Potensi Terapi Hormon Testosteron terhadap Ekspresi β Amyloid pada Marmut sebagai Model Penyakit Alzheimer

POTENSI TERAPI HORMON TESTOSTERON
TERHADAP EKSPRESI β AMYLOID PADA MARMUT
SEBAGAI MODEL PENYAKIT ALZHEIMER

YULI PURWANDARI KRISTIANINGRUM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Potensi Terapi
Hormon Testosteron terhadap Ekspresi β Amyloid pada Marmut sebagai Model
Penyakit Alzheimer adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Yuli Purwandari Kristianingrum
NIM B361100011

RINGKASAN
YULI PURWANDARI KRISTIANINGRUM. Potensi Terapi Hormon
Testosteron terhadap Ekspresi β Amyloid pada Marmut sebagai Model Penyakit
Alzheimer. Dibimbing oleh DONDIN SAJUTHI, EKOWATI HANDHARYANI
dan ERNI SULISTIAWATI
Sejalan dengan peningkatan umur mengakibatkan terjadinya penurunan
kadar hormon testosteron yang signifikan pada laki-laki. Penurunan kadar
hormon testosteron ini berhubungan dengan gangguan fungsi pada organ-organ
tubuh yang responsif terhadap androgen seperti otak, tulang, otot dan jantung.
Penurunan kadar androgen pada otak dari aksi sel neuron selama proses penuaan
menyebabkan peningkatan disfungsi dan resiko penyakit neurodegeneratif antara
lain penyakit Alzheimer. Selain hormon testosteron berperan penting dalam
perkembangan organ reproduksi dan tingkah laku pada laki-laki, hormon

testosteron dapat menurunkan pembentukan plak β amyloid pada proses amyloid
prekursor protein. Deplesi testosteron yang dilakukan dengan kastrasi dapat
meningkatkan kadar β amyloid dalam plasma darah dan cairan serebrospinal serta
menurunkan kadar testosteron dalam plasma darah. Salah satu cara pendekatan
yang dilakukan untuk mengatasi kejadian penyakit Alzheimer adalah
menggunakan terapi hormon testosteron. Pemberian hormon testosteron dapat
menurunkan pembentukan plak β amyloid pada organ otak.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi perubahan tingkat
seluler dari β amyloid pada otak marmut sebagai hewan model penyakit
Alzheimer dengan kondisi deplesi testosteron dan potensi terapi hormon
testosteron yang berhubungan dengan patogenesis penyakit Alzheimer. Tahap
pertama penelitian adalah penentuan kondisi hewan model marmut yang
berhubungan dengan patogenesis pembentukan plak β amyloid, kadar testosteron,
kadar β amyloid pada plasma darah dan cairan serebrospinal. Tahap kedua
penelitian bertujuan untuk mengetahui potensi pemberian terapi hormon
testosteron terhadap hewan model marmut yang berhubungan dengan perubahan
patologi otak, kadar testosteron, kadar β amyloid pada plasma darah dan cairan
serebrospinal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan deplesi hormon testosteron
dengan cara kastrasi dapat menurunkan kadar testosteron yang signifikan dalam

sirkulasi darah. Selain itu juga terjadi peningkatan pada kadar β amyloid pada
cairan serebrospinal dan plasma darah. Berdasarkan pengamatan secara histologi
dengan pewarnaan Hematoxillin & Eosin (HE), penurunan kadar testosteron ini
menyebabkan peningkatan tingkat kematian sel otak (nekrosis) dan disertai
dengan peningkatan aktivitas sel-sel glia. Pada pewarnaan secara
immunohistokimia menunjukkan adanya pembentukan plak β amyloid pada otak
setelah tiga bulan pasca kastrasi. Marmut tua yang dikastrasi minimal selama tiga
bulan dapat digunakan sebagai hewan model penyakit Alzheimer yang
berhubungan dengan pembentukan plak β amyloid.
Pemberian injeksi hormon testosteron dapat meningkatkan kadar testosteron
secara signifikan dalam sirkulasi darah terutama pada kelompok injeksi
testosteron dosis tinggi. Peningkatan kadar hormon testosteron mempengaruhi
gambaran perubahan patologi pada otak dan penurunan kadar β amyloid pada

cairan serebrospinal dan plasma darah. Perubahan secara histopatologi dengan
pewarnaan HE dapat diamati antara lain adanya penurunan kerusakan sel otak
(nekrosis), sedangkan dengan pewarnaan immunohistokimia terlihat adanya
penurunan plak β amyloid pada jaringan otak dan pembuluh darah otak. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian injeksi hormon testosteron dapat
berfungsi untuk memperbaiki kerusakan otak akibat deplesi hormon testosteron.

Kata kunci: β amyloid, penyakit Alzheimer, testosteron, cairan serebrospinal

SUMMARY
YULI PURWANDARI KRISTIANINGRUM. Potency of Testosterone Hormone
Therapy to amyloid β Expression in the Guinea pig as Alzheimer’s disease
Model. Dibimbing oleh DONDIN SAJUTHI, EKOWATI HANDHARYANI dan
ERNI SULISTIAWATI
A consequence of aging is a decline in circulating and brain level of the
steroid hormone. Testosterone depletion leads functional organs impairment that
are responsive to androgens such as bone, muscle, brain and heart. Decreased
levels of androgens on brain neuronal cells during the aging process causes the
dysfunction and an increased risk of neurodegenerative diseases include
Alzheimer's disease. The hormone testosterone plays an important role in the
development of reproductive organs and behavior in males. Testosterone can
reduce amyloid plaque formation in the process of amyloid β precursor protein.
Testosterone depletion by castration performed can increase the levels of β
amyloid in the blood plasma and cerebrospinal fluid as well as lower testosterone
levels in the blood plasma. One of the ways the approach taken to address the
incidence of Alzheimer's disease is the use of testosterone therapy. Giving
testosterone can reduce the formation of amyloid β plaques in the brain organ.

This study aimed to gain insight into changes in cellular levels of β amyloid
in the brains of guinea pigs as an animal model of Alzheimer's disease with the
condition of depletion of testosterone and testosterone therapeutic potential
associated with the pathogenesis of Alzheimer's disease. The first phase of the
study is to determine the condition of an animal model of guinea pigs is associated
with the pathogenesis of β amyloid plaque formation, testosterone levels, amyloid
β levels in blood plasma and cerebrospinal fluid. The second phase of the study
aimed to determine the potential of testosterone therapy on an animal model of
guinea pigs is associated with pathological changes in the brain, testosterone
levels, amyloid β levels in blood plasma and cerebrospinal fluid.
The results showed that treatment with testosterone depletion castration
method can significantly reduce levels of testosterone in the blood circulation.
There was also an increase in the levels of β amyloid in cerebrospinal fluid and
blood plasma. Based on the histological observation Hematoxillin & Eosin (HE)
staining, the decline in testosterone levels cause increased levels of brain cell
death (necrosis) and is accompanied by an increase in the activity of glial cells.
On the basis immunohistochemical staining showed the presence of β amyloid
plaque formation in the brain after three months post castration. Old guinea pigs
were castrated at least three months can be used as an animal model of
Alzheimer's disease-related amyloid β plaque formation.

Testosterone injections can significantly increase testosterone levels in the
blood circulation, especially in the high-dose testosterone injection group.
Increased levels of testosterone affect picture pathological changes in the brain
and decreased levels of β amyloid in cerebrospinal fluid and blood plasma.
Histopathological changes with HE staining can be observed that a decrease in
brain cell damage (necrosis) and a decrease in the activity of glial cells. The
immunohistochemical staining can be examined that amyloid β plaques decrease
in the brain tissue and blood vessels. Therefore, it can be included that

testosterone injections can repair brain damage caused by testosterone hormone
depletion.
Keywords: β amyloid, Alzheimer's disease, testosterone, cerebrospinal fluid

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

POTENSI TERAPI HORMON TESTOSTERON
TERHADAP EKSPRESI β AMYLOID PADA MARMUT
SEBAGAI MODEL PENYAKIT ALZHEIMER

YULI PURWANDARI KRISTIANINGRUM

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof drh Kurniasih, MVSc PhD
2. Prof Dr drh Maria Bintang, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof Dr dr Eka Julianta Wahjoepramono, SpBS PhD
2. drh Adi Winarto, PhD

Judul Disertasi

Nama
NIM

: Potensi Terapi Hormon Testosteron terhadap Ekspresi β
Amyloid pada Marmut sebagai Model Penyakit
Alzheimer
: Yuli Purwandari Kristianingrum
: B361100011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Prof drh Dondin Sajuthi, MST PhD
Ketua

Prof drh Ekowati Handharyani, MSi PhD
Anggota

Dr drh Erni Sulistiawati, SP1
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Biomedis Hewan

Drh Agus Setiyono, MS PhD

Tanggal Ujian: 18 Juli 2014

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2012 sampai Januari
2014 ini ialah hewan model penyakit Alzheimer, dengan judul Potensi Terapi
Hormon Testosteron terhadap Ekspresi β Amyloid pada Marmut sebagai Model
Penyakit Alzheimer.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof drh Dondin Sajuthi, MST
PhD, Ibu Prof drh Ekowati Handharyani, MSi PhD dan Ibu Dr drh Erni
Sulistiawati, SP1 selaku Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan
bimbingan, pengarahan dan memberikan kemudahan fasilitas selama pelaksanaan
penelitian. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof drh Kurniasih, MVSc
PhD dan Ibu Prof Dr drh Maria Bintang, MS selaku penguji luar komisi pada
ujian sidang tertutup dan Bapak drh Agus Setiyono, MS PhD sebagai pimpinan
sidang ujian tertutup. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr
dr Eka Julianta Wahjoepramono, SpBS PhD dan Bapak drh Adi Winarto, PhD

atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada sidang ujian terbuka dan
Bapak Prof drh Srihadi Agungpriyono, PhD sebagai pimpinan sidang ujian
terbuka.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ketua program
Studi Ilmu Biomedis Hewan Bapak drh Agus Setiyono, MS Ph.D dan semua staf
pengajar Program Studi Ilmu Biomedis Hewan, Bapak Kasnadi, Bapak Sholeh
dan Bapak Endang dari Laboratorium Patologi, FKH IPB, serta Ibu drh. Imelda L.
Winoto beserta staf karyawan Fasilitas Hewan Laboratorium PT. Indoanilab atas
segala bantuan tenaga dan fasilitas selama pelaksanaan penelitian. Terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Staf Laboratorium Patologi dan Mikrobiologi,
Pusat Studi Satwa Primata, IPB yang telah banyak membantu selama penelitian.
Selain itu terima kasih banyak kepada Bapak drh. Huda S. Darusman, MSi dan
Bapak Ghalib, MSi atas kerjasama dan bantuannya selama penelitian. Selain itu
juga terima kasih pada rekan-rekan mahasiswa IBH, BRP dan rekan sejawat di
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada yang telah banyak
memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas belajar ini serta
semua pihak yang telah banyak membantu penulis.
Ungkapan terima kasih sedalam-dalamnya juga disampaikan kepada suami
tercinta Edy Purwanto dan anak-anak penulis Thalia Mutiara Fikri dan Thalik
Abraham serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Yuli Purwandari Kristianingrum

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xvi

DAFTAR GAMBAR

xvi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
3
3
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
β amyloid
Serebrum
Penurunan androgen pada laki-laki yang mengalami penuaan
Androgen dan Penyakit Alzheimer
Mekanisme androgen dalam pengaturan β amyloid
Diagnosis klinis penyakit Alzheimer
Marmut sebagai Hewan Model

6
7
7
8
9
9
11
12

3 EKSPRESI SELULER β AMYLOID PADA OTAK MARMUT (Cavia
porcellus) SEBAGAI MODEL PENYAKIT ALZHEIMER DENGAN
DEPLESI HORMON TESTOSTERON
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan dan Saran
Daftar Pustaka

13
13
14
15
16
20
35
35

4 POTENSI TERAPI HORMON TESTOSTERON PADA MARMUT (Cavia
porcellus) SEBAGAI MODEL PENYAKIT ALZHEIMER
38
Abstrak
38
Abstract
39
Pendahuluan
40
Bahan dan Metode
41
Hasil dan Pembahasan
45
Simpulan
65
Daftar Pustaka
65
5 PEMBAHASAN UMUM

68

6 SIMPULAN DAN SARAN

72

Simpulan

72

Saran

72

DAFTAR PUSTAKA

73

RIWAYAT HIDUP

83

DAFTAR TABEL
1 Rataan berat badan marmut masing-masing kelompok
2 Rata-rata perbedaan level
testosteron pada plasma darah dari
kelompok perlakuan (ng/ml)
3 Rerataan perbedaan level β amyloid pada plasma darah dan CSF dari
kelompok perlakuan (pg/ml)
4 Rataan berat badan marmut masing-masing kelompok
5 Rerataan berat otak masing-masing kelompok perlakuan
6 Rataan kadar testosteron marmut masing-masing kelompok (ng/ml)
7 Rerataan hasil pengukuran kadar β amyloid pada cairan serebrospinal
marmut dari kelompok perlakuan (pg/ml)
8 Rerataan hasil pengukuran kadar β amyloid pada plasma darah marmut
dari kelompok perlakuan (pg/ml)

20
22
24
46
48
50
53
53

DAFTAR GAMBAR
1 Bagan alur kerangka pemikiran
2 Proses amyloid prekursor protein
3 Androgen mengaktifkan jalur
neuroprotektif yang mengurangi
kejadian Alzheimer’s disease
4 Grafik pertumbuhan berat badan kelompok perlakuan
5 Rerataan kadar testosteron dalam plasma darah marmut pre dan post
kastrasi dari masing-masing kelompok
6 Rerataan kadar β amyloid pada cairan serebrospinal dan plasma darah
7 Pemeriksaan makroskopik otak marmut usia dan potongan melintang
1/3 belakang
8 Grafik rerataan hasil penimbangan otak marmut dari masing-masing
kelompok perlakuan
9 Histopatologi otak marmut usia tua kastrasi tiga bulan pada daerah
hipokampus
10 Histopatologi otak marmut usia tua kastrasi tiga bulan pada daerah
korteks
11 Grafik perhitungan jumlah sel neuron yang mengalami kematian sel
(nekrosis) pada masing-masing bagian otak
12 Histopatologi otak marmut usia tua dengan kastrasi tiga bulan dengan
pewarnaan Congo red
13 Histopatologi otak marmut usis tua dengan kastrasi tiga bulan dengan
pewarnaan Congo red
14 Grafik perhitungan congo[hilic angiopathy dan jumlah sel neuron ysng
beraksi positif dengan pewarnaan Congo red
15 Immunohistokimia otak marmut usia tua kastrasi tiga bulan pada bagian
korteks
16 Immunohistokima otak marmut usia tua kastrasi tiga bulan bagian lobus
temporalis

5
6
11
21
22
24
26
26
27
28
28
30
30
31
32
32

17 Grafik perhitungan atau scoring jumlah sel neuron, parenkim dan
pembuluh darah yang bereaksi positif terhadap βA
18 Grafik tren penurunan dan peningkatan berat badan dari masing-masing
kelompok perlakuan
19 Berat otak dari masing-masing kelompok marmut
20 Grafik kadar testosteron dari masing-masing kelompok perlakuan
21 Kadar β amyloid dalam cairan serebrospinal dan plasma darah
22 Organ otak marmut yang terlihat normal dan tidak menunjukkan
perubahan patologi yang spesifik
23 Grafik rerataan hasil penimbangan berat otak marmut dari masingmasing kelompok perlakuan
24 Histopatologi otak marmut kelompok kastrasi lima bulan dengan
pewarnaan HE
25 Histopatologi otak marmut kelompok kastrasi lima bulan dengan injeksi
testosteron dosis tinggi
26 Grafik perhitungan atau scoring lesi histopatologi dengan pewarnaan
HE
27 Histopatologi otak marmut kastrasi lima bulan dengan pewarnaan
Congo red
28 Histopatologi hipokampus otak marmut kelompok kastrasi lima bulan
dengan pewarnaan Congo red
29 Grafik perhitungan atau scoring jumlah sel neuron yang bereaksi positif
terhadap pewarnaan Congo red
30 Histopatologi otak bagian korteks dari marmut kelompok kastrasi lima
bulan kontrol
31 Histopatologi otak bagian korteks dari marmut kastrasi lima bulan
dengan injeksi testosteron dosis tinggi
32 Histopatologi otak bagian korteks dari marmut kastrasi lima bulan
dengan injeksi testosteron dosis rendah
33 Grafik perhitungan akumulasi plak β amyloid pada jaringan otak dari
kelompok perlakuan

33
47
49
51
53
55
55
56
57
58
59
60
61
62
63
63
64

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit Alzheimer (AD) merupakan suatu penyakit yang bersifat
irreversible, dan ditandai dengan kehilangan memori serta kognitif yang bersifat
progresif. Penyakit ini dibagi menjadi 2 subtipe berdasarkan waktu ketuaan yaitu
early-onset AD (EOAD) dan late-onset AD (LOAD). Early-onset AD berjumlah
sekitar 1% sampai 6% dari total kasus dan berkisar umur 30 tahun sampai 60 atau
65 tahun. Namun demikian, LOAD merupakan bentuk paling banyak dari AD
yang menyerang manusia umur 60 dan 65 tahun. Baik EOAD maupun LOAD
kemungkinan besar terjadi pada orang dengan riwayat keluarga menderita
penyakit Alzheimer. Sebanyak 60% kasus EOAD adalah dari keluarga yang
memiliki riwayat penyakit Alzheimer (Brickell et al. 2006).
Hormon steroid merupakan hormon yang mengatur potensi hidup sel
syaraf pada sistem syaraf pusat (CNS) dari perkembangan normal sampai
kerusakan syaraf. Hal ini sangat memungkinkan bahwa terapi hormon steroid
merupakan langkah strategis dalam mengatasi gangguan neurodegeneratif seperti
penyakit Alzheimer (Akiyama et al. 2000; LaFerla and Oddo 2005). Testosteron
dan metabolit aktifnya dihydrotestosteron (DHT) mempunyai aksi penting pada
otak. Aksi androgen ini dimediasi melalui pengaktifan reseptor androgen (AR)
pada otak yang merupakan daerah penting untuk kecerdasan dan memori seperti
hipokampus dan amigdala (Kerr et al. 1995; Simerly et al. 1990; Tohgi et al.
1995). Aksi penting androgen pada otak meliputi stimulasi diferensiasi neuron,
mempertahankan bentuk neuron dan mendukung densitas sinaps (Leranth et al.
2004). Studi yang dilakukan pada hipokampus tikus jantan menunjukkan adanya
penurunan signifikan pada densitas sinaps setelah dilakukan kastrasi. Efek
sebaliknya terjadi pada pemberian terapi testosteron atau DHT (Kovacs et al.
2003; Leranth et al. 2003). Selain itu aksi androgen pada neuron dapat mengatur
penurunan kejadian astrogliosis ( Day et al. 1998).
Penurunan konsentrasi testosteron terjadi mulai dekade ketiga dan
berlanjut rata-rata 0.2% - 1% dari total testosteron (Gray et al. 1991; Muller et al.
2003). Sebanyak 30% - 70% laki-laki yang berumur 70 tahun dan lebih
mengalami hypogonad, kurang lebih 5 juta laki-laki tua di Amerika Serikat
menderita akibat andropouse dan hanya sebagian kecil yang telah menerima
pengobatan hormon (Morley and Perry 2003).
Otak merupakan jaringan yang paling responsif terhadap androgen yang
menginduksi beberapa fungsi penting otak, antara lain memperbaiki kondisi tubuh
dan mendukung aspek kognitif termasuk tingkah laku (Gouchie and Kimura 1991)
serta kelancaran verbal (Alexander et al.1998). Pada laki-laki dengan konsentrasi
testosteron yang tinggi menunjukkan memori visual, kemampuan verbal dan
memori yang lebih baik (Barret et al. 1999). Sedangkan kadar testosteron yang
rendah menunjukkan adanya penurunan visual memori, visuomotor, kemampuan
verbal dan proses visuospatial (Moffat et al. 2004). Selain itu hubungan antara
testosteron dan penyakit Alzheimer dipengaruhi oleh apolipoprotein alella e4
yang merupakan suatu faktor resiko genetik dari penyakit Alzheimer (Strittmatter
and Roses 1995).

2

Aksi neuron lain dari androgen adalah mengatur viabilitas neuron selama
perkembangan apoptosis (Lund etal. 2000), sedangkan pada otak dewasa
berfungsi untuk melindungi terhadap agen toksik. Pada studi sel kultur neuronal
menunjukkan bahwa terlihat adanya efek neuroprotektif dari androgen melawan
penghilangan serum (Hammond et al. 2001), toksisitas β amyloid (βA) (Pike
2001, Zhang et al. 2004, Nguyen et al. 2005) dan stress oksidatif (Ahlbom et
al.2001). Penelitian pada hewan model, menunjukkan bahwa pemberian
testosteron dan DHT dapat meningkatkan regenerasi syaraf kranial (Yu 1982) dan
menurunkan hilangnya neuron motorik akibat axotomy (Yu 1989). Hal yang
sama juga terjadi pada hamster jantan yang mengalami kerusakan syaraf facialis,
bahwa pemberian testosteron dapat meningkatkan pertumbuhan axon dan
kembalinya fungsi sel syaraf (Kujawa et al 1991).
Peningkatan kadar phosphorilasi dan total protein tau pada cairan
cerebrospinal berkorelasi dengan penurunan penilaian kognitif. Peningkatan
stress oksidatif, fungsi ikatan protein dari retikulum endoplasmik yang tidak
seimbang, defisiensi proteasom dan pembersihan dari protein yang rusak,
berhubungan dengan proses penuaan yang dapat mempercepat akumulasi protein
tau pada penyakit Alzheimer (Hoozemans et al. 2005). Plak dan tangles juga
dapat ditemukan pada hewan yang tua tanpa menunjukkan terjadinya gangguan
kognitif. Jumlah plak dan tangles berperan penting dalam penurunan kecerdasan
pada penyakit Alzheimer yang ditemukan pada daerah neokorteks, hipokampus
dan amigdala. Hipokampus sangat berperan penting dalam proses penerimaan
informasi, penyimpanan memori baru dan pengungkapan memori lama (Kumar et
al. 2005).
Mekanisme androgen dalam mengatur β amyloid belum diketahui dengan
pasti. Hormon testosteron mempunyai efek seluler melalui tiga jalur yaitu: 1) Aksi
langsung melalui aktivasi androgen reseptor dependent pathways, 2) Secara tidak
langsung melalui jalur estrogen dengan diaromatisasi menjadi estradiol, dan 3)
Aksi secara tidak langsung melalui jalur gonadotropin dengan memodulasi
testosteron dari axis gonad hypothalamic-pituitary. Penelitian sebelumnya
membuktikan bahwa pengaturan androgen terhadap β amyloid melibatkan salah
satu atau ketiga alur tersebut (Ramsden et al.2003). Metabolisme dari amyloid
prekursor protein (APP) yang diperantarai oleh estrogen secara tidak langsung
dapat menurunkan kadar β amyloid terlarut (Goodenough et al. 2000).
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang perubahan
tingkat seluler beta amyloid pada otak marmut dengan kondisi deplesi hormon
testosteron dan potensi terapi hormon testosteron yang berhubungan dengan salah
satu patogenesis penyakit Alzheimer. Kondisi tersebut menyerupai keadaan lakilaki yang tua dengan penurunan hormon testosteron pada sirkulasi darah dan otak
sebagai salah satu predisposisi penyakit Alzheimer.

Perumusan masalah
Penelitian ini menggunakan marmut tua sebagai model dengan melihat
ekspresi seluler β amyloid yang dihubungkan dengan kadar testosteron dan β
amyloid pada plasma darah dan cairan serebrospinal, serta potensi terapi injeksi

3

hormon testosteron dalam perbaikan plak β amyloid pada marmut yang belum
pernah ada laporan atau publikasinya.
Marmut tua berpotensi sebagai hewan model penyakit Alzheimer dengan
perubahan tingkat seluler pada otak dan pemberian terapi hormon testosteron
berpotensi dalam memperbaiki kondisi penyakit Alzheimer. Sejauh ini penelitian
penyakit Alzheimer yang dilakukan pada hewan model marmut tua belum
diperoleh gambaran tentang perubahan tingkat seluler pada otak marmut yang
berhubungan dengan pembentukan plak β amyloid. Hal ini kemungkinan besar
sangat dipengaruhi oleh penentuan umur marmut sebagai hewan model penyakit
Alzheimer.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hewan model yang tepat
untuk penyakit Alzheimer yang berhubungan dengan proses pembentukan plak β
amyloid dan mendapatkan informasi terhadap peran terapi hormon testosteron
dalam penyakit Alzheimer. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Penentuan umur hewan model marmut untuk penyakit Alzheimer
dengan mengamati perubahan tingkat seluler plak β amyloid pada otak
marmut, kadar testosteron dan β amyloid dengan kondisi deplesi
hormon testosteron.
2. Mengetahui potensi terapi hormon testosteron untuk perbaikan kondisi
penyakit Alzheimer dengan menggunakan parameter perbaikan tingkat
seluler otak, kadar testosteron dan β amyloid.
Manfaat Penelitian
Keseluruhan data yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberikan gambaran tentang pembentukan plak β amyloid pada hewan
model marmut (Cavia porcellus) dengan deplesi hormon testosteron sebagai
model penyakit Alzheimer.
2. Data ini dapat digunakan untuk penerapan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dalam bidang Kedokteran dan Farmasi terutama dalam terapi
penyakit Alzheimer.

Kebaruan (Novelty)
Sejauh ini penelitian yang menggunakan hewan model marmut usia tua
untuk mempelajari mekanisme penyakit Alzheimer yang berhubungan dengan
pembentukan plak β amyloid pada jaringan otak, kadar β amyloid pada plasma
darah dan cairan serebrospinal serta perubahan patologi otak belum pernah
dilaporkan.
Selain itu, potensi terapi injeksi hormon testosteron dalam
menurunkan plak β amyloid, kadar β amyloid pada plasma darah dan cairan
serebrospinal pada otak marmut juga belum pernah dilaporkan.

4

Ruang Lingkup Penelitian
Hormon testosteron berperan penting dalam perkembangan organ
reproduksi dan tingkah laku pada laki-laki. Selain itu juga, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa penurunan hormon testosteron berperan aktif dalam
perkembangan penyakit Alzheimer (AD). Hormon testosteron dapat menurunkan
pembentukan β amyloid dari amyloid prekursor protein. Deplesi hormon
testosteron yang dilakukan dengan cara kastrasi dapat meningkatkan kadar β
amyloid dalam plasma darah dan cairan serebrospinal serta menurunkan kadar
hormon testosteron dalam plasma darah. Hormon testosteron dapat mencegah
hiperfosforilasi τ (tau) yang diinduksi oleh aktivasi glikogen sintesa kinase 3β
dengan menurunkan sintesis peptida β amyloid dan mencegah toksisitas neuron
yang diperantari β amyloid. Kadar hormon testosteron akan mengalami
penurunan sejalan dengan penambahan umur. Kondisi tersebut dikenal dengan
andropouse. Penurunan tersebut dapat disebabkan oleh menurunnya jumlah sel
leydig pada testis karena proses penuaan.
Peptida β amyloid berperan penting dalam proses perkembangan penyakit
Alzheimer, sehingga penurunan produksi β amyloid dan peningkatan klirens β
amyloid adalah target terapi (pengobatan) yang perlu dikembangkan. Terapi
hormon testosteron merupakan salah satu terapi yang berpotensi untuk
dikembangkan pada penderita penyakit Alzheimer. Berdasarkan penelitian
terdahulu yang menggunakan hormon testosteron pada marmut, belum
menunjukkan hasil yang positif terhadap peran hormon testosteron dalam
menurunkan proses pembentukan plak β amyloid pada organ otak dan ginjal.
Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efek atau
pengaruh terapi hormon testosteron terhadap pembentukan plak β amyloid pada
hewan coba marmut. Hal ini kemungkinan disebabkan karena waktu penelitian
yang relatif singkat dan faktor umur hewan coba yang masih muda. Sehingga
muncul pemikiran adanya perlakuan waktu yang lebih lama dalam mengamati
pengaruh pemberian terapi hormon testosteron terhadap pembentukan plak β
amyloid pada otak maupun pada cairan serebrospinal. Dari hasil penelitian ini
diharapkan dapat diterapkan pada manusia dalam uji klinis untuk pengobatan
penyakit Alzheimer pada laki-laki yang mengalami andropouse dan gangguan
kognitif ringan. Masing-masing penelitian dilakukan dengan metode spesifik
yang hasil dan pembahasannya disampaikan pada bagian tersendiri dari disertasi
ini, dengan judul :
1. Ekspresi seluler β amyloid pada otak marmut (Cavia porcellus) sebagai
model penyakit Alzheimer dengan deplesi hormon testosteron
2. Terapi hormon testosteron untuk penurunan plak β amyloid pada otak
marmut (Cavia porcellus) sebagai model penyakit Alzheimer

5

Kastrasi

Kadar βA plasma
meningkat

Kadar βA CSF
meningkat

Terapi testosteron

Kadar testosteron
turun

Kadar tetosteron
meningkat

Kadar βA plasma dan
CSF turun

Deposit plak βA
turun

Gambar 1 Bagan alur kerangka pemikiran

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
β amyloid
β amyloid (βA) merupakan produk proteolisis dari metabolisme amyloid
prekursor protein yang berperan dalam transport axon dan transkripsi gen (Turner
et al. 2003) serta merupakan peptida dari asam amino 40 sampai 42 yang
terakumulasi sebagai plak amyloid ekstraseluler pada otak yang menyebabkan
kerusakan serabut syaraf dan dapat memicu kejadian penyakit neurodegeneratif.
Pembentukan plak β amyloid berperan utama dalam proses neuropatologi
penyakit Alzheimer (Checler 1995; Yanker 1996). Namun demikian, βA42 lebih
dominan ditemukan pada plak amyloid pada otak penderita penyakit Alzheimer.
Hal ini merupakan tahap awal pembentukan plak amyloid yaitu suatu protein
amyloidogenik yang tidak larut dalam air. Konsekuensi dari ekspresi amyloid
prekursor protein, β amyloid secara normal ditemukan sebagai protein terlarut
dengan level rendah pada cairan dan jaringan tubuh. Secara teori, perubahan
pada produksi dan pembuangan β amyloid akan meningkatkan level neuron yang
akan memicu perkembangan dari penyakit Alzheimer (Hardy and Higgins 1992).
Akumulasi β amyloid yang tinggi dalam bentuk ikatan oligomer yang tidak
normal akan merubah struktur neuron dan dapat memicu ke arah penyakit
neurodegeneratif (Haass and Selkoe 2007).

Gambar 2 Proses amyloid precursor protein (Querfurth and LaFerla 2010).
Berdasarkan gambar di atas menunjukkan bahwa β amyloid berasal dari
proteolisis amyloid precursor protein karena aktivitas enzimatik dari beta-site
amyloid precursor protein-cleaving enzim 1 (BACE-1) yaitu β-secretase dan ϓsecretase yang merupakan suatu protein komplek dengan presenilin 1 (Haass and
Selkoe 2007) (Gambar 2). Adanya ketidakseimbangan antara produksi dan klirens
kumpulan peptida β amyloid menyebabkan terjadinya akumulasi. Hal ini
merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya penyakit Alzheimer.
Enzim yang terlibat dalam degradasi β amyloid adalah endothelin
converting enzyme (ECE), insulin degrading enzyme (IDE) dan nephrylisin (NEP)
(Eckman et al. 2001; Qiu et al.1998; Iwata et al. 2000). Di antara enzim tersebut,
nephrylisin (CD10 atau common acute lymphoblastic leukimia antigen (CALLA)

7

dilaporkan sebagai enzim yang paling umum pada otak (Iwata et al. 2001;
Shirotany et al.2001). Enzim ini mengalami penurunan pada daerah otak yang
terakumulasi β amyloid (Iwata et al. 2002). Neprilysin protease dan insulin
degrading enzime (IDE) berfungsi dalam pengaturan level dari β amyloid.
Neprilysin merupakan suatu membran zink endopeptidase yang mendegradasi
monomer dan oligomer β amyloid. Penurunan neprilysin menyebabkan terjadinya
akumulasi β amyloid pada otak (Iwata et al. 2001). Neprilysin adalah suatu enzim
pengubah angiotensin dan enzim pemecah insulin yang memecah β amyloid ke
dalam β amyloid yang mengalir melalui ruang ekstraseluler pada substansia grisea
otak dan sepanjang jalur perivaskuler (Love et al. 2009). Neprilysin dihasilkan
oleh neuron pyramidal dan sel otot polos pada dinding arteri. Penurunan
neprilysin pada dinding arteri dan enzim lain pada arteri cerebralis berhubungan
dengan penyakit Alzheimer (Miners et al. 2006). Beberapa NEP adalah protein
membran tipe II dan berhubungan dengan ekstraseluler β amyloid dan
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap βA dibandingkan dengan neuropeptida
lain (Shirotani et al.2001; Iwata et al. 2005). Peningkatan aktivitas NEP pada
otak akan melindungi akumulasi β amyloid, melindungi neuron dari toksisitas β
amyloid dan mengubah perkembangan penyakit Alzheimer (Salim et al. 2007).
Sedangkan enzim pemecah insulin merupakan suatu thiol metalloendopeptidase
yang memecah peptide-peptida kecil seperti insulin dan monomer β amyloid.
Pada hewan mencit penghilangan enzim pemecah insulin dapat menurunkan
pemecahan β amyloid lebih dari 50%. Sebaliknya peningkatan neprilysin atau
enzim pemecah insulin dapat mencegah terjadinya pembentukan plak β amyloid
(Leissring et al. 2003).
Serebrum
Bagian otak ini merupakan bagian terbesar dan paling berkembang sebesar
80% dari berat total otak. Bagian ini merupakan pusat kegiatan dan gerakan sadar
serta beberapa gerakan refleks. Permukaan serebrum ditandai dengan adanya
penonjolan yang disebut sulkus dan lekukan yang disebut girus. Serebrum terbagi
menjadi dua bagian, yaitu hemisfer kanan dan kiri. Masing-masing hemisfer
dibedakan menjadi empat lobus, yaitu lobus frontalis, lobus temporalis, lobus
parietalis dan lobus oksipitalis. Setiap hemisfer terdiri dari lapisan luar tipis yang
disebut kortek yang menutupi medulla yaitu bagian tengah yang lebih tebal dan
berwarna putih.
Kortek serebri berfungsi sebagai pengendali tingkah laku. Berdasarkan
fungsinya, kortek serebri dibedakan menjadi 3 area, yaitu area motorik, sensorik
dan gabungan. Area motorik berfungsi dalam mengontrol fungsi motorik dan
merupakan bagian akhir sebelum sinyal dikirim ke otot somatik. Pada mamalia
area motorik terletak pada bagian rostral lobus frontalis dan memiliki system
pyramidal. Area sensoris terletak di seluruh bagian kortek yang bertugas
menerima informasi dari reseptor sensoris yang terletak di kulit dan otot skeletal.
Area gabungan mengintegrasikan sinyal motorik dan sensoris (Sherwood 2001).

8

Penurunan androgen pada laki-laki yang mengalami penuaan
Sejalan dengan peningkatan umur mengakibatkan terjadinya penurunan
yang signifikan terhadap kadar hormon testosteron pada laki-laki (Swerdloff and
Wang 1993). Penurunan total kadar hormon testosteron ini berlangsung mulai
umur 30 tahun dan berlanjut rata-rata 0.2%-1% (Feldman et al.2002; Gray et al.
1991). Penurunan level testosteron yang berhubungan dengan umur secara
normal berhubungan dengan gangguan fungsi pada organ-organ yang responsif
terhadap androgen seperti tulang, otot dan jantung (Baumgartner et al.1999;
Burger et al. 1998; Ferrando et al. 2002; Jones et al. 2003). Beberapa studi telah
melaporkan bahwa terjadi perubahan pada mood, libido dan kognitif karena
penurunan kadar hormon androgen (Gooren 2003; Kaufman and Vermeulen 2005;
Morley 2001). Penurunan kadar hormon androgen pada otak terhadap aksi
neuronal selama penuaan akan menyebabkan peningkatan disfungsi dan resiko
penyakit neurodegeneratif termasuk penyakit Alzheimer.
Androgen dan Penyakit Alzheimer
Salah satu aksi penting dari hormon androgen yang berperan dalam
menurunkan resiko penyakit Alzheimer adalah sebagai neuroproteksi. Hormon
androgen berperan sebagai promotor viabilitas neuron selama perkembangan
neuron pada otak dewasa terhadap kerusakan mekanik dan penyakit yang
berhubungan dengan toksisitas (Jones et al. 2001). Selain itu juga mendukung
survival neuron pada daerah
otak yang mudah rusak karena penyakit
neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer.
Pada daerah otak seperti
hipokampus dan kortek merupakan daerah yang peka terhadap penyakit
Alzheimer dan kaya akan reseptor androgen (Simerly 1990). Pada penelitian yang
dilakukan oleh Frye and Reed (1998); Frye and Seliga (2001) menunjukkan
bahwa testosteron dapat menurunkan hilangnya neuron melalui penghambatan
aktivitas kejang. Beberapa studi telah menemukan bahwa adanya proteksi
dihydrostestosteron (DHT) terhadap 5α-androstane-3α, 17α-diol, yang merupakan
androgen, dapat bertindak sebagai reseptor gamma amino butiric acid (GABA).
Aktivitas GABA dapat menurunkan signaling eksitatori dalam meminimalkan
kerusakan lesi otak (Edinger and Frye 2005).
Hormon androgen mempunyai fungsi kognitif yang berhubungan dengan
tingkah laku (Gouchie and Kimura 1991) dan kelancaran verbal (Alexander et al.
1998). Pada beberapa studi menunjukkan bahwa kadar hormon androgen yang
rendah berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif (Haren et al. 2005; Moffat
et al. 2004), penurunan visual memori, visuomotorik, memori verbal dan proses
visuospatial (Moffat et al. 2004). Pada laki-laki dengan kadar hormon testosteron
yang rendah dengan terapi hormon androgen dapat memperbaiki beberapa tingkah
laku kognitif (Alexander et al. 1998).
Salah satu faktor yang mempengaruhi hubungan antara penyakit
Alzheimer dan kadar hormon testosteron yang rendah antara lain adalah
apolipoprotein e4. Hogervost et al. (2002) tidak hanya menemukan level
testosteron yang rendah pada laki-laki yang mengalami penyakit Alzheimer, tetapi
juga terjadi penurunan level apolipoprotein e4 yang signifikan. Kadar hormon
testosteron yang rendah pada otak berkaitan dengan perkembangan neuropatologi

9

penyakit Alzheimer (Rosario et al. 2004). Hilangnya hormon androgen dapat
meningkatkan level β amyloid pada kasus penyakit Alzheimer (Hardy and Selkoe
2002).
Deplesi hormon androgen dapat terjadi selama 6 minggu pada tikus jantan
dewasa yang mengalami gonadectomy. Peningkatan secara signifikan terjadi pada
level β amyloid terlarut
dibandingkan dengan tikus yang tidak mengalami
gonadectomy. Selain itu pemberian terapi pada tikus yang digonadectomy selama
4 minggu dengan non-aromatized androgen DHT dapat mencegah peningkatan
level β amyloid pada otak (Ramsden et al. 2003). Hal ini juga dapat diamati
bahwa akumulasi β amyloid pada subiculum, hipokampus dan amigdala terjadi
peningkatan signifikan akibat dari deplesi hormon androgen karena gonadectomy
(Rosario et al. 2006).
Mekanisme androgen dalam pengaturan β amyloid
Hormon androgen
dapat melindungi otak dari kejadian penyakit
Alzheimer melalui pengaturan akumulasi β amyloid. Penelitian banyak dilakukan
untuk mengetahui hubungan antara terapi anti-androgen pada laki-laki dan
penyakit Alzheimer terhadap kejadian kanker prostat. Gandy et al. (2001) telah
melakukan inisiasi terapi anti androgen dengan leuprolide dan flutamide.
Pengamatan dalam beberapa minggu menunjukkan bahwa level testosteron dan
estradiol dalam sirkulasi sangat menurun sedangkan level β amyloid meningkat
secara signifikan. Penurunan hormon androgen dan peningkatan level β amyloid
terjadi pada jantan yang menerima terapi anti androgen untuk pengobatan kanker
prostat (Almeida and Flicker 2003 ) dan pada orang yang tua mengalami
kehilangan memori atau demensia (Gillet et al. 2003).
Penelitian pada laki-laki tua menunjukkan hasil yang selaras dengan
penelitian pada rodensia. Hal ini mengindikasikan bahwa hormon androgen
berfungsi sebagai pengatur endogenous dari kadar β amyloid. Pada studi awal
menunjukkan bahwa androgen mengurangi kadar β amyloid terlarut pada tikus
jantan. Selanjutnya pemberian terapi DHT pada tikus orchiectomy (ORX) dapat
menyebabkan penurunan yang signifikan kadar β amyloid pada otak (Ramsden et
al. 2003). Perubahan yang sama terlihat pada hubungan antara kadar hormon
androgen dan akumulasi β amyloid pada mencit model 3xTgAD yang dideplesi
hormon androgen melalui ORX pada umur 3 bulan dan terjadi perkembangan
patologi penyakit Alzheimer yang signifikan (Oddo et al. 2003). Mencit yang
diberikan terapi DHT selama 4 bulan secara terus menerus, pada saat observasi
menunjukkan bahwa terlihat akumulasi intraseluler yang signifikan β amyloid
tidak terlarut pada gonad, sedangkan pada mencit umur 7 bulan pada CA1
hipokampus, subiculum dan amigdala (Rosario et al. 2006). Penelitian terbaru
melaporkan bahwa level β amyloid dalam plasma dan cairan cerebrospinal secara
signifikan meningkat pada marmut ORX, sedangkan efek perlindungan dari
pemberian testosteron terjadi 1 minggu setelah ORX (Wahjoepramono et al.
2008).
Ada beberapa mekanisme peran androgen dalam pengaturan β amyloid.
Pertama adalah aromatase mediated conversion dari testosteron ke estradiol (E2)
pada otak yang memungkinkan terjadinya aktivasi beberapa jalur estrogen dari
pengaturan β amyloid. Pada studi kultur sel neuron konsisten dengan aktivasi

10

testosteron secara tidak langsung melalui estrogen mediated regulation dari
pembentukan APP. Pada studi awal untuk mengamati pengaturan testosteron dari
APP dan β amyloid pada kultur ditemukan bahwa terapi testosteron yang lama
dihubungkan dengan peningkatan α-secretase cleavage APP dan menurunkan β
amyloid (Gouras et al. 2000). Pada penelitian berikutnya pada kultur sel
menunjukkan bahwa testosteron mendukung proteolisis APP oleh α-secretase,
namun demikian efeknya diblok oleh aromatase inhibitor estrogen dependent
(Goodenough et al. 2000). Penelitian pada tikus jantan, ditemukan bahwa
androgen mengatur kadar β amyloid pada otak, tetapi tidak ada perbedaan pada
panjang APP atau APPα kelompok terapi androgen. Hal ini mengindikasikan
bahwa perubahan pada pembentukan APP tidak hanya disebabkan oleh
mekanisme yang mempengaruhi androgen terhadap level β amyloid (Ramsden et
al. 2005).
Pengaturan β amyloid melalui proteolisis APP, hormon androgen juga
menurunkan kadar β amyloid melalui jalur promosi endogenous clearance.
Hormon androgen menurunkan kadar β amyloid sebagai konsekuensi ekspresi
pengaturan enzim katabolisme β amyloid yaitu neprilysin, yang merupakan enzim
homeostasis β amyloid pada otak (Wahjoepramono et al. 2008). Hormon
testosteron diubah menjadi DHT oleh aksi 5α-reductase yaitu suatu enzim lokal
pada target organ spesifik seperti prostat. Pertumbuhan prostat tergantung juga
pada besarnya DHT (Wilson et al. 2007).
Aksi yang menguntungkan dari hormon androgen seperti viabilitas syaraf
dan memodulasi kadar β amyloid dapat mendukung hipotesis bahwa penurunan
hormon androgen yang berhubungan dengan umur dapat meningkatkan resiko
perkembangan dari penyakit Alzheimer. Mekanisme pengaturan androgen
terhadap β amyloid tidak diketahui, tetapi dapat diasumsikan melibatkan satu atau
lebih dari ketiga jalur umum yaitu aksi langsung melalui jalur dependent
androgen reseptor (AR), secara tidak langsung melalui jalur estrogen melalui
aromatisasi estradiol, dan aksi secara tidak langsung melalui jalur gonadotropin
dengan modulasi testosteron dari axis gonad hypothalamic-pituitary.
Hampir sama dengan hormon androgen, hormon estrogen juga ditemukan
sebagai regulator endogenous dari β amyloid. Pada model sel kultur, 17Bestradiol dapat menurunkan kadar β amyloid secara langsung melalui β amyloid
terlarut dan secara tidak langsung meningkatkan kadar soluble APPα (sAPPα)
yang merupakan produk proteolitik dari non amyloidogenik dari metabolisme
APP (Xu et al. 1998). Pada mencit transgenik AD, terapi selama 3 bulan dengan
leuprolide asetat dapat menurunkan akumulasi β amyloid dan penurunan
gangguan kognitif (Casadesus et al.2006). Selanjutnya terapi leutinizing hormone
(LH) pada sel line neuroblastoma dapat meningkatkan kadar sekresi β amyloid
dan menurunkan kadar sAPPα. Hal ini disebabkan karena LH mendukung proses
amyloidogenik dari APP (Bowen et al. 2004). Gonadotropin juga berperan dalam
pengaturan kadar β amyloid melalui pengubahan ekspresi dari presinilin sebagai
mediator penting dalam produksi β amyloid (Barron et al. 2006).
Aksi neuroprotektif dari hormon testosteron dalam menurunkan kejadian
penyakit Alzheimer dapat dilihat pada Gambar 3. Testosteron (T) diaromatisasi
pada otak menjadi 17β-estradiol (E2), yang mengaktifkan jalur estrogenmediated neuroprotective, 2) Testosteron dan metabolitnya dihydrotestosteron
(DHT) mengaktifkan jalur AR-dependent protective. T dan DHT menurunkan

11

apoptosis pada neuronal melalui suatu non-genomik signaling kaskade yang
melibatkan aktifasi dari MAPK/ERK, diikuti oleh aktifasi phosphorylation (p)
dari Rsk, dan inaktifasi phosphorylation dari pro-apoptotic protein Bad. Selain
itu, androgen menurunkan levels AD-related protein βA oleh mekanisme klasik
genomik yang melibatkan aktifasi interaksi AR interaksi dengan androgen
response elements (ARE) pada gen neprilysin, yang mengakibatkan peningkatan
ekspresi dari enzim katabolisme βA.

Gambar 3 Mekanisme Androgen mengaktifkan jalur neuroprotektif yang
mengurangi kejadian penyakit Alzheimer (Caroll and Rosario 2012)
Ada beberapa resiko yang berhubungan dengan terapi hormon androgen,
antara lain kanker prostat, atherosklerosis, kanker payudara dan hipertensi
(Kaufman and Vermeulen 2005).
Diagnosis klinis penyakit Alzheimer
Diagnosis penyakit Alzheimer sekarang ini dilakukan berdasarkan gejala
klinis, pemeriksaan syaraf dan neuropsychologist. Diagnosis penyakit Alzheimer
secara klinis dengan pemeriksaan postmortem ditandai dengan adanya dua
gambaran histopatologi, yaitu neurofibrillary tangles dan amyloid plaques
(Braak and Braak 1997; Nussbaum and Ellis 2003). Meskipun bentukan plak dan
tangles sering ditemukan pada usia tua, namun densitas plak dan distribusi
neurofibrillary tangles lebih berat pada penderita penyakit Alzheimer berdasarkan
pemeriksaan histopatologi (Braak and Braak 1997). Komponen utama dari plak

12

amyloid pada otak yang mengalami penyakit Alzheimer adalah β amyloid (βA)
(Iwatsuko et al. 1994). Bentuk paling umum β amyloid pada manusia adalah
asam amino dengan panjang 40 yang disebut βA40. Asam amino dengan panjang
fragmen 42 (Aβ42), lebih sedikit dibandingkan dengan βA 40 dan hanya berbeda
2 asam amino tambahan pada C-terminus. Fragmen βA 42 fragment
dihubungkan dengan AD (Bentahir et al. 2006). β amyloid berasal dari amyloid
precursor protein (APP) setelah dipecah oleh secretase. Pertama, α-secretase
(pemecah nonneurotoksik “normal”) atau β-secretase (pemecah potensial
neurotoxic “abnormal”) memecah APP, dan pemecah kedua dari produk βsecretase oleh -secretase, memecah APP yang menghasilkan β amyloid (Haass et
al. 1992; Shoji et al. 1995).

Marmut sebagai Hewan Model
Etika dalam penelitian ilmiah mengharuskan untuk mengurangi
penggunaan hewan laboratorium dan jika dimungkinkan untuk diminimumkan.
Namun demikian, penelitian pada hewan model masih diperlukan untuk
mengetahui mekanisme penyakit-penyakit pada manusia dan percobaan strategi
pengobatan baru. Dalam hal ini, penelitian dengan menggunakan hewan harus
selalu disetujui oleh komite etik dan dilakukan sesuai dengan norma-norma yang
ditentukan. Hewan tikus dan mencit merupakan hewan yang biasa digunakan
untk hewan model penelitian penyakit-penyakit pada manusia. Hewan ini
mempunyai siklus reproduksi yang pendek, angka kelahiran tinggi, berukuran
kecil sehingga mudah dalam penanganan dan pemeliharaan (Sarasa and Pesini
2009). Namun demikian, hewan ini mempunyai struktur peptida β amyloid
berbeda dengan manusia pada tiga asam amino dan gambaran lengkap β amyloid
yang dihasilkan oleh proses amyloid prekursor protein juga berbeda dengan
manusia. Peptida β amyloid pada mencit dan tikus berbeda dengan manusia dan
marmut. Perbedaan tersebut pada asam amino ke-5 (arginin- glisin, ke-10 (lisinfenilalanin), dan ke-13 (histidin- arginin) (Du et al. 2007).
Marmut sebagai hewan model yang cocok untuk penelitian penyakit
Alzheimer didasarkan pada sekuens peptida β amyloid hewan ini identik dengan
manusia sekitar 90% - 97% dan secara fisiologis lebih sesuai dalam mengamati
efek jangka panjang dari manipulasi proses APP dan pembentukan plak β amyloid
in vivo. Proses APP pada kultur neuron primer marmut menunjukkan kesamaan
dengan manusia (Beck et al. 2003). Peptida β amyloid 1-40 pada cairan
serebrospinal (CSF) marmut sekitar 80% - 90% mencerminkan keadaan pada
CSF manusia (Beck et al. 1998). Dengan demikian, marmut merupakan hewan
yang cocok untuk mempelajari perubahan fisiologis kadar β amyloid dan
pembentukan plak β amyloid pada otak akibat penurunan hormon testosteron.

13

3 EKSPRESI SELULER β AMYLOID PADA OTAK MARMUT (Cavia
porcellus) SEBAGAI MODEL PENYAKIT ALZHEIMER DENGAN
DEPLESI HORMON TESTOSTERON

ABSTRAK
Penuaan merupakan faktor yang paling signifikan dalam perkembangan
beberapa penyakit neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer’s (AD). Dampak
alami pada laki-laki normal dari penuaan adalah penurunan kadar hormon steroid
pada sirkulasi dan otak. Penurunan testosteron memicu kerusakan fungsi organ
termasuk otak. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati ekspresi β amyloid pada
otak marmut sebagai model penyakit Alzheimer dengan deplesi hormon
testosteron dengan cara kastrasi. Sebanyak dua belas ekor marmut jantan (Cavia
cobaya) yang dibagi dalam dua kelompok berdasarkan umur, enam ekor marmut
berumur 16-32 bulan (kelompok I) dan enam ekor berumur 32-48 bulan
(kelompok II). Kedua kelompok dikastrasi untuk menurunkan kadar hormon
testosteron. Dua ekor marmut dari setiap kelompok dieutanasi atau nekropsi untuk
mengamati perubahan pada organ otak pada satu, tiga dan lima bulan setelah
kastrasi. Sampling darah untuk analisa kadar testosteron dilakukan dua kali yaitu
sebelum dan setelah kastrasi bersamaan dengan waktu nekropsi dari masingmasing kelompok perlakuan. Cairan serebrospinal untuk analisa kadar β amyloid
diambil pada sisterna magna sebelum waktu nekropsi. Kadar testosteron dari
plasma darah dan β amyloid dianalisa dengan metode ELISA. Sampel otak
diamati secara makroskopik dan mikroskopik
dengan metode pewarnaan
Hematoxylin & Eosin (HE), Congo red dan immunohistokimia terhadap antibodi
β amyloid. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terlihat ekspresi plak β amyloid
pada otak pada kelompok kastrasi tiga dan lima bulan pada kedua kelompok
umur. Pada kelompok marmut kastrasi satu bulan ekspresi plak β amyloid tidak
begitu jelas. Gambaran umum yang tampak meliputi akumulasi plak β amyloid
pada parenkim otak dan pembuluh darah. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa
marmut tua merupakan hewan model yang potensial untuk mempelajari
pembentukan plak β amyloid berhubungan dengan patogenesis penyakit
Alzheimer.
Kata kunci: Penyakit Alzheimer, β amyloid, marmut, cairan serebrospinal, ELISA

14

CELLULER EXPRESSION OF AMYLOID ΒIN THE BRAIN GUINEA PIG
(Cavia porcellus) AS A MODEL ALZHEIMER’S DISEASE WITH
TESTOSTERONE HORMONE DEPLETION

ABSTRACT
Advancing age is the most significant factor for developing of several
degenerativ