Aktivitas superoksida dismutase dan patologi anatomi pada hati tikus dengan perlakuan parasetamol dan suplemen kelapa kopyor

2

ABSTRAK
SEKAR WINAHYU ARIADINI. Aktivitas Superoksida Dismutase dan Patologi
Anatomi pada Hati Tikus dengan Perlakuan Parasetamol dan Suplemen Kelapa
Kopyor. Dibimbing oleh HASIM, AE ZAINAL HASAN, dan AGUS
SETIYONO.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh induksi parasetamol
dan konsumsi suplemen kelapa kopyor terhadap aktivitas enzim superoksida
dismutase (SOD) dan patologi anatomi hati tikus. Perlakuan-perlakuan tersebut
merupakan pengembangan literatur sebelumnya, yang menunjukkan bahwa
parasetamol dapat berefek negatif terhadap tubuh, sedangkan buah kelapa kopyor
memiliki manfaat kesehatan terkait dengan kemampuannya mencegah kerusakan
oksidatif di dalam tubuh. Dalam penelitian ini, pengaruh positif dari kopyor
ditentukan melalui pengukuran bobot badan (BB) dan aktivitas enzim SOD total
hewan coba, yang diinduksi parasetamol dan diberi suplemen kopyor, dengan
suplemen temulawak sebagai kontrol positif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian parasetamol dalam dosis toksik mampu menurunkan BB hewan coba.
Sementara itu, pemberian suplemen temulawak dan suplemen kelapa kopyor
dapat memperbaiki keadaan melalui peningkatan BB hewan coba. Hasil lain
menunjukkan bahwa hewan coba yang diberi suplemen temulawak dan suplemen

kelapa kopyor 5 kali dosis memperlihatkan perbedaan nyata dalam hal aktivitas
enzim SOD total dibandingkan kontrol negatif. Lebih lanjut, pengamatan patologi
anatomi pada hati hewan coba menunjukkan bahwa pemberian kelapa kopyor 5
kali dosis terbukti membantu perbaikan hati hewan coba lebih baik dibandingkan
dengan kontrol negatif.

ABSTRACT
SEKAR WINAHYU ARIADINI. Superoxide Dismutase Activity and Pathology
Anatomy of Rat Liver Treated with Paracetamol and Kopyor Coconut
Supplement. Supervised by HASIM, AE ZAINAL HASAN, and AGUS
SETIYONO.
This research aims at determination of the effects of the induction of
paracetamol and kopyor coconut on the activity of superoxide dismutase (SOD)
and pathologic anatomy of rat liver. These treatments represents development of
literature, which shows that paracetamol can bring out negative effect to the body
while kopyor coconut has the ability to improve human health, related with its
capacity to prevent oxidative damage of human body. In this research, the positive
effect of kopyor is approached through measurement of body weight and the
activity of the total SOD enzyme of test animals, which are induced by
paracetamol and fed with kopyor, with temulawak as the positive control. The

result shows that paracetamol treatment using toxic dose was found to reduce
body weight of test animals. Meanwhile, both kopyor and temulawak supplements
were able to counter the negative effect of paracetamol, indicated by the increase
in the body weight of test animals. Other results showed that treatments using
temulawak supplement and kopyor of 5 time-dose supplement demonstrated a
significantly good effect on total SOD activity in the liver as compared to negative
cintrol. Furthermore, pathologic observation of the test animals’ liver showed that
kopyor treatment of 5 time-dose was confirmed helping the liver to recover from
negative effect of paracetamol, better than the negative control.

1

PENDAHULUAN
Radikal bebas merupakan unsur atau
senyawa yang sangat reaktif dan memiliki
satu atau lebih elektron yang tidak
berpasangan (Kartikawati 1999). Sifat reaktif
radikal bebas dapat merusak jaringan tubuh
sehingga dapat menimbulkan berbagai
macam penyakit metabolis, seperti kanker,

penyakit pembuluh darah, disfungsi otak dan
sistem saraf.
Unsur atau senyawa radikal bebas secara
alami sudah terbentuk di dalam tubuh
melalui berbagai proses kimiawi yang
kompleks. Unsur atau senyawa ini
merupakan hasil sampingan dari proses
oksidasi atau pembakaran sel dalam yang
berlangsung pada waktu seseorang bernafas,
melakukan kegiatan olah raga yang
berlebihan,
mengkonsumsi
alkohol,
mengalami peradangan atau ketika tubuh
berhadapan dengan polusi lingkungan seperti
asap kendaraan bermotor, asap rokok, radiasi
matahari dan sebagainya.
Antioksidan adalah zat yang mampu
memperlambat atau mencegah proses
oksidasi (Tejasari 2000), dan berfungsi untuk

menghentikan kerusakan sel akibat radikal
bebas (Saleh 2001). Untuk mengatasi bahaya
yang timbul akibat radikal bebas, tubuh
mengembangkan mekanisme perlindungan,
yaitu antioksidan endogen yang terdiri atas
enzim-enzim dan berbagai senyawa yang
disintesis tubuh (Asikin 2001). Enzim-enzim
seperti katalase, glutation peroksidase, dan
superoksida dismutase (SOD) merupakan
antioksidan endogen yang dapat ditemukan
pada berbagai jaringan tubuh (Gitawati
1995).
Superoksida dismutase adalah enzim
yang
mengakatalisis
dismutasi
ion
superoksida radikal (O2-) menjadi hidrogen
peroksida (H2O2) dan molekul oksigen O2.
Berdasarkan

kofaktor
logam
dan
distribusinya di dalam tubuh, SOD terbagi
atas 3 macam, yaitu copper, zinc superoxide
dismutase (Cu, Zn-SOD) yang umumnya
terdapat
dalam
sitoplasma
eukariot,
manganase superoxide dismutase (Mn-SOD)
yang biasanya terdapat pada mitokondria
organisme
aerobik,
iron
superoxide
dismutase (Fe-SOD) yang biasanya terdapat
pada prokariot (Mates et al. 1999; Nurwati
2002), dan extra-cellular superoxide
dismutase (ec-SOD) yang banyak ditemukan

pada cairan ekstraselular pada mamalia
(West dan Prohaska 2004).

SOD tergolong enzim yang sangat stabil
karena tiap subunit tergabung oleh ikatan
non-kovalen dan terangkai oleh rantai
disulfida (Fridovich 1986). Enzim ini
memainkan peranan yang sangat penting
pada garis depan sistem pertahanan
antioksidan (Mates et al. 1999). Aktivitas
SOD bervariasi pada beberapa organ tikus,
terdapat dalam jumlah tertinggi di dalam hati,
kemudian berturut-turut dalam kelenjar
adrenal, ginjal, limpa, pankreas, otak, paruparu, lambung, usus, ovarium, timus, dan
lemak (Nurwati 2002)
Antioksidan dalam tubuh mempunyai
batas tertentu untuk menangkal radikal
bebas. Untuk meningkatkan efektivitas
antioksidan, beberapa nutrien penting sangat
diperlukan oleh tubuh. Efektivitas enzim

SOD dapat ditingkatkan dengan adanya
nutrien mineral seperti tembaga (Cu) dan
Seng (Zn) dan mangan (Mn) (Kartikawati
1999; Tuminah 2000; West dan Prohaska
2004). Kandungan nutrisi yang tinggi pada
kelapa kopyor dapat dimanfaatkan sebagai
salah satu sumber dan mineral yang penting
untuk tubuh, salah satunya adalah sebagai
kofaktor antioksidan alami SOD yang
terdapat dalam tubuh. Air kelapa kopyor
mengandung mineral Mn, K, P, S, dan Mg
dalam jumlah yang cukup tinggi, sedangkan
pada daging buah kelapa kopyor, kandungan
mineral terbanyak adalah Fe, Zn, dan Al
(Santoso et al. 1996).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
membuktikan bahwa suplemen gizi dalam
buah kelapa kopyor yang dapat meningkatkan
kerja antioksidan SOD pada tubuh tikus yang

diinduksi parasetamol. Hipotesis yang
diajukan adalah bahwa kandungan nutrisi
dalam daging buah kelapa kopyor dapat
menaikkan kerja antioksidan alami SOD pada
tikus yang mengalami stres parasetamol. Hasil
penelitian yang diperoleh diharapkan dapat
memberikan informasi ilmiah mengenai
potensi kelapa kopyor sebagai sumber mineral
untuk kofaktor antioksidan, yang dapat
mencegah kerusakan oksidatif akibat induksi
parasetamol, dan meningkatkan nilai tambah
kelapa kopyor.

TINJAUAN PUSTAKA
Hati
Hati (hepar) merupakan kelenjar tubuh
yang paling besar dan khas karena memiliki
fungsi yang kompleks. Hati terletak di sebelah
kanan ruang abdomen, tepat dibawah


1

PENDAHULUAN
Radikal bebas merupakan unsur atau
senyawa yang sangat reaktif dan memiliki
satu atau lebih elektron yang tidak
berpasangan (Kartikawati 1999). Sifat reaktif
radikal bebas dapat merusak jaringan tubuh
sehingga dapat menimbulkan berbagai
macam penyakit metabolis, seperti kanker,
penyakit pembuluh darah, disfungsi otak dan
sistem saraf.
Unsur atau senyawa radikal bebas secara
alami sudah terbentuk di dalam tubuh
melalui berbagai proses kimiawi yang
kompleks. Unsur atau senyawa ini
merupakan hasil sampingan dari proses
oksidasi atau pembakaran sel dalam yang
berlangsung pada waktu seseorang bernafas,
melakukan kegiatan olah raga yang

berlebihan,
mengkonsumsi
alkohol,
mengalami peradangan atau ketika tubuh
berhadapan dengan polusi lingkungan seperti
asap kendaraan bermotor, asap rokok, radiasi
matahari dan sebagainya.
Antioksidan adalah zat yang mampu
memperlambat atau mencegah proses
oksidasi (Tejasari 2000), dan berfungsi untuk
menghentikan kerusakan sel akibat radikal
bebas (Saleh 2001). Untuk mengatasi bahaya
yang timbul akibat radikal bebas, tubuh
mengembangkan mekanisme perlindungan,
yaitu antioksidan endogen yang terdiri atas
enzim-enzim dan berbagai senyawa yang
disintesis tubuh (Asikin 2001). Enzim-enzim
seperti katalase, glutation peroksidase, dan
superoksida dismutase (SOD) merupakan
antioksidan endogen yang dapat ditemukan

pada berbagai jaringan tubuh (Gitawati
1995).
Superoksida dismutase adalah enzim
yang
mengakatalisis
dismutasi
ion
superoksida radikal (O2-) menjadi hidrogen
peroksida (H2O2) dan molekul oksigen O2.
Berdasarkan
kofaktor
logam
dan
distribusinya di dalam tubuh, SOD terbagi
atas 3 macam, yaitu copper, zinc superoxide
dismutase (Cu, Zn-SOD) yang umumnya
terdapat
dalam
sitoplasma
eukariot,
manganase superoxide dismutase (Mn-SOD)
yang biasanya terdapat pada mitokondria
organisme
aerobik,
iron
superoxide
dismutase (Fe-SOD) yang biasanya terdapat
pada prokariot (Mates et al. 1999; Nurwati
2002), dan extra-cellular superoxide
dismutase (ec-SOD) yang banyak ditemukan
pada cairan ekstraselular pada mamalia
(West dan Prohaska 2004).

SOD tergolong enzim yang sangat stabil
karena tiap subunit tergabung oleh ikatan
non-kovalen dan terangkai oleh rantai
disulfida (Fridovich 1986). Enzim ini
memainkan peranan yang sangat penting
pada garis depan sistem pertahanan
antioksidan (Mates et al. 1999). Aktivitas
SOD bervariasi pada beberapa organ tikus,
terdapat dalam jumlah tertinggi di dalam hati,
kemudian berturut-turut dalam kelenjar
adrenal, ginjal, limpa, pankreas, otak, paruparu, lambung, usus, ovarium, timus, dan
lemak (Nurwati 2002)
Antioksidan dalam tubuh mempunyai
batas tertentu untuk menangkal radikal
bebas. Untuk meningkatkan efektivitas
antioksidan, beberapa nutrien penting sangat
diperlukan oleh tubuh. Efektivitas enzim
SOD dapat ditingkatkan dengan adanya
nutrien mineral seperti tembaga (Cu) dan
Seng (Zn) dan mangan (Mn) (Kartikawati
1999; Tuminah 2000; West dan Prohaska
2004). Kandungan nutrisi yang tinggi pada
kelapa kopyor dapat dimanfaatkan sebagai
salah satu sumber dan mineral yang penting
untuk tubuh, salah satunya adalah sebagai
kofaktor antioksidan alami SOD yang
terdapat dalam tubuh. Air kelapa kopyor
mengandung mineral Mn, K, P, S, dan Mg
dalam jumlah yang cukup tinggi, sedangkan
pada daging buah kelapa kopyor, kandungan
mineral terbanyak adalah Fe, Zn, dan Al
(Santoso et al. 1996).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
membuktikan bahwa suplemen gizi dalam
buah kelapa kopyor yang dapat meningkatkan
kerja antioksidan SOD pada tubuh tikus yang
diinduksi parasetamol. Hipotesis yang
diajukan adalah bahwa kandungan nutrisi
dalam daging buah kelapa kopyor dapat
menaikkan kerja antioksidan alami SOD pada
tikus yang mengalami stres parasetamol. Hasil
penelitian yang diperoleh diharapkan dapat
memberikan informasi ilmiah mengenai
potensi kelapa kopyor sebagai sumber mineral
untuk kofaktor antioksidan, yang dapat
mencegah kerusakan oksidatif akibat induksi
parasetamol, dan meningkatkan nilai tambah
kelapa kopyor.

TINJAUAN PUSTAKA
Hati
Hati (hepar) merupakan kelenjar tubuh
yang paling besar dan khas karena memiliki
fungsi yang kompleks. Hati terletak di sebelah
kanan ruang abdomen, tepat dibawah

2

diafragma, berwarna coklat kemerahan
(Macfarlene 2000).
Menurut Ressang (1984) hati memiliki
beberapa fungsi, yaitu sekresi empedu,
metabolisme protein, karbohidrat, lemak,
vitamin, dan mineral, fungsi detoksifikasi, dan
pembentukan sel darah merah. Selain fungsifungsi tersebut, hati juga memiliki peranan
dalam pengaturan kadar glukosa darah.
Glikogen sebagai bentuk simpanan gula dalam
hati cukup tersedia untuk mempertahankan
kadar glukosa darah selama beberapa jam.
Bila fungsi hati terganggu, maka akan mudah
terjadi hipoglikemia.
Hati merupakan organ yang paling sering
mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan
sebagian besar toksik memasuki tubuh melalui
gastrointestinal, dan setelah diserap toksikan
dibawa oleh vena porta ke hati (Lu 1995).
Beberapa kerusakan yang terdapat di hati
antara lain pelemakan hati, nekrosis,
degenerasi, dan sirosis.
Pelemakan hati terjadi bila hati
mengandung berat lipid lebih dari 5% (Lu
1995). Pelemakan hati dapat dijumpai di tepi,
pusat dan di daerah pertengahan atau
diseluruh lobuli akibat pelemakan sentral atau
perifer yang meluas. Pelemakan patologis
disebabkan oleh hipoksemia, yaitu hati tidak
dapat membakar lemak. Selain itu dapat juga
disebabkan
oleh
toksin-toksin
yang
mengurangi atau menghilangkan fungsi
lipotik hati. Secara makroskopis hati
mengalami piknosis, karioreksis dan kariolisis
(Ressang 1984).
Nekrosis hati adalah kematian hepatosit
yang
dapat
bersifat
lokal
(sentral,
pertengahan, perifer) atau masif. Nekrosis hati
merupakan suatu manifestasi toksik yang
berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena hati
mempunyai kapasitas tumbuh kembali
(regenerasi) yang luar biasa (Lu 1995).
Degenerasi suram, berbutir, albuminoid
atau parenkim sering terlihat pada prosesproses sepsis ataupun toksik. Secara
makroskopik
hati
terlihat
membesar,
pinggirnya membundar dan konsistensi rapuh.
Bidang sayatan hati berwarna belang atau
terlihat seperti telah dimasak (Ressang 1984).
Sirosis
merupakan
bentuk
peradangan hati kronis, ditandai dengan
fibrosis yakni pembentukan jaringan ikat
(Nabib 1987). Sirosis ditandai dengan
pengerasan hati yang disebabkan oleh
bermacam-macam sebab, antara lain bahanbahan toksik dan parasit yang merusak hati
dalam jangka waktu yang lama. Pengerasan
terjadi karena hati kehilangan parenkim yang

diikuti dengan pembentukan jaringan ikat
secara luas (Ressang 1984).
Ressang (1984) mengungkapkan bahwa
daya regenerasi sel-sel hati sangat tinggi. Pada
hati normal diketahui bahwa lobektomi
sebanyak 70% pada hati mengakibatkan
proliferasi sel-sel hati yang sangat tinggi,
sehingga dalam 2-3 minggu bagian hati yang
mengalami kerusakan dapat pulih kembali.
Radikal Bebas
Dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya,
makhuk
hidup
sangat
membutuhkan oksigen untuk proses-proses
metabolisme dan fisiologis yang terjadi di
dalam tubuh. Senyawa oksigen reaktif dalam
konsentrasi rendah sangat diperlukan dalam
berbagai proses seperti pertahanan terhadap
mikroorganisme, namun senyawa oksigen
reaktif dalam jumlah besar dapat berbahaya
bagi sel dan organisme (Mates dan Jimenez
1999). Sebagai konsekuensi logis dari proses
tersebut, dihasilkan produk berupa radikal
bebas dalam jumlah kecil sebagai produk
antara.
Radikal bebas dalam jumlah berlebihan,
pada kondisi patofisiologis tertentu, sangat
berbahaya karena dapat mengakibatkan
terjadinya beberapa kerusakan atau kelainan,
baik proses biokimia maupun fisiologi dalam
sel.
Hal
ini
dapat
menyebabkan
penyimpangan metabolisme yang dapat
berakhir dengan kerusakan dan kematian sel
(Halliwell dan Gutteridge 1990). Tingkat
radikal bebas yang sangat tinggi pada kondisi
tertentu dapat merusak DNA, protein, maupun
lemak, yang kemudian dapat menyebabkan
terjadinya beberapa penyakit dan proses
degenerasi seperti ketuaan (ageing) dan
karsinogenesis pada manusia dan hewan
(Wresdiyati 2003).
Radikal bebas (free radical), oksidan
(oxidant) atau sering disebut senyawa oksigen
reaktif (reactive oxygen species) adalah
molekul yang mempunyai satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan (unpaired
electron) pada orbital luarnya (Kartikawati
1999). Termasuk didalamnya adalah radikal
superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2),
radikal hidroksil (.OH), nitrit oksida (.NO),
peroksinitrit (.ONOO), peroksil (ROO.), dan
alkoksil (RO.).
Secara teoritis, radikal bebas dapat
terbentuk bila terjadi pemisahan ikatan
kovalen (Prangdimurti 1999). Adanya
elektron yang tidak berpasangan akan
menyebabkan radikal bebas sanget reaktif

3

secara kimiawi (Gitawati 1995). Elektron
yang tidak berpasangan ini cenderung untuk
membentuk pasangan yang menarik elektron
dari senyawa lain, sehingga terbentuk radikal
baru (Kartikawati 1999). Dalam upaya
penstabilan diri atau pemenuhan keganjilan
elektronnya, elektron yang tidak berpasangan
pada radikal bebas tersebut secara cepat
ditransfer atau menarik makromolekul
biologis sekitarnya, seperti asam lemak tak
jenuh, protein, polisakarida, asam nukleat, dan
asam
deoksiribonukleat.
Makromolekul
tersebut merupakan bagian dari sel atau
organelnya, maka berakibat kerusakan sel
(Tejasari 2000).
Radikal bebas dapat berasal dari dalam
tubuh (endogenous), maupun luar tubuh
(eksogenous). Di dalam tubuh, radikal bebas
dapat terbentuk dari reaksi reduksi normal
dalam mitokondria, peroksisom, detoksifikasi
senyawa senobiotik, metabolisme obat-obatan,
dan fagositasi. Sementara itu, dari luar tubuh,
radikal bebas dapat berasal dari asap rokok,
radiasi, inflamasi, latihan olahraga yang
berlebihan, reperfusi, dan karsinogen (Tejasari
2000).
Salah satu sumber radikal bebas
endogenus adalah proses transport elektron di
dalam mitokondria yang dapat menghasilkan
superoksida (Gambar 1), respiratory bursts
oleh sel fagosit mampu menghasilkan 70%90% superoksida dari total penggunaan
oksigen, dan proses oksidasi enzimatik yang
melibatkan
senyawa
organik
maupun
anorganik, seperti oksidasi Cu2+ dan Fe3+
memfasilitasi produksi radikal hidroksil (.OH)
melalui reaksi Haber-Weiss:

H2O2 + Cu+

Cu2+ + OH. + OH-

H2O2 + Fe2+

Fe3+ + OH. + OH-

Salah satu radikal bebas yang banyak
dipelajari dan bersifat toksik bagi sel hidup
adalah radikal bebas oksigen (superoksida)
dan derivatnya, yaitu radikal hidroksil
(Gitawati 1995). Radikal bebas superoksida
terbentuk apabila satu molekul O2 menerima
satu elektron. Superoksida bersifat oksidan
dan reduktan, dan dapat bereaksi dengan
substrat biologis. Reaktifitas O2- sangat
terbatas karena adanya dismutasi spontan
yang dapat terjadi pada pH fisiologis
membentuk H2O dan O2. Tetapi, dengan
terbatasnya reaktifitas O2, radikal ini dapat
berdifusi dengan substratnya dalam jarak yang
relatif lebih jauh dari tempat asalnya.
Sementara itu, radikal hidroksil adalah

O 2-

2O 2 + eO 2- + e - + 2H+

H 2O2

H2O 2 + e-

OH . + OH -

OH . + e- + H-

H2O

OH - + H+

H2O

O 2-

+

4e-

+

4H+

2 H2O

Gambar 1 Pembentukan H2O2 pada reduksi
O2 menjadi H2O (Siregar 1992)
oksidan yang sangat reaktif, tidak stabil, dan
dapat berarksi engan semua substat biologis.
Karena sangat tidak reaktif, efek radikal ini
berlangsung di daerah yang dekat dengan
terbentuknya (Gitawati 1995).
Radikal bebas lain yang dapat ditemukan
sebagai derivat oksigen adalah hidrogen
peroksida. Radikal ini tidak sebahaya radikal
superoksida dan bereaksi lambat dengan
substrat organik (Gitawati 1995).
Ruxton (1994) yang dikutip oleh Subekti
(1997) mengemukakan teori bahwa kondisi
kronis seperti penyakit kardiovaskuler,
kanker, bahkan penuaan (ageing) mungkin
dimulai dan diperbanyak oleh aksi oksigen
tereksitasi (superoksida radikal, hidroksil
radikal, hidrogen peroksida atau oksigen
tunggal) yang menyerang lipid membran sel,
menyebabkan kerusakan oksidatif, dan
menyebabkan sel menjadi lebih peka terhadap
racun dan agen karsinogenik. Apabila
diproduksi di dalam nukleus sel, dapat
menyebabkan kerusakan yang cepat pada
DNA yang menyebabkan mutasi sel, yang
dapat menimbulkan kanker.
Parasetamol sebagai Stimulan Radikal
Bebas
Parasetamol (asetaminofen, N-acetyl-paminophenol) merupakan turunan dari paraamino-fenol. Parasetamol tergolong obat yang
relatif aman dan digunakan secara luas
sebagai senyawa antipiretik, analgesik, dan
anti inflamasi (Gan 1980). Parasetamol cepat
diserap secara sempurna melalui saluran
cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma
antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh
cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol
terikat oleh protein plasma.
Parasetamol
dalam
dosis
normal
mengalami biotransformasi oleh enzim-enzim
mikrosom hati. Biotransformasi ini terjadi
secara cepat menjadi senyawa yang stabil
melalui mekanisme konjugasi dengan
glukuronat sebanyak 60%, dengan sulfonat
sebanyak 35%, dan sistein sebanyak 3%, serta

4

sejumlah kecil metabolit dalam bentuk
terhidroksilasi dan terdeasetilasi menjadi
senyawa yang larut air dan tidak beracun
sehingga dapat dikeluarkan dari tubuh
melalui urin (Gambar 3) (Gan 1980; Moore et
al. 1985).
Apabila parasetamol dalam jumlah tinggi
dikonsumsi, maka sisa parasetamol akan
mengalami biotransformasi dengan sistem
sitokrom P450. P450 yaitu suatu sistem enzim di
retikulum endoplasma yang segera melakukan
biotransformasi oksidatif pada 5-10%
parasetamol yang masuk ke dalam tubuh.
Parasetamol yang teroksidasi akan berubah
menjadi N-asetiliminbenzokuninon (NAPQI)
(Gambar 2), suatu senyawa yang toksik dan
reaktif. Senyawa radikal ini dapat bereaksi
dengan molekul penyusun sel hatim seperti
fosfolipid, khususnya pada protein yang
memiliki gugus
-SH. Jalur lain yang digunakan oleh sitokrom
P450 adalah mengkonversi parasetamol
menjadi semikuinon. Semikuinon ini dapat
bereaksi dengan gugus –SH atau mereduksi
oksigen menjadi O2. Oksidasi senyawa ini
akan menghasilkan suatu radikal bebas lagi
yag dapat mengoksidasi molekul fosfolipid
lainnya, sehingga terjadi reaksi oksidasi
berantai. Reaksi ini dapat menyebabkan
berubahnya komposisi membran sel hati dan
kemudian menyebabkan nekrosis (Murugesh
et al. 2005). Jumlah radikal bebas yang
melebihi ketersediaan senyawa-senyawa
penetralisir dalam hati memungkinkan
terjadinya reaksi antara radikal bebas dengan
membran sel hati.
Salah satu tanda kerusakan hati yang
diakibatkan
oleh
parasetamol
adalah
menurunnya jumlah protein total maupun
glikogen. Penurunan tersebut menandakan
berkurangnya jumlah sel hepatosit yang
memproduksi protein dan glikogen sehingga
bobot organ hati secara keseluruhan lebih
kecil daripada bobot normalnya.

Gambar 2 Senyawa yang dihasilkan dari
oksidasi parasetamol (Mason &
Fischer 1986)

Gambar 3 Mekanisme biotransformasi
parasetamol (Lee 1995)
Antioksidan
Tuminah (2000) menyatakan bahwa
antioksidan adalah suatu substansi yang
menghentikan atau menghambat kerusakan
oksidatif terhadap molekul target. Tubuh
mengembangkan mekanisme perlindungan,
baik untuk mencegah pembentukan oksidan
dan peroksidasi lipid maupun memperbaiki
kerusakan yang terjadi akibat bahaya yang
timbul dalam kehidupan aerobik. Antioksidan
sebagai sistem perlindungan dapat dibedakan
atas antioksidan endogen yang terdiri atas
enzim-enzim dan berbagai senyawa yang
disintesis tubuh, dan antioksidan eksogen
yang diperoleh dari bahan makanan (Asikin
2001, Wresdiyati 2004).
Halliwell dan Gutteridge (1990) membagi
antioksidan biologis berdasarkan proses
enzimatik dan non-enzimatik. Termasuk
kedalam antioksidan proses enzimatik adalah
superoksida dismutase, katalase, glutation
peroksidase, dan fosfolipid hidroperoksidase.
Sedangkan yang termasuk antioksidan proses
non-enzimatik adalah antioksidan larut lemak
(α-tokoferol, karetinoid, quinon, dan bilirubin)
dan antioksidan larut air (asam askorbat, asam
urat, protein pengikat logam, dan protein
pengikat heme).
Mekanisme kerja antioksidan pada
senyawa radikal ada tiga macam, yaitu (1)
antioksidan primer yang berperan untuk
mengurangi pembentukan radikal bebas baru
dengan cara memutus reaksi berantai dan
mengubahnya menjadi produk yang lebih
stabil. Antioksidan primer ini terdiri atas
superoksida dismutase (SOD), katalase, dan
glutation peroksidase. Ketiga antioksidan

5

tersebut dapat mengubah radikal superoksida
menjadi air. (2) antioksidan sekunder yang
berperan untuk mengikat radikal bebas dan
mencegah amplifikasi radikal. Antioksidan
sekunder terdapat pada vitamin C, vitamin B,
vitamin E, betakaroten, dan senyawa-senyawa
fitokimia. (3) antioksidan tersier yang
berperan dalam mekanisme biomolekuler.
Antioksidan tersier terdiri atas enzim
perbaikan DNA dan metionin sulfoksida
reduktase (Kartikawati 1999).
Antioksidan mampu memerangi radikal
bebas baik dengan cara mencegah,
menghentikan ataupun memperlambat proses
oksidasi (Schuler 1990 dalam Wresdiyati
2004). Antioksidan melindungi sel dan
jaringan sasaran dengan cara memusnahkan
Spesies Oksigen Reaktif (SOR) secara
enzimatik atau dengan reaksi kimia langsung,
mengurangi pembentukan SOR, mengikat ion
logam yang terlibat dalam pembentukan
spesies yang reaktif (tranferin, seruplasmin,
albumin), memperbaiki kerusakan sasaran
serta menghancurkan molekul yang rusak dan
menggantinya dengan yang baru (Asikin
2001).
Antioksidan bereaksi melalui pembersihan
senyawa oksigen reaktif atau penurunan
konsentrasinya secara lokal (eliminating
oxygen), pembersihan ion logam katalitik
(immobilizing catalysts or metal ion),
pembersihan radikal bebas yang berfungsi
sebagai inisiator seperti hidroksil, peroksil,
dan alkalosil (terminating chain reaction),
pemutus rantai dari rangkaian reaksi yang
diinisiasi oleh radikal bebas (inhibiting
radical-generating enzymes), dan peredam
reaksi, serta pembersih singlet oksigen
(Kartikawati 1999).
Superoksida dismutase (SOD) adalah
antioksidan yang berperan dalam memerangi
radikal superoksida (Gitawati 1995). Menurut
Fridovich (1976), superoksida dismutase
ditemukan
pada
organisme
yang
menggunakan oksigen untuk metabolismenya,
tetapi tidak ditemukan pada organisme
anaerob obligat.

Cu,Zn-SOD (Gambar 4), mangan (Mn) pada
Mn-SOD, dan besi (Fe) pada Fe-SOD.
Pada manusia, ditemukan tiga bentuk
SOD,
yaitu
cytocolic
Cu,Zn-SOD,
mitochondrial Mn-SOD, dan extracellular
SOD (Mates et al. 1999; Nurwati 2002),
sedangkan Fe-SOD umumnya ditemukan pada
organisme prokariot (West dan Prohaska
2004). Enzim SOD tidak selalu bekerja
bersama-sama, terkadang satu jenis enzim
SOD berperan lebih dominan dibandingkan
yang lainnya. Cu,Zn-SOD terdapat di dalam
sitosol berperan sebagai faktor pertahanan
utama yang bertugas melindungi sel dari
radikal superoksida. Mn-SOD lebih berperan
dalam pertahanan sel dalam menghadapi
stress etanol (Costa et al. 1997).
Cu,Zn-SOD merupakan homodimer dan
terdapat
pada
sitoplasma
eukariot,
peroksisom, kloroplas, dan periplasma
prokariot (Asikin 2001). Menurut Mates dan
Jimenez (1999), enzim Cu,Zn-SOD adalah
kelas lain dari SOD yang biasanya tersusun
atas dua subunit identik dengan berat molekul
sekitar
32kDa,
masing-masing
unit
mengandung sekelompok logam, sisi aktif dan
tersusun dari tembaga (Cu) dan seng (Zn)
(Alscher 2002).
Enzim ini tergolong enzim yang sangat
stabil karena setiap subunit tergabung oleh
ikatan nonkovalen dan terangkai oleh rantai
disulfida (Fridovich 1986). Cu,Zn-SOD
dipercaya memainkan peranan yang sangat
penting pada garis depan pertahanan
antioksidan (Mates et al. 1999).
Dalam melawan radikal bebas, kerja enzim
SOD dibantu oleh dua enzim lain, yaitu
katalase dan glutation (GSH) peroksidase.
Enzim SOD secara spontan merubah radikal
O2- menjadi H2O2 dan oksigen dengan
kecepatan reaksi sekitar 105 M-1 s-1 pada pH 7,
reaksinya sebagai berikut: O2- + 2H+
O2 +
H2O2. Reaksi tersebut berlangsung sangat
cepat dan hanya dibatasi oleh frekuensi
tumbukan SOD dengan superoksida. Hidrogen
peroksida yang dihasilkan masih cukup
berbahaya sehingga perlu pengubahan lebih
lanjut oleh katalase menjadi air dan oksigen.

Enzim Superoksida Dismutase (SOD)
Superoksida dismutase (SOD) merupakan
metaloenzim yang mengkatalisis dismutasi
anion superoksida yang sangat reaktif menjadi
oksigen (O2) dan senyawa yang tidak terlalu
reaktif seperti hidrogen peroksida (H2O2).
Sedikitnya terdapat empat jenis logam yang
umumnya menjadi atom pusat pada enzim ini,
yaitu tembaga (Cu) dan seng (Zn) pada

Gambar 4 Sisi katalitik enzim Cu,Zn-SOD

6

Glutation peroksidase merupakan golongan
enzim
antioksidan
yang
mengandung
selenium yang penting dalam memerangi
hidroperoksida dan senyawa xenobiotik
menjadi air dan alkohol (Gambar 5). Dengan
cara tersebut kerusakan molekul-molekul
penyusun sel akibat serangan radikal bebas
dapat dihindari.
Enzim SOD memegang peranan penting
sebagai antioksidan endogen. Berdasarkan
mekanismenya, enzim ini digolongkan
sebagai antioksidan primer yang berperan
mengurangi pembentukan radikal bebas baru
dengan memutus reaksi berantai dan
mengubahnya menjadi produk yang lebih
stabil.
Aktivitas SOD bervarasi pada beberapa
organ tikus, terdapat dalam jumlah tertinggi
dalam hati, kemudian berturut-turut dalam
kelenjar adrenal, ginjal, darah, limpa,
pankreas, otak, paru-paru, lambung, usus,
ovarium, timus, dan lemak (Nurwati 2002).

Gambar 5 Cara kerja enzim-enzim pertahanan
tubuh terhadap radikal bebas
Kelapa Kopyor
Buah kelapa kopyor berasal dari tanaman
kelapa yang mengalami mutasi genetik
alamiah. Kelapa kopyor adalah mutan kelapa
yang ditemukan diantara populasi kelapa
normal (Samonthe et al. 1989; Novarianto
2000). Sebagai hasil mutasi alamiah, jumlah
tanaman kelapa kopyor sangat sedikit
dibandingkan dengan tanaman yang berbuah
normal. Peluang terjadinya mutasi alamiah
secara umum sangat rendah, yaitu sebesar 10-5
hingga 10-6 per generasi. Hal ini berarti hanya
1 diantara 100.000 hingga 1.000.000 peluang
terjadinya mutasi alamiah di alam.
Kelapa kopyor (Gambar 6) merupakan
buah kelapa abnormal yang memiliki gen
resesif kk atau Kk pada endosperm.
Karakteristik fenotip kelapa kopyor tidak
terlalu berbeda dengan kelapa biasa yang
bukan kopyor. Menurut Mujer et al. 1984
dalam Maskromo (2005), hasil penelitian
biokimia
menunjukkan
bahwa
pada

endosperma buah kelapa kopyor terjadi
defisiensi α-D-galaktosidase. Hal ini akan
mengakibatkan pembentukan endosperma
tidak normal dan tidak mampu mendukung
perkecambahan embrio. Gen letal pada buah
kelapa kopyor menyebabkan daging buah
mudah terlepas dari tempurung, sehingga
hubungan jaringan endosperma dengan
embrio putus, akibatnya buah kelapa ini tidak
mampu berkecambah (Maskromo 2005).
Ciri-ciri kelapa kopyor antara lain: daging
buah yang empuk dan mudah terlepas dari
tempurungnya, ada daging buah yang
terapung pada air kelapa (Santoso et al. 1996).
Kelapa kopyor termasuk kelapa yang
sudah tua yang umurnya mencapai 10 hingga
11 bulan. Oleh karena itu, dibandingkan
dengan kelapa tua biasa, komposisi kimia
kelapa kopyor hampir sama, kecuali kadar
proteinnya yang relatif rendah yaitu 1.2%,
sedangkan pada kelapa tua biasa yaitu 3
hingga 4%. Dibandingkan dengan kelapa
muda, kelapa kopyor mempunyai kadar lemak
yang sangat tinggi, yaitu 12%. Kadar lemak
tinggi akan menyebabkan kelapa kopyor
mudah teroksidasi hingga menjadi tengik
(Winarno 1982).
Selain rasa yang lezat serta aroma yang
khas, ternyata kelapa kopyor memiliki
kandungan gizi yang cukup tinggi. Pada
dasarnya, kandungan nutrisi air kelapa kopyor
dan daging kelapa kopyor akan tergantung
pada varietas kelapa, tingkat kematangan
buah, dan kandungan hara tanah tempat
kelapa tersebut tumbuh. Kandungan paling
banyak yang terdapat pada air dan daging
kelapa kopyor adalah karbohidrat,. Selain
karbohidrat yang tinggi, air buah kelapa juga
diketahui mengandung α-tokoferol seperti
thiamin, riboflavin, dan vitamin C (Santoso et
al. 1996).
Komposisi asam amino dari protein kelapa
kopyor didominasi oleh asam glutamat,
arginin, dan asam aspartat. Kandungan
sukrosa (92% dari total gula yang dihasilkan),
glukosa, fruktosa, asam sitrat, dan asam malat
yang relatif lebih tinggi diperkirakan
berkontribusi terhadap rasa kelapa kopyor
sehingga lebih enak.

Gambar 6 Buah kelapa kopyor

7

Selain itu, daging kelapa kopyor lebih sedikit
mengandung lemak ketimbang kelapa biasa
tetapi dengan komposisi asam lemak yang
mirip dengan kelapa biasa yang didominasi
oleh asam laurat.
Santoso et al. (1996) menyatakan bahwa
buah kelapa kopyor juga kaya akan mineral
yang dibutuhkan oleh tubuh. Pada air kelapa
kopyor, mineral yang terkandung dalam
jumlah banyak adalah Mg, K, P, S, dan Mn.
Sedangkan pada daging buah kelapa kopyor,
kandungan mineral terbanyak adalah Fe, Zn,
dan Mn (Tabel 1 dan Tabel 2).
Tabel 1 Kandungan vitamin dalam daging
buah kelapa kopyor dan kelapa
bukan kopyor (mg/100 g bobot
kering)
Vitamin
KK
KBK
B1
0.17
0.10
B2
0.04
0.02
B6
0.15
0.14
Niasin
1.83
1.49
C
12.3
5.27
α-tokoferol
2.34
0.94
Tabel 2 Komposisi mineral dalam daging
buah kelapa kopyor dan kelapa
bukan kopyor
Mineral (ppm)
KK
KBK
Kalsium (Ca)*
0.11
0.03
Magnesium (Mg)* 0.14
0.12
Kalium (K)*
1.73
0.68
Natrium (Na)*
0.02
0.02
Fosfor (P)*
0.18
0.19
Belerang (S)*
0.09
0.11
Mangan (Mn)
35.2
16.4
Besi (Fe)
25.6
35.9
Seng (Zn)
17.5
17.8
Tembaga (Cu)
8.83
36.2
Almunium (Al)
10.3
5.06
Keterangan: KK: kelapa kopyor; KBK: kelapa
bukan kopyor; *: jumlah dalam % bobot
kering. Sumber: Santoso et al. 1996

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Hewan uji yang digunakan adalah tikus
putih jantan galur Sprague-Dawley yang
diperoleh dari Fakultas Kedokteran HewanInstitut Pertanian Bogor (IPB), berumur 2
bulan, dan mempunyai bobot 150-200 g.
Kelapa kopyor yang digunakan diperoleh dari
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan
Indonesia (BPBPI).

Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini secara umum adalah kelapa
kopyor, temulawak, akuades, homogenat hati
10%, kloroform, alkohol 70%, riboflavin
0.12mM, nitrobluetetrazolium (NBT), bovine
serum albumine (BSA), NaCl 0.9% (b/v),
EDTA 0.1 M, KCN 0.3 mM, dan bufer fosfat
0.0067 M pH 7.8.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah blender, mortar, timbangan analitik,
gunting, vial, sonde oral, mikropipet, sentrifus
klinis, pHmeter, microfuge, homogenizer,
ultrasonikator, kertas saring, spektrofotometer
UV, neraca analitik, lampu fluoroscent
20watt, vortex, pengaduk magnetik, dan alatalat gelas lainnya.
Metode
Hewan Coba dan Rancangan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah
tikus putih galur Sprague-Dawley sebanyak
18 ekor dengan jenis kelamin jantan, sehat,
dan mempunyai aktivitas normal, berusia 2
bulan dengan berat badan 150-200 gram.
Tikus dipelihara dalam kandang individual
berukuran 30x50x50 cm dan diadaptasikan
terlebih dahulu selama 2 minggu kemudian
diberi perlakuan. Sebelum dan selama
perlakuan, tikus diberi pakan standar dan
minum secara ad libitum. Bobot badan tikus
dan jumlah pakan yang digunakan diamati
setiap hari.
Induksi parasetamol dilakukan menurut
metode Gupta et al. (2004) yang dimodifikasi.
Induksi kerusakan hati dilakukan dengan
memberikan parasetamol secara oral dengan
dosis 500 mg/kg BB/hari selama 7 hari yang
dilanjutkan dengan penambahan dosis
menjadi 600 mg/kg BB selama 7 hari
berikutnya sebagai modifikasi metode.
Tikus dibagi menjadi 6 kelompok dengan
3 ekor tikus dalam setiap kelompok.
Kelompok I hanya diberikan pakan standar.
Kelompok II (kontrol positif) diberikan pakan
standar, diinduksi dengan parasetamol selama
14 hari, dan diberi suplemen temulawak
dengan dosis 3 g/kg BB selama 21 hari.
Kelompok III (kontrol negatif) diberikan
pakan standar dan parasetamol selama 14 hari.
Kelompok IV, V, dan VI merupakan
kelompok perlakuan dan masing-masing
diberi pakan standar, diinduksi dengan
parasetamol selama 14 hari, dan diberi
suplemen daging kelapa kopyor yang
dihaluskan. Setelah induksi parasetamol,
kelompok perlakuan diberi suplemen kelapa
kopyor selama 21 hari masing-masing dengan
dosis 4, 12, dan 20 g/kg BB melalui sonde

7

Selain itu, daging kelapa kopyor lebih sedikit
mengandung lemak ketimbang kelapa biasa
tetapi dengan komposisi asam lemak yang
mirip dengan kelapa biasa yang didominasi
oleh asam laurat.
Santoso et al. (1996) menyatakan bahwa
buah kelapa kopyor juga kaya akan mineral
yang dibutuhkan oleh tubuh. Pada air kelapa
kopyor, mineral yang terkandung dalam
jumlah banyak adalah Mg, K, P, S, dan Mn.
Sedangkan pada daging buah kelapa kopyor,
kandungan mineral terbanyak adalah Fe, Zn,
dan Mn (Tabel 1 dan Tabel 2).
Tabel 1 Kandungan vitamin dalam daging
buah kelapa kopyor dan kelapa
bukan kopyor (mg/100 g bobot
kering)
Vitamin
KK
KBK
B1
0.17
0.10
B2
0.04
0.02
B6
0.15
0.14
Niasin
1.83
1.49
C
12.3
5.27
α-tokoferol
2.34
0.94
Tabel 2 Komposisi mineral dalam daging
buah kelapa kopyor dan kelapa
bukan kopyor
Mineral (ppm)
KK
KBK
Kalsium (Ca)*
0.11
0.03
Magnesium (Mg)* 0.14
0.12
Kalium (K)*
1.73
0.68
Natrium (Na)*
0.02
0.02
Fosfor (P)*
0.18
0.19
Belerang (S)*
0.09
0.11
Mangan (Mn)
35.2
16.4
Besi (Fe)
25.6
35.9
Seng (Zn)
17.5
17.8
Tembaga (Cu)
8.83
36.2
Almunium (Al)
10.3
5.06
Keterangan: KK: kelapa kopyor; KBK: kelapa
bukan kopyor; *: jumlah dalam % bobot
kering. Sumber: Santoso et al. 1996

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Hewan uji yang digunakan adalah tikus
putih jantan galur Sprague-Dawley yang
diperoleh dari Fakultas Kedokteran HewanInstitut Pertanian Bogor (IPB), berumur 2
bulan, dan mempunyai bobot 150-200 g.
Kelapa kopyor yang digunakan diperoleh dari
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan
Indonesia (BPBPI).

Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini secara umum adalah kelapa
kopyor, temulawak, akuades, homogenat hati
10%, kloroform, alkohol 70%, riboflavin
0.12mM, nitrobluetetrazolium (NBT), bovine
serum albumine (BSA), NaCl 0.9% (b/v),
EDTA 0.1 M, KCN 0.3 mM, dan bufer fosfat
0.0067 M pH 7.8.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah blender, mortar, timbangan analitik,
gunting, vial, sonde oral, mikropipet, sentrifus
klinis, pHmeter, microfuge, homogenizer,
ultrasonikator, kertas saring, spektrofotometer
UV, neraca analitik, lampu fluoroscent
20watt, vortex, pengaduk magnetik, dan alatalat gelas lainnya.
Metode
Hewan Coba dan Rancangan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah
tikus putih galur Sprague-Dawley sebanyak
18 ekor dengan jenis kelamin jantan, sehat,
dan mempunyai aktivitas normal, berusia 2
bulan dengan berat badan 150-200 gram.
Tikus dipelihara dalam kandang individual
berukuran 30x50x50 cm dan diadaptasikan
terlebih dahulu selama 2 minggu kemudian
diberi perlakuan. Sebelum dan selama
perlakuan, tikus diberi pakan standar dan
minum secara ad libitum. Bobot badan tikus
dan jumlah pakan yang digunakan diamati
setiap hari.
Induksi parasetamol dilakukan menurut
metode Gupta et al. (2004) yang dimodifikasi.
Induksi kerusakan hati dilakukan dengan
memberikan parasetamol secara oral dengan
dosis 500 mg/kg BB/hari selama 7 hari yang
dilanjutkan dengan penambahan dosis
menjadi 600 mg/kg BB selama 7 hari
berikutnya sebagai modifikasi metode.
Tikus dibagi menjadi 6 kelompok dengan
3 ekor tikus dalam setiap kelompok.
Kelompok I hanya diberikan pakan standar.
Kelompok II (kontrol positif) diberikan pakan
standar, diinduksi dengan parasetamol selama
14 hari, dan diberi suplemen temulawak
dengan dosis 3 g/kg BB selama 21 hari.
Kelompok III (kontrol negatif) diberikan
pakan standar dan parasetamol selama 14 hari.
Kelompok IV, V, dan VI merupakan
kelompok perlakuan dan masing-masing
diberi pakan standar, diinduksi dengan
parasetamol selama 14 hari, dan diberi
suplemen daging kelapa kopyor yang
dihaluskan. Setelah induksi parasetamol,
kelompok perlakuan diberi suplemen kelapa
kopyor selama 21 hari masing-masing dengan
dosis 4, 12, dan 20 g/kg BB melalui sonde

8

sedangkan untuk kontrol positif diberi
temulawak. Setelah perlakuan selesai,
dilakukan nekropsi, pengambilan organ hati,
dan pengamatan gambaran patologi anatomi
hati.
Pengamatan Fisik. Pengamatan fisik
hewan coba yang diamati meliputi bobot
badan, konsumsi pakan, keadaan fisik, dan
tingkah laku. Bobot badan dan konsumsi
pakan diamati dengan menimbang tikus serta
bobot pakan sebelum dan sesudah pemberian
pakan. Keadaan fisik pada tikus yang diamati
adalah warna mata dan kerontokan bulu
sedangkan tingkah laku yang diamati meliputi
mobilitas dan agresivitas.
Fraksinasi Hati untuk Analisis Enzim SOD
Setelah perlakuan selesai, tikus dinekropsi
dengan dekapitasi setelah dibius dengan
kloroform. Tikus dibedah dan diambil hatinya.
Hati dibilas dengan larutan NaCl 0,9% (cairan
fisiologis) untuk membersihkan dari kotoran
dan darah. 1g hati ditimbang dan ditambahkan
dengan larutan NaCl 0,9% kemudian
dihaluskan dengan homogenizer PotterElvehjem. Homogenat 10% ini kemudian
disentrifus pada 700 x g suhu 4˚C selama 10
menit. Supernatan yang diperoleh dipisahkan,
kemudian diambil sebanyak 1ml untuk
dihancurkan dengan ultrasonikator selama
5menit.
Analisis Protein Total (Bradford 1976)
Pembuatan Kurva Standar. Dalam
pembuatan kurva standar digunakan larutan
BSA 1.56 mg/mL dan 1.5 mg/mL sebagai
larutan standar. Larutan BSA dimasukkan ke
dalam tabung reaksi sebanyak 10, 30, 50, 70
dan 90 µL lalu ditambahkan larutan NaCl
0.9% sehingga volume total setiap tabung 100
µL. Sebagai blanko digunakan larutan NaCl
0.9% 100 µL, tanpa penambahan larutan
BSA. Masing-masing tabung ditambahkan
pereaksi Bradford sebanyak 2.9 mL kemudian
dikocok dengan vortex. Sebelum diukur,
larutan didiamkan selama 5 menit. Serapan
larutan standar diukur pada panjang
gelombang (λ) 595 nm.
Analisis Protein Total Sampel. Sebanyak
10 µL sampel dan 90 µL NaCl 0.9%
dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian
ditambahkan 2.9 ml pereaksi Bradford
kemudian dikocok hingga merata dengan
vortex. Sebelum diukur, larutan didiamkan
selama 5 menit. Serapan sampel juga diukur
pada panjang gelombang (λ) 595 nm.

Analisis Enzim SOD (Winterbourn et al.
1975)
Prinsip pengukuran aktivitas SOD dengan
metode ini berdasarkan kemampuan enzim
SOD dalam menghambat reduksi NBT oleh
radikal anion superoksida. NBT yang
tereduksi
akan
membentuk
kompleks
formazan yang berwarna biru ungu. Adanya
enzim SOD dalam sampel akan menghambat
pembentukkan kompleks warna tersebut.
Semakin banyak jumlah enzim SOD dalam
sampel maka warna yang terbentuk pun
semakin tidak pekat.
Analisis
enzim
dilakukan
dengan
memasukkan sampel yang mengandung 10 µg
protein ke dalam kuvet yang mengandung 67
µL EDTA 0.1 M untuk mengukur SOD total.
Kemudian ditambahkan 33 µL NBT 1.5 mM
serta 850 µL bufer fosfat 0.067 M pH 7.8.
Selanjutnya kuvet diinkubasi dalam kotak
cahaya yang menggunakan lampu fluoresent
40 watt selama 5 menit kemudian
ditambahkan 25 µL riboflavin 0.12 mM dan
diinkubasi kembali dalam kotak. Setiap 1
menit diukur serapannya pada λ 560 nm.
Aktivitas enzim yang terukur merupakan
aktivitas spesifik, yaitu jumlah unit enzim per
miligram protein dan satu unit enzim
didefinikan sebagai jumlah enzim yang
menyebabkan
setengah
penghambatan
maksimum terhadap reduksi NBT.
Analisis Statistik
Data yang diperoleh diuji dengan
menggunakan analisis statistik ANOVA untuk
mengetahui pengaruh perlakuan pada selang
kepercayaan 90% (Matjiik dan Sumertajaya
2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Bobot Badan
Hasil pengaruh induksi parasetamol dan
penambahan suplemen kelapa kopyor dan
temulawak terhadap bobot badan (BB) hewan
coba dapat terlihat pada Gambar 7.
Pengamatan pada hari ke-14 menunjukkan
secara umum seluruh kelompok mengalami
penurunan BB. Penurunan BB yang paling
kecil ditunjukkan oleh kelompok normal (N,
akuades 35 hari), yaitu sebesar 0.5%,
sedangkan penurunan BB hewan coba yang
paling tajam terjadi pada kelompok K(induksi parasetamol 14 hari + akuades 21
hari), yaitu sebanyak 11.4%. Kelompok K+
(induksi parasetamol 14 hari + suplemen
temulawak 21 hari), P1 (induksi parasetamol

8

sedangkan untuk kontrol positif diberi
temulawak. Setelah perlakuan selesai,
dilakukan nekropsi, pengambilan organ hati,
dan pengamatan gambaran patologi anatomi
hati.
Pengamatan Fisik. Pengamatan fisik
hewan coba yang diamati meliputi bobot
badan, konsumsi pakan, keadaan fisik, dan
tingkah laku. Bobot badan dan konsumsi
pakan diamati dengan menimbang tikus serta
bobot pakan sebelum dan sesudah pemberian
pakan. Keadaan fisik pada tikus yang diamati
adalah warna mata dan kerontokan bulu
sedangkan tingkah laku yang diamati meliputi
mobilitas dan agresivitas.
Fraksinasi Hati untuk Analisis Enzim SOD
Setelah perlakuan selesai, tikus dinekropsi
dengan dekapitasi setelah dibius dengan
kloroform. Tikus dibedah dan diambil hatinya.
Hati dibilas dengan larutan NaCl 0,9% (cairan
fisiologis) untuk membersihkan dari kotoran
dan darah. 1g hati ditimbang dan ditambahkan
dengan larutan NaCl 0,9% kemudian
dihaluskan dengan homogenizer PotterElvehjem. Homogenat 10% ini kemudian
disentrifus pada 700 x g suhu 4˚C selama 10
menit. Supernatan yang diperoleh dipisahkan,
kemudian diambil sebanyak 1ml untuk
dihancurkan dengan ultrasonikator selama
5menit.
Analisis Protein Total (Bradford 1976)
Pembuatan Kurva Standar. Dalam
pembuatan kurva standar digunakan larutan
BSA 1.56 mg/mL dan 1.5 mg/mL sebagai
larutan standar. Larutan BSA dimasukkan ke
dalam tabung reaksi sebanyak 10, 30, 50, 70
dan 90 µL lalu ditambahkan larutan NaCl
0.9% sehingga volume total setiap tabung 100
µL. Sebagai blanko digunakan larutan NaCl
0.9% 100 µL, tanpa penambahan larutan
BSA. Masing-masing tabung ditambahkan
pereaksi Bradford sebanyak 2.9 mL kemudian
dikocok dengan vortex. Sebelum diukur,
larutan didiamkan selama 5 menit. Serapan
larutan standar diukur pada panjang
gelombang (λ) 595 nm.
Analisis Protein Total Sampel. Sebanyak
10 µL sampel dan 90 µL NaCl 0.9%
dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian
ditambahkan 2.9 ml pereaksi Bradford
kemudian dikocok hingga merata dengan
vortex. Sebelum diukur, larutan didiamkan
selama 5 menit. Serapan sampel juga diukur
pada panjang gelombang (λ) 595 nm.

Analisis Enzim SOD (Winterbourn et al.
1975)
Prinsip pengukuran aktivitas SOD dengan
metode ini berdasarkan kemampuan enzim
SOD dalam menghambat reduksi NBT oleh
radikal anion superoksida. NBT yang
tereduksi
akan
membentuk
kompleks
formazan yang berwarna biru ungu. Adanya
enzim SOD dalam sampel akan menghambat
pembentukkan kompleks warna tersebut.
Semakin banyak jumlah enzim SOD dalam
sampel maka warna yang terbentuk pun
semakin tidak pekat.
Analisis
enzim
dilakukan
dengan
memasukkan sampel yang mengandung 10 µg
protein ke dalam kuvet yang mengandung 67
µL EDTA 0.1 M untuk mengukur SOD total.
Kemudian ditambahkan 33 µL NBT 1.5 mM
serta 850 µL bufer fosfat 0.067 M pH 7.8.
Selanjutnya kuvet diinkubasi dalam kotak
cahaya yang menggunakan lampu fluoresent
40 watt selama 5 menit kemudian
ditambahkan 25 µL riboflavin 0.12 mM dan
diinkubasi kembali dalam kotak. Setiap 1
menit diukur serapannya pada λ 560 nm.
Aktivitas enzim yang terukur merupakan
aktivitas spesifik, yaitu jumlah unit enzim per
miligram protein dan satu unit enzim
didefinikan sebagai jumlah enzim yang
menyebabkan
setengah
penghambatan
maksimum terhadap reduksi NBT.
Analisis Statistik
Data yang diperoleh diuji dengan
menggunakan analisis statistik ANOVA untuk
mengetahui pengaruh perlakuan pada selang
kepercayaan 90% (Matjiik dan Sumertajaya
2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Bobot Badan
Hasil pengaruh induksi parasetamol dan
penambahan suplemen kelapa kopyor dan
temulawak terhadap bobot badan (BB) hewan
coba dapat terlihat pada Gambar 7.
Pengamatan pada hari ke-14 menunjukkan
secara umum seluruh kelompok mengalami
penurunan BB. Penurunan BB yang paling
kecil ditunjukkan oleh kelompok normal (N,
akuades 35 hari), yaitu sebesar 0.5%,
sedangkan penurunan BB hewan coba yang
paling tajam terjadi pada kelompok K(induksi parasetamol 14 hari + akuades 21
hari), yaitu sebanyak 11.4%. Kelompok K+
(induksi parasetamol 14 hari + suplemen
temulawak 21 hari), P1 (induksi parasetamol

9

Gambar 7 Bobot badan tikus saat pemberian parasetamol (hari ke-0 hingga hari ke-14) dan
pemberian suplemen kelapa kopyor (hari ke-15 hingga hari ke-35)
14 hari + suplemen kelapa kopyor 1x dosis 21
hari), P2 (induksi parasetamol 3x dosis 21
hari), dan P3 (induksi parasetamol 14 hari +
suplemen kelapa kopyor 5x dosis 21 hari) juga
mengalami penurunan, berkisar antara 2
hingga 8% Berdasarkan hasil tersebut diduga
bahwa pemberian parasetamol dalam dosis
toksik mempengaruhi nafsu makan yang
berakibat pada menurunnya BB. Menurut Gan
(1980),
toksisitas
parasetamol
akan
menimbulkan gejala-gejala anoreksia, mual,
muntah, serta sakit perut yang terjadi dalam
24 jam pertama, dan dapat berlangsung terus
menerus selama seminggu atau lebih. Gejalagejala inilah yang menyebabkan nafsu makan
menurun sehingga berpengaruh terhadap BB
hewan coba tersebut. Uji statistik BB pada
hari ke-14 menunjukkan adanya beda nyata
(P≤0.1) antara kelompok normal dengan
perlakuan (K+, K-, P1, P2, dan P3).
Pengamatan pada hari ke-35 menunjukkan
adanya kenaikan BB secara umum pada
seluruh kelompok dengan instensitas yang
berbeda. Kelompok N dan K+ merupakan
kelompok yang paling banyak mengalami
kenaikan BB, yaitu masing-masing 20% dan
13%. Kelompok K, P1, P2, dan P3 mengalami
kenaikan BB namun tidak begitu tinggi,
berkisar antara 6 hingga 11%.
Berdasarkan hasil tersebut, diduga bahwa
pemberian
suplemen
temulawak
mempengaruhi nafsu makan yang akan
menaikkan BB. Hal ini sesuai dengan
penelitian Liang et al. (1985) yang
menyatakan
bahwa
temulawak
dapat
digunakan sebagai obat untuk mengatasi
gangguan saluran pencernaan, gangguan
aliran getah empedu, diare, kurang nafsu
makan, radang lambung dan dapat mencegah
terjadinya pelemakan dalam sel-sel hati.
Selain itu kandungan kurkuminoid pada

temulawak
dapat
berfungsi
untuk
meningkatkan produksi dan sekresi empedu.
Kemampuan
temulawak
menghasilkan
senyawa antibakteri mempengaruhi kerja
mikroflora usus sehingga proses pencernaan
menjadi lebih optimal (Sedarnawati et al.
1991). Berbagai penelitian terhadap hewan
percobaan
telah
membuktikan
bahwa
temulawak memberikan dampak positif
terhadap kandungan empedu, hati dan
pankreas.
Pertambahan BB juga terjadi pada
kelompok P1, P2, dan P3. Berdasarkan hasil
tersebut, diduga bahwa pemberian suplemen
kelapa kopyor juga mempengaruhi nafsu
makan. Kandungan nutrisi pada kelapa
kopyor, seperti vitamin, mineral, dan asam
lemak diduga dapat membantu meningkatkan
nafsu makan. Berdasarkan hasil penelitian
menggunakan babi yang diberi pakan yang
kaya akan kandungan asam lemak jenuh, babi
tersebut mengalami obesitas, peningkatan
kadar kolesterol dan LDL di dalam darah
sedangkan kadar lipoprotein densitas tinggi
(HDL) menurun. Selain itu, babi juga
mengalami penyempitan pembuluh darah atau
aterosklerosis (Bruce Fife 2001 diacu dalam
Sulistyo 2004). Uji statistik BB pada hari ke35 menunjukkan adanya