Tingkat keefektifan Sycanus annulicornis Dohrn [Hemiptera: Reduviidae) untuk mengendalikan Crocidolomia pravonna Zeller [Lepidoptera: Pyralidae] pada tanaman kubis [Brassicea Linn]

Tingkat Keefektifan Sycanus annulicornis Dohrn
(Hemiptera: Reduviidae) untuk Mengendalikan
Crocidolomia pavonana Zeller (Lepidoptera: Pyralidae) pada
Tanaman Kubis (Brassicea oleracea Linn)

SITI FITRIYANI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

ABSTRAK

SITI FITRIYANI. Tingkat Keefektifan Sycanus annulicornis Dohrn
(Hemiptera: Reduviidae) untuk Mengendalikan Crocidolomia pavonana Zeller
(Lepidoptera: Pyralidae) pada Tanaman Kubis (Brassicea oleracea Linn).
Dibimbing oleh DADAN HINDAYANA.
Kubis merupakan salah satu komoditas yang sangat diminati oleh
masyarakat, terbukti dengan permintaan kubis yang meningkat setiap tahun.
Dalam peningkatan produktivitas kubis terdapat kendala yang sangat penting

yaitu adanya gangguan C. pavonana dan Plutella xylostella. Selama ini petani
kubis melakukan pengendalian hama-hama tersebut dengan insektisida sintetik
karena belum ditemukannya musuh alami yang cocok. Oleh karena itu, dilakukan
eksplorasi kepik predator, S. annulicornis (Hemiptera: Reduviidae) untuk
mengendalikan C. pavonana. S. annulicornis merupakan salah satu predator
yang potensial, bersifat generalis, memiliki kemampuan beradaptasi diberbagai
agroekosistem dan kemampuan memangsa yang cukup tinggi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat keefektifan S. annulicornis yang dapat
mengurangi intensitas serangan yang disebabkan oleh C. pavonana. Metode yang
dilakukan yaitu dengan cara menginvestasikan larva C. pavonana dan
mengintroduksikan imago S. annulicornis ke tanaman kubis yang kemudian
tanaman tersebut dimasukkan ke kurungan (60 cm x 50 cm x 50 cm). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa introduksi 1 ekor S. annulicornis jantan, 1 ekor S.
annulicornis betina, dan 1 pasang S. annulicornis dapat menurunkan intensitas
serangan C. pavonana dan berbeda nyata dibanding kontrol dengan nilai masingmasing sebesar (22400.83±9448.50 mm2), (13343.07±5688.20 mm2),
(2388.13±631.17 mm2), dan (65492.83±15568.00 mm2). Intensitas serangan C.
pavonana menurun karena terjadi pemangsaan oleh S. annulicornis. Satu pasang
S. annulicornis mampu memangsa lebih banyak dibandingkan 1 ekor S.
annulicornis jantan dan 1 ekor S. annulicornis betina.  
 

 
 
 
 
 

Tingkat Keefektifan Sycanus annulicornis Dohrn
(Hemiptera: Reduviidae) untuk Mengendalikan
Crocidolomia pavonana Zeller (Lepidoptera: Pyralidae) pada
Tanaman Kubis (Brassicea oleracea Linn)

SITI FITRIYANI
A34050286

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor


DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi

: Tingkat Keefektifan Sycanus
annulicornis Dohrn
(Hemiptera:
Reduviidae)
untuk
Mengendalikan
Crocidolomia pavonana Zeller (Lepidoptera: Pyralidae) pada
Tanaman Kubis (Brassicea oleracea Linn)

Nama


: Siti Fitriyani

NRP

: A34050286

Departemen

: Proteksi Tanaman

Disetujui,
Pembimbing

Dr. Ir. Dadan Hindayana
NIP 132 010 247

Diketahui,
Ketua Departemen

Dr. Ir. Dadang, M.Sc.

NIP 196402041990021002

Tanggal lulus :

RIWAYAT HIDUP
 

Penulis dilahirkan di Kota Bogor pada tanggal 7 September 1987. Penulis
merupakan anak dari keluarga Bapak M. Sukri dan Ibu S. Sopiah.
Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri Babakan Dramaga 5 pada
tahun 1999, SLTP Negeri 1 Dramaga pada tahun 2002, dan SMU Kornita pada
tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan
Seleksi Mahasiswa IPB (USMI).

Pada tahun 2006, penulis diterima di

Departemen Proteksi Tanaman.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif dalam kegiatan
kemahasiswaan, diantaranya sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Proteksi
Tanaman (HIMASITA) Biro Sumber Daya Manusia pada masa periode 20072008. Panitia Musyawarah Nasional Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman

Indonesia pada tahun 2008, panitia Olimpiade Mahasiswa IPB 2008.
Penulis memiliki pengalaman kerja sebagai asisten pada mata kuliah Ilmu
Hama Tumbuhan Dasar tahun 2008 dan Dasar-dasar Perlindungan Tanaman tahun
2009.

 
 
 
 
 
 

PRAKATA
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Tingkat Keefektifan Sycanus
annulicornis Dohrn (Hemiptera: Reduviidae) untuk Mengendalikan Crocidolomia
pavonana (Lepidoptera: Pyralidae) pada Tanaman Kubis (Brassicea oleracea
Linn)”.
Penelitian


ini

dilaksanakan

di

Laboratorium

Ekologi

Serangga,

Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada
bulan Februari sampai bulan Mei 2009.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Dadan Hindayana selaku dosen pembimbing dalam penelitian dan
penyusunan skripsi
2. Dr. Ir. Supramana, M.Si selaku dosen penguji pada tugas akhir
3. Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si selaku dosen pembimbing akademik
4. Kedua orang tua yang senantiasa memberikan dukungan dan doanya

5. Pak Wawan, Pak Saodik, Pak Karto, dan Pak Ucup selaku laboran atas
bantuannya
6. Para sahabat (Nia, Putri, Laweh, Pipit, Manga, Cindy, Lina, Amri, Lani) atas
segala saran, kritik, kebersamaan dan kenangan yang indah selama penulis
menempuh studi di IPB
7. Dhany Habryansyah atas segala motivasinya
8. Sahabat-sahabat angkatan 42, 43, 44 atas suka dan citanya
Semoga kebaikan yang telah diberikan memperoleh balasan yang lebih
dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, namun penulis berharap karya ini dapat memberikan manfaat bagi
dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2009

Siti Fitriyani

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL .....................................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

ix

PENDAHULUAN ..................................................................................

1

Latar Belakang ...............................................................................

1


Tujuan Penelitian ...........................................................................

3

TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................

3

Tanaman Kubis ...............................................................................

4

Bioekologi C. pavonana ..................................................................

6

Bioekologi S. annulicornis...............................................................

8


BAHAN DAN METODE ........................................................................

9

Tempat dan Waktu .........................................................................

9

Bahan dan Alat ...............................................................................

9

Metode Penelitian ............................................................................

9

Analisis Data ..................................................................................

12

HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................

13

Tingkat Keefektifan S. annulicornis ..............................................

13

Tingkat Pemangsaan ......................................................................

15

C. pavonana yang hidup hingga 20 HSI .......................................

16

KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................

19

Kesimpulan .....................................................................................

19

Saran ..............................................................................................

19

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................

20

LAMPIRAN ............................................................................................

21 

 
 
 
 

DAFTAR TABEL

Halaman
1. Permintaan ekspor, produksi, dan produktivitas kubis .....................

5

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Intensitas serangan C. pavonana pada perlakuan kontrol, perlakuan 1
ekor S. annulicornis jantan (P1), perlakuan 1 ekor S. annulicornis
betina (P2), dan perlakuan 1 pasang S. annulicornis (1ekor jantan +
1 ekor betina) (P3) .............................................................................

13

2.

C. pavonana ......................................................................................

14

3.

S. annulicornis ...................................................................................

14

4. Persentase C. pavonana yang dimangsa selama 10 HSI pada
perlakuan 1 ekor S. annulicornis jantan (P1), perlakuan 1 ekor S.
annulicornis betina (P2), dan perlakuan 1 pasang S. annulicornis
(1ekor jantan + 1 ekor betina) (P3) ..................................................

15

5. Jumlah C. pavonana yang mampu bertahan hidup hingga 20 HSI
pada perlakuan kontrol, perlakuan 1 ekor S. annulicornis jantan
(P1), perlakuan 1 ekor S. annulicornis betina (P2), dan perlakuan 1
pasang S. annulicornis (1ekor jantan + 1 ekor betina) (P3) ..............

17

1.

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Hasil analisis ragam pengaruh S. annulicornis terhadap intensitas
serangan C. pavonana pada daun kubis ............................................

24

2. Hasil analisis ragam intensitas serangan C. pavonana pada daun
kubis dalam RAL In Time ................................................................

24

3. Intensitas serangan yang disebabkan C. pavonana ..........................

24

4. Tingkat pemangsaan C. pavonana oleh S. annulicornis ..................

25

5. Persentase C. pavonana yang bertahan hidup hingga 20 HSI ..........

25

6. Foto gejala yang disebabkan C. pavonana ........................................

27

7. Foto S. annulicornis (Jantan dan Betina) ..........................................

27

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kubis atau kol (Brassicea oleracea Linn) merupakan salah satu komoditi
sayuran yang produktivitasnya mendapat prioritas untuk ditingkatkan. Komoditi
ini adalah salah satu sumber vitamin C, vitamin A, vitamin B 1, mineral kalsium,
kalium, klor, fosfor, sodium dan sulfur, serta senyawa anti kanker. Permintaan
terhadap sayuran termasuk kubis di Indonesia setiap tahunnya meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan masyarakat,
kesadaran gizi masyarakat, dan permintaan ekspor. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistika (2008) menunjukkan adanya peningkatan permintaan kubis yang
diekspor dari 32.665 ton pada tahun 2006 menjadi 45.323 ton pada tahun 2007.
Tingginya permintaan akan sayuran kubis, menstimulir para pelaku pertanian
untuk dapat meningkatkan produktivitas sayuran kubis baik secara kualitas
maupun kuantitas sesuai dengan permintaan pasar.
Produktivitas kubis di Indonesia sejak tahun 2004 hingga tahun 2007
mengalami peningkatan dan penurunan. Peningkatan terjadi pada tahun 2005
yang mencapai nilai produktivitas 22.38 ton/hektar dari 21.06 ton/hektar pada
tahun 2004. Setelah tahun 2005, terjadi penurunan yaitu nilai produkivitas 21.96
ton/hektar pada tahun 2006 kemudian menjadi 21.23 ton/hektar pada tahun 2007
(Ditjen Hortikultura 2008).

Akan tetapi angka produktivitas ini masih dapat

ditingkatkan dengan cara budidaya tanaman yang lebih baik dan pengendalian
OPT yang tepat, sehingga kehilangan hasil dapat ditekan.
Kendala-kendala yang dapat menghambat atau menurunkan produktivitas
sayuran kubis antara lain areal pertanaman yang semakin menurun, kondisi tanah
yang miskin akan unsur hara, pemupukan yang tidak berimbang, cuaca dan iklim,
serta kendala yang tidak kalah penting yaitu adanya gangguan organisme
pengganggu tanaman (OPT). OPT yang kerap menjadi masalah penting pada
budidaya kubis adalah hama dan penyakit tanaman. Hama-hama yang sering
menyerang tanaman kubis yaitu ulat krop (Crocidolomia pavonana), ulat daun
kubis (Plutella xylostella), ulat tanah (Agrotis ipsilon), kutu daun (Aphis
brassicae), dan bangsa siput.

Sedangkan penyakit yang sering menyerang

2
 

tanaman kubis yaitu penyakit busuk hitam (Xanthomonas campestris), busuk
lunak (Erwinia carotovora), dan penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae)
(Adiyoga 2004).
Kehilangan hasil yang cukup besar disebabkan oleh ulat krop (C. pavonana)
dan ulat daun kubis (P. xylostella) mencapai kerugian sebesar 79.81%
(Herminanto 2007).

Untuk mengendalikan hama-hama tersebut, petani kubis

menggunakan pengendalian dengan menggunakan insektisida sintetik karena
belum ditemukannya musuh alami yang cocok.

Musuh alami yang berperan

sebagai parasitoid pada P. xylostella sudah ditemukan sejak tahun 1930 dengan
mendatangkan Diadegma semiclausum ke Indonesia, namun musuh alami yang
cocok bagi C. pavonana belum ditemukan karena sifat pertahanan yang dimiliki
C. pavonana yang mampu mengenkapsulasi parasitoid yang masuk dalam telur
maupun tubuh larva C. pavonana ini. Oleh karena itu petani masih menggunakan
insektisida sintetik untuk mengendalikan kedua hama tersebut.

Jika petani

melakukan pengendalian dengan memanfaatkan D. semiclausum saja maka akan
terjadi peledakan populasi C. pavonana.

Sedangkan jika petani melakukan

pengendalian dengan menggunakan insektisida sintetik untuk mengendalikan C.
pavonana maka akan terjadi penurunan populasi D. semiclausum sebagai musuh
alami P. xylostella. Selain itu juga penggunaan insektisida sintetik dapat melekat
pada sayuran dan menyebabkan tingkat residu pestisida sintetik yang tinggi.
Padahal pada era globalisasi ini kelestarian sumber daya alam dan lingkungan
hidup mendapat prioritas utama untuk diperhatikan.

Penggunaan pestisida

kimiawi dapat menyebabkan pencemaran sumber daya alam dan lingkungan hidup
serta akhir-akhir ini sangat gencar berita tentang penolakan komoditi pertanian
dengan tingkat residu yang tinggi. Oleh karena itu pengendalian OPT secara
terpadu yang dinamis perlu dikembangkan secara berkesinambungan. Terobosan
teknologi pengendalian OPT yang ramah lingkungan perlu dikembangkan untuk
menjawab isu pencemaran lingkungan.
Mencermati permasalahan tersebut, maka diperlukan suatu eksplorasi
musuh alami yang cocok untuk mengendalikan C. pavonana. Musuh alami yang
ingin dieksplor adalah kepik predator Sycanus annulicornis (Hemiptera:
Reduviidae). S. annulicornis merupakan salah satu musuh alami yang potensial,

3
 

bersifat generalis, memiliki kemampuan beradaptasi diberbagai agroekosistem
dan pemangsaan yang cukup baik (mampu memangsa pada berbagai fase) dengan
kemampuan memangsa mencapai 4,7 ekor per hari (De Clercq 2000).

Di

Indonesia, Sycanus sp. pernah dilaporkan menjadi predator utama penghisap daun,
Helopeltis antonii Sign (Hemiptera: Miridae) pada tanaman teh (Kalshoven 1981).
Kepik predator ini memiliki kisaran inang yang luas terutama dari ordo
Lepidoptera (Manley 1982). Menurut Cahyadi (2004), tingkat pemangsaan C.
pavonana oleh S. annulicornis mencapai 3 ekor larva per hari.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keefektifan S.
annulicornis sebagai musuh alami yang dapat mengurangi intensitas serangan
yang disebabkan oleh hama krop kubis yaitu C. pavonana dan mengetahui tingkat
pemangsaan S. annulicornis terhadap C. pavonana.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Kubis
Sejarah Tanaman Kubis
Kubis merupakan kelompok tanaman yang dikenal sebagai cole crops.
Kata "cole" berasal dari kata “col” di Middle English. Orang Romawi menyebut
tanaman ini sebagai "caulis", sedangkan orang Yunani menyebutnya sebagai
"kaulion". Kesemua kata tersebut pada dasarnya berarti batang. Kubis yang
dibudidayakan di Indonesia ada dua jenis, yaitu (1) Jenis semusim (annual type) –
tipe kubis yang dapat tumbuh, berkrop, berbunga dan berbiji di daerah tropis pada
umumnya dan Indonesia pada khususnya, tanpa memerlukan periode pendinginan
terlebih dahulu; (2) Jenis dwi musim (biennial type) – dapat tumbuh di daerah
tropis namun tidak dapat berbunga secara alami karena tidak adanya musim
dingin panjang untuk merangsang pembungaannya. Jenis dwi musim inilah yang
banyak diminta konsumen karena kropnya keras/padat, tidak rapuk dan tidak
renyah seperti kubis semusim (Adiyoga 2004).
Arti Penting Tanaman Kubis
Keluarga kol (kubis) ternyata banyak sekali jenisnya, diantaranya yang
dikenal adalah sawi hijau, sawi putih, kembang kol, kailan, kolrabi, salad air dan
brokoli. Semua keluarga kubis-kubisan mengandung senyawa anti kanker dan
merupakan sumber vitamin C, vitamin A vitamin B 1, mineral, kalsium, kalium,
klor, fosfor, sodium dan sulfur. Kandungan serat kasar pada kol sangat tinggi
sehingga dapat memperkecil resiko penyakit kanker lambung dan usus (Adiyoga
2004).
Hasil penelitian di Amerika membuktikan bahwa kol yang dikonsumsi
dalam keadaan mentah atau yang telah dimasak dapat mengurangi terjadinya
kanker usus besar sebanyak 66%. Manfaat lain dari kol adalah dapat mencegah
dan menyembuhkan luka lambung, menstimulasi kekebalan, menurunkan kadar
kolesterol dalam darah serta dapat mencegah infeksi karena jamur.
Jenis sayuran ini tidak saja akrab menjadi hidangan sayuran orang
Indonesia, tetapi juga oleh warga Cina dan Singapura, bahkan rata-rata

 

5
 

konsumsinya mencapai 40 g/hari atau tiga kali lebih tinggi daripada orang
Amerika. Dari beberapa hasil studi epidemologi, dilaporkan bahwa konsumsi
kubis-kubisan seperti kubis putih dan merah, brokoli, kembang kol, kale, lobak,
dan seledri air dapat menurunkan risiko bergagai jenis kanker, yaitu kanker
payudara, prostat, ginjal, kolon, kandung kemih dan paru-paru. Pada kanker
prostat, konsumsi tiga atau lebih porsi sayuran tersebut mampu menurunkan
risikonya dibanding konsumsi hanya satu porsi per minggu. Demikian halnya,
konsumsi sayuran Brassica sebanyak 1-2 porsi/hari dilaporkan dapat menurunkan
risiko kanker payudara sebesar 20-40% (Adiyoga 2004).
Syarat Pertumbuhan Kubis
Tanaman kubis dapat hidup pada suhu udara 10-24 0C dengan suhu
optimum 17 0C. Tanaman kubis ini akan hidup baik pada kisaran kelembaban
udara 60-90%. Jika kelembaban di atas 90% maka muncul penyakit busuk lunak
barair, penyakit semai rebah dan penyakit lain yang sebabkan oleh cendawan.
Kondisi fisik tanah yang sesuai untuk pertanaman kubis adalah tanah yang
bertekstur sedang, yaitu liat berpasir, gembur, subur, dan banyak mengandung air.
Kubis dapat tumbuh optimal ketinggian tempat pada 200-2000 m dpl (Adiyoga
2004).
Permintaan Ekspor, Produksi, dan Produktivitas Kubis
Tabel 1 Permintaan ekspor, produksi, dan produktivitas kubis
Volume
Tahun

Ekspor (Ton)

2003
2004
2005
2006
2007
Sumber: BPS 2008

40.812
32.998
35.912
32.665
45.323

Produksi (Ton)
1.348.433
1.432.814
1.292.984
1.267.745
1.288.738

Produktivitas
(Ton/Ha)
20.90
21.06
22.38
21.96
21.23

Data BPS (2008) menunjukkan selama periode 2003-2007, permintaan
ekspor, produksi, dan produktivitas kubis di Indonesia cukup berfluktuasi.
Volume ekspor kubis selama kurun waktu 2003-2007 menunjukkan volume yang
bervariasi, yaitu antara 32.665 ton pada tahun 2006 hingga 45.323 ton pada tahun

 

6
 

2007.

Hal yang serupa juga terlihat pada volume produksi kubis, volume

produksi kubis berkisar antara 1.267.745 ton pada tahun 2006 hingga 1.432.814
ton pada tahun 2004. Demikian juga volume produktivitas tahunan di Indonesia
cenderung bervariasi dengan catatan tertinggi pada tahun 2005 sebesar 22.38
ton/hektar, terendah pada tahun 2003 sebesar 20.90 ton/hektar.
Kendala-Kendala Budidaya Kubis
Hal-hal yang menjadi kendala dalam pengembangan usahatani kubis
diantaranya adalah gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT).

Hama

utama yang menyerang tanaman kubis yaitu: ulat daun kubis, P. xylostella
(Lepidoptera: Yponomeutidae) dan ulat krop, C. pavonana (Lepidoptera:
Pyralidae). Sejak tahun 1916 telah dilaporkan bahwa kedua jenis ulat pemakan
daun tersebut menimbulkan kerusakan besar pada tanaman kubis di dataran tinggi,
terlebih di musim kemarau. Sedangkan penyakit penting pada tanaman kubis
yaitu: penyakit busuk hitam (Xanthomonas campestris), busuk lunak (Erwinia
carotovora pv. carotovora) dan penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicea).
Pada persemaian sering terjadi infeksi rebah kecambah (Rhizoctonia solani).
Serangan patogen tersebut dapat menurunkan hasil baik kuantitas maupun
kualitas. Kadang-kadang serangan yang timbul begitu hebat sehingga tanaman
kubis tidak dapat membentuk krop dan tidak dapat dipanen (Atje 1994).
Bieokologi Crocidolomia pavonana
C. pavonana Zeller (Lepidopetra: Pyralidae) merupakan hama penting
pada tanaman famili Brassicae seperti brokoli, Brassicea oleracea L. var.italica
Plenk (Grup Itslica). Daerah penyebaran C. pavonana meliputi Asia Selatan,
Australia, Asia tenggara, Afrika Selatan dan beberapa kepulauan di Samudra
Pasifik. Di pulau Jawa serangga ini ditemukan baik didataran rendah maupun
dataran tinggi (Kalshofen 1981).
Telur berwarna hijau kekuningan biasanya diletakkan secara berkelompok
pada permukaan bawah daun kubis-kubisan.

Sebelum menetas, warna telur

orange berubah menjadi kuning kecoklatan lalu akan berubah menjadi coklat
gelap. Telur menetas dalam waktu 4-6 hari. Instar satu berwarna krem dengan
kepala hitam kecoklatan, sedangkan instar dua berwarna hijau terang, dengan

 

7
 

stadium 2 hari. Instar 3 berwarna hijau dengan stadium rata-rata 1,5 hari. Pada
saat instar 4 warna tubuh tetap hijau dengan 3 garis putih pada bagian dorsal dan
satu garis lateral dengan stadium rata-rata 3,2 hari. Total waktu pada saat fase
larva antara 11-17 hari. Pupa berwarna kecoklatan dengan stadium rata-rata 10
hari pada suhu 26-33,2 0C. Imago yang berbentuk ngengat nokturnal yang tidak
tertarik cahaya (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993).
Gejala kerusakan daun akibat serangan larva instar awal berupa jendela
epidermis atas sampai berlubang, dan sejak instar 3 menyerang krop dan titik
tumbuh sehingga menurunkan nilai ekonomi (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993).
Serangan berat mengakibatkan tanaman mati karena tidak mendapat kesempatan
membentuk tunas baru dan akhirnya buduk karena cendawan dan bakteri sehingga
krop menjadi busuk (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993). Apabila serangan terjadi
pada kubis yang telah membentuk krop, larva akan bergerak ke dalam krop
sehingga nilai ekonominya menurun.

Menurut Uhan (1993) kerugian akibat

serangan hama ini dapat mencapai 65,8%, sedangkan kerusakan sampai 100%
dapat terjadi akibat serangan C. pavonana yang tidak dikendalikan.
Beberapa

cara

pengendalian

termasuk

kultur

pengendalian hayati, dan kimiawi sudah banyak dilakukan.

teknis,

mekanis,

Beberapa musuh

alami serangga ini antara lain dengan parasitoid larva Eriborus argentiopilosus
(Hymenoptera: Ichneumonidae) dan Sturmia sp.

(Diptera: Techinidae) tetapi

tingkat keberhasilannya rendah sehingga pengendalian dengan musuh alami
kurang efektif.

Parasitoid lain yang dapat digunakan untuk pengendalian

C. pavonana adalah Inareolata sp. (Hymenoptera: Ichneumonidae), Chelonus sp.
(Hymenoptera: Braconidae) (Kalshoven 1981).

Pengendalian dengan kultur

teknis adalah dengan tanaman perangkap dan pengaturan waktu tanam seperti
yang dilakukan petani Cipanas, Jawa Barat, yaitu penaman kubis pada bulan
November sampai Februari yang pada saat tersebut serangan hama P. xylostella
dan C. pavonana cukup ringan (Sastrisiswojo dan Setiawati 1993) pengendalian
secara mekanis dapat dilakukan dengan mengumpulkan paket telur.
Bioekologi Sycanus annulicornis
Sycanus spp. merupakan genus serangga berwarna hitam, besar, dengan
leher yang memanjang berukuran 18-25 mm. Sycanus spp. sering ditemukan di

 

8
 

padang rumput atau semak-semak dan pohon.

S. annulicornis memiliki pita

berwarna orange-kemerahan tepat pada hemelitron.

Serangga tersebut dapat

menyerang ulat yang besar dan juga Helopelthis spp. serta pada saat di
laboratorium kokon semut Oecophila spp. dihisap sampai kering (Plate dalam
Bellows & Fisher 1999)
Imago jantan dan betina S. annulicornis dapat dibedakan dari ujung
abdomen.

Pada imago jantan, ujung abdomennya terlihat seperti terpotong

sedangkan pada imago betina ujung abdomennya meruncing.

Pada saat

berkopulasi, imago jantan mendekati imago betina. Imago jantan akan memegang
toraks abdomen imago betina dengan menggunakan kedua tungkai depan dan
kedua tungkai tengahnya.

Proses ini berlangsung selam 60 menit, setelah

berkopulasi imago betina akan meletakkan telur.

Telur diletakkan secara

berkelompok membentuk paket telur secara memanjang. Telur yang diletakkan
oleh imago betina pada setiap kali bertelur yaitu sekitar 106 butir. Waktu antara
setelah kopulasi kepeletakan telur sekitar 7 hari. Lamanya stadia telur yaitu antara
14 hingga 16 hari (Cahyadi 2004).
S. annulicornis memiliki lima instar perkembangan stadia pradewasa.
Nimfa instar I yang baru menetas berwarna jingga polos.

Nimfa yang baru

menetas biasanya berkumpul di sekitar paket telur untuk memakan sisa-sisa telur
dan lama stadia instar 1 adalah 11,40 hari. Nimfa instar II berwarna jingga polos
dengan lama stadia 8,80 hari, nimfa instar III berwarna jingga polos dan pada
tungkai terdapat warna hitam dengan lama stadia 7,90 hari. Pada nimfa instar III
nimfa sudah beradaptasi dengan mangsa sehingga telah dapat memangsa dalam
jumlah banyak. Nimfa instar IV berwarna jingga kecoklatan dengan berwarna
hitam pada toraks dan tungkai dan berukuran antara 12-15 mm dengan lama stadia
11,10 hari. Nimfa instar V berwarna jingga tua kecoklatan dengan warna hitam
pada bagian toraks, abdomen dan tungkai. Nimfa instar V berukuran antara 14-15
mm dan lama stadianya 19,40 hari. Imago S. annulicornis berwarna hitam dengan
corak jingga pada sayap bagian depan. Imago berukuran 19-25 mm dan lama
stadia imago adalah 26 hari (Cahyadi 2004).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian

berlangsung pada bulan Februari sampai Mei 2009.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang diperlukan untuk penelitian ini antara lain; tanaman
kubis, media tanam (tanah), polybag, kapas, madu, serangga hama C. pavonana
dan serangga predator S. annulicornis. Alat-alat yang diperlukan untuk penelitian
ini antara lain; cawan petri, pinset, kotak plastik, dan kurungan.
Metode Penelitian
Persiapan Tanaman Kubis
Pertama kali yang harus dipersiapkan adalah media tanam berupa tanah
dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1. Kemudian dilakukan persemaian
pada tray selama 3 minggu, setelah itu bibit dipindahkan ke dalam polybag
berukuran 35 cm x 35 cm. Satu bibit ditanam pada tiap polybag. Dilakukan
pemupukan dan pemeliharaan hingga tanaman berumur 2 bulan hingga siap untuk
diberi perlakuan. Sejak awal persemaian hingga tanaman siap dipakai untuk
perlakuan, setiap hari dilakukan dua kali pemantauan agar tanaman kubis tidak
terserang oleh hama dan penyakit.
Persiapan Mangsa (C. pavonana)
Larva C. pavonana yang diperoleh dari areal pertanaman kubis di Pasir
Sarongge, dibawa ke Laboratorium Ekologi Serangga. Kemudian, dimasukan ke
dalam kotak plastik, dan diberi pakan agar larva dapat berkembang sempurna.
Setelah larva berubah menjadi pupa, lalu dipindahkan ke dalam media serbuk
gergaji. Jika pupa hendak menjadi imago, maka pupa dipindahkan ke dalam
kurungan 40 cm x 40 cm x 40 cm.

 

10
 

Imago dari C. pavonana diberi pakan madu dalam kapas yang
digantungkan menggunakan benang ditengah-tengah kurungan plastik.

Untuk

memancing peletakan telur, daun kubis dimasukan kedalam botol film yang berisi
air kemudian diletakkan dalam kurungan. Daun kubis yang diatas permukaannya
mengandung telur, dipisahkan ke dalam kotak serangga berukuran 35 cm x 27 cm
x 6 cm dan telur dibiarkan menetas hingga menjadi larva. Selanjutnya larva diberi
pakan daun kubis segar setiap hari.
Pemeliharaan Serangga Predator (S. annulicornis)
S. annulicornis diperoleh dari pertanaman padi di Situgede, Kotamadya
Bogor dan pertanaman kedelai di Sawah Baru, Kabupaten Bogor.

Imago S.

annulicornis ditempatkan kedalam gelas plastik besar masing-masing 1 pasang
(imago jantan dan betina). Imago diberi mangsa setiap hari, kemudian imago
yang telah meletakkan telur harus dipisahkan dari telurnya agar tidak dihisap.
Imago yang dibutuhkan adalah sebanyak 12 pasang, untuk melakukan pengujian
tingkat keefektifan S. annulicornis dalam memangsa C. pavonana pada tanaman
kubis.
Larva Instar II C. pavonana (sebanyak 25 ekor) Diinvestasikan ke Tanaman
Kubis dalam Kurungan
Larva C. pavonana instar II sebanyak 25 ekor diinvestasikan ke tanaman
kubis yang berumur 2 bulan (60 Hari Setelah Tanam). Kemudian tanaman kubis
yang telah diinvestasi oleh C. pavonana dimasukkan ke dalam kurungan
berukuran 60 cm x 50 cm x 50 cm. Setiap kurungan, hanya ada 1 tanaman kubis.
Percobaan ini dilakukan dengan 4 macam perlakuan dan 6 kali ulangan.
Perlakuan pertama, kontrol (tidak diintroduksi oleh S. annulicornis). Perlakuan
kedua, diintroduksi oleh 1 ekor S. annulicornis jantan.

Perlakuan ketiga,

diintroduksi oleh 1 ekor S. annulicornis betina. Perlakuan keempat, diintroduksi
oleh 1 pasang S. annulicornis (jantan dan betina).
Penghitungan Intensitas Serangan yang Disebabkan C. pavonana
Penghitungan luas serangan dilakukan dengan cara menjiplak gejala
gerigitan pada daun kubis dengan menggunakan kertas milimeter blok. Kemudian
kertas

milimeter

blok

tersebut

digunting-gunting

sesuai

dengan

pola

 

11
 

kerusakannya. Setelah itu, kertas milimeter blok ditimbang dengan menggunakan
timbangan digital. Tingkat kerusakan dihitung dengan cara satuan berat (gr) yang
dihasilkan dikonversi ke satuan luas (mm2). Dengan standar nilai, 100 mm2 =
0.0045 gr.
Nilai intensitas serangan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Intensitas serangan =

Berat kertas milimeter blok (gr) x 100 (mm2)
0.0045 (gr)

Pengamatan Tingkat Pemangsaan C. pavonana oleh S. annulicornis
Tingkat pemangsaan terhadap C. pavonana oleh S. annulicornis diamati
selama 10 HSI (Hari Setelah Investasi). Tingkat pemangsaaan diperoleh dengan
cara menghitung selisih jumlah C. pavonana pada awal investasi dengan jumlah
hama C. pavonana yang masih hidup pada setiap kali pengamatan yaitu: 2 HSI, 4
HSI, 6 HSI, 8 HSI, dan 10 HSI.
Tingkat pemangsaan C. pavonana dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
Tingkat pemangsaan =

∑ C. pavonana yang dimangsa
∑ C. pavonana awal investasi

x 100%

Pengamatan Jumlah C. pavonana yang Hidup Hingga 20 HSI
Pengamatan jumlah C. pavonana yang mampu bertahan hidup hingga 20
HSI, dilakukan dengan menghitung jumlah C. pavonana yang masih hidup dan
telah menjadi imago (ngengat). Setelah menjumlahkan imago C. pavonana pada
seluruh ulangan untuk setiap perlakuan, kemudian jumlah C. pavonana yang
masih hidup dibagi jumlah C. pavonana pada awal investasi dan dikalikan dengan
jumlah ulangan.
Persentase jumlah C. pavonana yang mampu bertahan hidup hingga 20
HSI dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Persentase =

∑ C. pavonana yang hidup hingga 20 HSI
( ∑ C. pavonana awal investasi X ∑ ulangan )

x 100%

 

12
 

Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
In Time ( RAL In Time) dengan input kontrol dan tiga perlakuan. Masing-masing
perlakuan dan kontrol dilakukan sebanyak 6 kali ulangan. Data yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan program Statistical Analysis System (SAS),
dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5%. Peubah yang diamati adalah luas
serangan yang disebabkan oleh C. pavonana dan tingkat pemangsaan serta jumlah
C. pavonana yang mampu bertahan hidup hinga akhir pengamatan (20 HSI).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Keefektifan S. annulicornis
Kepik pedator S. annulicornis memiliki kisaran inang yang luas terutama
dari ordo Lepidoptera (Manley 1982). Menurut De Clercq (2000), berdasarkan
berbagai hasil percobaan di laboratorium, kepik predator ini diketahui merupakan
predator yang bersifat generalis, memiliki kemampuan adaptasi dan pemangsaan
cukup baik dengan kemampuan memangsa mencapai rata-rata 4,7 ekor per hari.
Mangsa-mangsa yang pernah diujicobakan adalah Spodoptera litura (Lepidoptera:
Noctuidae), Corcyra cephalonica (Lepidoptera: Pyralidae) dan Crocidolomia
pavonana (Lepidoptera: Pyralidae) (Cahyadi 2004). Berdasarkan laporan-laporan
sebelumnya, maka pengujian mengenai keefektifan S. annulicornis tersebut perlu
dilakukan dengan cara menginvestasikan hama ulat krop tanaman kubis, C.
pavonana yang diamati selama 20 hari dan mendapatkan hasil seperti terlihat pada
Gambar 1.

80000

Kontrol

P1

P2

P3

Intensitas serangan (mm2)

70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

Hari Setelah Investasi (HSI)

Gambar 1 Intensitas serangan C. pavonana pada perlakuan kontrol, perlakuan 1
ekor S. annulicornis jantan (P1), perlakuan 1 ekor S. annulicornis
betina (P2), dan perlakuan 1 pasang S. annulicornis (1ekor jantan + 1
ekor betina) (P3).

 

14
 

Intensitas serangan pada kontrol dan pada tiga perlakuan yang berbeda
memberikan pengaruh nyata (Lampiran 2).

Intensitas serangan C. pavonana

(Gambar 2) tanpa pengendalian dengan S. annulicornis (Gambar 3) menunjukkan
hasil luas daun terserang yang sangat besar dan berbeda nyata. Secara signifikan
perlakuan kontrol berbeda terhadap ketiga perlakuan lainnya yang memanfaatkan
kepik predator S. annulicornis. Perbedaan tersebut terlihat nyata sejak 2 HSI,
dengan memiliki nilai intensitas serangan 3513.63±842.94 mm2 untuk perlakuan
kontrol, 1300.39±791.46 mm2 untuk perlakuan 1 ekor S. annulicornis jantan,
1280.35±534.02 mm2 untuk perlakuan
621.83±287.91 mm2

1 ekor

S. annulicornis betina, dan

untuk perlakuan 1 pasang S. annulicornis (1 ekor S.

annulicornis jantan + 1 ekor S. annulicornis betina).

Perbedaan yang nyata

tersebut berlangsung sama dalam setiap pengamatan hingga pengamatan 20 HSI
dengan mencapai nilai intensitas serangan pada perlakuan kontrol sebesar
65492.83±15568.00 mm2, pada perlakuan pengendalian dengan 1 ekor S.
annulicornis jantan mencapai kisaran nilai 22400.83±9448.50 mm2, pada
perlakuan

1

ekor

S.

13343.07±75688.20 mm2.

annulicornis

betina

mencapai

nilai

hingga

Hal ini membuktikan bahwa S. annulicornis telah

menjalankan perannya sebagai musuh alami yang dapat menurunkan intensitas
serangan yang disebabkan oleh C. pavonana sejak awal introduksi.

Gambar 2 C. pavonana

Gambar 3 S. annulicornis 

Intensitas serangan pada perlakuan 1 ekor S. annulicornis jantan berbeda
nyata dengan perlakuan S. annulicornis betina (Lampiran 7). Hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa perbedaannya yang nyata dikarenakan S. annulicornis betina
memerlukan lebih banyak mangsa sebagai asupan gizi yang lebih besar
dibandingkan S. annulicornis jantan, karena S. annulicornis betina memerlukan
gizi yang cukup untuk dapat bereproduksi dan mampu menghasilkan keturunan.
Sedangkan perlakuan pengendalian dengan menggunakan 1 pasang
annulicornis

S.

menunjukkan hasil intensitas serangan yang paling kecil

dibandingkan kedua perlakuan lainnya.

Hal tersebut dikarenakan jumlah

 

15
 

S. annulicornis yang diaplikasikan lebih banyak sehingga tentu saja mampu
memangsa lebih banyak, dan 1 pasang S. annulcornis ini memerlukan gizi yang
sempurna demi menjaga kebugaran tubuh agar bisa melakukan kopulasi dan
menghasilkan keturunan dengan fekunditas dan viabilitas yang tinggi.
 

Pengamatan intensitas serangan selama 20 HSI menunjukkan hasil tingkat

keefektifan sebesar 62%-66% untuk perlakuan 1 ekor S. annulicornis jantan. Dan
keefektifan pada perlakuan 1 ekor S. annulicornis betina dapat mengurangi
intensitas serangan sebesar 64%-80% dibandingkan kontrol. Sedangkan pada
perlakuan 1 pasang S. annulicornis menunjukkan tingkat keefektifan sebesar 83%
hingga 96% dibandingkan dengan kontrol. Oleh karena itu, perlakuan 1 pasang S.
annulicornis sangat efektif untuk mengurangi kerusakan tanaman kubis yang
disebabkan oleh C. pavonana.

Tingkat Pemangsaan
Perilaku S. annulicornis yang hendak memangsa akan mendekati
mangsanya terlebih dahulu, kemudian S. annulicornis akan menusukkan stiletnya.
Jika mangsa berukuran lebih kecil, S. annulicornis akan menusukkan stiletnya
pada bagian toraks untuk menghindari perlawanan mangsa yang biasanya
menggigit stilet S. annulicornis, dan langsung menghisap cairan mangsanya.
Sedangkan jika mangsa berukuran lebih besar, biasanya S. annulicornis akan
melumpuhkan mangsanya lebih dulu baru kemudian menghisap cairan serangga
(Cahyadi 2004). Tingkat pemangsaan S. annulicornis terhadap C. pavonana dapat
dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4

Persentase C. pavonana yang dimangsa selama 10 HSI pada
perlakuan 1 ekor S. annulicornis jantan (P1), perlakuan 1 ekor S.
annulicornis betina (P2), dan perlakuan 1 pasang S. annulicornis
(1ekor jantan + 1 ekor betina) (P3).

 

16
 

Ketiga perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda-beda.

Pada

pengamatan 2 HSI, perlakuan 1 ekor S. annulicornis jantan menunjukkan tingkat
pemangsaan yang paling rendah (4.00%), jika dibandingkan dengan perlakuan 1
ekor S. annulicorns

betina (9.33%) dan perlakuan 1 pasang S. annulicornis

(32.00%). Rendahnya tingkat pemangsaan pada perlakuan 1 ekor S. annulicornis
jantan dikarenakan S. annulicornis jantan memerlukan waktu untuk beradaptasi
dengan kondisi yang baru dan sifat S. annulicornis yang cepat merasa kenyang.
Pada pengamatan ke 4 HSI, tingkat pemangsaan perlakuan 1 ekor S. annulicornis
jantan (8.00%) mengalami peningkatan dan menunjukkan tingkat pemangsaan
yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan 1 ekor S. annulicornis betina (6.67%).
Hal ini terjadi karena S. annulicornis jantan sudah mulai dapat beradaptasi dan
mampu menjangkau mangsa dengan baik.
Pengamatan 2 HSI, 4 HSI, dan 6 HSI tingkat pemangsaan pada perlakuan
1 pasang S. annulicornis masih menunjukkan tingkat yang paling tinggi diantara
kedua perlakuan lainnya.

Pada pengamatan ke 8 HSI, perlakuan 1 ekor S.

annulicornis betina menunjukkan nilai yang paling tinggi diantara perlakuan
lainnya dengan tingkat pemangsaan sebesar 25.33%, perlakuan 1 ekor S.
annulicornis jantan mencapai tingkat pemangsaan sebesar 12.00%, dan perlakuan
1 pasang S. annulicornis mengalami penurunan tingkat pemangsaan dengan nilai
22.67%.
Tingkat pemangsaan pada perlakuan 1 pasang S. annulicornis

terus

mengalami penurunan hingga pengamatan pada 10 HSI dengan hanya mencapai
nilai 5.33%. Penurunan pemangsaan ini terjadi karena mangsa sudah mengalami
penurunan populasi yang disebabkan oleh tingkat pemangsaan yang tinggi sejak 2
HSI. Pada pengamatan 8 HSI dan 10 HSI menunjukkan hasil yang tidak jauh
berbeda. Tingkat pemangsaan pada 8 HSI, perlakuan 1 ekor S. annulicornis
jantan dan 1 ekor S. annulicornis betina masing-masing menunjukkan nilai
sebesar 12.00% dan 25.33%. Tingkat pemangsaan pada 10 HSI perlakuan 1 ekor
S. annulicornis jantan sebesar 12.67% dan perlakuan 1 ekor S. annulicornis betina
25.33%.

 

17
 

Pengamatan C. pavonana yang bertahan hidup hingga 20 HSI
Hasil pengamatan C. pavonana yang bertahan hidup hingga 20 HSI dan
berhasil menjadi imago (ngengat) dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Jumlah C. pavonana yang mampu bertahan hidup hingga 20 HSI pada
perlakuan kontrol, perlakuan 1 ekor S. annulicornis jantan (P1),
perlakuan 1 ekor S. annulicornis betina (P2), dan perlakuan 1 pasang
S. annulicornis (1ekor jantan + 1 ekor betina) (P3).
Persentase terbesar C. pavonana yang mampu bertahan hidup hingga 20
HSI dan berhasil menjadi imago terlihat pada perlakuan kontrol (43,33%),
sebagaimana perlakuan ini hanya diinvestasikan oleh C. pavonana tanpa
pengaplikasian S. annulicornis sebagai musuh alami. Adapun kematian yang
terjadi pada kontrol ini disebabkan oleh seluruh bagian tanaman kubis sebagai
makanannya telah rusak dan habis, sehingga tidak tersedianya pakan yang cukup
untuk C. pavonana, dan sebagian besar ulangan telah mati sebelum mencapai 20
HSI. Persentase C. pavonana pada perlakuan 1 ekor S. annulicornis jantan (20%)
lebih besar dibandingkan dengan perlakuan 1 ekor S. annulicornis betina (8%),
karena S. annulicornis betina lebih banyak membutuhkan mangsa untuk bisa
menghasilan telur.

Sedangkan pada perlakuan 1 pasang S. annulicornis

menunjukkan persentase yang paling rendah dibandingkan kedua perlakuan
lainnya dengan hanya mencapai persentase 1.33%, tentu saja hal ini disebabkan
oleh besarnya kebutuhan mangsa yang dibutuhkan untuk menjaga kebugaran
tubuh kepik predator agar mampu berkopulasi dan menghasilkan keturunan.

 

18
 

Persentase C. pavonana yang bertahan hidup berbanding terbalik dengan
tingkat pemangsaan oleh S. annulicornis. Semakin tinggi tingkat pemangsaan,
semakin rendah persentase C. pavonana yang bertahan hidup dan menjadi imago
(ngengat). Tingkat pemangsaan oleh S. annulicornis juga memiliki korelasi yang
berbanding terbalik dengan intensitas serangan C. pavonana pada daun kubis.
Semakin tinggi tingkat pemangsaan, maka semakin rendah intensitas serangan,
dan semakin rendah pula persentase C. pavonana yang bertahan hidup hingga 20
HSI. 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
S. annulicornis efektif untuk mengendalikan C. pavonana. Pengendalian C.
pavonana dengan pengaplikasian 1 ekor S. annulicornis jantan, 1 ekor S. annulicornis
betina, dan 1 pasang S. annulicornis menyatakan hasil ketiganya berbeda nyata
terhadap kontrol. Terbukti dengan masing-masing nilai intensitas serangan pada
perlakuan kontrol, 1 ekor S. annulicornis jantan, 1 ekor S.annulicornis betina, dan 1
pasang S. annulicornis sebesar (65492.83±15568.00 mm2), (22400.83±9448.50
mm2), (13343.07±5688.20 mm2), dan (2388.13±631.1 mm2). Intensitas serangan
dengan tingkat pemangsaan memiliki korelasi berbanding terbalik.

Tingkat

pemangsaan tertinggi dicapai oleh perlakuan 1 pasang S. annulicornis. Pengendalian
yang paling efektif untuk mengurangi intensitas serangan C. pavonana dengan
mengaplikasikan 1 pasang S. annulicornis.
Saran
Penelitian mengenai pengaplikasian S. annulicornis di plot-plot yang lebih
terkendali perlu dilakukan. Hal itu bermanfaat untuk mengetahui keefektifan kepik
predator S. annulicornis dalam mengendalikan ulat krop C. pavonana pada kubis di
areal yang lebih luas.
 

 
 

 
 

DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga W, Ameriana M, Jaya B, Mussadad D, Rosliani R, Soetiarso TA,
Suherman R. 2004. Profil Komoditas Kubis. Bandung: Balitsa.
Atje H, Cahyaniati, Soeroto. 1994. Pengelolaan Organisme Pengganggu
Tanaman pada Tanaman Kubis. Ditlin.
Bellows TS, Fisher FW. 1999. Biological Control: Principles and Application of
Biologocal Control. Academik Press.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Survey Pertanian, Produksi Sayuran dan Buahbuahan. Jakarta.
Cahyadi AT. 2004. Biologi Sycanus annulicornis (Hemiptera: Reduviidae) pada
Tiga Jenis mangsa [Skripsi]. Bogor: IPB
De Clercq P. 2000. Predaceous stink bugs (Pentatomidae: Asopinae). Di dalam:
Schefer CW, Panizzi AR, editor. Heteroptera of Economic Importance.
Boca Raton: CRC Press.
[Ditjen Hortikultura] Direktorat Jenderal Hortikultura. 2008. Volume ekspor
komoditas sayuran dan biofarmaka tahun 2005-2008.
2009]http://www.hortikultura.deptan.go.id/index.php. [25 Juli]
Herminanto. 2007. Hama Ulat Daun Kubis Plutella xylostella L dan Upaya
Pengendaliannya. Jakarta
Kalshoven LGE. 1981. Pest of Crop in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah.
Jakarta : Ichtiar Baru-Van Hoeve. Terjemahan dari : De plagen van de
Cultuur gewassen in Indonesie.
Manley GV. 1982. Biology and life history of the rice field predator Andrallus
spinidens F. (Hemiptera: Pentatomidae). Entomoloiycal News 93 (1): 19-24.
Sastrosiswojo S, Setiawati W. 1993. Biology and Control of Crocidolomia
binotalis in Indonesia Bandung: Balithor Lembang. (9) Hlm 81-87.
Uhan, T. S. 1999. Kehilangan Hasil Panen karena Ulat Krop Kubis (Crocidolomia
pavonana) dan Cara Pengendaliannya. Jurnal Hortikultur 3(2):22-26. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hortikultur, Deptan. 

23

Lampiran

24
LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis ragam pengaruh S. annulicornis terhadap intensitas serangan C. pavonana pada daun kubis
Sumber
Perlakuan
Galat
Total Terkoreksi

Derajat Bebas
89
150
239

Jumlah Kuadrat
71155422681
9634934469
80790357150

Kuadrat Tengah
799499131
64232896

F Hitung
12.45

Pr > F
F