Pengaturan Hukum Internasional Tentang Tanggung Jawab Negara Dalam Pencemaran Udara Lintas Batas (Studi Kasus:Kabut Asap Kebakaran Hutan Di Provinsi Riau Dampaknya Terhadap Malaysia-Singapura)

(1)

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG TANGGUNGJAWAB NEGARA DALAM PENCEMARAN UDARA LINTAS BATAS

(STUDI KASUS:KABUT ASAP KEBAKARAN HUTAN DI PROVINSI RIAU DAMPAKNYA TERHADAP MALAYSIA-SINGAPURA)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

DINA S.T MANURUNG 100200320

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014


(2)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati pertama-tama Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat kasih dan karunia-Nya, akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan pada waktunya. Sudah menjadi kewajiban bagi setiap mahasiswa yang hendak menyelesaikan studinya diwajibkan membuat suatu karya ilmiah yang berbentuk skripsi untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum.

Sebagai realisasi dari kewajiban tersebut maka penulis memilih suatu judul yaitu “Pengaturan Hukum Internasional Tentang Tanggungjawab Negara Dalam Pencemaran Udara Lintas Batas (Studi Kasus : Kabut Asap Kebakaran Hutan Di Provinsi Riau Dampaknya Terhadap Malaysia-Singapura)”.

Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kelemahan-kelemahan serta kekurangan-kekurangan didalam penulisannya. Hal ini disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan pengetahuan dan keterampilan penulis. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran serta kritik yang membangun guna perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

Penulis mengakui bahwa penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak yang terlibat maupun rekan-rekan kuliah, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih terutama kepada:

1. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu,SH, M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.MH selaku


(3)

Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU dan Bapak Muhammad Husni, SH., M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU;

2. Bapak Arif, SH.,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU;

3. Bapak Prof.Dr.Suhaidi,SH.,M.H selaku Dosen Pembimbing I Penulis telah memberikan bimbingan, kritik dan saran serta dorongannya pada penulisan skripsi ini;

4. Bapak Dr.Jelly Leviza, SH.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan banyak waktu serta memberikan begitu banyak perhatian pada setiap penulisan skripsi, memberikan saran dan bimbingan penuh suka cita dan rasa nyaman kepada Penulis selama penulisan skripsi ini;

5. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.M.H selaku dosen wali Penulis;

6. Seluruh staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah begitu banyak memberikan Penulis ilmu pengetahuan selama Penulis duduk dibangky perkuliahan, khususnya seluruh dosen mata kuliah jurusan Hukum Internasional;

7. Penulis haturkan terimakasih untuk Ayahanda Ir. Paian Manurung, terimakasih atas kasih sayang serta doanya selama ini kepada Penulis, dan Ibunda tercinta Bintang Siburian yang selalu meberikan kasih sayangnya yang begitu tulus kepada Penulis, serta kesabaran dalam mendidik dan membesarkan penulis selama ini. Terimakasih atas doanya dan dukungan serta cinta yang diberikan selama ini kepada Penulis, serta adik-adik Penulis Daniel Raymond Manurung


(4)

dan Dian Andrianus Putra Manurung yang bisa menghilangkan penat disaat Penulis bosan;

8. Ucapan terima kasih teristimewa Penulis sampaikan untuk yang terkasih, Benhard Gabriel Sinambela Apk., terimakasih untuk kesetiaannya yang selalu menemani sepenuh hati, setiap saat memberikan waktu walaupun sibuk, kesabaran dalam menghadapi Penulis yang selalu diingatkan untuk belajar, dukungan, motivasi dan semuanya yang tidak dapat penulis ucapkan. Kata-kata yang tidak pernah terlupakan “Tetap Semangat, Ceria dan Aku bangga sama kamu”;

9. Seluruh teman-teman seperjuangan stambuk 2010 dan teman-teman ILSA yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas kenangan indah selama masa perkuliahan ini.

Akhir kata walau usaha yang sungguh telah diupayakan tetapi tiada gading yang tak retak dan tiada hasil yang tidak mempunyai kekurangan. Beribu maaf Penulis haturkan atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan pada tulisan ini, maka setiap kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca akan Penulis terima dengan hati lapang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2014 Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………i

DAFTAR ISI ………..iv

DAFTAR KATA SINGKATAN ...vii

ABSTRAKSI ………. BAB I PENDAHULUAN ………... A. Latar Belakang Masalah ……….1

B. Perumusan Masalah ………...5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………...6

D. Keaslian Penulisan ……….8

E. Tinjauan Kepustakaan ………9

F. Metode Penelitian ………10

G. Sistematika Penulisan …..………13

BAB II ASAS TANGGUNG JAWAB NEGARA NENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Pencemaran Menurut Hukum Internasional ………...15

B. Pencemaran Lintas Batas ………20

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan di Kawasan Riau ………..23


(6)

D. Asas Tanggung Jawab Negara Menurut Hukum Internasional …...………29

BAB III PENGATURAN TENTANG PENCEMARAN KABUT ASAP YANG BERSIFAT LINTAS BATAS DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Dampak Kebakaran Hutan Yang Bersifat Lintas Batas Yang

Menimbulkan Kabut Asap di Negara Lain ……… 41 B. Tanggungjawab Negara yang Menimbulkan Kabut Asap

………...54 C. Pengaturan yang Berkaitan dengan Pencemaran Kabut Asap Dalam

Lingkup Hukum Lingkungan Internasional ……… 66

BAB IV PERAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENGHADAPI KABUT ASAP AKIBAT KEBAKARAN HUTAN YANG DITINJAU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

A. Langkah dan Kebijakan Indonesia Mengatasi Masalah Kebakaran Hutan dan Kabut Asap ……… 74 B. Kerja Sama Indonesia dengan Negara di Kawasan ASEAN Dalam

Mengatasi Kebakaran Hutan dan Kabut Asap di Riau ………. 86


(7)

C. Peran Pemerintah Dalam Menghadapi Kabut Asap Akibat Kebakaran Hutan Ditinjau Dalam Perspektif Hukum Internasional ……… ………..99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ……… 111

B. Saran ………. 113


(8)

ABSTRAK

Prof. Dr. Suhaidi, S.H, M.H* Dr. Jelly Leviza, S.H, M.Hum**

Dina S.T Manurung***

Lingkungan hidup sering mengalami kerusakan, permasalahan kerusakan lingkungan hidup bukanlah menjadi hal yang baru dalam dunia Internasional. Kerusakan hutan yang khususnya terjadi di Riau akibatnya dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan dan masyarakat sekitar wilayah Sumatera dan juga meliputi aspek lepas batas negara yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat warga negara tetangga Indonesia.

Kebakaran hutan di Indonesia juga mengakibatkan pencemaran udara di beberapa negara, khususnya negara Malaysia dan Singapura. Permasalahan kabut asap kebakaran hutan di Riau ini menjadi masalah internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara tetangga (transboundary pollution) sehingga Malaysia dan Singapura mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya masalah yang bersifat lintas batas ini. Dalam penyelesaian persoalan lingkungan hidup ini terlebih dahulu perlu mengetahui yang menjadi asas tanggung jawab negara menurut hukum internasional agar lebih mudah memahaminya, selain itu perlu juga mengetahui pengaturan apa saja yang berkaitan dengan pencemaran kabut asap dalam lingkup hukum lingkungan internasional. Apabila keduanya sudah diketahui, maka akan lebih lebih mudah untuk mengetahui tanggung jawab seperti apa yang dapat dilakukan


(9)

Indonesia terkait dengan kabut asap yang bersifat lintas batas yang mengganggu negara tetangga.

Oleh sebab itu, metode penelitian hukum yang diterapkan dalam penulisan adalah dengan penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang melakukan penulusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan penyelesaian sengketa yang berlaku seperti Piagam PBB, Deklarasi Stockholm maupun Konvensi Geneva, dan sumber lainnya serta memperoleh bahan dengan studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian maka diketahui prinsip tanggung jawab mengenai kabut asap akibat dari kebakaran hutan yang diatur didalam peraturan-peraturan yang terkait dengan permasalahan kabut asap yang bersifat lintas batas.

Penulisan ini pada akhirnya menghasilkan beberapa kesimpulan bahwa permasalahan pencemaran udara lintas batas dapat diselesaikan dengan cara berdamai, tanpa harus membawa ke Mahkamah Internasional serta tetap mengutamakan tidak ada pihak yang diberatkan, baik pihak yang menjadi negara yang mengalami kerusakan lingkungan, maupun negara yang merasakan dampak rusaknya lingkungan itu. Karena persoalan lingkungan ini menjadi persoalan bersama sehingga harus dihadapi secara bersama-sama, sehubungan dengan kerja sama internasional yang bergerak pada bidang lingkungan internasional.

Keywords : Hukum Internasional, Tanggung Jawab Negara, Pencemaran Udara Lintas Batas.


(10)

ABSTRAK

Prof. Dr. Suhaidi, S.H, M.H* Dr. Jelly Leviza, S.H, M.Hum**

Dina S.T Manurung***

Lingkungan hidup sering mengalami kerusakan, permasalahan kerusakan lingkungan hidup bukanlah menjadi hal yang baru dalam dunia Internasional. Kerusakan hutan yang khususnya terjadi di Riau akibatnya dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan dan masyarakat sekitar wilayah Sumatera dan juga meliputi aspek lepas batas negara yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat warga negara tetangga Indonesia.

Kebakaran hutan di Indonesia juga mengakibatkan pencemaran udara di beberapa negara, khususnya negara Malaysia dan Singapura. Permasalahan kabut asap kebakaran hutan di Riau ini menjadi masalah internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara tetangga (transboundary pollution) sehingga Malaysia dan Singapura mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya masalah yang bersifat lintas batas ini. Dalam penyelesaian persoalan lingkungan hidup ini terlebih dahulu perlu mengetahui yang menjadi asas tanggung jawab negara menurut hukum internasional agar lebih mudah memahaminya, selain itu perlu juga mengetahui pengaturan apa saja yang berkaitan dengan pencemaran kabut asap dalam lingkup hukum lingkungan internasional. Apabila keduanya sudah diketahui, maka akan lebih lebih mudah untuk mengetahui tanggung jawab seperti apa yang dapat dilakukan


(11)

Indonesia terkait dengan kabut asap yang bersifat lintas batas yang mengganggu negara tetangga.

Oleh sebab itu, metode penelitian hukum yang diterapkan dalam penulisan adalah dengan penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang melakukan penulusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan penyelesaian sengketa yang berlaku seperti Piagam PBB, Deklarasi Stockholm maupun Konvensi Geneva, dan sumber lainnya serta memperoleh bahan dengan studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian maka diketahui prinsip tanggung jawab mengenai kabut asap akibat dari kebakaran hutan yang diatur didalam peraturan-peraturan yang terkait dengan permasalahan kabut asap yang bersifat lintas batas.

Penulisan ini pada akhirnya menghasilkan beberapa kesimpulan bahwa permasalahan pencemaran udara lintas batas dapat diselesaikan dengan cara berdamai, tanpa harus membawa ke Mahkamah Internasional serta tetap mengutamakan tidak ada pihak yang diberatkan, baik pihak yang menjadi negara yang mengalami kerusakan lingkungan, maupun negara yang merasakan dampak rusaknya lingkungan itu. Karena persoalan lingkungan ini menjadi persoalan bersama sehingga harus dihadapi secara bersama-sama, sehubungan dengan kerja sama internasional yang bergerak pada bidang lingkungan internasional.

Keywords : Hukum Internasional, Tanggung Jawab Negara, Pencemaran Udara Lintas Batas.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehutanan yang asal katanya adalah hutan merupakan harta kekayaan yang diatur oleh Pemerintah, memberikan kegunaan bagi umat manusia, oleh sebab itu wajib dijaga, ditangani dan digunakan secara maksimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara berkesinambungan. Hutan sebagai salah satu penentu penyangga kehidupan dan sumber kesejahteraan rakyat, semakin menurun keadaannya, oleh sebab itu eksistensinya harus dijaga secara terus-menerus, agar tetap abadi dan ditangani dengan budi pekerti yang luhur, berkeadilan, berwibawa, transparan dan profesional serta bertanggung jawab.1 Namun, bersamaan itu pula sebagai dampak negatif atas pengelolaan hutan yang eksploitatif dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat, pada akhirnya menyisakan banyak persoalan, diantaranya tingkat kerusakan hutan yang sangat mengkhawatirkan.

Penanganan dan pengelolaan hutan yang berkesinambungan dan berpikiran global, harus menyerap aspirasi dan partisipasi masyarakat yang berdasarkan norma hukum yang tertinggi di Indonesia yaitu Pancasila , maupun berdasarkan hukum internasional yang telah disepakati bersama-sama antar negara. Maka apabila terjadi kerusakan terhadap hutan seperti terjadinya kebakaran, p e n e b a n g a n l i a r d a n kerusakan lainnya yang menimbulkan dampak yang kurang baik dalam hidup manusia menjadi masalah yang begitu berat untuk dirasakan oleh Indonesia khususnya pada


(13)

Provinsi Riau maupun negara tetangga Indonesia yang terdekat seperti Malaysia dan Singapura.

Terjadinya kebakaran hutan dapat mengakibatkan pencemaran udara yang bersifat lintas batas, namun dapat diketahui juga penyebab-penyebab lain yang dapat mengakibatkan pencemaran udara yang dapat mengganggu negara tetangga. Adapun penyebabnya dapat dijabarkan sebagai berikut:2

a. Asap dari cerobong pabrik, kendaraan bermotor, pembakaran atau kebakaran hutan, asap rokok, yang membebaskan CO dan CO2ke udara.

b. Asap vulkanik dari aktivitas gunung berapi dan asap letusan gunung berapi yang menebarkan partikel debu ke udara.

c. Bahan dan partikel radio aktif dari bom atom atau percobaan nuklir yang membebaskan partikel debu radio aktif ke udara.

d. Asap dari pembakaran batubara pada pembangkit listrik atau pabrik yang membebaskan partikel nitrogen oksida dan oksida sulfur.

e. Chloro Fluoro Carbon (CFC) yang berasal dari kebocoran mesin pendingin ruangan, kulkas, AC mobil.

Namun dalam penulisan karya ilmiah ini yang dibahas secara khusus adalah pencemaran udara lintas batas yang diakibatkan oleh kebakaran hutan. Dalam hal ini penjelasan mengenai pencemaran udara lintas batas ini dapat dilihat melalui ulasan-ulasan yang lebih mendalam pada BAB selanjutnya.

Pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 1 ayat (1) Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan


(14)

hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Pasal 2 ayat (2) Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.3

Berdasarkan pengertian tersebut, kawasan seperti ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida, habitat hewan, modulator arus hidrologika serta pelestari tanah dan merupakan salah satu aspek biosfer bumi yang paling penting.4 Dapat dikatakan bahwa hutan Indonesia menjadi paru-paru dunia karena Indonesia memiliki hutan sebesar 53% dari luas total didunia, dimana jenis hutannya adalah hutan tropis yang dimiliki Indonesia sepanjang hamparan kepulauannya, khususnya di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Hutan dari hasil hutan Indonesia merupakan pemasok utama kayu tropis dunia. Dengan tercatat besar dan banyaknya jumlah hutan di Indonesia serta hasil dari hutan itu khususnya kayu yang menjadi hasil utama mengakibatkan banyaknya terjadi penebangan liar dan kebakaran hutan.

Persoalan lingkungan hidup yang sering sekali dibahas dalam beberapa tahun belakangan ini adalah persoalan lapisan ozon yang semakin menipis dan perubahan iklim yang semakin tidak menentu. Kedua hal ini merupakan pembahasan yang sangat lazim diperbincangkan karena berpengaruh besar terhadap keselamatan cukup popular di beberapa negara selain lapisan ozon5 yang berada tepat satu regional akan tetapi dapat memicu permasalahan lingkungan hidup yang cukup besar. Salah satu persoalan


(15)

lingkungan hidup yang cukup meresahkan masyarakat di beberapa negara adalah kebakaran hutan.

Permasalahan perusakan hutan yang khususnya terjadi di Riau akibatnya dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan dan masyarakat sekitar wilayah Sumatera dan juga meliputi aspek lepas batas negara yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat warga negara tetangga Indonesia. Kebakaran hutan di Indonesia juga mengakibatkan pencemaran udara di beberapa negara, khususnya negara Malaysia dan Singapura.

Permasalahan kabut asap kebakaran hutan di Riau ini menjadi masalah internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara tetangga (transboundary pollution) sehingga Malaysia dan Singapura mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya masalah ini. Malaysia dan Singapura mendesak Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini karena kebakaran hutan ini bukan merupakan kejadian yang pertama bagi mereka.

Protes Malaysia dan Singapura ini berlandaskan pada kabut asap tersebut telah mengganggu kehidupan mereka seperti terjadinya gangguan kesehatan masyarakat karena kabut asap yang bersifat racun sehingga terjadinya Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), asma juga kematian, perekonomian yang tidak stabil serta pariwisata mereka. Efek lain dari kabut asap juga dapat meningkatkan kecelakaan lalu lintas baik darat, laut dan udara karena jarak pandang yang sangat pendek.

Ketidakmampuan Indonesia dalam menyelesaikan masalah kebakaran hutan ini bukan berarti bahwa Indonesia merupakan negara yang pasif dalam melindungi lingkungan hidup. Dampak yang terjadi tersebut dapat menjadi dasar untuk meminta


(16)

pertanggungjawaban negara terhadap negara yang telah melakukan tindakan yang merugikan negara lain. Dalam hal ini kasus kebakaran hutan di Indonesia telah mengakibatkan dampak negatif terhadap negara-negara tetangga (Malaysia-Singapura) yang memberikan reaksi-reaksi terhadap negara Indonesia.

Kebakaran hutan yang sudah sering terjadi di Indonesia dan menjadi masalah yang telah lama dimiliki Indonesia, dimana Indonesia memiliki hutan hujan tropis yang luas. Permasalahan lingkungan sebenarnya tidak ada mengenal batas wilayah negara maupun wilayah administratif. Dampak kebakaran hutan berupa pencemaran udara yang tidak hanya dirasakan Indonesia saja tetapi sudah sering sekali menyebabkan pencemaran asap lintas batas ke wilayah negara-negara tetangga seperti Malaysia-Singapura. Hal ini adalah masalah serius yang memerlukan penanganan dan tindakan soal penyelesaian yang secepatnya serta dibutuhkan peran aktif dari Indonesia serta harmonisasi hukum antara Indonesia dan Malaysia-Singapura agar terciptanya kerjasama yang baik dalam rangka pencegahan dan pengendalian pencemaran udara lintas batas.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan tentang asas tanggungjawab negara menurut Hukum Internasional ?


(17)

2. Bagaimana pengaturan tentang pencemaran kabut asap sebagai penyebab pencemaran udara lintas batas dalam Hukum Internasional ?

3. Bagaimana peran Pemerintah Indonesia dalam menghadapi kabut asap akibat kebakaran hutan yang menimbulkan dampak lintas batas di Malaysia dan Singapura menurut Hukum Internasional ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hak ini disebabkan karena penelitian ditujukan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.6 Dengan adanya uraian diatas mengenai latar-belakang dan alasan pemilihan judul serta permasalahannya yang disediakan sebagai batasan penulisan skripsi ini, maka perlu disampaikan apa yang menjadi tujuan dari pembahasan skripsi ini.

Adapun tujuan pembahasan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui asas tanggungjawab negara menurut Hukum Internasional 2. Untuk mengetahui pengaturan tentang pencemaran kabut asap dalam Hukum


(18)

3. Untuk mengetahui tanggungjawab Pemerintah Indonesia atas hubungan internasional yang ditinjau dari persfektif Hukum Internasional yang memberikan dampak lintas batas di Malaysia dan Singapura.

Adapun manfaat yang ingin dicapai dari tujuan penelitian ini adalah :

a) Manfaat Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan pustaka Hukum Internasional secara umumnya dan di bidang Hukum Lingkungan Internasional. Pada kekhususannya, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian di bidang yang sama;

b) Manfaat Praktis, yaitu yang menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah Republik Indonesia pentingnya perlindungan hutan, khususnya mengenai kebakaran hutan yang bersifat lintas batas. Sebab hal tersebut menjadi tanggung jawab negara berdasarkan Hukum Internasional yang berlaku. Dengan mempertegas tujuan dan manfaat penulisan yang telah diuraikan, dapat disampaikan kembali bahwa suatu kegiatan ilmiah adalah usaha untuk menganalisa serta mengadakan konstruksi secara metodologis, sistematis dan konsisten. serta mengadakan konstruksi secara metodologis, sistematis dan konsisten. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Soerjono Soekanto, penelitian adalah usaha untuk menghimpun serta menemukan hubungan-hubungan yang ada antara fakta yang diamati secara seksama, sistematis dan menggunakan metode-metode atau tehnik-tehnik tertentu.7


(19)

D. Keaslian Penulisan

Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama masa perkuliahan, maka diangkat sebuah masalah diatas untuk dituangkan dalam sebuah judul skripsi yaitu “Pengaturan Hukum Internasional Tentang Tanggungjawab Negara Dalam Pencemaran Udara Lintas Batas (Studi Kasus : Kabut Asap Kebakaran Hutan Di Provinsi Riau Dampaknya Terhadap Malaysia-Singapura)”.

Penulisan skripsi ini berdasarkan atas keinginan sendiri karena melihat peristiwa yang terjadi dan sangat hangat diperbincangkan baik didalam masyarakat internasional maupun nasional. Skripsi ini adalah merupakan asli tulisan sendiri, karena terlebih dahulu judul ini didaftarkan ke bagian administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Departemen Hukum Internasional) dan setelah diperiksa pada arsip yang ada dinyatakan bahwan belum ada tulisan dengan judul yang sama yang pernah diangkat dan dibahas oleh para pihak lain.

Apabila ada materi dalam skripsi ini yang memiliki kemiripan dengan tulisan lain, itu hanya dari segi materi pembahasannya saja, karena semua isi dalam skripsi merupakan hasil dari karya Penulis yang dapat dipertanggungjawabkan.

E. Tinjauan Kepustakaan

Indonesia merupakan anggota dari organisasi internasional yang memiliki peran yang sangat penting di kawasan Asia Tenggara yang tujuan utamanya untuk membangun keamanan negara, ekonomi, sosial, politik dan hubungan diantara sesama anggotanya berjalan dengan baik khususnya dalam menghadapi masalah


(20)

lingkungan hidup yang ditinjau dari pandangan internasional. Dalam skripsi ini membahas tentang permasalahan lingkungan hidup internasional yang ada kaitannya dengan negara tetangga Indonesia yaitu Malaysia dan Singapura yang juga merasakan dampak dari kebakaran hutan yang terjadi di Riau.

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara yang berdiri sejak 9 Agustus 1967 di Bangkok, sangat menjunjung tinggi perdamaian dunia, kemajuan ekonomi serta tidak kalah pentingnya dengan keseimbangan lingkungan hidup yang menjadi landasan dasar semua anggota yang ingin menjadikan lingkungan setiap negaranya bersih , asri dan hijau, serta ramah lingkungan.

Salah satu acuan utama komunitas yang ingin memiliki wilayah yang hijau ini, dewasa ini telah menjadi sebuah permasalahan lingkungan yang tidak dapat dianggap sebelah mata karena banyak mengundang keprihatinan di dunia Internasional, terutama terhadap permasalahan kabut asap dari kebakaran hutan yang terjadi di Riau. Dampak dari kebakaran hutan di Indonesia tidak hanya dirasakan oleh Warga Negara Indonesia tetapi juga mengganggu lingkungan lintas batas negara seperti Malaysia dan Singapura. Terjadinya pencemaran udara lintas batas negara menjadi masalah yang sangat serius karena mengganggu kesehatan manusia, mengganggu kestabilitasan ekonomi negara, serta menimbulkan dampak-dampak ekologis karena rusaknya hutan tropis yang sangat berguna bagi kehidupan manusia dan lingkungan hidup lainnya. Bahkan karena terjadinya pencemaran udara ini yang disebabkan kabut asap dari kebakaran hutan tersebut sampai ke Malaysia dan Singapura memberikan pengaruh


(21)

yang kurang baik terhadap hubungan kerjasama Indonesia dengan kedua negara tersebut.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Menurut Bambang Sunggono, penelitian adalah upaya pencarian kembali pengetahuan yang benar, bukan sekedar untuk mengamati dengan teliti terhadap suatu obyek yang mudah terpegang tangan. Penelitian untuk mencari kebernaran ada yang dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah dan non-ilmiah. Metode ilmiah dalam menemukan kembali kebenaran dilakukan secara sistematis, objektif, rasional dan teruji.8

Menurut Erwin Pollack, penelitian hukum adalah sebagai suatu penelitian untuk menemukan inkonkrito, yang meliputi berbagai kegiatan untuk menemukan apakah yang merupakan hukum yang layak untuk diterapkan secara inkonkrito untuk menyelesaikan perkara tertentu. Pollack memberikan pengertian penelitian hukum dengan menekankan pada aspek praktis yaitu untuk menemukan hukum yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu peristiwa konkrit (nyata).9

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus.


(22)

Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran baru dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

Penelitian yuridis normatif menurut Ronald Dworkin disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu “penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial process)”.10

Metode yuridis normatif digunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan penyelesaian sengketa yang berlaku serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literature di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, situs internet, koran dan sebagainya.

Apapun pengertian yang diberikan tentang penelitian hukum, yang jelas bahwa penelitian hukum itu dilakukan secara sistematis, menggunakan pola berfikir tertentu yang dilakukan terhadap hukum sebagai kaidah, ilmu pengetahuan ataupun sebagai kenyataan empiris.

2. Tehnik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh bahan-bahan dan data tersebut dilakukan studi kepustakaan (Library Research). Penelitian ini menunjuk perpustakaan sebagai tempat dilakukannya penelitian. Pengumpulan data ini bersumber dari kepustakaan yang menggunakan buku-buku, majalah dan peraturan perundang-undangan baik nasional


(23)

maupun internasional mengenai pencemaran udara yang menimbulkan polusi udara. Tujuan dari studi kepustakaan untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tertier.

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang dapat berupa peraturan-peraturan yang terdapat dalam perjanjian atau konvensi internasional maupun yang terdapat dalam hukum nasional seperti Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang berupa karya ilmiah berupa buku-buku, laporan penelitian, jurnal ilmiah dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa bahan hukum ini yang memberikan penjelasan lebih luas mengenai bahan hukum primer.

Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya.

3. Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan memakai cara penelitian deskriptif analisis yaitu melakukan pendekatan secara kualitatif terhadap data sekunder. Metode ini meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan yang menjadi obyek kajian.


(24)

Sedangkan penarikan kesimpulan terhadap data yang berhasil dikumpulkan dilakukan dengan mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun secara induktif, sehingga akan dapat diperoleh jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang telah disusun.

G. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan ini, penulis hanya menjabarkan secara singkat mengenai isi dari skripsi ini untuk memudahkan pemahaman materi skripsi ini. Penulis membagi skripsi ini dalam 5 (lima) bab yang berhubungan erat satu sama lain, dengan perincian sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan

Dalam BAB I dijabarkan tentang hal yang menjadi latar-belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II Asas Tanggungjawab Negara menurut Hukum Internasional

Dalam BAB II membahas mengenai pengertian pencemaran kabut asap, pencemaran lintas batas, factor-faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan di kawasan Riau, dan dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan di Riau terhadap Malaysia-Singapura serta asas tanggungjawab negara menurut Hukum Internasional.


(25)

BAB III Pengaturan Tentang Pencemaran Kabut Asap Sebagai Penyebab Pencemaran Udara Lintas Batas Menurut Hukum Internasional

Dalam BAB III membahas mengenai pengaturan tentang pencemaran kabut asap dan kebakaran hutan di Indonesia, tanggungjawab negara yang menimbulkan kabut asap dan pengaturan yang berkaitan dengan pencemaran kabut asap dalam lingkungan hidup lingkungan Internasional.

BAB IV Peran Indonesia Atas Kebakaran Hutan yang Menimbulkan dampak Lintas Batas di Malaysia-Singapura Menurut Hukum Internasional Dalam BAB IV ini membahas tentang langkah dan kebijakan Indonesia mengatasi masalah kebakaran hutan dank abut asap, kerjasama Indonesia dengan ASEAN dan negara lain dalam mengatasi kebakaran hutan dank abut asap di Riau dan peran Indonesia dalam menghadapi kabut asap akibat kebakaran hutan di Riau.

BAB V Penutup

BAB V berisi kesimpulan dan saran-saran tentang penanggulangan polusi lintas batas yang disebabkan oleh kebakaran hutan agar tidak merusak lingkungan hidup.


(26)

BAB II

ASAS TANGGUNGJAWAB NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A.

Pengertian Pencemaran Menurut Hukum Nasional

Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia maupun masyarakat Internasional. Oleh karena itu, negara, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup dapat tetap menjadi sumber dan penunjang bagi seluruh manusia serta mahkluk hidup lainnya.

Lingkungan hidup adalah adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.11 Perlunya pelestarian fungsi lingkungan hidup yang merupakan rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup agar tidak terjadinya ketidakseimbangan yang dapat menyebabkan pencemaran baik secara sengaja oleh orang-orang yang memiliki kepentingan pribadi maupun tidak sengaja karena berkurangnya daya dukung alam, serta pencemaran yang terjadi baik di air maupun terkhususnya pencemaran di udara. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.


(27)

Pencemaran lingkungan yang terjadi merupakan peristiwa masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.12 Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sidat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.

Sementara itu, yang dimaksud dengan polutan adalah bahan pencemar lingkungan, dapat berupa bahan kimia, debu, panas, suara, radiasi dan mikroorganisme. Tingkat pencemaran saat ini terasa semakin memperihatinkan. Kondisi lingkungan seperti yang sudah tidak terjaga lagi dan hal ini sangat mengancam keberadaan makhluk di permukaan bumi.

Berikut adalah jenis pencemaran berdasarkan objek lingkungan tempat tersebarnya polutan-polutan yang dapat dibagi menjadi tiga jenis pencemaran, yaitu:13

1. Pencemaran Tanah 2. Pencemaran Udara 3. Pencemaran Air

Masalah pencemaran menjadi masalah yang banyak diperbincangkan oleh kalangan masyarakat di seluruh permukaan bumi ini. Oleh karena itu, masalah pencemaran ini sangat memerlukan perhatian khusus dengan penanganan yang sangat serius oleh semua pihak untuk memperbaiki, menanggulangi akibat buruk yang terjadi karena pencemaran, serta cara untuk menghindari terjadinya pencemaran lingkungan yang belum terkontaminasi oleh polutan.


(28)

Syarat-syarat suatu zat disebut polutan bila keberadaannya dapat menyebaban kerugian terhadap makhluk hidup, suatu zat disebut polutan apabila:14

1. Jumlahnya melebihi jumlah normal 2. Berada pada waktu yang tidak tepat 3. Berada pada tempat yang tidak tepat Sedangkan sifat polutan adalah:15

1. Merusak untuk sementara, tetapi bila telah bereaksi dengan zat lingkungan tidak merusak lagi

2. Merusak dalam jangka waktu lama, contohnya ada suatu zat yang tidak merusak bila konsentrasinya rencah namun apabila dalam jangka waktu yang lama akan dapat terakumulasi dalam tubuh sampai tingkat yang merusak. Pencemaran yang terjadi sangat memberikan dampak perubahan terhadap lingkungan yang menyebabkan tidak seimbangnya struktur maupun fungsi dari lingkungan yang terganggu oleh karena perbuatan manusia atau juga karena proses alam. Dewasa kini, hampir seluruh aktivitas manusia untuk memenuhi kehidupan sehari-hari baik secara biologis maupun teknologi yang memberikan dampak buruk terhadap pencemaran lingkungan. Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi akibat pencemaran merupakan kerusakan yang memberikan perubahan baik secara langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik; kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui criteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Berubahnya iklim dapat dijadikan sebagai contoh akibat dari pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan


(29)

komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. Perubahan iklim dapat terjadi masa kini paling banyak dipengaruhi oleh pencemaran udara yang membuat lapisan perut bumi semakin menipis. Dalam hal ini, akan di bahas lebih mendalam mengenai pencemaran udara karena seperti dalam tema awalnya “Kebakaran Hutan yang menyebabkan Pencemaran Udara Lintas Batas”.

Pencemaran udara dapat terjadi karena banyak hal baik itu disengaja dan/atau tidak disengaja oleh akibat manusia maupun seleksi alam yang terjadi. Pencemaran udara yang disebabkan oleh kebakaran hutan menghasilkan kabut asap, debu serta gas yang memberikan dampak yang tidak baik pada lingkungan hidup, khususnya untuk manusia. Hal ini dapat dinyatakan karena pencemaran udara merupakan masuknya unsur-unsur berbahaya ke dalam atmosfer yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, gangguan pada kesehatan manusia secara umum menurunkan kualitas kehidupan.

Menurut World Health Organization (WHO), tingkat pencemaran didasarkan pada kadar zat pencemar dan waktu (lamanya) kontrak. Tingkat pencemaran dibedakan menjadi tiga, yaitu:16

1. Pencemaran yang mulai mengakibatkan iritasi (gangguan) ringan pada panca indra dan tubuh serta telah menimbulkan kerusakan pada ekosistem lain. Misalnya gas buangan kendaraan bermotor yang menyebabkan mata perih.


(30)

2. Pencemaran yang sudah mengakibatkan reaksi pada faal tubuh yang menyebabkan sakit yang kronis. Misalnya pencemaran Hg (air raksa) di Minamata Jepang yang menyebabkan kanker dan lahirnya bayi cacat.

3. Pencemaran yang kadar zat-zat pencemarnya demikian besarnya sehingga menimbulkan gangguan dan sakit atau kematian dalam lingkungan. Misalnya pencemaran nuklir.

Berdasarkan terbentuknya, klasifikasi pencemar udara dapat dibedakan menjadi:17

1. Pencemar Udara Primer

Pencemar yang ditimbulkan langsung dari sumber pencemaran udara 2. Pencemar Udara Sekunder

Merupakan pencemar yang terbentuk dari reaksi pencemar-pencemar primer di atmosfer.

Contoh : Sulfur dioksida, Sulfur monoksida dan uap air akan menghasilkan asam sulfurik.

Dengan mengetahui beberapa parameter yang ada pada daerah/kawasan penelitian akan dapat diketahui tingkat pencemaran atau apakah lingkungan itu sudah terkena pencemaran atau belum. Parameter yang merupakan indikator terjadinya pencemaran adalah parameter kimia, parameter biokimia, parameter fisik dan parameter biologi.


(31)

Pada masa kini yang dimanfaatkan sebagai parameter sebagai indikator pencemaran udara adalah makhluk hidup (biologi), dikarenakan berbagai penelitian mengenai penggunaan indikator ini untuk mengetahui berbagai pencemaran dengan biaya yang jauh lebih ringan dibanding dengan pemakaian indikator fisika kimia secara umum.

B. Pencemaran Lintas Batas

Membahas mengenai permasalahan pencemaran serta rusaknya fungsi lingkungan yang terjadi di Indonesia tidak lagi menjadi permasalahan nasional melainkan juga menjadi permasalahan internasional karena menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga (transboundary pollution). Selain hilangnya fungsi hutan, hasil hutan dan erosi tanah, polusi udara adalah akibat langsung dari kebakaran hutan tersebut.

Pencemaran Udara Lintas Batas dapat didefinikan sebagai polusi yang berasal dari suatu negara tetap, dengan menyeberangi perbatasan melalui jalur udara yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan di negara lain.18 Dampak dari pencemaran udara ini yang berupa kabut asap tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Indonesia saja, namun hingga negara-negara tetangga, khususnya Malaysia dan Singapura.

Sebagai permasalahan Internasional yang sudah lama terjadi, pencemaran lintas batas yang biasa juga disebutkan sebagai Transfrontier Pollution dapat dijabarkan sebagai berikut :19


(32)

“Pollution of which the physical is wholly or in part situated within the territory of one state and which has deleterious effects in the territory of another state” (Pencemar fisik yang seluruhnya atau sebagian terletak dalam wilayah suatu negara dan yang memiliki efek merusak di wilayah negara lain).

Permasalahan kabut asap yang ditimbulkan dari kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia yang menyebar hingga ke negara tetangga, mengakibat pengajuan protes terhadap Indonesia atas terjadinya permasalahan ini. Protes Malaysia dan Singapura ini berdasarkan pada alasan bahwa kabut asap yang sampai ke negara mereka menyebabkan terjadinya gangguan terhadap kesehatan masyarakat. Kabut asap ini menyebabkan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), batuk, radang dang gangguan paru-paru. Protes yang disampaikan kedua negara ini terhadap Pemerintah Indonesia yang dinilai tidak serius mengatasi kebakaran hutan yang mengakibatkan kabut asap pembawa penyakit itu, karena lambatnya penanganan pemerintah dimata Internasional.

Malaysia dan Singapura mendesak agar Pemerintah Indonesia segera mengambil langkah cepat untuk menyelesaikan masalah ini. Namun Indonesia tidak langsung menyetujui permintaan kedua negara tersebut. Pemerintah Indonesia sudah menyampaikan secara resmi permintaan maaf kepada Malaysia dan Singapura yang telah disampaikan langsung oleh Presiden Republik Indonesia yaitu Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, akan tetapi kedua negara ini belum dapat menerima permintaan maaf ini dengan baik dan puas.20

Pencemaran udara akibat kebakaran hutan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Pada intinya prinsip itu mengatakan bahwa


(33)

kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu oleh orang lain. Prinsip itu membenarkan penempatan lingkungan hidup sebagai objek kekuasaan dan hukum suatu negara, dan karenanya lingkungan hidup dalam status demikian tunduk kepada hukum nasional negara tertentu, terutama dengan ketentuan, bahwa hak demikian diimbangi kewajiban bagi setiap negara untuk memanfaatkan lingkungan hidup yang menjadi bagian wilayahnya secara tidak menimbulkan kerugian terhadap negara atau pihak lain.

Salah satu prinsip yang dapat disebutkan adalah “Sic utere tuo ut alienum non laedes” yang menentukan bahwa suatu negara dilarang melakukan atau mengijinkan dilakukannya kegiatan yang dapat merugikan negara lain, dan prinsip good neighbourliness.21 Prinsip-prinsip yang telah diuraikan secara singkat tersebut dapat dijadikan dasar untuk meminta pertanggungjawaban negara terhadap negara yang telah melakukan tindakan yang merugikan negara yang lain.

Berdasarkan hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul ketika negara yang bersangkutan merugikan negara yang lain. Sudah lama diketahui bahwa kerugian yang dialami oleh negara lain dengan adanya permasalahan kabut asap ini, memang bukan lagi hal baru dan kejadian yang terjadi pada pertengahan tahun tercatat sebagai yang terburuk sejak 1997. Permasalahan kabut asap telah menjadi isu pelik bagi Indonesia dari masa ke masa, sikap negara terhadap permasalahan ini sepertu dua sisi mata uang.

Indonesia menyatakan komitmennya, namun dilain sisi praktek-praktek di lapangan maupun pernyataan beberapa pejabat menunjukkan ketidakseriusan atau keengganan


(34)

untuk menyelesaikan masalah. Sebagai bukti ketidakjelasan sikap negara terhadap penanggulangan masalah kabut asap adalah terkait Perjanjian Polusi Lintas Batas yang dibuat oleh ASEAN pada 2002. Meski ikut menandatangani hingga kini Indonesia menjadi satu-satunya negara ASEAN yang tidak kunjung meratifikasi kesepakatan itu.22

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan di Kawasan Indonesia Kebakaran hutan dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu :23

1. Faktor Perubahan Iklim; 2. Faktor Habitatnya; 3. Faktor Sifat Biomassa; 4. Faktor Manusia. 1. Faktor Perubahan Iklim

Secara umum Indonesia memiliki musim kemarau dan musim hujan yang datangnya relatif teratur. Siklus ini kadang-kadang mengalami gangguan karena datang lebih cepat dan berakhir lebih lambat dari biasanya. Hal ini berkaitan dengan gejala Gejala El Nino – Southern Oscillation atau ENSO yang datang secara tidak beraturan dengan intensitas yang tidak sama pula.

Kemampuan meramalkan secara tepat datangnya El Nino ini merupakan salah satu cara mengurangi atau menghindari dampak negatifnya. Misalnya, musim kemarau yang berkepanjangan membuat air sungai menurun sangat drastis, lahan-lahan


(35)

kekeringan, pepohonan dan tumbuhan lainnya malah ada yang mati sebelum ada api yang melahapnya.

2. Faktor Habitatnya

Keanekaragaman jenis habitat yang sebenarnya sangat tidak teratur, mempengaruhi tingkat kemudahan/kesulitan habitat itu dalam menghentikan atau membiarkan meluasnya penyebaran api. Ada jenis hutan yang sudah mati kekeringan sebelum terbakar. Jenis hutan seperti ini jelas akan menghambat meluasnya kebakaran hutan. Ada juga jenis hutan yang mudah terbakar dikarenakan kandungan bahan organiknya. Lahan gambut yang kering karena kemarau menjadi sangat mudah terbakar. Juga jenis hutan yang mengandung lapisan batu bara yang menonjol ke permukaan tanah, seperti yang terdapat di Kalimantan Timur, akan sangat mudah terbakar. Di kedua jenis hutan yang mengandung bahan organik ini api bisa menjalar dipermukaan tanah. Kalu di lahan gambut api bisa dipadamkan oleh hujan lebat yang turun terus menerus dalam kurun waktu tertentu, api di lapisan batubara lebih bersifat permanen yang tidak mampu dimatikan oleh hujan.

3. Faktor Sifat Biomassa

Ada jenis tumbuhan yang tahan api dan ada pula yang mempermudah pembakaran karena kandungan rasin/damarnya. Sebaran dari jenis-jenis ini ada yang mengelompokkan dan ada yang tidak, sehingga ada tegakan hutan yang terbakar habis dan ada yang relatif masih utuh meskipun api telah menghanguskan serasah serta jenis yang tidak tahan kebakaran.


(36)

4. Faktor Manusia

Pada masyarakat tradisional, seperti di pedalaman Kalimantan, api merupakan alat utama dalam pembukaan areal pertanian mereka. Melalui pengalaman yang diteruskan secara turun temurun, proses penebasan, pengeringan dan pembakaran biomassa dilakukan sedemikian rupa sehingga areal yang ditebas sudah habis terbakar pada saat musim hujan datang. Hal ini tidak saja membuat hujan itu menjadi efektif dalam mendukung pertumbuhan tanaman, tetapi juga efektif dalam menghentikan kemungkinan kebakaran yang tidak terkendali. Pengendalian kebakaran juga dilakukan dengan membuat petak-petak perladangan yang relatif kecil (1-2Ha) yang tersebar sendiri-sendiri didalam kawasan hutan primer atau hutan sekunder yang sudah tua.

Kejadian kebakaran hutan yang rutin dan terus meluas di Indonesia belakangan ini paling tidak dipengaruhi oleh dua hal penting. Pertama, yaitu Indonesia mempunyai deposit batubara yang berlebihan hampir setiap hutan tropis di Nusantara ini, yang akan dengan mudah memunculkan titik-titik api baru setiap tahunnya. Kedua, tingkah laku masyarakat peladang yang terbiasa dengan metode membakar

lahan terlebih dahulu dalam rangka membuka lahan baru dan meningkatkan kesuburan tanah.24

Dalam kondisi seperti inilah dapat dilihat bahwa keberadaan dari sebuh koorporasi dengan motif ekonomi ditengarai menjadi salah satu pemicu dominan dalam kebakaran hutan. Selain itu apabila kondisi alam yang memungkinkan terjadinya penyalaan api serta penyebaran bahan-bahan yang berpotensial dapat terbakar, dari hal ini dapat membedakan tiga tipe kebakaran hutan, yaitu:25


(37)

1. Kebakaran Permukaan (Surface Fire)

Kebakaran permukaan membakar bahan-bahan yang tersebar pada permukaan lantai hutan, misalnya serasah, cabang dan ranting mati yang gugur dan tumbuhan bawah. Dengan keberadaan O2 (air) sangat melimpah, terlebih dibantu adanya angin,

kebakaran permukaan bergerak relatif cepat sehingga tidak membakar semua bahan yang ada terutama humus.

2. Kebakaran Dalam Tanah (Ground Fire)

Kebakaran dalam tanah terjadi pada jenis tanah yang mempunyai lapisan bahan organik tebal, misalnya gambut. Bahan bakar berupa tumpukan bahan organik yang tebal ini pada musim kemarau dapat menurun kadar airnya sehingga mudah terbakar bila ada api. Kebakaran yang terjadi tidak disertai adanya nyala api, sehingga yang tampak hanya asap mengepul pada permukaan lapisan gambut.

3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire)

Kebakaran dapat terjadi pada lantai hutan dengan lapisan tumbuhan bawah yang tebal dan kering. Seringkali ditambah banyaknya sisa kayu penebangan atau bahan mati lainnya. Kebakaran hutan ini akan sangat dengan cepat membakar bagian-bagian atas hutan, yang mengakibatkan kebakaran tajuk.

Kebakaran hutan bukan merupakan hal yang jarang terjadi di Indonesia. Asap dari api yang dinyalakan manusia untuk membuka lahan di Kalimantan dan Sumatera,


(38)

khususnya Riau dapat menyebabkan tingkat polusi di Malaysia dan Singapura meningkat, menyebabkan munculnya masalah kesehatan yang berkaitan

dengan asap, kecelakaan lalu lintas dan biaya ekonomi yang menyertainya. Negara-negara tetangga pun kembali menuntut adanya solusi yang cepat untuk menanggulangi kabut asap tersebut, akan tetapi tetap saja kebakaran hutan yang menimbulkan kabut asap di negara tetangga tetap berlangsung hingga datangnya musim hujan.

Beberapa tahun belakangan ini terjadinya kebakaran hutan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin memburuk terutama disaat kondisi hutan sangat kering pada musim kemarau yang membuat menjadi sangat mudah terbakar. Penyebab kebakaran hutan banyak dispekulasikan karena bisa terjadi karena proses alam maupun akibat perbuatan manusia.

Penyebab berkurangnya hutan di Indonesia sejalan dengan seringnya terjadi kebakaran hutan di Indonesia yang setiap tahunnya selalu menjadi masalah untuk Indonesia maupun permasalahan di mata Internasional. Kebanyakan penggundulan hutan merupakan pekerjaan yang dilakukan manusia yang menebang pepohonan di hutan dan mengubah lahan hutan menjadi lahan pertanian dengan cara yang salah tanpa memikirkan dampak yang diberikan dikemudian hari, misalnya terjadinya kebakaran hutan. Setiap daerah hutan memiliki penyebab terjadinya kebakaran hutan yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya secara umum penyebab kebakaran hutan dari dijabarkan sebagai berikut:26

1. Kegiatan Manusia a.Sengaja dibakar


(39)

Akibat dari penebangan secara liar, membuka lahan dengan cara membakar yang dilakukan oleh perusahaan pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dalam Hutan Tanah Industri (HTI) dan masyarakat pendatang yang tidak tahu cara penanganan lahan.

b. Sisa Pembakaran dan Api Rokok

Api berasal dari suatu pembakaran yang biasa dilakukan petani pada ladangnya yang terletak berdekatan dengan hutan, serta api dari korek api dan punting rokok orang-ranng yang lewat di dekat hutan, biasanya terjadi sepanjang jalan kaki orang atau kendaraan.

c. Perladangan Berpindah

Para peladang dengan sengaja menebangi pohon secara sporadic sebagai cara untuk menyiapkan lahan ladang. Pohon yang ditebangi dibiarkan sampai kering dan menjadi bahan bakar untuk membakar seluruh areal yang akan dijadikan ladang sehingga lahan diluar areal ladang yang akan dipakai ikut terbakar apabila tidak ada usaha pengendalian api.

d. Reboisasi Padang Alang-Alang

Melakukan persiapan jalur sekat bakar menjadi prasarana penting jika kawasan seperti ini dijumpai masyarakat peladang berpindah atau kegiatan perburuan. Perburuan illegal sering memanfaatkan api untuk menjebak satwa yang berlarian menghindari api.


(40)

Kegiatan seperti ini sering membuat perapian untuk keperluan memasak atau acara api unggun. Pada saat meninggalkan hutan sering apinya tidak dimatikan sehingga dapat mengakibatkan kebakaran hutan.

2. Faktor Alam

a. Petir, adanya pohon yang tersambar petir, pohon menjadi mati dan kering sehingga dapat dijadikan bahan bakar yang mudah terbakar.

b. Aktivitas gunung berapi, Indonesia sebagai daerah khatualistiwa, memiliki daerah-daerah yang mempunyai aktivitas vulkanis yang aktif dan terbatas di sekitar puncak gunung.

c. Faktor perubahan alam, Indonesia memiliki musim kemarau dan musim hujan yang datangnya relatif teratur, namun kadang mengalami gangguan karena datangnya bisa lebih cepat dan berakhir lebih lama dari biasanya. Terkait dengan hal ini adalah gejala El Nino-Southern Oscillation (ENSO) yang datang tidak teratur dengan intensitas yang tidak sama pula.

D. Asas Tanggung Jawab Negara Menurut Hukum Internasional

Menurut J.G. Starke dalam bukunya Stark’s International Law, mengemukakan definisi Hukum Internasional adalah sekumpulan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari azas-azas dan peraturan-peraturan tingkah laku dimana negara-negara itu sendiri merasa terikat dan menghormatinya, dan dengan demikian mereka (negara-negara) itu juga mencakup :27


(41)

a. Peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya, hubungan antara organisasi internasional dengan individu;

b. Peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non state entities) sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara itu bersangkut paut dengan persoalan masyarakat internasional.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional menyatakan Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan azas-azas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara (hubungan internasional) antar negara dengan negaram antara negara dengan subyek hukum lainnya yang bukan negara, ataupun antara subyek hukum lain bukan negara satu sama lainnya.28

Banyak cakupan yang diatur oleh Hukum Internasional, salah satunya adalah Hukum Lingkungan Internasional. Sumber Hukum lingkungan internasional pada mulanya berkembang dalam bentuk hukum kebiasaan, traktat-traktat, keputusan-keputusan yang dibentuk oleh badan-badan arbitrasi, yang dibentuk oleh negara-negara yang bersengketa dan akan menyelesaikan persengketaan secara damai. Pada umumnya mengacu kepada prinsip hukum internasional, yaitu prinsip tanggung jawab


(42)

negara (state responsibility) yang mewajibkan setiap negara bertanggungjawab terhadap setiap akibat tindakannya yang merugikan negara lain.29

Orientasi penerapan prinsip tersebut bukanlah perlindungan lingkungan, melainkan perlindungan dan pemulihan hak-hak negara yang dirugikan. Terkait dengan perlindungan lingkungan, permasalahan asap dari kebakaraan hutan sebenarnya bukan hal baru, di Indonesia masalah ini terjadi hampir setiap tahun, namun hingga saat ini masih belum ada perhatian serius dari pemerintah terhadap kasus ini, terutama mengenai pencegahan terjadinya kebakaran dan pengelolaan

hutan secara baik. Berdasarkan hukum internasional, suatu negara bertanggungjawab bilamana suatu perbuatan atau kelalaian yang dapat dipertautkan kepadanya melahirkan pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik yang lahir dari suatu perjanjian internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya.

Secara umum unsur-unsur tanggung jawab negara adalah:30

1. Ada perbuatan atau kelalaian (act or mission) yang dapat dipertautkan (imputable) kepada suatu negara;

2. Perbuatan atau kelalaian itu merupakan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik kewajiban itu lahir dari perjanjian maupun dari sumber hukum internasional lainnya.

Pada dasarnya pencemaran udara akibat kebakaran hutan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional, antara lain prinsip adalah “Sic tere tuo ut alienum non laedes” yang menentukan bahwa suatu negara dilarang melakukan atau mengizinkan dilakukannya kegiatan yang dapat merugikan negara lain, dan


(43)

prinsip good neighbourliness.31 Menurut prinsip ini suatu lingkungan hidup sebagai objek kekuasaan dan hukum suatu negara dan karenanya lingkungan hidup dalam status demikian tunduk kepada hukum nasional negara tertentu, terutama dengan ketentuan bahwa hak demikian diimbangi kewajiban bagi setiap negara untuk memanfaatkan lingkungan hidup yang menjadi bagian wilayahnya secara tidak meni Berdasarkan penjelasan diatas, ada dua macam teori pertanggungjawaban negara yaitu:32

1. Teori Risiko (Risk Theory) yang kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab multak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective responsibility), yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggungjawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan walaupun kegiatan itu sendiri adalah kegiatan yang sah menurut hukum. Contohnya, Pasal II Liability Convention 1972 yang dinyatakan bahwa negara peluncur (launching state) mutlak bertanggungjawab untuk membayar kompensasi untuk kerugian dipermukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.

2. Teori Kesalahan (Fault Theory) yang melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif atau tanggungjawab atas dasar kesalahan, yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan perbuatan itu.


(44)

Kecenderungan yang berkembang akhir-akhir ini adalah makin ditinggalkannya teori kesalahan ini dalam berbagai kasus. Dengan kata lain, dalam perkembangan diberbagai lapangan hukum internasional, ada kecenderungan untuk menganut prinsip tanggung jawab mutlak.

Dalam peristiwa kebakaran hutan di Indonesia yang mengakibatkan pencemaran udara di negara tetangga harus membuat Indonesia bertanggung jawab menimbulkan kerugian terhadap negara lain.

atas pencemaran udara yang menyebabkan banyak kerugian. Dengan demikian berlakunya prinsip yang berkenaan adalah “Enjoying every State not to allow its territory to be used in such a way as to damage the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction” (Setiap Negara tidak membiarkan wilayahnya digunakan sedemikian rupa untuk merusak lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas nasional yurisdiksi Negaranya). Prinsip ini pertama kalinya di atur oleh pengadilan arbitrase di dalam kasus Trail Smelter.33

Kasus Trail Smelter bermula dari kasus pencemaran udara yang diakibatkan oleh sebuah perusahaan pupuk milik warga negara Kanada yang dioperasikan di dalam wilayah Kanada, dekat sungai Columbia, lebih kurang 10 mil menjelang perbatasan Kanada-AS. Produksi emisi perusahaan tersebut terus meningkat hingga akhirnya 300ton sulfur dioksida terbawa angin bergerak ke wilayah AS melalui lembah sungai Columbia dan menimbulkan berbagai akibat merugikan terhadap tanah, air, udara, kesehatan serta berbagai kepentingan penduduk Washington lainnya.


(45)

Berdasarkan prinsip ini setiap negara memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya tanpa merugikan negara lain. Prinsip-prinsip internasional ini juga telah diakui dalam Mahkamah Internasional dan tersirat dalam dokumen-dokumen hukum lingkungan internasional seperti Deklarasi Stockholm 1972 dan Deklarasi Rio 1992.

Pada dasarya tanggung jawab negara adalah untuk segera melakukan tindakan atas permasalahan kebakaran hutan yang merugikan orang lain dan segera melakukan perbaikan terhadap bagian mengalami kerusakan.

Suatu negara dapat meminta pertanggung jawaban bagi kerugian terhadap warga negara dari negara tergugat atau hak milik mereka. Latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional yaitu bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-hak negara lain. Seperti yang dikemukakan oleh Shaw, yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung jawab negara ini bergantung kepada faktor-faktor dasar, yaitu:34

1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara kedua negara tertentu;

2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional tersebut melahirkan tanggung jawab negara;

3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian.

Peraturan tentang tanggung jawab negara hanya mengidentifikasikan ketika sebuah negara bisa bertanggung jawab karena melanggar kewajiban mereka dan apa


(46)

konsekuensi jika ia gagal untuk memenuhi tanggung jawabnya. Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga (transboundary pollution) sehingga mereka mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya masalah ini. Untuk menyelesaikan persoalan pencemaran lintas batas ini sebaiknya diperhatikan ketentuan hukum internasional, khususnya hukum kebiasaan internasional.

Adapun bentuk-bentuk pertanggung jawaban menurut Draft Articles Responsibility of States for Internastionally Wrongful Acts, International Law Commissions 2001, sebagai berikut :

1. Pasal 35 menyatakan bahwa, suatu negara yang bertanggung jawab untuk tindakan salah secara internasional berada di bawah kewajiban untuk membayar ganti rugi kerugian yaitu untuk membangun kembali situasi yang ada sebelum perbuatan salh dilakukan , diberikan dan sejauh bahwa restitusi. 2. Pasal 36 ayat 1 menyatakan bahwa, negara bertanggung jawab untuk tindakan

salah secara internasional berada di bawah kewajiban untuk mengkompensasi kerusakan yang demikian ditimbulkan, sejauh kerusakan tersebut tidak dibuat baik dengan pemulihan.

3. Pasal 37 ayat 1 menyatakan bahwa, negara bertanggung jawab untuk tindakan salah secara internasional berada di bawah kewajiban untuk memberikan kepuasaan untuk kecelakaan yang disebabkan oleh yang bertindak sejauh yang tidak dapat dibuat baik dengan pemulihan atau kompetensi.


(47)

Pada Pasal 37 ayat 2 menyatakan bahwa, Keputusan dapat terdiri dalam pengakuan atas pelanggaran, ungkapan penyesalan, permintaan maaf resmi atau modalitas lain yang sesuai.

4. Pasal 48, negara-negara selain injured states dapat mengajukan tuntutan pertanggung jawaban pada negara lain dalam dua hal :

a. Kewajiban yang dilanggar dimiliki suatu kelompok negara termasuk negara yang mengajukan tuntutan tersebut, ditetapkan untuk perlindungan kepentingan kelompok tersebut;

b. Kewajiban yang dilanggar dimiliki oleh seluruh masyarakat internasional keseluruhan.

Berdasarkan Deklarasi Stockholm 1972 (Stockholm Declaration) terdiri dari pembukaan dan 26 asas dan rencana aksi (action plan) yang terdiri dari 109 rekomendasi.35 Pada prinsipnya, Deklarasi Stockholm menyatakan bahwa manusia memegang tanggung jawab suci untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan untuk generasi sekarang dan mendatang36 dan negara-negara juga mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya mereka sendiri sesuai dengan kebijakan lingkungan mereka sendiri dan tanggung jawab untuk memastikan bahwa aktivitas dalam yurisdiksi atau control mereka tidak menyebabkan kerusakan untuk lingkungan negara-negara lainnya atau kawasan di luar batas yurisdiksi nasional.37

Menurut Hukum Internasional, pertanggung jawaban negara timbul dalam hal negara bersangkutan merugikan negara lain dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Apabila kemudian terbukti adanya pelanggaran


(48)

maka diperlukan adanya upaya pemulihan yang dapat berupa satisfaction, misalnya permohonan maaf secara resmi ataupun berwujud pecuniary reparation, misalnya dengan pemberian ganti rugi material.38

Masalah internasional mengenai perlindungan dan perbaikan lingkungan harus ditangani dalam semangat kerja sama oleh semua negara, baik besar maupun kecil masalah serta pada pijakan yang sama, hal ini dinyatakan pada Prinsip 24.

Apabila dihubungkan dengan masalah kabut asap akibat kebakaran hutan yang terjadi dalam kasus kebakaran hutan di Indonesia yang mempunyai dampak lintas batas maka selain negara tersebut harus bertanggungjawab akan tetapi negara-negara lain juga ikut serta membantu menanggulangi permasalahan kebakaran hutan, karena masalah ini menjadi bersifat global. Oleh sebab itu, dengan sendirinya masalah ini juga harus ditangani secara bersama-sama dengan negara lainnya. Untuk mencapai tujuan lingkungan ini akan dituntut penerimaan tanggung jawab oleh warga negara dan masyarakat dan oleh perusahaan dan lembaga-lembaga di setiap tingkatan, semua lapisan masyarakat seperti juga organisasi-organisasi di berbagai bidang, dengan nilai-nilai mereka dan berbagai tindakannnya, akan membentuk dunia menjadi lingkungan masa depan.39 Hal ini dinyatakan berdasarkan pada bagian ketujuh yang diproklamirkan dalam deklarasi Stockholm.

Pada Prinsip 21 Deklarasi Stockholm menyatakan, negara-negara telah sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip-prinsip hukum internasional, hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya mereka sendiri sesuai dengan kebijakan lingkungan mereka sendiri, dan tanggung jawab untuk memastikan bahwa


(49)

aktivitas dalam yurisdiksi atau kontrol mereka tidak menyebabkan kerusakan untuk lingkungan negara-negara lainnya atau kawasan di luar batas yurisdiksi mereka.

Sepuluh tahun kemudian diselenggarakanlah KTT Bumi yang diadakan oleh Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa di Rio De Janerio tahun 1992 yang dihadiri oleh seluruh anggota PBB. KTT ini membahas tentang permasalahan lingkungan secara menyeluruh dibanding dengan konferensi-konferensi sebelumnya. Hasil dari KTT Bumi (Earth Summit) telah memutuskan beberapa dokumen penting, yaitu:40 1. Deklarasi Rio 1992 mengenai Lingkungan dan Pembangunan (Rio Declaration

on Environment and Development);

Deklarasi Rio 1992 membahas tentang Lingkungan dan Pembangunan (Rio Declaration on Environment and Development) serta yang menjadi dasar pembicaraan di KTT Rio adalah prinsip pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).41 Menurut Perdana Menteri Norwegia yang tercantum dalam buku Our Common Future menyatakan bahwa: “If it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs” (Jika memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri). Hal ini dinyatakan berdasarkan dari defenisi sustainable development yang diberikan oleh World Commision on Environment and Development (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan).

2. Kerangka Kerja Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Convention Framework on Climate Change)


(50)

United Nations Convention Framework on Climate Change (UNFCCC) yang membahas tentang perubahan iklim adalah merupakan amandemen dari Protokol Kyoto pada Konvensi Rangka Kerja PBB. Protokol ini diratifikasi oleh negara-negara yang berkomitmen untuk mengurangi emisi atau pengeluaran karbon dioksida dan gas-gas rumah kaca lainnya serta bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.42

3. Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biological Diversity)

Pada Pasal 1 yang menyatakan bahwa, “Tujuan konvensi ini, seperti tertuang dalam ketetapan-ketetapannya, ialah konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan komponen-komponennya secara berkelanjutan dan membagi keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan sumber daya genetik secara adil dan merata, termasuk melalui akses yang memadai terhadap sumber daya genetik dan dengan alih teknologi yang tepat guna, dan dengan memperhatikan semua hak atas sumber-sumber daya dan teknologi itu, maupun dengan pendanaan yang memadai”.43 Sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan azas-azas hukum internasional setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber dayanya sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri, dan tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya atau kendalinya tidak akan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan diluar


(51)

batas yurisdiksi nasionalnya. Hal ini tercantum dalam Prinsip Konvensi Keanekaragaman Hayati pada Pasal ketiga.

4. Prinsip-Prinsip Kehutanan (Non-Legally Binding Authoritative Statements of Principles for a Global Consensus on the Management, Conservation and Sustainable Development of all Types of Forest)

Menjadi pedoman bagi pengelolaan, pelestarian dan pembangunan semua jenis hutan secara berkelanjutan serta menjadi unsur mutlak bagi pembangunan ekonomi dan pelestarian segala kehidupan adalah prinsip-prinsip kehutanan.44

3. Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biological Diversity)

Pada Pasal 1 yang menyatakan bahwa, “Tujuan konvensi ini, seperti tertuang dalam ketetapan-ketetapannya, ialah konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan komponen-komponennya secara berkelanjutan dan membagi keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan sumber daya genetik secara adil dan merata, termasuk melalui akses yang memadai terhadap sumber daya genetik dan dengan alih teknologi yang tepat guna, dan dengan memperhatikan semua hak atas sumber-sumber daya dan teknologi itu, maupun dengan pendanaan yang memadai”.43 Sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan azas-azas hukum internasional setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber dayanya sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri, dan tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya atau kendalinya tidak


(52)

akan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan diluar batas yurisdiksi nasionalnya. Hal ini tercantum dalam Prinsip Konvensi Keanekaragaman Hayati pada Pasal ketiga.

4. Prinsip-Prinsip Kehutanan (Non-Legally Binding Authoritative Statements of Principles for a Global Consensus on the Management, Conservation and Sustainable Development of all Types of Forest)

Menjadi pedoman bagi pengelolaan, pelestarian dan pembangunan semua jenis hutan secara berkelanjutan serta menjadi unsur mutlak bagi pembangunan ekonomi dan pelestarian segala kehidupan adalah prinsip-prinsip kehutanan.44


(53)

BAB III

PENGATURAN TENTANG PENCEMARAN KABUT ASAP DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A. Dampak Kebakaran Hutan Yang Bersifat Lintas Batas Yang Menimbulkan Kabut Asap di Negara Lain

Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi atau kebakaran semak adalah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Penyebab umum termasuk petir, kecerobohan manusia dan pembakaran. Musim kemarau dan kebakaran kecil adalah penyebab utama kebakaran hutan besar. Untuk sekedar mengingat kembali penyebab terjadinya kebakaran, yaitu:47

1. Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang; 2. Kecerobohan manusia antara lain membuang punting rokok sembarangan dan

lupa mematikan api di perkemahan;

3. Aktivitas vulkanik seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi;

4. Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka lahan pertanian baru dan tindakan vandalism;

5. Kebakaran di bawah tanah (ground fire) pada daerah tanah gambut yang dapat menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.


(54)

Adapun dampak kebakaran hutan bagi negara-negara lain adalah pencemaran udara. Pencemaran udara banyak menimbulkan masalah yang sangat mengganggu dan bahkan tidak dapat ditolerir lagi sehingga membuat negara yang sedang mengalami kebakaran hutan itu harus mengatasi masalah kebakaran hutan ini dengan serius. Berbagai dampak negatif dari kebakaran hutan yang tidak dapat ditoleransi lagi antara lain:48

1. Dampak Terhadap Sosial, Budaya dan Ekonomi

a. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil hutan tidak mampu melakukan aktivitasnya. Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sedikit banyak mengganggu aktivitasnya yang secara otomatis juga ikut mempengaruhi penghasilannya. Setelah kebakaran usai pun dipastikan bahwa masyarakat kehilangan sejumlah areal dimana ia biasa mengambil hasil hutan tersebut seperti rotan, karet dan lain-lain.

b. Terganggunya aktivitas sehari-hari

Adanya gangguan asap secara otomatis juga menggangu aktivitas yang dilakukan manusia sehari-hari. Misalnya pada pagi hari sebagian orang tidak dapat melaksanakan aktivitasnya karena sulitnya sinar matahari menembus udara yang penuh dengan asap. Demikian pula terhadap banyak aktivitas yang


(55)

5. Kebakaran di bawah tanah (ground fire) pada daerah tanah gambut yang dapat menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.

Adapun dampak kebakaran hutan bagi negara-negara lain adalah pencemaran udara. Pencemaran udara banyak menimbulkan masalah yang sangat mengganggu dan bahkan tidak dapat ditolerir lagi sehingga membuat negara yang sedang mengalami kebakaran hutan itu harus mengatasi masalah kebakaran hutan ini dengan serius. Berbagai dampak negatif dari kebakaran hutan yang tidak dapat ditoleransi lagi antara lain:48

2. Dampak Terhadap Sosial, Budaya dan Ekonomi

c. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil hutan tidak mampu melakukan aktivitasnya. Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sedikit banyak mengganggu aktivitasnya yang secara otomatis juga ikut mempengaruhi penghasilannya. Setelah kebakaran usai pun dipastikan bahwa masyarakat kehilangan sejumlah areal dimana ia biasa mengambil hasil hutan tersebut seperti rotan, karet dan lain-lain.

d. Terganggunya aktivitas sehari-hari

Adanya gangguan asap secara otomatis juga menggangu aktivitas yang dilakukan manusia sehari-hari. Misalnya pada pagi hari sebagian orang tidak


(56)

dapat melaksanakan aktivitasnya karena sulitnya sinar matahari menembus udara yang penuh dengan asap. Demikian pula terhadap banyak aktivitas yang

Spesies nitrat dan Oksigen organik. Merujuk pada penelitian Brauer dalm Health Impacts of Biomass Air Pollution, komponen polutan utama biomassa adalah jenis bahan gas inorganik (contoh Karbon monoksida (CO), Ozon, Nitrogen dioksida (NO2)), Hidrokarbon (contoh Benzen dan Toluen), Aldehid (contoh

Akrolein dan Formaldehid), partikel (contoh partikel “inhalable” (PM 10), partikel respirabel, partikel halus (PM 2,5)), dan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon atau PAH (contoh Benzo(a) pyrene).

Kesemuanya itu bersumber dari pembakaran tidak lengkap bahan organik, oksidasi dan hidrokarbon, kondensi pembakaran gas, pergerakan vegetasi dan fragmentasi asap. Partikulat dalam asap kebakaran hutan punya peranan penting dalam mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Partikulat berukuran kecillah yang sebenarnya paling berpotensi besar mengancam kesehatan, yaitu PM 10, PM 2,5, PM 1,0 atau Total Suspended Particulate (TSP). Mengingat kebakaran hutan ini berlangsung lama, maka dapat diperkirakan betapa banyak komponen polutan utama biomassa yang dihirup oleh manusia.

Secara umum, asap akibat kebakaran hutan telah meningkatkan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) di daerah yang tingkat pencemaran udaranya tinggi. Sebagai gambaran di Kalimantan dan Sumatera nilai ISPA rata-rata melebihi 300 padahal batas normalnya di bawah 100 sehingga dampak


(57)

kesehatannya begitu terasa, terutama mereka yang rentan seperti anak-anak, para manula dan mereka yang aktif diluar ruangan.49

Data dari Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Departemen Kesehatan membuktikannya. Akibat adanya kabut asap, jumlah kasus ISPA di Pontianak meningkat dari 1.286 kasus pada akhir Agustus 2006 menjadi 1.928 kasus pada awal September 2006.

Data yang sama juga menyebutkan bahwa di Kalimantan Timur jumlah kasus mingguan ISPA antara 1.500 kasus hingga 2.000 kasus, lebih tinggi dari kisaran normal yang banyaknya antara 1.000 kasus hingga 1.500 kasus. Beberapa Dinas Kesehatan di Sumatera dan Kalimantan juga melaporkan bahwa masyarakat di wilayahnya mulai mengalami gangguan penyakit ISPA, pneumonia dan sakit mata.

e. Produktivitas menurun

Pada provinsi Kalimantan Barat, asap tebal sudah mulai mengancam sektor pertanian. Tebal kabut asap dikhawatirkan yang berlangsung secara terus-menerus dapat mengganggu produktivitas tanaman padi dan jagung. Dua jenis tanaman ini paling rentan. Kalau cuaca sampai tertutup asap sehingga tanaman tidak dapat mendapat sinar matahari dalam jangka waktu lama, produksinya dapat menurun. Pada saat tanaman akan berfotosintesis tentu memerlukan sinar matahari yang cukup, karena kabut yang tebal menyebabkan sinar matahari terhambat untuk menyinari bumi sehingga produksi terhambat.50


(58)

2. Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan a. Hilangnya sejumlah spesies

Kebakaran bukan hanya meluluh lantakkan berjenis-jenis pohon namun juga menghancurkan berbagai jenis habitat satwa lainnya. Umumnya satwa yang ikut musnah ini akibat terperangkap oleh asap dan sulitnya jalan keluar

karena api telah mengepung dari segala penjuru. Belum ada penelitian yang mendalam seberapa banyak spesies yang ikut terbakar dalam kebakaran hutan di Indonesia.

b. Ancaman erosi

Dampak lainnya adalah kerusakan hutan setelah terjadi kebakaran dan hilangnya margasatwa. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.

Kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan maupun di dataran tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang juga berfungsi menahan laju tanah pada lapisan atas untuk tidak terjadi erosi. Pada saat hujan turun dan ketika run off terjadi, ketiadaan akar tanah akibat terbakar sebagai pengikat akan


(59)

menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang pada akhirnya potensial sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi juga longsor.

c. Perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukkan lahan

Hutan sebelum terbakar secara otomatis memilik banyak fungsi. Sebagai catchment area, penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Ketika hutan tersebut terbakar fungsi catchment area tersebut juga hilang dan Karbondioksida tidak lagi disaring namun melayang-layang di udara. Dalam suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat terserap dengan baik karena hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut.

Hutan itu sendiri mengalami perubahan peruntukkan menjadi lahan-lahan perkebunanan dan kalaupun tidak maka ia akan menjadi padang ilalang yang akan membutuhkan waktu lama untuk kembali pada fungsinya semula.

d. Penurunan kualitas air

Kebakaran hutan memang tidak secara signifikan menyebabkan perubahan kualitas air. Kualitas air yang berubah ini lebih diakibatkan faktor erosi yang muncul di bagian hulu. Ketika air hujan tidak lagi memiliki penghalang dalam menahan lajunya maka ia akan membawa seluruh butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk ke dalam sungai-sungai yang ada. Akibatnya adalah sungai menjadi sedikit keruh. Hal ini akan terus berulang apabila ada hujan di atas gunung ataupun di hulu sungai sana.


(60)

Terganggunya ekosistem terumbu karang lebih disebabkan faktor asap. Tebalnya asap menyebabkan matahari sulit untuk menembus dalamnya lautan. Pada akhirnya hal ini akan membuat terumbu karang dan beberapa spesies lainnya menjadi sedikit terhalang untuk melakukan fotosintesa.

f. Menurunnya devisa negara

Turunnya produktivitas secara otomatis mempengaruhi perekonomian mikro yang pada akhirnya turut mempengaruhi pendapatan negara.

g. Sedimentasi di aliran sungai

Tebalnya lumpur yang terbawa erosi akan mengalami pengendapan di bagian hilir sungai. Ancaman yang muncul adalah meluapnya sungai bersangkutan akibat erosi yang terus menerus.

h. Pemanasan global

Peristiwa kebakaran hutan yang terjadi akhir-akhir ini dipandang sebagai sebuah melapetaka yang tidak hanya bersifat nasional saja akan tetapi sudah bersifat regional bahkan global karena asap yang berasal dari kebakaran hutan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi Gas Rumah Kaca di atmosfer, yaitu meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca secara global yang berakibat pada peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi, yang kemudian dikenal dengan pemanasan global. Pemanasan global ini pada akhirnya membawa dampak terjadinya perubahan iklim yang mempengaruhi kehidupan di bumi.

Pemanasan global sangat erat kaitannya dengan iklim yang menjadi panas secara perlahan tapi pasti dalam jangka waktu yang cukup panjang yang akan


(61)

merubah dunia umat manusia menjadi suatu daerah yang terlalu panas untuk didiami atau untuk suatu kehidupan. Dalam kaitan tersebut, terkaitlah peran serta dari suatu fenomena alam yang disebut dengan efek rumah kaca.

Secara alamiah sinar matahari yang masuk ke bumi, sebagian akan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi ke angkasa. Sebagian sinar matahari yang dipantulkan itu akan diserap oleh gas-gas di atmosfer yang menyelimuti bumi, sehingga sinar tersebut terperangkap dalam bumi. Peristiwa ini dikenal dengan Efek Rumah Kaca dan gas-gas yang berfungsi menyerap energi panas matahari itu disebut dengan Gas Rumah Kaca. Peristiwa ala mini menyebabkan bumi menjadi hangat dan layak ditempati manusia, karena jika tidak ada Efek Rumah Kaca51 maka suhu permukaan bumi akan 33 derajat Celcius lebih dingin.52

Gas rumah kaca yang berfungsi sebagai perangkap energi panas matahari tersebut sebenranya muncul secara alami di lingkungan, tetapi juga dapat timbul akibat aktivitas manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbondioksida adalah gas terbanyak kedua yang timbul dari berbagai prose salami seperti letusan vulkanik, pernapasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida) dan pembakaran material organik (seperti tumbuhan).

Pembakaran dapat berkurang karena terserap lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah


(62)

karbondioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya. Selain uap air dan karbondioksida, gas rumah kaca lainnya yaitu CH4

(metana), N2O (nitrogen dioksida), PCFS (perfluorokarbon), HFCS

(hidrofluorokarbon) dan SF6 (sulfurheksafluorida).

Sedangkan gas rumah kaca akibat aktivitas manusia antara lain kegiatan manusia antara lain kegiatan manusia yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas, batubara) seperti pada pembangkit tenaga listrik, transportasi, kegiatan perindustrian, air conditioner, komputer, memasak. Selain itu tugas rumah kaca juga dihasilkan dari pembakaran dan penggundulan hutan serta aktivitas pertanian dan peternakan.

Ironisnya, perubahan komposisi gas rumah kaca diatmosfer lebih banyak disebabkan oleh aktivitas manusia salah satu contohnya pembakaran hutan secara luas sehingga meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca secara global yang berakibat pada peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi atau pemanasan global.

Perubahan iklim yang terjadi akibat dari pemanasan global akan membawa dampak pada lingkungan dan kehidupan di bumi. Para ilmuwan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuwan telah membuat beberapa perkiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan dan tumbuhan serta kesehatan manusia.


(1)

tanggap dalam melakukan pemadaman api apabila terjadi kebakaran hutan. Salah satu cara untuk mengambil tindakan cepat dengan menyiapkan pesawat Hercules TNI untuk siap siaga apabila terjadi kebakaran dapat langsung membuat hujan buatan dengan menebarkan garam pada sekitar hutan atau memadamkan api secara langsung melalui bantuan pemadam kebakaran.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adolf, Huala. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta : Sinar Grafika, 2004.

Cipto, Bambang. Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Cetakan 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Dixon, Martin. Textbook on International Law, Thidr Edition, Blackstone Press Limited, 1996.

Friedman, Lawrence M. Suatu sistem hukum dapat berjalan optimal apabila ditunjang oleh struktur, substansi dan budaya hukum didalamnya. Substansi diartikan sebagai aturan, norma dan pola perilaku nyata dalam sebuah sistem hukum. Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika Sebuah Penghantar, Tatanusa, Jakarta, 2001.

Nasution, Bismar. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,

Makalah disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisa Hukum pada Majalah Akreditas, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 18 Februari 2003, hlm.1.

Nurrochmat, Dodik Ridho. Strategi Pengelolaan Hutan, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Mauna, Boer. Hukum Internasional. Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni, 2001.


(3)

Muis, Yusuf Abdul dan Mohammad Taufik Makarao. Hukum Kehutanan di Indonesia,

Rineka Cipta, Jakarta, 2011.

Mukono, H.J. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Pernafasan, Surabaya: Airlamgga University Press, 1997.

Pramudianto, Andreas. Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Lingkungan Internasional, Jakarta : Universitas Indonesia, 2009.

Pramudianto, Andreas.Diplomasi Lingkungan Tori dan Fakta (Jakarta: Universitas Indonesia, 2008).

Putra, Ida Bagus Wyasa. Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional, Bandung, Refika Aditama, 2002.

Rahmadi, Takdir. Aspek-Aspek Hukum Internasional Kebakaran Hukum, Jurnal Hukum Lingkungan: 1999.

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif ; Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1, Cetakan Ketujuh, Rajawali Press, Jakarta, 2003.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, UI Press, Jakarta, 1986.

Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1998. Soejono. Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Cetakan Kedua, Jakarta, 2003. Silalahi, Daud. Hukum Lingkungan (Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan

Indonesia), Bandung : PT.Alumni, 2001.

Sumardi dan SM Widyawati. Dasar-Dasar Perlindungan Hutan, Jakarta : Gajah Mada University Press, 2004.


(4)

Sucipto, 1985 Sistem Tanggung Jawab Dalam Pencemaran Udara, Malang 82.

Tacconi, Luca. Center for International Forestry Research (CIFOR), Kebakaran Hutan di Indonesia : Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan, Bogor.

Tan, Alan Khee Jin. Forest Fire of Indonesia : State Responsibility and International Liability, Faculty of Law National University of Singapore, Singapore, 2008. Triatmodjo, Marsudi. Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran

Lingkungan Internasional. Mimbae Hukum: vol.19 November 3.

Wardhana, Wisnu Arya. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset, Yogyakarta, 2001.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KONVENSI INTERNASIONAL

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan

Peruntukkan dan Fungsi Kawasan Hutan.

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Konferensi PBB mengenai lingkungan hidup manusia (United Nation Conference on Human Environment).


(5)

International Law Commission Draft Articles on State Responsibility, ILC’s 53rd

Session, Jenewa, 2001, Art.37.

ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution, ASEAN Secretariat, November 1995.

ARTIKEL/WEBSITE

Penyebab, Dampak dan Pencegahan, sebagaimana dimuat dalam,

Pengertian Pencemaran sebagaimana dimuat dalam,

Pengertian Pencemaran Lingkungan-Dunia Para Pelajar sebagaimana dimuat

dalam

Pengertian Pencemaran Udara Lintas Batas sebagaimana dimuat dalam:

Puspitasari, Eka, Agustina Merdekawati, 2007. Pertanggung jawaban Indonesia Dalam Penyelesaian Kasus Transboundary Haze Pollution Akibat Kebakaran

Hutan Berdasarkan Konsep State Responsibility, Jurnal, hlm. 7-10.

Bintang Krisanti,”Kabut Asap dan Sengkarut Kehutanan Indonesia”,


(6)

A ca Sugandhy, Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Keanekaragaman Hayati, Diskusi Nasional Kebakaran Hutan, Jakarta, 22 Oktober 1997

Deni Bram, Penanganan Kabut Asap Masih Setengah Hati, Media Indonesia (1 September 2007):7.

Hukum Internasional (Law Community), “Prinsip-Prinsip Pokok Hukum

Internasional”, sebagaimana dimuat dalam

Hukum Internasional - Hubungan Internasional, sebagaimana dimuat dalam,

Dasar Pertanggungjawaban Negara, sebagaimana dimuat dalam,

Muhammad Muzaqir, “Kajian Hukum Lingkungan Internasional Terhadap Kebakaran Hutan di Indonesia yang Mengakibatkan Pencemaran Udara di

Malaysia”sebagaimana dimuat dalam

Sigit Fahrudin,”Tanggung Jawab Negara Dalam Hukum” sebagaimana dimuat dalam,

Wikipedia, “Protokol Kyoto” sebagaimana dimuat dalam,

Terjemahan Resmi Salinan Naskah Asli Konvensi Keanekaragaman Hayati,