Study of the islands cluster model, for the development of archipelago of the Western Southeast Maluku Regency, of Maluku Province

KAJIAN MODEL GUGUS PULAU DALAM PENGEMBANGAN
WILAYAH KEPULAUAN DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA
BARAT, PROVINSI MALUKU

JOHANNES ADRIAN LOKOLLO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi yang
berjudul :
KAJIAN MODEL GUGUS PULAU DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
KEPULAUAN DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT, PROVINSI
MALUKU.
adalah merupakan hasil karya dan hasil penelitian saya sendiri, dengan
pembimbingan dari komisi pembimbing. Disertasi ini belum pernah diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
dan data yang digunakan berasal atau dikutip dari karya penulis lain yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka secara jelas dan dapat diperiksa
kebenarannya.

Bogor,

Februari 2012

Johannes A. Lokollo
NIM : C.261040131

ABSTRACT
JOHANNES A. LOKOLLO. Study of the Islands Cluster Model, for the
development of archipelago of the Western Southeast Maluku Regency, of
Maluku Province. Under supervision TRIDOYO KUSUMASTANTO, SETYO
BUDI SUSILO, SETIA HADI, and ARIF SATRIA.
The size of the small island and the isolated location by the sea are related to
the limited supply of the land resources and the accessibility to the
surrounding islands. The problem of the small islands are generally related to
the difficulties to get the supply for living and various facilities needed for

development, coming from inside and from outside of the small islands. To
solve the problem, it needed a spatial approach model, and one of the
approach model is island cluster model. The design of this model focus to the
effort of the levelization of the population in order to reach the balance
between Ecological Footprint (EF) and Bio Capacity (BC), by the interaction
proses among the islands in the research area. Based on the design on the
model mention above the aim of this study is to know the implication of the
island cluster model in the development of the archipelago in Western part of
Southeast Maluku Regency, which stratified in macro, messo, and micro level.
The results shows that in macro level, the mechanism of the islands cluster
model can reduce the gap of GDP growth, in messo level can reduce the un
employment, and in micro level can extend the sustainability length of time of
each small islands in the study area.
Keywords

:

Islands Cluster, Ecological Footprint, Bio Capacity, Small
Island Development, Sustainability of Small Island,
Archipellago


RINGKASAN
JOHANNES A. LOKOLLO. Kajian Model Gugus Pulau, dalam
Pengembangan Kepulauan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi
Maluku. Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO, SETYO BUDI
SUSILO, SETIA HADI, dan ARIF SATRIA.
Luas wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) secara keseluruhan
mencapai 125.422,4 Km2. dari luas tersebut 110.838,3 Km2 atau 88,37%
diantaranya merupakan wilayah lautan. Sedangkan 14.584 Km 2 atau 11,63%
sisanya merupakan wilayah daratan yang terfragmentasi dalam bentuk pulau
dan pulau kecil dengan luas dibawah 2.000 Km2. Dengan demikian secara
geografis wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat didominasi oleh pulaupulau kecil, bahkan sangat kecil, sehingga karakteristik pulau-pulau kecil
sangat berperan dalam pengembangan wilayahnya.
Dengan luasan wilayah yang kecil, maka pulau-pulau kecil memiliki
keterbatasan dalam ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar , sehingga
pada gilirannya akan berpengaruh terhadap daya dukung pulau-pulau kecil
tersebut didalam menopang kehidupan manusia serta segenap kegiatan
pembangunan yang ada. Dengan semakin banyaknya penduduk di pulaupulau kecil, maka kebutuhan penduduk akan lahan di pulau kecil juga
semakin meningkat. Jika kebutuhan ini tidak sesuai dengan kapasitas daya

dukung lahan yang cukup memadai dari waktu ke waktu, maka keberlanjutan
pembangunan pulau-pulau kecil tidak akan tercapai. Selain kecil, tata letak
dari pulau kecil dalam ruang yang terpisah oleh laut dan lautan cenderung
terpencil sehingga aksesabiltas dari lingkungan diluar pulau kecil tersebut
yang diharapkan dapat ikut memberikan suplai kebutuhan hidup serta
berbagai fasilitas lainnya didalam rangka mendukung proses pertumbuhan
dari pulau kecil tersebut juga relatif lebih sulit.
Dalam mengatasi masalah tersebut, diperlukan suatu model pendekatan
ruang, dan salah satu model pendekatan dimaksud adalah model gugus
pulau. Desain model ini menitik beratkan pada upaya levelisasi penduduk
antar pulau kecil dengan faktor pembatasnya adalah pencapaian
keseimbangan antara kebutuhan lahan penduduk dengan ketersediaan lahan
yang mampu dihasilkan oleh pulau kecil melalui proses interaksi. Sesuai
dengan prinsip Ecological Footprint (EF) sebagaimana dikemukakan oleh:
Wackernagel (2001); Kitzes (2007), faktor-faktor pembatas ini dapat diartikan
sebagai kebutuhan Ecological Footprint penduduk setempat yang diukur
berdasarkan satuan unit luas lahan yang diperlukannya dalam rangka
melangsungkan kehidupan serta aktivitasnya. Sedangkan pemenuhan
kebutuhan ekologi penduduk akan lahan ini sangat berkaitan dengan bio
capacity (BC) dari sistem dan penggunaan lahan pulau pulau kecil tersebut

seperti: luas pulau, panjang garis pantai, luas lahan pertanian, luas lahan
terbuka, luas lahan terbangun, serta luas lahan perairan yang kemudian
diasumsikan memiliki hubungan keterkaitan secara ekologis terhadap
penduduk setempat. Sedangkan proses interaksi sendiri berfungsi sebagai
sarana untuk mendistribusikan kebutuhan penduduk akan lahan ekologi (EF)

sesuai dengan ketersediaan kapasitas lahan (BC) dari masing-masing pulau
kecil yang ada di wilayah penelitian. Mengacu pada desain model diatas,
maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji implikasi dari model
gugus pulau dimaksud dalam pengembangan wilayah kepulauan, khususnya
pulau-pulau kecil di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku.
Sesuai dengan ruang lingkup dari model ini, maka pengembangan wilayah
kepulauan dilihat berdasarkan tiga tingkatan yaitu tingkat makro yang
berorientasi pada besarnya pertumbuhan yang bisa dihasilkan oleh pulau
kecil, tingkat meso yang berorientasi pada ketersediaan lapangan pekerjaan
bagi penduduk, dan tingkat mikro yang berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan ekologi penduduk di pulau-pulau kecil tersebut.
Hasil penelitian pada tingkatan makro menunjukkan bahwa disatu sisi
mekanisme interaksi dalam gugus pulau dapat menurunkan dan
mendistribusikan besarnya nilai PDRB Kecamatan yang relatif tinggi (Rp.

106.337,49 juta menjadi Rp. 84.327,73 juta). Disisi lain mekanisme ini dapat
menyerap dan menaikan besarnya nilai PDRB Kecamatan yang relatif lebih
rendah (Rp. 11.922,21 juta menjadi Rp. 15.529,25 juta).
Hasil penelitian pada tingkatan meso menunjukkan bahwa secara
keseluruhan, keseimbangan antara kebutuhan lapangan pekerjaan dari
penduduk terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan yang dihasilkan oleh
PDRB masih memperlihatkan gejala defisit, namun demikian melalui
levelisasi tenaga kerja yang tersedia berdasarkan ketersediaan lapangan
pekerjaan jumlah pengangguran dapat terdistribusi dan dikurangi. Pada
tingkatan ini nampak juga bahwa usaha dari penduduk di wilayah penelitian
masih merupakan upaya pemenuhan kebutuhan minimum mereka selama
setahun sehingga untuk meningkatkannya perlu dukungan invesatsi modal.
Hasil penelitian pada tingkatan mikro menunjukkan bahwa disatu sisi
mekanisme interaksi dalam gugus pulau dapat mengurangi perbedaan waktu
pencapaian keseimbangan yang sangat tinggi (149 menjadi 144 tahun
model). Disisi lain mekanisme ini dapat memperpanjang waktu pencapaian
keseimbangan yang sangat singkat (2 menjadi 3 tahun model).
Ketiga indikator tersebut diatas dalam ruang digambarkan sebagai hirarki
gugus pulau yang saling berinteraksi satu dengan lainnya sesuai dengan
intensitas interaksi duiantara kecamatan atau pulau-pulau kecil di wilayah

penelitian.
Dengan demikian melalui kajian model gugus pulau dalam pengembangan
wilayah kepulauan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku,
dapat diketahui tingkat pertumbuhan PDRB, tingkat penyerapan tenaga kerja,
dan tingkat keberlanjutan dari masing-masing pulau-pulau kecil yang ada,
sesuai dengan sebaran kebutuhan lahan serta sebaran ketersediaan lahan
yang mampu dihasilkan oleh penduduk dan pulau-pulau kecil tersebut.
Kata kunci

:

Gugus Pulau, Ecological Footprint, Bio Capacity,
Pembangunan Pulau-Pulau Kecil, Keberlanjutan PulauPulau Kecil, Kepulauan

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan,penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan

kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak
sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KAJIAN MODEL GUGUS PULAU DALAM PENGEMBANGAN
WILAYAH KEPULAUAN DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA
BARAT, PROVINSI MALUKU

JOHANNES ADRIAN LOKOLLO

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

Penguji pada Ujian Tertutup

:


Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MSc.
Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc.

Penguji pada Ujian Tertutup

:

Dr. Ir. Mukhlis Kamal, MSc.
Dr. Ir. Pamuji Lestari, MSc.

Judul Disertasi

:

Kajian Model Gugus Pulau dalam Pengembangan Wilayah
Kepulauan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi
Maluku

Nama


:

Johannes A. Lokollo

NIM

:

C261040131

Program Studi

:

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui,
Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir.Tridoyo Kusumastanto,MS.


Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, MSc.

Ketua

Anggota

Dr. Ir. Setia Hadi, MS.

Dr. Ir. Arif Satria, MSi.

Anggota

Anggota
Mengetahui,

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian : 31 Januari 2012

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
kemurahan-Nya semata sehingga penyusunan disertasi doktor, sebagai salah
satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor dapat diselesaikan.
Disertasi dengan judul “Kajian Model Gugus Pulau Dalam
Pengembangan Wilayah Kepulauan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat,
Provinsi Maluku”, ini bertujuan untuk mengkaji efek batas dari suatu
mekanisme pembentukan gugus pulau yang mendukung proses distribusi
pertumbuhan secara optimal sesuai dengan kapasitas daya dukung lahan
dari masing masing pulau kecil yang ada didalam gugus pulau tersebut.
Dengan diselesaikannya disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS, selaku Ketua
Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, MSc, Dr. Ir. Setia Hadi,
MS, dan Dr. Ir. Arif Satria, MSi, selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang
telah banyak memberikan arahan dan saran dalam penyelesaian disertasi ini.
Kepada Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MSc dan Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc, selaku
penguji pada ujian tertutup, Dr. Ir. Mukhlis Kamal, MSc dan Dr. Ir. Pamuji
Lestari, MSc, selaku penguji pada ujian terbuka, yang telah bersedia
menyediakan waktu dan memberikan masukan dalam perbaikan desertasi.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dekan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian (FPIK) Bogor, Prof. Dr. Ir.
Mennofatria Boer, DEA, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Pemerintah Daerah Provinsi Maluku sebagai
penyandang dana dalam mengikuti studi, serta keluarga atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan gugus pulaupulau kecil secara berkelanjutan.
Bogor,

Februari 2012

Johannes A. Lokollo
NIM : C.261040131

RIWAYAT HIDUP
Johannes A. Lokollo dilahirkan di Moscow pada tanggal 21 Februari
1965 dari pasangan bapak Anton F. Lokollo (alm) dan ibu Siswardini. Penulis
menikah dengan Norma M.P. Manoppo, dan dikaruniai seorang putri bernama
Johana M. Lokollo.
Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Trisakti Jakarta pada tahun
1991. Selanjutnya menyelesaikan pendidikan S2 pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, tahun 2002. Selain pendidikan formal diatas, beberapa
pelatihan yang mendukung penulis didalam penelitian ini antara lain adalah
pelatihan Integrated Coastal Zone Planing and Management (ICZPM) di
Queensland, Australia pada tahun 1998, dan pelatihan District and Provincial
Planning di Melbourne dan Adelaide, Australia pada tahun 2004.
Setelah lulus S1, penulis bekerja pada Mitsui Engineering Co.Ltd,
sebagai Quantity Surveyor pada Jabotabek Railway Project Central Track
Elevated, Manggarai – Pasar Pagi, Jakarta tahun 1991. Kemudian pada
tahun 1992 bekerja pada Proyek Sarana Air Bersih, bidang Cipta Karya,
Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Maluku di Ambon. Tahun 1993, bekerja
pada Sub Direktorat Tata Bangunan Rumah Sakit, Ditjen Pelayanan Medik,
Departemen Kesehatan, di Jakarta. Tahun 1994, bekerja pada Direktorat
Irigasi I, Ditjen Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum, di Jakarta. Tahun
1995, bekerja pada bidang Fisik dan Prasarana Bappeda Provinsi Maluku.
Tahun 2002 bekerja sebagai Kasubid Perikanan dan Kelautan, Bappeda
Provinsi Maluku.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………….…xxi
DAFTAR GAMBAR …...…………………………………………………………xxv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………..xxvii
1

PENDAHULUAN

………………………………………………………..1

1.1 Latar Belakang ………………………………………………………..1
1.2 Perumusan Masalah

………………………………………………..4

1.3 Tujuan Penelitian

………………………………………………..5

1.4 Manfaat Penelitian

………………………………………………..5

1.5 Kebaharuan (Novelty) ………………………………………………..6
2

TINJAUAN PUSTAKA

………………………………………………...9

2.1 Karakteristik Wilayah Kepulauan

………………………………..9
………………..9

2.1.1

Ukuran Yang Relatif Kecil (Smallness)

2.1.2

Keterpencilan (Remoteness) ………………………………10

2.1.3

Ketergantungan (Dependence)

2.1.4

Kerentanan (Vulnerable)

……………………….12

……………………………….12

2.2 Pengelolaan Wilayah Pulau-Pulau Kecil

……………………….14

2.2.1

Kebijakan Pengembangan

……………………………….14

2.2.2

Kebijakan Pengendalian

……………………………….17

2.2.3

Aspek Pengembangan

……………………………….19

2.2.4

Pendekatan Perwilayahan

……………………………….22

2.3 Komponen Interaksi Spasial ……………………………………….27
……………………….28

2.3.1

Model Gravitasi Kendala Ganda

2.3.2

Pola Interaksi Spasial ………………………………………33

2.4 Komponen Pertumbuhan

……………………………………….37

2.5 Komponen Keberlanjutan

……………………………………….40
……….41

2.5.1

Konsep Ecological Footprint Analysis (EFA)

2.5.2

Konsep Bio Capacity Analysis (BCA)

2.5.3

Interaksi antara EF dan BC ……………………………….45

2.5.4

Kritik terhadap Konsep Ecological Footprint

……………….44
……….48

2.5.5
3

Keberlanjutan Sistem Perikanan.

KERANGKA PEMIKIRAN

……………………….49

……………………………………………….53

3.1 Pemikiran Gugus Pulau

………………………….……………53

3.2 Batasan Model ……………………………………………………….56
4

METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Metode Penelitian

……………………………………….59

……………………………………………….59

4.2 Jenis Data, dan Sumber Data.

……………………………….59

4.3 Metode Pengumpulan Data. …………………………………….…61
4.4 Metode Analisis Data …………………………………………….…61
Analisis Potensi Kawasan Pulau-Pulau Kecil

4.4.2

Analisis Keberlanjutan Pulau Kecil ……………………….82

4.4.3

Analisis Pergerakkan Antar Pulau ……………………….83

4.4.4

Analisis Model Gugus Pulau ……………………………...86

4.5 Kerangka Operasional Penelitian
5

……….62

4.4.1

KEADAAN UMUM WILAYAH

……………………………….87

……………………………………….89

5.1 Karakteristik Fisik dan Perairan.

……………………………….89

5.1.1

Jumlah Pulau ……………………………………………….90

5.1.2

Topografi

5.1.3

Tanah ……………………………………………………….94

5.1.4

Batuan Induk ……………………………………….………97

5.1.5

Iklim

5.1.6

Vegetasi

5.1.7

Jarak Antar Pulau

……………………………………………….93

……………………………………………………….99

5.2 Karakteristik Sosial

…………………………………………..…101
…………………………………..…103

…………………………………………..…103

5.2.1

Kependudukan …………………………………………...105

5.2.2

Ketenagakerjaan

5.2.3

Pendidikan

……………………………………………..110

5.2.4

Kesehatan

……………………………………………..114

……………………………………..108

5.3 Karakteristik Ekonomi ……………………………………………..116
5.4 Karakteristik Budaya. ……………………………………………..120

6

ANALISIS KEBERLANJUTAN PULAU
6.1 Pendekatan Model

……………………………..123

……………………………………………..123

6.2 Analisis Kebutuhan Lahan.

……………………………………..123

6.2.1

Kebutuhan Makanan ……………………………………..124

6.2.2

Kebutuhan Perumahan

……………………………..126

6.2.3

Kebutuhan Transportasi

……………………………..129

6.2.4

Kebutuhan Barang

……………………………………..131

6.2.5

Kebutuhan Jasa

……………………………………..132

6.2.6

Kebutuhan Tempat Limbah ……………………………..134

6.2.7

Ecological Footprint Penduduk

6.2.8

Ecological footprint PDRB

6.2.9

Perbandingan Ecological Footprint Penduduk dan PDRB.

……………………..135

……………………………..137

……………………………………………………………….139
6.3 Analisis Ketersediaan Lahan ……………………………………..140
6.3.1

Kemampuan Lahan

6.3.2

Bio capacity

……………………………………..140

……………………………………………..143

6.4 Tingkat Keberlanjutan ……………………………………………..147

7

6.4.1

Skala Kabupaten

6.4.2

Kecamatan

6.4.3

Pulau-Pulau Kecil

……………………………………..147

……………………………………………..153
……………………………………..158

MODEL PENGEMBANGAN GUGUS PULAU

……………………..163

7.1 Sejarah Gugus Pulau ……………………………………………..163
7.2 Pengertian Gugus Pulau

……………………………………..165

7.3 Gugus Pulau dan Keterkaitan Tumbuh
7.4 Mekanisme Model Gugus Pulau
7.5 Analisis Jarak

……………………………..169

……………………………………………………..172

7.6 Analisis Interaksi Spasial

……………………………………..176

7.7 Efektifitas Model Gugus Pulau
8

……………………..167

……………………………..181

KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………..183
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL
Halaman
1.

Keterkaitan utama dalam perkembangan spasial…………………..

2.

Contoh Matrix Hubungan antara Konsumsi dengan Kebutuhan

24

Lahan ……………………………………………………………………

42

3.

Equivalen dan Yield Factor …………………………………………….

47

4.

Konversi Kebutuhan Manusia Terhadap Beberpa Jenis Lahan ….

47

5.

Produktivitas Primer Wilayah Perairan ………………………………

50

6.

Tingkatan Ikan Tropis yang Digunakan dalam Kasus Perikanan di
Pulau Yoron …………………………………………………………….

51

7.

Sepesifikasi Data yang Dibutuhkan ………………………………….

63

8.

Analisis Satuan Kemampuan Lahan Morfologi ……………………..

64

9.

Analisis Satuan Kemampuan Lahan Kemudahan Dikerjakan……..

65

10. Analisis Satuan Kemampuan Lahan Kestabilan Lereng …………...

66

11. Analisis Satuan Kemampuan Lahan Kestabilan Pondasi ………….

67

12. Analisis Satuan Kemampuan Lahan Ketersediaan Air ……………..

67

13. Analisis Satuan Kemampuan Lahan Drainase ………………………

68

14. Analisis Kemampuan Lahan …………………………………………..

69

15. Klasifikasi Pengembangan Lahan …………………………………….

69

16. Arahan Kesesuaian Lahan …………………………………………….

70

17. Analisis Bio Capacity …………………………………………………...

71

18. Analisis Kependudukan ………………………………………………..

72

19. Analisis Pendidikan ……………………………………………………..

73

20. Analisis Ketenagakerjaan ……………………………………………..

73

21. Analisis Kesehatan ……………………………………………………..

74

22. Analisis Ecological Footprint …………………………………………..

74

23. Koefisien Kebutuhan Manusia Terhadap Beberpa Jenis Lahan …..

76

24. Analisis Kebutuhan Lahan Ekologi Penduduk ………………………

77

25. Analisis Aspek Sumberdaya Alam ……………………………………

78

26. Analisis Aspek Sumberdaya Buatan ………………………………….

78

27. Analisis Aspek Sumberdaya Manusia ………………………………..

79

28. Analisis Ecological Footprint PDRB ………………………………….

79

29. Analisis Kebutuhan Lahan Ekologi PDRB …………………………..

81

30. Analisis Interaksi Spasial ………………………………………………

83

31. Analisis Pola Interaksi Spasial ………………………………………...

85

32. Luas Daratan dan Jumlah Pulau berdasarkan Kecamatan ………..

90

33. Luas Pulau dan Jumlah Pulau Hasil Analisis ………………………..

92

34. Karakter Jenis Tanah Gabungan ……………………………………..

97

35. Sebaran Penduduk berdasarkan Ruang Kecamatan ………………

106

36. Laju Pertumbuhan Penduduk per Kecamatan ………………………

106

37. Data Angkatan Kerja di Kabupaten MTB tahun 2002-2007 ………..

109

38. Data Angkatan Kerja Berdasarkan Lapangan Pekerjaan …………..

109

39. Sarana Pendidikan SD di Kab. MTB Tahun 2006……………………

111

40. Sarana Pendidikan SMP di Kab. MTB Tahun 2006 ………………...

112

41. Sarana Pendidikan SMA di Kab. MTB Tahun 2006 ………………...

113

42. Sarana dan Usaha Kesehatan MTB ………………………………….

115

43. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) MTB Tahun 2006 ….......

117

44. Konversi Kebutuhan Makanan Terhadap Lahan EF ……………….

124

45. Konversi Kebutuhan Perumahan Terhadap Lahan EF …………….

128

46. Konversi Kebutuhan Transportasi Terhadap Lahan EF ……………

130

47. Konversi Kebutuhan Barang-Barang Terhadap Lahan EF …………

131

48. Konversi Kebutuhan Aneka Jasa Terhadap Lahan EF ……………..

133

49. Konversi Kebutuhan Tempat Limbah Terhadap Lahan EF ………...

135

50. Kebutuhan Lahan EF Penduduk ………………………………………

136

51. Kebutuhan Lahan EF PDRB …………………………………………..

138

52. Perbandingan Kebutuhan Lahan EF Penduduk dan PDRB Tahun
2006. ……………………………………………………………………..

139

53. Luas Sebaran Kelas Kemampuan Lahan ……………………………

143

54. Luas Sebaran Kelas Bio capacity ……………………………………..

145

55. Perbandingan Luas Lahan Model dengan Data Eksisting …………

146

56. Perbandingan EF dan BC………………………………………………

148

57. Keberlanjutan Pulau Kecil dalam Skala Kecamatan Tahun 2006 …

155

58. Keberlanjutan Pulau-Pulau Kecil dalam Skala Pulau ………………

160

59. Matriks Jarak Antar Pusat Kecamatan di Kabupaten MTB…………

173

60. Matriks Asal dan Tujuan dari Kecamatan di Wilayah Penelitian. ….

177

61. Angkatan Kerja, distribusi lapangan kerja, kapasitas ketersediaan
langan kerja………………………………………………………………

178

62. Perbandingan Lamanya Keberlanjutan dan besarnya nilai PDRB

Kecamatan, sebelum dan sesudah interaksi…………………………

181

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.

Desain Struktur Kerentanan Pulau-Pulau Kecil……………………

13

2.

Struktur transportasi berpola denritik dan network system……….

16

3.

Karakteristik Hubungan Antar Wilayah……………………………..

23

4.

Matiks Asal Tujuan (MAT) Perjalanan Antar Wilayah ……………

28

5.

Diagram Alir Gravitasi Kendala Ganda (Lee, 1980)……………….

33

6.

Model Matematis Pola Gerakan Antar Dua Wilayah……………..

34

7.

Contoh Kerangka Pola Aliran Antar Pulau berdasarkan matriks
interkasi 10 x10……………………………………………………….

8.
9.

37

Contoh Generalisasi Arah Vektor Aliran berdasarkan titik berat
aliran..............................................................................................

37

Transaksi Konsumen dengan Produsen…………………………..

38

10. Struktur interaksi “ecological footprint dan bio capacity”………….

46

11. Kerangka Pemikiran Penelitian……………………………………..

55

12. Kerangka Operasional Penelitian…………………………………..

87

13. Karakteristik Geografis Wilayah Kepulauan Maluku .....................

89

14. Peta Kemiringan Lahan ................................................................

95

15. Peta Jenis Tanah .........................................................................

98

16. Peta Batuan Induk ........................................................................

100

17. Peta Iklim ......................................................................................

102

18. Peta Vegetasi dan Perairan .........................................................

104

19. Peta Kemampuan Lahan...............................................................

141

20. Peta Bio Capacity..........................................................................

144

21. Trend Perkembangan Pola Konsumsi Penduduk .........................

149

22. Diagram Dinamik Keberlanjutan Pulau Kecil ................................

152

23. Diagram EF Darat vs BC Darat.....................................................

154

24. Peta Tingkat Keberlanjutan Dalam Skala Kecamatan..................

157

25. Peta Tingkat Keberlanjutan Dalam Skala Pulau Kecil...................

159

26. Struktur Keterkaitan Tumbuh dalam Model Gugus Pulau ……….

168

27. Diagram Causal Loop Model Pulau………………………………...

170

28. Grafik Trip Length Distribution. Jumlah Penduduk Per Satuan

170

Jarak (mil)………………………………………………………………

180

29. Pola Interaksi antar Kecamatan……………………………………..

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.

Kebutuhan Lahan Penduduk………………………………………..

193

2.

Ketersediaan Lahan Pulau-Pulau Kecil ……….………………….

195

3.

Kebutuhan Lahan PDRB Pertanian…………………………………

196

4.

Kebutuhan Lahan PDRB Non Pertanian……………………………

200

5.

Kebutuhan Lahan PDRB Pertanian dan Non-Pertanian………….

207

6.

Jumlah Penduduk Per Jarak Tempuh Laut………………………… 208

1

1

1.1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), merupakan salah satu

tipologi wilayah administratif di Provinsi Maluku, yang karakteristik wilayahnya
berbentuk kepulauan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh kantor Badan
Pusat Statistik (BPS) Kabupaten MTB, Tahun 2006, jumlah pulau di kawasan
ini mencapai 133 pulau dan dari jumlah tersebut hanya 88 pulau yang dihuni,
sedangkan 54 pulau sisanya tidak didiami. Luas wilayah Kabupaten MTB
secara keseluruhan mencapai 125.422.4 Km2. Dari luas tersebut 110.838.3
Km2 atau 88.37% diantaranya merupakan wilayah lautan. Sedangkan 14.584
Km2 atau 11.63% sisanya merupakan wilayah daratan yang terfragmentasi
dalam bentuk pulau-pulau kecil dengan luasannya dibawah 10.000 Km 2.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27, Tahun 2007, tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.16/MEN/2008,
tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
disebutkan bahwa kriteria pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil
atau sama dengan 2.000 km2, Berdasarkan definisi tersebut diketahui bahwa
ada dua pulau di wilayah Kabupaten MTB yang tidak masuk dalam kategori
pulau kecil yaitu Pulau Wetar dan Pulau Yamdena, sedangkan yang
selebihnya didominasi oleh pulau-pulau kecil bahkan sangat kecil, sehingga
karakteristik pulau-pulau kecil sangatlah berperan dalam pengembangan
wilayahnya.
Pelling & Uitto (2002), mengemukakan bahwa karakteristik pulau kecil
terutama dikaitkan dengan ukurannya yang kecil (smallness) dan tata
letaknya yang cenderung tersebar serta terpisah oleh jarak dan laut
(remoteness). Kondisi ini menggambarkan bahwa, selain minim akan potensi
sumberdaya lahan darat yang diharapkan dapat mendukung segala aktivitas
dan kebutuhan manusia beserta dampak yang ditimbulkannya terhadap pulau
kecil tersebut, maka aksesibilitas wilayahnya juga relatif sangat rendah dan

2

sulit untuk dicapai dari wilayah lainnya. Kesulitan ini semakin bertambah
dengan adanya faktor lingkungan alami (Environmental Factors) seperti
dinamika laut dan perubahan iklim yang semakin mengurangi tingkat
aksesibilitas terhadap pulau-pulau kecil tersebut. Dengan demikian, tidaklah
mengherankan kalau isu utama yang muncul didalam pengembangan wilayah
pulau-pulau kecil biasanya terkait dengan pertumbuhan pulau-pulau kecil
yang relatif sangat terbatas dan terfragmentasi, sehingga diperlukan suatu
pendekatan model perwilayahan yang diharapkan dapat memberikan nilai
tambah didalam meningkatkan pertumbuhan pulau-pulau kecil tersebut
sebagai solusinya.
Salah satu pendekatan model perwilayahan yang muncul seiring
dengan upaya meningkatkan pertumbuhan pulau-pulau kecil di wilayah
Provinsi Maluku ini dikenal dengan nama “Gugus Pulau” (Bappeda, 1992).
Sebagai model perwilayahan yang bersifat fungsional, maka ruang lingkup
model gugus pulau ini bersifat lintas Kabupaten dan Kota, dimana salah satu
Kabupaten dimaksud adalah Kabupaten MTB. Sedangkan berdasarkan obyek
yang dikelolanya, konsep gugus pulau dihadapkan dengan keterbatasan
pulau-pulau kecil sesuai dengan karakteristik sumberdaya yang dimilikinya.
Dengan demikian sebagai suatu solusi pengembangan wilayah yang berskala
makro model gugus pulau perlu menjaga keberimbangan dampaknya pada
skala mikro.
Dalam skala makro, model gugus pulau diasumsikan sebagai suatu
usaha pemerintah provinsi atau penguasa wilayah untuk memacu aspekaspek pembangunan yang bersifat sosial dan ekonomi seperti peningkatan
PDRB yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pulau-pulau kecil dengan cara menciptakan dan mendekatkan pusat
pertumbuhan sampai pada jangkauan kemampuan berinteraksi dari pulaupulau kecil di wilayahnya, sedemikian rupa sehingga tercipta suatu pola
keterkaitan tumbuh antara pusat pertumbuhan dengan pulau-pulau kecil di
wilayah pelayanannya. Menurut Daldjoeni (1998), proses interaksi ini sendiri
digambarkan sebagai adanya proses pergerakan penduduk, barang dan jasa
dari suatu wilayah asal ke wilayah tujuan yang timbul sebagai akibat adanya

3

daya tarik dari wilayah tujuan. Sedangkan menurut Lloyd (1977), besar
kecilnya daya tarik wilayah tujuan ini sendiri sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor seperti jumlah penduduk, banyaknya fasilitas, dan tingkat aksesibilitas
yang dimiliki wilayah tujuan tersebut.
Selanjutnya jika mengacu kepada perspektif kerangka pengembangan
wilayah pesisir dan lautan berkelanjutan yang menekankan akan adanya
keterkaitan antara aspek fisik, sosial, ekonomi dan ekologi sebagaimana
dikemukakan oleh Chua

(2006), maka proses interaksi antar pulau-pulau

kecil sebagaimana dimaksud dalam model gugus pulau diatas, kemudian
dapat dianalogikan sebagai suatu variabel tetap berupa besar kecilnya arus
pergerakkan antar pulau, yang muncul sebagai akibat adanya pengaruh dari
variabel bebas yang bersifat fisik, seperti sistem prasarana transportasi
(jaringan) antar pulau, serta variabel bebas yang bersifat sosial dan ekonomi,
seperti sistem tata guna lahan (kegiatan) yang berlaku pada masing-masing
pulau-pulau kecil tersebut. Sedangkan dampak dari adanya pergerakkan
antar pulau ini sendiri pada akhirnya akan berpengaruh terhadap aspekaspek pembangunan yang bersifat ekologi dalam skala yang lebih mikro.
Dalam skala mikro, pulau-pulau kecil dengan kapasitas daya
dukungnya yang sangat terbatas diasumsikan sebagai faktor pembatas
terhadap sistem dari model gugus pulau yang ada seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk di pulau-pulau kecil akibat adanya proses
pergerakan yang terjadi diantara pulau-pulau kecil tersebut. Menurut
Wackernagel (2001), faktor-faktor pembatas ini berkaitan dengan adanya
kebutuhan ekologi penduduk setempat atau ecological footprint yang diukur
berdasarkan satuan unit luas lahan yang diperlukannya dalam rangka
melangsungkan kehidupan serta aktivitasnya. Sedangkan pemenuhan
kebutuhan ekologi penduduk akan lahan ini sangat berkaitan dengan bio
capacity atau kemampuan keragaan sistem dan penggunaan lahan dari pulau
kecil tersebut seperti: luas pulau, panjang garis pantai, luas lahan pertanian,
luas lahan terbuka, luas lahan terbangun, serta luas lahan perairan yang
kemudian diasumsikan memiliki hubungan keterkaitan secara ekologis
terhadap penduduk setempat.

4

Mengacu pada implikasi dari pendekatan model perwilayahan didalam
pengembangan

wilayah

pulau-pulau

kecil

sebagaimana

dijelaskan

sebelumnya, maka pada prinsipnya model gugus pulau dapat dikategorikan
sebagai salah satu solusi pengembangan wilayah yang relevan untuk Provinsi
Maluku, khususnya Kabupaten MTB yang secara geografis didominasi oleh
pulau-pulau kecil dengan pertumbuhan wilayah yang relatif rendah. Namun
demikian, perlu dikaji lebih lanjut seberapa besar peran model gugus pulau ini
didalam meningkatkan pertumbuhan pulau-pulau kecil itu sendiri, terutama
jika dikaitkan dengan dampak eksternalitas yang dihasilkannya. Dampak
tersebut berupa peningkatan kebutuhan akan lahan bagi kelangsungan hidup
penduduk di pulau-pulau kecil yang semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya pertumbuhan pulau-pulau kecil tersebut dari waktu kewaktu,
yang pada akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan pertumbuhan pulaupulau kecil itu sendiri.

1.2

Perumusan Masalah
Sebagaimana dijelaskan pada sub-bab sebelum ini bahwa model

pengembangan wilayah pulau-pulau kecil berbasis gugus pulau ini diawali
dengan isu keterbatasan “pertumbuhan” dan “daya dukung” wilayah pulaupulau kecil terkait dengan adanya hambatan geografis berupa jarak dan
lautan serta potensi daratannya yang sangat minim, sehingga dapat
diasumsikan bahwa upaya pengembangan pulau-pulau kecil disatu sisi lebih
dititikberatkan pada upaya menghidupkan interaksi diantara pulau-pulau kecil
tersebut melalui stimulasi pendekatan pusat pertumbuhan. Sementara disisi
lain pengembangan pulau kecil juga dibatasi oleh bio capacity pulau kecil
tersebut didalam mendukung besarnya ecological footprint penduduk dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup dan usaha mereka di pulau-pulau kecil.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana
mengkuantifikasikan efektifitas gugus pulau didalam meningkatkan dan
mendistribusikan pertumbuhan pulau-pulau kecil secara optimal sesuai

5

dengan kapasitas daya dukung lahan dari masing-masing pulau-pulau kecil
yang ada didalam gugus pulau tersebut.

1.3

Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji model gugus

pulau dalam pengembangan wilayah kepulauan di Kabupaten Maluku
Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Sehubungan dengan hal tersebut maka
dalam skala yang lebih detail, penelitian ini bertujuan untuk :
(1)

Mengkaji tingkat keberlanjutan pulau-pulau kecil

(2)

Mengkaji efektifitas model gugus pulau dalam pengembangan
wilayah kepulauan

1.4

Manfaat Penelitian
Hasil kajian model gugus pulau dalam pengembangan wilayah

kepulauan di Provinsi Maluku ini diharapkan dapat memberikan manfaat
berupa :
(1)

Indikasi pulau-pulau strategis yang secara ruang dan karakter
sumberdayanya berpotensi untuk menjadi pusat pertumbuhan bagi
pulau-pulau lain disekitarnya.

(2)

Seberapa jauh efek batas pertumbuhan yang bisa disitrbusikan oleh
sebuah pusat pertumbuhan sesuai dengan karakteristik pulau-pulau
kecil yang membentuknya.

(3)

Pemetaan tingkat keberlanjutan dari pertumbuhan dari pulau-pulau
kecil dalam suatu wilayah sesuai dengan daya dukungnya masing
masing.

(4)

Acuan dan masukan bagi pemerintah daerah didalam mengelola
wilayahnya yang secara geografis didominasi oleh pulau-pulau kecil.

6

1.5

Kebaharuan (Novelty)
Pulau-pulau Kecil pada prinsipnya merupakan salah satu sumberdaya

pesisir dan lautan (SPL) yang dalam implikasi pengembangannya kemudian,
melibatkan banyak

teori-teori dasar, baik yang berasal dari SPL sendiri,

maupun yang berasal dari luar SPL, salah satu diantaranya adalah
perwilayahan. Dari sudut pandang SPL, maka pada dasarnya fokus
pengembangan pulau-pulau kecil sangat terkait dengan karakteristik utama
dari pulau-pulau kecil itu sendiri, yaitu ukurannya yang relatif kecil
(smallness). Sebagai konsekwensinya penelitian dari sudut pandang ini
biasanya lebih terkait pada isu kapasitas daya dukung pulau-pulau kecil yang
relatif sangat terbatas didalam mendukung suatu proses pertumbuhan.
Sedangkan dari sudut pandang perwilayahan, maka fokus pengembangan
pulau-pulau kecil lebih dilihat berdasarkan karakteristik tata letaknya yang
relatif terpencil (remoteness). Tidaklah mengherankan kalau penelitian dari
sudut pandang ini biasanya terkait dengan isu aksesibilitas dari pulau-pulau
kecil yang relatif sangat rendah terhadap pusat-pusat pertumbuhan yang
dapat memberi suplai kebutuhan hidup serta berbagai fasilitas sosial ekonomi
dan budaya (sosekbud) yang diperlukan untuk pertumbuhan di pulau-pulau
kecil. Interaksi antara kedua sudut pandang pengembangan pulau-pulau kecil
inilah yang kemudian melatarbelakangi berkembangnya suatu perspektif baru
tentang bagaimana melakukan pengembangan wilayah pulau-pulau kecil
secara lebih obyektif sesuai dengan kenyataan dan isu yang berkembang di
wilayah pulau-pulau kecil.
Sebagai salah satu aplikasi dari perspektif baru datas, maka secara
umum kebaharuan (novelty) dari Kajian Model Gugus Pulau di Provinsi
Maluku ini pada prinsipnya terkait dengan upaya mengeksplorasi suatu
proses integrasi antara karakteristik daya dukung dan aksesibilitas pulaupulau kecil dalam suatu kerangka kerja pertumbuhan pulau-pulau kecil yang
berkelanjutan. Secara lebih detail kebaharuan yang dikemukakan melalui
kajian ini digambarkan sebagai suatu kajian efek batas dari suatu mekanisme
spasial yang berperan sebagai perantara (interface) didalam mendistribusikan
variable-variabel pertumbuhan antar pulau-pulau kecil dalam satu kelompok

7

ruang tertentu. Dimana efek batas dari mekanisme ini diukur berdasarkan
keseimbangan antara kebutuhan lahan untuk pertumbuhan terhadap
kapasitas lahan yang mampu disediakan oleh pulau-pulau kecil tersebut.
Melalui kajian ini dapat dikembangkan suatu pendekatan baru tentang
peranan

model

gugus

pulau

didalam

mendistribusikan

peningkatan

pertumbuhan diantara pulau-pulau kecil sesuai dengan kelompok dan
batasan ruang tertentu. Dengan demikian kesenjangan pertumbuhan antara
pulau-pulau kecil dapat diminimalkan dan

dampak yang dihasilkan tidak

melampaui kapasitas daya dukung dari pulau-pulau kecil tersebut dari waktu
ke waktu sehingga pembangunan pulau-pulau kecil dalam suatu gugus pulau
dapat dioptimalkan serta berkelanjutan.

8

9

2

2.1

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Wilayah Kepulauan
Menurut Wikipedia (2007), wilayah kepulauan atau yang sering disebut

dengan archipelago, didefinisikan sebagai serangkaian atau sekelompok
daratan non benua yang yang muncul dan tersebar dipermukaan laut sebagai
akibat dari adanya proses geologi. Dengan perkataan lain karakteristik
wilayah kepulauan, dapat digambarkan sebagai sekelompok luasan daratan
yang terfragmentasi satu dengan lainnya oleh jarak dan lautan dengan ukuran
luasnya yang sangat bervariasi. Jika daratan yang trefragmentasi oleh jarak
dan lautan tersebut memiliki luas dibawah 2.000 km2, maka menurut
UNESCO (1991), daratan dimaksud dikategorikan sebagai pulau kecil,
ukurannya yang relatif kecil dan tata letaknya yang cenderung terpisah oleh
laut, mengindikasikan akan adanya permasalahan dalam pengelolaan pulau
kecil yang umumnya terkait dengan, terbatasnya lahan darat, rendahnya
aksesibilitas,

ketergantungan,

serta

rentannya

pulau

kecil

terhadap

perubahan. (Pelling & Uitto, 2002)

2.1.1 Ukuran Yang Relatif Kecil (Smallness)
Meskipun menurut beberapa literatur batasan ukuran pulau kecil
bervariasi, Pemerintah Indonesia melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan
No.41 Tahun 2000, tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat,

telah memberikan batasan

pulau kecil sebagai pulau yang memiliki luas (A) kurang atau sama dengan
10.000 km2, sedangkan Bengen (2003) cenderung menyetujui batasan yang
dikemukakan oleh UNESCO (1991) yang mendefinisikan pulau kecil sebagai
pulau yang memiliki luas kurang atau sama dengan 2.000 km2, bahkan
Bengen (2003) mengemukakan bahwa pulau dengan luas kurang atau sama
dengan 100 km2 dikategorikan sebagai pulau sangat kecil. Sedangkan
menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27, Tahun 2007, serta
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2008, disebutkan bahwa Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih

10

kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta
kesatuan Ekosistemnya.
Menurut Kusumastanto (2003), Ukurannya yang kecil, terkait dengan
terbatasnya ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan seperti
air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, sehingga pada
gilirannya akan berpengaruh terhadap daya dukung pulau-pulau kecil tersebut
didalam

menopang

kehidupan

manusia

serta

segenap

kegiatan

pembangunan yang ada. Hal yang sama dikemukakan oleh Briguglio (2002),
yang menyatakan bahwa, ukuran yang kecil (smallness) sering dikaitkan
dengan kurangnya keragaan sumberdaya lahan daratan, serta rendahnya
hubungan antar industri yang dimiliki oleh pulau kecil. Oleh karenanya pulau
kecil cenderung mengimpor energi dan makanan dari luar wilayahnya dalam
rangka memenuhi kebutuhan pertumbuhannya. Keterbatasan lahan dan
rendahnya hubungan antar industri juga menyebabkan pulau kecil memiliki
tingkat

diversivikasi

usaha

yang

relatif

sangat

rendah.

Sebagai

konsekuensinya pulau kecil memiliki peluang pasar yang relatif sangat sempit
dan terbatas karena tidak memiliki pilihan atau alternatif produk lain yang
dapat

diekspor

kewilayah-wilayah

lain

dalam

rangka

meningkatkan

pendapatan wilayahnya.

2.1.2 Keterpencilan (Remoteness)
Menurut Purwadarminta (1976), kata keterpencilan (remoteness)
diartikan sebagai suatu lokasi yang jaraknya relatif jauh untuk dapat di
jangkau, atau suatu lokasi yang karena tata letak dan bentuk sebarannya,
tidak mudah untuk di capai oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun

belum

ada

kuantifikasi

yang

secara

jelas

mendefinisikan

keterpencilan dari pulau-pulau kecil, akan tetapi dalam perspektif yang sama
kuantifikasi dari definisi keterpencilan ini kemudian oleh Worldbank (2011)
digambarkan sebagai kemampuan akses relatif (index) dari suatu lokasi
terhadap beberapa fasilitas umum yang tersedia disekitarnya berdasarkan
variabel : jarak (D), waktu tempuh (T), serta moda transportasi (M) yang
diperlukan untuk mencapai fasilitas-fasilitas umum tersebut.

Lebih jauh

11

dijelaskan bahwa secara operasional ukuran variabel jarak dikategorikan
sebagai (0) untuk jarak 0 km dari lokasi, (1) untuk jarak 1 km, (2) untuk jarak 5
km, (3) untuk jarak 20 km, (4) untuk jarak 100 km, dan (5) untuk jarak diatas
100 km. sedangkan ukuran variabel moda transportasi dikategorikan sebagai
(1) untuk jalan kaki, (2) untuk kendaraan, (3) untuk kapal laut, dan (4) untuk
kapal terbang, demikian halnya dengan ukuran variabel untuk waktu tempuh
yang besifat kontinyu. Menurut Worldbank (2011), formulasi umum yang
dipergunakan untuk menggambarkan tingkat keterpencilan dari masingmasing variabel tersebut adalah :
~

X 

X i  X min
X max  X min

……………………………………………………. ….. .(1)

Dimana, Xi = ukuran keterpencilan dari suatu lokasi (i), sedangkan Xmin dan
Xmax = ukuran keterpencilan minimum dan maksimum dari lokasi-lokasi yang
ada terhadap fasilitas umum yang tersedia. Normalisasi dari ketiga nilai
variabel tersebut diatas selanjutnya digambarkan dalam suatu tingkatan
keterpencilan lokasi dalam bentuk sebaran nilai dari 0 yang artinya tidak
terpencil atau nilai yang diasosiasikan sebagai nilai minimal yang dihasilkan
oleh setiap variabel. Sebaliknya nilai 1 yang berarti sangat terpencil
diasosiasikan sebagai nilai maksimal yang dihasilkan oleh setiap variabel.
Lebih jauh dikemukakan oleh Briguglio (2002), bahwa karena sifat-sifat
geografisnya yang cenderung terpisah oleh lautan (Remoteness), maka pulau
kecil memiliki tingkat aksesibilitas yang cenderung rendah terhadap pusatpusat pertumbuhan. Hal ini biasanya terkait dengan biaya ekstra tinggi yang
harus dikeluarkan persatuan unit transportasi, terutama untuk pulau-pulau
kecil yang secara ekonomis tidak terjangkau oleh sistem transportasi yang
ada. Konsekuensi dari kondisi ini selain berakibat terhadap tidak menentunya
proses suplai energi dan makanan yang dibutuhkan pulau-pulau kecil tersebut
dalam pertumbuhannya, juga mengakibatkan pulau-pulau kecil tersebut
menjadi semakin terpencil. Keterpencilan juga diartikan sebagai suatu daerah
yang terisolasi dari pusat pertumbuhan maupun dari daerah lain akibat tidak
memiliki atau kekurangan sarana perhubungan sehingga menghambat
pertumbuhan daerah tersebut (Supriyadi, 2004) .

12

2.1.3 Ketergantungan (Dependence)
Menurut Fauzi (2005), selain smallness dan remoteness, terdapat
beberapa sifat khas dari pulau kecil yang juga harus dipertimbangkan dalam
melakukan penilaian ekonomi sumberdaya pulau-pulau kecil. Sifat-sifat
tersebut adalah ketergantungan (dependence) dan kerentanan (vulnerability).
Sifat ketergantungan pulau-pulau kecil ini pada dasarnya terbentuk sebagai
tuntutan atas sifat-sifat dasar dari pulau-pulau kecil seperti “smallness” dan
“remoteness”.

Kondisi

tersebut

menunjukkan

adanya

keterbatasan

sumberdaya darat pulau kecil serta adanya hambatan jarak dan laut yang
memisahkannya. Dengan demikian dalam rangka pertumbuhannya pulau
kecil sangat membutuhkan bantuan dari wilayah lain atau dari pulau lain yang
dianggap

mampu

mendukung

pulau

kecil

tersebut

sesuai

dengan

kebutuhannya. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa karena
keterbatasan

fisiknya

pulau-pulau

kecil

cenderung

memiliki

tingkat

ketergantungan yang tinggi terhadap wilayah lain diluarnya yang diharapkan
dapat

memberikan

dukungan

secara

fungsional

dalam

rangka

pertumbuhannya.

2.1.4 Kerentanan (Vulnerable)
Pelling dan Uitto (2002), mengemukakan bahwa kaidah dasar
kerentanan pulau-pulau kecil sangat dipengaruhi oleh karakteristik pulau itu
sendiri

seperti

halnya

smallness

dan

remoteness

yang

kemudian

memunculkan dependence. Dalam operasionalisasinya karakteristik pulaupulau kecil ini disatu sisi mengekspose isu-isu pengelolaan seperti
permasalahan sosial, ekonomi dan lingkungan yang bersifat eksternal.
Sedangkan di sisi lain secara internal karakteristik ini juga dapat digambarkan
sebagai kondisi aktual dari pulau-pulau kecil yang ada dengan segala
kemampuannya untuk bertahan, mengatur, dan beradaptasi terhadap
dampak

eksternal

yang

muncul

sebagai

akibat

dari

tereksposenya

permasalahan-permasalahan yang ada. Secara skematis interaksi antara
pengaruh eksternal terhadap kemampuan internal dari suatu pulau-pulau kecil

13

kemudian digambarkan sebagai suatu desain struktur kerentanan pulau-pula