Tanggap morfofisiologi bibit kakao yang diberi fosfat alam Ayamaru Papua, asam humat, inokulasi FMA, bakteri pelarut fosfat

(1)

TANGGAP MORFOFISIOLOGI BIBIT KAKAO

YANG DIBERI FOSFAT ALAM AYAMARU PAPUA,

ASAM HUMAT, INOKULASI FMA DAN

BAKTERI PELARUT FOSFAT

ANTONIUS SUPARNO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Tanggap Morfofisiologi Bibit Kakao yang Diberi Fosfat Alam Ayamaru Papua, Asam Humat, Inokulasi FMA, dan Bakteri Pelarut Fosfat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2008 Antonius Suparno NRP A361040081


(3)

ii

ABSTRACT

ANTONIUS SUPARNO. Morpho-physiological Responses of Cacao Seedlings to The Addition of Papuan Ayamaru Phosphate Rock, Humic Acid, and the Inoculation AM Fungi and Phosphate Solubilizing Bacteria. Under direction of SUDIRMAN YAHYA, SUDRADJAT,YADI SETIADI, and KOMARRUDDIN IDRIS

The purposes of the study were to obtain a humic acid dosage, an arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) inoculant, and a phosphate solubilizing bacteria (PSB) isolate for improving the response of cacao seedlings to Ayamaru phosphate rock (APR). The study was conducted in the Cikabayan research garden of IPB. F1 UAH cacao seeds from Coffee and Cacao Research Center, Jember, East Java was used and the seedlings were grown on Ultisol, acid soil from Jasinga in 20 cm x 30 cm sized polybag. The seedlings were grown under 60% of shading net for the period of four months.

The study consists of four trials which were set up in two-factor factorial trials using a Completely Randomized Design. The first factor in Trial I, II and III were APR dosages: 0, 0.5, 1.0, 1.5, and 2.0 g P2O5/seedling and 2.0 g P2O5 SP36/seedling used as

comparison. The second factor in Trial I were AMF inoculation; in Trial II were PSB isolate inoculation; and in Trial III were four levels of humic acid dosages. The first factor in Trial IV was four levels of APR dosages: 0, 1.0, 2.0, and 4.0 g P2O5/seedling

and 2.0 g P2O5 SP36/seedling used as comparison. While the second factor was

combination treatments from the best result of Trial I, II, and III.

The best treatments obtained from Trial I, II and III as followed: AMF inoculation using Mycofer inoculant, inoculation with FT.3.2 isolate, and 3.10-3 mL of humic acid. Trial IV revealed that stem diameter, leaf number, and shoot/root ratio of the seedling with 2.0 g P2O5/seedling of APR was not significantly different than the

seedling with 2.0 g P2O5 SP36/seedling. The response of most variables of seedlings to

APR up to 4.0 g P2O5 in all combination treatments of the second factor on the Trial IV

was linear. However, the treatments which involved AMF inoculation gave the better result as comparing to seedling without AMF. In term of shoot dry-weight, the effectiveness of Mycofer, humic acid and PSB was 104.29%, 4.38% and 4.24%; in term of P uptake was 191.00%, 33.20% and 18.31%; in term of root colonization was 682.82%, 10.26% and 6.17% ; in term of acid phosphatase activity was 30.07%, 7.58%, 7.34%, while in term of APR efficiency was 104.29%, 4.38%, and 4.24% respectively.

Combination treatments in this study were aimed to enhance available P and to lower exchangeable Al content of the media. Combination treatments with the increasing level of APR up to 2.0 g P2O5/seedling caused increasing the root

colonization and acid phosphatase activity went a long with decreasing exchangeable Al content, but with the increasing level of APR up to 4.0 g P2O5/seedling caused

decreasing the root colonization and acid phosphatase activity and on the contrary increasing exchangeable Al content of the media.

The response of the growth seedlings and P available content of the media up to 4.0 g P2O5 of APR was still increased linearly. The responses were improved by the

application of humic acid, AMF and PSB inoculation. The synthesis of organic acids by PSB inoculation and the release of acid phosphatase by AMF to the media indicated that there were the external mechanism of P solubilization of phosphate rock.

Keywords: Theobroma cacao, Gigaspora margarita, Glomus etunicatum, Glomus manihotis, Glomus aggregatum, Acaulospora tuberculata, Acaulospora scrobiculata


(4)

iii

RINGKASAN

ANTONIUS SUPARNO. Tanggap Morfofisiologi Bibit Kakao yang Diberi Fosfat Alam Ayamaru Papua, Asam Humat, Inokulasi FMA, dan Bakteri Pelarut Fosfat. Dibimbingan oleh SUDIRMAN YAHYA, SUDRADJAT, YADI SETIADI, dan KOMARUDDIN IDRIS.

Areal pengembangan kakao umumnya mengarah pada lahan dengan tingkat kesuburan tanah rendah. Salah satu kriteria yang menjadi hal penting dalam pengusahaan perkebunan kakao adalah penggunaan bibit bermutu. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mengkaji penggunaan fosfat alam Ayamaru Papua (FA) sebagai pupuk pada pembibitan kakao yang diinokulasi fungi mikoriza arbukula (FMA), bakteri pelarut fosfat (BPF), dan pemberian asam humat. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan inokulum FMA, isolat BPF, tingkat dosis asam humat, maupun kombinasi ketiganya yang efektif meningkatkan daya guna FA sehingga diperoleh kualitas bibit kakao yang lebih baik.

Penelitian dilaksanakan dalam jaring naungan 60% selama empat bulan. Bibit kakao ditanam pada polibag 20 cm x 30 cm dengan media tanah Ultisol Jasinga. Benih kakao yang digunakan adalah UAH F1 dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, sedangkan FA berasal dari Distrik Ayamaru, Papua. Penelitian terdiri atas empat tahapan percobaan dan dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dua faktor yang. Faktor pertama pada percobaan I, II, dan III adalah dosis FA: 0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0 g P2O5/bibit dan 2.0 g P2O5 SP36/bibit sebagai pembanding. Faktor kedua pada

percobaan I adalah inokulasi FMA : tanpa FMA (Mo), FMA indigenous Manokwari (M1), dan FMA Mycofer (M2). Faktor kedua pada percobaan II adalah inokulasi BPF :

tanpa BPF (Bo), isolat RJM.30.2 (B1), dan isolat FT.3.2 (B2). Faktor kedua pada

percobaan III adalah tingkat dosis asam humat yaitu : 0, 1.10-3, 2.10-3, dan 3.10-3 mL asam humat/bibit. Pada percobaan IV, faktor pertama adalah dosis FA : 0, 1.0, 2.0, 4.0 g P2O5/bibit dan 2.0 g P2O5 SP36/bibit sebagai pembanding. Faktor kedua pada

percobaan IV adalah kombinasi hasil terbaik dari percobaan I, II, dan III.

Hasil percobaan I menunjukkan bahwa tingkat dosis FA mulai berpengaruh pada bibit kakao pada umur 4 minggu setelah tanam (MST), sedangkan inokulasi FMA mulai menunjukkan pengaruhnya pada umur 8 MST. Interaksi antara tingkat dosis FA dan inokulasi FMA berpengaruh nyata pada bobot kering tajuk, jumlah daun, serapan P tajuk, kolonisasi akar, dan aktivitas fosfatase asam. Tanggap tinggi bibit, diameter batang, bobot kering akar, dan kadar Aldd media pada pemberian FA 2.0 gP2O5/bibit

tidak berbeda nyata dengan pemberian 2.0 g P2O5 SP36/bibit. Hasil uji Ortogonal

polinomial menunjukkan bahwa tanggap bibit kakao akibat tingkat dosis FA hingga 2.0 g P2O5/bibit adalah linier. Peningkatan dosis FA hingga 2.0 gP2O5/bibit meningkatkan

pertumbuhan bibit kakao, dan pertumbuhan ini lebih meningkat apabila diinokulasi FMA. Pada semua peubah menunjukkan bahwa FMA Mycofer lebih efektif daripada FMA indigenous Manokwari. Pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit, apabila dibandingkan

dengan bibit tanpa FMA, Mycofer lebih efektif meningkatkan bobot kering (127.55%) daripada FMA indigenous Manokwari (95.97%), sedangkan serapan P tajuk masing-masing meningkat sebesar 45.16% dan 21.29%.

Hasil percobaan II menunjukkan bahwa tingkat dosis FA mulai berpengaruh pada bibit kakao umur 4 MST, sedangkan inokulasi BPF mulai menunjukkan pengaruhnya pada umur 6 MST. Interaksi antara tingkat dosis FA dan inokulasi BPF berpengaruh nyata pada bobot kering tajuk, kadar P total, P tersedia, dan Aldd media.


(5)

iv Tanggap diameter batang dan bobot kering akar bibit kakao pada dosis FA 2.0 gP2O5/bibit tidak berbeda nyata dengan pemberian 2.0 g P2O5 SP36/bibit, sedangkan

tanggap tinggi, jumlah daun, dan nisbah tajuk-akar bibit tertinggi diperoleh pada pemberian 2.0 g P2O5 SP36/bibit. Hasil uji Ortogonal polinomial menunjukkan bahwa

tanggap bibit kakao akibat tingkat dosis FA hingga 2.0 g P2O5/bibit adalah linier.

Peningkatan dosis FA hingga 2.0 gP2O5/bibit meningkatkan pertumbuhan bibit kakao,

dan pertumbuhan ini lebih meningkat bila diinokulasi BPF. Pada semua tingkat dosis FA, tanggap bobot kering tajuk memberikan hasil tertinggi bila diinokulasi isolat FT.3.2 dan yang terendah diperoleh pada bibit tanpa inokulasi BPF. Pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit, bila dibandingkan dengan kontrol, isolat RJM.30.2 meningkatkan bobot

kering tajuk sebesar 48.41% dan kadar P tersedia 3.12%, sedangkan isolat FT.3.2 masing-masing 78.18% dan 9.36%. .

Hasil percobaan III menunjukkan bahwa baik tingkat dosis FA maupun asam humat mulai berpengaruh pada bibit kakao umur 4 MST. Interaksi antara tingkat dosis FA dan tingkat dosis asam humat berpengaruh nyata pada tinggi, diameter batang, bobot kering tajuk, kadar P total, P tersedia, dan Aldd media. Hasil uji Ortogonal

polinomial menunjukkan bahwa tanggap bibit kakao akibat tingkat dosis FA hingga 2.0 gP2O5/bibit maupun tingkat dosis asam humat adalah linier. Pada dosis asam humat

3.10-3 mL, peningkatan dosis FA hingga 2.0 g P2O5/bibit secara linier meningkatkan

kadar P tersedia sebesar 117% dan bobot kering tajuk 49.02%. Sedangkan pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit, peningkatan dosis asam humat hingga 3.10-3 mL/bibit secara linear

meningkatkan kadar P tersedia sebesar 44.15% dan bobot kering tajuk 62.12%. Pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit, bila dibandingkan dengan kontrol, dosis 1.10-3, 2.10-3, dan

3.10-3 mL asam humat/bibit masing-masing memberikan kadar P tersedia berturut-turut 7.82%, 29.75%, dan 40.81%; dan bobot kering tajuk 39.13%, 45.27%, dan 70.08%.

Inokulum FMA terbaik dari percobaan I adalah FMA Mycofer, isolat terbaik dari percobaan II adalah isolat FT.3.2, sedangkan dosis asam humat terbaik dari percobaan III adalah 3.10-3 mL/bibit. Oleh karena itu faktor kedua percobaan IV adalah kombinasi: Mycofer + 3.10-3 mL asam humat (MH), Mycofer + isolat FT.3.2 (MB), isolat FT.3.2 + 3.10-3 mL asam humat (BH), dan Mycofer + isolat FT.3.2 + 3.10

-3

mL asam humat (MBH). Baik tingkat dosis FA maupun perlakuan kombinasi telah menunjukkan pengaruhnya pada bibit kakao umur 4 MST. Interaksi antara tingkat dosis FA dan kombinasi perlakuan berpengaruh nyata pada tanggap bobot kering tajuk, serapan P tajuk, aktivitas fosfatase asam, kolonisasi akar, pH media, P total, P tersedia, dan kadar Aldd media. Tanggap bibit kakao akibat dosis FA hingga 4.0 g P2O5/bibit

pada semua perlakuan kombinasi untuk sebagian besar peubah adalah linier. Namun demikian, perlakuan kombinasi yang melibatkan inokulasi FMA memberikan hasil terbaik dibandingkan tanpa inokulasi FMA. Terhadap bobot kering tajuk keefektifan FMA Mycofer adalah 104.29%, asam humat 4.38%, dan bakteri pelarut fosfat 4.24%, terhadap serapan P tajuk berturut-turut 191.00%, 30.20% dan 18.31%, terhadap kolonisasi akar 681.82%, 10.26%, 6.17%, terhadap aktivitas fosfatase asam 30.07%, 7.58%, 7.34%, sedangkan terhadap efisiensi FA adalah 104.29%, 4.38%, dan 4.24%.

Perlakuan kombinasi yang diberikan adalah untuk meningkatkan kadar P tersedia dan menurunkan kadar Aldd. Perlakuan kombinasi dengan peningkatan dosis

FA hingga 2.0 g P2O5/bibit menyebabkan meningkatnya kolonisasi akar dan aktivitas

fosfatase asam sejalan dengan menurunnya kadar Aldd media, tetapi peningkatan dosis

selanjutnya hingga 4.0 g P2O5/bibit menurunkan kolonisasi akar dan aktivitas fosfatase


(6)

v

Tanggap pertumbuhan dan kadar P tersedia pada bibit terhadap FA hingga 4.0 g P2O5/bibit masih meningkat secara linier. Tanggap pertumbuhan bibit dan kadar P

tersedia lebih ditingkatkan apabila diberi asam humat, inokulasi BPF dan FMA. Sintesis asam-asam organik oleh BPF dan pelepasan asam fosfatase ke media oleh akar bibit yang diinokulasi FMA mengidikasikan terjadinya mekanisme eksternal pelarutan FA.

Kata kunci: Theobroma cacao, Gigaspora margarita, Glomus etunicatum, Glomus manihotis, Glomus aggregatum, Acaulospora tuberculata,

Acaulospora scrobiculata


(7)

vi

@ Hak Cipta milik IPB tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

vii

TANGGAP MORFOFISIOLOGI BIBIT KAKAO

YANG DIBERI FOSFAT ALAM AYAMARU PAPUA,

ASAM HUMAT, INOKULASI FMA, DAN

BAKTERI PELARUT FOSFAT

Oleh

ANTONIUS SUPARNO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(9)

viii Judul Disertasi : Tanggap Morfofisiologi Bibit Kakao yang Diberi Fosfat

Alam Ayamaru Papua, Asam Humat, Inokulasi FMA, dan Bakteri Pelarut Fosfat

Nama : Antonius Suparno NIM : A361040081

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc Dr. Ir. Sudradjat, MS K e t u a Anggota

Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 9 Mei 2008 Tanggal Lulus : 23 Mei 2008


(10)

ix

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan atas segala hikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini telah dilaksanakan sejak bulan Agustus 2006 di Kebun Percobaan Cikabayan IPB, Bogor. Disertasi ini memuat satu bab yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Bab 3 berjudul Peranan FMA dalam Tanggap Bibit Kakao terhadap Fosfat Alam Ayamaru, dengan judul artikel Pertumbuhan dan Serapan P Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) yang Diberi Fosfat Alam Papua dan Inokulasi Mikoriza sedang menunggu penerbitan di Jurnal Buletin Agronomi Vol.XXXVI No. 1 April Th. 2008.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. Sudradjat, MS, Bapak Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala perhatian dan bimbingannya selama penulis mempersiapkan dan melaksanakan penelitian hingga penulisan disertasi ini.

2. Staf Dosen pada Program Pascasarjana IPB atas bimbingannya dalam perkuliahan dan praktikum selama penulis mengikuti program S3.

3. Rektor Unversitas Negeri Papua Manokwari yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengikuti program S3 di Program Studi Agronomi pada Program Pascasarjana IPB

4. Rektor IPB, Dekan Pascasarjana, dan Ketua Program Studi Agronomi IPB atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program S3 dan penggunaan fasilitas yang tersedia

5. Manajemen Program Due-Like Unipa-Dikti atas beasiswa pendidikan yang diberikan kepada penulis, sehingga dapat membantu penulis dalam melaksanakan pendidikan S3

6. Ayah dan Ibu di Yogyakarta, keluarga kakanda B. Tukidjo, Sudarisme, Tum, dan adinda Tris di Merauke, keluarga besar Opung Marpurada di Medan dan Jakarta, istri tercinta Ir. Ida Nurhayati Gultom, ananda Gideon Veritatis Parmonang dan Truly Modestia Hasian, Ichan dan keluarga Jimmy Taroreh di Manokwari, atas dukungan doa, perhatian, dan pengorbanannya selama penulis menempuh pendidikan S3 ini.


(11)

x

7. Rekan mahasiswa S2 dan S3 Pascasarjana IPB dan laboran atas bantuan dan kerjasama yang telah diberikan, kepada pak Abimanyu dan Ibu Yudi, pak Yulius, pak Iwan Sasli, pak Wasgito, pak Takdir, mbak Faiq, mbak Susan dan semua rekan dari Papua

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan seluruhnya yang telah membantu penulis selama melaksanakan pendidikan S3

Semoga segala perhatian, bantuan, dan pengorbanan bapak dan ibu serta saudara/saudari sekalian mendapatkan berkat dan imbalan dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2008 Antonius Suparno


(12)

xi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gunung Kidul pada tanggal 16 Juni 1964 sebagai anak ke enam dari tujuh bersaudara dari ayah P. Jatmodikromo dan M. Sadjem. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih Manokwari, lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Ilmu Tanaman pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung dan menamatkannya pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor di Program Studi Agronomi pada Program Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Program Due-Like Unipa-Dikti tahun 2004.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Negeri Cenderawasih Manokwari sejak tahun 1991. Pada tahun 2001, Fakultas Pertanian ini telah dikembangkan menjadi Universitas Negeri Papua Manokwari.

Karya ilmiah berjudul Pengaruh Pemberian Fosfat Alam Ayamaru Papua dan Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) terhadap Pertumbuhan Bibit Kakao telah disajikan pada Seminar Nasional dan Kongres II Asosiasi Mikoriza Indonesia di Bogor pada bulan Juli 2007. Karya ilmiah lain berjudul Pengaruh Pemberian Fosfat Alam Ayamaru Papua dan Kombinasi Asam Humat, Inokulasi FMA dan Bakteri Pelarut Fosfat terhadap Pertumbuhan Bibit Kakao telah disajikan pada Simposium, Seminar Nasional dan Kongres IX Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) di Unpad Bandung pada November 2007. Artikel lain berjudul Pertumbuhan dan Serapan P Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) yang Diberi Fosfat Alam Papua dan Inokulasi Mikoriza akan diterbitkan pada Jurnal Buletin Agronomi Vol.XXXVI No. 1 April Th. 2008. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

Di samping melaksanakan pendidikan S3, penulis telah mengikuti Pelatihan Identifikasi Jamur Mikoriza Arbuskula di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bidang Botani-Pusat Penelitian Biologi pada bulan Agustus 2007.


(13)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……..……… vii

DAFTAR GAMBAR ………. ix

DAFTAR LAMPIRAN ………. xiii

I PENDAHULUAN Latar Belakang …….………. 1

Tujuan dan Manfaat ………. 11

Hipotesis ……….. 12

II TINJAUAN PUSTAKA Ketersediaan Fosfor Tanah ……….. 13

Peranan FMA terhadap Penyerapan Fosfor ………... 16

Fosfat Alam Ayamaru Papua ……… 19

Bakteri Pelarut Fosfat ……….. 23

Peranan Asam Humat ……… ………... 26

III TANGGAP BIBIT KAKAO YANG DIINOKULASI FMA PADA BERBAGAI DOSIS FOSFAT ALAM AYAMARU Pendahuluan ………. 31

Bahan dan Metode ……….. 33

Hasil ………. 38

Pembahasan ………. 51

Kesimpulan ………….……….. 58

IV TANGGAP BIBIT KAKAO YANG DIINOKULASI INOKULASI BAKTERI PELARUT FOSFAT PADA BERBAGAI DOSIS FOSFAT ALAM AYAMARU Pendahuluan ……….... 61

Bahan dan Metode ……….………... 63

Hasil ……… 68

Pembahasan …….………... 79


(14)

xiii V TANGGAP BIBIT KAKAO PADA BEBERAPA DOSIS FOSFAT

ALAM AYAMARU DAN ASAM HUMAT

Pendahuluan ……….... 86

Bahan dan Metode ..………. 88

Hasil ………..………... 92

Pembahasan ………. 104

Kesimpulan ………….………. 109

VI TANGGAP BIBIT KAKAO YANG DIINOKULASI FMA DAN BAKTERI PELARUT FOSFAT PADA BERBAGAI DOSIS FOSFAT ALAM AYAMARU YANG DIBERI ASAM HUMAT Pendahuluan ……… 112

Bahan dan Metode……… 115

Hasil ………..……….. 119

Pembahasan ……… 133

Kesimpulan ………….……… 139

VII PEMBAHASAN UMUM ………. 141

VIII KESIMPULAN DAN SARAN ………. 154


(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Karakteristik hasil analisis kandungan unsur dari asam humat dan

asam fulvat (Schnitzer 1997) ... 29 2 Tanggap tinggi, diameter batang, bobot kering akar, dan nisbah

tajuk-akar bibit kakao terhadap dosis FA pada inokulum FMA yang berbeda ... 39 3 Tanggap jumlah daun dan bobot kering tajuk bibit kakao terhadap dosis

fosfat alam pada inokulum FMA yang berbeda ... 43 4 Tanggap kadar P tajuk, pH media, kadar P tersedia, kadar P total, kadar

Aldd media bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada inokulum FMA

yang berbeda ... 45 5 Tanggap serapan P tajuk, kolonisasi akar, dan kadar fosfatase asam akar

bibit kakao terhadap dosis FA dan inkulum FMA yang berbeda ... 48 6 Jenis-jenis asam organik yang dihasilkan oleh inkubasi isolat bakteri ... 69 7 Tanggap tinggi, diameter batang, jumlah daun, bobot kering akar, dan

nisbah tajuk-akar bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda ...

70 8 Tanggap kadar P tajuk, serapan P tajuk, dan pH media terhadap dosis

fosfat alam pada isolate BPF yang berbeda ... 74 9 Tanggap bobot kering tajuk, kadar P tersedia, kadar P total, dan kadar

Aldd media akibat dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda ... 76

10 Tanggap jumlah daun, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar bibit

kakao terhadap dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat ... 93 11 Tanggap tinggi dan diameter batang bibit kakao akibat dosis fosfat alam

pada berbagai dosis asam humat ... 96 12 Tanggap bobot kering tajuk, kadar P tersedia, kadar P total, dan

kadar Aldd media akibat dosis fosfat alam pada berbagai dosis

asam humat ... 98 13 Tanggap kadar P, serapan P tajuk bibit kakao, dan pH media terhadap

dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat ... 102 14 Tanggap tinggi, diameter batang, jumlah daun, kadar P tajuk, bobot

kering akar, dan nisbah tajuk-akar bibit kakao terhadap dosis

fosfat alam pada berbagai kombinasi M, B, H ... 121 15 Uji Ortogonal polinomial tanggap bobot kering tajuk, serapan P tajuk,

kolonisasi akar, kadar fosfatase asam, kadar P tersedia, kadar P total, pH media, dan kadar Aldd akibat dosis fosfat alam pada berbagai

kombinasi M,B, H ... 127 16 Uji Ortogonal kontras bobot kering tajuk, serapan P tajuk,

kolonisasi akar, dan kadar fosfatase terhadap berbagai perlakuan

kombinasi M, B, dan H ... 129


(16)

xv 17 Tanggap kadar P tersedia, kadar P total, pH media, dan kadar Aldd akibat

dosis fosfat alam pada berbagai perlakuan kombinasi M, B, dan H ... 130 18 Uji Ortogonal kontras kadar P tersedia, kadar P total, pH, dan kadar Aldd

media akibat berbagai perlakuan kombinasi M, B, H ... 132 19 Efisiensi FA terhadap bobot kering tajuk bibit kakao pada dosis FA 4.0 g


(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Bagan alir tahapan penelitian ……… 10 2 Struktur infeksi FMA pada sel-sel kortek akar (Diouf et al. 2003) ... 17 3 Lokasi deposit fosfat alam Ayamaru Papua ... 21 4 Model proses-proses utama yang menunjukkan reduksi jerapan P dan

peningkatan ketersediaan P oleh aplikasi residu organik ke tanah (Haynes

& Mokolobate 2001)………... ………... 27 5 Pengaruh dosis fosfat alam dan jenis inokulum FMA terhadap tinggi (a),

diameter batang (b), bobot kering akar dan nisbah tajuk-akar (c)

bibit kakao ... 41 6 Penampilan bibit kakao yang diberi fosfat alam dan inokulasi FMA ……… 42 7 Tanggap Jumlah daun dan bobot kering tajuk akibat dosis fosfat alam pada

inokulasi FMA yang berbeda... 43 8 Pengaruh tingkat dosis fosfat alam dan ionokulasi FMA terhadap kadar P

tajuk dan kadar P tersedia ... 46 9 Pengaruh tingkat dosis fosfat alam dan inokulum FMA terhadap pH media,

kadar P total, dan Aldd media bibit kakao ... 47

10 Tanggap serapan P tajuk, kolonisasi akar, dan aktivitas fosfatase asam

akibat dosis fosfat alam pada inokulum FMA yang berbeda... 49 11 Spora spesies FMA yang terdapat dalam inokulum Mycofer dan spora

spesies FMA indigenous Manokwari ... 50 12 Kolonisasi akar oleh FMA Mycofer dan FMA indigenous Manokwari …….. 51 13 Tanggap tinggi, diameter batang, dan jumlah daun bibit kakao terhadap

dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda... 71 14 Tanggap jumlah daun (a) dan bobot kering akar (b) bibit kakao terhadap

dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda... 72 15 Penampilan pertumbuhan bibit kakao yang diinokulasi BPF dan dosis

fosfat alam ... 73 16 Tanggap kadar P Tajuk, serapan P tajuk, dan pH media akibat dosis fosfat

alam pada isolat BPF yang berbeda. ... 75 17 Tanggap bobot kering tajuk, kadar P tersedia, kadar P total, dan kadar Aldd

media akibat dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda ... 78 18 Tanggap jumlah daun, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar akibat

tingkat dosis fosfat dan dosis asam humat ... 94 19 Penampilan bibit kakao akibat pengaruh berbagai dosis asam humat dan


(18)

xvii 20 Tanggap tinggi dan diameter batang bibit kakao akibat dosis fosfat alam

pada berbagai dosis asam humat... 97 21 Tanggap bobot kering tajuk, kadar P tersedia, kadar P total, dan kadar Aldd

media akibat dosis FA pada berbagai dosis asam humat... ... 99 22 Kurva tiga dimensi tanggap bobot kering tajuk akibat dosis fosfat alam

pada berbagai dosis asam humat. …... 100 23 Kurva kontour tanggap bobot kering tajuk akibat dosis fosfat alam pada

berbagai dosis asam humat ... 101 24 Tanggap kadar P tajuk, serapan P tajuk, dan kadar Aldd mediaakibat

dosis fosfat alam pada berbagai dosisi asam humat ... 103 25 Penampilan bibit kakao akibat kombinasi M, B,H pada dosis P dan P36 , dan

akibat tingkat dosis fosfat alam Ayamaru pada kombinasi MBH ... ... 120 26 Kurva tanggap tinggi dan diameter batang bibit kakao terhadap dosis fosfat

alam dan histogram perlakuan kombinasi FMA (M), bakteri pelarut fosfat

(B), dan asam humat (H) ... 123 27 Kurva tanggap jumlah daun dan bobot kering akar bibit kakao terhadap

dosis fosfat alam dan histogram perlakuan kombinasi mikoriza (M), bakteri

pelarut fosfat (B), dan asam humat (H) ... 124 28 Kurva tanggap nisbah tajuk-akar dan kadar P tajuk terhadap dosis fosfat

alam dan histogram perlakuan kombinasi mikoriza (M), bakteri pelarut

fosfat (B), dan asam humat (H) ... 125 29 Kurva tanggap bobot kering tajuk, serapan P tajuk, kolonisasi akar dan

aktivitas fosfatase asam akibat dosis fosfat alam pada berbagai perlakuan

kombinasi M,B, H ... 127 30 Tanggap kadar P tersedia, kadar P total, pH, dan kadar Aldd media akibat

dosis fosfat alam pada berbagai kombinasi mikoriza (M), bakteri pelarut

fosfat (B), dan asam humat (H)... 131 31 Fenomena rizosfer akibat perlakuan pemberian fosfat alam Ayamaru (FA),

asam humat, inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA), dan


(19)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Penghitungan jumlah spora dengan teknik penyaringan basah

(Gaderman & Nicholson 1963) ... 166

2 Metode Pengujian Most Probable Number FMA (Norris et al. 1992)…….. 167

3 Perhitungan kolonisasi akar dengan teknik pewarnaan Akar dari Phillips dan Hayman (1970) ... 168

4 Komposisi media Pikovskaya ... 169

5 Komposisi media kaldu nutrien ... 170

6 Hasil analisis fosfat alam Ayamaru Papua di Balai Penelitian Tanah Pusat Bogor tahun 2006 ... 171

7 Analisis kimia tanah Ultisol Jasinga ... 172

8 Metode analisis fosfatase asam (Tabatabai & Bremer 1969) ... 173

9a F-hitung analisis ragam peubah tanggap bibit kakao yang diinokulasi FMA pada berbagai dosis FA ………. 175

9b F-hitung analisis ragam peubah tanggap bibit kakao yang diinokulasi BPF pada berbagai dosis FA ……… 176

9c F-hitung analisis ragam peubah tanggap bibit kakao pada berbagai konsentrasi asam humat dan dosis FA ………... 177

9d F-hitung analisis ragam peubah tanggap bibit kakao yang diinokulasi kombinasi FMA, BPF, dan asam humat pada berbagai dosis FA ……….. 178

10a F-hitung analisis Ortogonal polinomial tanggap bibit kakao yang diinokulasi FMA pada berbagai dosis FA ………. 179

10b F-hitung analisis Ortogonal polinomial tanggap bibit kakao yang diinokulasi BPF pada berbagai dosis FA ……….. 180

10c F-hitung analisis Ortogonal polinomial tanggap bibit kakao yang diaplikasi asam humat pada berbagai dosis FA ……… 181

10d F-hitung analisis Ortogonal polinomial tanggap bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada berbagai kombinasi mikoriza (M), bakteri pelarut fosfat (B), dan asam humat (H)……… ………... 183

11 Nilai F-hitung Uji Ortogonal kontras perlakuan kombinasi FMA, bakteri pelarut posfat, dan Asam Humat ……….. 185

12a Deskripsi Glomus aggreratum Schenck & Smith (1982) ... 186

12b Deskripsi Acaulospora scrobiculata Trappe (1977)………... 187


(20)

I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan dalam budidaya pertanian terutama tanaman tahunan seperti kakao salah satunya ditentukan oleh kualitas bibit. Untuk mendapatkan bibit yang berkualitas diperlukan penanganan sejak awal baik dengan pemupukan, maupun dengan menginokulasikan agen hayati yang menguntungkan sehingga apabila bibit ditanam dan dipelihara di lapang dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal.

Pengembangan perkebunan kakao sangat penting karena sektor ini berperan dalam menyediakan lapangan kerja, sumber pendapatan petani, dan sumber devisa negara (Hartemink 2003). Dalam perkembangannya, budidaya kakao di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat baik dari segi perluasan areal maupun produksinya. Luas perkebunan kakao pada tahun 2006 telah mencapai 1 191 742 ha dengan produksi mencapai 779 474 ton (Dirjen Perkebunan 2007).

Upaya meningkatkan produksi kakao di Indonesia terus dilakukan di antaranya adalah dengan perluasan areal. Perluasan areal perkebunan kakao diawali dengan penyediaan bibit yang memiliki performa baik sehingga ketika ditanam di lapang memiliki kemampuan hidup dan berproduksi tinggi. Namun demikian lahan-lahan subur yang tersedia semakin terbatas sehingga perluasannya mengarah pada lahan-lahan marginal yang banyak terdapat di luar Pulau Jawa seperti Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Lahan-lahan tersebut kebanyakan merupakan lahan kering yang mempunyai tingkat kesuburan tanah rendah. Oleh karena itu dalam usaha pengelolaannya diperlukan pemupukan. Beberapa jenis pupuk yang umum digunakan


(21)

2 meliputi Urea, TSP, SP36, dan KCl sedangkan agen hayati yang diinokulasikan adalah fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan bakteri pelarut fosfat (BPF).

Pada saat penggunaan pupuk konvensional dibatasi oleh masalah biaya, fosfat

alam lokal dinilai berpotensi sebagai alternatif pupuk P (Goenadi et al. 2000; Arcand & Schneider 2006). Secara global aplikasi langsung fosfat alam meningkat

karena perkembangan yang cepat di bidang pertanian dan kebutuhan akan fosfat yang murah di negara berkembang (Mayhew 2003). Keuntungan penerapan teknologi ini adalah bahwa fosfat alam yang bermutu rendahpun dapat digunakan dan akan lebih murah (Notohadiprawiro 1989). Di samping itu tanah-tanah tropis yang mengandung Al dan Fe tinggi serta pH tanah yang rendah, fosfat alam bekerja lebih efektif daripada TSP karena P yang dikandungnya tidak mudah terjerap oleh Al dan Fe. Namun demikian faktor kendala utama dalam penggunaan fosfat alam (FA) secara langsung adalah pelepasan P yang lambat tersedia untuk memenuhi kecukupan P yang dibutuhkan tanaman (Vassilev et al. 2001). Oleh karena itu fosfat alam ini lebih sesuai apabila diaplikasikan pada tanaman tahunan.

Meningkatnya penggunaan pupuk menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya pupuk terus meningkat. Dewasa ini penggunaan pupuk tidak hanya diaplikasikan pada tanaman pangan, tetapi juga telah meluas pada tanaman perkebunan. Sebagai akibatnya kebutuhan pupuk yang terus meningkat di masa yang akan datang adalah sesuatu yang wajar meskipun efisiensinya belum diperhatikan. Sehubungan dengan hal itu penggunaan fosfat alam sebagai alternatif sumber P juga harus dikaitkan dengan efisiensinya. Penggunaan fosfat alam secara langsung telah banyak dilakukan pada tanah-tanah masam tropis sebagai sumber P alternatif yang potensial (Kimiti & Smithson 2002).


(22)

3 Di Indonesia penggunaan fosfat alam sebagai pupuk masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan bukan hanya endapan fosfat alam yang jumlahnya tidak banyak tetapi juga karena kadar P nya sangat bervariasi dari rendah sampai tinggi, dan umumnya tergolong rendah (Sabiham & Amat 1990). Di lain pihak terdapat lahan kering yang cukup luas yang memiliki sifat-sifat di antaranya kandungan unsur hara (terutama P, Ca dan Mg) yang rendah serta kemasaman tanah dan kadar Aldd tinggi. Pada

umumnya fosfat alam dengan kandungan P dan Ca yang cukup tinggi diharapkan dapat menambah ketersediaan P bagi tanaman meskipun unsur tersebut dalam bentuk lambat tersedia. Idris (1995) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pemberian fosfat alam (Bogor dan Lamongan) nyata memperbaiki status P dan Ca tanah. Salah satu upaya untuk mengatasi kekurangan unsur hara dalam tanah adalah penggunaan fosfat alam yang berasal dari Distrik Ayamaru, Papua. Sampai sejauh ini belum dikembangkan secara optimal.

Kadar P total dan P terekstrak Bray I dari fosfat alam Ayamaru (FA) cukup tinggi yaitu 7.77% dan 142 ppm P. Kation-kation basa tergolong rendah kecuali Ca. Oleh karena itu fosfat alam Ayamaru Papua (FA) ini mempunyai peluang yang cukup besar dalam menyediakan P sebagai pupuk P pada tanah Ultisol (Musaad et al. 1996). Melalui pemanasan status P dapat ditingkatkan (Palmer & Gilkes, 1982; Musaad et al. 1996), dalam hal mana semakin tinggi temperatur pemanasan (500, 600, dan 700o C) maka P-larut sitrat 2%, P-larut air, dan P-total semakin meningkat dengan korelasi (r) berturut-turut 0.976, 0.964, dan 0.923. Status P tertinggi diperoleh melalui pemanasan hingga 700o C dengan P-larut air meningkat 320.64% sedangkan P-total meningkat 27.38%. Pemberian FA yang telah dipanaskan sebagai pupuk pada tanaman jagung varietas Arjuna dapat meningkatkan keefektifan agronomi hingga 151.44%


(23)

4 dibandingkan dengan TSP. Di samping itu fosfat alam bermanfaat ganda karena selain sebagai sumber P juga dapat meningkatkan pH karena dengan pemanasan cenderung menaikkan pH dari 6.19 (tanpa pemanasan) menjadi pH 6.88 dengan temperatur 600oC (Musaad et al. 1996).

Rendahnya tingkat kelarutan fosfat alam menjadi kendala dalam pemanfaatan secara langsung untuk bidang pertanian. Rumawas (1990) menyatakan bahwa pemanfaatan fosfat alam secara langsung atau dengan perlakuan minim dalam pertanian dapat ditempuh melalui tiga jalur, yaitu (1) secara fisik (penggilingan hingga 100 mesh, kalsinasi), (2) kimia (pelarutan dengan asam keras, asam humat), dan (3) mikrobiologik (mikoriza, mikroba pelarut fosfat). Bakteri pelarut fosfat dan asam humat berfungsi meningkatkan kelarutan fosfat, sedangkan penyerapan oleh tanaman dapat ditingkatkan dengan adanya simbiosis akar tanaman dengan fungi mikoriza.

Kakao diketahui dapat bersimbiosis dengan fungi mikoriza arbuskula (FMA) yang memegang peran penting dalam menyerap hara P (Rice & Greenberg 2000; Miyakasa & Habte 2001). Inokulasi dengan FMA adalah cara yang efisien untuk meningkatkan serapan P tanaman (Smith 2002; FAO 2005). Hal ini berhubungan dengan peningkatan penyerapan hara P oleh penyebaran hifa mikoriza dan lebih nyata pada tanah dengan kesuburan rendah (John 1996; Garcia-Garrido et al. 2000). Fungi mikoriza arbuskula (FMA) melakukan penetrasi pada epidermis akar melalui tekanan mekanis dan aktivitas enzim yang selanjutnya tumbuh menuju kortek (Garcia-Garrído & Ocampo 2002). Di dalam jaringan kortek mikoriza membentuk arbuskula yang berfungsi sebagai tempat pertukaran hara atau senyawa lain antara mikoriza dan tanaman inang. Pada beberapa spesies FMA membentuk vesikel yang berasal dari penggelembungan hifa terminal (Jarstfer & Sylvia 1993; Smith et al. 2003). Oleh


(24)

5 karena itu tanggap tingkat pertumbuhan bibit kakao siap tanam biasanya lebih baik dibandingkan dengan tanaman tanpa inokulasi dan akan sangat berarti setelah di lapang (Yahya et al. 2000).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi bibit kakao dengan Glomus fasciculatum menghasilkan serapan Ca, Mn, bobot kering tanaman dan diameter batang yang lebih besar dibandingkan dengan Acaulospora delicata (Widiastuti & Baon 1994). Pada bibit kakao yang diinokulasi dengan FMA campuran Acaulospora sp., Gigaspora sp. dan Glomus sp. lebih tahan terhadap cekaman kekeringan hingga 55% (Yahya et al. 2000).

Penggunaan bakteri pelarut fosfat (BPF) dalam bidang pertanian telah banyak dilakukan karena mempunyai peranan yang sangat besar dalam membantu penyediaan hara P bagi tanaman. Hal ini karena meskipun biasanya P total dalam tanah terdapat dalam jumlah yang banyak tetapi ketersediaannya bagi tanaman sangat rendah. Kondisi demikian sering menjadi faktor pembatas terhadap pertumbuhan tanaman (Mikanová & Nováková 2002). Tanaman hanya menyerap 10-25% P yang diberikan melalui pemupukan, sebagian besar mengakibatkan perubahan kimia dalam tanah menjadi bentuk tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman (Jumaniyazova et al. 2004). Bakteri pelarut fosfat mampu mengubah bentuk-bentuk fosfat yang tidak terlarut menjadi bentuk terlarut sehingga tersedia bagi tanaman antara lain melarutkan fosfat yang terikat oleh aluminium, besi maupun kalsium serta mampu memineralisasi fosfat organik misalnya fitat. Bakteri pelarut fosfat tersebut antara lain Azospirillum spp., Bacillus spp., Pseudomonas spp., Enterobacter spp. (Toro et al. 1996). Pelepasan P dari batuan fosfat ditingkatkan oleh inokulasi dengan bakteri pelarut fosfat atau oleh eksudat akar pada beberapa tanaman (Jones & Farrar 1999). Namun demikian aktifitas


(25)

6 mikroorganisme pelarut fosfat di antaranya dipengaruhi oleh jenis fosfat dalam media yang dapat dilarutkan (Mikanová & Nováková 2002).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan kemampuan berbagai spesies bakteri dalam melarutkan senyawa fosfat sukar larut seperti trikalsium-fosfat, dikalsium-fosfat, hidroksiapatit, dan batuan fosfat (fosfat alam). Di antara genus bakteri yang memiliki kemampuan tersebut adalah Pseudomonas, Bacillus, Rhizobium, Burkholderia, Achromobacter, Agrobacterium, Micrococcus, Flavobacterium, dan Erwinia. Penggunaan bakteri pelarut fosfat tersebut sebagai inokulan secara simultan meningkatkan penyerapan P oleh tanaman dan meningkatkan hasil. Khususnya strain dari genus Pseudomonas, Bacillus dan Rhizobium merupakan pelarut fosfat yang paling kuat (Suh 2005). Karti (2003) menunjukkan bahwa isolat bakteri pelarut fosfat RJM.30.2, FT.3.2, FT.3.3, B8016495, dan B8016498 mempunyai potensi meningkatkan serapan P pada rumput S. splendida dan C. gayana, sedangkan Noor (2003) menunjukkan bahwa Pseudomonas fluorescens dapat meningkatkan kelarutan P pada tanah Ultisol yang diaplikasi fosfat alam Tunisia.

Bahan humat telah digunakan secara luas di dunia (Fataftah 2001). Bahan humat merupakan 70-80% dari bahan organik yang terdapat pada tanah-tanah mineral. Bahan humat merupakan molekul organik berbobot molekul tinggi dengan sistem yang komplek yang tersusun dari inti polimer fenolik yang dihasilkan oleh degradasi residu organik dan aktifitas sintetik mikroorganisme (Stevenson 1994). Bahan humat terdapat dalam bentuk heterogen, komplek, dan struktur amorphos berdimensi tiga (Haynes & Mokolobate 2001). Menurut Stevenson (1994) bahan humat bermuatan negatif, memiliki bobot molekul tinggi, mampu membentuk ikatan yang kuat dengan mengkomplek ion logam polivalen seperti Al. Ikatan terbentuk secara elektrostatik


(26)

7 (pertukaran anion) dan adsorbsi spesifik yaitu pertukaran ikatan, yang secara simultan meliputi pengkelatan dan pembentukan komplek dalam larutan tanah.

Penggunakan senyawa humat pada tanah-tanah pertanian memberikan banyak keuntungan terutama pada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah dan merupakan bagian integral ekosistem pertanian yang memainkan peranan penting dalam siklus hara dan karbon secara global (MacCarthy 2003). Bahan humat diketahui dapat meningkatkan keefektifan fosfat alam karena mampu melepaskan PO43- dan Ca2+

dari fosfat alam yang sukar larut, mampu mengkomplek logam dari larutan dan menstimulir metabolisme mikrobia (Mayhew 2004). Aplikasi asam humat pada tanah berpengaruh terhadap penyerapan hara makro maupun mikro yaitu melalui pengaruhnya terhadap laju pelepasan unsur hara dari tanah (Lulakis & Petsas 1995), terutama Fe, Zn, dan Mn (Ayuso et al. 1996), juga mempengaruhi translokasi Fe dari akar ke tajuk (MacCharty et al. 1990).

Mikoriza, asam humat, dan bakteri pelarut fosfat selain diaplikasikan terpisah, sering diaplikasi secara bersamaan sehingga diperoleh efek yang lebih baik. Senyawa humat mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui peningkatan penyerapan hara makro dan mikro, mempengaruhi pembentukan akar-akar baru dan meningkatkan permeabilitas membran akar (Lulakis & Petsas 1995). Banyaknya akar-akar yang baru dengan permeabilitas yang tinggi akan menguntungkan proses kolonisasi akar oleh mikoriza, karena kolonisasi mikoriza umumnya terjadi pada akar-akar muda (Sieverding 1991) dan proses kolonisasi mikoriza ini akan mudah terjadi pada akar-akar dengan permeabilitas membran yang tinggi (Cooper 1984). Oleh karena itu apabila kolonisasi telah terjadi dengan baik maka akan terbentuk simbiosis mutualistik untuk perkembangan tanaman dan mikoriza.


(27)

8 Azospirillum brasiliense yang diaplikasikan bersama FMA dapat meningkatkan sporulasi dan keefektifan FMA (Hanafiah 2001), meningkatkan aktivitas nitrogenase dan fiksasi N2 untuk membentuk N-NH3 yang digunakan oleh tanaman untuk

meningkatkan aktivitas fotosintesis. Fotosintat yang meningkat dapat mendorong pertumbuhan FMA karena suplai C dari inang tercukupi. A. brasiliense mampu meningkatkan enzim perombak P-organik seperti fitat yang menyebabkan peningkatan P tersedia sehingga meningkatkan fungsi FMA dalam pengambilan P yang disuplai ke tanaman inang untuk pertumbuhannya. Inokulasi ganda Glomus intraradices dan Bacillus subtilis secara nyata meningkatkan biomasa dan akumulasi N dan P dalam jaringan tanaman bawang (Allium cepa L.), dan sedikitnya 75% P pada tanaman berasal dari penambahan fosfat alam (Toro et al. 1997).

Perlakuan ganda BPF dengan mikoriza dapat meningkatkan bobot kering tanaman. Interaksi antara dua FMA Glomus mosseae dan G. fasciculatum dengan bakteri pelarut fosfat Azospirillum sp., Pseudomonas sp. Basillus sp. dan Enterobacter sp. dapat meningkatkan pertumbuhan dan serapan hara tanaman (Toro et al. 1996). Interaksi ganda yang positip terjadi karena adanya pengaruh fisiologis tanaman yang berkaitan dengan asimilasi C. Mikoriza mendapatkan sumber C dari tanaman sehingga dapat berkembang dengan baik.

Interaksi antara tanaman, FMA, dan bakteri pelarut fosfat bersifat spesifik, bergantung pada spesies/kultivar tanaman, spesies FMA, spesies/strain bakteri, dan lingkungannya. Azospirillum sp., Basillus sp., dan Enterobacter sp. berinteraksi positif dengan G. mosseae tetapi berinteraksi negatif dengan G. fasciculatum, sedangkan Pseudomonas sp. berinteraksi positif dengan G. fasciculatum dan tidak berinteraksi dengan G. mosseae (Toro et al. 1996). Kemampuan tanaman mengambil P tanah


(28)

9 sangat dipengaruhi oleh interaksi tanaman dan mikroba (Kaeppler et al. 2000). Oleh karena itu keefektifan bakteri pelarut fosfat, asam humat, dan FMA dalam meningkatkan ketersediaan P, selain bergantung pada jenis bakteri dan FMA itu sendiri, juga sangat bergantung pada jenis tanaman, dan jenis tanah (pupuk) serta interaksi ketiganya.

Meskipun memiliki potensi yang besar, setelah penelitian awal fosfat alam Ayamaru Papua oleh Reynders & Schultz (1958), Schroo & Mouthaan (1960) dan Schroo (1963), penelitian terhadap pemanfaatan fosfat alam Ayamaru ini masih sangat kurang. Penelitian pengaruh pemanasan dan pengasaman fosfat alam Ayamaru terhadap P tersedia telah dilakukan oleh Musaad et al. (1996), sedangkan pengaruh penggunaan bahan organik telah dilakukan oleh Amat (1991). Penggunaan mikoriza, asam humat, dan bakteri pelarut fosfat maupun kombinasinya merupakan alternatif untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan fosfat alam Ayamaru. Meskipun demikian, hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian penggunaan mikoriza, bakteri pelarut fosfat, dan asam humat untuk meningkatkan nilai agronomis fosfat alam Ayamaru Papua. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mempelajari tanggap morfofisiologi bibit kakao yang diberi fosfat alam Ayamaru, asam humat, inokulasi FMA, dan bakteri pelarut fosfat. Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan penelitian sebagaimana tercantum pada bagan alir Gambar 1.


(29)

10 TANGGAP MORFOFISIOLOGI BIBIT KAKAO YANG DIBERI FOSFAT

ALAM AYAMARU PAPUA, ASAM HUMAT, INOKULASI FMA, DAN BAKTERI PELARUT FOSFAT

1. Tanggap bibit kakao yang diinokulasi FMA pada berbagai dosis fosfat alam Ayamaru

Tujuan :

Mendapatkan inokulum FMA efektif dan dosis fosfat alam Ayamaru optimum pada pembibitan kakao

Pendekatan :

Menguji FMA pada beberapa tingkat dosis fosfat alam Ayamaru yang diberikan pada bibit kakao

Hasil yang diharapkan:

Inokulum FMA yang efektif dan dosis optimum fosfat alam Ayamaru pada bibit kakao

2. Tanggap bibit kakao yang diinokulasi bakteri pelarut fosfat pada berbagai dosis fosfat alam Ayamaru

Tujuan :

Mendapatkan isolat yang efektif terhadap fosfat alam Ayamaru yang diberikan pada bibit kakao

Pendekatan :

Penguji bakteri pelarut fosfat pada bebe-rapa tingkat dosis fosfat alam Ayamaru yang diberikan pada bibit kako

Hasil yang diharapkan:

Diperolehisolat bakteri yang efektif dan dosis optimum fosfat alam Ayamaru pada bibit kakao

4.Tanggap bibit kakao yang diinokulasi FMA dan bakteri pelarut fosfat pada berbagai dosis fosfat alam Ayamaru yang diberi asam humat.

Tujuan :

Mendapatkan perlakuan kombinasi yang efektif pada bibit kakao yang diberi FA sehingga diperoleh kualitas bibit yang baik

Pendekatan :

Pengujian kombinasi FMA Mycofer, isolat FT.3.2, dan dosis 3.10-3 mL asam humat/bibit pada pembibitan kakao yang diberi FA

Hasil yang diharapkan :

Kombinasi yang paling efektif untuk meningkatkan serapan P dan pertumbuhan bibit kakao yang diberi FA.

3. Tanggap bibit kakao pada beberapa tingkat dosis fosfat alam Ayamaru dan asam humat

Tujuan :

Mempelajari pengaruh tingkat dosis asam humat terhadap fosfat alam Ayamaru dan pengaruhnya pada bibit kakao

Pendekatan :

Menguji beberapa dosis asam humat pada beberapa tingkat dosis fosfat alam Ayamaru

Hasil yang diharapkan:

Diperoleh dosis asam humat yang efektif terhadap fosfat alam Ayamaru padabibit kakao


(30)

11 Percobaan pertama, kedua, dan ketiga dilaksanakan secara pararel, sedangkan percobaan keempat dilaksanakan setelah diperoleh hasil dari ketiga percobaan sebelumnya. Tanggap bibit kakao akibat tingkat dosis fosfat alam Ayamaru pada percobaan pertama, kedua, ketiga akan digunakan sebagai dasar penentuan tingkat dosis pada percobaan keempat.

Inokulum FMA terbaik hasil percobaan pertama, isolat bakteri pelarut fosfat terbaik hasil percobaan kedua, dan tingkat dosis asam humat yang paling efektif dari percobaan ketiga digunakan sebagai penyusun perlakuan kombinasi pada percobaan yang keempat.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mempelajari pengaruh inokulasi FMA pada tanggap bibit kakao terhadap fosfat alam Ayamaru.

2. Mempelajari pengaruh inokulasi bakteri pelarut fosfat pada tanggap bibit kakao

terhadap fosfat alam Ayamaru.

3. Mempelajari pengaruh berbagai taraf dosis asam humat terhadap pelarutan P dan tanggap bibit kakao terhadap fosfat alam Ayamaru.

4. Mempelajari pengaruh perlakuan kombinasi FMA, bakteri pelarut fosfat, dan asam humat terhadap pelarutan P dan tanggap bibit kakao terhadap fosfat alam Ayamaru. 5. Mempelajari mekanisme pelarutan P oleh bakteri pelarut fosfat terhadap fosfat

alam Ayamaru pada pertumbuhan bibit kakao.

6. Mempelajari pengaruh inokulasi FMA terhadap pelepasan fosfatase asam sebagai mekanisme eksternal pelarutan P.


(31)

12 Dari penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai agronomis fosfat alam Ayamaru pada pembibitan kakao melalui aplikasi asam humat, inokulasi FMA dan bakteri pelarut.

Hipotesis

1. Inokulasi FMA pada bibit kakao meningkatkan keefektifan pemberian fosfat alam Ayamaru.

2. Keefektifan pemberian fosfat alam Ayamaru pada bibit kakao ditingkatkan apabila diinokulasi bakteri pelarut fosfat.

3. Keefektifan pemberian fosfat alam Ayamaru pada bibit kakao ditingkatkan apabila diaplikasi asam humat.

4. Keefektifan pemberian fosfat alam Ayamaru pada bibit kakao ditingkatkan apabila diberi perlakuan kombinasi di antara FMA, bakteri pelarut fosfat, dan asam humat. 5. Mekanisme utama pelarutan fosfat alam Ayamaru dan penurunan kadar Aldd media

disebabkan asam organik yang dihasilkan oleh bakteri pelarut fosfat.

6. Perlakuan inokulasi FMA yang diberikan menyebabkan meningkatnya fosfatase asam yang ditunjukkan oleh meningkatnya kadar P tersedia dan menurunnya kadar Aldd media.


(32)

II

TINJAUAN PUSTAKA

Ketersediaan Fosfor Tanah

Fosfor merupakan salah satu hara esensial tanaman yang ketersediaannya di tanah sangat kurang terutama pada tanah-tanah masam yang meliputi 30% tanah di dunia pada semua kontinen (Raghothama 1999). Pada permukaan bumi kandungan P bervariasi 0.005 – 0.15% (Havlin et al. 1999). Menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1992) yang termasuk dalam tanah masam tersebut adalah termasuk dalam ordo Inceptisol, Ultisol, Entisol, Oxisol, dan Spodosol. Pada jenis-jenis tanah ini ketersediaan P rendah karena P terikat kuat oleh aluminium dan besi sehingga sulit tersedia bagi tanaman (Raghothama 1999).

Ketersediaan P dalam larutan tanah ditentukan oleh banyak faktor yang meliputi jenis tanah dan kemasaman, suhu tanah, kandungan air tanah, dan konsentrasi Ca (Schachtman et al. 1998). Pada beberapa jenis tanah kandungan P lebih tinggi dari yang diperlukan untuk pertumbuhan optimum tanaman, tetapi P ini dalam keadaan tidak tersedia bagi tanaman. Rata-rata konsentrasi P dalam larutan tanah adalah 0.05 ppm dan sangat bervariasi di antara jenis tanah. Konsentrasi P dalam larutan yang diperlukan oleh kebanyakan tanaman bervariasi dari 0.003 sampai 0.3 ppm dan bergantung pada spesies tanaman dan tingkat produksinya (Havlin et al. 1999), sedangkan kemampuan tanaman mengambil P dari larutan tanah juga bervariasi bergantung pada spesies (genotipe) dan dipengaruhi oleh interaksi antara tanaman dan mikroba (Kaeppler et al. 2000).

Fosfor dalam tanah berada dalam bentuk P organik dan P anorganik. Richardson (1994 diacu dalam Schachtman et al. 1998) mengemukakan bahwa


(33)

14 20% - 80% P dalam tanah terdapat dalam bentuk organik, yaitu asam phytic (inositol heksafosfat) yang biasanya merupakan komponen utama. Walaupun mobil dalam tanaman, P tidak mobil dalam tanah (McWilliams 2003). Rendahnya ketersediaan P pada sebagian besar tanah membatasi penyerapan oleh tanaman. Karena laju difusi P lambat (10-12 -10-15.cm2.s-1), maka laju penyerapan tanaman yang tinggi membuat zona deplesi/pengurasan P di sekitar akar (Schachtman et al. 1998; Smith 2002).

Fosfor yang diambil oleh tanaman dari larutan tanah berada dalam kesetimbangan dengan fosfat yang dijerap dalam mineral tanah dan koloid dalam fase tanah padat. Mekanisme pengambilan ditunjukkan oleh erapan P sebagai penyangga sejumlah P dalam larutan (Fox & Kamprath 1970, diacu dalam Smith et al. 2003). Fosfor organik dalam tanah tidak langsung tersedia untuk tanaman tetapi terlebih dahulu harus dimineralisasi menjadi P anorganik yang selanjutnya berada dalam reaksi kesetimbangan dalam larutan tanah (Reiseanuer 1966, diacu dalam Smith et al. 2003).

Ion fosfat dalam tanah terdapat dalam tiga fraksi, yaitu dalam larutan tanah, dapat ditukarkan (tidak stabil), dan tidak larut (stabil). Hanya P dalam larutan yang tersedia bagi tanaman. Laju pelepasan dari bentuk tidak larut sangat lambat dan sedikit pengaruhnya untuk memberikan kontribusi yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman (Roper et al. 2004). Hal ini akan membentuk zona deplesi P dalam larutan tanah di sekitar akar yang tumbuh pada tanah kahat P (Smith et al. 2003). Ujung akar akan memperoleh konsenstrasi P eksternal yang sama pada sebagian besar tanah melalui perpanjangan akar ke daerah tanpa deplesi, terlebih dengan adanya rambut akar yang dapat meningkatkan eksplorasi fosfat tanah. Tanaman beradaptasi secara morfologi dan strategi biokimia untuk mengurangi daerah deplesi dan meningkatkan konsentrasi P


(34)

15 dalam larutan secara cepat terutama di sekitar akar. Beberapa spesies mengembangkan sistem percabangan akar yang tinggi dengan lebih banyak akar rambut sehingga lebih efisien dalam penyerapan P.

Bentuk keberadaan P dalam larutan tanah bergantung pada pH tanah. Apabila pH tanah di bawah 6.0 kebanyakan P berada dalam bentuk monovalen H2PO4-,

sedangkan H3PO4-dan HPO42- hanya ada dalam proporsi kecil. Beberapa penelitian

terhadap ketergantungan pH dalam pengambilan P oleh tanaman diketahui bahwa laju pengambilan tertinggi terjadi pada pH tanah 5.0 – 6.0 yang mana fosfat dominan dalam bentuk H2PO4-, sedangkan pada pH tanah 7.2 fosfat dominan dalam bentuk HPO42-.

Tanaman mengambil HPO42- lebih lambat daripada H2PO4- (Schachtman et al. 1998;

Havlin et al. 1999).

Ketika tanaman tercekam P area permukaan akar yang kontak dengan tanah mungkin juga ditingkatkan oleh tanaman dengan meningkatkan diameter akar (Ma et al. 2001) dan baik panjang maupun kerapatan rambut akar mungkin meningkat (Bates & Lycnh 2000). Beberapa tanaman mengembangkan bagian khusus atau akar-akar proteoid. Ekskresi karboksilat oleh akar tanaman bertujuan melepaskan P dari senyawa besi (Fe) dan aluminium (Al) tanah. Hal ini akan terlihat adanya peningkatan ekskresi dari akar pada tanaman yang tercekam P (Lambers & Poot 2002).

Pada tanaman yang tidak diinokulasi mikoriza level kritis P tersedia di tanah adalah 190 mg sedangkan pada tanaman dengan mikoriza hanya 15 mg (Muchovej 2002). Hal ini berhubungan dengan integritas membran sel tanaman dan fungsi mikoriza membantu tanaman dalam pengambilan P dari larutan tanah. Kemampuan kolonisasi mikoriza dengan tanaman inang berkorelasi negatif dengan ketersediaan P


(35)

16 tanah, atau dengan kata lain mikoriza lebih berkembang pada kondisi P tersedia rendah, karena eksudat akar yang defisien P merangsang perkembangan mikoriza.

Peranan FMA terhadap Penyerapan Fosfor

Infeksi sistem perakaran pada sebagian besar tanaman oleh FMA terjadi pada 83% dikotil dan 79% monokotil dengan membentuk asosiasi simbiotik antara tanaman dengan mikoriza (Swift 2004), dengan keuntungan tanaman dapat mengambil P lebih besar dari larutan tanah (Smith 2002; Smith et al. 2003). Swift (2004) menyatakan bahwa salah satu pengaruh infeksi oleh fungi mikoriza arbuskula pada tanaman inangnya adalah peningkatan penyerapan P yang disebabkan oleh kemampuan mikoriza menyerap P dari tanah dan mentransfernya ke akar tanaman inang. Ketika tanaman kekurangan mineral seperti P atau N, hubungan simbiotik ini akan menguntungkan dan mendorong pertumbuhan tanaman (Morgan et al. 2005). Di samping meningkatkan serapan P, kolonisasi akar tanaman oleh FMA meningkatkan serapan tanaman terhadap N dengan menyerap amonium dan nitrat dari tanah (George et al. 1995). Oleh karena itu inokulasi tanaman dengan FMA merupakan cara efisien untuk penambahan P melalui pemupukan (FAO 2005) dan dapat mengurangi biaya pemupukan fosfat pada budidaya tanaman perkebunan (Rahim 2002).

Morfologi akar tanaman penting untuk memaksimalkan penyerapan P, sebab sistem perakaran dengan ratio area permukaan dan volume yang tinggi akan lebih efisien menjelajah volume tanah yang luas. Oleh karena itu mikoriza penting pada tanaman dalam penyerapan P, karena mikoriza ini meningkatkan kemampuan akar mengeksplorasi tanah lebih luas (Schachtman et al. 1998).

Kebanyakan tanaman pertanian, rumput-tumputan, tanaman perkebunan, dan beberapa spesies tanaman hutan dapat berasosiasi dengan mikoriza dalam


(36)

17 meningkatkan pertumbuhan tanaman (Rahim 2002). Hifa dari fungi mikoriza dapat menyebar hingga lebih dari 25 cm dari akar, dengan demikian akan meningkatkan kemampuan eksplorasi tanah untuk mendapatkan hara. Oleh karena itu aliran P pada akar yang berkoloni dengan fungi mikoriza 3 – 5 kali lebih cepat dibandingkan dengan akar yang tidak berkoloni dengan mikoriza dengan laju 10-11 mol m-1.s-1 (Smith & Read 1997). Pengambilan P oleh mikoriza selanjutnya ditranslokasikan melalui hifa, arbuskula ke sel-sel akar tanaman. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) dicirikan oleh formasi struktur (arbuskular) percabangan di dalam sel kortek akar (Gambar 2).

Arbuskular dengan percabangan yang tinggi masuk ke dalam membran sel kortek akar tanaman inang, membentuk simbiotik dengan area permukaan yang sangat luas, yaitu membran peri-arbuskula (Smith et al. 2003). Fungi mikoriza arbuskula dan sel tanaman tetap dipisahkan oleh membran apoplastik dengan topologi mikoriza di bagian luar. Transfer P terjadi melewati ruang apoplastik sehingga melibatkan pembongkaran P di membran peri-arbuskular dan pemuatan ke dalam apoplas akar tanaman. Marchel (2004) menyatakan bahwa transfer fosfat terjadi pada struktur arbuskular dan gelembungan hifa.


(37)

18 Dalam simbiosisnya dengan tanaman, mikoriza menerima karbohidrat dan faktor-faktor pertumbuhan dari tanaman inang sebagai sumber energi untuk pertumbuhan dan perkembangannya sedangkan tanaman dapat meningkatkan serapan hara P dan unsur hara lainnya oleh adanya koloni akar dengan mikoriza (Muchovej 2002). Tanaman mensuplai fotoasimilat ke sistem perakaran bermikoriza 4% – 20% (Douds et al. 2000). Sel-sel kortek akar melepaskan karbohidrat ke permukaan simbiosis tanaman-mikoriza oleh aliran pasif yang distimulasi oleh adanya mikoriza (Bago et al. 2000).

Potensi mikoriza dalam membantu tanaman menyerap P bergantung pada kondisi P tanah. Swift (2004) menyatakan bahwa keuntungan yang tinggi dari simbiosis mikoriza dengan tanaman diperoleh pada tanah yang defisien P dan rendah pada tanah yang ketersediaan P-nya tinggi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa apabila level P tanah lebih dari 140 mg/kg (140 ppm), maka infeksi mikoriza akan menurun, sedangkan apabila level P tanah 50 mg/kg (50 ppm) maka diperoleh perkembangan mikoriza yang tinggi. Rahim (2002) menyatakan bahwa keefektifan mikoriza berbeda untuk setiap tanaman dan kondisi lingkungannya.

Hasil penelitian inokulasi FMA menunjukkan bahwa pada bibit kakao yang diinokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) meningkatkan katahanan bibit terhadap cekaman kekeringan (Yahya et al. 2000). Di samping itu dengan inokulasi mikoriza dapat berfungsi meningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen (John 1996), sebagai bioremediasi tanah yang tercemar logam berat (Suhendrayatna 2001; Liao et al. 2003), meningkatkan toleransi tanaman terhadap salinitas (Weissenhorn 2002; Yano-Melo et al. 2003), meningkatkan penyerapan unsur hara terutama P dan unsur lainnya K, Ca, Mg dan Zn (Smith 2002; Quilambo 2003; Swift 2004; Suh 2005).


(38)

19 Inokulasi mikoriza pada pembibitan tanaman sangat berarti ketika dipindahkan ke lapang karena dengan adanya simbiosis, tanaman lebih tahan menghadapi kondisi lingkungan tumbuh yang kurang menguntungkan (John 1996).

Penggunaan mikoriza dalam skala yang luas seringkali dibatasi oleh adanya hambatan dalam memproduksi inokulan FMA. Media perbanyakan FMA yang banyak digunakan adalah zeolith, tetapi sulit didapat dan harganya relatif mahal. Media campuran tanah Ultisol dan pasir bangunan (1:1) menunjukkan produksi jumlah spora dan derajat infeksi akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan media zeolit (Anas & Tampubolon 2004).

Keefektifan inokulum bergantung pada jenis tanaman dan kondisi tanah. Namun demikian pH tanah merupakan faktor pembatas utama sedangkan struktur tanah dan bahan organik mungkin juga mempengaruhi kesesuaian tanah untuk mikoriza. Glomus intraradices spesies yang banyak dijumpai, sesuai pada pH tanah 6 – 9, sedangkan G. etunicatum banyak dijumpai dan sesuai pada pH masam (John 2000). Inokulasi lebih dari satu jenis mikoriza meningkatkan penyerapan P lebih tinggi dibandingkan dengan inokulasi tunggal (John 2000; Jansa et al. 2004). Di samping itu kolonisasi mikoriza juga dipengaruhi oleh level CO2, intensitas cahaya, lamanya cahaya, dan kualitas

cahaya (Singh 2005).

Fosfat Alam Ayamaru Papua

Salah satu usaha untuk meningkatkan ketersediaan P tanah adalah dengan penambahan melalui pemupukan. Pupuk sebagai sumber P yang biasa digunakan adalah amonium polifosfat (NH4H2PO4 + (NH4)3HP2O7), fosfat diamonium

((NH4)2HPO4), fosfat monoamonium (NH4H2PO4), triple fosfat (Ca(H2PO4)2, regular


(39)

20 2004). Kimiti dan Smithson (2002) menyatakan bahwa pada beberapa tahun terakhir penggunaan batuan fosfat sebagai sumber P secara langsung telah banyak dilakukan.

Di Indonesia endapan fosfat alam ditemukan tersebar di beberapa lokasi. Lokasi endapan fosfat alam sebagian besar terdapat di Pulau Jawa dan Madura, dan lainnya terdapat di Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Total endapan di Jawa dan Madura diperkirakan 9.5 – 20 juta ton (Bisri & Permana 1991). Endapan fosfat alam di Papua terdapat di Distrik Ayamaru, Kabupaten Sorong Selatan pada ketinggian 300 – 400 m di atas permukaan laut, yang dipetakan meliputi luasan kurang lebih 100 000 ha (Reynders & Schultz 1958).

Diketahuinya tanah Ayamaru berkadar fosfat tinggi adalah berdasarkan hasil analisis fosfat dari contoh tanah oleh Schroo & Mouthaan (1960). Hasil analisis contoh dengan ekstraksi asam Fleischmann (50% H2SO4 + 50% HNO3) mendapatkan

nilai 1% sampai 12% P2O5. Berbeda dengan endapan fosfat alam di lokasi lain yang

berupa batuan, endapan fosfat yang terdapat di daerah Ayamaru berupa tanah. Hasil penelitian selanjutnya (Schroo 1963) menunjukkan bahwa mineral fosfat Ayamaru adalah mineral krandalit (CaAl3(PO4)2(OH)5.H2O) dengan ikatan nya disebut

P-krandalit. Di Indonesia jenis endapan fosfat alam ini diketahui hanya terdapat di Distrik Ayamaru, Irian Jaya Barat (Gambar 3).

Berdasarkan analisis P tersedia dengan metode Truog pada 65 contoh tanah Ayamaru yang dilakukan oleh Schroo (1963) menunjukkan kadar P yang cukup tinggi berkisar 50 – 1000 ppm P2O5. Lebih lanjut dilakukan analisis lengkap dengan

menggunakan tiga metode, yaitu metode Fusi dengan NaCO3, ekstrak campuran asam

nitrit dan asam klorida, serta ekstrak Fleischman sebagai metode baku. Dari ketiga metode ini dihasilkan nilai nisbi sama, yaitu 18.5 ± 0.2% P2O5. Kadar fraksi dari hasil


(40)

21 analisis adalah pasir, debu, gabungan debu dan liat, berturut-turut mengandung P2O5

sebesar 5.67%, 18.6% dan 18.55%.

Schroo & Mouthaan (1960) telah melakukan percobaan pot untuk mendapatkan keterangan apakah tanah fosfat alam Ayamaru dapat digunakan sebagai pupuk sumber P. Percobaan menggunakan tanaman jagung dan padi sebagai tanaman indikator. Tanah sebagai media tumbuh berasal dari Distrik Mindiptana, Merauke yang miskin P dan masam. Dari percobaan ini diperoleh kesimpulan bahwa pemberian 25 g fosfat alam Ayamaru mempunyai pengaruh yang sama dengan 100 mg P2O5 monokalsium

fosfat untuk tanaman padi. Percobaan dengan menggunakan tanaman indikator jagung disimpulkan bahwa pemberian 50 g tanah Ayamaru mempunyai pengaruh yang sama dengan pemberian 100 mg P2O5 monokalsium fosfat. Hal ini menunjukkan bahwa

tanah Ayamaru dapat menyediakan P2O5 sebanyak 0.2% – 0.4 % untuk tanaman

(Schroo 1963).

Lokasi deposit Fosfat Alam Ayamaru


(41)

22 Penggunaan fosfat alam sebagai pupuk langsung merupakan alternatif yang ekonomis dibandingkan dengan pupuk industri. Hasil penelitian Musaad et al. (1996) menunjukkan bahwa fosfat alam Ayamaru (krandalit) yang dipanaskan atau melalui proses termal (500 – 700oC) terjadi perubahan sifat fisik maupun kimia yang lebih baik, yaitu terjadi kenaikan pH, P-larut air, P-larut sitrat 2%, dan P-potensial. Pada pemanasan hingga temperatur 700oC, peningkatan P-larut air dan P potensial berturut-turut mencapai 320.64% dan 27.38%. Perlakuan kalsinasi terhadap beberapa fosfat alam krandalit dari Brasil menunjukkan dengan pemanasan 700oC kelarutan fosfat alam Tapira dalam Neutral Ammonium Citrate Extraction (NAC) meningkat 84%, fosfat alam Joquiá pada 500o C meningkat 60%, dan fosfat alam Catalão pada 700oC meningkat 44% (Francisco et al. 2007). Amat (1991) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa secara teknis tanah endapan fosfat alam Ayamaru dapat digunakan sebagai sumber pupuk P. Kelarutannya dapat ditingkatkan dengan penambahan bahan organik (pupuk kandang sapi dan ayam) dari 0.2% menjadi 0.55%. Hasil penelitian Akande et al. (2005) menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang ternak ayam pada pupuk P dari batuan fosfat dapat meningkatkan kelarutan P 2 -3 kali lebih besar daripada kontrol. Namun demikian oleh karena pelepasan P lambat, maka direkomendasikan bahwa pelepasan P dari fosfat alam mungkin dapat ditingkatkan dengan inokulasi mikroorganisme pelarut fosfat (Rumawas 1990).

Secara kuantitatif apabila potensi fosfat alam Ayamaru yang dapat dieksploitasi diasumsikan 50% dari luasan 100 000 ha dan kedalaman 50 cm, maka akan diperoleh pupuk fosfat alam sebanyak 200 juta ton. Untuk dosis fosfat alam 400 g/tanaman maka dengan jumlah deposit yang ada dapat digunakan untuk 400 juta ha.


(42)

23

Bakteri Pelarut Fosfat

Kemampuan mikroba melarutkan mineral fosfat yang sulit larut dalam tanah adalah proses yang sangat penting dalam ekosistem alami dan pada tanah-tanah pertanian. Di dalam tanah terdapat banyak fosfat, tetapi ketersediaannya bagi tanaman sangat rendah dan sering menjadi faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman (Wissuwa 2003). Oleh karena itu pada aplikasi pemupukan mineral dengan inokulasi mikroba pelarut fosfat dapat meningkatkan ketersediaan P pada tanah (Mikonová & Nováková 2002). Raja et al. (2002) menyatakan bahwa mikroorganisme dan fungi mikoriza memainkan peranan penting dalam metabolisme dan produktivitas tanaman.

Beberapa bakteri tanah terutama yang termasuk dalam genus Rhizobium (Suh 2005), Pseudomonas, Bacillus, Mycobacterium, Micrococcus, Flavobacterium, Bacterium, Citrobacter, Enterobacter (Rao 1994; Siripin 2002), mempunyai kemampuan mengubah kelarutan fosfat dalam tanah ke dalam bentuk terlarut dengan sekresi asam organik seperti sitrat, glutamat, laktat, oksalat, glioksilat, tartarat, ketobutirat, malat, fumarat, asetat, propionat, dan suksinat. Asam-asam ini membuat terputusnya bentuk-bentuk ikatan fosfat dengan mengkomplek Al dan Fe. Pada tanah-tanah tropis umumnya ketersediaan P untuk pertumbuhan tanaman rendah. Oleh karena itu bakteri pelarut fosfat sangat penting membantu menyediakan fosfat untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Fosfat relatif tidak mudah tercuci tetapi oleh karena pengaruh lingkungan, maka statusnya dapat berubah dari P yang tersedia menjadi P yang tidak tersedia bagi tanaman karena terikat dalam bentuk Ca-P, Mg-P, Fe-P, Al-P, atau P-Occluded (Rao 1982). Pada tanah alkalin meningkatnya sekresi asam-asam organik oleh bakteri


(43)

24 biasanya diikuti dengan penurunan pH tanah yang cepat sehingga menyebabkan pelarutan Ca-P. Pada tanah masam, pelarutan AlPO4 melalui sekresi proton bersamaan

dengan asimilasi NH4+ tanpa menghasilkan asam organik (Illmer et al. 1995).

Menurut Rao (1982) proses kelarutan fosfat yang sukar larut diawali dengan dihasilkannya asam-asam organik oleh mikroorganisme. Asam-asam organik yang disekresikan oleh mikroroganisme dapat melarutkan P. Kecepatan pelepasan P dari bentuk yang tidak tersedia menjadi bentuk yang tersedia dapat disebabkan oleh adanya pelepasan gas H2, CO2, H2S, dan CH2 sebagai akibat berlangsungnya proses reduksi

dan dekomposisi bahan organik (Sabiham et al. 1983). Reaksi yang terjadi adalah :

1. Pembebasan P akibat produksi H2 (reduksi) :

FePO4 Fe3+ + PO4

3-H2 2 H+ + e-

Fe3+ + e- Fe2+ +

FePO4 + H2 Fe2+ + H2PO4

-2. Pembebasan P akibat produksi CO2 (oksidatif) :

CO2 + H2O HCO3- + H+

Ca3(PO4)2 + 6HCO3- 3Ca (HCO3)2 + 2 PO43-

Kemampuan asam-asam organik meningkatkan ketersediaan P melalui mekanisme, yaitu anion organik bersaing dengan ortofosfat untuk menempati bidang jerapan koloid yang bermuatan positif, modifikasi muatan pada permukaan jerapan oleh molekul organik (Nagarajah et al. 1970), dan pelepasan ortofosfat dari ikatan logam-P dengan pembentukan kompleks logam-organik (Earl et al. 1979).


(44)

25 Reaksi pelarutan P akibat adanya gugus karboksil dapat ditunjukkan sebagai berikut : 1.

OH O- OH

M OH + R – C = O M OH O + H2PO4-

H2PO4- R-C=O

2. R–C–O

OH O- O O

M H2PO4 + 3 R– C =O M–O-C– R + H2PO4

-H2PO4 O

R–C-O

kompleks-M asam organik kompleks- asam organik ortofosfat M= Al3+ atau Fe3+

P organik dapat dimineralisasi atau dimobilisasi (Brady 1990) :

immobilisasi

Fe3+, Al3+, Ca2+

P-organik H2PO4- Fe-P, Al-P, Ca-P mineralisasi

Hasil penelitian Noor (2003) menunjukkan bahwa bakteri pelarut fosfat Pseudomonas fluorescens pada 6 minggu setelah penanaman kedelai dapat meningkatkan P tersedia tanah pada semua tingkat dosis fosfat alam Tunisia dengan rata-rata 7.68 ppm berbeda nyata dengan kontrol 6.07 ppm. Gofar (2004) menunjukkan bahwa inokulasi bakteri pelarut fosfat meningkatkan P tersedia pada padi gogo yang ditanam pada tanah Ultisol. Inokulasi dengan bakteri Micrococcus sp. dapat meningkatkan P tersedia 24.79 ppm berbeda nyata dengan tanpa inokulasi bakteri, yaitu 20.47 ppm. Hasil penelitian Karti (2003) menunjukkan bahwa isolat bakteri pelarut fosfat RJM.30.2, FT.3.2, FT.3.3, B8016495, B80166498, dan campuran kelima isolat tersebut dapat meningkatkan serapan P pada S. splendida (mg/pot) masing-masing


(45)

26 0.197, 0.201, 0.369, 0.188, 0.221, dan 0.240 berbeda nyata dengan kontrol 0.160. Isolat FT.3.3 efektif meningkatkan serapan P pada S. splendida sedangkan pada C. gayana peningkatan serapan P terbaik dihasilkan oleh isolat RJM.30.2 dan FT.3.2.

Peranan Asam Humat

Bahan organik yang terdapat di dalam tanah berasal dari sisa-sisa tanaman dan hewan. Bahan ini terdiri atas serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme, bahan humat (asam humat, asam fulvat, dan humin), dan senyawa non-humat (asam amino, karbohidrat, lemak, lilin, resin). Bahan humat tanah dikelompokkan berdasarkan sifat kelarutannya menjadi empat kelompok, yaitu humin, asam fulvat, himatomelanik, dan asam humat.

Humin adalah fraksi humat tanah yang tidak larut baik dalam alkali maupun asam. Asam fulvat adalah fraksi humat yang larut baik dalam asam maupun alkali. Himatomelanik adalah bagian asam humat yang larut dalam alkohol. Asam humat adalah fraksi humat tanah yang larut dalam keadaan alkalin tetapi tidak larut dalam asam (Stevenson 1994). Asam humat dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kelarutannya dengan elektrolit pada keadaan alkalin, yaitu (1) asam humat coklat, yaitu tidak menggumpal dan (2) asam humat abu-abu, yaitu mudah menggumpal dalam larutan elektrolit.

Stevenson (1994) menyatakan bahwa bahan humat menempati 70-80% dari bahan organik pada tanah mineral dan terbentuk dari hasil pelapukan tanaman dan hewan. Bahan humat ini terdapat dalam bentuk komplek, heterogen, dan mempunyai struktur tiga dimensi (Haynes & Mokolobate 2001). Sisanya 20-30% dari bahan organik mengandung bahan-bahan seperti protein, polisakarida, asam lemak, dan alkana. Bahan humat ini mempunyai kemampuan berinteraksi dengan ion logam,


(46)

27 oksida, hidroksida, mineral, dan organik termasuk yang beracun untuk membentuk komplek yang larut air maupun yang tidak larut dalam air. Interaksi tersebut berupa interaksi pertukaran ion, jerapan permukaan, atau pengkelatan.

Asam humat hasil dekomposisi bahan organik berperan dalam meningkatkan ketersediaan P tanah (Tisdale et al. 1990) melalui (1) pembentukan senyawa komplek fosfohumat yang lebih mudah diserap tanaman, (2) pertukaran anion fosfat oleh anion organik, (3) terbungkusnya sesquioksida oleh humus, sehingga mengurangi kemampuan logam memfiksasi fosfat. Di samping itu bahan organik juga berpengaruh terhadap sifat fisik tanah seperti kapasitas menahan air, suhu dan sifat kimia seperti kapasitas tukar kation dan pH. Suatu model yang menunjukkan proses-proses yang dapat menginduksi penurunan pengikatan P dan meningkatkan ketersediaan P apabila residu bahan organik ditambahkan ke dalam tanah (Gambar 4).

Dekomposisi residu organik

Meningkatkan pH tanah

Pelepasan bahan humat dapat

terlarut

Pelepasan asam organik alipatik

dapat larut

Peningkatan muatan negatif pada permukaan

jerapan P

Pengikatan khusus oleh bahan humik

Pengikatan khusus oleh asam-asam

organik

Reduksi jerapan P oleh koloid

tanah

Pengikatan khusus oleh turunan residu Pelepasan P dari

residu organik

Gambar 4 Model proses-proses utama yang menunjukkan reduksi jerapan P dan peningkatan ketersediaan P oleh aplikasi residu organik ke tanah (Haynes & Mokolobate 2001).


(47)

28 Zimmer (2004) dan Mayhew (2004) menyatakan fungsi penting senyawa humat dalam sistem pertanian, yaitu merangsang pertumbuhan akar, aktivitas kehidupan biologi tanah (terutama populasi FMA), mengkelat mineral, memperbaiki serapan hara terutama P, N dan S, menurunkan kebutuhan pemupukan N, melarutkan mineral, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kapasitas air tanah. Hal ini dapat terjadi karena senyawa humat merupakan senyawa yang sangat aktif dalam tanah, dengan kapasitas tukar kation dan anion yang besar (Tan 2003).

Senyawa humat juga mempunyai kemampuan melarutkan dan mengkomplek mineral dari batuan fosfat. Pelarutan mineral dari batuan fosfat oleh aktivitas biologi akan lebih ditingkatkan dengan adanya senyawa humat (Mayhew 2004). Senyawa humat dapat meningkatkan keefektifan batuan fosfat karena pelarutan anion PO43- dan

kation Ca2+ dari mineral batuan yang sukar larut, karena total pengasaman yang tinggi dan kemampuannya mengkomplek dan mengkelat larutan yang dihasilkan dan menstimulir metabolisme mikrobia tanah. Senyawa humat juga mengkelat Fe, Zn, Al, dan Cu dan mengkomplek elemen lainnya.

Reaksi antara humat, bahan logam dan mineral dapat terjadi melalui mekanisme reaksi pembentukan komplek logam sederhana yang mudah larut air. Reaksi dalam air antara ion logam di- dan trivalen dengan asam humat terjadi melalui beberapa reaksi, yaitu (1) satu gugus COOH bereaksi dengan satu ion logam membentuk garam organik, (2) satu gugus COOH dan satu gugus -OH terdekat bereaksi dengan ion logam membentuk komplek atau kelat bidentat, (3) dua gugus COOH terdekat bereaksi dengan ion logam membentuk kelat bidentat, (4) ion logam Mn+ terkait dengan asam fulvat melalui molekul air ikatan H ke gugus C=O (Schnitzer 1997). Hasil analisis


(48)

29 perbandingan komposisi asam humat dan asam fulvat yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik hasil analisis kandungan unsur dari asam humat dan asam fulvat (Schnitzer 1997)

Unsur Asam humat Asam fulvat

C H N S O

Gugus fungsional

Kemasaman total COOH

OH-fenolik OH-alkoholik

C=O kuinonoid + C=O ketonik OCH3

E4/E6

--- % --- 56,2 45,7 4,7 5,4 3,2 2,1 0,8 1,9 35,5 44,8

---c mol kg-1

---670,0 1130,0 360,0 820,0 310,0 310,0 260,0 500,0 290,0 270,0 60,0 80,0 4,8 9,6


(49)

III

TANGGAP BIBIT KAKAO YANG DIINOKULASI

FMA PADA BERBAGAI DOSIS FOSFAT ALAM AYAMARU

ABSTRAK

Fosfor merupakan salah satu hara esensial tanaman. Oleh karena itu untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik diperlukan pemupukan P atau juga inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA). Inokulasi FMA diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pupuk P dan meningkatkan serapan P tajuk. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan inokulum FMA yang efektif meningkatkan daya guna fosfat alam Ayamaru (FA) pada bibit kakao.

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB, Laboratorium Bioteknologi Hutan, Lab. Kimia dan Kesuburan Tanah, dan Lab. Fisiologi Tanaman IPB. Penelitian dilaksanakan dalam rancangan acak lengkap dua faktor. Faktor pertama adalah lima taraf dosis FA, yakni 0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0 g P2O5/bibit, dan 2.0 g

P2O5 /bibit SP36, sebagai pembanding. Faktor kedua adalah inokulum FMA yang

terdiri atas tanpa inokulasi FMA, FMA indigenous Manokwari, dan FMA Mycofer. Benih kakao yang digunakan adalah UAH F1 dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember Jawa Timur. Pembibitan dilakukan dalam polibag 20 cm x 30 cm dengan media tanah masam Ultisol, Jasinga dan ditempatkan dalam jaring naungan 60% selama empat bulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian FMA terbukti meningkatkan keefektifan fosfat alam Ayamaru. Pada bibit kakao yang diinokulasi FMA Mycofer, peningkatan dosis FA secara linier meningkatkan bobot kering tajuk sebesar 50.14% dan serapan P tajuk 64.88%, sedangkan dengan FMA indigenous Manokwari meningkat sebesar 66.30% dan serapan P tajuk 65.45%, sedangkan bibit tanpa FMA meningkat 73.56% dan serapan P sebesar 121.94%. Pada dosis FA 2.0 g P2O5, apabila

dibandingkan dengan bibit tanpa FMA, inokulasi FMA Mycofer lebih efektif meningkatkan bobot kering tajuk (127.55%) daripada FMA indigenous Manokwari (95.97%), sedangkan serapan P tajuk meningkat 45.16% dan 21.29%.

FMA Mycofer terdiri atas Gigaspora margarita (INVAM-105), G. manihotis (INDO-1), G. etunicatum (NPI-126), dan A. tuberculata (INDO-2), sedangkan hasil identifikasi morfologi spora FMA indigenous Manokwari terdiri atas Acaulospora tuberculata Janos & Trappe, A. scrobiculata Trappe, dan G. aggregatumSchenck & Smith.

ABSTRACT

Phosphorus is one of essential elements for plant nutrition. Therefore, to obtain good growth, it is necessary to apply P fertilizer or arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) inoculation. Through AMF inoculation, it is expected being able to encourage the efficiency of P fertilization and the shoot P uptake. The aim of the study was to find the effectiveness AMF inoculants for improving the beneficial use of Ayamaru


(1)

183 Lampiran 10d F-hitung analisis Ortogonal polinomial tanggap bibit kakao terhadap

dosis fosfat alam pada berbagai kombinasi mikoriza Mycofer (M), bakteri pelarut fosfat isolat FT.3.2 (B), dan 3.10-3 mL asam humat (H)

Peubah Linier Kuadratik Kubik R2

Interaksi :

Bobot kering tajuk:

MH 25.24** 1.32 0.02 0.77

MB 10.06* 2.89 0.93 0.63

BH 8.61* 2.43 1.15 0.60

MBH 23.87** 0.40 2.62 0.77

Serapan P tajuk:

MH 35.74** 1.60 0.01 0.90

MB 123.64** 14.07 0.03 0.87

BH 38.74** 0.25 0.33 0.91

MBH 94.14** 8.16 2.21 0.96

Kolonisasi Akar :

MH 1.61 7.28* 0.13 0.69

MB 0.69 10.99** 0.12 0.99

BH 2.75 ns 0.87 0.05 0.48

MBH 0.06 1.87 ns 0.08 0.33

Aktivitas fosfatase Akar :

MH 0.64 12.25* 0.01 0.76

MB 2.69ns 0.40 0.00 0.44

BH 3.18 11.59* 0.26 0.79

MBH 0.65 10.99* 0.02 0.74

Kadar P tersedia :

MH 1434.40** 1.77 0.05 0.98

MB 1944.08** 2.95 0.01 0.98

BH 2901.84** 5.51 9.01 0.97

MBH 1130.95** 5.20 2.47 0.97

Kadar P total :

MH 74.44** 3.00 0.07 0.95

MB 1124.25** 69.87 0.06 0.94

BH 3199.86** 160.53** 5.34 0.95

MBH 4329.03** 2.01 0.10 0.99

pH media :

MH 0.69 1.56ns 0.08 0.11

MB 1.22ns 0.02 0.09 0.23

BH 0.74ns 0.08 0.52 0.25


(2)

184 Kadar Aldd media :

MH 0.36 13.02* 0.04 0.77

MB 3.05 308.37** 84.16** 0.76

BH 3.36* 7.58** 0.00 0.50

MBH 2.23 10.99* 0.06 0.88

Tanpa interaksi :

Tinggi bibit : 35.52** 11.75** 2.30 0.72 Diameter batang : 17.27** 8.54** 0.30 0.66 Jumlah daun : 0.77 7.14* 0.04 0.99 Bobot kering akar : 45.32** 0.55 0.17 0.98

Nisbah tajuk-akar : 0.01 1.03 ns 0.51 0.59 Kadar P tajuk : 334.41** 15.01** 0.02 0.95


(3)

185 Lampiran 11 Nilai F-hitung Uji Ortogonal kontras perlakuan kombinasi fungi

mikoriza arbuskula, bakteri pelarut fosfat, dan asam humat

Perbandingan Kontras P e u b a h

+M vs -M +B vs -B +H vs -H MBH vs lainnya Tinggi bibit 257.30** 5.86* 21.43** 80.82** Diameter batang 125.37** 10.91** 4.75* 32.66** Jumlah daun 32.58** 1.52ns 0.17ns 16.50** Bobot kering tajuk 60.19** 9.00** 0.52ns 16.30** Bobot kering akar 67.91** 20.66** 0.03ns 12.49** Nisbah tajuk-akar 6.23* 2.50ns 0.01ns 0.70ns Aktivitas fosfatase akar 298.25** 34.22** 4.06ns 88.48** Kolonisasi akar 1229.77** 152.03** 108.33** 152.03** Kadar P tajuk 196.00** 16.00** 28.44** 235.11** Serapan P tajuk 212.31** 17.75** 0.40ns 94.65** pH media 0.49ns 13.83** 7.36* 0.09ns Kadar P tersedia 246.98** 0.01ns 4.90* 325.34** Kadar P total 35.26** 4.71* 9.02** 45.84** Kadar Aldd 122.78** 13.16** 2.80ns 169.72**

Keterangan : ns : tidak berbeda nyata; * : berbeda nyata; **: berbeda sangat nyata; M: Mycofer; B: isolat FT.3.2; H: 3.10-3 mL asam humat/bibit


(4)

186 Lampiran 12a Deskripsi Glomus aggreratum Schenck & Smith (1982)

Klamidospora terbentuk dalam kelompok yang terpisah atau dalam sporocarp tanpa peridium; sporokarp awal terbentuk di luar akar 60 hari setelah di pot kultur; vesikel dan spora terbentuk di dalam akar setelah 100 hari, selanjutnya membentuk sporocarp dalam kortek dan epidermis akar. Setelah lima bulan di pot kultur variasi ukuran sporokarp 660-1800 x 330-1400 μm.

Sporokarp hyaline hingga kuning terang dengan sedikit hijau terang tembus cahaya, menjadi kuning bila tua. Klamidospora berbentuk

globose, subglobose, obovate, cylindris hingga tidak beraturan; apabila globose rata-rata diameter spora (50.4)-72.5(-91.2) μm, apabila

sublobose (67.2-) 87(-110.4) x (57.6-) 72(-79.2)

μm.

Spora hyaline hingga kuning; dinding spora kuning hingga kuning-coklat, bervariasi dari 1.2 - 2.4 μm meliputi dinding bagian luar yang lebih tipis, lebih terang daripada dinding bagian dalam. Pemisahan dinding dengan sedikit tekanan dan dapat dilakukan dalam pembuatan preparat. Hifa dan substanding hifa tebalnya 4.8-12 μm. Spora muda terdapat hifa tetapi terpisah ketika spora menjadi tua. Diameter hifa umumnya 4.8- 7.2 μm.


(5)

187 Lampiran 12b Deskripsi Acaulospora scrobiculata Trape (Trape 1977).

Di tanah merupakan spora tunggal tidak membentuk sporokarp, spora globose hingga sedikit elips 100-240 x 100-220 μm. Spora muda berwarna subhyaline menjadi coklat terang ketika spora tua. Permukaan spora terdapat bintik-bintik 1-1.5 x 1-3 μm, dipisahkan oleh celah 2-4 μm.

Terdapat empat lapisan dinding spora (1) rigid, bintik-bintik, subhyaline hingga kuning kehijauan terang, tebal dinding terluar 3-6 μm, (2) rapat tetapi terpisah, berbintik, dinding tipis hyaline 0.2 – 0.5 μm, (3) rapat tetapi terpisah, berbintik, dinding tipis hyaline 0.5 – 1.0 μm, (4) kadang-kadang terpisah, dinding bagian dalam hyaline

0.2 – 1.0 μm.

Spora bereaksi positif dengan Melzer’s, tiga lapisan dinding spora terluar kuning, bagian dalam dengan cepat menjadi merah hati/gelap.


(6)

188 Lampiran 12c Deskripsi Acaulospora tuberculata Janos & Trappe (1982)

Dalam tanah azygospora terbentuk tunggal, sessile, berwarna kuning terang, dinding tipis, hifa menyebar dengan diameter 10 – 24 μm berwarna hyaline hingga kuning, dinding tipis, diameter globose terminus ± 150 μm yang akan rusak dan kosong ketika spora matang.

Spora globose hingga subglobose 255-327 x 255-340

μm, light yeloowish brown hingga honey brown pada spora muda, dan sering reddish black pada spora matang. Permukaan spora terdapat tubercles tingginya 0.7- 1.5 μm dan diameter bagian dasar 1.5 μm, lonjong bagian ujungnya 0.7 – 1.1 μm

Dinding spora terdiri atas 3 (tiga) lapisan, dinding luar kuning bersih tebal 7 – 12 μm, dinding tengah yellowish brown tebal ± 1.5 μm, dinding dalam hyaline tebal 1.3 – 3 μm.

Spora bereaksi positif dengan Melzer’s membentuk warna orange-brown.