Seleksi Padi Hibrida Turunan Galur Mandul Jantan Tipe Sitoplasma Wild Abortive, Kalinga, Dan Gambiaca Untuk Toleransi Terhadap Cekaman Kekeringan

SELEKSI PADI HIBRIDA TURUNAN GALUR MANDUL JANTAN TIPE
SITOPLASMA WILD ABORTIVE, KALINGA, DAN GAMBIACA
UNTUK TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

YUNI WIDYASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Seleksi Padi Hibrida
Turunan Galur Mandul Jantan Tipe Sitoplasma Wild Abortive, Kalinga, dan
Gambiaca untuk Toleransi terhadap Kekeringan” adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016
Yuni Widyastuti
NRP. A253130271

iv

RINGKASAN
YUNI WIDYASTUTI. Seleksi Padi Hibrida Turunan Galur Mandul Jantan Tipe
Sitoplasma Wild Abortive, Kalinga, dan Gambiaca untuk Toleransi terhadap
Cekaman Kekeringan. Dibimbing oleh BAMBANG SAPTA PURWOKO dan
MUHAMAD YUNUS.
Kekeringan merupakan salah satu cekaman abiotik yang dapat
menyebabkan penurunan hasil gabah padi. Bagi pemulia tanaman, perakitan
varietas padi toleran cekaman kekeringan sekaligus memiliki potensi hasil tinggi
menjadi sebuah tantangan. Teknologi padi hibrida merupakan alternatif untuk
mencapai potensi hasil tinggi pada kondisi optimum, namun demikian penelitian

pemanfaatan padi hibrida pada kondisi non optimum terutama kekeringan belum
banyak dilakukan. Sebagian besar penelitian padi hibrida di Indonesia
menggunakan galur mandul jantan (GMJ) tipe wild abortive (WA) sebagai tetua
betina. Pemanfaatan GMJ tipe sitoplasma Gambiaca dan Kalinga diharapkan
dapat meningkatkan keragaman padi hibrida di Indonesia dan memperluas
preferensi petani. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menyeleksi galur-galur tetua
dan F1 hibrida padi hibrida terhadap simulasi cekaman kekeringan pada fase
perkecambahan, (2) mengindentifikasi daya gabung umum (DGU) dan khusus
(DGK) untuk karakter toleransi terhadap simulasi cekaman kekeringan pada fase
perkecambahan, (3) mengindentifikasi daya gabung umum dan khusus untuk
karakter hasil dan komponen hasil, (4) memverifikasi gen pengendali pemulih
kesuburan GMJ tipe WA, Kalinga, dan Gambiaca, dan (5) mendapatkan F1 padi
hibrida potensi hasil lebih tinggi dibanding varietas Limboto dan Ciherang,
memiliki sifat agronomi baik serta toleran terhadap simulasi cekaman kekeringan.
Serangkaian penelitian dilakukan untuk mengkombinasikan perakitan padi
hibrida dari tiga sumber sitoplasma berbeda sekaligus memiliki toleransi terhadap
simulasi cekaman kekeringan melalui: (1) Identifikasi toleransi kekeringan tetua
dan F1 padi hibrida pada fase perkecambahan menggunakan Polietilen Glikol
(PEG) 6000 konsentrasi 25%, (2) Analisis daya gabung dan pengaruh genetik
beberapa karakter toleransi kekeringan pada fase perkecambahan, (3) Analisis

daya gabung dan heterosis karakter hasil dan komponen hasil hibrida turunan
galur mandul jantan tipe Wild Abortive (WA), Kalinga, dan Gambiaca, dan (4)
Verifikasi gen pemulih kesuburan yang mengendalikan pemulihan kesuburan tiga
tipe GMJ melalui marka SSR.
Hasil identifikasi toleransi cekaman kekeringan pada fase perkecambahan
menggunakan PEG 6000 konsentrasi 25% menunjukkan bahwa variabel
persentase perkecambahan, panjang akar seminal, panjang kecambah, dan indeks
vigor benih dapat digunakan sebagai variabel indikator toleransi kekeringan pada
fase perkecambahan. Tetua hibrida yang diduga toleran simulasi cekaman
kekeringan adalah IR58025B, IR80154B, GMJ14B, dan GMJ15B (galur B) dan
PK 90, R 3, dan PK 12 (galur R). Dua belas hibrida yang diduga toleran simulasi
cekaman kekeringan fase perkecambahan adalah IR 58025A/R 32, IR 80154A/PK
90, IR 80154A/ R3, IR 80154A/PK 12, IR 80154A/BP 11, IR 80156A/BP 11,
GMJ 13A/PK 90, GMJ 13A/R 3, GMJ 13A/BP 11, GMJ 14A/R 3, GMJ 14A/BP
11, dan GMJ 15A/PK 90.

Analisis daya gabung pada karakter perkecambahan telah berhasil
mengidentifikasi GMJ IR 58025A sebagai penggabung baik untuk persentase
perkecambahan, sedangkan IR 80154A merupakan penggabung baik untuk
panjang akar seminal dan panjang kecambah. Di antara galur pemulih kesuburan,

PK 90 merupakan penggabung baik untuk persentase perkecambahan dan indeks
vigor benih. Kombinasi hibrida IR 80154A/PK 90, GMJ 13A/R 3, GMJ 14A/R 3,
dan GMJ 15A/PK 90 memiliki DGK nyata dan positif untuk semua karakter
perkecambahan yang diamati.
Analisis daya gabung dan heterosis karakter hasil dan komponen hasil
hibrida turunan galur mandul jantan tipe Wild Abortive, Kalinga, dan Gambiaca
berhasil mengidentifikasi GMJ IR 58025A sebagai penggabung umum terbaik
untuk karakter jumlah gabah isi per malai, GMJ 14A untuk umur 50% berbunga
dan persentase pengisian gabah, serta GMJ 15A untuk karakter jumlah gabah
hampa per malai. Di antara tester, galur PK 12 penggabung umum terbaik untuk
karakter umur 50% berbunga, jumlah gabah hampa per malai, dan persentase
gabah isi per malai, sedangkan galur BP 11 untuk karakter jumlah gabah isi per
malai. Hibrida baru dengan nilai standar heterosis > 20% dibanding Maro, Hipa 8,
Ciherang, dan Limboto pada setiap latar belakang sistem GMJ adalah GMJ
13A/BP 11, GMJ 14A/PK 90, dan GMJ 15A/PK 90 masing-masing untuk WA,
Kalinga, dan Gambiaca.
Pada kegiatan terakhir yaitu verifikasi gen pemulih kesuburan yang
mengendalikan pemulihan kesuburan tiga tipe GMJ melalui marka SSR telah
berhasil didapatkan informasi adanya kemiripan tingkat fertilitas serbuk sari dan
spikelet dari hibrida-hibrida turunan Gambiaca dan Kalinga dengan hibrida tipe

WA. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kesamaan proses biologi yang
mempengaruhi ketiga sistem sitoplasma ini. Pola segregasi pada populasi F2 untuk
karakter fertilitas serbuk sari pada GMJ tipe WA dan Gambiaca mengindikasikan
keterlibatan dua gen pemulih kesuburan yang dominan, sedangkan tipe Kalinga
diduga dikendalikan oleh gen dominan tunggal. Galur restorer PK 12 mampu
memulihkan ketiga GMJ dengan ketiga sitoplasma lebih baik dibanding galur
restorer PK 90 dan BP 11. Primer RM490 dan RM258 potensial digunakan
sebagai penanda gen Rf3 dan Rf4 pada pemulihan kesuburan tipe WA.
Dari rangkaian penelitian ini dapat disimpulkan bahwa galur-galur tetua
yang teridentifikasi toleran terhadap simulasi cekaman kekeringan berpotensi
dapat digunakan untuk merakit F1 hibrida toleran cekaman kekeringan. Diperoleh
kombinasi hibrida hasil dan heterosis tinggi yang berasal dari GMJ tipe WA,
Kalinga, dan Gambiaca. Galur-galur R yang selama ini digunakan untuk merakit
hibrida dengan GMJ tipe WA berpotensi untuk dikembangkan sebagai tetua
hibrida GMJ tipe Gambiaca dan Kalinga. Diperoleh dua F1 hibrida potensi hasil
tinggi, memiliki sifat agronomi baik serta toleran terhadap simulasi cekaman
kekeringan pada fase perkecambahan yaitu GMJ 13A/R 3, dan GMJ 14A/R 3.
Kata kunci: Galur mandul jantan, Wild Abortive, Gambiaca, Kalinga, padi hibrida,
kekeringan


vi

SUMMARY
YUNI WIDYASTUTI. Selection of Hybrid Rice Derived from Wild Abortive,
Gambiaca, and Kalinga Cytoplamic Male Sterile System for Breeding Program of
Tolerant to Drought Stress. Supervised by BAMBANG SAPTA PURWOKO as
chairman dan MUHAMAD YUNUS as member of the advisory committee.
Drought is an abiotic stress causing significant reduction in rice yield. This
challenge breeder to breed new varieties with high yield potential and tolerance to
drought. Hybrid rice is an alternative technology for achieving high yield potential
under favorable conditions, but the performance of hybrids under drought stress
has not yet been fully evaluated. In Indonesia, most of hybrid rice research used
WA-cytoplasmic male sterile (CMS) source, which accounted for 90%
commercial hybrids rice varieties. Utilization of CMS type Kalinga and Gambiaca
is expected to increase diversity of hybrid rice and broader preference of farmers
to cultivate it. The objectives of this research were (1) to select parental lines and
F1 hybrids tolerant to drought at germination stage, (2) to identify general
combining ability (GCA) and specific combining ability (SCA) of germination
traits in drought stress, (3) to identify GCA and SCA of yield components of
parental lines and F1 hybrids, (4) to verify restoring ability genes of WA, Kalinga,

and Gambiaca CMS, and (5) to get new hybrid rice having higher yield potential
than Limboto and Ciherang and tolerant to drought.
The studies were conducted to breed hybrid rice tolerant to drought from
different CMS systems, through a series of experiments i.e. (1) Identification
drought tolerant of parents and F1 rice hybrids at germination phase using 25%
concentration of Polyethylene Glycol (PEG) 6000, (2) The combining ability and
genetic effects for some germination traits, (3) The combining ability analysis and
heterosis for yield and yield components of rice hybrids derived from WA,
Kalinga, and Gambiaca CMS systems, and (4) Verification of fertility restorer
genes controlling the restoring fertility of three CMS systems throught SSR
markers.
The results of first experiment showed that the germination percentage, seed
vigor index, seminal root length, and seedling length were the primary evaluation
indicator for tolerance to drought at germination phase. The use of PEG 6000
concentration of 25% at the germination phase could identify maintainer lines (i.e.
IR 58025B, IR 80154B, GMJ 14B, and GMJ 15B) and restorer lines (i.e. PK 90,
R 3, dan PK 12) as genotypes tolerant to drought simulation. Twelve F1 hybrids
identified tolerant to drought were IR 58025A/R 32, IR 80154A/PK 90, IR
80154A/ R3, IR 80154A/PK 12, IR 80154A/BP 11, IR 80156A/BP 11, GMJ
13A/PK 90, GMJ 13A/R 3, GMJ 13A/BP 11, GMJ 14A/R 3, GMJ 14A/BP 11,

and GMJ 15A/PK 90.
The combining ability analysis of germination traits have identified lines IR
58025A as the best combiner for percentage of germination, while IR 80154A as
the highest combiner for seminal root length and seedling length. Among the
testers, PK 90 had been a good combiner for percentage of germination and seed
vigor index. The hybrids IR 80154A/PK 90, GMJ 13A/R 3, GMJ 14A/R 3, and
GMJ 15A/PK 90 had significant and positive specific combining ability for all
traits. The effect of gene action indicated the dominance of non-additive gene

action for several traits namely percentage of germination, seminal root length,
shoot length, seedling length, and seed vigor index.
The combining ability analysis and heterosis for yield and yield components
appeared that IR 58025A line was a good general combiner for number of filled
grains per panicle, GMJ 14A line was a good general combiner for 50% days of
maturity and and filled grain percentage per panicle, while GMJ 15A was good
combiner for number of unfilled grains per panicle. Among the testers, PK 12 line
was the best general combiner for 50% days maturity, number of unfilled grain
per panicle, and filled grain percentage per panicle, while BP 11 was the best
general combiner for number of filled grain per panicle. The highest specific
combining ability for weight of grain per hill was achieved by GMJ 13A/PK 90

(WA-CMS), IR 80154A/R 32 (Gambiaca-CMS), and GMJ 14A/ R 3 (KalingaCMS). The highest value of standard heterosis better than Maro, Hipa 8,
Ciherang, and Limboto were GMJ 13A/BP 11, GMJ 14A/PK 90, and GMJ
15A/BP 11 for CMS systems i.e. WA, Kalinga, and Gambiaca repectively.
The genetic relationship among three cytoplasmic male sterility (CMS)
systems, consisting of wild abortive (WA), Gambiaca, and Kalinga was studied.
The results showed that the F1 plants derived from crosses involving A and R
lines of the respective cytoplasm and their cross-combination showed similar
pollen and spikelet fertility values, indicating that similar biological processes
governed fertility restoration in these three CMS systems. The results from the
inheritance of fertility restoration was studied in crosses involving three elite
restorer lines of rice viz. PK 90, PK 12, and BP 11 and three male sterile line IR
58025A (CMS-WA), IR 80154A (CMS-Gambiaca), and IR 80156A (CMSKalinga). The results from the inheritance study showed that the pollen fertility
restoration in WA and Gambiaca CMS systems was governed by two independent
and dominant genes with classical duplicate gene action, while Kalinga system
controlled by one single dominant gene. The restorer line PK 12 have restoring
ability stronger than PK 90 and BP 11. The SSR primers RM490 and RM258
revealed potential to be markers of Rf3 and Rf4 genes in restoring fertility of WA
system.
It can be concluded that the parental lines identified as tolerant to drought
potential to be use as parents of hybrid rice tolerant to drought. The Kalinga and

Gambiaca CMS system could restored the fertility by CMS-WA. These results
have important implications for the hybrid rice breeding using different
cytoplasmic backgrounds.
Keywords: Cytoplasmic male sterile, Wild Abortive, Gambiaca, Kalinga, hybrid
rice, drought.

viii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

SELEKSI PADI HIBRIDA TURUNAN GALUR MANDUL JANTAN
TIPE SITOPLASMA WILD ABORTIVE, KALINGA, DAN

GAMBIACA UNTUK TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN
KEKERINGAN

YUNI WIDYASTUTI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Satoto MS

Judul Tesis

Seleksi

Padi

Sitoplasma

Hibrida

Wild

Turunan

Abortive,

Galur

Kalinga,

Mandul
dan

Jantan

Gambiaca

Tipe
untuk

Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan
Nama

Yuni Widyastuti

NIM

A 253130271

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

:?
Prof Dr Ir Bambang S. Purwoko, MSc
Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman

Dr Ir Yudiwanti Wahyu E.K., MS

Tanggal Ujian Tesis :

18 Januari 2016

Tanggal Lulus:1

1 4 MAR 2016

xii

PRAKATA
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas limpahan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Perubahan iklim global, salah satunya mengakibatkan banyak terjadi gagal
panen karena cekaman kekeringan. Teknologi padi hibrida toleran cekaman
kekeringan diharapkan mampu menjadi alternatif solusi penurunan hasil akibat
kekeringan. Terlebih lagi, belum optimalnya penggunaan galur mandul jantan tipe
Kalinga dan Gambiaca sebagai tetua pada perakitan padi hibrida di Indonesia,
maka penulis memilih tema Seleksi Padi Hibrida Turunan Galur Mandul
Jantan Tipe Sitoplasma Wild Abortive, Kalinga, dan Gambiaca untuk Toleransi
terhadap Cekaman Kekeringan.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Bambang S. Purwoko,
MSc dan Dr Ir Muhamad Yunus, MSi selaku komisi pembimbing yang dengan
ikhlas memberikan masukan, arahan, bimbingan, dorongan dan motivasi dalam
penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Badan
Litbang Pertanian Kementerian Pertanian atas dukungan dana beasiswa dan dana
penelitian melalui DIPA Balitbang Tahun 2015. Terimakasih juga penulis
sampaikan kepada Kepala Balai Besar Penelitian Padi, ketua tim penelitian padi
hibrida Dr Satoto, tim peneliti dan teknisi: Dr Indrastuti A. Rumanti, Nita Kartina
SP, Bayu Pramono SP, R. Noviadi SSi, Sarmadi, Soewarto, Cecep, Firman, Dede,
dan Kamsi, atas segenap bantuan dan dukungannya. Terimakasih kepada temanteman seperjuangan di program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Angkatan 2013 atas persahabatan dan kekeluargaannya.
Kepada suami tercinta, Sudradjat, SE Ak CA, ananda terkasih Najwa
Kamila, Ahza Syarif Al Auni, dan Attar Syauqi Azzaini, terimakasih atas cinta,
doa, dorongan dan kasih sayang yang tidak terhingga. Keluarga besar Bani
Muhdayat dan Sudjai terimakasih atas dukungan yang telah diberikan.
Tiada yang sempurna pada karya manusia, tetapi besar harapan penulis,
karya ini dapat bermanfaat dalam pengembangan padi, khususnya padi hibrida di
Indonesia.
Bogor, Maret 2016

Yuni Widyastuti

xii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xvii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
2 TINJAUAN PUSTAKA
Perakitan Padi Hibrida
Mekanisme Mandul Jantan dan Pemulihan Kesuburan
Toleransi Kekeringan
Pemanfaatan Marka Molekuler pada Padi Hibrida
3 IDENTIFIKASI TOLERANSI KEKERINGAN TETUA DAN F1
PADI
HIBRIDA
ADA
FASE
PERKECAMBAHAN
MENGGUNAKAN POLIETILEN GLIKOL
(PEG) 6000
KONSENTRASI 25%
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
4 ANALISIS DAYA GABUNG DAN PENGARUH GENETIK
BEBERAPA KARAKTER TOLERANSI KEKERINGAN PADA
FASE PERKECAMBAHAN
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
5 ANALISIS DAYA GABUNG DAN HETEROSIS KARAKTER
HASIL DAN KOMPONEN HASIL HIBRIDA TURUNAN GALUR
MANDUL JANTAN TIPE WILD ABORTIVE, KALINGA, DAN
GAMBIACA
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
xi
 
 

1
1
3
4
4
5
5
6
7
9
11

11
12
13
14
17
29
30

30
31
32
32
35
41
42

42
43
44
45
48
65

xiv

VERIFIKASI
GEN
PEMULIH
KESUBURAN
YANG
MENGENDALIKAN PEMULIHAN KESUBURAN TIGA TIPE
GMJ MELALUI MARKAH SSR
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
7 PEMBAHASAN UMUM
Metode Seleksi Cepat pada Fase Perkecambahan sebagai Alternatif
Seleksi Genotipe Tolerang Cekaman Kekeringan
Peran Tetua dalam Perakitan Padi Hibrida Toleran Cekaman
Kekeringan dan Hasil Tinggi
Pemanfaatan GMJ Tipe Sitoplasma WA, Kalinga, dan Gambiaca
dalam Peningkatan Produksi Padi Hibrida
Kendali Genetik Pemulihan Kesuburan pada Tipe Sitoplasma WA,
Kalinga, dan Gambiaca

66

8 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

87
87
87
88

RIWAYAT HIDUP

99

6

xii

66
67
68
69
73
79
80
81
82
84
85

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Materi genetik skrining tetua padi hibrida menggunakan PEG 6000
konsentrasi 25% pada fase perkecambahan
Materi genetik skrining F1 padi hibrida menggunakan PEG 6000
konsentrasi 25% pada fase perkecambahan
Analisis ragam pada perlakuan genotipe dan PEG 6000 pada variabel
perkecambahan 21 genotipe padi
Pengaruh simulasi cekaman kekeringan terhadap penurunan rata-rata
enam variabel perkecambahan pada 21 genotipe padi
Koefisien korelasi variabel perkecambahan padi
Analisis komponen utama terhadap 8 variabel perkecambahan padi
Nilai koefisien toleransi cekaman kekeringan empat variabel utama
toleransi kekeringan pada fase perkecambahan padi
Pengaruh larutan PEG 6000 konsentrasi 25% terhadap persentase
perkecambahan dan panjang akar seminal padi
Pengaruh larutan PEG 6000 konsentrasi 25% terhadap panjang tunas
dan panjang kecambah padi
Pengaruh PEG 6000 konsentrasi 25% terhadap variabel bobot kering
akar seminal dan bobot kering tunas padi
Nilai koefisien toleransi cekaman kekeringan empat variabel utama
toleransi kekeringan pada fase perkecambahan padi
Material genetik analisis daya gabung karakter toleransi fase
perkecambahan padi
Karakter perkecambahan galur tetua padi hibrida pada kondisi
cekaman kekeringan
Analisis ragam karakter perkecambahan padi pada kondisi cekaman
kekeringan
Nilai kuadrat tengah hasil analisis ragam karakter perkecambahan
genotipe padi
Proporsi kontribusi lini, tester dan interaksi lini tester terhadap karakter
perkecambahan padi
Nilai duga daya gabung umum karakter toleransi cekaman kekeringan
fase perkecambahan padi menggunakan persilangan lini x tester
Nilai duga daya gabung khusus karakter toleransi cekaman kekeringan
fase perkecambahan padi menggunakan persilangan lini x tester
Materi genetik uji daya gabung karakter hasil dan komponen hasil padi
hibrida, tetua, dan varietas pembandingnya
Struktur analisis ragam untuk analisis lini x tester
Nilai kuadrat tengah hasil analisis ragam daya gabung karakter hasil
dan komponen hasil padi
xiii

14
16
17
18
20
21
22
24
25
27
28
33
35
36
36
37
38
30
46
47
49

xvi

22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36

37

37

Proporsi kontribusi lini, tester, interaksi lini x tester karakter hasil dan
komponen hasil padi
Nilai duga daya gabung umum tetua padi hibrida pada karakter hasil
dan komponen hasil
Nilai duga daya gabung khusus karakter hasil dan komponen hasil 30
padi hibrida
Nilai rata-rata karakter hasil dan komponen hasil tetua padi hibrida
yang digunakan
Nilai rata-rata karakter hasil dan komponen hasil 30 F1 hibrida padi
Nilai heterosis dibanding tetua terbaik (heterobeltiosis) karakter hasil
dan komponen hasil padi hibrida
Nilai heterosis dibanding rata-rata kedua tetua (mid-parent heterosis)
karakter hasil dan komponen hasil padi hibrida
Hasil gabah 30 F1 hibrida padi dan standar heterosis terhadap 4 varietas
pembanding
Materi genetik padi hibrida untuk verifikasi gen pemulih kesuburan
Kode dan sekuen dari pasangan primer SSR
Fertilitas serbuk sari pada tanaman F1 hibrida padi turunan AxR
kombinasi GMJ sistem WA, Kalinga, dan Gambiaca dengan 3 galur R
Fertilitas spikelet pada tanaman F1 hibrida padi turunan AxR
kombinasi GMJ sistem WA, Kalinga, dan Gambiaca dengan 3 galur R
Analisis Chi-Kuadrat karakter fertilitas serbuk sari pada tanaman
populasi F2 padi turunan GMJ tipe WA, Kalinga, dan Gambiaca
Primer polimorfis untuk gen Rf3 dan Rf4
Hasil analisis Chi-Kuadrat untuk fertilitas serbuk sari pada tanaman
padi populasi F2 IR 58025A/PK 90 (WA) berdasarkan pola pita DNA
yang diperoleh
Hasil analisis Chi-Kuadrat untuk fertilitas serbuk sari pada tanaman
padi populasi F2 IR 80154A/PK 12 (Gambiaca) berdasarkan pola pita
DNA yang diperoleh
Hasil analisis Chi-Kuadrat untuk fertilitas serbuk sari pada tanaman
padi populasi F2 IR 80156A/BP 11 (Kalinga) berdasarkan pola pita
DNA yang diperoleh

xiv

51
52
54
56
57
60
62
64
70
72
74
74
76
77
78

78

79

DAFTAR GAMBAR
1

Bagan alur kegiatan penelitian.

3

2

Metode tiga galur pada perakitan padi hibrida

5

3

Keragaan kecambah tetua padi hibrida pada kondisi cekaman
menggunakan PEG 6000 konsentrasi 25%.

21

4

Keragaan padi galur tetua maintainer

58

5

Keragaan padi galur tetua pemulih kesuburan

58

6

Keragaan F1 hibrida padi terseleksi

66

7

Klasifikasi sterilitas serbuk sari pada padi

71

8

Butir serbuk sari GMJ dengan tipe sitoplasma berbeda

71

xv

xviii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Padi (Oryza sativa L.), merupakan salah satu tanaman pangan yang berhasil
ditingkatkan produksinya melalui pemanfaatan fenomena heterosis atau vigor
hibrida. China merupakan negara yang merintis penelitian padi hibrida pada tahun
1970 an dan berhasil menunjukkan bahwa padi hibrida mampu memberikan hasil
1-1.5 ton ha-1 atau 20-30% lebih tinggi dibanding varietas konvensional inbrida
(Lin & Yuan 1980; Ma & Yuan 2003). Pemanfaatan teknologi ini diharapkan
dapat menurunkan masalah kelaparan dan malnutrisi di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin yang sebagian besar penduduknya bergantung pada beras (Toriyama et al.
2010). Sampai tahun 2013, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah
melepas 19 varietas unggul hibrida ke masyarakat (BB Padi 2014). Target
perakitan padi hibrida sampai saat ini terfokus pada hibrida untuk lahan sawah
irigasi dengan kondisi lingkungan optimum.
Perubahan pola iklim pada saat ini menyebabkan kekeringan tidak hanya
mengancam lahan gogo atau tadah hujan (Balasubramanian et al. 2007) tetapi
juga lahan sawah irigasi terutama irigasi semi teknis (Susanto et al. 2012). Hal
tersebut ditambah dengan kerusakan infrastruktur pengairan karena kurangnya
pemeliharaan menjadikan pertanaman padi sawah irigasi pun terancam
kekeringan. Akibatnya produksi beras terancam turun karena meluasnya areal
lahan dengan risiko gagal panen. Perakitan varietas unggul padi toleran cekaman
kekeringan menjadi salah satu komponen teknologi yang penting untuk
mengantisipasi lahan-lahan tercekam kekeringan.
Selama ini penggunaan padi hibrida masih terbatas di lahan irigasi. Pada
kondisi optimum padi hibrida dilaporkan mampu memberikan hasil 20-30% lebih
tinggi dibanding padi inbrida (Virmani et al. 1982). Virmani (2003) melaporkan
terdapat superioritas padi hibrida pada lingkungan tercekam baik kekeringan atau
pada lahan bermasalah lainnya. Pada kondisi tercekam kekeringan, padi hibrida
toleran kekeringan tetap mampu mengekspresikan potensi heterosisnya lebih baik
dibanding padi hibrida yang tidak toleran (Yaqoob et al. 2012). Atlin et al. (2008)
berhasil mengidentifikasi dua hibrida yang memiliki potensi hasil tinggi saat
ditanam di lahan sawah yang memiliki irigasi minimum. Xie (2010) melaporkan
padi hibrida yang dikembangkan di lahan irigasi menunjukkan heterosis tinggi
pada saat dievaluasi pada kondisi tercekam kekeringan. Luo (2010) berhasil
merakit padi hibrida toleran kekeringan melalui tetua galur mandul jantan yang
juga toleran terhadap kekeringan.
Perakitan padi hibrida di Indonesia sampai saat ini menggunakan sistem tiga
galur terdiri atas galur mandul jantan (GMJ=A=CMS) sebagai tetua betina dan
galur pemulih kesuburan (R=restorer) sebagai tetua jantan. Galur pelestari
(B=maintainer) digunakan sebagai tetua jantan pada perbanyakan benih GMJ.
Sistem cytoplasmic male sterility (CMS) pada padi dimanfaatkan untuk
eksploitasi heterosis dan dapat menghasilkan hasil gabah tinggi apabila
dikombinasikan dengan galur restorer (pemulih kesuburan) yang efektif
(Nematzadeh & Kiani 2010).
Perbedaan sumber sitoplasma pada galur mandul jantan berhubungan erat
dengan perbedaan dalam hal mekanisme pengguguran serbuk sari, hubungan

2

pemulihan kesuburan, dan pelestari kemandulan. Sattari et al. (2008) melaporkan
hasil studi genetik terhadap GMJ tipe WA (subspesies Indica), Gambiaca
(subspesies Indica dari Afrika Barat), dan Dissi (subspesies Indica, DS 97A, dari
Senegal), menunjukkan bahwa galur pelestari dari satu GMJ dapat melestarikan
GMJ dengan tipe sitoplasma berbeda. Selain itu proses biologi yang mirip
mempengaruhi pemulihan kesuburan ketiga tipe sitoplasma tersebut. Hal ini
disebabkan ketiga GMJ tersebut berasal dari sistem sitoplasma yang sama yaitu
sporofitik. Penelitian Khrisnalata dan Sharma (2012) terhadap GMJ tipe WA dan
Kalinga menunjukkan bahwa galur yang dapat memelihara kemandulan dan
memulihkan kesuburan pada GMJ tipe WA tidak selalu dapat berperan sama pada
GMJ tipe Kalinga. Hal ini diduga karena adanya perbedaan gen pengendali
pemulihan kesuburan pada GMJ tipe WA dan Kalinga. Menurut Li et al. (2007),
GMJ tipe WA termasuk tipe sporofitik yang gugur serbuk sarinya pada fase
uninukleat sedangkan GMJ tipe Kalinga termasuk tipe gametofitik yang gugur
saat fase binukleat dan trinukleat. Namun demikian, Sahu et al. (2014)
melaporkan dari lima galur restorer yang diuji, satu galur dapat memulihkan baik
GMJ tipe WA maupun Kalinga.
Sebagian besar penelitian padi hibrida di Indonesia terarah pada CMS-WA
yang ditunjukkan dengan 90% varietas padi hibrida komersial menggunakan tipe
ini sebagai galur mandul jantan. Pada tahun 1970, sebesar 85% pertanaman
jagung hibrida di AS hancur karena Helminthosporium maydis yang
menyebabkan kerusakan parah terutama pada hibrida berbasis CMS-T (Sofi et al.
2007). Kasus serupa dapat mengancam pertanaman padi, akibat penanaman secara
monokultur pada lahan luas, jangka waktu lama, dan latar belakang genetik yang
sama. Untuk menghindari hal tersebut, maka penggunaan sistem CMS lainnya
pada perakitan padi hibrida sangat diperlukan (Toriyama et al. 2010).
IRRI telah mengidentifikasi beberapa sumber sitoplasma lain, antara lain
Gambiaca, Dissi, ARC, mutagen IR 62829B dan Kalinga (Virmani & Toledo
2000). Rumanti (2011) melalui disertasinya berhasil mengembangkan GMJ tipe
WA, Gambiaca dan Kalinga yang bereaksi tahan terhadap patogen HDB patotipe
III, berturut-turut yaitu BI 703A, BI 855A dan BI 669A. Namun kedua tipe GMJ
yaitu Kalinga dan Gambiaca tersebut belum banyak dieksplorasi keunggulannya
pada perakitan tanaman F1 hibrida di Indonesia.
Analisis molekuler untuk mengetahui gen-gen yang mengendalikan
pemulihan kesuburan pada CMS dengan tipe sitoplasma berbeda telah banyak
dilakukan. Melalui penggunaan marka RFLP, Zhang et al. (1997) berhasil
memetakan satu gen Rf pada kromosom nomor 1 (Rf3). Yao et al. (1997)
mengkonfirmasi keberadaan Rf3 pada kromosom nomor 1 dan memetakan gen Rf
lain yaitu Rf4 pada kromosom nomor 10 menggunakan marka RAPD dan RFLP.
Jing et al. (2001), memetakan gen Rf4 yang mempengaruhi pemulihan kesuburan
pada kromosom nomor 10 melalui marka SSLP sedangkan Zhang et al. (2002)
menggunakan marka RFLP untuk mengidentifikasi gen Rf4. Adapun Bazrkar et
al. (2008) berhasil menandai empat gen Rf untuk CMS-WA menggunakan marka
SSR pada kromosom nomor 1 (Rf3), 7 (Rf6), 10 (Rf4), dan 12 (Rf7) begitu pula Jie
et al. (2008) yang memetakan gen pemulih kesuburan pada kromosom nomor 1
dan 10 melalui marka SSR.
Serangkaian kegiatan penelitian dilakukan untuk membentuk F1 hibrida padi
toleran cekaman kekeringan dengan memanfaatkan tiga tipe galur mandul jantan

3

sitoplasmik WA, Kalinga, dan Gambiaca. Alur penelitian disajikan pada Gambar
1.

Gambar 1 Bagan alur kegiatan penelitian.

Perumusan Masalah
Pemanfaatan galur mandul jantan pada perakitan padi hibrida di Indonesia
sampai saat ini masih banyak menggunakan tipe sitoplasma Wild Abortive.
Penggunaan satu tipe sitoplasma dalam waktu yang lama dan terus menerus dapat
mempersempit keragaman genetik F1 hibrida yang dihasilkan sehingga rawan
terhadap cekaman baik biotik maupun abiotik. Rumanti (2011) melalui
disertasinya telah berhasil mengembangkan GMJ tipe Gambiaca dan Kalinga,
namun kedua tipe GMJ tersebut belum banyak dieksplorasi keunggulannya pada

4

perakitan tanaman F1 hibrida. Sementara itu perakitan hibrida toleran cekaman
kekeringan dapat menjadi salah satu alternatif solusi untuk memberikan kelebihan
hasil terutama untuk lahan sawah tadah hujan dan irigasi semi teknis.
Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan penelitian berkaitan dengan
upaya untuk memanfaatkan galur mandul jantan dengan tipe sitoplasma WA,
Kalinga, dan Gambiaca pada perakitan padi hibrida toleran kekeringan. Secara
khusus dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Adakah respon galur-galur tetua dan F1 padi hibrida dengan uji cepat terhadap
simulasi cekaman kekeringan pada fase perkecambahan.
2. Bagaimana daya gabung tetua padi hibrida dalam membentuk F1 hibrida
toleran simulasi cekaman perkecambahan dan berdaya hasil tinggi.
3. Adakah perbedaan gen pengendali pemulihan kesuburan GMJ tipe WA,
Kalinga, dan Gambiaca.
4. Adakah F1 padi hibrida yang memiliki potensi hasil lebih tinggi dibanding
varietas inbrida Limboto dan Ciherang, memiliki sifat agronomi baik serta
toleran terhadap cekaman kekeringan pada fase perkecambahan.

Tujuan Penelitian
1. Menyeleksi galur-galur tetua dan F1 hibrida padi hibrida dengan uji cepat
terhadap simulasi cekaman kekeringan pada fase perkecambahan.
2. Mengindentifikasi daya gabung umum dan khusus untuk karakter toleransi
terhadap simulasi cekaman kekeringan pada fase perkecambahan dari tetua dan
F1 hibrida.
3. Mengindentifikasi daya gabung umum dan khusus untuk karakter hasil dan
komponen hasil dari tetua dan F1 hibrida.
4. Memverifikasi gen pengendali pemulih kesuburan GMJ tipe WA, Kalinga, dan
Gambiaca.
5. Mendapatkan F1 padi hibrida dengan potensi hasil lebih tinggi dibanding
varietas inbrida Limboto dan Ciherang, memiliki sifat agronomi baik serta
toleran terhadap cekaman kekeringan.

Hipotesis
1. Terdapat galur tetua dan F1 hibrida padi hibrida yang toleran cekaman
kekeringan berdasarkan uji cepat menggunakan 25% PEG 6000 pada fase
perkecambahan.
2. Terdapat daya gabung yang baik antara GMJ dan galur pemulih kesuburan
untuk karakter-karakter toleransi terhadap cekaman kekeringan pada fase
perkecambahan.
3. Terdapat daya gabung yang baik antara GMJ dan galur pemulih kesuburan
untuk karakter hasil dan komponen hasil
4. Terdapat perbedaan secara genetik pengendali pemulih kesuburan pada GMJ
tipe WA, Kalinga, dan Gambiaca.
5. Terdapat kombinasi F1 hibrida padi baru potensi hasil tinggi dan toleran
simulasi cekaman kekeringan pada fase perkecambahan.

5

2. TINJAUAN PUSTAKA
Perakitan Padi Hibrida
Perakitan atau pemuliaan tanaman hibrida dilandasi oleh fenomena heterosis
yaitu suatu kecenderungan bahwa F1 akan tampil lebih baik dibandingkan dengan
salah satu atau rata-rata kedua tetuanya. Penampilan gejala heterosis atau vigor
hibrida dapat dinyatakan dengan berbagai indikator seperti hasil, tinggi tanaman,
sistim perakaran, jumlah malai, jumlah biji, kandungan lemak, kandungan protein,
besar tongkol, dan sebagainya (Virmani 2004). Pemanfaatan gejala heterosis
dalam produksi tanaman pertanian secara komersial adalah pembentukan varietas
hibrida.
Cytoplasmic male sterile (CMS) atau mandul jantan sitoplasma merupakan
kondisi ketidakmampuan tanaman untuk memproduksi serbuk sari fungsional
(Eckardt 2006). Sistem ini dimanfaatkan untuk memproduksi benih hibrida
beberapa jenis tanaman seperti: jagung, padi, kapas, dan tanaman sayuran lain
sehingga tanaman tersebut dapat meningkatkan produktifitas melalui fenomena
heterosis pada turunan pertama.
Padi merupakan tanaman menyerbuk sendiri yang secara alami bunga jantan
(serbuk sari) menyerbuki putik (bunga betina) pada bunga dan tanaman yang
sama. Penyerbukan silang pada dua tanaman padi yang berbeda untuk
menghasilkan benih hibrida dapat dimungkinkan jika bunga jantan pada tanaman
betina bersifat mandul atau dibuat tidak berfungsi yang dapat dibuat dengan cara
memasukkan gen CMS. Penggunaan gen CMS ini mengharuskan perakitan
varietas padi hibrida menggunakan tiga galur, yaitu galur mandul jantan (GMJ)
atau CMS (galur A), galur pelestari atau maintainer (galur B), dan galur pemulih
kesuburan atau restorer (galur R) (Yuan et al. 1994; Virmani 1994).

Gambar 2 Metode tiga galur pada perakitan padi hibrida.

6

Galur mandul jantan yang digunakan sebagai tetua betina, memiliki
sitoplasma mandul dan gen inti pemulih kesuburan resesif (gen rf) yang tidak
berfungsi sehingga galur ini akan tetap mandul jantan. Galur B mempunyai gen
inti resesif namun sitoplasma normal sehingga tanaman bersifat fertil (dapat
membentuk biji) dan dapat digunakan sebagai polinator untuk perbanyakan benih
GMJ. Galur R memiliki gen inti untuk pemulihan kesuburan dominan (gen Rf)
dan sitoplasma normal/mandul. Apabila galur GMJ disilangkan dengan galur R
maka akan terbentuk F1 hibrida dengan konstitusi genetik gen sitoplasma
mewarisi induknya (steril) namun gen inti bersifat heterozigot (Rfrf) sehingga
tanamannya bersifat fertil (Scnable & Wise 1998). Hubungan ketiga galur (A, B,
dan R) dapat dilihat pada Gambar 2.

Mekanisme Mandul Jantan dan Pemulihan Kesuburan
Male sterile (mandul jantan) merupakan fenomena gagal berfungsinya
kepala sari (anter) atau serbuk sari (polen) pada proses pembuahan. Beberapa
tanaman memanfaatkan mekanisme ini untuk produksi benih hibrida secara
komersial, antara lain pada jagung, tomat, sorgum, dan padi. Karakter ini
diturunkan secara maternal dan berkaitan erat dengan ketidaknormalan open
reading frame (ORF) pada genom mitokondria (Hanson & Bentolila 2004)
sehingga menyebabkan gangguan fertilitas. Sterilitas yang terjadi ini dapat
dipulihkan oleh gen Rf (restorer of fertility gene) dalam inti sel yang berfungsi
untuk memulihkan kesuburan. Sistem CMS/Rf terjadi karena adanya interaksi
antara genom inti dan mitokondria.
Menurut Yuan et al. (2003), berdasarkan perilaku genetik dari gen Ms galur
mandul jantan padi diklasifikasikan menjadi tipe sporofitik dan gametofitik. Pada
mandul jantan tipe sporofitik, sterilitas atau fertilitas serbuk sari ditentukan oleh
genotipe sporofit. Apabila genotipe sporofitiknya S (rfrf), maka semua serbuk sari
akan mengalami aborsi. Sebaliknya, jika genotipenya N (RfRf) atau S (RfRf),
maka semua serbuk sari akan fertil. Bahkan saat genotipe sporofitnya adalah S
(Rfrf) dan memproduksi dua macam gamet yaitu S (Rf) dan S (rf), maka semua
serbuk sari tetap fertil karena fertilitas serbuk sari ditentukan oleh gen pemulih
kesuburan dominan Rf yang ada pada genotipe sporofit. Beberapa GMJ yang
tergolong tipe ini antara lain Wild Abortive (WA) dan Gambiaca (Gam). Pada
kedua GMJ tersebut, gugurnya serbuk sari terjadi pada fase awal perkembangan
mikrospora. Pada GMJ tipe gametofitik, fertilitas GMJ gametofitik ditentukan
oleh genotipe gametofit (serbuk sari) saja. Gen inti, Rf, dan rf pada gametofit,
berturut-turut akan menentukan fertilitas dan sterilitas serbuk sari. Pengguguran
serbuk sari biasanya terjadi pada fase akhir perkembangan mikrospora. Termasuk
pada tipe ini adalah GMJ Kalinga. Malai dari galur tipe ini biasanya hanya sedikit
tertutup oleh pelepah daun bendera atau bahkan tidak tertutup sama sekali (Satoto
& Rumanti 2011).
Aksi sitoplasma dikendalikan oleh male sterility dimodifikasi dengan aksi
gen fertility restoring (Rf) yang berlokasi di kromosom inti. Kehadiran alel Rf
dominan dan sitoplasma steril menyebabkan antera memproduksi serbuk sari
viabel. Apabila pada inti terdapat alel rf resesif, male sterile akan terekspresi.

7

Tetua dengan sitoplasma steril dan gen rfrf digunakan sebagai tetua betina
sedangkan gen Rf berkontribusi sebagai tetua jantan.

Toleransi Kekeringan
Salah satu kendala produksi padi lahan sawah tadah hujan adalah ancaman
cekaman kekeringan (Mackill et al. l996). Penggunaan varietas toleran cekaman
kekeringan dapat mengurangi ketidastabilan hasil padi sawah tadah hujan (Curtois
et al. 2008; Babu et al. l996). Selain itu varietas unggul padi yang adaptif pada
kondisi cekaman kekeringan menjadi salah satu komponen teknologi yang penting
untuk mengantisipasi dampak pemanasan global khususnya lahan-lahan rawan
cekaman kekeringan.
Pengembangan galur-galur toleran kekeringan di Indonesia saat ini masih
terfokus pada padi inbrida. Susanto et al. (2012) mengidentifikasi enam galur
inbrida yang ditanam pada lahan sawah irigasi tercekam kekeringan dengan hasil
lebih tinggi dibanding Inpari 10 dan Situ Bagendit. Varietas gogo hasil rakitan
pemulia BB Padi yang toleran terhadap cekaman kekeringan untuk lahan tadah
hujan antara lain: Limboto, Batutugi, Situ Bagendit, Inpago 4, Inpago5, dan
Inpago 6. Varietas padi sawah inbrida yang toleran kekeringan antara lain:
Dodokan, Silugonggo, dan Inpari 10 Laeya (BB Padi 2014).
Beberapa faktor yang menyebabkan penurunan produksi gabah padi akibat
cekaman kekeringan antara lain: terhambatnya pertumbuhan daun dan anakan
produktif (Kramer & Boyer 1995) serta menurunnya tingkat fotosintesis dan area
daun akibat senesen yang terjadi lebih awal (Nooden 1988). Cekaman kekeringan
dapat mengakibatkan proses sintesis karbohidrat turun secara perlahan dan
metabolisme sink menjadi terhambat pada saat fase reproduksi sehingga diikuti
dengan menurunnya fertilitas spikelet (Rahman et al. 2002). Penurunan potensial
air di luar sel memproduksi larutan di dalam sel yang lebih rendah tekanan
osmotiknya sehingga menyebabkan turgor turun. Fenotipe yang terlihat jelas pada
tanaman adalah penggulungan daun (Ji et al. 2012). Menurut Clarke (1986),
penggulungan daun merupakan salah satu respon tanaman pada saat air di
sekitarnya mengalami defisit, hal ini adalah mekanisme alami untuk mengurangi
transpirasi secara berlebihan. Pada kondisi cekaman kekeringan pertumbuhan akar
pada tanaman yang mampu beradaptasi akan terlihat lebih panjang menembus ke
dalam tanah sebagai salah satu respon kurangnya cakupan air (Ji et al. 2012).
Menurut Turner (1979), beberapa mekanisme yang dapat terjadi pada saat
tanaman mengalami cekaman kekeringan antara lain: (1) tanaman melepaskan diri
dari cekaman kekeringan (drought escape) dengan menyelesaikan siklus hidupnya
sebelum mengalami cekaman yang lebih berat, mekanisme yang biasa dilakukan
adalah berbunga lebih awal atau daun menggulung, (2) tanaman bertahan terhadap
kekeringan dengan mempertahankan potensi air yang tinggi dalam jaringan atau
yang biasa dikenal sehingga terhindar dari kekeringan (drought avoidance), (3)
tanaman mempertahankan fungsi organ walaupun potensi air jaringan yang
rendah (drought tolerance), dan (4) tanaman dapat memulihkan kondisinya
setelah terkena cekaman kekeringan (drought recovery) (Blum 1980). Adapun
respon tanaman terhadap kekeringan tergantung sifat dasar tanaman seperti:
tanggap fisiologi (penutupan stomata), aklimatisasi (peningkatan potensial
osmotik, perubahan elastisitas dinding sel, perubahan morfologi) dan adaptasi

8

(alokasi biomassa, modifikasi anatomi spesifik, mekanisme fisiologi yang lebih
rumit) terhadap kekeringan (Pugnaire et al. 2004)
Fenomena heterosis pada padi hibrida salah satunya mencakup peningkatan
volume perakaran yang menyebabkan kemampuan penyerapan air dari lapisan
tanah yang lebih dalam sehingga tanaman bisa terhindar dari kekeringan. Menurut
Fukai et al. (1999), hal tersebut merupakan salah satu mekanisme toleransi
tanaman terhadap cekaman kekeringan. Fukai dan Cooper (1995) menyatakan
bahwa padi hibrida toleran merupakan padi yang pada kondisi tercekam
kekeringan tetap dapat memberikan hasil gabah lebih tinggi dibanding padi
inbrida. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi tercekam
kekeringan, padi hibrida mampu memberikan hasil lebih tinggi dibanding dengan
padi inbrida (Villa et al. 2012; Yaqoob et al. 2012)
Beberapa metode seleksi untuk tanaman toleran cekaman kekeringan telah
dilakukan. Breseghello et al. (2008) melakukan seleksi padi secara langsung pada
kondisi lahan sawah tadah hujan yang tercekam kekeringan. Seleksi secara tidak
langsung dilakukan dengan mengkondisikan laboratorium atau rumah kaca serupa
dengan kondisi cekaman kekeringan. Di laboratorium, seleksi umumnya
dilakukan dengan menggunakan PEG (polyethylene glycol) baik pada kultur in
vitro (Lestari & Mariska 2006) atau fase perkecambahan (Cahyadi et al. 2013).
Afa et al. (2012) dengan menggunakan PEG 6000 konsentrasi 25% (setara dengan
-0.99 MPa atau -9.9 Bar), berhasil mendapatkan tiga galur hibrida dan satu
varietas unggul hibrida yaitu Maro yang menunjukkan toleransi kekeringan setara
dengan Limboto. Seleksi secara tidak langsung di rumah kaca, umumnya
dilakukan pada fase vegetatif dengan menggunakan media pasir (Efendi 2009),
media campuran perlit dan tanah (Praba et al. 2009), atau campuran parafin dan
vaselin untuk menguji daya tembus akar (Suardi 2002).
Senyawa PEG telah dikenal secara luas dapat menginduksi terjadinya
cekaman terhadap air pada tahap awal pertumbuhan sehingga menyebabkan
terjadinya kondisi kekeringan (Badiane et al. 2004). Beberapa penelitian
menggunakan PEG untuk skrining benih terhadap kekeringan dengan
memperhitungkan indeks kekeringan (Bouslama & Schapaugh 1984). Menurut
Ariyanti (2011) pemberian larutan PEG 6000 dengan konsentrasi yang semakin
pekat akan menurunkan kecepatan berkecambah dan pertumbuhan kecambah.
Penurunan pertumbuhan akar dan tunas disebabkan karena PEG mengikat air
sehingga air menjadi tidak tersedia bagi kecambah (Verslues et al. 2006).
Berkurangnya air yang masuk ke dalam kecambah menyebabkan kurang
sempurnanya proses perkecambahan terutama pada radikula, hal ini dapat menjadi
indikator pengujian cekaman kekeringan (Kamil, 1979).
Penelitian Jiang dan Latiffe (2007) menunjukkan perlakuan PEG pada fase
perkecambahan dapat menyebabkan penurunan panjang tunas dan akar seminal
mencapai 64.53 dan 58.22% serta penurunan bobot kering tunas dan akar seminal
sebesar 58.22 dan 54.36%. Umumnya, genotipe yang toleran kekeringan
menunjukkan penurunan yang rendah disebabkan oleh PEG. Berdasarkan
penelitian Jiang dan Latiffe (2007), senyawa PEG dapat digunakan untuk
mengindentifikasi kemampuan toleransi kekeringan pada padi. Namun demikian
masih perlu modifikasi untuk penggunaan PEG 6000 sebagai agen penyeleksi
cekaman kekeringan.

9

Pemanfaatan Marka Molekuler pada Padi Hibrida
Padi merupakan salah satu tanaman yang berkembang pesat dalam hal
penelitian secara molekuler. Hal tersebut didasarkan pada ukuran genom padi
yang kecil dan relatif sedikit jumlah DNA berulang, bersifat diploid, dan
kemudahan dalam pengkulturan jaringan. Sejak dekade 1990, penelitian
molekuler padi semakin banyak dilakukan (Akhmadikhah et al. 2007). Teknik
molekuler telah banyak diterapkan pada pemuliaan padi hibrida antara lain: studi
pemulihan kesuburan pada GMJ dengan sumber sitoplasma berbeda,
mengidentifikasi lokus yang bertanggungjawab terhadap fertilitas, dan marka
molekuler yang terpaut dengan gen Rf, mengetahui keragaman genetik galur-galur
tetua, dan memanfaatkan marker assisted selection untuk mempercepat proses
perakitan padi hibrida (Jing et al. 2001; Xu 2002; Sattari et al. 2008; Ghara et al.
2012). Selain itu, Kumar et al. (2012) memanfaatkan teknik molekuler untuk
mengidentifikasi dan monitoring kemurnian benih padi hibrida.
Penanda morfologi digunakan untuk mengindentifikasi galur mandul jantan,
pelestari, atau pemulih kesuburan seperti bentuk gabah, sterilitas atau fertilitas
serbuk sari, bentuk tanaman dan sebagainya (Shah et al. 2012). Kelemahan
penanda morfologi, seperti rendahnya kontrol genetik dan besarnya pengaruh
lingkungan terhadap ekspresi fenotipik menyebabkan ketidakstabilan hasil pada
analisis keragaman. Oleh karena itu, marka molekuler dapat dimanfaatkan untuk
perakitan tetua padi hibrida.
Penemuan gen-gen yang mengendalikan karakter penting pada tanaman
dapat digunakan sebagai marker assisted selection (MAS), meningkatkan
perakitan varietas unggul baru, dan menemukan alel-alel baru pada plasma nutfah.
Salah satu kemajuan dalam teknik molekuler adalah pengembangan marka SSR
atau mikrosatelit (McCouch et al. 1997). Marka ini polimorfik sehingga dapat
digunakan untuk mendeteksi genotipe yang dekat kekerabatannya dan mudah
dideteksi. Mikrosatelit atau SSR (simple sequens repeat) merupakan tandem
arrays dari 2-5 pasangan basa nukleotida berulang. Penanda atau marka SSR
merupakan penanda genetik yang teruji karena dapat mendeteksi keanekaragaman
alel tingkat tinggi, bersifat ko-dominan, berbasis reaksi PCR (polymerase chain
reaction), mudah diaplikasikan dan ekonomis (Jain et al. 2004). Kelebihan utama
dari teknik ini yaitu ketelitian dalam pembacaan fragmen DNA (sampai 1 bp) dan
dalam sekali pendeteksian dapat diproses marka yang berbeda ukuran fragmen
DNA (Santoso et al. 2006).
Marka SSR telah digunakan untuk mempelajari keragaman genetik dan
pemetaan gen pemulih kesuburan (Ahmadikhah et al. 2007; Jing et al. 2001;
Bazrkar et al. 2008; Sheeba et al. 2006; Sattari et al. 2008; Shah et al. 2012).
Selain itu, marka SSR juga telah digunakan untuk membantu pengelompokan
tetua hibrida. Pengelompokan menggunakan marka SSR terbukti sama dengan
pengelompokan berdasar informasi silsilah tetua (Xangsayasane et al. 2010; Xu et
al. 2002). Tasliah et al. (2004), Zainal dan Bahagiawati (2005), dan Victoria et al.
(2007) melaporkan marka SSR dan RAPD mampu mendeteksi jarak genetik pada
padi selain menggunakan karakter morfologi.
Pengelompokan tetua padi hibrida jenis Indica oleh Wang et al. (2006)
menunjukkan bahwa perbedaan jarak genetik antar varietas ditentukan oleh
karakter morfologi dan marka SSR. Karakter morfologi padi yang berkontribusi

10

pada studi pengelompokan untuk menentukan jarak genetik antara lain: panjang
malai, bobot malai jumlah gabah/malai, persentase pengisian gabah, dan hasil
gabah (Kulsum et al. 2011; Hasan et al. 2013). Proses identifikasi, evaluasi, dan
karakterisasi genotipe padi baik secara morfologi maupun level molekuler untuk
mengetahui dasar perbedaan genetik merupakan hal yang penting dalam perakitan
varietas baru (Ogunbayo et al. 2005).
Galur mandul jantan tipe WA disebabkan oleh kemandulan sitoplasma yang
berasal dari wild rice dan bersifat sporofitik. Tipe WA telah digunakan secara luas
pada produksi benih padi hibrida subspesies Indica. Melalui analisis molekuler,
dua gen pemulihan kesuburan yaitu Rf3 dan Rf4 digunakan untuk produksi serbuk
sari yang viabel pada GMJ tipe WA dan gen tersebut telah dipetakan pada
kromosom masing-masing nomor 1 dan 10 (Yao et al. 1997; Bazrkar et al. 2008;
Jie et al. 2008; Alavi et al. 2009). Hasil pemetaan genetik menunjukkan bahwa
pemulihan kesuburan GMJ tipe WA dan Dissi dikendalikan oleh gen Rf3 dan Rf4,
sedangkan GMJ tipe Gambiaca hanya dikendalikan oleh gen Rf3. Studi genetik
terhadap ketiga tipe sitoplasma tersebut menunjukkan bahwa galur pelestari dari
satu CMS dapat melestarikan CMS dengan tipe sitoplasma berbeda, selain itu
proses biologi yang mirip mempengaruhi pemulihan kesuburan ketiga tipe
sitoplasma tersebut (Sattari et al. 2008). Pencarian gen restorer yang
bertanggungjawab terhadap pemulihan kesuburan suatu GMJ merupakan
pendekatan yang dianggap efektif dan efisien karena fenotiping galur restorer
umumnya menyita waktu dan membutuhkan penentuan fertilitas spikelet melalui
uji testcross.

11

3 IDENTIFIKASI TOLERANSI KEKERINGAN TETUA DAN
F1 PADI HIBRIDA PADA FASE PERKECAMBAHAN
MENGGUNAKAN POLIETILEN GLIKOL (PEG) 6000
KONSENTRASI 25%
Abstrak
Perakitan padi hibrida toleran cekaman kekeringan memerlukan tetua yang
memiliki toleransi terhadap kekeringan. Polietilen glikol (PEG) telah banyak
digunakan sebagai larutan osmotik untuk mendeteksi toleransi kekeringan pada
fase perkecambahan padi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi beberapa
variabel toleransi terhadap simulasi cekaman kekeringan selama fase
perkecambahan dan menyeleksi galur-galur tetua serta F1 padi hibrida toleran
cekaman kekeringan melalui uji cepat PEG 6000 pada konsentrasi 25%.
Percobaan dilakukan di rumah kaca BB Biogen Cimanggu Bogor, menggunakan
rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT)