup lainnya, ekosistem, instalasi umum, dan bertentangan dengan standar baku mutu lingkungan. Kebakaran hutan tidak hanya menimbulkan kerugian pada negara asal tempat terjadinya kebakaran,


(32)

Selama 20 tahun terakhir, kebakaran hutan telah menjadi peristiwa tahunan yang sudah merugikan negara dan rakyat Indonesia. Sejak tahun 1997-1998 kebakaran

hutan telah mengakibatkan kerugian Negara sebesar US$ 3 Milyar.27

*2'23'2'2 )'2 *"'4%"'2 ,'23 *"5'(4'2 *23'2

adalah polusi kabut asap yang berasal dari suatu negara tetapi efeknya sampai ke negara lain, biasanya sampai sulit dibedakan sumbernya. Setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat, setidaknya seperti yang dijamin oleh hukum internasional. Tercantum juga dalam prinsip 21 deklarasi Stockholm yang menyatakan hal yang sama, dan hak seperti ini dilindungi oleh hak mengajukan gugatan. Hak-hak tersebut juga dilengkapi dengan hak atas perlakuan yang sama. Walaupun hak-hak tersebut juga memiliki batas. Adapun tanggungjawab sipil memiliki penyelesaian untuk masalah di atas dimana protes antara negara nantinya tidak akan diperlukan. Tanggungjawab sipil

juga menerapkan prinsip dengan baik. Penerapan tanggungjawab ini

tidak akan jalan tanpa adanya kerjasama internasional. Lalu terakhir yang tidak

kalah penting adalah hak anak cucu bagi lingkungan yang baik kelak.28 Luasnya

dampak negatif yang diberikan dari polusi asap terhadap lingkungan, hasilnya pada tahun 2002 ASEAN akhirnya mengesahkan sebuah perjanjian lingkungan

27

“WWF desak Indonesia ratifikasi perjanjian asap” diakses dari http://www.bakornaspb.go.id/website/index.php?option

=com_content&task=view&id=1691&Itemid=120 pada tanggal 2 Februari 2012

28

Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle, International Law & the Environment, Oxford, 1992, hlm. 190-214


(33)

hidup yang ditandatangani oleh negara-negara anggota ASEAN yang bertujuan untuk mengendalikan pencemaran polusi asap di Asia Tenggara yaitu

ASEAN & (AATHP)29

Negara-negara mengalami kerugian akibat

dapat menuntut ganti rugi materiil dan pembebanan biaya untuk melakukan rehabilitasi lingkungan. Protes, atau dapat didefinisikan sebagai komunikasi formal dari suatu subyek internasional kepada subyek internasional lainnya untuk

mengutarakan keberatan terhadap pelanggaran hukum internasional.30

Cara penyelesaian sengketa yang paling tradisional adalah dengan

perundingan secara langsung ( . Perundingan diadakan dalam

bentuk-bentuk pembicaraan langsung antara negara-negara yang bersengketa dalam pertemuan tertutup antara wakil-wakilnya. Perundingan-perundingan langsung ini biasanya dilakukan menteri-menteri luar negeri, duta-duta besar atau wakil-wakil

yang ditugaskan khusus untuk berunding dalam kerangka diplomasi #. Ada

kalanya sengketa itu juga dinternasionalisasikan dalam sebuah konferensi

internasional.31 Untuk kasus ini sepertinya bentuk inilah yang sedang berjalan,

terbukti dengan negoisiasi-negosiasi Indonesia dengan Malaysia dan Singapura

29

“Sekretariat ASEAN” diakses dari Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas, tanggal 2 Februari 2012

30

Black’s Law Dictionary

31


(34)

dalam menyusun 5 kesepakatan dalam menyelesaikan masalah kabut asap.

Politik luar negeri adalah cara dalam melaksanakan hubungan luar negeri antara satu negara dengan negara lainnya. Pada kenyataanya politik luar negeri banyak dipengaruhi oleh intrik-intrik yang disebabkan oleh tujuan masing-masing negara yang berbeda. Obyek politik luar negeri sendiri luas menyangkut perjanjian-perjanjian internasional. Adapun subyek-subyek pelakunya luas mencakup kepala negara hingga warga negaranya.

Dalam menjalankan politik luar negerinya, setiap negara memiliki gayanya masing-masing, yang tentu akan dipengaruhi oleh faktor kebudayaan yang berlaku di masing-masing negara. Oleh karena itu kajian politik internasional tidak akan lepas dari disiplin ilmu lain seperti ekonomi, sosial, budaya, dan hukum.

Oleh karena itu sebaiknya bagi pihak yang merugikan adalah menyelesaikan kasus ini dalam lingkup dalam negeri terlebih dahulu agar untuk ke depannya kasus ini tidak akan berlanjut kepada arbitrasi atau mahkamah internasional. Sementara itu bagi pihak yang dirugikan adalah melihat kepada substansi permasalahan itu sendiri yakni kepada pencemaran lingkungannya.

Prinsip yang berlaku dalam kasus ini salah satunya adalah prinsip #

atau kerjasama. Hal ini berlaku dalam negara-negara ASEAN menghadapai masalah kabut asap. Salah satu yang dibahas dalam AATHP adalah masalah


(35)

Berdasarkan Bab IV &

& (TAC), terdapat 3 (tiga) mekanisme atau prosedur penyelesaian sengketa yang dikenal negara-negara anggota ASEAN, meliputi :

1. Penghindaran Timbulnya Sengketa dan Penyelesaian Melalui Negosiasi secara langsung

Pasal 13 TAC mensyaratkan negara-negara anggota untuk sebisa mungkin dengan iktikad baik mencegah timbulnya sengketa di antara mereka. Namun apabila sengketa tetap lahir dan tidak mungkin dicegah maka para pihak wajib menahan diri untuk tidak menggunakan (ancaman) kekerasan. Pasal ini selanjutnya mewajibkan para pihak untuk menyelesaikannya

melalui negosiasi secara baik-baik ( ) dan langsung di

antara mereka.

Pasal 13 TAC berbunyi :

# 6

6 8 # #

# ! # ;

# ! #

# 6

8


(36)

Manakala negosiasi secara langsung oleh para pihak gagal, penyelesaian

sengketa masih dimungkinkan dilakukan oleh # (Pasal 14

TAC).

Pasal 14 TAC berbunyi :

# ! #

# ! # ! # # #

+ 6 6 # # #

; # # 9 # ;

# 8

# terdiri dari setiap negara anggota ASEAN. Apabila sengketa

timbul maka # akan memberi rekomendasi mengenai cara-cara

penyelesaian sengketanya. # juga diberi wewenang untuk

memberikan jasa baik, mediasi, penyelidikan atau konsiliasi, apabila para pihak menyetujuinya (Pasal 15 dan 16 TAC).

Pasal 15 TAC berbunyi :

6 # # !

# ; # #

# #

# ! ! = # # 8 # #

6 # !

# # ! ! =

# # 8 # 6 # !

! # #

! = # # 8 * # !

# # 6


(37)

Pasal 16 TAC berbunyi :

6

# 8

6 # #

#

8 #

# 8

3. Cara-Cara penyelesaian Sengketa Berdasarkan pasal 33 Ayat (1) Piagam PBB.

Meskipun terdapat mekanisme di atas, TAC tidak menghalangi para pihak untuk menempuh cara atau metode penyelsaian sengketa lainnya yang para pihak sepakati sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB (Pasal 17 TAC).

Dalam praktik, para pihak yang bersengketa lebih cenderung untuk menyelesaikan sengketanya secara hukum. Misalnya penyelesaian sengketa sesuai dengan Pasal 17 TAC, yaitu penyelesaian sengketa sesuai dengan Pasal 17 TAC, yaitu penyelesaian sengketa ke Mahkamah Internasional (ICJ). Contoh langkah seperti ini misalnya adalah sengketa Indonesia-Malaysia mengenai status kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan,


(38)

atau antara Malaysia-Singapura mengenai status kepemilikan Pulau Batu Puteh.

Pasal 17 TAC berbunyi:

4 # # #

# & # 11 2, @ 4 8

# #

# ; 6 6

# 6 @

4 .

Uraian di atas mengisyaratkan beberapa kesimpulan berikut :

! dari instrumen-instrumen hukum yang mendasari berdirinya

organisasi internasional regional, tersirat adanya kehendak dari negara-negara pendirinya untuk menghindari caracara kekerasan dalam penyelesaian sengketa. Instrumeninstrumen tersebut mengakui dan menyadari bahwa penyelesaian sengketa harus dilaksanakan secara damai di antara mereka.

C , badan-badan organisasi internasional regional mensyaratkan kata

sepakat untuk menentukan cara atau mekanisme yang akan digunakan untuk menyelesaikan sengketa mereka.

, organisasi-organisasi internasional regional memberikan fungsi non yudisial kepada lembaga baik yang sudah ada atau yang secara khusus dibentuk.

3 , kecenderungan lain yang juga tampak adalah latar belakang dan


(39)

terhadap penyelesaian sengketa. Organisasi regional yang dikaji di atas umumnya adalah organisasi regional politis. Karena itu tampaknya wajar pula apabila persoalan atau sengketa yang timbul di antara mereka penyelesaiannya ditempuh secara politis. Dalam hal ini, penyelesaiannya misalnya dilakukan secara negosiasi, mediasi atau penyelesaian melalui bantuan pihak ketiga lainnya, baik

oleh suatu lembaga permanen atau suatu lembaga #(sementara).

, pemanfaatan Pasal 33 ayat (1) piagam PBB, khususnya penyelesaian melalui jalur hukum, dalam hal ini oleh Mahkamah Internasional (ICJ), hanya ditempuh oleh para pihak manakala cara-cara penyelesaian sengketa secara langsung (atau melalui pihak ketiga) telah ditempuh dan ternyata gagal.

Traktat adalah metode yang paling sering dilakukan untuk membuat peraturan internasional yang mengikat terkait dengan lingkungan. Pada dasarnya itu adalah perjanjian dengan berbagai bentuk diantara negara yang diatur oleh hukum internasional. Pembentukannya mengacu pada Konvensi Wina 1969. Negara yang telah menandatangani traktat namun belum meratifikasinya dilarang

untuk melakukan aktivitas yang dilarang oleh traktat.32

Salah satu traktat yang berpengaruh dalam kasus ini adalah &

6 4 4 + # yang ditandatangani di Kuala

Lumpur pada 9 Juli 1985. Traktat ini menjamin perlindungan bagi sumber daya alam.yang tercantum dalam prinsip dasar pada pasal 1.

32


(40)

& 3&4 & , yaitu suatu perjanjian multilateral di antara negara-negara ASEAN untuk menuntaskan masalah kabut asap. Menarik untuk diulas karena persoalan kabut asap ini telah berulang-ulang kali terjadi dan merugikan banyak pihak. Oleh karena itu dibuatlah perangkat ini sebagai salah satu alat untuk menangani masalah tersebut.

Traktat ini ditandatangani tanggal 10 Juni tahun 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada saat itu negara-negara yang menandatangani adalah Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Traktat ini menekankan kembali kepada Deklarasi ASEAN 8 Agustus 1967 yang mengibarkan semangat kerjasama regional diantara negara-negara ASEAN. Juga mengingat kembali pada pertemuan di Kuala Lumpur mengenai Lingkungan dan Pembangunan yang menyatakan perlunya pencegahan polusi lintas batas negara. Juga lanjutan dari Rencana ASEAN akan Polusi Lintas Batas pada tahun 1995 yang khusus membahas mengenai polusi lintas batas negara dalam udara, dan menetapkan prosedur dan mekanisme kerjasama diantara negara ASEAN dalam pencegahan dan mitigasi kebakaran

hutan dan kabut asap.33

Traktat ini bertujuan untuk menggerakkan Rencana Kabut Asap 1997 dan Rencana Hanoi yang bermaksud mengimplementasikan Rencana Kerjasama ASEAN terhadap Polusi Lintas Batas 1995, dengan penekanan Rencana Regional Kabut Asap sampai tahun 2001. Substansi yang diatur dalam AATHP adalah

33


(41)

pengikatan kerjasama antara para pihak dalam ASEAN untuk menuntaskan masalah polusi kabut asap lintas batas.

Adapun hambatan yang menghalangi tercapainya tujuan ini secara sempurna adalah belum semua negara ASEAN meratifikasi perjanjian ini, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia sendiri peratifikasian perjanjian ini akan menguntungkan karena dijamin bantuan dari para Pihak untuk menyelesaikan masalah kabut asap yang nota bene sebagian berasal dari negara ini. Saran terhadap traktat ini sendiri adalah pencantuman klausula formal yang jelas karena secara teknis belum jelas panduan pelaksanaannya dalam traktat ini.

Peratifikasian AATHP adalah salah satu kunci bagi kasus ini agar memiliki mekanisme secara internasional. Perjanjian ini sendiri sudah terbentuk pada tahun 1997. Hingga saat ini hanya Indonesia dan Filipina yang belum meratifikasinya. Bagi Indonesia proses di DPR yang menghambat proses ratifikasi. Walaupun secara eksplisit dalam pasal 6 UU no. 37 tahun 1999 memang dikatakan untuk perjanjian internasional adalah wewenang badan legislatif.34

Walaupun perjanjian ini tergolong , salah satu alasannya adalah

karena tidak ada sanksi yang mengikat bagi para pihak, tetapi dengan semangat kerjasama yang diusung ASEAN telah berlangsung usaha-usaha untuk mengatasi

masalah ini. Dalam perjanjian ini juga disinggung mengenai #


(42)

mereka diundang kepada setiap konferensi. # dibutuhkan Indonesia untuk meratifikasi AATHP karena akan muncul implikasi-implikasi berikutnya. Persetujuan ini memerlukan ratifikasi, penerimaan, persetujuan, dan aksesi dari setiap negara pihak untuk dapat berlaku ke dalam hokum nasionalnya. Pembukaan atas instrumen-instrumen tersebut adalah pada hari setelah persetujuan tersebut tertutup untuk penandatanganan. Dalam pasal 28 juga menyebutkan bahwa

& 7 # # ! ## # ! 6

## % 8 ##

# & # 8

# ! ## # ! 6 ##

" )

Artinya pemberlakuan atas instrumen-instrumen tersebut di atas harus

disimpan oleh depositary sebelumnya. disini adalah Sekretaris

Jenderal ASEAN yang akan membuat salinan dari instrumen-instrumen tersebut

dari setiap negara anggota.35

<

Ketentuan hukum internasional yang mengatur masalah tanggung jawab negara hingga kini belum ada yang mapan, dan terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan jaman. Para ahli hukum internasional mengakui

35

“Negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian”

www.id.wikipedia.org/wiki/Persetujuan_ASEAN_tentang_Pencemaran _Asap_Lintas-Batas, diakses tanggal 4 Februari 2012.


(43)

bahwa tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental hukum

internasional.36 (ILC) merupakan sebuah badan

PBB yang bertugas mengurusi dan membahas tentang ketentuan

tanggungjawab negara. Walaupun masih dalam bentuk tetapi karena disusun

oleh para ahli hukum terkemuka yang mewakili berbagai kebudayaan terpenting di dunia dan mempunyai nilai tinggi serta tergabung dalam panitia hukum

internasional, seperti yang tergabung dalam kepanitiaan penyusunan tentang

tanggung jawab negara dalam ILC, maka ketentuan tanggung jawab negara ini dapat digunakan sebagai sumber tambahan di dalam hukum internasional. Prinsip tanggung jawab negara lahir dari kewajiban internasional yang bersifat primer

( ! yakni suatu prinsip keseimbangan antara hak dan

kewajiban suatu negara. Setiap negara yang menyandang hak tertentu adalah juga merupakan subjek yang mendukung kewajiban tertentu pula. Kewajiban ini

merupakan sisi lain dari hak yang diberikan oleh hukum.37

Fungsi dasar dari prinsip tanggung jawab negara ini dalam hukum internasional adalah memberikan perlindungan kepada setiap negara, antara lain dengan cara mewajibkan setiap negara pelanggar membayar ganti rugi kepada

negara yang menderita kerugian tersebut. 38

Tentang bagaimana suatu negara yang dirugikan akan meminta sejumlah perbaikan, rehabilitasi atau ganti rugi sangat tergantung pada peristiwa yang

36

M.N. Shaw, !Butterworths, edisi 2, 1986, h. 466, Ian Brownlie, # # , 1979, h. 431, seperti dikutip oleh Huala Adolf,1996, & ;5& ; 4 ; , PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, h. 174


(44)

terjadi. Kebanyakan negara yang menderita akan meminta sesuatu yang bersifat satisfaction melalui negosiasi diplomati, apabila suatu negara merasa kehormatannya direndahkan sebuah permohonan maaf resmi dari negara yang bertanggung jawab biasanya dipenuhi atas diajukannya suatu keberatan. Sedangkan yang menyangkut dengan perbaikan dan biaya kompensasi lainnya diajukan apabila negara yang dirugikan itu telah menderita berupa material loss or damage. Guna memenuhi ini tidak jarang digunakan jalur hukum yang diajukan

kepada internasional arbitral or tribunal.39

1. */1'3('2 4'233%23 ;'7'1 *3'"'

Secara garis besar tanggung jawab negara dibagi menjadi :

a.Tanggung jawab perbuatan melawan hukum ( # )

Tanggung jawab ini lahir dari setiap kesalahan atau kelalaian suatu negara terhadap orang asing di dalam wilayah negaranya atau wilayah negara lain. Hal ini dapat timbul karena :

a.1. Eksplorasi ruang angkasa a.2. Eksplorasi nuklir

a.3. Kegiatan Lintas Batas Nasional

b. Tanggung jawab atas pelanggaran perjanjian

39


(45)

Pertanggungjawaban negara timbul karena suatu negara melanggar perjanjian

internasional ( ) yang dibuat dengan negara lain yang mengakibatkan

kerugian terhadap negara lainnya.

"(4*"('85"(4*"(' ,'23 )'9'4 )(3%2'5'2 %24%5 /*2*24%5'2 ')'2,' 4'233%23 ;'7'1 *3'"'

Menurut Sharon Williams, ada empat kriteria yang dapat digunakan untuk

menetapkan adanya pertanggungjawaban negara yaitu :40

8 7 # 6 #

8 ' 7 # 6 #

#8 #

8 &

7 # 6 # menentukan arti pentingnya kesalahan, baik

maupun # si pelaku untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara.

Dalam konsep 7 # 6 # ditentukan adanya pertanggungjawaban

negara yang timbul dari adanya suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban

internasional. Jika suatu negara dapat menunjukkan adanya #D 7 atau

adanya tindakan pihak ketiga, negara yang bersangkutan dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban tersebut.

40


(46)

Konsep # membebani negara dengan pertanggungjawaban terhadap perbuatan atau tidak berbuat yang terjadi di wilayahnya yang menimbulkan pencemaran dan mengakibatkan kerugian di wilayah negara lain, meskipun berbagai persyaratan pencegahan pencemaran telah diterapkan. Dalam

konsep ini # A , tindakan pihak ketiga atau #D 7 dapat digunakan

sebagai alasan pemaaf ( 9# ).

Menurut konsep tidak ada alasan pemaaf yang dapat

digunakan seperti dalam # , sehingga dalam konsep ini terdapat total

pertanggungjawaban walaupun segala standar telah dipenuhi.41

! *"'4%"'2 ,'23 1*"5'(4'2 )*23'2 4'233%23 ;'7'1 2*3'"'

Daud Silalahi menyatakan bahwa konsep 5

(tanggung jawab negara atas lingkungan) dalam kerangka hukum lingkungan

internasional mengacu pada pembahasan # 6 dan

. Pelaksanaan kegiatan di dalam suatu wilayah negara terhadap lingkungannya merupakan perwujudan kedaulatan dari suatu negara. Jika kegiatan

tersebut menimbulkan kerugian bagi negara lainnya ( # 7

) maka timbullah tanggung jawab negara. Prinsip 5

dikaitkan pula dengan , yakni upaya untuk melakukan pencegahan

terhadap aktivitas dengan cara menetapkan/mengatur standar 7

atau ambang batas dari kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan

( 6 7 ) dapat pula dianggap sebagai ongkos eksternal yang

41


(47)

timbul dari kegiatan ekonomi. Adanya kerusakan lingkungan ditetapkan

berdasarkan ambang batas atau baku mutu lingkungan.42

Penetapan 6 7 (ambang batas kerusakan dari lingkungan)

dilakukan melalui hasil putusan pengadilan internasional, atau penetapan standar perbuatan/tindakan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, dan melalui pelaksanaan fungsi pengaturan oleh badan-badan internasional. Sebagian besar

tanggungjawab negara ini didasarkan pada ketentuan larangan 7

. Jika akibat timbul di luar wilayah suatu negara, pada wilayah yang

termasuk # ; (wilayah-wilayah yang merupakan

warisan bersama umat manusia) maka tanggung jawab yang timbul adalah

tanggung jawab internasional.43

Salah satu prinsip yang terkenal dari hukum lingkungan internasional

adalah # . Pada intinya prinsip itu mengatakan

kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu oleh negara lain. Hal ini patut berlaku pada saat terjadi aktivitas dalam negara yang menggangu negara

lain. Ada juga prinsip lain yakni 6 # 6

yang menegaskan bahwa tindakan-tindakan perlu diambil untuk mencegah dampak buruk kerusakan lingkungan bagi kondisi yang baik di masa depan. Kemudian prinsip preventif yang menekankan tindakan pencegahan bagi kerusakan lingkungan. Selanjutnya pelanggaraan prinsip-prinsip ini akan

42

Daud Silalahi, 1996, Hukum Lingkungan : Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan di Indonesia, Penerbit Alumni, ed. 2, cet. 1, Bandung, h. 129-137


(48)

membawa kepada penerapan prinsip berikutnya yakni prinsip ke 21 Deklarasi Stockholm yang menuntut negara pencemar untuk melakukan usaha memperbaiki kerusakan lingkungan yang dibuatnya. Pendekatan yang sama ini bisa juga dilihat dalam artikel 2(1) dari Konvensi ECE tentang Pengendalian Dampak Lingkungan yang menyatakan setiap negara harus mengambil tindakan pencegahan untuk mengurangi dampak pencemaran lintas batas. Pada umumnya kewajiban setiap negara adalah mewujudkan langkahlangkah administratif dan legislatif untuk

melindungi lingkungan sehingga dapat dikatakan sebagai pemerintah yang baik.44

Prinsip kedua yang dikenal luas juga adalah kerjasama antara negara untuk mitigasi resiko kerusakan lingkungan lintas batas. Prinsip ini juga tercantum

dalam prinsip ke 24 Deklarasi Stockholm.45 Prinsip berikutnya adalah

# . Pada intinya ini adalah prinsip ekonomi dimana negara dituntut

untuk membiayai tindakan yang dibutuhkan agar lingkungan kembali pada

kondisi semula.46 Lalu ada juga prinsip ’ # ’ (keseimbangan

kepentingan) pihak-pihak yang telah dirugikan. Prinsip ini terdapat di dalam

& # " + . Kemudian ada juga prinsip

non-diskriminasi ( # yang mewajibkan negara untuk

mengatasi/menanggulangi akibat-akibat yang diderita oleh Negara lain dengan cara yang sama dengan yang dipergunakan jika akibat-akibat tersebut sudah

44

Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle,1992, International Law & The Environment, Oxford, hlm. 89-93

45 Ibid 46


(49)

terjadi di negaranya sendiri. Prinsip ini terdapat di dalam & # ,, dan , "

+ .

Ukuran untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang digolongkan sebagai

2 didasarkan pada

pertimbangan sebagai berikut :

1. Tingkat risiko ( ;). Risiko dianggap tinggi apabila tidak

dapat dijangkau oleh upaya yang lazim atau menurut kemampuan teknologi yang telah ada

2. Tingkat bahaya ( 6 ) sulit untuk dicegah pada saat

mulai terjadinya.

3. Tingkat kelayakan upaya pencegahan ( ), sudah

dilakukan upaya pencegahan secara maksimal;

4. Pertimbangan terhadap keseluruhan nilai kegiatannya (6 # 6 )

telah dilakukan secara memadai.

Sementara itu merujuk pada & # ,

menentukan apakah suatu kegiatan termasuk ke dalam kegiatan yang berbahaya

( ) yakni :47

47 M Ramdan Andri GW.,

Masalah Ganti Kerugian Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Secara Perdata, Beberapa Analisis Atas Teori Pertanggungjawaban (“Liability Theories”), Asuransi, Dan Dana Ganti Kerugian, Jurnal Hukum Lingkungan ISSN 0854-7378 Tahun V No.


(50)

1. Kegiatan tersebut mengandung tingkat bahaya yang tinggi bagi manusia,

tanah, atau benda bergerak ( # 6 6 6

! # )

2. Kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut mempunyai

kemungkinan untuk menjadi besar ( #

; )

3. Risiko tidak dapat dihilangkan meskipun kehati-hatian yang layak sudah

diterapkan ( ; # 9 # # )

4. Kegiatan itu tidak termasuk ke dalam kegiatan yang lazim ( # 6

# )

5. Kegiatan itu tidak sesuai dengan tempat dimana kegiatan itu

dilakukan ( # 6 #

# )

6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat ( 6 # 6

# )

Berdasarkan prinsip pencemar membayar ( ) dan asas #

dikembangkan prosedur tentang pembuktian yang disebut

6 . Penerapan asas # dapat dilakukan

dengan beberapa kemungkinan :48

1. # # # , yakni #

diterapkan kepada tergugat sepanjang pihak korban tidak mempunyai andil

48


(51)

kesalahan atas timbulnya kerugian, kesalahan dari pihak tergugat tidak perlu dibuktikan;

2. 4 # # # , yakni tergugat

bertanggungjawab apabila kerugian itu timbul karena kesalahannya, beban pembuktian ada pada tangan penggugat;

3. 6 # , yakni ganti kerugian akan disesuaikan dengan

proporsi dari besarnya andil terhadap timbulnya kerugian.

Masih berkaitan dengan # , Green Paper menyediakan hal-hal yang

perlu dipertimbangkan :49

1. Tipe bahaya yang dihasilkan oleh kegiatan tertentu

2. Kemungkinan terjadinya kerugian dari suatu kegiatan dan kemungkinan meluasnya kerugian

3. Insentif yang akan akan disediakan oleh # berupa pengelolaan

risiko dan pencegahan kerugian yang lebih baik;

4. Kemungkinan pelaksanaan dan biaya-biaya pemulihan kerugian yang diperkirakan akan terjadi

5. Beban keuangan yang harus ditanggung oleh sektor-sektor ekonomi yang

terlibat, yang ditetapkan berdasarkan # , dan

6. Kebutuhan akan tersedianya asuransi.

Kalau ditelaah butir-butir prinsip yang ditelurkan oleh konferensi internasional mengenai lingkungan Stockholm 1972 itu, terlihat penuh dengan kompromi antara negara-negara maju dan berkembang, inilah salah satu faktor


(52)

menurut penulis, justru mengurangi kepastian dan mengikatnya ketentuan internasional mengenai lingkungan ini. Ditambah dengan kenyataan, bahwa dalam prinsip-prinsip itu diakui hak berdaulat setiap negara untuk mengelola sumber-sumber alam dan lingkungannya sendiri sesuai dengan ”sistem nilai-nilai yang berlaku di tiap negara” (Prinsip XXIII), makin menjadi kabur ketentuan internasional ini.

Kunci keberhasilan hukum lingkungan internasional ini terletak pada ”pengaturan kerja sama multilateral dan bilateral antara negara-negara” untuk pengawasan efektif, pencegahan, pengurangan dan peniadaan dampak yang merusak lingkungan (Prinsip XXIV). Kelihatannya Eropa Barat cukup berhasil dalam menciptakan pengaturan kerja sama regional seperti dimaksud ini, sehingga


(53)

menurut penulis, justru mengurangi kepastian dan mengikatnya ketentuan internasional mengenai lingkungan ini. Ditambah dengan kenyataan, bahwa dalam prinsip-prinsip itu diakui hak berdaulat setiap negara untuk mengelola sumber-sumber alam dan lingkungannya sendiri sesuai dengan ”sistem nilai-nilai yang berlaku di tiap negara” (Prinsip XXIII), makin menjadi kabur ketentuan internasional ini.

Kunci keberhasilan hukum lingkungan internasional ini terletak pada ”pengaturan kerja sama multilateral dan bilateral antara negara-negara” untuk pengawasan efektif, pencegahan, pengurangan dan peniadaan dampak yang merusak lingkungan (Prinsip XXIV). Kelihatannya Eropa Barat cukup berhasil dalam menciptakan pengaturan kerja sama regional seperti dimaksud ini, sehingga


(54)

8 8 <

Mahkamah Internasional 2 B # E B merupakan

badan internasional yang diakui memiliki kedudukan istimewa. Selain sebagai

badan utama Perserikatan Bangsa-bangsa,Mahkamah Internasional juga

merupakan badan pengadilan yang memiliki reputasi internasional dan mempunyai statuta tersendiri. Mahkamah Internasional merupakan kelanjutan dari

Mahkamah Permanen Internasional 2

B # E B yang dibentuk oleh Liga Bangsa-bangsa sehingga tidak berbeda

jauh dengan peraturan yang berlaku dalam PICJ . Alasan utama konferensi tersebut memutuskan untuk membentuk suatu badan peradilan baru adalah sebagai berikut :

1. Karena Mahkamah tersebut akan merupakan badan hukum utama PBB, sehingga dirasakan kurang tepat jika peranannya tersebut diisi oleh PCIJ yang pada waktu itu (1945) sudah tidak aktif lagi.

2. Pembentukan suatu Mahkamah baru lebih konsisten dengan ketentuan piagam bahwa semua anggota PBB adalah juga anggota Statuta Mahkamah.

3. Beberapa Negara yang merupakan peserta pada Statuta PCIJ tidak ikut dalam konferensi San Fransisco dan sebaliknya beberapa Negara yang ikut dalam konferensi bukan peserta pada Statua PCIJ.


(55)

4. Terdapat pasangka dari seperempat anggota peserta konferensi pada waktu itu bahwa PCISJ merupakan bagian dari ssitem hukum nternasional, yaitu dimana Negara-negara Eropa mendominasi secara politis hukum masyarakat internasional dan bahwa pembentukan suatu mahkamah baru akan memudahkan bagi Negara-negara di luar eropa untuk memainkan peranan yang lebih berpengaruh. Hal ini tampak nyata dari keanggotaan PBB yang berkembang dari

51 anggota di tahun 1945 menjadi 159 anggota di tahun 1985.50

Masalah yuridiksi atau kewenangan suatu pengadilan dalam hukum internasional merupakan masalah utama dan sangat mendasar. Kompetensi suatu mahkamah atau pengadilan Internasional pada prinsipnya didasarkan pada kesepakatan dari Negara-negara yang mendirikannya. Berdirinya suatu mahkamah atau pengadilan intenasional didasarkan pada suatu kesepakatan atau perjanjian internasional ini.

Pengadilan-pengadilan yang ada sekarang, sepertii Mahkamah

Internasion/al , 5& # + !

3 ! semuanya didirikan oleh perjanjian internasional.

Mahmakah Internasional didirikan berdasarkan piagam PBB, 5& #

+ didirkan oleh 5& # 6

+ ! dan 3 oleh + 8 ,

Yurisdiksi Mahkamah Internasional dapat dilaksanakan melalui cara-cara berikut ini :


(56)

a. Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Statuta

Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Statuta, yurisdiksi pengadilan mencakup semua sengketa yang diserahkan oleh para pihak dan semua persoalan yang ditetapkan dalam piagam PBB yang dituangkan dalam perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi internasional yang berlaku. Di samping perjanjian atau konvensi internasional, para phak dapat pula sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada Mahkamah. Kesepakatan tersebut harus tertuang dalam sautu akta atau perjanjian. Perjanjian tersebut harus menyatakan dengan tegas kesepakatan kedua belah pihak dan harus menyatakan penyerahan sengketa kepada Mahkamah Internasional. Dalam praktik, umumnya Negara-negara memilih cara ini guna menyerahkan sengketanya kepada Mahkamah. Contoh : Penyelesaian sengketa mengenai status kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan antara

Indonesia-Malaysia. Kedua Negara menandatangani suatu # & .

Perjanjian khusus ini memuat 7 pasal. Pasal 1 dan 2 perjanjian Khusus berbunyi sebagai berikut.

# &

A 6 + # A 6

% ! F ) G

6

6 G

"

9 # , -H &


(57)

"

B # 2 !

6 :

& # , "

& # 1H! ,! 8

& # / 7 #

= !

6 # ! 6

6 + #

% 8 /

Diantara perjanjian-perjanjian lainnya yang menyatakan penyerahan sengketa kepada Mahmakah manakala kelak timbul, misalnya adalah

perjanjian-perjanjian dalam bidang kerja sama perdagangan dan ekonomi 2 #

3# # !perjanjian-perjanjian kerja sama di bidang pengangkutan

udara ( 6 # ! 3 6 #

" , -!dan lain-lain.

b. Doktrin Forum Prorogatum

Menurut doktrim ! yurisdiksi seperti ini timbul

manakalah hanya suatu Negara yang menyatakan dengan tegas persetujuannya atas yurisdiksi Mahmakah. Kesepakatan pihak lainnya diberikan secara


(58)

diam-diam, tidak tegas, atau tersirat saja. Dalam sengketa

(1948), Mahkamah menyimpulkan bahwa surat dari Wakil Mentri Luar Negri Albania merupakan pernyataan kesepakatan pemerintah Albania agar sengketanya diselesaikan oleh Mahkamah.

c. ' 1H 2/

Ketiga, berdasarkan Pasal 36 ayat (2) , yaitu klausul pilihan (

# 8 Ketentuan Pasal 36 ayat (2) tersebut menyatakan bahwa Negara-negara

peserta pada Statuta dapat setiap waktu menyatakan penerimaan wajib yurisdiksi Mahkamah dan tanpa adanya perjanjian khusus terhadap Negara yang menerima kewajiban serupa atas semua sengketa hukum mengenai :

1. penafsiran suatu perjanjian;

2. setiap masalah hukum internasional;

3. eksistensi suatu fakta yang jika terjadi, akan merupakan suatu pelanggaran kewajiban internasional;

4. sifat dan ruang lingku ganti rugi yang dibuat atas pelanggaran suatu

kewajiban internasional.53

Pasal 2 (3) Piagam PBB menetukan bahwa segenap anggota PBB harus menyelesaikan sengketa internasional dengan jalan damai dan mempergunakan cara-cara sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional, serta

53


(59)

keadilan tidak terancam. Ada dua cara untuk menyelesaikan sengketa internasional, yaitu:

1. Perjanjian antara dua pihak yang bersengketa dan, 2. Keputusan badan peradilan.

Cara penyelesaian sengketa dengan damai seperti ditentukan Pasal 33 (1)

Piagam PBB, yaitu : negosiasi 2 ), enkuire 2 = ! mediasi

2 , dan konsiliasi 2; adalah suatu penyelesaian sengketa jika

para pihak dapat membuat perjanjian penyelesaian sengketa. Artinya kedua pihak, telah sama-sama setuju atas rekomendasi yang disarankan suatu komisis (misalnya komisis konsiliasi), jika rekomendasi tersebut tidak diterima oleh kedua

pihak yang bersengketa, maka sengketa tersebut belum terselesaikan.54

Untuk menyelesaikan sengketa dengan jalan damai yang sesuai dengan asas-asas keadilan dan hukum internasional, maka diperlukan badan yang berdiri sendiri dan badan ini kedudukannya sebagai alat perlengkapan utama . organ utama PBB. Badan ini tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan pihak tertentu dan harus bebas dari segala pengaruh. Telah kita ketahui bahwa salah satu cara penyelesaian sengketa secara hukum atau judicial sentlement dalam hukum

internasional adalah penyelesaian melalaui badan peradilan internasional 2

# # 8 Dalam hukum internasional, penyelesaian secara

hukum dewasa ini dapat ditempuh melalui berbagai cara atau lembaga, yaitu


(60)

Internasional B # 2 B atau Mahkamah Internasional, (Konvensi Hukum Laut 1982) atau

2

Pada masa LBB peristiwa yang penting ialah dibentuknya Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of Internasional Justice – PCIJ). Mahkamah berdiri setelah statute diratifikasi oleh mayoritas Negara-negara anggota PBB, PCIJ berdiri tahun 1921 da berkedudukan di Den Haag. Mahkamah Internasional dalam rangka PBB disebut Mahkamah Internasional (International Court of Justice – ICJ). Menurut pasal 92 Piagam PBB disebut statute ICJ didasarkan pada Satuta PCIJ dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

Piagam PBB. 56

Secara keseluruhan, ada 5 (lima) aturan yang berkenaan dengan MI sebagai sebuah organisasi internasional. Adapun kelima aturan tersebut adalah:

1. Piagam PBB (1945), 2. Statuta MI (1945),

3. Aturan Mahkamah atau + (1970) yang telah

diamandemen pada tanggal 5 Desember 2000,

4. Panduan Praktek atau # # " # I – IX dan

5. Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah atau +

# B # # # yang diadopsi pada

tanggal 12 April 1976 dari Pasal 19 Aturan Mahkamah (1970).

55

Ibid

56


(61)

Statuta Mahmakah Internasional dengan tegas menyatakan sumber-sumber hukum internasional yang akan Mahkamah terapkan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang diserahkan kepadanya. Sumber hukum tersebut dinyatakan dalam Pasal 38 ayat(1) Statuta Mahkamah Internasional, yaitu : a. konvensi atau perjajanjian internasional, baik yang bersifat umum atau khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh Negara-negara yang bersengketa ;

b. kebiasaan-kebiasaan internasional sebagaimana telah dibuktikan sebagai suatu praktik umum yang diterima sebagai hukum;

c. prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beragam;

d. putusan-putusan pengadilan dan ajaran-ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai Negara sebagai sumber hukum subside (tambaha) untuk menetapkan kaidah-kaidah hukum.

Mochtar Kusuma Atmadja mengungkapkan bahwa yang penyebutan sumber-sumber hukum tersebut tidak menggambarkan urutan pentingnya masing-masing sumber hukum. Klasifikasi yang dapat digunakan adalah bahwa dua urutan pertama tergolong ke dalam sumber hukum utama atau primer. Dua lainnya adalah sumber hukum tambahan


(62)

Adanya dua penggolongan tersebut, secara teori menunjukkan bahwa Mahmakah pertama-tama akan menggunakan sumber hukum utama terlebih dahulu (perjanjian internasional). Baru manakala sumber hukum utama tersebut tidak membantu maka Mahmakah akan memeriksa sengketa dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional. Selanjutnya jika sumber hukum tersebut kurang memberi gambaran maka sumber hukum subsider akan berfungsi, yaitu prinsip-prinsip hukum umum dan putusan pengadilan terdahulu serta pendapat para ahli (doktrin). Asas-asas hukum umum adalah asas-asas hukum yang mendasari system hukum modern. Yang dimaksud dengan system hukum modern adalah system hukum positif yang didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Negara barat yang sebagian besar didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Romawi.

Mahkamah akan menerapkan putusan-putusan pengadilan dan tulisan-tulisan para sarjana terkemuka untuk :

a.menafsirkan sumber-sumber hukum internasional primer, yaitu perjanjian internasional dan prinsip hukum umum;

b. memperjelas ketidakjelasan dari maksud sumber-sumber hukum primer tersebut.

Suatu sengketa yang diperiksa oleh Mahkamah Internasional dapat berakhir karena hal-hal sebagai berikut :


(63)

1. Adanya kesepakatan dari para pihak. Kesepakatan ini dapat dialihkan pada setiap tahap persidangan dengan memberitahukan kepada Mahkamah bahwa mereka telah mencapai kesepakatan. Dalam hal terjadinya kesepakatan, Mahkamah akan mengeluarkan surat putusan (order) yang berisi penghapusan sengketa dari daftar Mahkamah. Contoh hal seperti ini tampak dalam sengketa yang ditangani PCIJ yaitu the Delimitation of the Territorial Waters between Island of Castello and Coasts of Anatolia, Losinger, Bochgrave (1973)

2. Tidak dilanjutkannya persidangan. Suatu Negara penuntut atau pemohon setiap waktu dapat memeberitahukan Mahkamah bahwa mereka telah sepakat untuk tidak melanjutkanpersidangan atau kedua belah pihak menyatakan bahwa mereka sepakat untuk menarik kembali sengketanya.

3. Dikeluarkannya Putusan 2B . Ada beberapa cara yaitu :

a. Putusan diterbitkan untuk masyarakat luas

Putusan tersebut dipublikasikan secara luas memiliki segi positif yaitu telah memberikan sumbangan yang berharga bagi perkembangan hukum internasional dengan argument-argumen hukum dan pendapat –pendapat para hakim dimana telah menjadi “sumber hukum” penting yang kemudian banyak diikuti oleh putusan-putusan selanjutnya.

b. Pendapat Para Hakim, terdiri dari :


(1)

dicapai jika kebakaran hutan sudah bertambah parah dan kedua pihak yang dirugikan akan mulai mengajukan klaim secara yuridis.

1. Berdasarkan kenyataan bahwa ketentuan hukum internasional yang mengatur masalah tanggung jawab Negara hingga kini belum ada yang mapan dan terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman, maka PBB melalui ILC harus segera merumuskan aturan-aturan yang terkait dengan masalah tanggung jawab Negara khusunya yang berhubungan dengan tanggung jawab atas kebakaran hutan.

2. Akan lebih baik apabila putusan Mahkamah Internasional tidak hanya berorientasi pada prinsip ganti rugi dalam kaitannya dengan lingkungan. Melainkan selalu diimbangi dengan kewajiban-kewajiban lain seperti kewajiban memberikan bantuan teknis, kewajiban untuk ikut serta dalam mengatasi dampak dan kewajiban untuk mencegah serta menghentikan dampak selanjutnya.

3. Bentuk kerugian yang dialami Malaysia dan Singapura sebenarnya dapat membuat mereka menuntut ganti rugi materiil dan pembebanan biaya kepada Indonesia untuk melakukan rehabilitasi lingkungan, namun Malaysia dan Singapura hanya mengajukan protes melalui jalur diplomasi. Perundingan-perundingan dapat diadakan dalam bentuk pembicaraan langsung antara Negara-negara yang terlibat yang biasanya dilakukan mentri-mentri luar negri, duta besar atau wakil-wakil yang ditugaskan. Indonesia sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan sebaiknya menyelesaikan kasus kebakaran hutan yang


(2)

sering terjadi didalam wilayah Indonesia ini terlebih dahulu agar untuk kedepannya kasus ini tidak akan berlanjut ke Mahkamah Internasional.


(3)

'$4'" %5%

Tsani, Burhan., ; , Liberty, Yogyakarta, 1990

Istanto, Sugeng, ; , Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1994

Putra, Wyasa, ; ; , Refika, Bandung, 2003

Thontowi, Iskandar., ; C , Refika, Bandung 2006

Hoof, Van., ; C 5 ; ! Alumni,

Bandung, 2000

Starke, J.G., # , 10th ed., London: Butterworths, 1990

Blach, H.C., . #;$ " # , St, Paul, Minn.: West Publishing Co., 1990

Daryanto, % # , Tarsito, Bandung 1995 Suherman, ;

@ I !Alumni, Bandung, 1983

Sjamsumar, Riswandi., C 7 & 3&4 : . ; ! ; % " , Ghalia, Jakarta, 1995

L. Guruswamy, B. Hendricks, 3 6 ! West Publishing


(4)

M. Sunkin, D.M. Ong, R. Wight, # ; 3 6 , Cavendish Publishing Ltd., 1998, London

P.W. Birnie, A.E. Boyle, I 3 6 , Clarendon Press,

1992, Oxford

R.V. Percival, D.C. Alevizatos, 3 6 , Temple University Press 1997, Philadelphia

Suparto Wijoyo, ; ; : % ;

# @ , Airlangga University Press, 2004, Surabaya

Simorangkir, Erwin, Prasetyo, C ; , Sinar Grafika, 2004, Jakarta

Boer Mauna, ; : ! ( 3

" ; A , Alumni, 2000, Bandung

Andi Hamzah, ; ; ; , Sinar Grafika, 2005, Jakarta

*"'4%"'2 )'2 *"%2)'238%2)'23'2

@ 4 % " 6 A

Aksi Beijing Untuk Pengurangan Risiko Bencana di Asia


(5)

& 3&4 &

Deklarasi Stockholm 1972

Deklarasi Rio 1992

" & # +

* &# ! " !

Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang

';'+'&

Stolzenburg, William, ( + ( , Nature Conservacy, June 2001


(6)