Pemberantasan flu burung, Avian influenza melalui penerapan biosecurity dan pengobatan antiviral di Taman Margasatwa Ragunan

PEMBERANTASAN FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA ) MELALUI
PENERAPAN
DI BIOSECURITY
TAMAN MARGASATWA
DAN PENGOBATAN
RAGUNAN
ANTIVIRAL

DINI WIDYASARI

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
PEMBERANTASAN FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA ) MELALUI
PENERAPAN BIOSECURITY DAN PENGOBATAN ANTIVIRAL
DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN

DINI WIDYASARI


Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
ABSTRAK
DINI WIDYASARI (B04101147). Pemberantasan Flu Burung (Avian Influenza)
Melalui Penerapan Biosecurity dan Pengobatan Antiviral di Taman margasatwa
Ragunan, di bawah bimbingan EKOWATI HANDHARYANI dan SRI
MULYONO.
Studi kasus ini bertujuan mempelajari metode pemberantasan Flu Burung
dalam praktek di lapangan, dikhususkan pada tempat penangkaran (konservasi)
satwa langka dan dilindungi seperti Taman Margasatwa Ragunan (TMR).
Keberhasilan didapat dari pemantauan data retrospektif rekaman medis satwa

yang berupa data/jurnal harian tindakan biosecurity dan data/jurnal harian
pengobatan antiviral di Taman Margasatwa Ragunan selama masa isolasi (19
September 2005 sampai 10 Oktober 2005) yang dijabarkan secara deskriptif. Studi
kasus ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak terkait (dunia
veteriner, kesehatan manusia, pemerintah) dan masyarakat mengenai cara yang
tepat dan efektif dalam mencegah dan memberantas Flu Burung di lapangan.
Metode yang digunakan oleh TMR adalah biosecurit y dan pengobatan antiviral
sebagai pengganti dari eradikasi unggas tertular dan vaksinasi. Kesimpulan utama
yang didapat adalah metode penerapan biosecurity dan pengobatan antiviral
terbukti efektif untuk pemberantasan virus Flu Burung di Taman Margasatwa
Ragunan.

Judul

: Pemberantasan Flu Burung ( Avian Influenza) Melalui Penerapan
Biosecurity dan Pengobatan Antiviral di Taman Margasatwa
Ragunan

Nama


: Dini Widyasari

NRP

: B04101147

Disetujui,

drh.Ekowati Handharyani, MSi, PhD
Dosen Pembimbing I

drh. Sri Mulyono, MSi
Dosen Pembimbing II

Diketahui,

Dr.drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
Wakil Dekan FKH IPB

Tanggal Lulus: 8 Maret 2006


RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 November 1983 dari
pasangan Bapak Sri Mulyono dan Ibu Herminie Sumitro. Penulis merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara.
Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1987-1989 di TK
Bachtera Trisna Jakarta. Tahun 1989 sampai dengan 1995 penulis melanjutkan
sekolah di SDN 05 Pagi Jagakarsa Jakarta , kemudian melanjutkan ke SLTPN 41
Ragunan Jakarta hingga lulus pada tahun 1998. Pendidikan selanjutnya di SMUN
28 Pasar Minggu Jakarta sejak tahun 1998 sampai tahun 2001. Penulis diterima di
Perguruan Tinggi Negeri Institut Pertanian Bogor (IPB) Fakultas Kedokteran
Hewan pada tahun 2001 melalui Ujian Masuk Pergur uan Tinggi Negeri
(UMPTN).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi intra dan ekstra
kampus. Organisasi intra kampus antara lain: Badan Eksekutif Mahasiswa
Keluarga Mahasiswa FKH IPB (2002-2003), Himpunan Minat Profesi HKSA
(2002-2003), Himpunan Minat Profesi Ruminansia (2002-2004), Badan Eksekutif
Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (2003-2004), Pengurus Besar-Ikatan
Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (2004-2005), Badan Eksekutif
Mahasiswa Keluarga Mahasiswa FKH IPB (2004-2005). Sedangkan organisasi

ekstra kampus yang diikuti antara lain: Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (2003-2004) dan Jaringan Mahasiswa Bogor Bersatu (2003-2004).
Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Pendidikan Agama Islam
(2004).

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan
nikmat dalam kehidupan, berkat petunjuk dan ridho-Nya maka skripsi ini selesai
dituliskan. Shalawat dan salam dihaturkan pada Rasulullah Muhammad SAW,
keluarga nya, sahabatnya , dan para pejuang yang tak kenal lelah menegakkan
kebenaran sampai akhir zaman.
Skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan berbagai pihak. Penghargaan
dan terima kasih kepada: drh. Ekowati Handharyani, MSi, PhD sebagai dosen
pembimbing pertama (terima kasih atas kesabaran, semangat, dan waktu yang
telah diluangkan dalam pembuatan skripsi ini) dan drh. Sri Mulyono, MSi sebagai
dosen pembimbing kedua. Keluargaku tersayang (Bapak, Ibu, d’Endang, dan
d’Fajar) atas dukungan doa dan kasih sayang yang tulus diberikan. Dr.drh.Wiwin
Winarsih, MSi sebagai dosen penilai sekaligus dosen penguji. Dr.dra.Nastiti
Kusumorini sebagai pembimbing akademik (terima kasih atas perhatian,
kesabaran, dan semangat yang menyertai hari-hari kuliah di FKH). Taman

Margasatwa Ragunan (drh. Bambang Triana, drh. W.E. Setiowati, drh. Endah,
drh. Mukhsin, drh. Ari (Dori), drh. Edward (EP), Ibu Aji, P’Sofie, dll).
Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi. Waisy, SUKET, all ikhwah dan
GASTRO 38 (spesial u/ Big Bongot & Oland-terima kasih dukungannya selama
ini). JAKDA#1: N’champ, Bugsy Ulhie, Emre, Adik Tengil, Hamtaro, Do2ng,
Novie ,& Kang Akbar (sahabat sejati tidak akan pernah pergi, karena mereka
selalu ada di hati). Keluarga Darmaga dibalik hutan bambu (butuh keikhlasan
menapaki jalan panjang u/ mencapainya). Tempat bernaungku: DKM Al
Ghiffari-Al Hurriyyah, DKM AnNahl, BAFAK 3, Muthmainnah, Srikandi. Para
leluhur (35,36,37) & Adik2 tersayang (39,40,41) yang menemani masa
perjuangan di kampus ungu.
Penulis sangat menyadari kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu penulis memohon maaf jika ada kesalahan dalam proses pembuatannya.
Semoga karya tulis ini bermanfaat. Amiin.
Bogor, Maret 2006

Dini Widyasari
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………………………………………………………..


vi

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang…………………………………………………………...
Tujuan……………………………………………………………………
Manfaat Studi Kasus ……………………………………………………..

1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Taman Margasatwa Ragunan…………………………………………….
Sejarah……………………………………………………………
Letak Geografi…………………………………………………...

Koleksi…………………………………………………………...
Avian Influenza…………………………………………………………..
Agen Penyakit……………………………………………………
Transmisi…………………………………………………………
Gejala Klinik……………………………………………………..
Diagnosa………………………………………………………….
Pencegahan dan Perawatan………………………………………
Kasus Penyebaran pada Manusia ………………………………...

4
4
5
5
5
5
7
9
9
11
12


BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Studi Kasus………………………………….
Bahan Studi Kasus …………………………………………….....
Metode Studi Kasus……………………………………………...

15
15
15

HASIL DAN PEMBAHA SAN
Kondisi Taman Margasatwa Ragunan…………………………...
Kejadian Penyakit Flu Burung (AI) di TMR…………………….
Penanganan Kasus AI di TMR…………………………………...
Penerapan Biosecurity ………………………………………
Pengobatan Antiviral…………………………………………

16
19
26

26
30

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan…………………………………………………………
Saran……………………………………………………………...

34
34

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………
LAMPIRAN……………………………………………………………...

35
38

DAFTAR TABEL

1
2

3

4

Pemeriksaan sampel darah unggas TMR 8 Juli 2005…………….
Hasil identifikasi virus Flu Burung sampel swab kloaka 5-6
September 2005 dari beberapa jenis unggas di TMR……………
Hasil uji RT-PCR pengambilan sampel tanggal 30 September
2005
setelah
6
hari
pengobatan
dengan
Ribavirin………………………………………………………….
Hasil uji RT-PCR pengambilan sampel tanggal 5-6 oktober
Oktober 2005 setelah pengobatan dengan antiviral
Amantadin………….......................................................................

Halaman
19
22

25

25

DAFTAR GAMBAR
1
2

Virus H5N1…………………………………………..…………..
Peta kasus flu burung pada manusia Oktober 2005 di daerah
Jabodetabek……………………………………………………….
3 Peta kasus flu burung pada manusia Oktober 2005 di
Indonesia………………………………………………………….
4 Kandang peragaan unggas terbuka……………………………….
5 Kandang peragaan unggas semi terbuka………………………….
6 Kandang peragaan unggas tertutup………………………………
7 Kandang Isolasi…………………………………………………..
8 Pembersihan kandang dan penguburan kotoran………………….
9 Virkon S………………………………………………………….
10 Penyemprotan…………………………………………………….
11 Perlengkapan tindakan biosecurity petugas………………………
12a Keset berdisinfektan……………………………………………...
12b Kaset berdisinfektan……………………………………………...
13 Rumus bangun da n molekul Ribavirin…………………………...
14 Sediaan Ribavirin dalam Difoltine……………………………...
15 Sediaan Amantadin………………………………………………

Halaman
6
14
14
17
17
18
27
28
28
28
29
29
30
31
31
32

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Taman Margasatwa Ragunan (TMR) merupakan lokasi untuk memelihara,
melestarikan, mengembangkan aneka tumbuhan dan satwa (Setiarto 2004).
Sebagai taman margasatwa, keberadaan TMR adalah tertua dan terbesar di
Indonesia. Oleh karena itu, TMR memiliki daya tarik khas yang tidak ada pada
taman margasatwa sejenis di tanah air. Dalam perkembangannya, TMR tidak
hanya berfungsi sebagai tempat memelihara, melindungi, dan melestarikan
tumbuhan dan satwa tetapi juga sebagai sarana penunjang pendidikan, media
penelitian dan ilmu pengetahuan, sarana paru-paru kota, daerah resapan air,
sekaligus juga sebagai sarana rekreasi. Setiap tahunnya TMR berhasil menarik
kunjungan para wisatawan, baik dalam maupun luar negeri.

Sebagai tempat

rekreasi, TMR buka setiap hari sejak pukul 07.00-17.00 dengan harga tiket masuk
Rp 3000 per orang. Didukung dengan luas lahan dan jumlah satwa koleksi yang
dimiliki, masyarakat banyak memilih TMR sebagai tempat wisata yang layak
untuk dikunjungi. Oleh karena itu, TMR menjadi tempat wisata yang memiliki
jumlah pengunjung cukup tinggi, terutama pada hari libur.

Tercatat setiap

tahunnya TMR dikunjungi oleh 3,5 juta wisatawan (TMR 2005).
Potensi yang dimiliki TMR sangat menunjang untuk pengembangan
daerah. Selain potensi sebagai tempat konservasi satwa ex-situ yang baik, TMR
juga dapat menjadi sarana pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan lewat
penelitian. Daya dukung lahan yang baik sebagai daerah resapan air dan paruparu kota juga memberikan kontribusi bagi kelangsungan hidup masyarakat DKI
Jakarta.

Sebagai

wahana

rekreasi,

TMR

juga

dapat

menjadi

tempat

berlangsungnya kegiatan ekonomi, baik untuk pengelola maupun masyarakat
sekitar.

Potensi yang dimiliki oleh TMR di atas tidak hanya membawa

keunggulan, tetapi ada juga kelemahan antara lain seperti penyebaran zoonosis.
Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia dan
atau ke hewan lainnya (Soejoedono 2004). Salah satu terjadinya dugaan zoonosis
baru-baru ini adalah merebaknya kasus Flu Burung (Avian Influenza-AI) di TMR

seiring dengan terjadinya kasus kematian pada manusia diduga AI.

Karena

kejadian tersebut maka Jakarta dan Jawa Barat ditetapkan sebagai daerah
Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh Menteri Kesehatan pada September 2005 (Rai
2005). Temuan ini menyebabkan keluarnya perintah penutupan TMR selama 21
hari, sejak tanggal 19 September 2005 sampai 10 Oktober.

Penutupan ini

berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No.1831/2005
tertanggal 20 September 2005 oleh Gubernur DKI Jakarta (Kompas 2005),
tentang penutupan sementara Taman Margasatwa Ragunan dalam rangka
mengantisipa si penyebaran dan penularan penyakit Flu Burung di Provinsi DKI
Jakarta. Sebanyak 18 satwa jenis unggas yang dilindungi dan tidak dilindungi
positif terkena virus AI. Antara lain adalah lima ekor jenis Ayam Kate, lainnya
adalah Belibis Mandarin, Belibis Buah, Beo Kecil, Merak Hijau, Bangau
Tongtong tiga ekor, Bleang Sumatra, dan tiga ekor Bluwok (Cybernas 2005).
Menurut Menteri Pertanian Anton Apriantono, Departemen Pertanian
akan mengambil tindakan khusus terkait temuan kasus Flu Burung di Taman
Margasatwa Jakarta itu. Penanganan 18 jenis unggas yang positif Flu Burung itu
terbagi menjadi dua langkah. Pertama, untuk jenis unggas yang dilindungi akan
diberikan penanganan khusus seperti pengobatan dengan antiviral. Tujuannya,
untuk mengupayakan kesembuhan hewan. Untuk jenis yang tidak dilindungi akan
dimusnahkan (Cybernas 2005).
Avian Influenza (AI) atau Flu Burung yang dahulu dikenal dengan Fowl
Plaque adalah penyakit viral yang menyerang pernafasan, pencernaan, dan sistem
saraf dari unggas (Anonim 2005a). Penyakit ini dapat terjadi pada semua jenis
burung, baik domestik maupun eksotik yang ditemukan di darat dan unggas air.
Penyakit ini tidak mengenal rentang umur. Beberapa kasus ditemukan pada babi,
kuda, hewan liar, bahkan manusia. Wabah AI pertama kali ditemukan di Italia
sekitar tahun 1800, kemudian menyebar ke daerah timur Tengah pada tahun 1930.
Semenjak itu kejadian penyakit AI merebak ke seluruh dunia termasuk Indonesia.
Kasus di Indonesia muncul tahun 2003 bersamaan dengan mewabahnya AI di
kawasan Asia Tenggara.

Meskipun demikian penyakit ini baru dinyatakan

keberadaannya secara resmi oleh pemerintah pada tanggal 25 Januari 2004
melalui press release yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi

Peternakan (Dirjenpronak 2004a). Sejak akhir tahun 2003, wabah AI menjadi
pandemi di beberapa negara Asia seperti Korea Selatan, Jepang, Vietnam,
Thailand, Kamboja, Hongkong, Laos, RRC, Pakistan, dan Indonesia. Hampir
seluruh kejadian wabah negara-negara tersebut disebabkan oleh virus AI subtipe
H5N1 kecuali di Pakistan yang ditemukan subtipe H7 (Dirjenpronak 2004b).
Kaitan TMR dengan KLB AI adalah dugaan penularan virus AI kepada
manusia yang sebelumnya tidak pernah terjadi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya pa sien manusia yang diduga mengidap Flu Burung dengan tempat
penularannya diperkirakan berasal dari TMR ( The Jakarta Post 2005) sehingga
diputuskan adanya masa isolasi (penutupan) sementara TMR untuk memberantas
dan mencegah penyebaran penyakit. Selama masa penutupan, TMR melakukan
tindakan pemberantasan dan pencegahan penularan Flu Burung sampai
dinyatakan aman oleh pemerintah pada tanggal 11 Oktober 2005. Berdasarkan
hal-hal di atas maka perlu diadakan kajian terhadap kejadian penyakit Flu burung,
terkait dengan cara pencegahan dan pemberantasan agar kejadian penyakit tidak
terulang kembali.

Tujuan
Tujuan dilakukannya studi kasus ini adalah mempelajari metode
pemberantasan Flu Burung dalam praktek di lapangan, dikhususkan pada tempat
penangkaran (konservasi) satwa langka dan dilindungi seperti Taman Margasatwa
Ragunan.

Manfaat Studi Kasus
Studi kasus ini diharapkan dapat memberikan informasi dan sebagai salah
satu rujukan kepada pihak terkait (dunia veteriner, kesehatan manusia,
pemerintah) dan masyarakat mengenai cara yang tepat dan efektif dalam
mencegah dan memberantas Flu Burung di lapangan.

TINJAUAN PUSTAKA

Taman Margasatwa Ragunan Jakarta
Sejarah
Pada tahun 1864 di zaman pemerintahan Hindia Belanda didirikan kebun
binatang yang bernama “Planten En Dierentuin” oleh suatu perkumpulan
penyayang flora dan fauna Vereneging Planten Dierentuin at Batavia (Anonim
2005b). Lokasi kebun binatang ini berada di jalan Cikini Raya No.3 Jakarta
dengan luas 10 Hektar (Ha). Lokasi ini merupakan sumbangan dari Raden Saleh,
salah satu anggota perkumpulan penyayang flora dan fauna dan beliau juga
dikenal sebagai pelukis ternama dari Indonesia.
Pada tahun 1949 nama Planten En Dierentuin diubah namanya menjadi
Kebun Binatang Cikini.

Tahun 1964 Pemerintah DKI Jakarta memindahkan

lokasi Kebun Binatang ini ke daerah Ragunan, Pasar Minggu Jakarta Selatan.
Alasan pemindahan ini karena daerah Cikini tidak sesuai dengan planologi kota
dan tidak cocok untuk tempat hidup dan berkembang biak bagi hewan. Daerah
baru ini pada mulanya memiliki luas lebih kurang 30 Ha (Anonim 2005b).
Pada tanggal 22 Juni 1966, kebun binatang dibuka secara resmi oleh
Gubernur DKI Jakarta, Mayor Jenderal Ali Sadikin, dengan nama Taman
Margasatwa Ragunan.

Pengelolaan Taman Margasatwa Ragunan diserahkan

Pemerintah Daerah DKI Jakarta kepada seorang pecinta satwa bernama Benjamin
Gaulstaun, sekaligus menjadi direktur pertama Taman Margasatwa Ragunan.
Perkembangan selanjutnya pada tanggal 22 Juni 1976, bertepatan dengan Hari
Jadi Kota Jakarta, Taman Margasatwa Ragunan diubah dan diresmikan namanya
oleh Gubernur DKI Jakarta Mayor Jenderal Ali Sadikin menjadi Kebun Binatang
Ragunan DKI Jakarta. Sesuai SK Gubernur DKI Jakarta No.1077 tahun 1989
Kebun Binatang Ragunan berubah menjadi Badan Pengelola Kebun Binatang
Ragunan DKI Jakarta. Kemudian berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta
No.13 tahun 1998, maka nama Badan Pengelola Kebun Binatang Ragunan DKI

Jakarta dikembalikan lagi menjadi Kantor Taman Margasatwa Ragunan DKI
Jakarta.

Letak Geografi
Menurut Setiarto (2004), Taman Margasatwa Ragunan terletak lebih
kurang 20 km dari pusat kota dengan ketinggian 50 m di atas permukaan laut.
Secara administratif termasuk ke dalam wilayah Ragunan, Pasar Minggu Jakarta
Selatan.

Untuk mencapai lokasi dapat dicapai dari berbagai arah seperti dari

Depok, Jatipadang, Cilandak, Pasar Minggu, Mampang Prapatan, Kebayoran
Baru, Kampung Melayu, Lebak Bulus, dan Kampung Rambutan. Curah hujan
rata-rata per tahun 2,291 mm, temperatur udara rata -rata sepanjang tahun 27,2
derajat Celcius dengan kelembapan udara 80%. Keadaan tanah berjenis latosol
merah. Saat ini TMR memiliki luas wilayah sekitar 145 Ha.

Koleksi
Taman Margasatwa Ragunan dibangun menurut rancangan kebun binatang
terbuka. Konsep ini memudahkan pengunjung untuk lebih dekat dengan satwa.
Koleksi satwanya lebih dari 3625 ekor, terdiri dari 270 spesies dengan 90% dari
jumlah adalah satwa asli Indonesia (Setiarto 2004). Setiap satwa diperagakan
dalam kandang yang disesuaikan dengan habitat aslinya. TMR memainkan
peranan penting dalam hal penangkaran satwa.

Beberapa jenis satwa asli

Indonesia yang berhasil ditangkarkan antara lain adalah Jalak Bali, Harimau
Sumatera (Phantera tigris sumatrae), Orang Utan (Pongo pygmaeus ), Komodo
(Varanus komodoensis), Ular Sanca (Phyton reticulatus), Kasuari, Kakak Tua,
dan jenis burung Bayan.

Koleksi tumbuhan di TMR sekitar 50.000 pohon

(Anonim 2005b).

Avian Influenza (AI)
Agen Penyakit
Flu Burung (Avian Influenza) adalah suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh virus influenza yang ditularkan oleh unggas (Silalahi 2005).
Avian Influenza (AI) disebabkan oleh virus RNA, yaitu Orthomyxovirus

(Influenza) tipe A dari famili Orthomyxoviridae (Dirjenpronak 2004b). Menurut
Dharmayanti dan Adjid (2005a), famili Orthomyxoviridae terbagi menjadi tiga
genera, yaitu virus influenza tipe A,B,C. Dari tiga genera ini hanya virus influenza
tipe A yang dapat menginfeksi unggas dengan infeksi saluran pencernaan selain
infeksi pada saluran pernafasan (Fenner et al. 1995). Ciri virion dari vir us
influenza tipe A adalah membulat dan berdiameter sekitar 100 nm. Terdapat
delapan protein virion, lima diantaranya merupakan protein berstruktur dan tiga
lainnya berkaitan dengan polimerase RNA. Protein terbanyak adalah protein
matriks (M1), yang tersusun dari banyak monomer kecil serupa. Monomer ini
terkait dengan permukaan bagian dalam dari lapisan ganda lemak dari amplop
(envelope). Protein kecil lain adalah M2 yang menonjol sebagai pori-pori atau
kanal ion melewati membran. Virus ini memiliki envelope dengan dua antigen
permukaan yang disebut Haemaglutinin (H) dan Neuraminidase (N). Menurut
Fenner et al.(1995), kedua antigen permukaan itu merupakan molekul
glikoprotein. Molekul H merupakan trimer bentuk-batang, sedangkan molekul N
merupakan tetramer

bentuk-jamur. Kedua antigen tersebut yang digunakan

sebagai penanda dalam identifikasi subtipe virus karena membawa epitop khusussubtipe. Saat ini telah ditemukan 15 macam Haemaglutinin dan 9 Neuraminidase ,
sehingga di alam dapat terjadi kombinasi subtipe virus yang mencapai lebih dari
100 jenis (Handharyani 2004). Subtipe yang dikenal ganas adalah H5 dan H7
yang selama ini dapat menyebabkan Flu Burung (Rott dan Klenk 1985). Sesuai
dengan tingkat keganasan, virus AI digolongkan menjadi dua, yaitu Highly
Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI)
(Malole 2004).

Gambar 1 Virus H5N1
Sumber: Kompas 2005
Menurut Handharyani (2004), salah satu sifat virus adalah dapat
mengaglutinasi sel darah merah unggas dan ditemukan pada dinding pembuluh
darah inang. Virus juga peka terhadap lingkungan panas (56o C, 30 menit), pH
yang ekstrim (asam;pH 3), kondisi non isotonik, udara kering, relatif tidak tahan
terhadap inaktivasi pelarut lemak seperti detergen (Fenner et al. 1995). Lanjut
Fenner et al. (1995), senyawa seperempat bagian amonium, lisol 1-2%, kresol
0,1%, dan formalin 2% dapat digunakan dalam desinfeksi. Pada lingkungan luar
dapat bertahan pada suhu 200 Celcius selama 7 hari dan 40 Celcius di dalam feses
selama 30-35 hari. Dibandingkan dengan virus yang lain, virus AI sangat unik
karena memiliki kemampuan mengubah diri melalui pindahan antigen (antigenic
drift) dan hanyutan antigen (antigenic shift) sehingga sulit dikenali oleh sistem
pertahanan inang (Fenner et al. 1995).

Transmisi
Inang alamiah virus AI adalah unggas liar maupun domestik, namun
sebagian besar unggas liar dapat berperan sebagai reservoir tanpa menunjukkan
gejala klinis. Menurut Noerdjito (2005), ada sekitar 400 jenis burung migran
yang diduga kuat sebagai penyebar virus AI di Indonesia dan kawasan lain di
dunia. Burung migran ini didominasi oleh jenis walet (Hirundo rustica) dan jenis
itik air (Anas clytiata ).

Kebanyakan virus AI diisolasi dari itik, meskipun

kebanyakan burung juga terinfeksi (Dirjenpronak 2004a).

Beberapa kajian

menunjukkan bahwa babi merupakan hewan yang dapat berperan sebagai mixing
vessel (pembawa-pencampur) bagi virus unggas ke mamalia dan sebaliknya
(Handharyani 2004), sehingga terdapat kemungkinan babi dapat menjadi media
mutasi virus AI menjadi subtipe yang lebih ganas. Masa inkubasi AI sangat
bervariasi, yaitu beberapa jam sampai tiga hari (untuk individu), sedangkan untuk
flok dapat mencapai 14 sampai 21 hari (Dirjenpronak 2004b). Pada kasus di
Indonesia masa inkubasi berkisar tujuh hari (Kompas 2005). Periode inkubasi
sangat bergantung pada jumlah virus yang masuk, patogenitas, spesies terinfeksi,
serta kemampuan dalam melihat gejala klinis yang timbul (Handharyani 2004).

Dari penelitian yang dimuat Cybernas (Anonim 2005c), virus ini dikeluarkan
melalui kotoran ayam dan eksudat hidung yang mencemarkan lingkungan sekitar
dan menjangkiti melalui pernafasan.

Virus ini merebak dengan mudah dari

ladang peternakan ke ladang peternakan lain melalui tikus dan lalat yang dicemari
dengan kotoran ayam yang mengandung virus H5N1.

Sejumlah virus yang

dikeluarkan melalui rongga mulut sering berasal dari kelenjar ludah yang
terinfeksi atau dari paru-paru atau mukosa hidung (Fenner et al. 1995). Virus AI
yang diekskresikan lewat feses secara umum lebih sulit dibunuh oleh kondisi
lingkungan, terutama jika dibenamkan dalam air (Fenner et al. 1995). Selain
peternakan, pasar -tempat ayam hidup dijual- dapat juga menjadi sumber penularan
penyakit ini. Hingga kini Virus H5N1 merebak dari hewan kepada manusia dan
belum ada bukti ia dapat menular dari manusia kepada manusia (GSA 2005).
Selain lewat unggas migrasi, virus ini menular dari satu negara ke negara lain
melalui perdagangan antara bangsa ayam hidup. Sumber penularan wabah ini
umumnya berasal dari Virus H5N1 yang mudah menular dan dapat menyebabkan
kematian penderita (Anonim 2005c).
Virus flu burung hidup di dalam saluran pencernaan unggas. Agen ini
kemudian dikeluarkan bersama kotoran, dan infeksi dapat terjadi bila orang
melakukan kontak langsung dengan unggas. Penularan diduga terjadi dari kotoran
secara oral atau melalui saluran pernapasan. Orang yang terserang flu burung
menunjukkan gejala seperti terkena flu biasa, antara lain demam, sakit
tenggorokan dan batuk, tapi kondisinya sangat cepat menurun drastis (Anonim
2005c).

Bila tidak segera ditolong, korban bisa meninggal. Seperti halnya

influenza, virus flu burung ini sangat mudah bermutasi. Flu burung (H5N1) dapat
menyebar dengan cepat di antara populasi unggas dengan tingkat kematian yang
tinggi. Bahkan dapat menyebar antar peternakan dari sua tu daerah ke daerah lain.
Belum ada bukti terjadinya penularan dari manusia ke manusia dan juga belum
terbukti adanya penularan pada manusia lewat daging yang dikonsumsi. Orang
yang mempunyai resiko besar untuk terserang flu burung (H5N1) ini adalah
pekerja peternakan unggas, penjual dan yang sering melakukan kontak dengan
unggas (Silalahi 2005).

Saat ini, strain yang paling virulen penyebab flu burung adalah strain
H5N1 (Kompas 2005). Virus itu dapat bertahan hidup di air sampai empat hari
pada suhu 22 0 Celcius dan lebih dari 30 hari pada 0o Celcius (Coloma 2005).
Gejala Klinik
Menurut

Handharyani

(2004),

beberapa

kasus

ada

yang

tidak

menunjukkan gejala klinik. Gejala klinik yang dapat teramati adalah anoreksia,
emasiasi, depresi, produksi telur turun, gejala sesak nafas disertai eksudat keluar
dari hidung, edema daerah wajah, konjunktivitis, jengger dan pial warna kebiruan.
Beberapa daerah di bawah kulit temasuk tungkai mengalami perdarahan. Gejala
saraf juga dapat teramati seperti gemetar, tortikolis dan kelumpuhan. Morbiditas
dan mortalitas sangat beragam, namun kematian pada unggas dapat mencapai
100%. Hal di atas dinyatakan oleh Dirjenpronak (2004b) bahwa virus AI dapat
menimbulkan gejala penyakit mulai ringan (low pathogenic AI) sampai yang
bersifat fatal (highly pathogenic AI ).

LPAI tampak adanya gejala subklinis

ringan, terbatas pada gejala pernafasan, depresi, diare, dan penurunan reproduksi
dengan tingkat kematian (mortalitas) rendah (Setiowati 2006). Sedangkan HPAI
mempunyai tempat replikasi di berbagai organ tubuh, sehingga virus dapat
menyerang perdarahan sistemik yang menyebabkan kebiruan (sianosis), kematian
tanpa gejala, dan mempunyai tingkat kematian tinggi (dapat mencapai 100%).

Diagnosa
Diagnosa

dilakukan

berdasarkan

gejala

klinis,

patologi anatomi,

histopatologi, pengujian serologis (Haemaglutination Inhibition-HI, Agar Gel
Precipitation -AGP, Enzyme Linked immunosorbent Assay-ELISA), identifikasi
DNA menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) (Handharyani
2004). Sedangkan diferensial diagnosa AI adalah Newcastle Disease (ND),
Swollen Head Syndrome (SHS), Infectious Coryza dan Fowl Cholera. Sedangkan
menurut Dirjenpronak (2004b), cara diagnosa dapat dilakukan pada tiga cara,
yaitu:
1. Diagnosa lapangan dengan melihat gejala klinis sebagai berikut:


Jengger, pial, kulit perut yang tidak ditumbuhi bulu berwarna biru
keunguan (sianosis).



Terkadang terdapat cairan dari mata dan hidung.



Pembengkakan di daerah muka dan kepala.



Perdarahan di bawah kulit (subkutan).



Perdarahan titik ( ptechie) pada daerah dada, kaki, dan telapak kaki.



Kasus kematian tinggi.

2. Pembedahan bangkai (nekropsi):


Perdarahan subkutan, bintik-bintik perdarahan pada otot dan jaringan
lemak.



Perdarahan pada organ trakhea, pankreas, dan perandangan pada usus,
hati, dan limpa.



Bintik-bintik pendarahan merata pada proventrikulus, udema, dan
pendarahan pada ovarium.



Perdarahan pada kaki yang sering diikuti udema.

3. Diagnosa laboratorium:


Sampel diambil dari unggas hidup, unggas yang memperlihatka gejala
klinis, dan unggas yang mati.



Preparat ulas (swab kloaka), trakhea atau feses segar dan serum diambil
dari unggas yang masih hidup.



Dari unggas yang mati, dilakukan pemeriksaan jaringan saluran
pencernaan (proventrikulus, intestinum, caeca-tonsil) dan jaringan saluran
pernafasan (trakhea dan paru-paru).



Pengiriman sampel harus dijaga dalam keadaan dingin (tidak beku) dan
dikirimkan ke Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPVV)
Regional atau ke Balai Penelitian Veteriner (Balitvet).
Menurut Fenner et al. (1995), semua virus influenza dapat bereplikasi

secara sempurna pada telur ayam berembrio (tertunas) umur 10 hari. Diagnosa
laboratorium virus AI dapat dilakukan melalui isolasi dan inokulasi virus melalui
amnion atau alantois lalu diinkubasi pada suhu 35o-37o Celc ius selama 3-4 hari.
Masih menurut Fenner et al. (1995), replikasi virus dapat diketahui melalui
adanya aktivitas hemaglutinasi dalam zalir amnion atau alantois telur tertunas.
Pemeriksaan dengan RT-PCR pun juga dapat dilakukan dengan sampel alantois
telur tertunas (Dharmayanti dan Adjid 2005b).

Pencegahan dan Perawatan
Prinsip dasar penanggulangan penyakit yang disebabkan agen virus adalah
mencegah kontak hewan peka dengan hewan terinfeksi dan media yang tercemar
virus (Naipospos 2005). Upaya pencegaha n penularan tentu saja dilakukan
dengan cara menghindari bahan yang terkontaminasi tinja dan sekreta unggas,
dengan beberapa tindakan (Silalahi 2005), seperti:
-Tiap orang yang berhubungan dengan bahan yang berasal dari saluran cerna
unggas harus menggunakan pelindung (wear pack , masker, kacamata renang,
sarung tangan).
-Bahan yang berasal dari saluran cerna unggas, seperti feses harus ditangani
dengan baik (ditanam atau dibakar) agar tidak menjadi sumber penularan bagi
lingkungan sekitarnya.
-Alat-alat yang digunakan dalam peternakan harus dicuci dengan desinfektan.
-Kandang

dan

tinja

tidak

boleh

dikeluarkan

dari

lokasi

peternakan.

-Mengkonsumsi daging ayam yang telah dimasak dengan suhu 800 Celcius
selama satu menit, telur unggas dipanaskan dengan suhu 640 Celcius selama lima
menit.
- Melaksanakan kebersihan lingkungan.
- Melakukan kebersihan diri.
Menurut

Handharyani

(2004),

terdapat

empat

strategi

untuk

menanggulangi AI, yaitu isolasi tempat yang tertular(1), depopulasi secara
selektif(2),

meningkatkan biosecurity

melaksanakan

vaksinasi(4).

pada

Sedangkan

semua

menurut

aspek

manajemen(3),

Dirjenpronak

penanganan wabah AI di Indonesia dilakukan dengan 9 strategi, yaitu:
1. Peningkatan biosecurity.
2. Vaksinasi
3. Depopulasi (pemusnahan terbatas) di daerah tertular.
4. Pengendalian lalu lintas, produk, dan limbah peternakan unggas.
5. Surveilans dan Penelusuran (tracking back).

(2004a),

6. Pengisian kandang kembali (restocking).
7. Pemusnahan menyeluruh (stamping out) di daerah tertular baru.
8. Peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness).
9. Monitoring dan evaluasi.
Terdapat obat untuk perawatan dan pencegahan penyakit ini tetapi efek
penyembuhannya masih dalam penelitian (Recombinomics 2005). Pada tahap
awal, manusia yang menderita flu dan dicurigai berpenyakit flu burung diberi obat
Tamiflu®, nama obat antiviral jenis Oseltamivir dari perusahaan Roche Holding
AG[1] per oral (Diani 2005).

Kasus Penyebaran pada Manusia
Menurut Huminto (2005), virus infuenza tipe A yang dapat menular dari
hewan ke manusia adalah:
1. Virus Flu Burung tidak menular antar manusia adalah strain H5, H7, H9, dan
H10. Virus AI yang dikatakan tidak menular antar manusia seperti pada tahun
1996 di Inggris tipe H7N7 yang menyerang itik. Tahun 1997 dan 2003 di
Hongkong tipe H5N1 yang menyerang ayam. Tahun 1999 masih di Hongkong
tipe H9N2 juga menyerang ayam. Tahun 2003 di Belanda dan Belgia tipe
H7N7 menyerang ayam. Tahun 2004-2005 pandemi virus di dunia dengan tipe
H5N1 menyerang ayam, burung, puyuh, itik terutama pada negara Vietnam,
Kamboja, Thailand, Korea, Indonesia, Cina, Malaysia, Jepang, Rusia, dan
sebagian Eropa.
2. Virus Flu Burung menular antar burung, burung ke manusia, dan antar manusia
adalah strain H1N1 (Flu Spanyol), H2N2 (Flu Asia), H3N2 (Flu Hongkong)
yang biasa didahului dengan terjadinya pandemi. Pandemi adalah wabah yang
terjadi bersamaan dalam sebuah wilayah geografi yang luas. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jika pandemi flu burung terjadi,
korban tewas di seluruh dunia bisa mencapai 100 juta orang.
Menurut

Silalahi

(2005),

kemampuan

virus

flu

burung

adalah

membangkitkan hampir keseluruhan respon "bunuh diri" dalam sistem imunitas
tubuh manusia. Semakin banyak virus itu tereplikasi, semakin banyak pula
sitoksin --protein yang memicu untuk peningkatan respons imunitas dan

memainkan peran penting dalam peradangan yang diproduksi tubuh. Sitoksin
yang membanjiri aliran darah, karena virus yang bertambah banyak, justru
melukai jaringan-jaringan dalam tubuh, atau dikenal juga dengan efek “bunuh
diri”.
Belum ada bukti virus AI strain H5, H7, H9, dan H10 dapat menular dari
manusia kepada manusia lain (Dirjenpronak 2004a). Tanggal 21 Juli 2005, tiga
kasus fatal pada manusia terjadi di Tangerang, Indonesia , yang disebabkan oleh
flu burung subtipe H5N1. Berbeda dengan kasus lainnya di Asia Tenggara
(Thailand, Kamboja, dan Vietnam), kasus ini dianggap unik karena korban tidak
banyak berhubungan dengan unggas. Kemungkinan besar penularannya melalui
udara (air borne) (Rai 2005). Sampai dengan 29 September 2005, WHO* telah
mencatat sebanyak 116 kasus dengan 60 kematian pada manusia yang disebabkan
virus ini dengan rincian sebagai berikut:
o Indonesia;36 kasus dengan 7 kematian
o Vietnam; 91 kasus dengan 41 kematian
o Thailand; 17 kasus dengan 12 kematian
o Kamboja; 4 kasus dengan 4 kematian
*

Keterangan: jumlah kasus yang dilaporkan WHO adalah jumlah kasus yang telah diverifikasi
dengan hasil laboratorium (Recombinomics 2005)

Gambar 2 Peta Kasus Flu Burung pada Manusia Oktober 2005 di daerah
Jabodetabe k (Recombinomics 2005)
Keterangan: • bulat = konfirmasi, Merah = Fatal, Orange = Hidup
kotak = tersangka, Merah = Fatal, Orange = diakui September,
Kuning = diakui Oktober
∆ segitiga = terkait TMR ,Orange = konfirmasi, Hijau = tersangka
September Kuning= diakui Oktober

Gambar 3 Peta Kasus Flu Burung pada Manusia Oktober 2005 di Indonesia
(Recombinomics 2005)

Keterangan:

Kotak= tersangka Merah = Fatal Orange = hidup
Bulat = konfirmasi Merah = Fatal Orange = hidup
BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Studi Kasus
Studi kasus ini bertempat di Taman Margasatwa Ragunan, Jl. Harsono
RM , No.1 Ragunan Jakarta Selatan 12550 selama bulan Desember 2005-Januari
2006.

Bahan Studi Kasus
Studi kasus ini menggunakan data yang terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer berupa wawancara dengan instansi (pihak) terkait seperti
dokter hewan, paramedis, dan jajaran pimpinan Taman Margasatwa Ragunan.
Data sekunder (retrospektif) didapatkan dari rekaman medis (medical record)
satwa yang berupa data/jurnal harian tindakan biosecurity dan data/jurnal harian
pengobatan antiviral di Taman Margasatwa Ragunan selama masa isolasi (19
September 2005 sampai 10 Oktober 2005).

Metode Studi Kasus
Dalam rangka mempelajari kasus Pemberantasan Flu Burung (Avian
Influenza) di Taman Margasatwa Ragunan, diterapkan metode deskriptif dengan
melakukan penga matan kondisi lapangan dan pengambilan data. Menurut
Rangkuti (2001), proses analisa data mencangkup kegiatan sebagai berikut:
1. Memahami latar belakang dan kondisi yang ada.
2. Mengambil dan memahami secara detail informasi (data) yang terdapat
pada kasus
3. Melakukan analisa terhadap terhadap situasi yang terjadi
4. Melakukan analisa terhadap pengambilan keputusan dan tindakan
5. Menyimpulkan hasil analisa
Sedangkan indikator keberhasilan studi kasus ini dilihat sebelum dan
sesudah penanganan kasus yang didapat dari: (1) kejadian sakit (morbiditas) AI
dan (2) hasil pemeriksaan uji Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction
(RT-PCR) sampel unggas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Taman Margasatwa Ragunan
Sebelum penutupan TMR terkait wabah AI (19 September 2005-10
Oktober 2005), pengamanan pengunjung terhadap bahaya zoonosis masih lemah
dalam tataran pelaksanaan di lapangan. Kontak antar pengunjung dengan satwa
sangat mungkin dilakukan, terutama pada kawasan Children Zoo yang
memperagakan satwa dalam jarak pandang dan jarak jangkauan dekat dengan
pengunjung.

Keamanan kesehatan satwa pun juga memiliki potensi tertular

penyakit dari luar kawasan TMR. Hal ini ditunjukkan salah satunya dengan
perilaku pengunjung yang memberi makanan bawaan kepada satwa koleksi di
kandang peraga walaupun larangan tertulis sudah dicantumkan oleh pihak
pengelola TMR.
Populasi unggas di TMR berkisar 2100 ekor mewakili 140 jenis yang
sebagian besar di antaranya adalah unggas liar dengan kandang peragaaan tersebar
pada 12 lokasi, yaitu:
1. Kandang Burung Unggas Lama dan sekitarnya
2. Kandang Burung Unggas Baru dan sekitarnya
3. Kandang Burung Unggas Kecil dan sekitarnya
4. Kandang Safari dan sekitarnya
5. Kandang Children Zoo dan sekitarnya
6. Kandang Aviary dan sekitarnya
7. Kandang Burung Peragaan Gajah dan sekitarnya
8. Kandang Burung Jalak Bali dan sekitarnya
9. Kandang Burung Nursery dan sekitarnya
10. Kandang Burung Nuri dan sekitarnya
11. Kandang Burung Areal Pintu Timur dan sekitarnya
12. Kandang Kasuari dan sekitarnya
Jenis kandang peraga unggas di TMR adalah:
1. Kandang terbuka; kandang tanpa kerangkeng, diletakkan di area terbuka
dengan pagar pembatas di sekelilingnya, biasanya dilengkapi dengan

kolam untuk memelihara unggas air yang tidak dapat terbang seperti
angsa, pelikan, bangau. Contoh kandang terbuka adalah kandang safari.

Gambar 4 Kandang peragaan unggas terbuka
Sumber: Taman Margasatwa Ragunan (2006)
2. Kandang semi terbuka; kandang dengan kerangkeng namun dikelilingi
oleh taman, atau oleh kandang satwa lain. Ukuran kandang kecil sampai
sedang. Unggas yang dipelihara di dalamnya bisa dari jenis terbang
maupun tidak terbang. Contoh kandang semi terbuka adalah kandang
unggas kecil.

Gambar 5 Kandang peragaan unggas semi terbuka
Sumber: Taman Margasatwa Ragunan (2006)

3. Kandang tertutup; kandang besar dengan kerangkeng kawat dimana
sekelilingnya tidak terdapat kandang lain. Kandang tertutup ini merupakan
satu komplek besar berpintu dengan sekat langsung yang memisahkan
antar kandang satu dengan lainnya. Unggas yang dipelihara di dalamnya
bisa dari jenis terbang maupun tidak terbang . Contoh kandang tertutup
adalah kandang unggas lama.

Gambar 6 Kandang peragaan unggas tertutup
Sumber : Taman Margasatwa Ragunan (2006)
Keberadaan unggas liar seperti jenis merpati (burung dara) dan burung
gereja banyak dijumpai di TMR. Kondisi kandang peraga satwa koleksi yang
berupa kandang terbuka dan kandang semi terbuka memudahkan unggas liar
untuk datang. Kandang tertutup pun tak luput dari kedatangan unggas liar karena
ukuran kawat kerangkeng cukup besar untuk dimasuki jenis burung gereja.
Kedatangan unggas-unggas liar ini dipicu oleh pakan yang ada di dalam kandang
peraga. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab penyebaran virus AI.
Keberadaan unggas liar di TMR sulit dikendalikan, selain jumlah populasi cukup
banyak, kondisi lingkungan TMR juga mendukung untuk perkembangbiakan
unggas liar tersebut.

Kejadian Penyakit Flu Burung (AI) di TMR
Seiring dengan merebaknya kembali kasus Flu Burung di Indonesia pada
tahun 2005 dan kasus dugaan Flu Burung yang menyebabkan kematian manusia
sebanyak 3 orang di daerah Tangerang, Banten maka TMR mengerahkan Tim
Medisnya untuk melakukan pemeriksaan lebih intensif terhadap kesehatan satwa
koleksi khususnya pada jenis aves. Tanggal 8 Juli 2005 dilakukan pengambilan
sampel darah unggas sebanyak 13 ekor mewakili jenis (tabel 1) untuk
pemeriksaan serologis; titer antibodi ND (New-Castle Disease), titer antibodi AI,
dan CRD (Chronic Respiratory Disease). Pemeriksaan dilakukan oleh Balai
Kesehatan Hewan Provinsi DKI Jakarta. Hasil pemeriksaan dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 1 Pemeriksaan Sampel Darah Unggas TMR 8 Juli 2005
No

Jenis Unggas

Jumlah

1
Kakak Tua Jambul Jingga
1
2
Elang Bondol1
1
3
Bleang Sumatera
1
4
Kuao Perak
1
5
Yoan Putri Mandi
1
6
Elang Bondol2
1
7
Bangau Tongtong
1
8
Merak Hijau
1
9
Ayam Kate
1
10 Elang Ular
1
11 Kakak Tua Jambul Kuning
1
12 Bluwok
1
13 Ayam Jepang
1
Jumlah Total Unggas
13
Sumber: Taman Margasatwa Ragunan 2005

Titer ND
28
27
26
27
210
28
25
20
20
29
29
29
20

Hasil Pemeriksaan
Titer AI
CRD
20
negatif antibodi
20
negatif antibodi
20
negatif antibodi
20
negatif antibodi
20
negatif antibodi
20
negatif antibodi
20
negatif antibodi
20
negatif antibodi
20
positif antibodi
20
negatif antibodi
20
negatif antibodi
20
negatif antibodi
20
positif antibodi

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa hasil pemeriksaan titer AI menunjukkan
angka 20. Angka ini bukan berarti tidak ada kehadiran virus AI dalam sampel
yang diperiksa (bukan berarti hasil uji negatif). Kemungkinan pertama, virus
(antigen) tidak menyebabkan terbentuknya antibodi pada unggas. Kemungkinan
kedua, titer antibodi tidak terbaca karena jumlah virus dalam tubuh unggas belum
mencukupi untuk menjadikan sakit. Menurut Fenner et al. (1995), unggas liar
jarang menunjukkan gejala sakit AI walaupun dapat menjadi reservoar utama
penyebaran AI dengan ditemukannya virus AI (antigen) pada tubuh unggas liar
tersebut tanpa dijumpainya antibodi. Titer antibodi ND menunjukkan angka 20-

210, hasil yang bervariasi namun tidak menyebabkan sakit. Pada pemeriksaan
contoh sera darah unggas terhadap penyakit ND dari unggas normal bisa didapat
hasil dengan titer 25 atau 210, titer HI 220 atau lebih diartikan sebagai indikasi
adanya infeksi atau sebagai respon terhadap vaksinasi (Siregar 1987). Oleh karena
itu hasil pemeriksaan titer antibodi ND disebabkan oleh antibodi protektif karena
program vaksinasi. Hasil uji CRD menunjukkan positif antibodi pada dua jenis
unggas yaitu Ayam Kate dan Ayam Jepang sedangkan sampel lainnya
menunjukkan hasil negatif antibodi CRD.
Pada

pertengahan

Juli

2005

terjadi

kematian

mendadak

tanpa

menunjukkan gejala klinis sebanyak 5 ekor unggas, ditambah lagi dengan
kematian secara mendadak 5 ekor unggas pada bulan Agustus 2005. Berbeda
dengan kejadian bulan Juli 2005, kematian unggas pada bulan Agustus 2005
menunjukkan gejala patologi anatomi berupa peradangan dan perdarahan usus
(enteritis hemoragika). Oleh karena itu, Tim Medis TMR kembali mengirimkan
sampel ke Balai Kesehatan Hewan untuk dilakukan pemeriksaan AI, ND, dan
CRD pada tanggal 22 Agustus 2005. Sampel berupa darah dari 1 ekor Ayam
Kate. Tanggal 23 Agustus 2005 hasil pemeriksaan menyatakan bahwa Ayam Kate
terserang penyakit CRD, dengan titer antibodi AI 20 , titer ND 24, dan CRD positif
antibodi.
Berdasarkan hasil pemeriksaa n sampel bulan Agustus 2005 yang
menyatakan serangan CRD pada kematian unggas dengan titer antibodi AI 20,
penanggulangan terhadap serangan Flu Burung di TMR belum intensif dilakukan.
Pada saat itu diambil kesimpulan bahwa kematian unggas disebabkan mender ita
penyakit CRD. Dengan mewabahnya kasus AI di DKI Jakarta pada awal bulan
September 2005 , Dinas Peternakan DKI Jakarta bekerjasama dengan Balai
Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor melakukan monitoring dan pengambilan
sampel di TMR pada tanggal 5-6 September 2005. Pemeriksaan yang dilakukan
menggunakan Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).
PCR adalah metode untuk membuat salinan dari fragmen spesifik suatu
DNA (Deoxyrebonucleic Acid). PCR dapat mengembangkan 1 DNA menjadi
banyak molekul DNA dengan satu penerapan teknologi (Vierstracle 1999).
Teknik PCR dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit disebabkan oleh

virus dan atau bakteri (Brown 1995). Alasan penggunaan PCR menurut
Dharmayanti dan Adjid (2005a) adalah:
§

Mampu mendeteksi secara cepat dalam identifikasi dan subtiping

§

Primer spesifik untuk matriks bahan yang diperiksa, subtipe H5, subtipe
H7, dan NP

§

Dapat dimodifikasi sesuai keperluan, dengan demikian akan menghemat
waktu karena dalam 3 jam sudah dapat diketahui hasil peme riksaannya.
Menurut Vierstracle (1999), sampel yang dapat digunakan untuk

pemeriksaan PCR adalah: nasopharingeal swab, sputum, spesimen saluran
respirasi bawah. Sampel harus diambil sesegera mungkin antara 3-5 hari setelah
terlihatnya gejala awal. Tujuan dari PCR adalah membuat salinan dari gen (DNA)
sehingga didapat DNA untuk pemeriksaan (Brown 1995). Dengan kata lain,
penampakan DNA dengan PCR dapat mengidentifikasi secara tepat asal atau
sumber dari sampel yang diambil. Pengambilan sampel di TMR dilakukan pada
unggas secara acak dengan mewakili jenis. Hal ini dilakukan karena populasi
unggas di TMR sangat banyak dengan jenis unggas liar yang tidak mudah untuk
ditangani. Identifikasi dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan Reverse
Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) sampel langsung dan RTPCR sampel cairan alantois. RT-PCR sampel langsung menggunakan swab kloaka
dan trachea dari unggas tanpa perlakuan khusus. Menurut Fenner et al. (1995),
virus AI paling gampang diisolasi melalui swab kloaka. Sedangkan RT-PCR
sampel cairan alantois menggunakan perlakuan khusus, yaitu isolasi virus dari
sampel swab kloaka dan trachea lalu isolat diinokulasi pada telur tertunas SPF
(Spesific Pathogen Free). Hasil pemeriksaan dapat dilihat pada tabel 2.

Ta bel 2 Hasil identifikasi virus Flu Burung sampel swab kloaka 5-6 September
2005 dari beberapa jenis unggas di Taman Margasatwa Ragunan
No.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

Jenis unggas

Joan Putri Mandi
Beo Kecil
Merak Hijau
Bangau Tong-tong
Blibis batu
Blibis mandarin
Elang Bondol
Kuao Perak
Beleang Sumatra
Kakak Tua Raja
Bluwok
Ayam kate
Elang Bondol(KD Untung)
Kakak tua jingga
Kakak tua jambul orenge
Ayam Jepang
Elang ular
Ayam kate
Jumlah
Sumber: Taman Margasatwa Ragunan

Jumlah
sampel
4 ekor
2 ekor
3 ekor
1 ekor
1 ekor
1 ekor
2 ekor
1 ekor
2 ekor
1 ekor
2 ekor
5 ekor
2 ekor
3 ekor
2 ekor
2 ekor
1 ekor
2 ekor
37 ekor
2005

Identifikasi dengan
RT-PCR (sampel
langsung)
positif H5N1
dubius
positif H5N1
positif H5N1
positif H5N1
positif H5N1
positif H5N1
positif H5N1
positif H5N1
positif H5N1
positif H5N1
positif H5N1
dubius
dubius
dubius
negatif H5N1
negatif H5N1
negatif H5N1

Identifikasi dengan
RT-PCR (sampel
cairan alantois)
positif H5
positif H5
positif H5
positif H5
positif H5
positif H5
positif H5
positif H5
positif H5
positif H5
positif H5
positif H5
negatif
negatif
negatif
negatif
negatif
negatif

Tabel 2 memperlihatkan dari 18 jenis unggas yang diperiksa (pemeriksaan
dengan RT-PCR (Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction)-sampel
langsung) pada tanggal 6 September 2005 terdapat 23 ekor positif AI subtipe
H5N1, 9 ekor dubius, 5 ekor negatif AI. Identifikasi dengan RT -PCR (sampel
langsung) diulang kembali pada tanggal 9 September 2005 dengan sampel yang
sama untuk kepastian uji. Uji yang dilakukan menunjukkan hasil sama dengan
pemeriksaan tanggal 6 September 2005. Pada tanggal yang sama dilakukan isolasi
dan inokulasi sampel pada telur tertunas Spesific Pathogen Free (SPF). Tanggal
21 September 2005 dilakukan identifikasi dengan RT-PCR (sampel cairan
alantois) yang memberikan hasil 25 ekor positif AI subtipe H5 dan 12 ekor negatif
AI Pengujian ulang dengan RT-PCR (sampel cairan alantois) dimaksudkan untuk
memperjelas hasil dubius pada RT-PCR (sampel langsung). Jenis Beo Kecil
sebanyak 2 ekor menyatakan hasil dubius pada pemeriksaan RT-PCR (sampel
langsung) dan menyatakan hasil positif AI subtipe H5 pada pemeriksaan RT-PCR
(sampel cairan alantois). Sedangkan pada je nis Elang Bondol (KD Untung),
Kakak Tua Jingga, Kakak Tua Jambul Orange memperlihatkan hasil dubius pada

pemeriksaan RT-PCR (sampel langsung) dan memperlihatkan hasil negatif AI
subtipe H5 pada pemeriksaan RT -PCR (sampel cairan alantois).
Setelah hasil pemeriksaan sampel unggas di TMR menunjukkan kasus
infeksi AI seperti yang tertera pada tabel 2 dengan kejadian sakit (morbiditas) AI
di TMR adalah 100%, maka pada tanggal 18 September 2005 diadakan pertemuan
antara Menteri Pertanian, Kepala Balitvet Bogor, Kepala Kantor Taman
Margasatwa Ragunan, Direktur Jendral Bina Produksi Peternakan-Departemen
Pertanian, Kepala Dinas Peternakan DKI Jakarta untuk membahas mengenai
temuan kasus AI di TMR. Hasil pertemuan ini kemudian didiskusikan dengan
Gubernur DKI Jakarta yang menghasilkan keputusan penutupan Taman
Margasatwa Ragunan untuk umum selama 21 hari terhitung mulai tanggal 19
September 2005. Masa penutupan berlangsung selama 21 hari dengan
mempertimbangkan masa inkubasi virus AI. Masa inkubasi virus terlama yang
pernah teramati di Indonesia adalah berkisar 7 hari (Kompas 2005). Untuk masa
isolasi dan pengamatan kejadian AI di suatu tempat harus melewati setidaknya 3
kali masa inkubasi, dengan syarat pada masa inkubasi 7 hari pertama tidak
ditemukannya gejala klinis pada unggas terinfeksi. Pengamatan harus dilanjutkan
dengan 2 kali masa inkubasi (7 hari kedua dan 7 hari ketiga). Pengamatan
dilakukan dengan melewati masa dua kali pengambilan sampel pada jangka waktu
tertentu (TMR 2006). Apabila tidak terlihat gejala klinis dan tidak ditemukannya
infeksi virus AI dalam tubuh unggas maka tempat isolasi dinyatakan aman dari
penyakit AI.
Garis besar kegiatan penanganan AI di TMR yang terdapat dalam
lampiran dapat disarikan sebagai berikut (TMR 2005) :
ü Mempersiapkan kandang i