Performance Determinants of Agricultural Extension in the City Tidore Islands North Maluku province

FAKTOR PENENTU KINERJA PENYULUH PERTANIAN
DI KOTA TIDORE KEPULAUAN PROVINSI MALUKU UTARA

IBRAHIM HAMZAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini menyatakan bahwa tesis Faktor Penentu Kinerja Penyuluh Pertanian di
Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara adalah karya saya dengan arahan
dari komisis pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2011


Ibrahim Hamzah
NRP. I351090021

ABSTRACT
IBRAHIM HAMZAH. Performance Determinants of Agricultural Extension in
the City Tidore Islands North Maluku province. Under direction of SUMARDJO
and SOENARMO J. HATMODJOSOEWITO.

The role of agricultural extension agent from 1978 until the 1980's showed an
important role in the development of national economy. In the 1990's the
perceived role of the instructor began to decline, both in quantity and quality
(performance level). The condition is occurring nationwide, including in the City
Tidore Islands North Maluku province. Therefore we need a study that aims to
analyze the factors thought to affect the performance of extension workers and
formulating appropriate counseling strategies based on the implementation of the
determinants of performance extension. Data collection conducted in mid-May
through June 2011 thousands through census methods. The study population was
defined as many as 56 people 67 people from the extension of existing civil
servants. The results showed a correlation factor of age, period of employment,
training, instructor perceptions of the tasks / jobs, media utilization, reward

systems, active community participation, support supervision monitoring,
planning, implementation, and evaluation of extension programs, applying
principles of adult learning, and communication skills real contact with the
performance of agricultural extension. The analysis showed a factor of training,
perceptions of job/task, use of the media, community participation, and
implementation of extension programs have real impact on the performance of
agricultural extension. The average performance of extension agents were the
category of being, where the extension is not optimal in planning, implementing
and evaluating activities properly instructed. This is caused by a lack of
creativity, initiative, and the ability of trainers to build cooperation and
communication with the target extension. The implementation of agricultural
extension that is not optimal in the City Tidore Islands affected several
determinants of performance of extension, namely: (1) lack of competence in
aspects of the implementation of extension programs. (2) lack of extension agents
utilize the available media, (3) perception of extension agents to the task / job, (4)
the intensity of training, and (5) active participation of the community.
Key words: Characteristics, competencies, performance of trainers and extension
strategies

RINGKASAN

IBRAHIM HAMZAH. Faktor Penentu Kinerja Penyuluh Pertanian di Kota Tidore
Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh SUMARDJO dan
SOENARMO J. HATMODJOSOEWITO.
Pembangunan Pertanian hingga saat ini mempunyai peran sentral sebagai
tulang punggung pembangunan perekonomian nasional. Peran penting sektor
pertanian tersebut tidak terlepas dari peran penyuluhan pertanian sebagai bagian
yang terpenting dari pembangunan pertanian secara umum. Setelah tahun 1990
peran penyuluh pertanian dari tahun ke tahun terus menunjukkan penurunan yang
cukup signifikan, baik dari segi jumlah maupun tingkat kinerja yang dicapai.
Bergulirnya era reformasi dan otonomi daerah, kegiatan penyuluhan pertanian
yang dilakukan oleh pemerintah dinilai merosot sampai ke titik nadir Margono
Slamet (2001). Kinerja penyuluh pertanian di seluruh wilayah Indonesia hingga
saat ini masih rendah.
Mencermati kondisi tersebut, pada tahun 2005 pemerintah mencanangkan
Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) dan Revitalisasi
Penyuluhan Pertanian (RPP) telah ditindaklanjuti dengan terbitnya UndangUndang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan (SP3K). Dari dimensi organisasi atau kelembagaan, lembaga
penyuluhan harus independen sebagaimana amanat undang-undang nomor 16
Tahun 2006. Sedangkan dari dimensi personil, upaya mengatasi kekurangan
penyuluh pertanian terus dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi dan memiliki hubungan terhadap tingkat kinerja penyuluh
pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara, serta merumuskan
strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kota Tidore Kepulauan
Provinsi Maluku Utara. Penelitian ini dirancang melalui metode sensus.
Pengumpulan data dilaksanakan pada pertengahan bulan Mei sampai bulan Juni
2011, di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara.
Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan
bahwa; (1) Kota Tidore adalah salah satu dari 9 Kabupaten/Kota di Provinsi
Maluku Utara yang telah membentuk kelembagaan penyuluhan sesuai UndangUndang Nomor 16 Tahun 2006, (2) Jumlah dan distribusi penyuluh di Kota
Tidore Kepulauan tersebar merata, dan (3) dibandingkan dengan Kabupaten/Kota
lain di Provinsi Maluku Utara, lokasi penelitian ini memiliki kualifikasi penyuluh
yang lengkap sesuai komoditas/subsektor. Populasi penelitian adalah seluruh
penyuluh pertanian PNS yang memiliki lokasi tugas/wilayah binaan. Untuk
melihat pengaruh maupun hubungan antar peubah terhadap tingkat kinerja
penyuluh pertanian digunakan uji statistik regresi dan korelasi Pearson.
Rendahnya kinerja penyuluh pertanian disebabkan oleh rendahnya aspek
kompetensi perencanaan, pelaksanaan, dan pengevaluasian program penyuluhan,
pemanfaatan media, kompetensi penerapan prinsip belajar orang dewasa, persepsi
penyuluh terhadap pekerjaan atau tugas, dukungan penghargaan, masa kerja

penyuluh, umur, kompetensi berkomunikasi, dukungan supervisi dan monitoring,
partisipasi aktif masyarakat dan intensitas pelatihan.

Karakteristik internal, eksternal dan kompetensi menentukan rendahnya
kinerja penyuluh pertanian secara berturut-turut dari yang paling menentukan
yaitu, (1) kompetensi pelaksanaan program penyuluhan, (2) pemanfaatan media,
(3) persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan, (4) pelatihan, dan (5) partisipasi
aktif masyarakat.
Data penelitian untuk karakteristik internal menunjukan umur penyuluh
45 persen tergolong muda, masa kerja penyuluh 50 persen tergolong masih baru,
intensitas pelatihan 71 persen tergolong sedang/ jarang, dan persepsi penyuluh
terhadap pekerjaan/tugas 82 persen tergolong tinggi. Karakteristik eksternal
menunjukkan faktor dukungan penghargaan terhadap penyuluh berprestasi 63
persen dalam kategori sedang (jarang diberikan), partisipasi aktif masayarakat 52
persen tergolong tinggi, dan dukungan supervisi monitoring 43 persen dalam
kategori sedang (jarang dilakukan). Sedangkan semua aspek-aspek kompetensi
penyuluh rata-rata berada dalam kategori sedang, kecuali kompetensi pada aspek
perencanaan program penyuluhan 71 persen dalam kategori tinggi.
Nilai koefisien determinan (R Square) dari pengaruh faktor karakteristik
internal, eksternal, dan kompetensi penyuluh terhadap kinerja penyuluh pertanian

adalah 0,547 atau 54,7 persen. Artinya pengaruh langsung faktor-faktor tersebut
secara bersama-sama terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian adalah sebesar
54,7 persen. Adapun sisanya yaitu 46,3 persen dijelaskan oleh faktor-fakor lain
diluar model.
Untuk meningkatkan kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore
Kepulauan, maka diperlukan strategi-strategi penyelenggaraan penyuluhan
pertanian yang tepat melalui upaya peningkatan terhadap tiga aspek penting yaitu;
(1) peningkatan peran organisasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian; (2)
peningkatan jenjang karier dan kesejahteraan penyuluh pertanian, dan (3)
peningkatan peran lembaga pendukung penyuluhan pertanian.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


FAKTOR PENENTU KINERJA
PENYULUH PERTANIAN di KOTA TIDORE KEPULAUAN
PROVINSI MALUKU UTARA

IBRAHIM HAMZAH

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi
Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc

Tesis


: Faktor Penentu Kinerja Penyuluh Pertanian Di
Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara

Nama

: Ibrahim Hamzah

NRP

: I351090021

Menyetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS
Ketua

Dr. Soenarmo J. Hatmodjosoewito, M.Ed
Anggota


Mengetahui

Ketua Program Studi/Mayor
Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 3 Oktober 2011

Tanggal Lulus:

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur

penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala


karunia-Nya sehingga karya ilmiah

dengan judul “Faktor Penentu Kinerja

Penyuluh Pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara” dapat
diselesaikan. Tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister
sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Mencermati kinerja penyuluh yang terus menurun setelah era kejayaannya,
maka pada tahun 2005 pemerintah mencanangkan program Revitalisasi
Penyuluhan Pertanian (RPP). Program ini mendapat payung hukum yang kuat
dengan

terbitnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem

Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Namun demikian
implementasi operasionalisasi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tersebut,
masih dihadapkan pada berbagai permasalahan seperti; beragamnya bentuk dan
tingkat eselonering kelembagaan penyuluhan, (2) terbatasnya kuantitas dan

kualitas tenaga penyuluh pertanian, (3) programa penyuluhan pertanian belum
disusun secara partisipastif. (4) terbatasnya sarana dan prasarana penyuluhan
pertanian, dan (5) rendahnya dukungan pemerintah daerah (Sumardjo dkk, 2010).
Berdasarkan pada kondisi tersebut, serta berasumsi bahwa pengaruh faktor
situasional terhadap kinerja penyuluh pertanian di masing-masing daerah adalah
berbeda, maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui aspek-aspek apa saja
yang menentukan tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan
Provinsi Maluku Utara.
Akhirnya semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak dalam
memberikan solusi terhadap peningkatan kinerja penyuluh pertanian.

Bogor, Oktober 2011

Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
dengan judul “Faktor Penentu Kinerja

Penyuluh Pertanian di Kota Tidore

Kepulauan Provinsi Maluku Utara” .
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
(1) Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS,

selaku ketua komisi pembimbing, (2) Dr.

Soenarmo J. Hatmodjosoewito, M.Ed, selaku anggota komisi pembimbing, yang
telah banyak memberikan arahan dan bimbingan mulai dari proses perencanaan
penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan
terima kasih kepada Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc selaku Ketua Program Studi dan
Bapak Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc selaku penguji luar komisi atas segala
saran dan pendapatnya. seluruh mahasiswa pascasarjana Program Studi Ilmu
Penyuluhan Pembangunan, khususnya rekan-rekan angkatan 2009. Ucapan terima
penulis sampaikan kepada Walikota Kota Tidore Kepulauan beserta jajarannya
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan
pada program magister di Institut Pertanian Bogor. Seluruh penyuluh dan petani
responden atas sumbangsihnya dalam memperlancar jalannya penelitian.
Akhirnya, ungkapan rasa syukur dan terima kasih untuk orang tua tercinta
H. Hamzah M. Said (Dja) dan Hj. Tidjia A. Konoras (Djia) serta dukungan penuh
seluruh keluarga yang tidak putus-putusnya mengiringi penulis dengan materi dan
do’a. Untuk isteri tercinta (Katia Matsary) dan ketiga anak-anaku yang tersayang
(Ika, Ayu dan Irul), terima kasih atas do’a dan kesabarannya demi keberhasilan
papa, semoga Allah SWT mengangkat derajat kita semua. Amin.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tafamutu Kota Ternate pada tanggal 6 Pebruari
1972, sebagai anak ke delapan dari Sembilan bersaudara dari ayah H. Hamzah M.
Said dan ibu Hj. Tidjia A. Konoras. Penulis telah menikah dengan Katia Matsary
dan telah dikaruniai tiga orang anak, masing-masing: Rizka Fajri, Nurhidayati dan
Khairulasmi.
Pendidikan Dasar ditempuh di SD Negeri Tafamutu Kota Ternate,
sedangkan pendidikan lanjutan tingkat pertama dan lanjutan atas diselesaikan
masing-masing

di SMP Negeri 1 dan SMA Negeri 1 Tidore Kota Tidore

Kepulauan. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi pada
Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon, lulus pada tahun 1998.
Kesempatan penulis untuk menempuh pendidikan pascasarjana di Program Studi
Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian
Bogor (IPB) diperoleh pada tahun 2009 atas biaya pendidikan dari Pemerintah
Daerah Kota Tidore Kepulauan.
Penulis mulai bekerja sebagai pegawai negeri sipil tahun 2001 pada
Kantor Informasi dan Penyuluhan Pertanian (KIPP) Kabupaten Halmahera
Tengah. Pada tahun 2004 penulis diangkat dalam jabatan struktural sebagai
Kepala Seksi Perkebunan pada Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tidore
Kepulauan. Pada tahun 2007 penulis dipercayakan untuk menduduki jabatan
sebagai Kepala Sub Bagian Tata Usaha pada Kantor Informasi dan Penyuluhan
Pertanian dan pada tahun 2008 – 2009 dalam jabatan yang sama pada Kantor
Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (KPKP).
Selama dalam masa studi pada program pascasarjana, penulis berstatus
sebagai staf biasa pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan (BP4K) Kota Tidore Kepulauan.

DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR .......................................................................................

xiii

DAFTAR ISI .....................................................................................................

xix

DAFTAR TABEL .............................................................................................

xxiii

DAFTAR GAMBAR .........................................................................................

xxv

DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................

xxvii

PENDAHULUAN
Latar Belakang .........................................................................................

1

Masalah penelitian ....................................................................................

5

Tujuan Penelitian......................................................................................

5

Manfaat Penelitian ....................................................................................

6

TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah dan Kebijakan Penyuluhan Pertanian............................................

7

Penyuluh Pertanian ...................................................................................

10

Karakteristik Internal Penyuluh.................................................................

11

Karakteristik Ekaternal Penyuluh..............................................................

16

Kompetensi Penyuluh Pertanian................................................................

20

Kinerja Penyuluh Pertanian.......................................................................

28

Strategi Penyuluh Pertanian ......................................................................

31

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Kerangka Pemikiran .................................................................................

33

Hipotesis...................................................................................................

34

METODE PENELITIAN
Rangcangan dan Lokasi Penelitian............................................................

37

Populasi dan sampel Penelitian .................................................................

37

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data.........................................................

38

Validitas dan Realibilitas ..........................................................................

39

Definisi Istilah ..........................................................................................

41

Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ........................................

42

Karakteristik Internal (X1) ................................................................

42

Karakteristik Eksternal (X2)..............................................................

44

Kompetensi Penyuluh (X3) ...............................................................

45

Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian (Y)............................................

46

Analisis Data ...........................................................................................

47

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Gambaran Wilayah Penelitian ..................................................................

49

Distribusi Kelompok Tani ........................................................................

51

Distribusi Penyuluh Pertanian ..................................................................

52

KINERJA PENYULUH PERTANIAN DAN FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA
Hubungan antara sub Karakteristik Internal dengan Kinerja Penyuluh
Pertanian ..................................................................................................

57

Hubungan antara sub Karakteristik Eksternal dengan Kinerja Penyuluh
Pertanian ..................................................................................................

60

Hubungan antara sub Kompetensi dengan Kinerja Penyuluh Pertanian.....

64

Pengaruh sub-sub Karakteristik Internal terhadap Tingkat Kinerja
Penyuluh Pertanian..................................................................................

69

Pengaruh sub-sub Karakteristik Eksternal terhadap Tingkat Kinerja
Penyuluh Pertanian..................................................................................

72

Pengaruh sub-sub Kompetensi terhadap Tingkat Kinerja Penyuluh
Pertanian ..................................................................................................

74

Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian .........................................................

75

STRATEGI PENYELENGGARAAN PENYULUHAN
Pelaksanaan Program Penyuluhan ............................................................

81

Pemanfaatan Media Penyuluhan...............................................................

82

Persepsi Penyuluh terhadap Tugas/ Pekerjaan...........................................

83

Intensitas Pelatihan Penyuluh ...................................................................

83

Partisipasi Aktif Masyarakat.....................................................................

84

Strategi Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian........................................

85

Peningkatan Peran Organisasi Penyelengaraan Penyuluhan................

87

Peningkatan Peran Jenjang Karier dan Kesejahteraan Penyuluh .........

89

Peningkatan Peran Kelembagaan Pendukung Penyuluhan ..................

90

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ...............................................................................................

93

Saran.........................................................................................................

94

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Hal
1. Hasil uji validitas instrumen Karakteristik Internal, Eksternal, Kompetensi
Penyuluh, dan Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian.......................................

40

2. Hasil uji reliabilitas instrument karakteristik internal, eksternal, kompetensi
penyuluh, dan tingkat kinerja penyuluh pertanian..........................................

41

3. Gambaran Umum Wilayah Penelitian...........................................................

49

4. Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan di Wilayah Penelitian Tahun 2010.......

51

5. Jumlah Kelompok Tani-Nelayan di Wilayah Kerja BP4K Tahun 2010 .........

52

6. Jumlah dan Sebaran Penyuluh Pertanian di Kota Tidore Kepulauan..............

53

7. Rasio antara Jumlah Petani, Luas Wilayah Binaan, Jumlah Kantor BP3K
dan Jumlah BOP dengan Jumlah Penyuluh ...................................................

53

8. Distribusi Penyuluh Pertanian Berdasarkan Karakteristik Internal.................

56

9. Koefisien korelasi antara aspek-aspek karakteristik internal dengan
aspek-aspek kinerja penyuluh pertanian ........................................................

58

10. Distribusi Penyuluh Pertanian Berdasarkan Karakteristik Eksternal .............

61

11. Koefisien korelasi antara aspek-aspek karakteristik eksternal dengan
aspek-aspek kinerja penyuluh pertanian......................................................

62

12. Distribusi Penyuluh Pertanian Berdasarkan Kompetensi Penyuluh...............

65

13. Distribusi Kompetensi penyuluh Berdasarkan Penilaian Petani....................

67

14. Koefisien korelasi antara aspek-aspek kompetensi penyuluh dengan
aspek-aspek kinerja penyuluh pertanian......................................................

68

15. Koefisien regresi pengaruh karakteristik internal terhadap kinerja penyuluh
pertanian.....................................................................................................

70

16. Koefisien regresi pengaruh karakteristik eksternal terhadap kinerja penyuluh
pertanian.....................................................................................................

72

17. Koefisien regresi pengaruh kompetensi penyuluh terhadap kinerja penyuluh
pertanian.....................................................................................................

75

18. Distribusi Penyuluh Pertanian Berdasarkan Tingkat Kinerja Penyuluh.........

77

19. Koefisien regresi pengaruh karakteristik internal, eksternal, dan kompetensi
penyuluh terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian ................................

81

DAFTAR GAMBAR

Hal
1. Alur Kerangka Berpikir ................................................................................

36

2. Koefisien regresi aspek-aspek yang berpengaruh terhadap Tingkat Kinerja
Penyuluh.......................................................................................................

80

DAFTAR LAMPIRAN

Hal
1. Hasil Analisis Korelasi Pearson ....................................................................

101

2. Hasil Analisis Regresi Pearson .....................................................................

105

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan Pertanian hingga saat ini mempunyai peran sentral sebagai
tulang punggung pembangunan perekonomian nasional. Peran penting sektor
pertanian tersebut tidak terlepas dari peran penyuluhan pertanian sebagai bagian
yang terpenting dari pembangunan pertanian secara umum. Pada era pelaksanaan
Bimas, peran penyuluh pertanian di Indonesia sangat dirasakan manfaatnya yang
ditunjukan melalui proyek penyuluhan pertanian tanaman pangan (Nation Food
Crops Extension Project) dan dilanjutkan dengan NAEP (National Agricultural
Extension Project) tahun 1978, hingga pada tahun 1984 pemerintah Republik
Indonesia meraih masa kejayaannya dengan memperoleh penghargaan FAO atas
keberhasilannya mencapai swasembada beras (Mardikanto, 2009).
Kejayaan penyuluhan pertanian tersebut hanya mampu bertahan dalam
beberapa tahun saja, karena memasuki tahun 1990-an pamor penyuluhan
pertanian yang dikelola oleh pemerintah (Departemen Pertanian) dirasakan
semakin menurun (Margono Slamet, 2001). Peran penyuluh pertanian dari tahun
ke tahun terus menunjukkan penurunan yang cukup signifikan, baik dari segi
jumlah maupun tingkat kinerja yang dicapai. Bergulirnya era reformasi semakin
memperburuk citra penyuluhan pertanian yang diikuti oleh terus menurunnya
kinerja para penyuluh pertanian secara nasional termasuk di Kota Tidore
Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Kondisi ini diperparah lagi dengan
pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Margono Slamet (2001) menyatakan bahwa, selama masa reformasi
kegiatan penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah dinilai merosot
sampai ke titik nadir. Dampak negatif yang ditimbulkan di era otonomi daerah
adalah banyak penyuluh pertanian yang memenuhi syarat kepangkatan lebih
memilih beralih status dari pejabat fungsional ke struktural, sehingga penyuluh
pertanian secara kuantitas maupun kualitas terus mengalami penurunan.

2

Jumlah penyuluh yang terus menurun dan kelembagaan penyuluhan yang
belum

stabil

tersebut menyebabkan

kinerja penyuluh

maupun

kondisi

penyelenggaraan penyuluhan secara keseluruhan, termasuk di Kota Tidore
Kepulauan Provinsi Maluku Utara pun terus mengalami penurunan. Kenyataan ini
diakui oleh Menteri Pertanian Republik Indonesia (Sinar Harapan, 2008) dikutip
dari http://blog-husni.blogspot.com, bahwa kinerja penyuluh pertanian di seluruh
wilayah Indonesia hingga saat ini masih rendah.
Pada tahun 1999 jumlah penyuluh pertanian dari semula berjumlah 37.636
orang menjadi 33.659 orang pada tahun 2001 dan sampai akhir tahun 2009
jumlah penyuluh pertanian berkurang drastis menjadi 25.708 orang (Departemen
Pertanian, 2010). Di Privinsi Maluku Utara jumlah penyuluh pertanian sampai
dengan akhir tahun 2010 tercatat sebanyak 370 orang penyuluh PNS, 269 orang
THL-TBPP, 41 orang penyuluh swadaya dan 51 orang penyuluh kontrak daerah.
Jumlah ini tersebar secara tidak merata di sembilan Kabupaten/Kota yang ada
provinsi Maluku Utara. Jumlah penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan
sebanyak 67 orang penyuluh PNS, 38 orang THL-TBPP, dan 2 orang penyuluh
kontrak daerah.
Mencermati kondisi tersebut, pada tahun 2005 pemerintah mencanangkan
Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) dan Revitalisasi
Penyuluhan Pertanian (RPP). Program RPP ini mendapat payung hukum yang
kuat dengan terbitnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Program revitalisasi di
fokuskan pada beberapa sub program yaitu penataan kelembagaan penyuluhan
pertanian, peningkatan kuantitas dan kualitas penyuluh pertanian, peningkatan
kelembagaan dan kepemimpinan petani, peningkatan sistem penyelenggaraan
penyuluhan pertanian, dan pengembangan kerjasama antara sistem penyuluhan
pertanian dan agribisnis (Sumardjo et al, 2010).
Dalam perspektif yang melihat pertanian secara menyeluruh dalam satu
kesatuan,

maka program diharapkan berimplikasi pada dimensi kualifikasi

personil dan organisasi penyuluhan. Dalam dimensi organisasi, kelembagaan
penyuluhan harus independen terhadap kepentingan sempit dan target-target

3

keproyekan sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006.
Sedangkan pada dimensi personil, diperlukan upaya-upaya peningkatan kualitas
kuantitas penyuluh pertanian.
Implementasi operasionalisasi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006
tersebut masih dihadapkan pada berbagai permasalahan diantaranya; (1)
beragamnya bentuk dan tingkat eselonering kelembagaan penyuluhan ditingkat
provinsi dan kabupaten/kota, (2) terbatasnya kuantitas dan kualitas tenaga
penyuluh pertanian, (3) programa penyuluhan pertanian belum disusun secara
partisipastif antara pelaku utama, pelaku usaha, dan penyuluh pertanian, (4)
terbatasnya sarana dan prasarana penyuluhan pertanian, dan (5) masih banyak
Pemerintah Daerah yang belum memberikan perhatian secara khusus terhadap
penyediaan pembiayaan penyuluhan pertanian. Departemen Pertanian, 2009
(Sumardjo et al, 2010).
Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut diharapkan respon baik
dari

pemerintah

daerah

untuk

membangun

sistem

penyuluhan

dan

penyelenggaraan penyuluhan yang terintegrasi. Untuk mencapai hal ini, perlu
adanya sosialisasi secara luas kepada seluruh pemangku kepentingan untuk
membangun

kesamaan

persepsi

dalam

operasionalisasinya

sehingga

penyelenggaraan penyuluhan pertanian dapat berjalan dengan produktif, efektif
dan efisien di setiap tingkatan dalam satu kelembagaan yang kuat, didukung oleh
sumberdaya yang memadai dan penyuluh yang profesional.
Kondisi penyelenggaran penyuluhan pertanian di Kota Tidore Kepulauan
dirasakan menurun sejak keputusan pemerintah menyerahkan status kepegawaian
penyuluh dari sebelumnya sebagai pegawai pusat menjadi pegawai daerah.
Dampak negatif dari keputusan pemerintah tersebut adalah menurunnya kegiatankegiatan penyuluhan yang didanai melalui anggaran daerah, karena kurang nya
perhatian pemerintah daerah terhadap sector ini secara khusus. Kondisi tersebut
yang kemudian menimbulkan sikap apatis pemerintah daerah terhadap kegiatankegiatan penyuluhan, dimana penyuluh belum dilihat sebagai suatu asset penting
tetapi lebih dipandang sebagai sector tidak memberikan kontribusi terhadap
pendapatan asli daerah dan sebaliknya hanya dianggap membebani anggaran
pemerintah daerah.

4

Menurunnya kinerja penyuluh tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor situasional di daerah, seperti; bentuk dan tingkat eselonoring
kelembagaan, pengelolaan administasi kepegawaian, pembayaran tunjangan
fungsional, dan kebijakan-kebijakan organisasi lainnya yang berdampak pada
menurunnya kompetensi dan motivasi kerja para penyuluh. Fakta di lapangan
menunjukkan kelembagaan penyuluhan di Kota Tidore Kepulauan sesuai Undangundang Nomor 16 Tahun 2006 baru diperdakan pada tahun 2010. Artinya, sekian
lama penyuluh harus bertahan dengan ketidakpastian status kelembagaan dan
anggaran yang serba terbatas.
Dalam bidang administrasi kepegawaian dan keuangan, penyesuaian
jabatan fungsional dengan jenjang kepangkatan penyuluh menjadi terhambat.
Kenyataan seperti ini menyebabkan sekian lama penyuluh tidak memperoleh
pembayaran tunjangan fungsional sesuai dengan jenjang kepangkatan terakhir
penyuluh. Beberapa faktor-faktor situasional dari sekian banyak faktor yang ada
tersebut, secara langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi menurunnya
kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan.
Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut, diharapkan respon baik
pemerintah daerah untuk membangun sistem penyuluhan dan penyelenggaraan
penyuluhan yang terintegrasi. Untuk mencapai hal tersebut, perlu adanya
sosialisasi secara luas kepada seluruh pemangku kepentingan untuk membangun
kesamaan

persepsi

dalam

operasionalisasinya

sehingga

penyelenggaraan

penyuluhan pertanian dapat berjalan dengan produktif, efektif dan efisien di
setiap tingkatan dalam satu kelembagaan yang kuat didukung oleh sumberdaya
yang memadai dan penyuluh yang profesional.
Di era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki keleluasaan dalam
perumusan permasalahan manajemen penyuluhan pertanian, kebutuhan serta
tujuan

pembangunan

pertanian,

dan

dalam

melakukan

pengawasan

pelaksanaannya di lapangan. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi ini
diharapkan akan mampu menjamin efisiensi dan efektivitas pelaksanaan
penyuluhan pertanian, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kesejahteraan masyarakat pertanian.

5

Fakta-fakta yang menunjukkan rendahnya kinerja penyuluh pertanian di
Kota Tidore Kepulauan yaitu (1) rata-rata penyuluh hanya membina satu
kelompok tani, (2) motivasi kerja menurun karena rendahnya kompetensi yang
dimiliki, (3) materi penyuluhan yang dibuat tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
petani, (4) hasil kegiatan pelatihan tidak bisa diimplementasikan, (5) tidak mampu
meningkatkan kelas kemampuan kelompok tani, (6) menurunnya motivasi untuk
pengembangan diri dan interaksi sosial, (7) lemahnya kemampuan dalam
pengelolaan agribisnis, (8) lemahnya kemampuan berinovasi, dan (10) rendahnya
tingkat kerjasama.
Berdasarkan pada kondisi kinerja penyuluh dan berbagai permasalahan
operasionalisasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kota Tidore Kepulauan
tersebut, maka diperlukan suatu penelitian dan pengkajian lebih mendalam, untuk
mengetahui faktor-faktor situasional manakah yang mempengaruhi tingkat kinerja
penyuluh pertanian saat ini, dan menjadi penentu dalam merumuskan strategi
penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang tepat di Kota Tidore Kepulauan.
Masalah Penelitian
Menurunnya kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan yang
terjadi

karena

pengaruh-pengaruh

situasional

dalam

pengelolaan

dan

penyelenggaraan penyuluhan, maka berdasarkan pemikiran tersebut dirumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut :
1. Faktor-faktor manakah yang menentukan tingkat kinerja penyuluh pertanian di
Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara.
2. Bagaimanakah strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang tepat
untuk diterapkan di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan tersebut, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi dan memiliki hubungan
terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi
Maluku Utara

6

2. Merumuskan strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kota Tidore
Kepulauan Provinsi Maluku Utara.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis
maupun praktis sebagai berikut :
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan, khususunya yang berkaitan
dengan peningkatan kinerja penyuluh pertanian.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pemikiran
bagi pengambil kebijakan dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian di
Kota Tidore Kepulauan khususnya dan
umumnya.

Provinsi Maluku Utara pada

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah dan Kebijakan Penyuluhan Pertanian
Istilah penyuluhan pertama kali dipublikasikan oleh James Stuart (1867-1868)
dari Trinity College (Cambrigde) pada saat memberikan ceramah kepada
perkumpulan wanita dan pekerja pria di Inggris Utara. Pada Tahun 1873 Secara resmi
sistem penyuluhan diterapkan di Cambridge, kemudian diikuti Universitas London
(1876) dan Universitas Oxfor (1878) dan menjelang tahun 1880 gerakan penyuluhan
mulai melebarkan sayapnya ke luar kampus (van den Ban & Hawkins, 1999).
Di Indonesia kegiatan penyuluhan pertanian mulai dikembangkan sejak tahun
1905 bersamaan dengan dibukanya Departemen Pertanian (Department van
Landbouw) oleh pemerintah Hindia Belanda, institusi yang bentuk tersebut antara lain
memiliki tugas melakukan kegiatan penyuluhan pertanian, sedang pelaksanaannya
dilakukan oleh pejabat Pangreh Praja (PP). Pada tahun 1910 dibentuk Dinas
Penyuluhan Pertanian (Landbouw Voorlichting Dienst), tetapi baru benar-benar
berperan sebagai lembaga penyuluhan pertanian yang mandiri sejak diubah menjadi
Dinas Pertanian Propinsi terlepas dari PP pada tahun 1918 (Mardikanto, 1993).
Di masa kemerdekaan, kegiatan penyuluhan telah dimulai dengan
dibentuknya Balai

Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) kemudian dilanjutkan

dengan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dengan metode Latihan dan Kunjungan
(Mardikanto, 2009). Penyuluh sebagai ujung tombak pembangunan pertanian di era
Bimas telah memberikan kontribusi yang nyata dalam meningkatkan produksi
pertanian khususnya produksi padi, sehingga pada tahun 1984 pemerintah Republik
Indonesia memperoleh penghargaan dari FAO sebagai Negara yang berhasil
mencapai swasembada beras (Suprapto, 2009).
Memasuki dasawarsa 1990-an semakin dirasakan menurunnya peran
penyuluhan

pertanian di Indonesia

yang dikelola pemerintah (Departemen

Pertanian). Hal ini terjadi karena selain terjadi perubahan struktur organisasi
penyuluhan, juga semakin banyak pihak-pihak yang melakukan penyuluhan pertanian
(perguruan tinggi, swasta, LSM dll) serta semakin beragamnya sumber-sumber
informasi/inovasi yang mudah diakses oleh petani.
Pada tahun 1995 terjadi perubahan struktur kelembagaan penyuluhan
pertanian melalui SKB Mendagri-Mentan tentang pembentukan Balai Informasi

8
Penyuluhan Pertanian (BIPP) di setiap Kabupaten. Namun demikian, kinerja
kelembagaan ini pun banyak menuai kritik karena dianggap kurang berkoordinasi
dengan dinas-dinas teknis terkait Mardikanto (2009). Kondisi seperti ini semakin
diperburuk dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dimana peran penyuluh pertanian dalam mendukung program
pembangunan pertanian mengalami penurunan yang sangat drastis (Suprapto, 2009).
Mencermati kondisi seperti ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang
Revitalisasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang
dicanangkan pada Tanggal 15 Juni 2005 di Purwakarta oleh Presiden Republik
Indonesia, hingga pada tahun 2006 berhasil disahkannya Undang-undang Nomor 16
Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan sebagai
landasan

kebijakan,

program,

kelembagaan,

ketenagaan, penyelenggaraan,

pembiayaan, dan pengawasan penyuluhan pertanian (Warya, 2008).
Padmowihardjo (2001) berpendapat bahwa penyuluhan pertanian sebagai
metode pendidikan orang dewasa (andragogi) terdapat falsafah untuk membuat saling
“asah-asih-asuh” dalam suatu interaksi warga belajar, penyuluh sebagai fasilitator dan
motivator yang mampu mendorong petani untuk mandiri dan berswadaya. Penyuluh
dan sasaran mengembangkan hubungan saling timbal balik dan membantu dalam
kegiatan penyuluhan. Penyuluhan Pertanian adalah suatu usaha pendidikan non
formal untuk keluarga-keluarga yang bergerak di bidang pertanian, yang cara, bahan
dan sarananya disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan dan kepentingan, baik dari
sasaran, waktu maupun keadaan sehingga kemampuan mereka untuk beradaptasi
terhadap perubahan yang dapat meningkatkan kesejahteraannya dapat dipercepat
(Sumardjo, 1999).
Dalam konteks komunikasi dan inovasi, penyuluhan menurut Leeuwis (2004)
adalah serangkaian intervensi komunikatif yang ditanamkan, yang diartikan antara
lain untuk membangun dan/atau mendorong inovasi yang seharusnya membantu
menyelesaikan situasi problematis (biasanya multi-aktor). Sumardjo (1999)
mengatakan bahwa penyuluhan merupakan suatu intervensi komunikasi yang
diselenggarakan oleh suatu lembaga untuk menimbulkan (induce) perubahan kualitas
perilaku secara sukarela (voluntare change) bagi kesejahteraan masyarakat.
Menurut Margono Slamet (Sumardjo, 1999) bahwa, seorang penyuluh harus
menghayati dan berpegang pada falsafah dasar penyuluhan yaitu : (1) penyuluhan
adalah proses pendidikan, (2) penyuluhan adalah proses demokrasi, dan (3)

9
penyuluhan adalah proses kontinyu. Dalam hal ini terkandung makna filosofi yaitu
membantu orang agar orang tersebut mampu menolong dirinya sendiri

melalui

pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya (help people to help
themselves through education means to improve their level of living). Oleh Karena
itu penyuluhan pertanian sebagai upaya membantu masyarakat agar mereka dapat
membantu dirinya dan meningkatkan harkatnya sebagai manusia (Warya, 2008).
Nasution (2004) menyatakan, penyuluhan pertanian adalah usaha membantu
petani agar senantiasa meningkatkan efisiensi usaha tani. Dalam pengertian
“membantu” masyarakat agar dapat membantu dirinya tersebut terkandung pokokpokok pikiran sebagai berikut; (1) penyuluhan pertanian harus mengacu pada
kebutuhan sasaran yang akan dibantu, dan bukannya sasaran harus menuruti
keinginan penyuluh pertanian, (2) penyuluhan pertanian mengarah kepada terciptanya
kemandirian, bukan membuat sasaran semakin menggantungkan diri kepada penyuluh
pertanian, (3) penyuluhan pertanian harus mengacu kepada perbaikan kualitas hidup
dan kesejahteraan sasaran, dan bukan lebih mengutamakan target-target fisik yang
sering kali tidak banyak manfaatnya bagi perbaikan kualitas hidup sasarannya.
Penyuluhan sebagai proses pendidikan, demokrasi dan kontinyu menurut
Sumardjo (1999) memiliki makna bahwa, (1) penyuluh harus dapat membawa
perubahan manusia dalam aspek-aspek perilaku, baik kognitif, afektif maupun
psikomotoriknya, (2) penyuluh harus mampu mengembangkan suasana bebas, untuk
mengembangkan

kemampuan

masyarakat

dalam

hal

berfikir,

berdiskusi,

menyelesaikan masalahnya, merencanakan dan bertindak bersama-sama dibawah
bimbingan orang-orang diantara mereka, sehingga berlaku penyelesaian dari mereka,
oleh mereka dan untuk mereka, dan (3) penyuluhan harus dimulai dari keadaan petani
kearah tujuan yang mereka kehendaki, berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan
kepentingan yang senantiasa berkembang, yang dirasakan oleh sasaran penyuluhan.
Sumardjo (1999), bahwa kebijakan sistem penyuluhan yang dominan dengan
kepentingan pusat, ternyata berdampak kurang efektif dalam pemberdayaan
masyarakat. Sebaliknya, fakta menunjukkan bahwa sistem penyuluhan yang
partisipatif dan adanya konvergensi kepentingan masyarakat dan pemerintah ternyata
berdampak memberdayakan. Banyak praktek-praktek penyuluhan yang menyimpang
dari filosofi penyuluhan (secara non partisipatif). Akibatnya penyuluhan tidak
berfungsi memberdayakan bahkan sebaliknya cenderung memperdaya masyarakat.
Praktek penyuluhan yang menyimpang tersebut disebabkan karena penyuluhan

10
dilaksanakan oleh orang-orang yang sebenarnya kurang memiliki kompetensi
profesional penyuluh (Sumardjo, 2010).
Margono

Slamet

(Mardikanto,

1993),

bahwa

pentingnya

kebijakan

desentralisasi penyuluhan pertanian adalah untuk menggantikan sistem penyuluhan
yang bersifat regulatif sentralistis ke arah sistem penyuluhan yang fasilitatif
partisipatif. Selanjutnya menurut Margono Slamet (2001), bahwa penyelenggaraan
penyuluhan pertanian perlu lebih profesional, yang antara lain memerlukan reorientasi
: (1) dari pendekatan instansi ke pengembangan kualitas kinerja individu penyuluh;
(2) dari pendekatan top down ke bottom up; (3) dari hierarkhi kerja vertikal ke
horizontal; (4) dari pendekatan instruktif ke partisipatif dan dialogis; dan (5) dari
sistem kerja linier ke sistem kerja jaringan.
Penyuluh Pertanian
Berdasarkan Undang undang Nomor 16 Tahun 2006, penyuluh pertanian,
penyuluh perikanan, atau penyuluh kehutanan, baik penyuluh PNS, swasta maupun
swadaya yang selanjutnya disebut penyuluh adalah perorangan warga Negara
Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan. Sedangkan Penyuluh pertanian
sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Bersama Mendagri-Mentan Nomor :
54

Tahun

1996

dan

Nomor

:

301/Kpts/LP.120/4/96

Tentang

Pedoman

Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian, bahwa Penyuluh Pertanian adalah Pegawai
Negeri Sipil yang diberi tugas melakukan kegiatan penyuluhan pertanian secara
penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian.
Berkaitan dengan penyuluhan sebagai pendidikan non-formal di bidang
pertanian, penyuluh pertanian tidak lain sebagai aparatur pertanian yang berfungsi
sebagai pendidik non formal pada masyarakat petani-nelayan/pedesaan. Menurut
Abbas (1999) bahwa penyuluh pertanian dapat menampilkan dirinya sebagai
penasehat, komunikator dan motivator dalam rangka proses alih ilmu dan teknologi,
pembinaan ketrampilan serta pembentukan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai dasar
dan kebutuhan dinamik yang membangun.
Peranan dari penyuluh pertanian sebagai fasilitator, motivator dan sebagai
pendukung gerak usaha petani merupakan titik sentral dalam memberikan penyuluhan
kepada petani – nelayan akan pentingnya berusaha tani dengan memperhatikan
kelestarian dari sumber daya alam. Kesalahan dalam memberikan penyuluhan kepada
petani – nelayan akan menimbulkan dampak negatif dan merusak lingkungan.

11
Penyuluh sebagai motivator berperan mendorong petani mandiri melakukan
perubahan dengan menggunakan ide baru untuk memperbaiki taraf hidupnya.
Penyuluh adalah seorang professional garis depan yang berinisiatif melakukan
perubahan, membantu masyarakat sasaran melaksanakan aktivitas usahataninya,
memperkenalkan dan menyebarkan ide-ide baru, mendorong partisipasi dan
mendukung kepentingan masyarakat sasaran Martinez (Mardikanto, 2009).
Proses penyelenggaraan penyuluhan pertanian dapat berjalan dengan baik dan
benar apabila didukung dengan tenaga penyuluh yang profesional, kelembagaan
penyuluh yang handal, materi penyuluhan yang terus-menerus mengalir, sistem
penyelenggaraan penyuluhan yang benar serta metode penyuluhan yang tepat dan
manajemen penyuluhan yang polivalen (Warya, 2008).
Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) bahwa, penyuluh berperan dalam
berbagai hal yakni: (1) mengembangkan kebutuhan untuk berubah, (2) membina
hubungan untuk perubahan, (3) mengidentifikasi dan menganalisa masalah, (4)
menumbuhkan rencana perubahan pada sasaran, (5) merencanakan rencana
perubahan,

dan

(6)

menstabilkan

perubahan

sehingga

sasaran

mampu

mengembangkan dirinya.
Karakteristik Internal Penyuluh
Sumardjo (1999) membagi faktor internal seperti : tingkat kekosmopolitan,
pengalaman bekerja sebagai penyuluh, motivasi, persepsi, kesehatan dan karakteristik
sosial ekonomi. Samson (Rakhmat, 2001) mengemukakan bahwa karakteristik
individu merupakan sifat yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan aspek
kehidupan dan lingkungannya.
Padmowiharjo (2000) menyebutkan beberapa faktor kararakteristik individu
yang mempengaruhi proses belajar yaitu : umur, jenis kelamin, kesehatan, sikap
mental, kematangan mental, kematangan fisik, dan bakat. Spencer dan Spencer (1993)
mengatakan bahwa karakteristik individu yang dapat membentuk kompetensi dan
menciptakan kinerja yang baik adalah: (1) motif individu, (2) ciri-ciri fisik, (3) konsep
diri, (4) pengetahuan, dan (5) kemampuan teknis.
Rogers dan Shoemaker (1971) menegaskan bahwa sifat-sifat penting
(karakteristik personal) agen pembaharu yang berperan dalam adopsi inovasi adalah :
(1) kredibilitas, yang merujuk pada kompetensi, tingkat kepercayaan, dan
kedinamisan agen pembaharu yang dirasakan oleh masyarakat sasaran, (2) kedekatan

12
hubungan dan rasa memiliki antara agen pembaharu masyarakat sasaran, (3) sifat-sifat
pribadi yang dimiliki seperti kecerdasan, rasa empati, komitmen, tingkat perhatian
pada petani, kemampuan komunikasi, keyakinan dan orientasinya pada pembangunan.
Klausmeier dan Goodwin (Huda, 2010) menyatakan bahwa umur merupakan
salah satu faktor utama yang mempengaruhi efisiensi belajar, karena akan
berpengaruh terhadap minatnya pada macam pekerjaan tertentu sehingga umur
seseorang juga akan berpengaruh terhadap motivasinya untuk belajar. de Cecco
(Mardikanto, 1993) mengatakan bahwa umur akan berpengaruh kepada tingkat
kematangan seseorang (baik kematangan fisik maupun emosional) yang sangat
menentukan kesiapannya untuk belajar. Selaras dengan hal tersebut, Vacca dan
Walker (Mardikanto, 2009) mengemukakan bahwa sesuai dengan bertambahnya
umur, seseorang akan menumpuk pengalaman-pengalamannya yang merupakan
semberdaya yang sangat berguna bagi kesiapannya untuk belajar lebih lanjut.
Masa kerja berkaitan erat dengan pengalaman kerja. Pengalaman adalah segala
sesuatu yang muncul dalam riwayat hidup seseorang. Pengalaman seseorang
menentukan perkembangan keterampilan, kemampuan, dan kompetensi. Pengalaman
seseorang bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Pengalaman seseorang dapat
diukur secara kuantitatif berdasarkan jumlah tahun seseorang bekerja dalam bidang
yang dijalani (Bandura, 1986).
Menurut Padmowihardjo (1994) pengalaman adalah suatu kepemilikian
pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan.
Pengaturan pengalaman yang dimiliki seseorang sebagai hasil belajar selama
hidupnya dapat digambarkan dalam otak manusia. Seseorang akan berusaha
menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki dalam proses
belajar. Pengalaman kerja merupakan penentu yang lebih besar terhadap perilaku
seseorang. Gagne (1967) mengatakan bahwa, pengalaman adalah akumulasi dari
proses

belajar

yang

dialami

seseorang,

kemudian

menjadi

pertimbangan-

pertimbangan baginya dalam menerima ide-ide baru.
Pengalaman kerja menyediakan tidak hanya pengetahuan tetapi juga kegiatan
praktek langsung dalam bidangnya. Padmowihardjo (1994) menambahkan bahwa
pengalaman baik yang menyenangkan maupun yang mengecewakan, akan
berpengaruh pada proses belajar seseorang. Seseorang yang pernah mengalami
keberhasilan dalam proses belajar, maka dia akan memiliki perasaan optimis akan
keberhasilan dimasa mendatang. Sebaliknya seseorang yang pernah mengalami

13
pengalaman yang mengecewakan, maka dia telah memiliki perasaan pesimis untuk
dapat berhasil.
Secara sederhana mengatakan bahwa, hakekat pendidikan adalah untuk
meningkatkan kemampuan manusia agar dapat mempertahankan bahkan memperbaiki
mutu keberadaannya agar menjadi semakin baik. Gilley dan Eggland (1989)
menjelaskan bahwa, konsep behavioristik dari kinerja manusia dan konsep pendidikan
menjadi dasar bagi pengembangan sumberdaya manusia. Orientasi ini menekankan
pada pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan produktivitas dan
efisiensi organisasi.
Margono Slamet, 1992 (Bahua, 2010), bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, semakin tinggi pula pengetahuan, sikap dan ketrampilan,
efisien bekerja dan semakin banyak tahu cara-cara dan teknik bekerja yang lebih baik
dan lebih menguntungkan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Bahua (2010)
menyatakan bahwa pendidikan formal yang diikuti penyuluh dapat mempengaruhi
kinerja