Modifikasi selulosa dengan teknik pencangkokan dan penautan silang menggunakan akrilamida

ABSTRAK
RINAWITA. Modifikasi Selulosa dengan Teknik Pencangkokan dan Penautan
Silang Menggunakan Akrilamida. Dibimbing oleh TUN TEDJA IRAWADI dan
HENNY PURWANINGSIH.
Modifikasi selulosa dilakukan dengan cara kopolimerisasi pencangkokan
dan penautan silang menggunakan monomer akrilamida, N,N’-metilena-bisakrilamida sebagai penaut silang, dan amonium peroksidisulfat sebagai inisiator.
Struktur kimia dari monomer akan memengaruhi sifat-sifat dari selulosa hasil
modifikasi seperti sifat hidrofilik dan hidrofobik, elastisitas, kemampuan sebagai
penukar ion, absorptivitas, dan ketahanan terhadap panas. Spektrum inframerah
memperlihatkan keberhasilan modifikasi selulosa. Hal ini dapat dibuktikan
dengan munculnya serapan ulur ikatan C=O pada 1650 cm-1 dan ulur –NH2 pada
3182.55 cm-1. Kedua puncak serapan tersebut mengindikasikan bahwa
pencangkokan dan penautan silang telah terjadi. Produk hasil modifikasi
mengalami pencangkokan sebesar 31–50%. Bobot produk akhir juga bertambah
sampai 69 kali dari bobot awalnya dengan persentase air yang terserap terhadap
bobot awal sebesar 6755% setelah 24 jam dan berturut-turut menjadi 93 kali dan
9187% setelah 48 jam.

ABSTRACT
RINAWITA. Modification of Cellulose by Grafting and Crosslinking Technique
Using Acrylamide. Supervised by TUN TEDJA IRAWADI and HENNY

PURWANINGSIH.
Modification of cellulose was carried out by grafting and crosslinking
copolymerization using acrylamide as monomer, N,N’-methylene-bis-acrylamide
as crosslinker, and ammonium peroxydisulfate as initiator. The chemical structure
of monomer will affect the properties of modified cellulose such as hydrophilic
and hydrophobic characters, elasticity, ion exchange capability, absorptivity, and
heat resistance. Infrared spectra showed that cellulose has been modified. It could
be seen from C=O streching absorption at 1650 cm-1 and –NH2 streching at
3182.55 cm-1. Both absorption peaks indicated that grafting and crosslinking had
been carried out. Modified product had been 31–50% grafted. The final product
also weighed 69 times higher than its initial weight with percentage of absorbed
water to initial sample weight of 6755% after for 24 hours and became 93 times
and 9187%, respectively, after 48 hours.

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki sumber daya hasil
hutan maupun hasil pertanian sebagai potensi
bahan selulosa yang sangat kaya. Potensi
selulosa alam yang melimpah ini merupakan
cadangan bahan baku bagi kepentingan

pembangunan.
Selulosa merupakan polimer alami yang
menyerupai serabut liat, tidak larut dalam air,
secara alami terdapat pada kayu, kapas, rami,
dan tumbuhan lainnya. Selulosa umum
digunakan sebagai bahan pakaian, serat
pembuatan kertas, bahan bangunan, tekstil,
sebagai sumber kimiawi untuk membuat
alkohol atau bahan kimia lainnya, serta
material alam yang dapat diperbaharui. Agar
selulosa lebih kompetitif sebagai bahan
fungsional
dalam
industri,
teknologi
pengolahannya terus disempurnakan. Selain
itu, perlu dilakukan modifikasi baik secara
fisik atau kimiawi dari selulosa.
Polimer alami dan polimer sintetik dapat
dimodifikasi agar diperoleh sifat-sifat yang

lebih baik. Salah satu cara yang digunakan
melalui teknik kopolimerisasi pencangkokan
dan
penautan
silang.
Kopolimerisasi
pencangkokan dan penautan silang dilakukan
dengan
cara
menumbuhkan
atau
menggabungkan polimer sintetik pada tulang
punggung polimer alami dan beberapa rantai
lurus atau bercabang dapat bergabung melalui
sambung silang dengan adanya agen penaut
silang membentuk polimer bertautan silang.
Kopolimerisasi pencangkokan merupakan
salah satu metode yang paling umum
digunakan untuk memodifikasi sifat-sifat
kimia dan fisika polimer alami dan sintetik

(Silvianita et al. 2004; Suka 2010). Modifikasi
polimer alami seperti pati, selulosa dan
kitosan telah banyak dipublikasikan dalam
literatur dan bermanfaat dalam industri karena
kombinasi dari sifat-sifat polimer alami dan
polimer sintetik. Modifikasi selulosa secara
kopolimerisasi pencangkokan dan penautan
silang secara luas digunakan sebagai bahan
penyerap air (Saikia & Ali 1999).
Penelitian ini bertujuan memodifikasi
selulosa menggunakan teknik pencangkokan
dan penautan silang sesuai dengan Doane et
al. (2009), Li et al. (2007), dan Liang et al.
(2009).
Penelitian
difokuskan
pada
kopolimerisasi
pencangkokan
monomer

akrilamida pada tulang punggung selulosa,
sehingga diperoleh senyawa baru yang
mempunyai sifat lebih baik. Keberhasilan
kopolimerisasi pencangkokan dan penautan
silang dipantau menggunakan analisis

inframerah transformasi Fourier (FTIR) serta
pengujian kadar nitrogen dan kapasitas
absorpsi air. Pembentukan polimer penautan
silang bertujuan memberikan sifat kaku dan
keras kepada polimer.

TINJAUAN PUSTAKA
Kereaktifan Selulosa
Selulosa ialah homopolisakarida yang
tersusun dari satuan anhidroglukopiranosa
yang berikatan dengan ikatan glikosida-β(1,4) membentuk rantai molekul linear
glukan. Selulosa secara empiris dapat ditulis
sebagai (C6H10O5)n dengan n adalah derajat
polimerisasinya yang menyatakan jumlah

satuan glukosa yang berikatan. Derajat
polimerisasi selulosa tumbuhan berada pada
kisaran 305–15300.
Perbandingan energi ikatan antara
berbagai atom menunjukkan bahwa ikatan
hidrogen sekitar 10 kali lebih lemah daripada
ikatan koordinasi, tetapi sekitar 100 kali lebih
kuat daripada gaya van der Waals. Energi
ikatan antara gugus-gugus –OH selulosa
hampir sama atau sedikit lebih besar daripada
energi ikatan gugus –OH dalam alkohol.
Menurut Chaplin (2004), residu glukosa ke(n+1) terorientasi 180° relatif terhadap residu
ke-n, sehingga satuan berulang dari rantai
selulosa ialah suatu dimer, yaitu selobiosa [4O-(β-D-glukopiranosil)-D-glukopiranosa], dan
bukan D-glukopiranosa (Gambar 1).

H

CH2OH
O

O

H

OH

OH

H

H

OH

H

H

OH


OH

H

H
H H
O
CH2OH

H
O

CH2OH
O

OH

H

H


OH

H

H

OH

OH

H

H

O

H

H


n

H

OH

O
CH2OH

Gambar 1 Rumus Haworth selulosa.
Berdasarkan Gambar 1, setiap residu
anhidroglukosa dari rantai selulosa memiliki 3
gugus –OH. Ketiganya tidak berada dalam
keadaan bebas, tetapi saling bertautan melalui
ikatan hidrogen. Gugus-gugus –OH pada
molekul selulosa dapat membentuk 2 macam
ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen antara
gugus-gugus –OH dari satuan glukosa yang
berdekatan dalam molekul selulosa yang sama

disebut ikatan intramolekul (O5’H-O3 dan
O2’-HO6) yang menyebabkan masingmasing rantai memiliki kekakuan tertentu.
Terdapat juga ikatan hidrogen antara gugusgugus –OH dari molekul-molekul selulosa
yang berdampingan atau disebut ikatan

1

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki sumber daya hasil
hutan maupun hasil pertanian sebagai potensi
bahan selulosa yang sangat kaya. Potensi
selulosa alam yang melimpah ini merupakan
cadangan bahan baku bagi kepentingan
pembangunan.
Selulosa merupakan polimer alami yang
menyerupai serabut liat, tidak larut dalam air,
secara alami terdapat pada kayu, kapas, rami,
dan tumbuhan lainnya. Selulosa umum
digunakan sebagai bahan pakaian, serat
pembuatan kertas, bahan bangunan, tekstil,
sebagai sumber kimiawi untuk membuat
alkohol atau bahan kimia lainnya, serta
material alam yang dapat diperbaharui. Agar
selulosa lebih kompetitif sebagai bahan
fungsional
dalam
industri,
teknologi
pengolahannya terus disempurnakan. Selain
itu, perlu dilakukan modifikasi baik secara
fisik atau kimiawi dari selulosa.
Polimer alami dan polimer sintetik dapat
dimodifikasi agar diperoleh sifat-sifat yang
lebih baik. Salah satu cara yang digunakan
melalui teknik kopolimerisasi pencangkokan
dan
penautan
silang.
Kopolimerisasi
pencangkokan dan penautan silang dilakukan
dengan
cara
menumbuhkan
atau
menggabungkan polimer sintetik pada tulang
punggung polimer alami dan beberapa rantai
lurus atau bercabang dapat bergabung melalui
sambung silang dengan adanya agen penaut
silang membentuk polimer bertautan silang.
Kopolimerisasi pencangkokan merupakan
salah satu metode yang paling umum
digunakan untuk memodifikasi sifat-sifat
kimia dan fisika polimer alami dan sintetik
(Silvianita et al. 2004; Suka 2010). Modifikasi
polimer alami seperti pati, selulosa dan
kitosan telah banyak dipublikasikan dalam
literatur dan bermanfaat dalam industri karena
kombinasi dari sifat-sifat polimer alami dan
polimer sintetik. Modifikasi selulosa secara
kopolimerisasi pencangkokan dan penautan
silang secara luas digunakan sebagai bahan
penyerap air (Saikia & Ali 1999).
Penelitian ini bertujuan memodifikasi
selulosa menggunakan teknik pencangkokan
dan penautan silang sesuai dengan Doane et
al. (2009), Li et al. (2007), dan Liang et al.
(2009).
Penelitian
difokuskan
pada
kopolimerisasi
pencangkokan
monomer
akrilamida pada tulang punggung selulosa,
sehingga diperoleh senyawa baru yang
mempunyai sifat lebih baik. Keberhasilan
kopolimerisasi pencangkokan dan penautan
silang dipantau menggunakan analisis

inframerah transformasi Fourier (FTIR) serta
pengujian kadar nitrogen dan kapasitas
absorpsi air. Pembentukan polimer penautan
silang bertujuan memberikan sifat kaku dan
keras kepada polimer.

TINJAUAN PUSTAKA
Kereaktifan Selulosa
Selulosa ialah homopolisakarida yang
tersusun dari satuan anhidroglukopiranosa
yang berikatan dengan ikatan glikosida-β(1,4) membentuk rantai molekul linear
glukan. Selulosa secara empiris dapat ditulis
sebagai (C6H10O5)n dengan n adalah derajat
polimerisasinya yang menyatakan jumlah
satuan glukosa yang berikatan. Derajat
polimerisasi selulosa tumbuhan berada pada
kisaran 305–15300.
Perbandingan energi ikatan antara
berbagai atom menunjukkan bahwa ikatan
hidrogen sekitar 10 kali lebih lemah daripada
ikatan koordinasi, tetapi sekitar 100 kali lebih
kuat daripada gaya van der Waals. Energi
ikatan antara gugus-gugus –OH selulosa
hampir sama atau sedikit lebih besar daripada
energi ikatan gugus –OH dalam alkohol.
Menurut Chaplin (2004), residu glukosa ke(n+1) terorientasi 180° relatif terhadap residu
ke-n, sehingga satuan berulang dari rantai
selulosa ialah suatu dimer, yaitu selobiosa [4O-(β-D-glukopiranosil)-D-glukopiranosa], dan
bukan D-glukopiranosa (Gambar 1).

H

CH2OH
O
O

H

OH

OH

H

H

OH

H

H

OH

OH

H

H
H H
O
CH2OH

H
O

CH2OH
O

OH

H

H

OH

H

H

OH

OH

H

H

O

H

H

n

H

OH

O
CH2OH

Gambar 1 Rumus Haworth selulosa.
Berdasarkan Gambar 1, setiap residu
anhidroglukosa dari rantai selulosa memiliki 3
gugus –OH. Ketiganya tidak berada dalam
keadaan bebas, tetapi saling bertautan melalui
ikatan hidrogen. Gugus-gugus –OH pada
molekul selulosa dapat membentuk 2 macam
ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen antara
gugus-gugus –OH dari satuan glukosa yang
berdekatan dalam molekul selulosa yang sama
disebut ikatan intramolekul (O5’H-O3 dan
O2’-HO6) yang menyebabkan masingmasing rantai memiliki kekakuan tertentu.
Terdapat juga ikatan hidrogen antara gugusgugus –OH dari molekul-molekul selulosa
yang berdampingan atau disebut ikatan

1

antarmolekul (O3’H-O6). Ikatan tersebut
menyebabkan
pembentukan
struktur
supramolekul
seperti
dilukiskan
pada
Lampiran 1 (Bergenstrahle et al. 2009).
Adanya ikatan hidrogen intramolekul dan
antarmolekul menyebabkan gugus-gugus –OH
pada selulosa sukar dimasuki oleh pereaksi
(aksesibilitas
rendah).
Pereaksi
sukar
berpenetrasi ke dalam serat, sehingga hanya
terjadi reaksi topokimiawi atau permukaan.
Jika terjadi penetrasi, reaksi hanya terjadi
pada daerah amorf, sehingga produk reaksi
tidak seragam. Gugus-gugus –OH yang tidak
saling bebas juga membuat selulosa bersifat
hidrofobik dan sama sekali tidak larut dalam
pelarut berair (Blackwell et al. 1986).
Selulosa terbentuk dari lembaran-lembaran
panjang dan tipis, saling berimpit secara nonenzimatis dengan bantuan gaya London
antarcincin
hidrofobik,
membentuk
mikrofibril. Sebanyak 36 molekul selulosa
terikat bersama-sama oleh ikatan hidrogen
membentuk seberkas fibril elementer. Fibril
elementer bergabung membentuk mikrofibril
(Sanjaya 2001). Mikrofibril memiliki berbagai
derajat penyusunan lateral (sisi ke sisi), mulai
dari pengemasan geometrik sempurna kisi
kristal (daerah kristalin) sampai kondisi acak
(daerah amorf). Umum diterima bahwa dalam
satu mikrofibril, kedua daerah itu berselangseling, dengan nisbah antara daerah kristalin
dan amorf (kristalinitas) sangat beragam,
bergantung pada sumbernya, dan pada tingkat
perlakuan fisis atau kimiawi yang dialami.
Selanjutnya mikrofibril-mikrofibril bergabung
menjadi fibril-fibril dan bergabung lagi
menjadi serat selulosa (Lai 1996).
Selulosa pada Tanaman
Selulosa merupakan struktur dasar sel-sel
tumbuhan. Struktur primer yang dibentuk oleh
ikatan-ikatan hidrogen adalah fibril yang
membentuk lapisan dinding dan akhirnya
seluruh dinding sel, sehingga secara kuantitas
jumlahnya sangat besar. Di dalam biosfer
terdapat sekitar 27 × 1010 ton karbon yang
terikat pada organisme hidup dan lebih dari
99% ada pada tumbuhan. Sekitar 40% karbon
di antaranya terikat pada selulosa tumbuhan
yang berarti total selulosa dalam dunia
tumbuhan berjumlah sekitar 26.5 × 1010.
Penggunaan terbesar selulosa berupa serat
kayu dalam industri kertas dan produk turunan
kertas lainnya. Industri lain yang banyak
menggunakan bahan baku ini adalah industri
tekstil yang dikenal sebagai serat rayon.

Selulosa merupakan penyusun utama
jaringan tanaman berkayu. Pada dasarnya
selulosa terdapat pada setiap jenis tanaman,
termasuk tanaman semusim, tanaman perdu,
dan tanaman rambat, bahkan tumbuhan paling
sederhana sekalipun. Sumber utama selulosa
adalah kayu, umumnya kayu mengandung
sekitar 50% selulosa bersama dengan
penyusun lainnya seperti lignin. Pemisahan
selulosa dari kayu melibatkan pelumatan kayu
dengan larutan sulfur dioksida dan hidrogen
sulfit (bisulfit) dalam air pada proses sulfat
(proses kraft). Pada kedua proses ini lignin
dilarutkan sehingga diperoleh selulosa.
Sumber lain selulosa adalah kapas, dengan
kandungan selulosa 88–96% (Brown & Ware
1958). Ekstraksi selulosa dari kapas dilakukan
dengan mereaksikannya dengan larutan NaOH
di bawah tekanan, dilanjutkan dengan
pengelantangan menggunakan gas klorin atau
kalsium hipoklorit (Cowd 1991).
Selulosa hampir tidak pernah ditemukan
dalam keadaan murni di alam, dan umumnya
berikatan dengan bahan lain, yaitu lignin dan
hemiselulosa
membentuk
lignoselulosa
(Akmar & Kennedy 2001). Pada umumnya,
tanaman mengandung 40–55% selulosa, 15–
35% lignin, dan 25–40% hemiselulosa
berdasarkan bobot kering (Pushpamalar et al.
2006). Lignin adalah polimer aromatik yang
sebagian besar tidak larut dalam kebanyakan
pelarut organik. Lignin tidak dapat diurai
menjadi satuan monomer karena apabila
dihidrolisis, monomer sangat cepat teroksidasi
dan terjadi reaksi kondensasi. Hemiselulosa
adalah heteropolimer dari berbagai monomer
gula dengan rantai molekul lebih pendek
daripada selulosa. Hemiselulosa merupakan
senyawa amorf karena banyak percabangan
pada rantai molekulnya. Jika dihidrolisis, akan
dihasilkan D-manosa, D-galaktosa, D-xilosa,
L-arabinosa, dan asam uronat. Holoselulosa
merupakan bagian dari serat yang bebas dari
sari dan lignin, merupakan campuran selulosa
dan hemiselulosa (Sanjaya 2001). Selulosa α
paling tinggi mutunya (murni). Selulosa
α>92% memenuhi syarat untuk digunakan
sebagai bahan baku utama pembuatan
propelan dan atau bahan peledak. Selulosa
dengan mutu di bawahnya digunakan sebagai
bahan baku pada industri kertas dan industri
sandang/kain (serat rayon).
Selulosa murni terdiri dari 2 macam
struktur kristal yang berbeda, yaitu selulosa Iα
dan Iβ. Perbedaan ini terdapat pada resonans
atom C1. Resonans atom C1 selulosa Iα singlet
dan memiliki struktur unit sel triklinik,
sedangkan resonans atom C1 selulosa Iβ duplet

2

dengan struktur unit sel monoklinik (Chaplin
2004). Selulosa Iα bersifat metastabil dan
dapat diubah menjadi Iβ yang secara
termodinamika lebih stabil dengan proses
penganealan pada suhu 260 °C, reaksi ini
berlangsung secara tidak balik. Selulosa
bakteri mengandung selulosa Iα kira-kira 60%,
hal ini berbeda dengan selulosa yang berasal
dari tanaman misalnya rami dan kapas yang
mengandung selulosa Iα hanya 30%
sedangkan 70% lainnya selulosa I β
(Yoshinaga et al. 1997).
Akrilamida
Akrilamida adalah bahan organik yang
memiliki satu ikatan rangkap dengan rumus
kimia C3H5NO (Gambar 2). Akrilamida
merupakan salah satu monomer hidrofilik
yang digunakan sebagai bahan baku
pembuatan poliakrilamida, berwarna putih,
tidak berbau, berbentuk kristal padat yang
sangat mudah larut dalam air, metanol, etanol,
etil asetat, eter, aseton, sedikit larut dalam
kloroform dan mudah bereaksi pada gugus
amida atau ikatan rangkapnya. Polimerisasi
mudah terjadi pada titik leburnya atau di
bawah sinar ultraviolet. Akrilamida dalam
larutan bersifat stabil pada suhu kamar dan
tidak berpolimerisasi secara spontan (Harahap
2006). Akrilamida tidak kompatibel dalam
suasana asam, basa, oksidator, dan besi. Pada
kondisi normal, akrilamida terdekomposisi
menjadi amonia tanpa pemanasan atau
menjadi karbon dioksida, karbon monoksida,
dan oksida nitrogen dengan pemanasan.
O
H2C

C
H

NH2

Gambar 2 Struktur akrilamida.
Poliakrilamida adalah zat penggumpal
polimer sintetik yang sering dipakai dalam
pengolahan air limbah karena daya ikatnya
yang kuat terhadap partikel tersuspensi dalam
air. Poliakrilamida juga banyak digunakan di
laboratorium untuk penelitian dan analisis.
Akrilamida juga digunakan sebagai bahan
baku untuk membuat beberapa jenis zat
penjernih, perekat, tinta cetak, zat warna
sintetik, zat penstabil emulsi, kertas,
kosmetik, dan beberapa monomer seperti Nbutoksiakrilamida dan N-metoksiakrilamida.
Akrilamida juga digunakan sebagai kopolimer
pada pembuatan lensa kontak. Di samping itu,
akrilamida juga digunakan dalam konstruksi

fondasi bendungan atau terowongan (Muliani
& Trinovitarini 2008).
Kopolimerisasi Pencangkokan dan
Penautan Silang
Kopolimerisasi cangkok merupakan proses
yang sering digunakan untuk membuat produk
polimer. Metode ini sangat baik digunakan
untuk memperbaiki beberapa sifat yang
berbeda dari akrilamida atau selulosa.
Kopolimerisasi cangkok merupakan metode
yang sangat efisien untuk memodifikasi
polimer alami dan polimer sintetis. Kopolimer
cangkok terdiri dari rantai utama atau
kerangka dasar dan rantai cabang (Cowd
1991). Metode pencangkokan yang paling
banyak
digunakan
didasarkan
pada
pengaktifan rantai polimer utama, sebagai
tempat menginisiasi pencangkokan monomermonomer rantai cabang pada rantai utama.
Pengaktifan adalah pembentukan pusatpusat aktif pada rantai utama yang dapat
dilakukan dengan radiasi seperti sinar
ultraviolet dan menggunakan zat kimia atau
inisiator.
Metode
kopolimerisasi
pencangkokan menggunakan zat kimia telah
dikembangkan, yang meliputi metode
simultan, tidak simultan dengan bantuan sinar
ultraviolet, dan tidak simultan tanpa oksigen
(Kurniadi 2010). Metode simultan dilakukan
dengan memasukkan polimer ke dalam
larutan campuran monomer dan inisiator.
Pada umumnya campuran tersebut telah
dibuat menggelembung (swelling) terlebih
dahulu supaya kerangka polimer mempunyai
daya serap yang besar terhadap monomer dan
inisiator.
Keadaan
tersebut
akan
meningkatkan persentase pencangkokan.
Metode tidak simultan dilakukan dengan
memasukkan polimer ke dalam larutan
inisiator, kemudian dimasukkan ke dalam
larutan monomer. Metode tidak simultan
tanpa
oksigen
dilakukan
dengan
menghilangkan oksigen dengan mengaliri gas
nitrogen selama kopolimerisasi.
Mekanisme polimerisasi umumnya terdiri
dari 3 tahap, yaitu inisiasi, propagasi, dan
terminasi. Inisiasi merupakan pembentukan
fragmen yang bersifat radikal dengan bantuan
inisiator. Beberapa metode inisiasi telah
digunakan untuk menghasilkan radikal bebas,
yaitu melalui iradiasi dan inisiator kimia
(Handayani 2008). Inisiasi melalui iradiasi
sangat populer beberapa tahun ini untuk
penerapan kopolimerisasi pencangkokan
karena kemudahan dalam pencangkokan,

3

memiliki efisiensi pencangkokan yang tinggi,
dan memiliki sifat fisik yang baik.
Di sisi lain, iradiasi merupakan teknik
yang mahal dan berbahaya. Keamanan dan
pengendalian peralatan akan menjadi masalah
yang serius untuk skala industri. Modifikasi
selulosa yang disintesis menggunakan
inisiator
kimia
seperti
amonium
peroksidisulfat (APS) telah banyak dipelajari.
Menurut Abdel-Salam (1986), ion persulfat
dapat digunakan sebagai inisiator untuk
pencangkokan
monomer
vinil
serta
pencangkokan akrilonitril ke tulang punggung
selulosa. Jenis inisiator lain yang dapat
digunakan untuk membentuk kopolimer
cangkok ialah serium(IV) amonium nitrat
(CAN) dengan medium larutan pada kondisi
suhu 80 °C, Ce(IV), Fe(III), Cu(II), Co(III),
V(III), Cr(VI), Cr(IV), dan Mn(V) (Silvianita
et al. 2004; Kurniadi 2010).
Rantai radikal yang terbentuk pada tahap
inisiasi mampu menambah monomer untuk
memperpanjang rantai (propagasi). Terminasi
merupakan tahap penghentian polimerisasi.
Menurut Stevens (1999), terdapat 2
kemungkinan
cara
terminasi
dalam
polimerisasi
radikal
bebas,
yaitu
penggabungan atau disproporsionasi yang
melibatkan transfer atom, biasanya atom
hidrogen dari satu ujung rantai yang lain.
Penggabungan kedua ujung rantai polimer
menghasilkan ikatan jenuh. Disproporsionasi
melibatkan pengalihan atom hidrogen-β dari
satu radikal ke radikal lainya menghasilkan 2
molekul polimer takaktif, salah satu
mempunyai ikatan rangkap dua pada ujung
molekulnya, yang lain mengandung ikatan
jenuh.
Beberapa rantai lurus dan bercabang dapat
bergabung membentuk polimer bertautan
silang. Penaut silang yang digunakan berupa
senyawa yang mempunyai minimum 2 gugus
fungsi (Hashem & Hauser 2003; Kuang et al.
2004). Masing-masing gugus fungsi akan
berikatan dengan radikal selulosa tercangkokpoliakrilamida, sehingga terjadi tautan silang
di antara keduanya (Abdel-Salam 1986).
Penaut silang yang lazim digunakan ialah
N,N’-metilena-bis-akrilamida
(MBA)
(Gambar 3).
O
H2C

O
H2
C

C
C
H

Gambar

N
H

3

C
N
H

C
H

CH2

Struktur N,N’-metilena-bisakrilamida.

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan ialah alat-alat
kaca, reaktor pencangkokan, peralatan
destruksi, oven, dan spektrofotometer FTIR
Prestige-21 Shimadzu. Bahan-bahan yang
digunakan ialah selulosa komersial (Merck®),
akrilamida,
APS,
N,N’-metilena-bisakrilamida, metanol p.a, etanol p.a, aseton p.a,
H2SO4 pekat, asam borat 2%, HCl 0.1 N, dan
NaOH 40%.
Metode Penelitian
Kopolimerisasi Selulosa dengan Teknik
Pencangkokan dan Penautan Silang (Doane
et al. 2009, Li et al. 2007, dan Liang et al.
2009)
Sebanyak 5 g serbuk selulosa komersial
ditimbang dengan neraca analitik dan
ditambahkan 150 mL akuades. Campuran
dimasukkan ke dalam labu leher tiga yang
dilengkapi dengan pengaduk, kondensor,
termometer, dan saluran nitrogen. Bagan alir
penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2. Gas
nitrogen disalurkan ke dalam labu yang berisi
sampel selama 15 menit dan cerat kondensor
dibiarkan dalam keadaan terbuka.
Cerat kondensor ditutup dan sampel
selulosa dipanaskan pada suhu 95 °C selama
30 menit di bawah atmosfer nitrogen. Suhu
diturunkan hingga mencapai 60–65 °C dan
ditambahkan 250 mg inisiator APS yang telah
dilarutkan dengan 12.5 mL akuades. Setelah
15 menit, campuran 25 g akrilamida dan 25
mg MBA dalam 200 mL akuades
ditambahkan sedikit demi sedikit. Suhu
dinaikkan menjadi 70 °C dan dijaga konstan
selama 3 jam.
Produk diendapkan selama 30 menit
menggunakan 150 mL metanol p.a. Setelah
itu, dilakukan hal yang sama dengan
menggunakan 150 mL etanol p.a dan 150 mL
aseton p.a secara berurutan masing-masing
selama 30 menit. Endapan dikeringkan di
dalam oven pada suhu 60 °C dan digiling serta
disaring untuk membentuk ukuran partikel
yang seragam sekitar 40–80 mesh (Li et al.
2007).
Penentuan Kadar Nitrogen dengan
Kjeldahl
Sebanyak 0.1 g produk hasil modifikasi
ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu
bulat. Setelah itu, ditambahkan 2 sudip
campuran selenium dan 10 mL H2SO4 pekat,

4

memiliki efisiensi pencangkokan yang tinggi,
dan memiliki sifat fisik yang baik.
Di sisi lain, iradiasi merupakan teknik
yang mahal dan berbahaya. Keamanan dan
pengendalian peralatan akan menjadi masalah
yang serius untuk skala industri. Modifikasi
selulosa yang disintesis menggunakan
inisiator
kimia
seperti
amonium
peroksidisulfat (APS) telah banyak dipelajari.
Menurut Abdel-Salam (1986), ion persulfat
dapat digunakan sebagai inisiator untuk
pencangkokan
monomer
vinil
serta
pencangkokan akrilonitril ke tulang punggung
selulosa. Jenis inisiator lain yang dapat
digunakan untuk membentuk kopolimer
cangkok ialah serium(IV) amonium nitrat
(CAN) dengan medium larutan pada kondisi
suhu 80 °C, Ce(IV), Fe(III), Cu(II), Co(III),
V(III), Cr(VI), Cr(IV), dan Mn(V) (Silvianita
et al. 2004; Kurniadi 2010).
Rantai radikal yang terbentuk pada tahap
inisiasi mampu menambah monomer untuk
memperpanjang rantai (propagasi). Terminasi
merupakan tahap penghentian polimerisasi.
Menurut Stevens (1999), terdapat 2
kemungkinan
cara
terminasi
dalam
polimerisasi
radikal
bebas,
yaitu
penggabungan atau disproporsionasi yang
melibatkan transfer atom, biasanya atom
hidrogen dari satu ujung rantai yang lain.
Penggabungan kedua ujung rantai polimer
menghasilkan ikatan jenuh. Disproporsionasi
melibatkan pengalihan atom hidrogen-β dari
satu radikal ke radikal lainya menghasilkan 2
molekul polimer takaktif, salah satu
mempunyai ikatan rangkap dua pada ujung
molekulnya, yang lain mengandung ikatan
jenuh.
Beberapa rantai lurus dan bercabang dapat
bergabung membentuk polimer bertautan
silang. Penaut silang yang digunakan berupa
senyawa yang mempunyai minimum 2 gugus
fungsi (Hashem & Hauser 2003; Kuang et al.
2004). Masing-masing gugus fungsi akan
berikatan dengan radikal selulosa tercangkokpoliakrilamida, sehingga terjadi tautan silang
di antara keduanya (Abdel-Salam 1986).
Penaut silang yang lazim digunakan ialah
N,N’-metilena-bis-akrilamida
(MBA)
(Gambar 3).
O
H2C

O
H2
C

C
C
H

Gambar

N
H

3

C
N
H

C
H

CH2

Struktur N,N’-metilena-bisakrilamida.

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan ialah alat-alat
kaca, reaktor pencangkokan, peralatan
destruksi, oven, dan spektrofotometer FTIR
Prestige-21 Shimadzu. Bahan-bahan yang
digunakan ialah selulosa komersial (Merck®),
akrilamida,
APS,
N,N’-metilena-bisakrilamida, metanol p.a, etanol p.a, aseton p.a,
H2SO4 pekat, asam borat 2%, HCl 0.1 N, dan
NaOH 40%.
Metode Penelitian
Kopolimerisasi Selulosa dengan Teknik
Pencangkokan dan Penautan Silang (Doane
et al. 2009, Li et al. 2007, dan Liang et al.
2009)
Sebanyak 5 g serbuk selulosa komersial
ditimbang dengan neraca analitik dan
ditambahkan 150 mL akuades. Campuran
dimasukkan ke dalam labu leher tiga yang
dilengkapi dengan pengaduk, kondensor,
termometer, dan saluran nitrogen. Bagan alir
penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2. Gas
nitrogen disalurkan ke dalam labu yang berisi
sampel selama 15 menit dan cerat kondensor
dibiarkan dalam keadaan terbuka.
Cerat kondensor ditutup dan sampel
selulosa dipanaskan pada suhu 95 °C selama
30 menit di bawah atmosfer nitrogen. Suhu
diturunkan hingga mencapai 60–65 °C dan
ditambahkan 250 mg inisiator APS yang telah
dilarutkan dengan 12.5 mL akuades. Setelah
15 menit, campuran 25 g akrilamida dan 25
mg MBA dalam 200 mL akuades
ditambahkan sedikit demi sedikit. Suhu
dinaikkan menjadi 70 °C dan dijaga konstan
selama 3 jam.
Produk diendapkan selama 30 menit
menggunakan 150 mL metanol p.a. Setelah
itu, dilakukan hal yang sama dengan
menggunakan 150 mL etanol p.a dan 150 mL
aseton p.a secara berurutan masing-masing
selama 30 menit. Endapan dikeringkan di
dalam oven pada suhu 60 °C dan digiling serta
disaring untuk membentuk ukuran partikel
yang seragam sekitar 40–80 mesh (Li et al.
2007).
Penentuan Kadar Nitrogen dengan
Kjeldahl
Sebanyak 0.1 g produk hasil modifikasi
ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu
bulat. Setelah itu, ditambahkan 2 sudip
campuran selenium dan 10 mL H2SO4 pekat,

4

didestruksi sampai berwarna kehijauan.
Sampel didistilasi dengan dimasukkan ke
dalam labu Kjeldahl, botol sampel dibilas
dengan 150 mL akuades, diikuti dengan
penambahan 50 mL NaOH 40%. Sebanyak 20
mL asam borat 2% dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer 250 mL yang berisi distilat dan
dititrasi dengan HCl 0.1 N.

mempunyai nilai ekonomis tinggi. Selulosa
yang digunakan berupa butiran-butiran halus
berukuran kurang lebih 100 mesh. Dalam
penelitian ini digunakan selulosa komersial
dengan akrilamida sebagai monomer.
Akrilamida memiliki ikatan rangkap yang
memungkinkannya
dikopolimerisasi
pencangkokan dan ditautkan-silang.
Kopolimerisasi Selulosa dengan Campuran
Akrilamida dan N,N’-Metilena-bisAkrilamida

Pengujian Kapasitas Absorpsi Air
Sebanyak 0.2 g produk hasil modifikasi
dimasukkan ke dalam botol dan ditambahkan
dengan 100 mL akuades, didiamkan selama 2
× 24 jam. Setelah itu, disaring dan ditimbang
bobot sampel yang mengalami swelling
terhadap air.

Keterangan:
N = kadar nitrogen (%)
Vs = volume titran sampel (mL)
Vb = volume titran blangko (mL)
RG = rendemen pencangkokan
EG = efisiensi pencangkokan (%)
DC = kapasitas absorpsi air (%)

Analisis FTIR
Sebanyak 2 mg sampel yang halus
dicampurkan ke dalam 198 mg KBr.
Campuran ini digerus kemudian dibentuk
menjadi pelet dengan memberikan tekanan.
Setelah terbentuk, pelet dianalisis dengan
FTIR.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Selulosa dapat dimodifikasi dengan
memasukkan polimer-polimer rantai panjang
pada rantai utamanya. Modifikasi dilakukan
menggunakan
teknik
kopolimerisasi
pencangkokan
dan
penautan
silang.
Kopolimerisasi ini memerlukan pembentukan
suatu tapak reaktif pada selulosa dalam
keberadaan
monomer
yang
akan
dipolimerisasi cangkok. Selulosa dipilih
sebagai kerangka utama pencangkokan karena
bahannya mudah diperoleh dan tersusun dari
komponen yang dapat dimodifikasi secara
kimia, sehingga menjadi produk yang

Kopolimerisasi
pencangkokan
dan
penautan-silang merupakan metode yang
sangat efisien untuk memodifikasi polimer
alam dan polimer sintetis. Metode ini dapat
digunakan untuk memperbaiki beberapa sifat
selulosa, seperti elastisitas, absorbans,
kemampuan pertukaran ion, hambatan termal,
dan hambatan terhadap melekatnya mikrob
(Handayani 2008). Kopolimer pencangkokan
dan penautan-silang digunakan sangat luas
dalam berbagai proses pembuatan material
tahan benturan, elastomer termoplastik,
compatibilizer, pengemulsi, membran, dan
juga material untuk sistem pembawa obat.
Menurut
Handayani
(2008),
struktur
kopolimer cangkok memberikan sumbangan
yang besar pada proses produksi secara
komersial, terutama bagi industri plastik.
Penelitian ini menggunakan rancangan
reaktor yang dilengkapi dengan labu leher
tiga, untuk tempat pengaduk, tempat
pemasukan sampel yang dihubungkan dengan
kondensor, dan tempat menyalurkan gas
nitrogen serta termometer (Lampiran 3).
Saluran gas nitrogen berfungsi menghilangkan
oksigen dari dalam larutan sampel.
Penyaluran gas nitrogen terus dilakukan
selama proses reaksi karena oksigen dapat
menghambat pembentukan kopolimer melalui
pembentukan peroksida (Sulasminingsih
1997)
dan
sebaliknya
mendorong
pembentukan homopolimer (Kurniadi 2010).
Selain gas nitrogen, faktor suhu juga
berpengaruh pada kecepatan penggabungan
rantai poliakrilamida pada tulang punggung
selulosa (Silvianita et al. 2004).
Metode kopolimerisasi pencangkokan dan
penautan-silang yang digunakan tidak
simultan. Substrat selulosa berinteraksi
terlebih dahulu dengan inisiator APS, sebelum
berinteraksi dengan campuran monomer
akrilamida dan MBA sebagai penaut silang.
Metode tersebut lebih efektif dan dapat
memodifikasi
selulosa
lebih
baik
dibandingkan dengan metode simultan yang

5

didestruksi sampai berwarna kehijauan.
Sampel didistilasi dengan dimasukkan ke
dalam labu Kjeldahl, botol sampel dibilas
dengan 150 mL akuades, diikuti dengan
penambahan 50 mL NaOH 40%. Sebanyak 20
mL asam borat 2% dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer 250 mL yang berisi distilat dan
dititrasi dengan HCl 0.1 N.

mempunyai nilai ekonomis tinggi. Selulosa
yang digunakan berupa butiran-butiran halus
berukuran kurang lebih 100 mesh. Dalam
penelitian ini digunakan selulosa komersial
dengan akrilamida sebagai monomer.
Akrilamida memiliki ikatan rangkap yang
memungkinkannya
dikopolimerisasi
pencangkokan dan ditautkan-silang.
Kopolimerisasi Selulosa dengan Campuran
Akrilamida dan N,N’-Metilena-bisAkrilamida

Pengujian Kapasitas Absorpsi Air
Sebanyak 0.2 g produk hasil modifikasi
dimasukkan ke dalam botol dan ditambahkan
dengan 100 mL akuades, didiamkan selama 2
× 24 jam. Setelah itu, disaring dan ditimbang
bobot sampel yang mengalami swelling
terhadap air.

Keterangan:
N = kadar nitrogen (%)
Vs = volume titran sampel (mL)
Vb = volume titran blangko (mL)
RG = rendemen pencangkokan
EG = efisiensi pencangkokan (%)
DC = kapasitas absorpsi air (%)

Analisis FTIR
Sebanyak 2 mg sampel yang halus
dicampurkan ke dalam 198 mg KBr.
Campuran ini digerus kemudian dibentuk
menjadi pelet dengan memberikan tekanan.
Setelah terbentuk, pelet dianalisis dengan
FTIR.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Selulosa dapat dimodifikasi dengan
memasukkan polimer-polimer rantai panjang
pada rantai utamanya. Modifikasi dilakukan
menggunakan
teknik
kopolimerisasi
pencangkokan
dan
penautan
silang.
Kopolimerisasi ini memerlukan pembentukan
suatu tapak reaktif pada selulosa dalam
keberadaan
monomer
yang
akan
dipolimerisasi cangkok. Selulosa dipilih
sebagai kerangka utama pencangkokan karena
bahannya mudah diperoleh dan tersusun dari
komponen yang dapat dimodifikasi secara
kimia, sehingga menjadi produk yang

Kopolimerisasi
pencangkokan
dan
penautan-silang merupakan metode yang
sangat efisien untuk memodifikasi polimer
alam dan polimer sintetis. Metode ini dapat
digunakan untuk memperbaiki beberapa sifat
selulosa, seperti elastisitas, absorbans,
kemampuan pertukaran ion, hambatan termal,
dan hambatan terhadap melekatnya mikrob
(Handayani 2008). Kopolimer pencangkokan
dan penautan-silang digunakan sangat luas
dalam berbagai proses pembuatan material
tahan benturan, elastomer termoplastik,
compatibilizer, pengemulsi, membran, dan
juga material untuk sistem pembawa obat.
Menurut
Handayani
(2008),
struktur
kopolimer cangkok memberikan sumbangan
yang besar pada proses produksi secara
komersial, terutama bagi industri plastik.
Penelitian ini menggunakan rancangan
reaktor yang dilengkapi dengan labu leher
tiga, untuk tempat pengaduk, tempat
pemasukan sampel yang dihubungkan dengan
kondensor, dan tempat menyalurkan gas
nitrogen serta termometer (Lampiran 3).
Saluran gas nitrogen berfungsi menghilangkan
oksigen dari dalam larutan sampel.
Penyaluran gas nitrogen terus dilakukan
selama proses reaksi karena oksigen dapat
menghambat pembentukan kopolimer melalui
pembentukan peroksida (Sulasminingsih
1997)
dan
sebaliknya
mendorong
pembentukan homopolimer (Kurniadi 2010).
Selain gas nitrogen, faktor suhu juga
berpengaruh pada kecepatan penggabungan
rantai poliakrilamida pada tulang punggung
selulosa (Silvianita et al. 2004).
Metode kopolimerisasi pencangkokan dan
penautan-silang yang digunakan tidak
simultan. Substrat selulosa berinteraksi
terlebih dahulu dengan inisiator APS, sebelum
berinteraksi dengan campuran monomer
akrilamida dan MBA sebagai penaut silang.
Metode tersebut lebih efektif dan dapat
memodifikasi
selulosa
lebih
baik
dibandingkan dengan metode simultan yang

5

secara langsung selulosa direaksikan bersamasama dalam larutan inisiator dan monomer
(Kurniadi 2010). Monomer lebih dahulu
berinteraksi dengan inisiator membentuk
radikal bebas dalam sistem larutan yang akan
mengadakan
reaksi
antarmonomer
menghasilkan homopolimer. Produk ini tidak
diharapkan pada proses kopolimerisasi.
Pemilihan inisiator merupakan salah satu
faktor penentu utama pada polimerisasi untuk
menghasilkan persentase RG dan EG yang
besar. Inisiator dan penaut silang yang
digunakan dalam penelitian ini ialah APS dan
MBA. Reaksi pencangkokan menggunakan
inisiator
berlangsung
secara
redoks,
perpindahan 1 elektron dengan oksidator
larutan APS dalam pelarut air dan sebagai
reduktornya, selulosa (Bhattacharya & Ray
2009).
Mekanisme
kopolimerisasi
selulosa
dengan teknik pencangkokan dan penautan
silang menggunakan akrilamida dapat dilihat
pada Gambar 4. Menurut Abdel-Salam
(1986),
tahap
inisiasi
melibatkan
pembentukan radikal bebas pada inisiator.
Kemudian radikal inisator yang terbentuk
bereaksi dengan polimer menghasilkan radikal
selulosa yang akan bereaksi dengan monomer.
Inisiator APS berfungsi menghasilkan radikal
bebas dengan medium larutan pada kondisi
suhu 60–65 °C (Li et al. 2007; Liang et al.
2009). Inisiator APS akan membentuk ion
persulfat. Ion persulfat kemudian bereaksi
dengan gugus hidroksil selulosa membentuk
radikal bebas di C6 sebagai pusat aktif tempat
terjadinya
pencangkokan
poliakrilamida
(Kurniadi 2010). Hidroksil C6 memiliki
reaktivitas yang lebih tinggi karena pengaruh
substituen-substituen di sekitarnya.
Rantai radikal yang terbentuk pada tahap
inisisasi selanjutnya mampu menambah
monomer pada pemanjangan rantai polimer
(tahap propagasi). Reaksi kopolimerisasi

dapat terjadi antara selulosa dan akrilamida,
baik yang belum maupun yang telah menjadi
radikal, membentuk kopolimer (Kurniadi
2010). Tahap propagasi dimulai saat monomer
akrilamida tercangkok pada tulang punggung
rantai selulosa. Penambahan radikal polimer
ke molekul akrilamida yang tersedia
membentuk
selulosa
tercangkokpoliakrilamida.
Selulosa
tercangkok
poliakrilamida
dibuktikan dengan bertambahnya bobot awal
selulosa setelah ditambahkan akrilamida.
Bobot selulosa tercangkok poliakrilamida
bertambah sekitar 30 g dengan bobot awal
selulosa sebanyak 5 g dengan penambahan 25
g akrilamida. Gambar 4, perbandingan
selulosa dan akrilamida (1:5), dapat
diperkirakan peningkatan bobot molekul
selulosa tercangkok poliakrilamida sebesar
6.240 g/mol dengan bobot molekul pada n
selulosa 12 sebesar 1.980 g/mol dan bobot
molekul pada n poliakrilamida 60 sebesar
4.260 g/mol (Lampiran 4).
Tahap
terminasi
terjadi
ketika
antarselulosa yang tercangkok poliakrilamida
terbentuk penautan silang dengan adanya
MBA sebagai penaut silang. Menurut AbdelSalam (1986), tahap terminasi pada
kopolimerisasi selain melibatkan penautansilang radikal-radikal kopolimer juga terjadi
melalui
pembentukan
homopolimer
antarradikal monomer yang tidak tercangkok
pada tulang punggung polimer utama.
Monomer akrilamida tersebut dapat bereaksi
dengan ion persulfat membentuk radikal
monomer akrilamida (tahap inisiasi). Adisi
radikal monomer ke molekul akrilamida
lainnya berturut-turut membentuk radikal
oligomer dan polimer (tahap propagasi)
(Stevens 1999). Tahap terminasi adalah
homopolimerisasi radikal-radikal oligomer
membentuk poliakrilamida (Gambar 5)
(Kurniadi 2010).

6

Tahap Inisiasi
O
NH4+

O

O

S

O

O

O
O

S

O

2

NH4+

+
NH4

S

O

O

Amonium peroksidisulfat
O

OH
O
O

S

O

O

O

O

H
O

O

O

CH2

CH2
NH4+

O

O

OH

H

H

OH

O

H

+

O

H
OH

H

H

OH

O

NH4

S

OH

O

Selulosa

Tahap Propagasi
O

NH2
HC

CH2
O
O

H

O

H2C

CH

O

OH

O

H2C

H

H

O

NH2

CH2
O

OH

O

H

Akrilamida
O

OH

H

H

OH

NH2
NH2

HC

HC
CH2

O
CH2
H2C

CH
H2C

CH2
O

O

O

O

NH2

O

H
OH

NH2

CH

O

O

O

CH2

H

O
O

H
OH
O

HC
CH2

OH

H

H

OH

NH2

NH2
HC

O
NH2

CH2

CH
H2C

O

n

H

NH2
CH

O
nH2C

O

O

CH

CH2
NH2

CH2

O

O

O

O

H
O

CH

NH2

CH2

OH

H

O

H

OH

CH2
O
O

H
O

OH

H

H

OH

Gambar 4 Mekanisme kopolimerisasi selulosa dengan teknik pencangkokan dan penautan silang
menggunakan akrilamida.

7

Lanjutan Gambar 4
Tahap Terminasi
NH2

CH2

OH

H
O
O

H
OH

H

H

OH

H

OH

H

H H

O

H

OH

O

H
OH

H

H

OH

OH

H

O

H

NH2

CH
O

CH

CH2

O

O

O
CH2

CH2

NH2

NH2

CH

O

O

CH2

CH2

O

CH
O

O

CH2

CH2

O
CH

O

CH

H2N

H2N

O

CH2

CH2

CH2

O

OH

H
O

O

H

O

H

H

OH

H

OH

H H

H

O

H

CH2
CH

H

H

OH

H

H H
CH2

OH

O

H2N

O

O

O
H2
C

C

H2C

O
O

H

CH2

CH

H2N

OH

O

CH2

O

OH

O

n

n

H2N

OH

H
O

CH

H2N
O

CH2
H

O

H

CH

O

CH2

NH2

H H

O
CH2

HC

CH2

O

C
H

C

N
H

CH2
C
H

N
H

N,N'-Metilena-bis-akrilamida

OH

OH

H

H

OH

H

H

H

O

H

H

OH
H H

O

O

OH

H

H

OH

H

H

O

O

CH2

OH

H

O

O
H2C

O

CH

CH2

CH2
H2C

HN
CH2
HN

HN
C

O

C

O

CH2

CH2

CH2

NH2

NH2

NH2

HC

HC

CH

CH2

O

O

HO

O

CH2

H

HO

CH2

H

H
OH

H

H

H

O
O

H

CH2
O

H

H H

O

OH

HO

H

O

O

O

O

CH2

O

O

H

O

H2C

H2C

H2C

O

C

O

CH2

CH2

CH2

OH

H2N

C

HN

H

CH2

HN

CH2

H

H2C

O

HN

H

H

H2C

C

OH
H

10

10

10

CH2
H2C

OH

H

H2N

H2N

H H

H

CH

CH

OH

OH

O

CH2

O

C

OH

O

O
CH2

O

O

H

OH
H

H
O

H

H

O

H

CH2

OH

10

O

H

CH2

OH

H

10

CH2
H

O

O

O

10

O

CH2
H

H

NH2

HC

n

O

n

O

H

OH

OH

H

H

H

OH

OH

H

O

H

O

H

H H

O
H

CH2
O

H

OH
H

O

OH

H

O
OH

H

CH2
O

Selulosa tercangkok poliakrilamida

8

Tahap inisiasi
O

O
NH4+

O

S

CH

H2C

O

NH4+

O

S

O

CH

C
H2

O

O

O

O

NH2

NH2

Akrilamida

Tahap Propagasi
O
NH4+

O

S

O
O

H2C

CH

C
H2

CH

NH4

+

O

S

O

O

NH2

NH2

n H2C

O
O

S

H2
C

CH

CH

C
H2

O

O

NH4+

O

O

H2
C

CH

C
H2

CH

O

O

NH2

O

NH2

CH

O

O

NH2
NH4+

O
O

NH2

O

S

NH2

O

O

H2
C

CH

O
NH2

C
H2
O

CH

C
H2

O
NH2 n

CH

NH2

Tahap Terminasi *
O
NH4+

O

S
O

O
O

C
H2
O

NH4+

CH

O

NH2

S
O

O

C
H2
O

H2
C

CH

CH

O
NH2

NH2

n

Poliakrilamida

Gambar 5 Mekanisme pembentukan homopolimer akrilamida (* Kurniadi 2010).
Penambahan campuran monomer dan
penaut silang ke dalam larutan selulosa akan
membentuk gel (Gambar 6 dan 7). Menurut
Putranto (2006), gel tersebut disusun oleh
akrilamida dan MBA yang berpolimerisasi
melalui mekanisme radikal bebas dengan
bantuan inisiator APS.
Presipitasi merupakan salah satu metode
pengendapan
yang
dilakukan
dengan
menambahkan sejumlah zat kimia tertentu
untuk mengubah senyawa yang mudah larut
ke bentuk padatan yang tidak larut (Andaka
2008). Metanol p.a dan etanol p.a berfungsi
sebagai agen dehidratif, yaitu mengikat air
yang telah ditambahkan pada awal proses
kopolimerisasi. Gambar 8 menunjukkan
bahwa hasil presipitasi dengan metanol p.a
lebih larut dibandingkan dengan etanol p.a.
Hal ini disebabkan metanol p.a lebih polar
sehingga mengikat lebih banyak air. Produk
presipitasi dengan etanol p.a lebih mudah
disaring, hal ini berarti air pada produk lebih
banyak terikat pada metanol p.a dan yang
tidak terikat akan terlarut dalam etanol p.a.

Gambar 6 Sebelum penambahan campuran
monomer dan penaut silang.

Gambar 7

Setelah penambahan campuran
monomer dan penaut silang.

9

Proses
presipitasi
yang
terakhir
menggunakan aseton p.a. Sisa rantai yang
terputus berupa homopolimer dapat terlarut
saat dicuci dengan aseton p.a (Silvianita et al.
2004). Setelah dicuci dengan aseton p.a,
produk menjadi lebih kaku dan keras.
Homopolimer yang terlarut dalam aseton
ditandai dengan terbentuknya larutan keruh
pada aseton (Kurniadi 2010).
Gambar 9 Produk hasil modifikasi.
Keberhasilan pencangkokan dan penautansilang dapat dipantau dengan analisis FTIR
dengan pembanding selulosa awal dan
akrilamida. Selain itu, juga dilakukan uji
daya serap air secara gravimetrik (kuantitatif),
nisbah
pencangkokan
(RG),
efisiensi
pencangkokan (EG), dan derajat penautansilang (melalui nilai koefisien swelling
terhadap air) (Mostafa et al. 2007).
Nilai RG dan EG diperoleh melalui
pengukuran kadar nitrogen. Kadar nitrogen
yang dihasilkan sebesar 12–14% dengan RG
sebesar 158–253 dan EG sebesar 31–50%
(Tabel 1). Perhitungan kadar nitrogen, RG,
dan EG disajikan pada Lampiran 5.
Tabel 1 Nisbah dan efisiensi pencangkokan
selulosa hasil modifikasi
Kadar
EG
Ulangan Nitrogen
RG
(%)
(%)
1
13.51
217.61
43.52
2
14.13
253.86
50.77
3
12.07
158.27
31.65
Gambar 8

Presipitasi dengan pelarut (a)
metanol p.a, (b) etanol p.a, (c)
aseton p.a.

Homopolimer terbentuk karena adanya
kompetisi di antara radikal-radikal monomer
akrilamida untuk bereaksi dengan selulosa,
radikal selulosa, monomer, atau radikal
monomer. Jika bereaksi dengan selulosa atau
radikal selulosa akan terbentuk kopolimer,
tetapi jika bereaksi dengan monomer atau
radikal monomer akan terbentuk homopolimer
(Kurniadi 2010).
Selulosa
hasil
pencangkokan
dan
penautan-silang diperoleh berupa bongkahan
dengan bobot sekitar 30 g (Gambar 9).
Bongkahan tersebut digerus dan diayak
membentuk partikel dengan ukuran 40–80
mesh untuk analisis berikutnya seperti analisis
FTIR.

Nilai
RG
menunjukkan
persen
pencangkokan terhadap selulosa yang
sebenarnya terlibat pada reaksi. Akrilamida
yang tercangkok dihitung sebagai bobot
produk selulosa yang tercangkok oleh
poliakrilamida dikurangi bobot selulosa yang
terlibat dalam reaksi. Bobot akrilamida yang
tercangkok dibandingkan dengan akrilamida
yang ditambahkan di awal merupakan nilai
RG. Efisiensi pencangkokan (%EG) adalah
persen pencangkokan terhadap bobot selulosa
awal. Dalam perhitungan %EG diasumsikan
semua selulosa yang ditambahkan habis
bereaksi. Akrilamida yang tercangkok
dihitung sebagai bobot produk selulosa yang
tercangkok oleh poliakrilamida dikurangi
bobot selulosa awal. Harga %EG adalah bobot
akrilamida yang mengalami pencangkokan
dibandingkan dengan akrilamida yang
ditambahkan di awal. Kenyataannya, tidak
semua selulosa terlibat dalam reaksi. Karena

10

itu, harga RG akan selalu lebih besar dari
pada harga %EG (Silvianita et al. 2004).

penyerapan air yang lebih tinggi dibandingkan
selulosa tanpa modifikasi, sehingga dapat
digunakan sebagai polimer superabsorben.

Pengujian Kapasitas Absorpsi Air
Analisis FTIR
Polimer
superabsorben
merupakan
material yang mempunyai kemampuan untuk
menyerap dan menahan sejumlah volume air
dan larutan lainnya sampai beberapa ribu kali
dari bobotnya. Polimer yang digunakan
sebagai superabsorben harus memenuhi
persyaratan di antaranya bersifat hidrofilik,
tidak larut dalam air, dan mempunyai gugus
fungsi yang bersifat ionik. Polimer
superabsorben dari bahan organik memiliki
beberapa kelemahan seperti kapasitas absorpsi
yang terbatas, karakteristik fisik yang kurang
kuat, serta tidak stabil terhadap perubahan
suhu dan pH. Kelemahan ini dapat diatasi
dengan pembuatan polimer superabsorben
dalam
bentuk
komposit.
Polimer
superabsorben dapat diperoleh dari hasil
modifikasi kimia selulosa dengan akrilamida,
yang keduanya merupakan molekul hidrofilik
dan mempunyai afinitas penyerapan air yang
tinggi. Prinsip kerja kebanyakan polimer
superabsorben adalah tautan silang hidrofilik
melalui proses penggelembungan. Adanya
tautan silang ini menyebabkan polimer
superabsorben tidak larut dalam air.
Kapasitas absorpsi air merupakan sifat
penting dari polimer superabsorben. Ketika air
ditambahkan ke dalam polimer superabsorben
terjadi interaksi polimer dengan pelarut yang
melibatkan hidrasi dan pembentukan ikatan
hidrogen. Ikatan hidrogen tidak hanya terjadi
antara gugus-gugus –OH selulosa hasil
modifikasi, tetapi juga antara –OH tersebut
dan air. Molekul air yang menempel pada
permukaan selulosa hasil modifikasi bisa
tunggal atau berkelompok. Penyerapan air ini
bergantung pada jumlah gugus –OH bebas
atau yang tidak terikat satu dengan yang
lainnya.
Masuknya air ke dalam struktur selulosa
hasil modifikasi membengkakkan struktur.
Dengan efisiensi pencangkokan sebesar
43.52%, bobot bertambah sampai 69 kali dari
bobot awal dengan persentase air yang
terserap terhadap bobot awal sebesar 6755%
setelah 24 jam. Bobot tersebut bertambah
sampai 93 kali dari bobot awal dengan
persentase air yang terserap terhadap bobot
awal sebesar 9187% setelah 48 jam (Lampiran
5). Bertambahnya waktu perendaman, maka
bobot penyerapan air juga akan semakin
tinggi. Hal tersebut membuktikan bahwa
selulosa
hasil
modifikasi
mempunyai

Analisis
gugus
fungsi
dengan
spektrofotometer FTIR dilakukan pada sampel
selulosa murni, akrilamida, dan selulosa hasil
modifikasi.
Dengan
mengamati
dan
membandingkan spektrum ketiga sampel,
dapat
disimpulkan
apakah
proses
pencangkokan dan penautan silang selulosa
dengan akrilamida telah terjadi. Pencirian
FTIR selulosa murni disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Pencirian FTIR selulosa murni
Bilangan Gelombang (cm-1)
Gugus
Fungsi
1
2
3
Ulur -OH
3277.06
3350 3382.9
Ulur C-H
2899.01
2900
Tekuk C-H
1427.32
2904.6
C-O-C
1107.14
1164.9
glikosida
Sidik jari
1031.92
1000–
dan
1100
1049.28
Ulur C-O
gugus
hidroksil
1002.98
1033.8
pada unit
anhidroglu
kosa
Piranosa
896.90
898.8
Keterangan:
1= hasil penelitian
2= menurut Bonet et al. (2004)
3= menurut Tampubolon (2008) dan Pardosi (2008)

Spektrum FTIR akrilamida (Gambar 10)
menunjukkan 2 puncak ulur –NH2 pada
bilangan gelombang 3180.62–3342.64 cm-1,
Karena akrilamida merupakan amida primer.
Bilangan
gelombang
1668.43
cm-1
menunjukkan ulur C=O dan bilangan
gelombang 1651.07 cm-1, tepat di sebelah
kanan serapan ulur C=O, timbul dari tekukan
N-H. Pencirian akrilamida dengan analisis
spektrum FTIR telah dilakukan oleh Erizal et
al. (2007) dan Murugan et al. (1998).
Spektrum
FTIR
selulosa
hasil
pencangkokan dan penautan silang (Gambar
10) memperlihatkan keberhasilan modifikasi.
Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya
serapan ulur ikatan C=O pada bilangan
gelombang sekitar 1650 cm-1 dan ulur –NH2
pada 3182.55 cm-1 yang mengonfirmasi
keberadaan monomer dan penaut silang pada
selulosa komersial.

11

ulur -OH

ulur C=O

ulur -NH2
ulur C=O

Gambar 10 Spektrum FTIR: (―) = selulosa komersial, (―) = selulosa hasil pencangkokan dan
penautan silang, (―) = akrilamida.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Modifikasi selulosa dengan teknik
pencangkokan
dan
penautan
silang
menggunakan monomer akrilamida dan N,Nmetilena-bis-akrilamida sebagai penaut silang
telah berhasil dilakukan. Produk hasil
modifikasi mengalami pencangkokan sebesar
31–50%. Produk akhir juga bertambah sampai
69 kali dari bobot awal dengan persentase air
yang terserap terhadap bobot awal sebesar
6755% setelah 24 jam dan bertambah sampai
93 kali dari bobot awal dengan persentase air
yang terserap terhadap bobot awal sebesar
9187% setelah 48 jam.
Saran

cellulose derivatives. [tesis]. Mesir:
Faculty of Chemistry Department, ElMansoura University.
Akmar PF, Kennedy JF. 2001. The potential
of oil and sago palm trunk wastes as
carbohydrate resources. Wood Sci Technol
35:467-473.
Andaka G. 2008. Penurunan kadar tembaga
pada limbah cair industri kerajinan perak
dengan presipitasi menggunakan n