Pengaruh Suhu Inkubasi Pada Bioreproduksi Dan Diferensiasi Seks, Serta Analisis Strategi Reproduksi Penyu Lekang Berdasarkan Marka Molekuler Mikrosatelit

i

PENGARUH SUHU INKUBASI PADA BIOREPRODUKSI DAN
DIFERENSIASI SEKS, SERTA ANALISIS STRATEGI REPRODUKSI
PENYU LEKANG (Lepidochelys olivacea) BERDASARKAN MARKA
MOLEKULER MIKROSATELIT

ALFRED ONISIMUS MAKSIMUS DIMA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengaruh Suhu Inkubasi

pada Bioreproduksi dan Diferensiasi Seks, serta Analisis Strategi Reproduksi
Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) Berdasarkan Marka Molekuler
Mikrosatelit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Alfred O. M Dima
NIM. G362100021

iv

RINGKASAN
ALFRED ONISIMUS MAKSIMUS DIMA. Pengaruh Suhu Inkubasi pada
Bioreproduksi dan Diferensiasi Seks, serta Analisis Strategi Reproduksi Penyu
Lekang (Lepidochelys olivacea) Berdasarkan Marka Molekuler Mikrosatelit.
Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN, WASMEN MANALU, dan

ARIEF BOEDIONO
Kawasan Pantai Bena merupakan salah satu daerah penyebaran penyu
lekang (Lepidochelys olivacea) di Laut Timor sehingga didirikan Taman Buru
Bena (TBB). Pendirian TBB merupakan salah satu upaya konservasi terhadap
keberadaan penyu tersebut. Penyu lekang tergolong reptil yang dilindungi dengan
kategori Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered
Species) sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat
perhatian secara serius.
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi potensi biologi dan
reproduksi penyu lekang sebagai upaya konservasi populasi penyu lekang.
Penelitian ini terdiri atas empat bagian. Penelitian pertama menganalisis pengaruh
suhu inkubasi feminin (30-33ºC) pada kuantitas level mRNA aromatase pada
penyu hijau (Chelonia mydas) yang berasal dari dua jaringan, yaitu otak dan
kompleks Adrenal-Kidney-Gonad (AKG). Penelitian pertama ini merupakan studi
pendahuluan untuk menentukan jaringan mana yang digunakan untuk analisis
ekspresi gen determinasi seks pada penyu lekang. Penelitian kedua dirancang
untuk mengkaji aspek bioreproduksi, morfometrik, dan performa lokomotori
penyu lekang yang diinkubasi pada suhu feminin (30-33ºC) dan suhu maskulin
(26-27ºC). Penelitian ketiga dirancang untuk mengukur profil ekspresi gen
aromatase, Rspond 1, dan steroidogenik faktor-1(SF-1), yang terlibat dalam

determinasi seks selama perkembangan embrional penyu lekang yang diinduksi
pada suhu feminin (30-33ºC) dan suhu maskulin (26-27ºC). Pengukuran nilai
cycle threshold (CT) dilakukan pada tahap perkembangan embrio selama Thermosensitive period (TSP), yaitu stadia perkembangan embrio 23-25 dan setelah TSP,
yaitu stadia perkembangan embrio 26-27. Penelitian keempat dirancang untuk
mempelajari pola perkawinan penyu lekang betina dan aliran gen dalam populasi
alam menggunakan marka mikrosatelit sebagai marka molekuler.
Hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa gen aromatase yang berasal
dari jaringan otak terekspresi dengan nilai rataan cycle threshold (CT) sebesar
30.59 yang tidak berbeda nyata (p˃0.01) dari nilai rataan CT dari jaringan
kompleks AKG (31.33). Hal ini berarti bahwa untuk keperluan pengukuran profil
ekspresi mRNA gen aromatase pada tukik C. mydas dapat menggunakan jaringan
yang berasal dari otak melalui analisis real time-PCR. Berdasarkan hasil
penelitian di atas, maka untuk keperluan penelitian ketiga, RNA dari jaringan otak
embrio penyu lekang digunakan untuk mengukur profil ekspresi tiga gen
determinasi seks, yaitu gen aromatase, SF-1, dan Rspond 1.
Hasil penelitian kedua menunjukkan bahwa telur yang diinkubasi pada
suhu feminin (30-33ºC) secara berturut-turut mempunyai periode inkubasi lebih
singkat (48-52 hari), daya tetas lebih tinggi (88.33%), dan pertumbuhan embrio
yang lebih tinggi. Berkaitan dengan pengukuran morfometrik dan kualitas tukik
pascapenetasan menunjukkan bahwa tukik yang diinkubasi pada suhu feminin


v

memiliki karapas yang lebar, plastron yang panjang dan lebar, flipper dan lengan
belakang yang panjang, leher yang panjang, frekuensi ayunan flipper yang lebih
banyak, ukuran panjang leher relatif, panjang flipper relatif, dan postur tubuh
yang lebih besar dibandingkan dengan tukik yang ditetaskan pada suhu maskulin.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa induksi dengan suhu feminin
memengaruhi bioreproduksi, morfometrik tukik, dan performa lokomotori penyu
lekang.
Hasil penelitian ketiga menunjukkan bahwa level ekspresi gen aromatase
dan Rspond 1 setelah TSP pada embrio yang diinkubasi pada suhu feminin lebih
tinggi dan berbeda dari yang diinkubasi pada suhu maskulin. Sebaliknya,
pengukuran ekspresi gen SF-1 pada penyu lekang menunjukkan bahwa tidak
berbeda nyata di antara kedua suhu inkubasi pada semua stadia perkembangan
embrio penyu lekang. Meskipun demikian, data empiris menunjukkan bahwa level
ekspresi SF-1 pada semua stadia perkembangan embrio penyu lekang lebih tinggi
pada suhu maskulin dibandingkan dengan pada suhu feminin. Dengan demikian,
gen aromatase dan Rspond 1 memegang peranan penting dalam diferensiasi
ovarium penyu lekang yang diinkubasi pada suhu feminin, sedangkan gen SF-1

berpengaruh pada diferensiasi testis penyu lekang yang diinkubasi pada suhu
maskulin.
Hasil penelitian keempat menunjukkan bahwa penggunaan lima lokus
mikrosatelit (OR-1,OR-4, OR-7, OR-11, dan OR-14), dapat mendeteksi peristiwa
paternitas majemuk dengan sebaran alel paternal, yaitu lokus OR-11 (3 alel), OR4 dan OR-1 (2 alel), dan OR-14 (1 alel). Berdasarkan jumlah alel tukik yang
ditemukan pada lokus OR-11, fakta ini mempertegas bahwa penyu lekang betina
di perairan Taman Buru Bena melakukan perkawinan dengan lebih dari satu
jantan (poliandri). Hasil analisis CERVUS menunjukkan rataan jumlah kandidat
jantan sebanyak 2 ekor. Fakta ini menegaskan bahwa peristiwa peternitas
majemuk terjadi pada populasi penyu lekang di perairan Laut Timor.
Hasil penelitian ini secara keseluruhan memberikan fakta-fakta ilmiah
bahwa suhu inkubasi dapat memengaruhi bioreproduksi, morfometrik, performa
lokomotori, dan profil ekspresi gen determinasi seks tukik penyu lekang. Artinya,
perubahan iklim mikro di sarang inkubasi telur akan memengaruhi fenotipe penyu
lekang sebagai spesies yang bergantung suhu (Temperature-dependent Sex
Determination=TSD). Berkaitan dengan strategi konservasi genetik, tingkah laku
reproduksi penyu betina yang melakukan perkawinan dengan sejumlah penyu
jantan (poliandri), yang berhubungan dengan peristiwa paternitas majemuk, dapat
meningkatkan ukuran populasi dan keragaman genetik populasi penyu lekang di
perairan Taman Buru Bena.

Kata kunci: suhu inkubasi, fenotipe, gen determinasi seks, real time-PCR,
mikrosatelit, paternitas majemuk, konservasi, Lepidochelys
olivacea

vi

SUMMARY
ALFRED ONISIMUS MAKSIMUS DIMA. Effect of Incubation Temperature on
Bioreproduction and Sexual Differentiation and Analysis of Reproductive
Strategies of the Olive Ridley Turtle (Lepidochelys olivacea) Based on
Microsatellite Molecular Marker. Supervised by DEDY DURYADI SOLIHIN,
WASMEN MANALU, and ARIEF BOEDIONO.
Bena coastal region is one of the habitats of the olive ridley sea turtle
(Lepidochelys olivacea) in the Timor Sea so the government established Taman
Buru Bena (TBB). Establishment of TBB is one of conservation efforts to the
existence of the turtles. Olive ridley sea turtles are protected reptiles that are in the
category Appendix I of CITES (Convention on International Trade in Endangered
Species), so that all form of utilization and its release should get a serious
attention.
The objectives of this study were to explore the potential of biology and

reproduction of olive ridley turtle as conservation efforts to olive ridley sea turtle
population. This research consisted of four parts. The first experiment was
designed to study the effect of incubation at feminine temperature (30-33ºC) to
quantify aromatase mRNA levels in brain and adrenal-kidney-gonad (AKG)
complex tissues of the green sea turtle (Chelonia mydas). This first experiment
was a preliminary study to determine which tissue could be used as sample for
analyzing the gene expression of sex determination in the olive ridley sea turtles.
The second experiment was designed to study the aspects of the bioreproduction,
morphometric, and locomotory performance of olive ridley sea turtle incubated at
feminine temperature (30-33ºC), and masculine temperature (26-27ºC). The third
experiment was designed for measuring the expression profile of the aromatase
gene, Rspond 1, and steroidogenic factor-1 (SF-1), involved in sex determination
during the embryonic development induced at feminine temperature (30-33ºC)
and masculine temperature (26-27ºC). The measurement value of the cycle
threshold (CT) was performed on the stages 23-25 of embryonic development
during the thermo-sensitive period (TSP), and stages 26-27 of embryonic
development after the TSP. The fourth experiment was designed to investigate
the mating pattern of the olive ridley sea turtle females and gene flow in natural
populations using microsatellite markers as molecular markers.
The results of the first experiment showed that aromatase mRNA level was

not significantly different (p ˃ 0.01) between the CT value of tissue derived from
brain (30.59) and AKG complex (31.33). It seems that sample for real time-PCR
analyzing of the aromatase gene expression can be derived from brain tissue.
Based on the results of the first experiment, in the third experiment, the RNA of
the embryo brain tissue from olive ridley sea turtle could be used to measure the
expression profiles of three sex determination gene, i.e aromatase, SF-1, and
Rspond 1, respectively.
The results of the second experiment suggested that eggs incubated at
feminine temperature had shorter incubation periods (48-52 days) with higher
hatchability (88.33%) and embryo growth. Associated with the measurement of
morphometric and quality of the hatchling showed that hatchlings that incubated
at feminine temperatures had wider carapace, long and wide plastron, long flipper

vii

and arms, long neck, higher frequency of flipper (power stroke), the relative size
of the lengths of the neck, the flipper, and the posture of the body were larger as
compared to those incubated at masculine temperature. Thus, it can be concluded
that induction with feminine temperature affects the bioreproduction,
morphometric, and locomotory performance of hatchlings.

The results of the third experiment showed that the levels of aromatase
gene expression and Rspond 1 after TSP on embryos incubated at feminine
temperatures were higher and different from those incubated at masculine
temperature. In contrast, the expression of SF-1 gene was not significantly
different between incubation temperatures at all embryonic development stages of
olive ridley sea turtles. Nonetheless, empirical data showed that the SF-1 mRNA
level at all stages of embryonic development of turtle incubated at feminine
temperature was higher than those incubated at masculine temperature. Thus both
aromatase and Rspond 1 genes, played essential roles in ovarian differentiation in
the olive ridley sea turtles incubated at feminine temperature, while the SF-1 gene
influenced testicular differentiation of the olive ridley sea turtles incubated at
masculine temperature.
The results of the fourth experiment showed that the five microsatellite
loci (OR-1, OR-4, OR-7, OR-11 and OR-14) could detect multiple paternities
phenomenon with paternal allele distribution of locus OR-11, OR-4 and OR-1 and
OR-14 were 3 alleles, 2 alleles, and 2 alleles, respectively. Based on the number
of alleles of hatchling that were discovered at OR-11 locus showed the fact that a
female turtle in Taman Buru Bena mate with more than one male turtles
(polyandry). The results of CERVUS analysis showed the average of paternal
candidate were 2. This fact confirmed that the phenomenon of multiple paternities

occurred in the olive ridley sea turtles population at the Timor Sea.
The overall results of this research provide the scientific facts that the
incubation temperatures can affect bioreproduction, morphometric, locomotory
performance, and the profile expression of gene determining sex in olive ridley
sea turtles. This means that changes in microclimate in the nest during the period
of egg incubation will affect the phenotype of olive ridley sea turtles, a species
with temperature-dependent sex determination. Associated with genetic
conservation strategy, the reproductive behavior of female turtle that is polyandry
is very close to the multiple paternities phenomenon that enhances the size of
population and the genetic diversity of the olive ridley sea turtle. The results of
this experiment could be used to support the implementation of the genetic
conservation strategy and genetic diversity of the olive ridley sea turtle in the
Taman Buru Bena, Timor Island.
Keywords: incubation temperature, phenotype, sex determination gene, real timePCR, microsatellites, multiple paternities, conservation, Lepidochelys
olivacea

viii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ix

PENGARUH SUHU INKUBASI PADA BIOREPRODUKSI DAN
DIFERENSIASI SEKS, SERTA ANALISIS STRATEGI REPRODUKSI
PENYU LEKANG (Lepidochelys olivacea) BERDASARKAN MARKA
MOLEKULER MIKROSATELIT

ALFRED ONISIMUS MAKSIMUS DIMA

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Mayor Biosains Hewan (BSH)

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

x

Penguji pada Ujian Tertutup:
Prof Dr Ir Ridwan Affandi, DEA
(Staf Pengajar pada Departemen Managemen Sumber Daya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor)
Dr Hawis Madduppa, MSc
(Staf Pengajar pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor)
Penguji pada Sidang Promosi Terbuka:
Dr Sudirman Saad, M.Hum
(Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Kementerian
Kelautan dan Perikanan RI)
Prof Dr Ir Ridwan Affandi, DEA
(Staf Pengajar pada Departemen Managemen Sumber Daya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor)

xi

xii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012, ialah Pengaruh Suhu
Inkubasi pada Bioreproduksi dan Diferensiasi Seks, serta Analisis Strategi
Reproduksi Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) Berdasarkan Marka Molekuler
Mikrosatelit.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Dedy Duryadi Solihin
DEA, Bapak Prof Ir Wasmen Manalu PhD, dan Bapak Prof Drh Arief Boediono
PhD, PAVet(K) selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberi solusi
dan bimbingan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr
Drh Djoko Pamungkas, Ibu Dr Drh Diah Iskandriati M.Si, Dr Uus Saepuloh
M.Biomed serta staf Laboratorium Biologi Molekuler PSSP-LPPM IPB Bogor,
serta Bapak Danny Gunelan beserta staf PT. Alam Nusantara Farm. Kranggang,
Cibubur yang telah membantu selama penelitian berlangsung. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada Dr. Dwi Prasetyo, M.Kom, Dr Kebamoto Tanabi ,
Dr Refli Sampe MSc, Dr Dodi Darmakusuma beserta keluarga, Doansi Tarihoran,
MSi, semua dosen IPB yang telah memberikan ilmu kepada penulis, rekan-rekan
dari Universitas Nusa Cendana dan Universitas Patimura, rekan-rekan Gita Swara
Pascasarjana (GSP) IPB, rekan-rekan Mayor Biosains Hewan angkatan 2010
selama studi dan riset ini berlangsung. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Rektor Universitas Nusa Cendana dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
(DIKTI), dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sabu Raijua atas semua dukungan
pembiayaan Program Doktor ini.
Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada mama, istri dan
anak berdua tersayang, dan keluarga, yang dengan sabar terus mendukung dalam
doa dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaiakan studi Doktor di
IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Alfred O M Dima

xiii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
xv
xv
xvi

 

1  PENDAHULUAN



Latar Belakang



Tujuan Penelitian



Manfaat Penelitian



Kebaruan



Kerangka Pemikiran



2  PERBANDINGAN EKSPRESI GEN AROMATASE DARI BERBAGAI
JARINGAN HEWAN MODEL, PENYU HIJAU (Chelonia mydas)



Pendahuluan



Bahan dan Metode



Hasil



Pembahasan

10 

Kesimpulan

12 

3  BIOREPRODUKSI,
MORFOMETRIK,
DAN
PERFORMA
LOKOMOTORI PENYU LEKANG (Lepidochelys olivacea) YANG
DIINDUKSI PADA SUHU INKUBASI BERBEDA

13 

Pendahuluan

13 

Bahan dan Metode

14 

Hasil

16 

Pembahasan

19 

Kesimpulan

22 

4  PROFIL EKSPRESI SEJUMLAH GEN DETERMINASI SEKS PENYU
LEKANG YANG DIINDUKSI DENGAN SUHU INKUBASI BERBEDA

23 

Pendahuluan

23 

Materi dan Metode

24 

Hasil

26 

Pembahasan

28 

Kesimpulan

31 

xiv

5  ANALISIS SISTEM PERKAWINAN DAN ALIRAN GEN PADA
POPULASI PENYU LEKANG DI PANTAI BENA SEBAGAI UPAYA
STRATEGI KONSERVASI GENETIK

32 

Pendahuluan

32 

Materi dan Metode

33 

Hasil

34 

Pembahasan

37 

Kesimpulan

39 

6  PEMBAHASAN UMUM

40 

7  KESIMPULAN DAN SARAN

49 

Kesimpulan

49 

Saran

49 

8  DAFTAR PUSTAKA

51

RIWAYAT HIDUP

71

xv

DAFTAR TABEL
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8

Nilai cycle threshold (CT) gen aromatase penyu hijau yang diinkubasi
pada suhu feminin
Bioreproduksi penyu lekang yang diinduksi pada dua suhu inkubasi
Performa lokomotori tukik penyu lekang yang diinduksi pada dua suhu
inkubasi
Fenotipe tukik penyu lekang yang diinduksi pada dua suhu inkubasi
Ringkasan informasi alel pada 5 lokus mikrosatelit penyu L. olivacea
Jumlah minimum pejantan berdasarkan jumlah alel paternal dari empat
marka mikrosatelit yang bervariasi
Jumlah maksimum pejantan berdasarkan jumlah alel paternal dari lima
marka mikrosatelit yang bervariasi
Diversitas Alel (k), Heterozigositas observasi dan eksperasi (HObs dan
HExp), dan probabilitas (nilai p) dari uji Kesetimbangan HardyWeimberg (HWE) pada lima lokus mikrosatelit berdasarkan genotipe
multilokus dari 24 tukik penyu lekang

10
18
18
19
35
36
37

37

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Kerangka pemikiran induksi suhu terhadap bioreproduksi,
morfometrik, performa lokomotori, ekspresi gen, dan strategi
konservasi genetik populasi penyu L. olivacea
Pola pita cDNA β-actin dan gen aromatase dari jaringan otak dan
kompleks AKG penyu C. mydas
Pengukuran morfometrik tukik dilakukan terhadap 9 karakter
Pertumbuhan embrio penyu lekang (g) yang diinkubasi pada dua suhu
yang berbeda
Slop pertumbuhan embrio penyu lekang (g) yang diinkubasi suhu
feminin (a), dan suhu maskulin (b)
Profil ekspresi gen aromatase (CT) pada tahapan embrional penyu
lekang
Profil ekspresi gen SF-1 (CT) pada tahapan embrional penyu lekang
Profil ekspresi gen Rspond 1 (CT) pada tahapan embrional penyu
lekang
Kromatogram jumlah dan distribusi alel pada lokus OR-11
Diferensiasi gonad (testis dan ovarium) reptil TSD pada periode
sebelum, selama, dan setelah TSP
Mekanisme jejaring kerja gen determinasi seks aromatase, SF-1 dan
Rspond 1 pada spesies TSD (reptil) dan spesies GSD (mamalia)

6
9
16
17
17
27
27
28
36
43
44

xvi

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1

Frekuensi alel, simulasi analisis paternitas penyu lekang

63

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Vertebrata menunjukkan mekanisme penentuan seks secara luar biasa, yang
secara umum diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu determinasi seks secara
genotipe (Genotipyc mechanisms of Sex-Determination, GSD) dan determinasi seks
yang dipengaruhi lingkungan (Environmental Sex-Determination, ESD). Pada spesies
GSD, faktor genetik berperan secara langsung dalam pembentukan gonad, sedangkan
pada spesies ESD, terdapat banyak faktor lingkungan yang mempunyai kapasitas
untuk memengaruhi seks dan tidak bergantung pada komposisi genetik zigot
(Bull1980, Crews 1993).
Di antara faktor fisik, suhu berperan secara langsung selama periode inkubasi
(Spotila dan Standora 1985, Packard dan Packard 1988, Miller et al.2003). Beberapa
penelitian sebelumnya menunjukkan fakta bahwa keberhasilan inkubasi penyu terjadi
pada kisaran suhu 26°C hingga 33°C (Mrosovsky dan Yntema1980, Miller 1982,
1985). Selain itu, suhu inkubasi juga dapat memengaruhi nisbah kelamin dan periode
inkubasi (Miller dan Limpus 1981, Ackerman 1997), dan sejumlah fenotipe tukik,
seperti nisbah kelamin, bentuk dan ukuran tubuh, jumlah kuning telur yang
dikonversi selama perkembangan embrionik, performa berenang, kelangsungan
hidup, dan tingkah laku (Booth et al.2007, Reece et al.2002, Maulany et al.2012,
Congdon et al.1999, Ischer et al.2009).
Setiap spesies reptil mempunyai periode atau ambang batas sensitif suhu
(Thermo-sensitive Period, TSP), suatu periode yang menentukan nasib perkembangan
gonad yang mengarah ke jantan atau betina (Mrosovsky et al.2002). Periode ini
dimulai dengan terbentuknya gonad selama embriogenesis yang terjadi pada sepertiga
masa perkembangan embrio. Selain suhu, konsentrasi dan aktivitas hormon steroid
nukleus, seperti estrogen, terlibat dalam pembentukan seks gonadal melalui proses
transkripsi yang mengatur gen target (Ramsey dan Crews 2007;Tsai dan O’Malley
1994).
Adanya ketergantungan pada suhu dan hormon memungkinkan terjadinya
adaptasi yang cepat dari nisbah kelamin terhadap perubahan lingkungan. Pada sisi
lain, populasi ESD, seperti penyu lekang (Lepidochelys olivacea) dapat terancam
punah karena perubahan lingkungan eksternal yang menyebabkan perubahan
siknifikan pada nisbah kelamin.
Pada vertebrata mamalia, terdapat sejumlah faktor transkripsi dan molekul
sinyal yang telah diketahui berperan dalam diferensiasi testikular pada bagian ujung
atas (upstream) dan ujung bawah (downstream) SRY. Akan tetapi gen SRY tidak
homolog keberadaannya untuk hewan vertebrata non-mamalia.
Torres et al. (2002) melaporkan bahwa selama perkembangan gonad pada
penyu L. olivacea, tiga gen yang mengontrol determinasi seks, yaitu gen Dax1,
Dmrt1, dan Sox9 berhasil diekspresikan ketika diinkubasi pada suhu yang
mempromosi jantan dan betina. Pada Trachemys scripta, spesies TSD (Temperature-

2

dependent Sex Determination) ditemukan bahwa gen steroidogenik faktor-1(SF-1)
yang berperan penting dalam determinasi seks dan pengaturan berbagai enzim
steroidogenik di antaranya enzim aromatase, menunjukkan bahwa gen SF-1 dan
aromatase diekspresikan secara berbeda selama determinasi seks. Gen SF-1
diekspresikan pada level yang lebih tinggi selama perkembangan testis, sementara
ekspresi aromatase meningkat selama perkembangan ovarium (Ramsey et al.2007,
Pieau dan Dorizzi 2004).
Pada beberapa spesies penyu laut, beberapa kemungkinan yang terjadi setelah
ditetaskan adalah penyu akan hanyut di lautan terbuka untuk beberapa tahun, dan saat
dewasa melakukan migrasi secara periodik hingga 2.700 km antara tempat mencari
makan dan tempat kawin. Studi awal tagging menunjukkan bahwa betina yang akan
bertelur kembali ke sarang pada pantai tertentu untuk musim berikutnya. Ketika
penyu melakukan migrasi ke area mencari makan biasanya penyu melakukan
overlapping pada area perkawinan populasi lainnya. Dari observasi tersebut, beberapa
hipotesis yang muncul berkaitan dengan tingkah laku dan aliran gen populasi, yaitu
(i) sifat filopatrik yang dimiliki oleh betina untuk tetap setia pada tempat asalnya
(natal homing); (ii) terjadinya peristiwa paternitas majemuk, betina kawin dengan
beberapa jantan dalam satu siklus reproduksi (poliandri), dan (iii) betina hanya kawin
dengan satu jantan (monogami).
Beberapa tahun terakhir, peristiwa paternitas majemuk telah dideteksi
menggunakan marka allozyme, mtDNA, minisatelit, dan mikrosatelit pada beberapa
spesies penyu laut dari Chelonidae dan Dermochelydae. Beberapa studi menunjukkan
adanya peristiwa paternitas majemuk pada penyu ( Pearse dan Avise 2001), Carettacaretta (Bolmer et al.1999), Lepidochelis kempy (Kichler et al.1999), C. mydas (Lee
dan Hays 20004, FitzSimmons 1998, Parker et al.1996), L. olivacea (Hoekert et
al.2002), dan Dermochelys cariacea (Rieder et al.1998; Roden dan Dutton 2011).
Informasi tentang induksi suhu inkubasi yang berhubungan dengan bioreproduksi,
morfometrik, performa lokomotori, dan determinasi seks pada spesies TSD, yang
melibatkan tiga gen (aromatase, SF-1, dan Rspond 1), filopatrik pada penyu L.
olivacea sebagai penelitian eksplorasi sangat dibutuhkan untuk menentukan strategi
dan langkah konservasi penyu lekang. Selain itu, tingkat keragaman dalam populasi,
terutama keragaman genetik, dapat juga dipergunakan untuk memperkirakan tingkat
risiko kepunahan penyu L. olivacea. Kajian menyeluruh mengenai aspek
bioreproduksi, morfologi, genetik, dan ekologis diperlukan sebagai informasi untuk
menentukan langkah pelestarian penyu lekang. Oleh sebab itu telah dilakukan
penelitian tentang Pengaruh Suhu Inkubasi pada Bioreproduksi dan Diferensiasi Seks,
serta Analisis Strategi Reproduksi Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea)
Berdasarkan Marka Molekuler Mikrosatelit.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah mengeksplorasi potensi biologi dan
reproduksi penyu lekang sebagai upaya konservasi populasi penyu lekang.
Berdasarkan tujuan utama tersebut, maka tujuan khusus penelitian ini dirinci sebagai

3

berikut. Pada Bab II disajikan penelitian yang mengkaji pengaruh suhu inkubasi pada
ekspresi gen aromatase pada penyu hijau (C. mydas) yang berasal dari jaringan
berbeda, yaitu otak dan kompleks urogenital (AKG), sebagai studi pendahuluan. Oleh
karena penyu hijau dan penyu lekang memiliki tingkat kekerabatan tinggi, termasuk
dalam family Chelonidae, maka studi pendahuluan untuk memilih salah satu jaringan
untuk pengukuran ekspresi gen determinasi seks diharapkan menjadi dasar untuk
pengukuran ekspresi gen determinasi seks penyu lekang. Pada Bab III disajikan
penelitian yang menganalisis aspek bioreproduksi, morfometrik, dan performa
lokomotori tukik penyu lekang yang diinduksi suhu inkubasi yang berbeda. Pada Bab
IV disajikan penelitian yang mengukur profil ekspresi sejumlah gen yang terlibat
dalam determinasi seks selama perkembangan embrional penyu lekang sebagai hasil
dari induksi suhu inkubasi. Pada Bab V disajikan penelitian yang menginvestigasi
pola perkawinan penyu lekang betina di perairan Pantai Bena dan aliran gen dalam
populasi alam menggunakan marka mikrosatelit sebagai marka molekuler, dan
akhirnya pada Bab VI dan VII dilakukan pembahasan secara keseluruhan dan
simpulan yang berimplikasi secara ekologis bagi strategi pengelolaan dan konservasi
populasi penyu lekang di perairan Taman Buru Bena Timor.
Manfaat Penelitian
Manfaat utama penelitian ini adalah diperoleh gambaran tentang pengaruh
induksi suhu inkubasi telur pada aspek bioreproduksi, performa lokomotori,
morfometrik, profil ekspresi gen determinasi seks, dan strategi reproduksi penyu
lekang dalam mempertahankan populasinya yang terancam keberadaannya. Manfaat
ilmiah penelitian ini adalah berkontribusi dalam menyediakan informasi ilmiah,
antara lain: (i) diperoleh data tentang sejumlah parameter bioreproduksi penyu lekang
selama perkembangan embrional, parameter morfometrik dan performa lokomotori
tukik; (ii) diperoleh fakta tentang profil ekspresi sejumlah gen yang terlibat dalam
determinasi seks selama perkembangan embrional penyu lekang; (iii) diperoleh fakta
tentang pola perkawinan dan aliran gen penyu lekang pada populasi penyu lekang
Taman Buru Bena, Timor.
Kebaruan
Kebaruan yang diperoleh dari penelitian ini adalah (i) isolasi tiga gen
determinasi seks, yaitu aromatase, SF-1, dan Rspond 1 yang berasal dari jaringan
otak (selain kompleks AKG) untuk profil ekspresi gen menggunakan teknik real- time
PCR sebagai salah satu sumber alternatif baru untuk mengidentifikasi ekspresi gen
penyu lekang; (ii) penggunaan sejumlah ukuran bioreproduksi, morfometrik, dan
lokomotori tukik untuk penentuan seks di populasi alam; (iii) penggunaan marka
mikrosatelit untuk mendeteksi strategi reproduksi populasi penyu lekang di perairan
laut Timor.

4

Kerangka Pemikiran
Keberadaan penyu, baik di dalam perairan maupun saat bertelur ketika menuju
daerah peneluran, banyak mendapatkan gangguan yang menjadi ancaman bagi
kehidupannya. Permasalahan yang dapat mengancam kehidupan penyu secara umum
dapat digolongkan menjadi ancaman alami dan ancaman karena perbuatan manusia.
Data betina yang mendarat untuk meletakkan telurnya selama 5 tahun terakhir
(2010-2014) di pantai Taman Buru Bena, secara berurutan sebanyak 117, 202, 63, 28,
dan 82 ekor. Demikian juga, jumlah tukik yang dilepas ke laut berturut-turut
sebanyak 12.921, 20.499, 6.618, 2.355, dan 5.418 ekor. Hal ini menunjukkan ada
kecenderungan penurunan populasi penyu lekang yang dapat mengarah kepada
kepunahan. Beberapa faktor utama yang memengaruhi populasi penyu lekang di
pantai Bena ialah adanya gangguan atau ancaman karena perbuatan manusia dan
ancaman alami. Ancaman yang disebabkan oleh manusia antara lain (i) adanya
aktivitas perikanan, baik disengaja maupun tidak disengaja dengan berbagai alat
tangkap; (ii) penangkapan penyu dewasa untuk dimanfaatkan daging, cangkang, dan
tulangnya; (iii) pengambilan telur di sarang alami. Gangguan atau ancaman alami
yang setiap saat dapat mengganggu kehidupan penyu antara lain: (i) Pemangsaan
(predation) tukik, baik terhadap tukik yang baru keluar dari sarang maupun terhadap
tukik di laut bebas; (ii). Perubahan iklim yang menyebabkan permukaan air laut naik
dan banyak terjadi erosi pantai peneluran sehingga hal tersebut berpengaruh pada
perubahan daya tetas dan keseimbangan rasio kelamin tukik.
Kondisi inilah yang menyebabkan penyu lekang di Pantai Bena, Timor, dan
jenis penyu lainnya di Indonesia, diberikan status dilindungi dengan kategori
Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangared Species). Oleh
karena itu, upaya pengelolaan seperti restocking, manipulasi suhu inkubasi, dan
konservasi penyu lekang di pantai Bena merupakan syarat mutlak untuk menjamin
kelangsungan populasi penyu tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa faktor penting yang memengaruhi diversitas
genetik sebuah populasi adalah ukuran populasi yang efektif (Sugg dan Chesser
1994), variabilitas di dalam populasi, dan nisbah kelamin (Baer dan Schmid-Hempel
1999). Oleh karena variasi genetik dalam populasi penyu penting untuk adaptasi
terhadap perubahan kondisi lingkungan dan level diversitas genetik maka faktor yang
memengaruhi untuk mempertahankan diversitas genetik menjadi perhatian utama
untuk tujuan konservasi. Ukuran populasi kecil atau penurunan populasi akan
terancam depresi inbreeding dan kehilangan variasi genetik secara acak (random)
melalui hanyutan genetik.
Induksi suhu inkubasi memengaruhi ekspresi sejumlah gen yang terlibat dalam
determinasi seks dan pada akhirnya akan memengaruhi nisbah kelamin tukik. Gengen yang umumnya ada pada spesies GSD dan TSD yang mengatur diferensiasi gonad
secara berurutan telah diidentifikasi, seperti Sox9, SF-1, Wt1, Dax1, Dmrt1, AMH,
Rspond 1, dan aromatase. Shoemaker et al. (2007b) menyatakan bahwa gen Sox9,
Mis, dan Dmrt1 terlibat dalam diferensiasi testis kura-kura Trachemys scripta.
Sejalan dengan hal tersebut, Torres et al. (2001) melaporkan profil ekspresi gen
Dax1, Dmrt1, dan Sox9 selama perkembangan gonad penyu L. olivacea. Hasil

5

penelusuran pustaka menunjukkan belum tersedia informasi secara lengkap tentang
profil ekspresi semua gen determinasi seks pada penyu L. olivacea.
Murphy et al. (2007) dan Hoekert (2002) menyatakan ada dua faktor genetik
yang memengaruhi populasi penyu, yaitu (i) aliran gen di dalam populasi membantu
sebaran alel baru yang diperoleh melalui materi genetik; (ii) tingkah laku perkawinan
betina (monoandri versus poliandri) memengaruhi variabilitas keturunannya,
terutama ketika poliandri dikombinasikan dengan paternitas majemuk.
Investigasi sistem perkawinan pada penyu menunjukkan fakta bahwa terdapat
banyak keuntungan yang diperoleh melalui perkawinan dengan banyak pejantan,
seperti meningkatnya variasi genetik pada keturunannya sebagai akibat dari
meningkatnya nilai Ne ( Sugg dan Chesser 1994), menghindari inbreeding (Reynolds
1996), dan meningkatkan keberhasilan fertilisasi karena tersedianya sperma dalam
satu musim kawin (Lee dan Hays 2004). Oleh karena itu, pengetahuan tentang biologi
reproduksi dan sistem perkawinan dari penyu lekang sebagai spesies terancam punah
menjadi penting sebagai strategi reproduksi untuk memaksimumkan diversitas
genetik keturunan sepanjang kehidupan penyu.
Pemerintah Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan bekerja sama dengan
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) wilayah I Nusa Tenggara
Timur dalam upaya konservasi penyu lekang, tetapi masih terbatas pada aktivitas
penangkaran semi-alami. Strategi pengelolaan dan konservasi berkelanjutan bagi
penyu lekang yang terancam punah bisa dilakukan melalui sejumlah kajian secara
rutin dan simultan dalam rangka mendukung keberhasilan pengelolaan dan
konservasi penyu secara berkelanjutan. Beberapa kajian tersebut, seperti pengaruh
suhu dan hormonal pada determinasi seks, ekspresi sejumlah gen selama
perkembangan embrional penyu, aliran gen di dalam dan antarpopulasi yang dapat
menggambarkan struktur genetik populasi maupun filogenetik. Langkah selanjutnya
adalah implementasi hasil kajian penelitian tersebut sesuai dengan skala prioritas dan
arah kebijakan pengembangan kawasan pendaratan dan peletakan telur penyu lekang
di perairan Taman Buru Bena, PulauTimor yang berpihak pada konservasi yang
berkelanjutan. Secara grafis, bagan alur pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.

6

Status Penyu Lekang di Bena :
Apependix I CITES

Penurunan

Ukuran

Populasi

Ancaman faktor manusia dan
faktor alam

Sistem perkawinan

Nisbah kelamin

Strategi reproduksi

Laporan penelitian
tentang sistem
perkawinan, dan
aliran gen dalam
populasi penyu

TSD

Laporan penelitian tentang profil
ekspresi sejumlan gen yang
menentukan seks selama
perkembangan embrional dan
khusus Penyu Lekang (termasuk
di Bena)belum lengkap profil
ekspresi gen determinasi seks

Data bioreproduksi,
morfometrik dan
performa
lokomotori tukik
perlu dilengkapi

Diperlukan kajian molekuler yang dapat menjelaskan pengaruh suhu inkubasi pada
nisbah kelamin, pola perkawinan dan aliran gen pada
populasi Penyu Lekang di Bena Pulau Timor

Profil ekspresi gen
determinasi seks dengan
manipulasi suhu inkubasi
telur penyu

Analisis pola perkawinan
penyu betina dengan
pendekatan molekuler

Diperolehnya informasi simultan tentang bioreproduksi,
morfometrik dan performa lokomotor, profil ekspresi
gen determinasi seks, sistem perkawinan dan aliran gen
dalam populasi penyu lekang di perairan Taman Bena,
Timor

Implementasi hasil kajian riset sesuai dengan skala prioritas dan arah kebijakan
pengembangan dan konservasi untuk peningkatan ukuran populasi dan peningkatan keragaman
genetik populasi penyu lekang di perairan Taman Buru Bena, Timor secara berkelanjutan

Gambar 1

Kerangka pemikiran pengaruh suhu inkubasi pada bioreproduksi dan
diferensiasi seks, serta analisis strategi reproduksi penyu lekang
(Lepidochelys olivacea) berdasarkan marka molekuler mikrosatelit.

7

2

PERBANDINGAN EKSPRESI GEN AROMATASE DARI
BERBAGAI JARINGAN HEWAN MODEL, PENYU HIJAU
(Chelonia mydas)
Pendahuluan

Kebanyakan reptil, induksi suhu inkubasi sangat menentukan diferensiasi seks
(TSD). Pada penyu laut, seperti penyu hijau (C. mydas), betina dihasilkan pada suhu
lebih tinggi (30-35°C), dan jantan dihasilkan pada suhu lebih rendah, yakni 20-27°C
(Pieau et al. 1999). Penentuan seks pada tukik hingga usia muda sulit dilakukan,
karena secara morfologi penyu tidak memiliki karakter dimorfisme dan kromosom
seks heteromorfik. Oleh karena itu, metode penentuan seks selain ditentukan dengan
induksi suhu inkubasi juga dapat dilakukan dengan pengukuran ekspresi sejumlah
kandidat gen yang terlibat dalam penentuan seks selama perkembangan embrio atau
setelah penetasan.
Aromatase adalah enzim yang mengkonversi (androgen) androstenedion atau
testosteron menjadi estrone, estrogen, atau 17β-estradiol (E2) (Simpson et al.1994).
Enzim ini telah diidentifikasi dalam gonad, hati, otak, dan berbagai jaringan perifer,
seperti sel-sel lemak pada mamalia, serta dalam gonad dan otak dari ikan dan
amphioxus (Simpson et al.1994, Callard et al.1988). Ikan teleost memiliki dua gen
aromatase, yaitu cyp19a1a (aromatase A) yang spesifik pada gonad dan cyp19a1b
(aromatase B), yang diekspresi sangat kuat pada otak. Walaupun distribusi gen
aromatase terdapat di beberapa jaringan, ekspresi dan aktivitas aromatase dapat
diubah oleh suhu, musim, dan sejumlah hormon steroid (D'Cotta et al.2001).
Transkripsi aromatase telah terdeteksi dalam jumlah yang signifikan di otak dan
gonad, terutama pada spesies vertebrata (Simpson et al.1994). Ikan teleost
mengekspresikan level tertinggi aktivitas aromatase pada otak, yaitu 100-1000 kali
lebih besar pada area hipotalamus preoptik dibandingkan mamalia (Callard et
al.1988). Barlian et al. (2008) melaporkan ekspresi gen aromatase pada jaringan
gonad embrio penyu C. mydas yang diinkubasi baik pada suhu feminin dan maskulin.
Penyu hijau dan penyu lekang memiliki hubungan kekerabatan yang tinggi dan
termasuk dalam satu family Chelonidae. Penelusuran literatur lebih lanjut belum
menemukan informasi tentang perbandingan profil ekspresi gen aromatase yang
berasal dari jaringan berbeda penyu hijau. Sehubungan dengan hal tersebut maka
telah dilakukan penelitian tentang perbandingan ekspresi gen aromatase penyu hijau
(C.mydas) yang diekstrak dari jaringan kompleks urogenital (AKG) dan otak yang
diinkubasi pada suhu feminin (30-33°C). Hasil penelitian ini dijadikan sebagai dasar
pemilihan jaringan yang akan digunakan untuk mengukur ekspresi ketiga gen
determinasi seks penyu lekang.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2012 sampai Januari 2013 di
Kawasan Taman Konservasi dan Penangkaran penyu Pangumbahan Sukabumi.

8

Tahapan inkubasi telur dilakukan di inkubator. Pengukuran ekspresi gen aromatase
dilakukan di Laboratorium Biologi dan Molekuler PSSP-LPPM IPB Bogor. RNA
total diekstraksi dari dua jaringan, yaitu kompleks AKG dan otak tukik penyu hijau
yang diinkubasi pada suhu feminin (30-33°C). RNA total diekstraksi menggunakan
kit RNeasy Qiagen. Konsentrasi RNA diukur dengan nanodrop. Reaksi RT-PCR
dilakukan dengan cara dua langkah (two steps) kit RT-PCR (Invitrogen). Untuk reaksi
pemanjangan dengan primer oligo(dT)20, dNTPs 10 µM, dan dH2O masing-masing
sebanyak 1 µL dengan jumlah RNA total yang diisolasi dari otak dan AKG tukik
penyu hijau sebanyak 10µL. Campuran reaksi diinkubasi pada suhu 65°C selama 5
menit. Selanjutnya sintesis cDNA dengan campuran 10 x RT buffer 2 µL, 25µM
MgCl2 4 µL, 0.1 M DTT sebanyak 2 µL, RNase out dan Superscript III RT
(Invitrogen) masing-masing 1 µL. Inkubasi dilanjutkan pada suhu 50°C selama 50
menit dan diakhiri pada suhu 85°C selama 5 menit. Selanjutnya campuran reaksi
tersebut ditambahkan RNAse H sebanyak 1 µL sehingga diperoleh volume akhir
sebanyak 24 µL dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 20 menit.
Amplifikasi gen aromatase dilakukan dengan menggunakan dua primer, yaitu
qmAromatase forward (5′-TGGGTTACAGTGCATTGGC-3′) dan qmAromatase
reverse (5′-GAGGCCTGGACCAGACAA-3′) dengan produk PCR 110 bp. Untuk
kontrol ekpresi, dilakukan amplifikasi mRNA ß-actin menggunakan sense primer:
5’GCTCGTCGTCGACCACGGCTC-3’ dan antisense primer: 5’-CAAACATGA
TCTGGGTCATCTTCTC-3’dengan produk PCR 353 bp. Campuran reaksi yang
digunakan untuk amplifikasi PCR sebagai berikut: forward dan reverse primer
masing-masing gen target sebanyak 1 µL, Kappa HS Ready Mix (Kappa) sebanyak
12,5 1 µL, dH2O sebanyak 8 µL, dan cetakan cDNA sebanyak 2,5 µL untuk gen
target. Amplifikasi gen target terhadap cDNA menggunakan mesin PCR Verity
(Applied Bio system), dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: denaturasi awal
pada suhu 94°C selama 5 menit, amplifikasi dilakukan sebanyak 40 siklus terdiri atas
denaturasi pada suhu 94°C selama 30 detik, annealing pada suhu 55°C selama 30
detik, ekstensi pada suhu 72°C selama 30 detik dan diakhiri dengan final ekstensi
pada suhu 72°C selama 7 menit.
Produk PCR dielektroforesis dengan menggunakan gel agarosa 1.8% yang
mengandung ethidium bromide dalam bufferTAE 1x pada voltase 100 selama 45
menit. Selanjutnya pita PCR divisualisasikan di bawah mesin UV gel doc. (Biored).
Profil ekspresi gen dikuantifikasi menggunakan SYBR Green I dye (Biored) dan
direaksikan pada mesin real-time PCR iQ real time PCR Detection System (Biored).
Kondisi PCR dilakukan sebagai berikut: denaturasi awal pada suhu 94°C selama 5
menit. Proses amplifikasi dilakukan sebanyak 40 siklus terdiri atas denaturasi pada
suhu 94°C selama 30 detik, annealing pada suhu 55°C selama 30 detik, ekstensi pada
suhu 72°C selama 30 detik, dan diakhiri dengan final ekstensi pada suhu 72°C selama
7 menit. Koleksi data dilakukan pada tahap ekstensi setiap sampel. Setiap sampel
dijalankan secara duplo (duplikasi) dan nilai tengah cycle treshold (CT) yang
diperoleh digunakan untuk menganalisis ekspresi gen. Cycle threshold adalah siklus
yang nilai fluorosence mulai meningkat dan terdeteksi pada base line grafik yang
menunjukkan jumlah amplikon yang teramplifikasi pada siklus tersebut. Kriteria nilai
CT yang diperoleh pada setiap gen, yaitu nilai cycle threshold yang diperoleh

9

berbanding terbalik dengan level ekspresi gen. Artinya, semakin kecil nilai CT
semakin besar ekspresi gen yang bersangkutan. Uji t Student digunakan untuk
membandingkan level mRNA aromatase yang berasal dari otak dan kompleks AKG
tukik.
Hasil
Target gen yang diisolasi dalam penelitian ini adalah gen aromatase penyu
C.mydas. Amplifikasi gen aromatase dilakukan dengan teknik PCR yang
menghasilkan produk PCR 110 bp dan sebagai house keeping gene digunakan β-actin
dengan produk PCR 353 bp. Hasil elektroforesis agarosa terhadap transkripsi balik
mRNA menjadi cDNA ekspresi kedua gen terlihat pada Gambar 2.
Berdasarkan visual hasil elektroforesis untuk gen aromatase menunjukkan pita
spesifik dengan keberadaan dapat ditemukan pada jaringan otak dan kompleks AKG.
Selain itu, terlihat bahwa pita gen aromatase dari jaringan otak lebih tebal dan bersih
dibandingkan dengan yang berasal dari jaringan kompleks AKG. Hasil ini bukan
berarti level ekspresi aromatase pada otak lebih tinggi dari kompleks AKG. Oleh
karena itu, untuk menguji hasil kualitatif berupa pola pita tersebut dilakukan
kuantifikasi terhadap mRNA aromatase menggunakan teknik real-time PCR. Hasil
analisis real-time PCR diperoleh nilai cycle threshold (CT) gen aromatase dan β-actin
yang diisolasi dari dua jaringan berbeda, yaitu otak dan kompleks AKG.
Pengumpulan data dilakukan secara duplo (Tabel 1).

(a)

(b)

(a) cDNA β-actin, L = lader 1 kb, 1,3= AKG, 2,4= otak, (b) cDNA aromatase

Gambar 2 Pola pita cDNA β-actin dan gen aromatase dari jaringan otak dan
kompleks AKG penyu C. mydas
Data CT yang diperoleh pada sampel penyu C.mydas yang diisolasi dari kedua
jaringan menunjukkan perbedaan. Secara empiris, terlihat bahwa gen aromatase yang
berasal dari jaringan otak terekspresi lebih tinggi dengan nilai rataan CT sebesar 30.59
dibandingkan dengan nilai rataan CT yang berasal dari jaringan kompleks AKG
(31.33). Artinya, aktivitas gen aromatase pada jaringan otak terekspresi lebih tinggi
dibandingkan dengan jaringan kompleks AKG tukik. Untuk mengetahui apakah ada
perbedaan di antara kedua nilai tengah tersebut, maka dilanjutkan dengan uji dua nilai
tengah. Hasil analisis statistik “uji t” menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p
˃0.01). Dengan demikian, untuk keperluan pengujian profil ekspresi mRNA gen

10

aromatase pada tukik C.mydas dapat digunakan jaringan yang berasal dari jaringan
otak maupun jaringan kompleks AKG melalui analisis real-time PCR.
Tabel 1 Nilai cycle threshold (CT) gen aromatase penyu hijau yang diinkubasi pada
suhu feminin
No
Sampel jaringan
Nilai cycle threshold (ct)
Ulangan 1 Ulangan 2
Rerata
1
Aromatase kompleks AKG
31.27
31.38
31.33
2
Aromatase otak
31.40
29.78
30.59
3
β-actin kompleks AKG
28.21
29.46
28.83
4
β-actin otak
30.69
30.51
30.60

Pembahasan
Aktivitas aromatase telah terdeteksi pada gonad, otak, hati, dan jaringan
adiposa dari kebanyakan spesies vertebrata. Peranan enzim steroidogenik ini dalam
penentuan seks dan diferensiasi jaringan bervariasi, sesuai dengan tahap
perkembangan organisme. Sebagian besar penelitian tentang aromatase dan TSD pada
reptil telah banyak dilakukan dalam mengukur dan membandingkan level aktivitas
aromatase kompleks AKG dan otak pada stadium perkembangan embrional sebelum
TSP dan selama TSP pada reptil, termasuk penyu yang diinkubasi pada dua suhu yang
menghasilkan jantan dan betina.
Data aktivitas aromatase beberapa reptil menunjukkan bahwa ada perbedaan
aktivitas aromatase atau tingkat mRNA aromatase yang berasal dari kompleks AKG
selama TSP terjadi di antara kedua seks. Tingkat ekspresi mRNA aromatase pada
seks betina awalnya relatif rendah. Selanjutnya, peningkatan yang tajam pada stadia
perkembangan lanjutan. Pada beberapa spesies, peningkatan secara nyata terjadi
setelah TSP. Sebaliknya, pada spesies lain, terjadi menjelang akhir TSP. Jika hal ini
merupakan pola dasar yang terjadi pada reptil dengan TSD, maka peningkatan
aromatase yang tajam pada betina tidak dapat dikaitkan dengan penentuan seks,
melainkan dengan diferensiasi ovarium karena terjadi setelah TSP pada beberapa
spesies. Pada spesies burung, pola ekspresi aromatase serupa, yaitu meningkat secara
tajam pada gonad betina selama diferensiasi ovarium (Smith et al.1997).
Barlian et al. (2008) menyatakan bahwa gen aromatase gonad embrio penyu C.
mydas yang diinkubasi pada kedua suhu inkubasi terdeteksi tipis di korteks dan
medula gonad pada awal dan tengah TSP. Perbedaan kehadiran aromatase antara
gonad yang diinkubasi pada suhu feminin dan suhu maskulin baru muncul pada TSP
akhir. Pada gonad embrio yang diinkubasi pada suhu feminin, aromatase terdeteksi
tebal di sitoplasma sel-sel di daerah korteks dan medula, sedangkan pada suhu
maskulin aromatase terdeteksi tipis di sitoplasma sel-sel di daerah korteks dan
medula. Selanjutnya dijelaskan bahwa perbedaan yang sangat nyata terlihat pada
gonad embrio yang menetas, kehadiran aromatase di korteks dan medula semakin
tebal pada suhu feminin, dan semakin tipis pada suhu maskulin. Berdasarkan hasil

11

pola kehadiran aromatase selama TSP pada gonad embrio penyu hijau dapat
disimpulkan bahwa aromatase berperan dalam determinasi dan diferensiasi seks
gonad embrio penyu hijau, namun bukan merupakan target langsung dari suhu.
Diduga aromatase lebih berperan dalam diferensiasi gonad penyu hijau.
Penelitian pada kura-kura T. scripta menunjukkan bahwa TSP dimulai pada
stadium 15 dan berakhir pada stadium 19 perkembangan embrional pada suhu
feminin. Suhu maskulin dimulai pada stadium 15, dan berakhir di sekitar stadium 2021 (Wibbels et al.1991). Selanjutnya dijelaskan bahwa tingkat mRNA aromatase
pada kompleks AKG terdeteksi selama TSP (stadium 15, 17, dan 19) dengan tidak ada
perbedaan yang signifikan ekspresi mRNA aromatase pada suhu yang menghasilkan
betina dan jantan selama TSP. Namun, setelah TSP hingga menetas, tingkat ekspresi
mRNA aromatase pada betina secara signifikan lebih besar dibandingkan jantan.
Beberapa studi reptil lainnya telah melaporkan hasil yang sama dengan
penelitian ini. Studi aktivitas enzim aromatase dalam gonad-adrenal-mesonefros dari
buaya, Crocodile porosus (Smith dan Joss 1994a,b) dan buaya, Alligator
mississippiensis (Smith et al.1995) menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan
antara suhu inkubasi yang menghasilkan jantan dan betina selama TSP. Akan tetapi,
aktivitas enzim aromatase meningkat secara signifikan pada betina setelah TSP.
Selain itu, hasilnya konsisten dengan tingkat mRNA aromatase yang dilaporkan pada
buaya selama dan setelah TSP (Gabriel et al.2001). Kecenderungan yang sama juga
dilaporkan untuk tingkat mRNA aromatase pada kura-kura M. Terrapin, yaitu tingkat
mRNA aromatase pada betina meningkat 10-30 kali lipat menjelang TSP akhir
(Jeyasuria dan Place 1998). Sebaliknya, tingkat mRNA aromatase tidak terdeteksi
pada suhu yang menghasilkan jantan TSP akhir. Profil ekspresi aromatase yang sama
juga dilaporkan pada kura-kura E. orbicularis (Desvage dan Pieau 1992) dan penyu
D. coriacea (Desvage et al.1993), yaitu adanya aktivitas enzim aromatase yang lebih
tinggi pada gonad yang diinkubasi pada suhu yang menghasilkan betina selama TSP.
Dengan demikian, aktivitas aromatase relatif rendah terlihat selama bagian awal
dan/atau pertengahan TSP dan kemudian meningkat secara dramatis pada suhu yang
menghasilkan betina mendekati TSP akhir.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa otak berperan penting dalam
diferensiasi seksual pada spesies TSD. Transkripsi dimorfisme seksual dari gen
aromatase telah dideteksi pada embrio kura-kura Malaclemys terrapin selama
stadium awal determinasi seks, dengan lebih banyak transkripsi aromatase pada otak
betina (Jeyasuria dan Place 1998). Selanjutnya dijelaskan bahwa selama pertengahan
TSP, aktivitas aromatase meningkat pada otak jantan dengan level