Potensi Hijauan Lokal Pesisir Pantai bagi Ternak Ruminansia di Desa Mangunlegi Kecamatan Batangan Kabupaten Pati
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kabupaten Pati terletak di daerah pantai utara Pulau Jawa dan di bagian timur
dari Propinsi Jawa Tengah. Batas wilayah sebelah utara adalah Kabupaten Jepara dan
Laut Jawa, sebelah barat adalah Kabupaten Kudus, sebelah selatan adalah Kabupaten
Grobogan dan Kabupaten Blora, sebelah timur adalah Kabupaten Rembang. Luas
wilayah Kabupaten Pati 150.386 ha yang terdiri dari 58.448 ha lahan sawah dan
91.920 ha lahan bukan sawah. Tanah bagian utara terdiri dari tanah Red Yellow,
Latosol, Aluvial, Hidromer, dan Regosol. Tanah bagian selatan terdiri dari tanah
Aluvial, Hidromer, dan Gromosol (BPS, 2007). Dari segi letaknya Kabupaten Pati
merupakan daerah yang strategis di bidang ekonomi, sosial, budaya dan memiliki
potensi sumber daya alam serta sumber daya manusia yang dapat dikembangkan
dalam semua aspek kehidupan masyarakat seperti pertanian, peternakan, perikanan,
perindustrian, pertambangan/ penggalian dan pariwisata (BPS, 2011).
Beternak merupakan mata pencaharian utama dan sampingan bagi warga
masyarakat Kabupaten Pati. Jenis-jenis ternak yang berkembang dan dipelihara oleh
masyarakat di Kabupeten Pati adalah sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing,
domba, ayam ras, dan ayam buras. Ternak ruminansia menjadi komoditas unggulan
peternakan di Kabupaten Pati untuk memenuhi kebutuhan daging baik untuk wilayah
Kabupaten Pati, maupun kebutuhan nasional. Selain itu, ternak ruminansia dinilai
cocok sebagai hewan ternak sebagai usaha sampingan karena memiliki nilai jual
yang tinggi sehingga lebih menguntungkan bagi peternak.
Hijauan pakan untuk ternak ruminansia dinilai lebih murah dan mudah
didapat oleh peternak. Hijauan pakan ini diperoleh dari rumput lokal, leguminosa,
bahkan dengan memanfaatkan limbah pertanian untuk memenuhi kebutuhan pakan
ternak ruminansia. Hijauan makanan ternak ini diperoleh peternak disekitar lahanlahan pertanian yang ada, atau bahkan peternak dengan sengaja menanamnya di
lahan yang mereka miliki.
Pesisir pantai merupakan salah satu daerah potensial pemasok hijauan
makanan ternak. Indonesia memiliki panjang garis pantai sebesar 95.181 km yang
menduduki peringkat keempat dunia setelah Amerika Serikat, Kanada, dan Rusia.
Kabupaten Pati memiliki beberapa kecamatan yang terletak di pesisir pantai pulau
jawa (pantura). Salah satu kecamatan yang terletak di pesisir pantai adalah
Kecamatan Batangan. Kecamatan Batangan memiliki 18 desa dan kelurahan yang
beberapa diantaranya berada di pesisir pantai. Desa-desa tersebut adalah Batursari,
Bulumulyo,
Bumimulyo,
Ketitangwetan,
Gajahkumpul,
Kalyusiwalan,
Kuniran,
Gunungsari,
Jembangan,
Kedalon,
Lengkong,
Mangunlegi,
Ngening,
Mangunlegi, Raci, Sukoagung, Tlogomojo dan Tompomulo (Godam, 2011).
Sebagai salah satu desa pesisir pantai di Kecamatan Batangan, Desa
Mangunlegi memiliki warga dengan mata pencaharian beragam. Salah satu mata
pencaharian yang mereka lakukan adalah beternak. Ternak yang mereka miliki juga
beragam baik monogastrik, maupun ruminansia. Kebutuhan makanan ternak
ruminansia yang dipelihara oleh warga didapat dari hijauan lokal yang berada di
lingkungan sekitar. Oleh karena itu, wilayah pesisir pantai mempunyai potensi untuk
menyediakan hijauan makanan ternak dan daya dukung bagi ternak. Selain itu,
wilayah pesisir pantai memiliki keragaman hijauan pakan yang beragam dan
tentunya jenis hijauannya akan berbeda dengan daerah non pesisir pantai.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengetahui potensi
hijauan pakan yang berada di wilayah pesisir pantai Desa Mangunlegi sebagai pakan
ternak ruminansia.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Wilayah
Menurut Natasamita dan Mudikdjo (1979), untuk memperhitungkan potensi
suatu wilayah untuk pengembangan ternak secara teknik maka, perlu dilihat populasi
ternak yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan potensi makanan ternak
yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan. Untuk memperhitungkan potensi
wilayah untuk produksi ternak herbivora (pemakan hijauan) maka perhitungan
kepadatan ternak teknis yang diperlukan adalah jumlah satuan ternak herbivora saja.
Menghitung satuan ternak dari populasi ternak haruslah diketahui komposisi ternak
herbivora tersebut menurut golongan umurnya. Semakin rendah angka kepadatan
teknisnya maka berarti wilayah tersebut mempunyai potensi yang tinggi untuk
pengembangan ternak herbivora.
Dari angka kepadatan teknis kita baru mendapatkan gambaran kasar tentang
potensi suatu wilayah untuk pengembangan ternak, potensi yang sesungguhnya akan
ditentukan oleh tingkat produksi hijauan makanan ternak di wilayah yang
bersangkutan. Untuk memperhitungkan potensi yang sesungguhnya, maka hanya
tanah-tanah yang potensial untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang
diperhitungkan, misalnya tanah pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Disamping kepadatan teknis, dikenal pula kepadatan ekonomis. Angka
kepadatan ternak ekonomis menggambarkan apakah suatu wilayah merupakan
daerah produsen ataukah konsumen hijauan. Semakin tinggi nilai kepadatan ternak
ekonomis, maka daerah tersebut akan lebih mengarah ke daerah konsumen hijauan.
Ternak Ruminansia
Sapi
Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik
tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, dapat dibedakan dari ternak
lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat
diturunkan ke generasi berikutnya. Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979)
bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai kingdom Animalia, filum
Chordata, kelas Mamalia, Ordo Artiodactyla, famili Bovidae, genus Bos, spesies Bos
taurus, Bos indicus, Bos sondaicus.
Sapi Brahman merupakan bangsa sapi yang dibentuk di Amerika Serikat dari
hasil persilangan empat bangsa sapi India, yaitu Nellore Ongole, Kankrey, Krishna
Valley, dan Gir (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Menurut Ensminger (1991) ciri fisik
sapi Brahman ditandai dengan adanya kelasa yang cukup besar melampaui bahu, kulit
yang menggantung di bawah kerongkongan dan gelambir yang panjang, serta
mempunyai kaki panjang dan telinga menggantung.
Bangsa-bangsa sapi yang sudah lama ada di Indonesia dan telah dianggap
sebagai sapi lokal adalah sapi bali (termasuk Bos sondaicus), sapi ongole (termasuk Bos
indicus) serta peranakan ongole, sapi madura, sapi jawa, sapi sumatra, dan sapi aceh
yang semuanya dianggap sebagai keturunan sapi Bos sondaicus dan Bos indicus.
Domba
Domba merupakan salah satu jenis ternak yang sangat potensial untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani, mengingat daging domba dapat dengan mudah
diterima oleh berbagai lapisan masyarakat dan agama khususnya di Indonesia.
Menurut Blakely dan Bade (1991), domba dapat diklasifikasikan sebagai kingdom
Animalia, filum Chordata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus
Ovis, dan spesies Ovis aries.
Domba asli Indonesia disebut dengan bangsa domba lokal. Ternak domba
lokal memiliki beberapa keunggulan dan nilai ekonomis yang beragam diantaranya:
1) daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan (termasuk terhadap pakan
yang berkualitas rendah), 2) menyukai hidup berkoloni sehingga memudahkan
pengawasan, 3) memiliki kemampuan reproduksi yang relatif tinggi, 4) produk
sampingan berupa kulit, bulu, tulang, dan kotoran ternak yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku industri (Abidin dan Sodiq, 2002).
Kambing
Kambing dapat diklasifikasikan sebagai kingdom Animalia, filum Chordata,
kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Capra, dan spesies Capra
hircus. Ternak kambing di daerah tropis seperti Indonesia merupakan sumber utama
produksi protein hewani bilamana adaptasi teknologi dan program pemuliaan ternak
yang terarah dapat dilaksanakan (Martojo, 1976). Dasgupta dan Guka (1978)
mengemukakan perlunya diusahakan pengembangan dan peningkatan produktivitas
4
peternakan rakyat yang banyak dilakukan secara kecil – kecilan di daerah pedesaan
dimana tingkat kehidupan sosial ekonomi peternak masih rendah. Susanto (1977)
menjelaskan bahwa ternak kambing mempunyai arti yang penting terutama di
Negara berkembang karena memiliki potensi untuk berkembang dalam waktu yang
relatif pendek dan dengan biaya yang relatif murah.
Makanan adalah faktor yang penting untuk pertumbuhan karena dengan
pemberian makanan yang bekualitas dan cukup maka berat badan ternak akan
meningkatkan, begitu juga dengan kualitas karkasnya (Newman dan Snapp, 1969).
Pakan kambing yang utama adalah hijauan yang terdiri dari rumput dan daun – daun.
Apabila menginginkan produksi lebih baik sesuai dengan tujuan komersil disamping
rumput dan daun – daun juga harus diberikan makanan penguat seperti dedak padi,
dedak jagung, bungkil kelapa, dan lainya.
Pada umumnya peternak memelihara kambing secara tradisional sehingga
mengakibatkan produktivitas kambing rendah. Menurut Handiwirawan et al (1996)
rendahnya produktivitas kambing terutama berkaitan dengan rendahnya laju
pertambahan bobot badan, panjangnya selang beranak, dan tingginya laju
mortalitas.
Kambing kacang biasanya berwarna hitam, kadang-kadang ada beberapa
bercak putih, tanduknya berbentuk pedang melengkung ke atas dan ke belakang.
Umumnya telinga pendek dan tegak. Janggut selalu terdapat pada hewan jantan dan
sangat jarang ditemui pada hewan betina. Persilangan kambing kacang mirip sekali
dengan induknya yang kambing kacang, tetapi warna lebih beragam seperti warna
hitam, coklat, atau putih atau campuran warna tersebut (Devendra dan Burns,
1983).
Menurut Hardjosubroto (1994) kambing PE atau peranakan etawa memiliki
sifat antara kambing kacang dan kambing etawah, yaitu tubuh berukuran besar,
muka cembung, daun telinga panjang, dan terkulai ke bawah. Di daerah belakang
paha, ekor, dan dagu berbulu panjang. Tanduk pendek dan kecil serta rahang bawah
lebih menonjol daripada rahang atasnya.
Pola Penyediaan Hijauan Pakan
Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979) sistem penggembalaan memiliki
arti sebagian besar atau seluruh makanan ternak diperoleh dari lapangan
5
penggembalaan. Cukup atau tidaknya makanan yang diperoleh di lapangan
penggembalaan akan dicerminkan oleh kondisi badan sapi. Yang perlu diperhatikan
ialah pada waktu musim kemarau, sehingga perlu memberikan makanan tambahan,
mengurangi populasi sapi jika persediaan makanan tidak ada, garam atau mineral
juga perlu diberikan, dan air minum harus tersedian di lapangan penggembalaan.
Sedangkan sistem penggembalaan cut and carry memiliki arti makanan diaritkan dan
diberikan di kandang. Baik jumlah maupun kualitas makanan perlu mendapat
perhatian sesuai dengan fase fisiologis, bobot dan tujuan produksi.
Hijauan Pakan
Rumput
a. Cynodon dactylon L. Pers.
Kaffka (2009) menyatakan bahwa Cynodon dactylon L. Pers telah berhasil
dibudidayakan di tanah yang salin di Califonia’s Central Valley dan dapat tumbuh
meski mendapat irigasi berupa air yang salin dan dapat digunakan sebagai makanan
ternak. Menurut Hameed dan Ashraf (2007) jumlah daun dan berat kering tanaman
pada Cynodon dactylon L. Pers akan menurun beranding terbalik dengan
peningkatan salinitas tanah. Menurut Sukla et al. (2011), Cynodon dactylon L. Pers.
ditemukan di habitat yang beragam. Cynodon dactylon L. Pers. dapat tumbuh dengan
baik pada tanah salin, mengindikasikan Cynodon dactylon L. Pers. toleransi terhadap
cekaman garam.
b. Panicum repens L.
Pier (1999) mengatakan bahwa Panicum repens L. tumbuh di tanah yang
lembab seperti pada tanah pasir di sepanjang pantai, dipinggir laguna, danau, kolam
dan sungai di daerah tropis dan subtropics di seluruh dunia. Panicum repens L.
secara cepat berkembang menjadi monokultur di habitatnya menggeser kehadiran
rumput yang lain. Secara spesifik, Panicum repens L. adalah rumput yang sangat
kompetitif dalam penyerapan air dan dapat menurunkan produksi rumput bermuda
Cynodon dactylon L. Pers. hingga 40 % dalam dua tahun.
6
Kacangan
a. Gamal (Gliricidia sepium Jacq. Kunth ex Walp.)
Tanaman yang berasal dari Amerika Tengah ini, di Indonesia lebih dikenal
dengan nama gamal. Daun gamal dapat digunakan sebagai hijauan makanan ternak
yang memiliki kandungan nutrien yaitu protein kasar (PK) 24,7 %, neutral
detergent fibre (NDF) 31, 8%, dan acid detergent fibre (ADF) 20,4%. Daun gamal
memiliki zat antinutrisi berupa saponin, tanin, kumarin, dan asam fenolat (Duke,
1983).
b. Lamtoro (Leucaena leucocephala Lamk.)
Lamtoro dapat tumbuh pada daerah tropis dan subtropis. Lamtoro memiliki
zat antinutrisi berupa mimosin. Apabila mimosin diberikan pada ruminansia dalam
kadar yang tinggi dapat menjadi racun bagi mikroba rumen sehingga dapat pula
menurunkan produksi asam amino (McDonald et al., 2002). Lamtoro mengandung
PK 24, 3%, ADF 21,5%. NDF 31,8%, dan tannin 14,8 mg/g BK (Baba et al.,
2002).
c. Kaliandra (Calliandra calothyrsus Meissn)
Palmer et al. (1995) menunjukan bahwa daun Calliandra calothyrsus
memiliki nilai pakan yang tinggi untuk ternak, khususnya sebagai sumber protein.
Kaliandra memenuhi kurang lebih 30% kebutuhan kambing, biri-biri, dan ternak
lainnya. Ternak akan tumbuh lebih baik bila disuplementasi dengan kaliandra
dibandingkan hanya diberi rumput. Tingkat suplementasi yang baik adalah 30% dari
total ransum karena pemberian yang lebih tinggi akan merugikan.
Rumbah
Berdasarkan komunikasi pribadi dengan Ir. M. Agus Setiana, MS pada
tanggal 1 Agustus 2012, rumbah merupakan hijauan makanan ternak selain rumput
maupun kacangan. Rumbah dapat berupa dedaunan yang memiliki kandungan serat
dan protein yang cukup tinggi sebagai suplementasi atau pengganti rumput dan
kacagan ketika ketersediaannya berkurang. Contoh rumbah adalah daun singkong,
daun waru, daun angsana.
7
Potensi Jerami Padi untuk Pakan Sapi
Menurut Natasamita dan Mudikdjo (1979) dengan memiliki persediaan
jerami padi kering, peternak tidak perlu lagi mencari rumput atau membeli hijauan
segar untu pakan sapi. Hampir semua limbah pertanian tanaman pangan dapat
dimanfaatkan untuk bahan pakan sapi. Walaupun hampir semua limbah pertanian itu
mengandung serat kasar tinggi, tapi dengan sentuhan teknologi sederhana limbah itu
dapat diubah menjadi pakan bergizi dan sumber energy bagi ternak. Kandungan
nutrisi jerami padi, diantaranya protein 4,5-5,5%, lemak 1,4-1,7%, serat kasar 31,546,5%, abu 19,9-22,9%, dan BETN 27,8-39,9%. Dengan demikian karakteristik
jerami sebagai pakan ternak tergolong hijauan bermutu rendah. Selain kandungan
nutrisinya yang rendah jerami padi juga termasuk pakan hijauan yang sulit dicerna
karena kandungan serat kasarnya sangat tinggi. Daya cerna yang rendah itu
terutaman disebabkan oleh struktur jaringan jerami yang sudah tua. Jaringan pada
jerami telah mengalami proses lignifikasi. Selaian adanya proses lignifikasi,
rendahnya daya cerna ternak terhadap jerami juga disebabkan oleh tingginya
kandungan silikat.
Dengan rendahnya kandungan nutrisi jerami padi dan sulitnya daya cerna
jerami maka pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak ruminansia perlu
diefektifkan. Salah satu caranya dengan penambahan suplemen agar kandunga
nutrisinya dapat memenuhi kebutuhan hidup ternak secara lengkap sekaligus
meningkatkan daya cerna pakan. Untuk meningkatkan daya cerna jerami padi
sebagai pakan ruminansia diperlukan perlakuan khusus. Antara lain dengan
perlakuan akali, urea, UMB (Urea Molases Blok) dan pakan tambahan.
Herbarium
Herbarium adalah tumbuhan yang telah dikeringkan dengan suatu proses
tertentu. Selain itu herbarium dapat diartikan sebagai koleksi kering spesimen
tumbuhan yang digunakan dalam penelitian maupun sebagai museum tumbuhan.
Spesimen tumbuhan yang telah dikeringkan ini menjadi sarana yang sangat penting
untuk studi tumbuhan dimasa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang bagi
para ahli taksonomi tumbuhan. Pada masa sekarang herbarium tidak hanya
merupakan suatu spesimen tumbuhan yang diawetkan tetapi juga mempunyai suatu
lingkup kegiatan botani tertentu, sebagai sumber informasi dasar untuk para ahli
8
taksonomi sekaligus berperan sebagai pusat penelitian dan pengajaran, juga pusat
informasi bagi masyarakat umum (Balai Taman Nasional Baluran, 2004).
Salinitas
Kadar garam (salinitas) tanah dipengaruhi oleh kadar mineral garam-garaman
dan dapat diukur dari konduktivitas listrik dari ekstrak tanah yang jenuh.
Pertumbuhan tanaman akan terganggu jika konduktivitas listrik dari ekstrak tanah
tersebut melebihi 4 desi Siemens per meter (4 dS/m). Untuk mencegah akumulasi
konsentrasi garam yang berbahaya, dan mengurangi akumulasi kadar garam, dapat
dilakukan dengan pemberian air secara berlebih. Kadar garam ini tercuci oleh air ke
lapisan tanah bagian bawah dan ikut melalui aliran sungai (Wild, 1993).
Harjadi dan Yahya (1988) mengungkapkan bahwa stres garam merupakan
salah-satu dari antara enam bentuk stres tanaman yaitu stres suhu, stres air, stres
radiasi, stres bahan kimia dan stres angin, tekanan, bunyi dan lainnya. Stres garam
terjadi dengan terdapatnya salinitas atau konsentrasi garam-garam terlarut yang
berlebihan dalam tanaman. Stres garam ini umumnya terjadi dalam tanaman pada
tanah salin. Stres garam meningkat dengan meningkatnya konsentrasi garam hingga
tingkat konsentrasi tertentu yang dapat mengakibatkan kematian tanaman.
9
MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan di Desa Mangunlegi, Kecamatan Batangan,
Kabupaten Pati pada bulan Desember 2011 – Febuari 2012. Desa Mangunlegi
terletak
antara
6º41’51,55”LS
-
6º42’39,38”LS
dan
111º12’53,56”BT
-
111º14’6,96”BT. Lokasi penelitian Desa Mangunlegi dibagi menjadi 4 zona
berdasarkan jarak dari pesisir pantai dan penggunaan lahan di Desa Mangunlegi.
Zona pertama adalah zona pesisir pantai, zona kedua adalah zona tambak, zona
ketiga adalah zona sawah tadah hujan dan zona keempat adalah zona pemukiman.
Sumber : Google Earth
Gambar 1. Lokasi Desa Mangunlegi
Materi
Materi penelitian adalah hijauan makanan ternak serta rumput lokal yang
tumbuh di Desa Mangunlegi. Peralatan yang digunakan berupa kuadran berukuran
0.5m x 0.5m, counter, pisau, kantong plastik, alat tulis, alkohol 70%, kertas buram,
label dan GPS device.
Metode
Identifikasi Rumput Lapang
Identifikasi rumput lapang menggunakan metode herbarium hijauan pakan
dengan mengikuti metode Stone (1983) yaitu eksplorasi koleksi herbarium.
Pembuatan herbarium basah yaitu dengan cara mengambil satu helai tiap jenis
hijauan lalu disemprotkan alkohol 70% pada seluruh bagian tanaman, kemudian
diletakkan pada kertas koran yang ditutup secara rapat, lalu diikat dengan tali.
Seluruh data lapangan dalam spesimen koleksi dicatat.
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari responden peternak Desa Mangunlegi dan pegawai Dinas Peternakan
Kecamatan Batangan melalui wawancara dan dengan menggunakan kuisioner.
Pengumpulan data observasi dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung ke
lapangan. Data sekunder diperoleh dari bahan tertulis atau pustaka yang dapat
dipercaya dan berhubungan dengan penelitian berupa hasil penelitian dan data-data
pendukung lainnya yang diperoleh dari instansi yang terkait seperti Kantor Desa
Mangunlegi, Kantor Kecamatan, Dinas Peternakan Kabupaten Pati, dan Badan Pusat
Statistik (BPS).
Analisis Data
Metode pengolahan data yang digunakan adalah analisis deskriptif,
perhitungan komposisi botani metode “dry weight rank”, analisis Kapasitas
Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) metode Nell dan Rollinson
(1974), analisis salinitas tanah, analisis Sistem Informasi Geografis dengan
menggunakan software ArcGIS® 9, analisis kapasitas dan daya tampung zona tambak
dengan pendekatan produksi bahan kering.
Analisis Komposisi Botani Rumput Lapang
Analisis komposisi botani yang dilakukan adalah analisisi metode “Dry
Weight Rank” menurut Mannetje dan Haydock (1963). Metode ini digunakan untuk
menduga komposisi botani padang rumput atas dasar bahan kering tanpa melakukan
pemotongan dan pemisahan spesies hijauan.
Analisis komposisi botani menggunakan bingkai kuadran terbuat dari kawat
berukuran 0,5m x 0,5m. Kuadran ditempatkan secara acak dilakukan sebanyak 25
kali. Kemudian dilakukan pencatatan semua spesies yang ada dan lakukan estimasi
perhitungan persentase spesies yang menduduki peringkat pertama, kedua, dan ketiga
dalam hal bahan kering.
11
Analisis Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia
Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) berdasarkan
metode Nell dan Rollinson (1974). Potensi penyediaan hijauan dari sumber-sumber
tersebut dikonversikan terhadap potensi padang rumput alami seperti ditampilkan
pada Tabel 1, kemudian dilakukan penghitungan potensi penyediaan hijauan
berdasarkan satuan ternak (ST) sebagai berikut:
Tabel 1. Sumber Hijauan Makanan Ternak dan Nilai Konversi Kesetaraan
Nilai konversi kesetaraan
Keterangan
(Sumber pembaku)
Padang rumput permanen (PRP)
Produksi: 15 ton
(sumber pembaku)
BK/Ha/thn
Sawah bera (Sb)
10% luas Sb setara Prp
Galengan sawah (Gs)
100% luas Gs setara Prp Luas
galengan:
3% luas sawah
Tegalan (Tg)
1% luas Tg setara Prp
Pinggir jalan (Pj)
Setiap 1 km panjang jalan
setara 0,5 Ha Prp
Sumber Hijauan
Sumber: Nell dan Rolinson 1974
1.
Daya Dukung Lahan (KPPTR Maksimum)
Rumus =
Keterangan:
2.
P
K
/
3
hari
-
Potensi hijauan pakan (BK) dengan satuan kg/tahun
-
Konsumsi ternak sebesar 6,29 kg BK/ST/hari
-
365 hari=1 tahun
KPPTR Efektif (ST)= Daya Dukung (KPPTR Maksimum) – POPRIIL
Keterangan:
-
POPRIIL adalah populasi riil ternak ruminansia (ST) pada tahun
tertentu.
Tabel 2. Perhitungan Satuan Ternak
Dewasa
Muda
Anak
Sapi
1
0,6
0,25
Domba
0,14
0,07
0,04
Kambing
0,16
0,08
0,04
Kuda
0,8
0,4
0,2
Sumber: Nell dan Rolinson 1974
12
Analisis Kadar Garam Tanah (Salinitas)
Tanah yang akan dilakukan analisis salinitas sebanyak 12 sampel. Sampel
tanah berasal dari zona pantai, zona tambak, zona sawah, dan zona pemukiman
dengan tiga ulangan. Analisis salinitas tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah
Kementerian Pertanian, Bogor.
Analisis Kapasitas dan Daya Tampung Galengan Tambak
Besarnya kapasitas dan daya tampung yang dimiliki oleh galengan tambak,
dihitung menggunakan analisis pendekatan kuantitatif dengan cara menghitung luas
galengan tambak secara faktual di area penelitian. Pengambilan rumput dilakukan
secara cuplikan dengan menggunakan kuadran berukuran 25 x 25 cm sebanyak 30
sampel. Rumput yang berhasil dikumpulkan dikeringkan dengan oven 70° selama 48
jam untuk memperoleh berat kering. Berat kering rata-rata tiap cuplikan dinyatakan
dalam satuan gram/cm2, kemudian dikonversikan ke dalam satuan ton/ha. Nilai
kapasitas secara faktual di lapangan diperoleh dari hasil rataan produksi dikalikan
dengan luas galengan tambak di lokasi penelitian.
Analisis Potensi Wilayah
Analisis suatu wilayah untuk pengembangan daerah peternakan menurut
Natasasmita dan Mudikdjo (1979) dapat dilakukan dengan dua jenis perhitungan
yaitu kepadatan teknis dan kepadatan ekonomis.
1. Nilai kepadatan teknis dengan menggunakan rumus :
Jumlah satuan ternak
km
2. Nilai kepadatan ekonomis dengan rumus :
Jumlah satuan ternak
orang
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Wilayah Penelitian
Kecamatan Batangan adalah salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten
Pati. Kecamatan Batangan terletak sejauh dua puluh dua kilometer ke arah timur dari
kota Pati. Di sebelah utara Kecamatan Batangan berbatasan dengan Laut Jawa,
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Rembang, sebelah selatan berbatasan
dengan Kecamatan Jaken dan Jakenan, dan di sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Juwana.
Luas wilayah Kecamatan Batangan adalah 50,66 km2 dengan jumlah
penduduk sebanyak 40.896 jiwa yang tersebar di delapan belas desa yaitu Desa
Tlogomojo, Desa Sukoagung, Desa Bulumulyo, Desa Tompomulyo, Desa Kuniran,
Desa Gunungsari, Desa Kedalon, Desa Klayusiwalan, Desa Ngening, Desa Raci,
Desa Ketitangwetan, Desa Bumimulyo, Desa Jembangan, Desa Lengkong, Desa
Mangunlegi, Desa Batursari, Desa Gajahkumpul dan Desa Pecangaan (BPS, 2011).
Kecamatan Batangan merupakan dataran rendah di pesisir pantai utara jawa
(pantura) dengan ketinggian minimum dua meter dan ketinggian maksimum delapan
belas meter dari permukaan laut. Jenis tanah di wilayah Kecamatan Batangan adalah
tanah aluvial. Suhu maksimum di Kecamatan Batangan adalah 32°C dan suhu
minimum 24°C. Kecamatan Batangan memiliki curah hujan sebanyak 847 mm/tahun
dengan jumlah hari dengan curah hujan terbanyak selama 61 hari (BPS, 2011).
Kondisi Umum Desa Mangunlegi
Desa Mangunlegi merupakan salah satu desa di kecamatan batangan yang
berada di pesisir pantai utara pulau jawa. Ketinggian rata-rata desa mangunlegi
apabila diukur dari permukaan air laut adalah lima meter. Di sebelah utara, Desa
Mangunlegi berbatasan dengan laut jawa. Di sebelah barat, berbatasan dengan Desa
Lengkong. Di Sebelah selatan, berbatasan dengan Desa Batursari. Dan di sebelah
timur, berbatasan dengan Desa Batursari dan Desa Pecangaan.
Desa Mangunlegi terdiri dari 2 dukuh, yakni Dukuh Asemlegi dan Dukuh
Mangonan dengan luas wilayah keseluruhan 268,27 ha. Secara administrasi, Desa
Mangunlegi dibagi menjadi 2 RW dengan 7 RT. Luas wilayah Desa Mangunlegi
dipergunakan sebagai tambak, sawah (sawah tadah hujan), tegal, pemukiman,
pemakaman, lapangan, hutan bakau, dan perkantoran pemerintahan. Hijaauan
makanan ternak tumbuh secara alami seperti rumput maupun hijauan makanan ternak
yang tumbuh secara buatan yang sengaja ditanam oleh warga di sekitar areal tersebut
yang berpotensi untuk memasok kebutuhan ternak ruminansia yang dipelihara. Jenis
penggunaan lahan di Desa Mangunlegi disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis Penggunaan Lahan di Desa Mangunlegi
No
Jenis Penggunaan Lahan
1.
Tambak
2.
Sawah (tadah hujan)
3.
Tegalan/Ladang
4.
Pemukiman
5.
Hutan Bakau
6.
Pemakaman
7.
Lapangan
8.
Perkantoran Pemerintahan
Luas (Ha)
167
40,25
28,56
26,24
3
1,5
1,5
0,25
Sumber : Profil Desa Mangunlegi (2010)
Lokasi penelitian (Desa Mangunlegi) dibagi menjadi empat zona berdasarkan
jarak dari pesisir pantai dan penggunaan lahan di desa mangunlegi. Zona yang
pertama adalah zona pesisir pantai, dimana zona daratan yang terkena langsung air
laut ketika pasang surut. Zona kedua adalah zona tambak. Zona ketiga adalah zona
sawah tadah hujan dan zona keempat adalah zona pemukiman.
Kondisi Umum Peternakan Desa Mangunlegi
Populasi ternak Kecamatan Batangan dapat dilihat pada Tabel 4. Populasi
ternak di Desa Mangunlegi didominasi oleh ternak ruminansia dan unggas. Ternak
ruminansia yang banyak dipelihara oleh peternak setempat adalah sapi dan kambing,
sedangkan ternak unggas yang dipelihara umumnya adalah ayam buras.
Menurut lurah desa mangunlegi, beternak merupakan mata pencaharian
sampingan (sambilan) yang dilakukan oleh sebagian warga. Mata pencaharian utama
sebagian besar warga desa mangunlegi adalah petani garam dan peternak ikan
bandeng yang dilakukan di tambak yang mereka miliki.
Apabila melihat lebih lanjut tentang kondisi peternakan ruminansia, warga
Desa Mangunlegi menggunakan sistem pemeliharan tradisional secara semi-intensif.
Dikatakan tradisional karena warga memelihara ternaknya dengan pengetahuan
15
seadanya yang didasarkan oleh pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki.
Pemeliharaannya dilakukan secara intensif dimana ternak selalu berada di dalam
kandang dan semi-intensif yakni dengan cara menggembalakannya pada siang hari
dan mengkandangkannya pada sore hari. Sebagian besar penanganan penyakitnyapun
dilakukan dengan pemberian resep obat tradisional pada ternak yang terserang
penyakit.
Tabel 4. Populasi Ternak Kecamatan Batangan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Desa
Tlogomojo
Sukoagung
Bulumulyo
Tompomulyo
Kuniran
Gunungsari
Kedalon
Klayusiwalan
Ngening
Raci
Ketitangwetan
Bumimulyo
Jembanga
Lengkong
Mangunlegi
Batursari
Gajahkumpul
Pecangaan
Kec. Batangan
Jenis Ternak
Sapi Kambing Domba Kuda Ayam Buras
171
205
0
1
1785
159
199
10
1
1591
420
315
15
2
2152
520
186
7
1
1789
516
236
6
5
1821
651
204
0
2
1539
1092
210
11
0
2182
509
296
5
2
2341
446
274
152
3
2366
122
331
46
3
2106
154
240
41
2
1245
29
214
0
0
1439
433
193
26
0
1939
40
212
12
1
1968
253
205
0
0
1536
251
215
19
2
1809
141
252
0
1
1408
0
257
28
0
1391
Itik
172
169
211
188
212
197
197
225
216
195
221
209
271
241
199
206
184
173
5907
3686
4244
378
26
32407
Sumber : Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Kecamatan Batangan
Jenis Ternak
Ternak ruminansia yang banyak dipelihara oleh warga adalah sapi dan
kambing. Jenis kambing yang dipelihara adalah kambing lokal (kacang) (Gambar
2a), kambing peranakan ettawa (PE), dan kambing jawarandu yang merupakan
persilangan antara kambing lokal dengan peranakan ettawa. Jenis sapi yang
dipelihara adalah sapi peranakan ongole (PO) (Gambar 2b) yang lebih sering disebut
oleh warga sebagai sapi lokal atau sapi jawa atau sapi putih. Kambing kacang
memiliki ciri bulu pendek (putih, hitam dan coklat). Tanduk berbentuk pedang
16
lengkung ke atas dan ke belakang. Pada umumnya memiliki telinga pendek dan tegak
(Devendra dan Burns, 1983). Kambing peranakan ettawa merupakan hasil
persilangan antara kambing ettawa dari India dengan kambing kacang dari Indonesia.
Kambing PE banyak dikembangkan di Indonesia terutama di daerah pedesaan Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Pesisir Utara Jawa Barat (Heriyadi, 2004). Jakaria et al.
(2007) menggolongkan sapi pesisir ke dalam kelompok sapi Bos indicus. Menurut
Natasasmita dan Mudikdjo (1979) bangsa sapi yang diklasifikasikan ke dalam Bos
indicus adalah sapi Ongole, Brahman, Angkole, dan Boran.
(a)
(b)
Gambar 2. Ternak Ruminansia di Desa Mangunlegi. (a) kambing lokal (kacang);
(b) sapi peranakan ongole (PO).
Sistem pemeliharaan
Pemeliharaan ternak ruminansia yang dilakukan oleh para peternak di Desa
Mangunlegi yakni menggunakan dua sistem yakni intensif dan semi-intensif.
Peternak yang menggunakan sistem intensif selalu menempatkan ternaknya di dalam
kandang sepanjang hari dengan alasan keamanan. Peternak yang menggunakan
sistem semi-intensif menggembalakan hewan ternak mereka pada siang hari dan
menempatkannya di dalam kandang pada malam hari.
Zona tempat penggembalaan ternak berada di zona tambak (Gambar 3a),
zona sawah (Gambar 3b), dan zona pemukiman. Pada zona tambak dan zona sawah,
ternak dibiarkan mencari rumput sepanjang hari, diikat dengan menggunakan tali
tambang pada sebuah pasak yang tertancap di tanah. Pada zona pemukiman, ternak
digembalakan di sekitar rumah mereka untuk mencari rumput.
17
(a)
(b)
Gambar 3. Zona Pengembalaan Ternak. (a) Zona tambak, (b) zona sawah.
Pola penyediaan hijauan
Peternak di Desa Mangunlegi menerapkan sistem pemeliharaan intensif dan
semi-intensif. Peternak yang menerapkan sistem pemeliharaan secara intensif,
melakukan cara cut and carry dalam menyediakan hijauan pakan bagi ternaknya
(Gambar 4). Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979), sistem cut and carry adalah
makanan diaritkan dan diberikan di kandang. Baik jumlah maupun kualitas makanan
perlu mendapat perhatian sesuai dengan fase fisiologis, bobot dan tujuan produksi.
Peternak
yang
menerapkan
sistem
pemeliharaan
semi-intensif,
menggembalakan ternaknya pada siang hari dan mencari rumput untuk memenuhi
kebutuhan ternak pada malam hari. Natasasmita dan Mudikdjo (1979) menyatakan
bahwa penggembalaan berarti sebagian besar atau seluruh kebutuhan makanan
diperoleh dari lapangan penggembalaan. Cukup atau tidaknya makanan yang
diperoleh di lapangan penggembalaan akan dicerminkan oleh kondisi badan sapi.
(a)
(b)
Gambar 4. Pola Penyediaan Hijauan Makanan Ternak
18
Peternak yang memelihara sapi selain memberi rumput potongan juga
memberi pakan jerami padi kering kepada ternaknya. Peternak mengaku tidak
mampu mencari rumput untuk memenuhi kebutuhan konsumsi BK sapi. Bahkan
untuk peternak yang memiliki sapi lebih dari empat ekor, harus membeli jerami padi
untuk konsumsi sapi yang dimiliki. Harga jerami padi yang dbeli peternak berkisar
Rp 900.000,00 – Rp 1.200.000,00 per truk, tergantung kadar air jerami padi. Jerami
yang mereka miliki, disimpan di lumbung jerami sebagai persediaan (Gambar 5).
Menurut Sarwono dan Arianto (2003), dengan memiliki persediaan jerami padi
kering, peternak tidak perlu lagi mencari rumput, namun jerami padi memiliki
kandungan nutrisi rendah. Jerami padi juga termasuk pakan hijauan yang sulit
dicerna, karena kandungan serat kasarnya yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh
struktur jaringan yang sudah tua, melalui proses lignifikasi.
Gambar 5. Lumbung Jerami
Pakan untuk ternak kambing biasanya diambil dari rumput dengan ditambah
beberapa leguminosa atau yang disebut dengan ramban. Leguminosa tersebut antara
lain adalah Leucaena leucocephala Lamk., atau dalam nama lokal disebut godhong
petet, Pterocarpus indicus Willd. (godhong angsana), Gliricidia sepium Jacq. Kunth.
ex Walp. (godhong kudo), Hibiscus macrophyllus Roxb. (godhong waru), Ruta
angustifolia Pers. (godhong kelor). Ramban yang diambil oleh peternak adalah
ramban yang disukai ternak.
Berdasarkan hasil wawancara dengan peternak, beberapa hijauan yang
disukai oleh ternak sapi dan telah teridentifikasi adalah jerami padi (Oryza sativa),
Alternanthera philoxeroides Mart. Griseb., Andropogon bladii Retz., Andropogon
sp., Arthraxon hispidus Makino., Bulbostylis warei Torr., Cardaminehirsuta L,
19
Carum roxburghianum Benth., Chloris garbata L. Swartz., Cynodon dactylon L.
Pers., Cyperus rotundus L., Echinochloa colona L., Eleusine indica L. Gaertn.,
Fimbristylis aphylla Steud., Ipomoea aquatica Forsk., Ipomoea obscura L.,
Leptochloa chinensis L. Ness., Panicum paludosum Roxb., Panicum repens L.,
Paspalidium flavidium Retz., Schizachfrium brevifolium Sw. Ness., Sphaeranthus
indicus L., Xerochloa cheribon Steud. Ohwi.
Keanekaragaman dan Komposisi Botani Hijauan di Desa Mangunlegi
Identifikasi jenis hijauan yang terdapat di Desa Mangunlegi dengan
menggunakan herbarium dan untuk menganalisis komposisi botani digunakan
metode “Dry Weight Rank” menurut Mannetje dan Haydock (1963). Setiap zona
penelitian dilakukan penghitungan komposisi botani untuk menentukan persentase
tiap jenis hijauan yang ada.
Tabel 5. Komposisi Botani Zona Pantai
No. Nama Lokal
Nama Latin
% Jenis
1
Kodokan
Panicum repens L.
45,46
2
Grinting
Cynodon dactylon L. Pers.
42,42
3
Mbakonan Tambak
Xerochloa cheribon Steud. Ohwi.
9,85
4
Abangan Tambak
Andropogon sp. Herb. Linn.
2,27
Hijauan di zona pantai didominasi oleh rumput Pannicum repens L. yakni
sebesar 45,46% (Tabel 5). Urutan kedua ditempati oleh rumput Cynodon dactylon L.
Pers. dengan porsi 42,42%. Urutan ketiga dan keempat ditempati oleh Xerochloa
cheribon Steud. Ohwi. dan Andropogon sp. Herb. Linn. Pier (1999) mengatakan
bahwa Panicum repens L. tumbuh di tanah yang lembab seperti pada tanah pasir di
sepanjang pantai, dipinggir laguna, danau, kolam dan sungai di daerah tropis dan
subtropis di seluruh dunia. Panicum repens L. secara cepat berkembang menjadi
monokultur di habitatnya menggeser kehadiran rumput yang lain. Secara spesifik,
Panicum repens L. adalah rumput yang sangat kompetitif dalam penyerapan air dan
dapat menurunkan produksi Cynodon dactylon L. Pers. hingga 40% dalam dua tahun.
Pada zona tambak teridentifikasi delapan jenis rumput. Rumput yang
mendominasi adalah Cynodon dactylon L. Pers. sebanyak 30,28% (Tabel 6). Apabila
20
merujuk ke Tabel 9. salinitas tanah di zona tambak mencapai 3020 ppm. Cynodon
dactylon L. Pers dapat tumbuh dengan baik dan mendominasi komposisi botani
rumput. Kaffka (2009) menyatakan bahwa Cynodon dactylon L. Pers telah berhasil
dibudidayakan di tanah yang salin di Califonia’s Central Valley dan dapat tumbuh
meski mendapat irigasi berupa air yang salin dan dapat digunakan sebagai makanan
ternak.
Tabel 6. Komposisi Botani Zona Tambak
No
Nama Lokal
Nama Latin
% Jenis
1
Grinting
Cynodon dactylon L. Pers.
30,28
2
Kacang-kacangan
Cardaminehirsuta L.
28,40
3
Gondan
Arthraxon hispidus Makino.
12,76
4
Abangan Tambak
Andropogon sp. Herb. Linn.
12,47
5
Platikan
Carum roxburghianum Benth.
8,23
6
Cakar Ayam
Borreria latifolia Schum.
3,02
7
Lawatan
Ipomoea obscura L.
3,02
8
Mbakonan Tambak
Xerochloa cheribon Steud. Ohwi.
1,81
Tabel 7. Komposisi Botani Zona Sawah
No
Nama Lokal
Nama Latin
% Jenis
1
Grinting
Cynodon dactylon L. Pers.
35,17
2
Suket Teki
Cyperus rotundus L.
16,82
3
Abangan Sawah
Leptochloa chinensis L. Nees.
10,76
4
Tuton
Echinochloa colona L.
9,16
5
Senikan
Andropogon bladii Retz.
8,67
6
Kremah/Urang
Alternanthera philoxeroides Mart.
6,71
Griseb.
7
Klapa-klapanan
Sphaeranthus indicus L.
5,70
8
Kangkung
Ipomoea aquatic Forsk.
4,12
9
Melikan Dawa
Fimbristylis aphylla Steud.
2,89
Pada zona sawah teridentifikasi sembilan jenis rumput, didominasi oleh
rumput Cynodon dactylon L. Pers. sebanyak 35,17% (Tabel 7). Apabila
21
membandingkan salinitas tanah zona penelitian (Tabel 9) zona sawah memiliki
salinitas tanah yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan zona pantai maupun
zona tambak. Rumput Cynodon dactylon L. Pers tetap saja mendominasi baik di
peringkat pertama maupun kedua tabel komposisi botani, namun ada dampak yang
nyata pada produktivitasnya. Menurut Hameed dan Ashraf (2007) jumlah daun dan
berat kering tanaman pada Cynodon dactylon L. Pers. akan menurun beranding
terbalik dengan peningkatan salinitas tanah.
Tabel 8. Komposisi Botani Zona Pemukiman
No
Nama Lokal
Nama Latin
% Jenis
1
Grinting
Cynodon dactylon L. Pers.
23,60
2
Suket Teki
Cyperus rotundus L.
22,62
3
Lulangan
Eleusine indica L. Gaertn.
9,35
4
Kodokan
Panicum repens L.
9,05
5
Melikan Cekak
Bulbostylis warei Torr.
6,04
6
Abangan Sawah
Leptochloa chinensis L. Nees
6,04
7
Sadaman
Elephantopus scaber L.
3,92
8
Kangkung
Ipomoea aquatic Forsk.
3,92
9
Melikan Dawa
Fimbristylis aphylla Steud.
3,02
10
Juwawut
Chloris garbata L. Swartz.
3,02
11
Mbakonan Pemukiman
Schizachfrium brevifolium Sw. Nees.
3,02
12
-
Panicum paludosum Roxb.
2,56
13
Klapa-klapanan
Spaeranthus indicus L.
2,03
14
-
Paspalidium flavidium Retz.
1,81
Pada zona pemukiman teridentifikasi 14 jenis dan rumput yang banyak
ditemui adalah rumput Cynodon dactylon L. Pers. dengan nilai komposisi botani
sebesar 23,60% (Tabel 8). Merujuk pada Tabel 9. seiring menjauhi zona pantai,
salinitas tanah mulai menurun dan keanekaragaman jenis rumput juga meningkat.
Hal ini disebabkan tidak semua jenis rumput dapat berkembang dengan baik di tanah
salin karena pengaruh cekaman atau stress. Harjadi dan Yahya (1988)
mengungkapkan bahwa stres garam merupakan salah-satu dari antara enam bentuk
stres tanaman yaitu stres suhu, stres air, stres radiasi, stres bahan kimia dan stres
22
angin, tekanan, bunyi dan lainnya. Stres garam terjadi dengan terdapatnya salinitas
atau konsentrasi garam-garam terlarut yang berlebihan dalam tanaman. Stres garam
ini umumnya terjadi dalam tanaman pada tanah salin. Stres garam meningkat dengan
meningkatnya konsentrasi garam hingga tingkat konsentrasi tertentu yang dapat
mengakibatkan kematian tanaman.
Rumput Cynodon dactylon L. Pers. atau yang sering disebut oleh peternak
sebagai suket grinting dapat tumbuh di semua zona rumput yang terdapat di Desa
Mangunlegi. Berdasarkan Tabel 9. tempat zona tersebut memiliki salinitas yang
berbeda. Besarnya salinitas tersebut meningkat apabila mendekati daerah pantai yang
terkena air laut secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa rumput Cynodon
dactylon L. Pers. dapat bertahan hidup di tanah yang salinitasnya hingga 3270 mg/l.
Menurut Sukla et al. (2011), Cynodon dactylon L. Pers. ditemukan di habitat yang
beragam. Cynodon dactylon L. Pers. dapat tumbuh dengan baik pada tanah salin,
mengindikasikan Cynodon dactylon L. Pers. toleransi terhadap cekaman garam.
Tabel 9. Salinitas Tanah Zona Penelitian
No
Zona
Luas (ha)
Salinitas (ppm)
1
Pantai
4,57
3270,00
2
Tambak
167
3020,00
3
Sawah
40,25
1102,67
4
Pemukiman
26,24
337,00
Seiring dengan menurunnya nilai salinitas tanah di tiap zona penelitian,
jumlah spesies rumput yang tumbuh pun mengalami peningkatan. Hal ini terbukti
dengan ditemukannya empat jenis rumput di zona pantai, delapan jenis rumput di
zona tambak, sembilan jenis rumput di zona sawah dan empat belas jenis rumput di
zona pemukiman.
23
Gambar 6. Peta Komposisi Botani Hijauan Desa Mangunlegi
24
Alternanthera philoxeroides Mart.
Griseb.
Andropogon bladii Retz.
Andropogon sp. Herb. Linn.
Arthraxon hispidus Makino.
Borreria latifolia Schum.
Bulbostylis warei Torr.
Cardaminehirsuta L.
Carum roxburghianum Benth.
Gambar 7. Hijauan Pakan di Desa Mangunlegi
25
Chloris barbata L. Swartz.
Cynodon dactylon L. Pers.
Cyperus rotundus L.
Echinochloa colona L.
Elephantopus scaber L.
Eleusine indica L. Gaertn.
Gliricidia sepium Jacq. Kunth. ex Walp. Hibiscus macrophyllus Roxb.
Gambar 7. Jenis Hijauan Pakan di Desa Mangunlegi (lanjutan)
26
Ipomoea aquatic Forsk.
Ipomoea obscura L.
Leptochloa chinensis L. Nees.
Leucaena leucocepala Lamk.
Panicum paludosum Roxb.
Fimbristylis aphylla Steud.
Panicum repens L.
Paspalidium flavidum Retz.
Gambar 7. Jenis Hijauan Pakan di Desa Mangunlegi (lanjutan)
27
Pterocarpus indicus Willd.
Ruta angustifolia Pers.
Schizachfrium brevifolium Sw. Nees.
Sphaeranthus indicus L.
Xerochloa cheribon Steud. Ohwi.
Gambar 7. Jenis Hijauan Pakan di Desa Mangunlegi (lanjutan)
Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)
Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia di Kecamatan Batangan
dihitung berdasarkan metode Nell and Rollinson (1974) dengan pendekatan potensi
lahan sebagai sumber dan penyedia hijauan bagi ternak ruminansia. Penghitungan
potensi lahan sebagai sumber penyedia hijauan makanan ternak ruminansia
dilakukan dengan menganalisis data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat
Statistik Kabupaten Pati. Data populasi ternak diperoleh dari Dinas Pertanian,
Peternakan, dan Kehutanan Kecamatan Batangan. Populasi ternak dikalikan dengan
koefisien satuan ternak.
28
Tabel 10. Analisis KPPTR Nell & Rollinson Kecamatan Batangan
No.
Desa
Populasi
Ternak (ST)
Asumsi Produksi
Hijauan
(ton BK/ha/thn)
KKPTR
KPPTR
Maksimum
Efektif
1
Tlogomojo
131,62
222,59
96,95
-34,67
2
Sukoagung
123,96
312,30
136,03
12,07
3
Bulumulyo
308,71
822,93
358,44
49,73
4
Tompomulyo
363,36
291,64
127,03
-236,33
5
Kuniran
367,91
334,28
145,60
-222,31
6
Gunungsari
452,40
261,78
114,02
-338,38
7
Kedalon
746,27
391,80
170,66
-575,61
8
Klayusiwalan
365,68
390,60
170,13
-195,55
9
Ngening
334,93
222,57
96,94
-237,99
10
Raci
114,71
51,60
22,48
-92,23
11
Ketitangwetan
127,38
41,88
18,24
-109,14
12
Bumimulyo
36,87
77,40
33,71
-3,16
13
Jembangan
306,71
140,59
61,24
-245,47
14
Lengkong
45,85
89,90
39,16
-6,69
15
Mangunlegi*
185,50
793,64
345,68
160,18
16
Batursari
188,17
157,68
68,68
-119,49
17
Gajahkumpul
115,47
32,76
14,27
-101,20
18
Pecangaan
23,40
0,00
0,00
-23,40
4.338,90
4.635,94
2.019,26
-2.319,64
Kec Batangan
*) Lokasi penelitian
Kecamatan Batangan memiliki nilai KPPTR negatif (Tabel 10). Hal ini
menunjukkan bahwa produksi hijauan makanan ternak (HMT) Kecamatan Batangan
tidak mampu memenuhi kebutuhan ternak yang ada. Rumus dan perhitungan nilai
Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia dapat dilihat pada lampiran 1
dan lampiran 2.
Desa Mangunlegi memiliki nilai KPPTR efektif yang paling tinggi jika
dibandingkan dengan desa lain di kecamatan Batangan. Masyarakat di Desa
Mangunlegi masih bisa menambah populasi ternak ruminansia yang mereka miliki
29
sebanyak 160,18 ST. Hal ini menunjukkan bahwa potensi hijauan di Desa
Mangunlegi masih memenuhi kebutuhan untuk pakan ternak ruminansia. Selain
untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak untuk Desa Mangunlegi sendiri, hijauan
makanan ternak yang tersedia dapat dijual keluar daerah untuk memenuhi kebutuhan
makanan ternak di desa lain.
Meskipun di Desa Mangunlegi memiliki nilai KPPTR efektif yang positif,
kebiasaan peternak yang suka mencari dan membeli jerami padi dari daerah lain
tetap dilakukan. Hal ini disebabkan oleh peternak tidak sanggup memotong rumput
selama seharian untuk memenuhi kebutuhan ternak. Kebanyakan peternak hanya
mampu mencari rumput sebanyak tiga karung per hari. Selain itu, kebiasaan membeli
jerami padi tetap dilakukan peternak karena produktivitas rumput lapang sangat
fluktuatif. Produktivitas rumput lapang akan sangat menurun apabila musim
kemarau, ditambah lagi area Desa Mangunlegi yang berada di pesisir pantai yang
memiliki suhu maksimum mencapai 32ºC.
Potensi Hijauan Galengan Tambak
Analisis KPPTR menurut Nell dan Rollinson (1974) belum memasukkan
perhitungan potensi galengan tambak sebagai penyedia hijauan. Akan tetapi, Desa
Mangunlegi memiliki luas galengan tambak yang berpotensi sebagai penyedia
hijauan makanan ternak. Peternak setempat memanfaatkan galengan tambak untuk
menggembalakan ternak dan mencari rumput.
Desa Mangunlegi, memiliki luas tambak seluas 167 ha (data profil desa).
Peternak di Desa Mangunlegi sering mencari rumput lapang di area galengan
tambak. Selain itu, peternak juga menggembalakan kambing yang dimiliki di area
galengan tambak. Hal ini menunjukkan tambak memiliki potensi sebagai penyedia
hijauan makanan ternak.
Potensi hijauan yang ada di area galengan tambak diketahui berdasarkan
persentase luasan galengan tambak dari luas tambak yang ada. Persentase rata-rata
luas galengan 9,64% dari luas tambak secara keseluruhan (lampiran 9). Hal ini
menunjukkan bahwa Desa Mangunlegi memiliki luas galengan tambak sebesar 16,10
ha.
Daya dukung total galengan tambak di Desa Mangunlegi adalah sebesar
41,96 ST, menunjukkan galengan tambak memiliki potensi sebagai penyedia hijauan
30
untuk sekitar 41,96 ST. Jika dijumlahkan antara potensi galengan tambak dengan
analisis KPPTR dengan metode Nell dan Rollinson (1974) maka nilai KPPTR efektif
Desa Mangunlegi akan bertambah menjadi 202,14 ST (lampiran 10).
Persentase produksi hijauan di galengan tambak sebesar 39,89% dari padang
rumput permanen. Nilai persentase tersebut dapat digunakan sebagai nilai koefisien
produksi hijauan tambak dalam perhitungan potensi hijauan galengan tambak yakni
sebesar 0,399 dari produksi hijauan padang rumput permanen.
Potensi Wilayah untuk Pengembangan Peternakan
Menurut Natasamita dan Mudikdjo (1979), untuk memperhitungkan potensi
suatu wilayah untuk pengembangan ternak secara teknis maka, perlu dilihat populasi
ternak yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan potensi makanan ternak
yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan. Selain perhitungan kepadatan
teknis, dihitung pula kepadatan ekonomis.
Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979) semakin rendah nilai kepadatan
teknik suatu wilayah, maka wilayah tersebut semakin berpotensi untuk
pengembangan peternakan ruminansia karena jumlah ternak tiap satuan wilayah
penghasil hijauan masih sedikit. Apabila dilihat pada Tabel 11. maka desa yang
memiliki nilai kepadatan teknik yang masih rendah adalah desa Sukoagung,
Bumimulyo, dan Lengkong. Oleh karena itu, penambahan populasi ternak
ruminansia masih memungkingkan apabila ditinjau dari aspek kepadatan teknik. Di
Desa Pecangaan, memiliki nilai kepadatan teknik imajiner. Hal ini disebabkan oleh
Desa Pecangaan tidak memiliki wilayah penghasil hijauan.
Natasasmita dan Mudikdjo (1979) menegaskan bahwa semakin tinggi nilai
kepadatan ekonomik suatu wilayah, maka wilayah tersebut cenderung ke arah
konsumen hijauan. Beberapa desa yang berperan sebagai konsumen hijauan adalah
Desa Kedalon, Desa Gunungsari, dan Desa Kuniran. Apabila dilihat dari aspek
kepadatan ekonomik, Desa Mangunlegi relatif memiliki nilai yang rendah apabila
dibandingkan dengan desa lain. Hal ini menunjukkan bahwa Desa Mangunlegi
merupakan desa produsen hijauan. Untuk Desa Pecangaan, meski memiliki nilai
kepadatan ekonomik yang rendah apabila dibandingkan dengan desa lain, namun
Desa Pecangaan tidak bisa dikatakan sebagai daerah produsen hijauan. Hal ini
disebabkan oleh Desa Pecangaan tidak memiliki wilayah sebagai penghasil hijauan.
31
Tabel 11. Potensi Desa untuk Pengembangan Ternak Ruminansia Kec. Batangan
No Desa
Jumlah Populasi
Ternak (ST)
Luas
Wilayah
(km²)
Kepadatan
Kepadatan
Teknis
Ekonomis
1
Tlogomojo
131,620
1,272
103,442
0,132
2
Sukoagung
123,960
1,768
70,105
0,124
3
Bulumulyo
308,710
2,978
103,667
0,309
4
Tompomulyo
363,360
1,798
202,046
0,363
5
Kuniran
367,910
1,921
191,560
0,368
6
Gunungsari
452,400
1,604
282,010
0,452
7
Kedalon
746,270
2,311
322,991
0,746
8
Klayusiwalan
365,680
2,269
161,164
0,366
9
Ngening
334,930
1,316
254,603
0,335
10
Raci
114,710
0,349
328,682
0,115
11
Ketitangwetan 127,380
0,279
456,232
0,127
12
Bumimulyo
36,870
0,516
71,453
0,037
13
Jembangan
306,710
0,949
323,363
0,307
14
Lengkong
45,850
0,599
76,506
0,046
15
Mangunlegi*
185,500
1,049
176,801
0,186
16
Batursari
188,170
1,064
176,852
0,188
17
Gajahkumpul
115,470
0,218
528,709
0,115
18
Pecangaan
23,400
0,000
imajiner
0,023
4338,900
22,260
3830,186
4,339
Kec. Batangan
*) Lokasi Penelitian
32
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hijauan makanan ternak pesisir pantai di Desa Mangunlegi berpotensi sebagai
makanan ternak ruminansia. Rumput lokal, leguminosa, dan rumbah yang telah
diidentifikasi sebanyak 30 jenis. Salah satunya adalah Cynodon dactylon L. Pers.
yang mampu hidup dan mendominasi komposisi botani di keempat zona penelitian
dengan tingkat salinitas yang berbeda. Selain itu, zona tambak (galengan tambak)
memiliki potensi sebagai penyedia hijauan makanan ternak. Desa Mangunlegi juga
berpotensi untuk pengembangan peternakan ruminansia karena memiliki nilai
kepadatan ekonomik yang rendah (produsen hijauan).
Saran
Pada penelitian selanjutnya diharapkan melakukan analisis kualitas nutrisi
rumput lokal yang terdapat di Desa Mangunlegi. Selain itu, perlu dilakukan kajian
secar
Latar Belakang
Kabupaten Pati terletak di daerah pantai utara Pulau Jawa dan di bagian timur
dari Propinsi Jawa Tengah. Batas wilayah sebelah utara adalah Kabupaten Jepara dan
Laut Jawa, sebelah barat adalah Kabupaten Kudus, sebelah selatan adalah Kabupaten
Grobogan dan Kabupaten Blora, sebelah timur adalah Kabupaten Rembang. Luas
wilayah Kabupaten Pati 150.386 ha yang terdiri dari 58.448 ha lahan sawah dan
91.920 ha lahan bukan sawah. Tanah bagian utara terdiri dari tanah Red Yellow,
Latosol, Aluvial, Hidromer, dan Regosol. Tanah bagian selatan terdiri dari tanah
Aluvial, Hidromer, dan Gromosol (BPS, 2007). Dari segi letaknya Kabupaten Pati
merupakan daerah yang strategis di bidang ekonomi, sosial, budaya dan memiliki
potensi sumber daya alam serta sumber daya manusia yang dapat dikembangkan
dalam semua aspek kehidupan masyarakat seperti pertanian, peternakan, perikanan,
perindustrian, pertambangan/ penggalian dan pariwisata (BPS, 2011).
Beternak merupakan mata pencaharian utama dan sampingan bagi warga
masyarakat Kabupaten Pati. Jenis-jenis ternak yang berkembang dan dipelihara oleh
masyarakat di Kabupeten Pati adalah sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing,
domba, ayam ras, dan ayam buras. Ternak ruminansia menjadi komoditas unggulan
peternakan di Kabupaten Pati untuk memenuhi kebutuhan daging baik untuk wilayah
Kabupaten Pati, maupun kebutuhan nasional. Selain itu, ternak ruminansia dinilai
cocok sebagai hewan ternak sebagai usaha sampingan karena memiliki nilai jual
yang tinggi sehingga lebih menguntungkan bagi peternak.
Hijauan pakan untuk ternak ruminansia dinilai lebih murah dan mudah
didapat oleh peternak. Hijauan pakan ini diperoleh dari rumput lokal, leguminosa,
bahkan dengan memanfaatkan limbah pertanian untuk memenuhi kebutuhan pakan
ternak ruminansia. Hijauan makanan ternak ini diperoleh peternak disekitar lahanlahan pertanian yang ada, atau bahkan peternak dengan sengaja menanamnya di
lahan yang mereka miliki.
Pesisir pantai merupakan salah satu daerah potensial pemasok hijauan
makanan ternak. Indonesia memiliki panjang garis pantai sebesar 95.181 km yang
menduduki peringkat keempat dunia setelah Amerika Serikat, Kanada, dan Rusia.
Kabupaten Pati memiliki beberapa kecamatan yang terletak di pesisir pantai pulau
jawa (pantura). Salah satu kecamatan yang terletak di pesisir pantai adalah
Kecamatan Batangan. Kecamatan Batangan memiliki 18 desa dan kelurahan yang
beberapa diantaranya berada di pesisir pantai. Desa-desa tersebut adalah Batursari,
Bulumulyo,
Bumimulyo,
Ketitangwetan,
Gajahkumpul,
Kalyusiwalan,
Kuniran,
Gunungsari,
Jembangan,
Kedalon,
Lengkong,
Mangunlegi,
Ngening,
Mangunlegi, Raci, Sukoagung, Tlogomojo dan Tompomulo (Godam, 2011).
Sebagai salah satu desa pesisir pantai di Kecamatan Batangan, Desa
Mangunlegi memiliki warga dengan mata pencaharian beragam. Salah satu mata
pencaharian yang mereka lakukan adalah beternak. Ternak yang mereka miliki juga
beragam baik monogastrik, maupun ruminansia. Kebutuhan makanan ternak
ruminansia yang dipelihara oleh warga didapat dari hijauan lokal yang berada di
lingkungan sekitar. Oleh karena itu, wilayah pesisir pantai mempunyai potensi untuk
menyediakan hijauan makanan ternak dan daya dukung bagi ternak. Selain itu,
wilayah pesisir pantai memiliki keragaman hijauan pakan yang beragam dan
tentunya jenis hijauannya akan berbeda dengan daerah non pesisir pantai.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengetahui potensi
hijauan pakan yang berada di wilayah pesisir pantai Desa Mangunlegi sebagai pakan
ternak ruminansia.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Wilayah
Menurut Natasamita dan Mudikdjo (1979), untuk memperhitungkan potensi
suatu wilayah untuk pengembangan ternak secara teknik maka, perlu dilihat populasi
ternak yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan potensi makanan ternak
yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan. Untuk memperhitungkan potensi
wilayah untuk produksi ternak herbivora (pemakan hijauan) maka perhitungan
kepadatan ternak teknis yang diperlukan adalah jumlah satuan ternak herbivora saja.
Menghitung satuan ternak dari populasi ternak haruslah diketahui komposisi ternak
herbivora tersebut menurut golongan umurnya. Semakin rendah angka kepadatan
teknisnya maka berarti wilayah tersebut mempunyai potensi yang tinggi untuk
pengembangan ternak herbivora.
Dari angka kepadatan teknis kita baru mendapatkan gambaran kasar tentang
potensi suatu wilayah untuk pengembangan ternak, potensi yang sesungguhnya akan
ditentukan oleh tingkat produksi hijauan makanan ternak di wilayah yang
bersangkutan. Untuk memperhitungkan potensi yang sesungguhnya, maka hanya
tanah-tanah yang potensial untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang
diperhitungkan, misalnya tanah pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Disamping kepadatan teknis, dikenal pula kepadatan ekonomis. Angka
kepadatan ternak ekonomis menggambarkan apakah suatu wilayah merupakan
daerah produsen ataukah konsumen hijauan. Semakin tinggi nilai kepadatan ternak
ekonomis, maka daerah tersebut akan lebih mengarah ke daerah konsumen hijauan.
Ternak Ruminansia
Sapi
Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik
tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, dapat dibedakan dari ternak
lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat
diturunkan ke generasi berikutnya. Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979)
bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai kingdom Animalia, filum
Chordata, kelas Mamalia, Ordo Artiodactyla, famili Bovidae, genus Bos, spesies Bos
taurus, Bos indicus, Bos sondaicus.
Sapi Brahman merupakan bangsa sapi yang dibentuk di Amerika Serikat dari
hasil persilangan empat bangsa sapi India, yaitu Nellore Ongole, Kankrey, Krishna
Valley, dan Gir (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Menurut Ensminger (1991) ciri fisik
sapi Brahman ditandai dengan adanya kelasa yang cukup besar melampaui bahu, kulit
yang menggantung di bawah kerongkongan dan gelambir yang panjang, serta
mempunyai kaki panjang dan telinga menggantung.
Bangsa-bangsa sapi yang sudah lama ada di Indonesia dan telah dianggap
sebagai sapi lokal adalah sapi bali (termasuk Bos sondaicus), sapi ongole (termasuk Bos
indicus) serta peranakan ongole, sapi madura, sapi jawa, sapi sumatra, dan sapi aceh
yang semuanya dianggap sebagai keturunan sapi Bos sondaicus dan Bos indicus.
Domba
Domba merupakan salah satu jenis ternak yang sangat potensial untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani, mengingat daging domba dapat dengan mudah
diterima oleh berbagai lapisan masyarakat dan agama khususnya di Indonesia.
Menurut Blakely dan Bade (1991), domba dapat diklasifikasikan sebagai kingdom
Animalia, filum Chordata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus
Ovis, dan spesies Ovis aries.
Domba asli Indonesia disebut dengan bangsa domba lokal. Ternak domba
lokal memiliki beberapa keunggulan dan nilai ekonomis yang beragam diantaranya:
1) daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan (termasuk terhadap pakan
yang berkualitas rendah), 2) menyukai hidup berkoloni sehingga memudahkan
pengawasan, 3) memiliki kemampuan reproduksi yang relatif tinggi, 4) produk
sampingan berupa kulit, bulu, tulang, dan kotoran ternak yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku industri (Abidin dan Sodiq, 2002).
Kambing
Kambing dapat diklasifikasikan sebagai kingdom Animalia, filum Chordata,
kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Capra, dan spesies Capra
hircus. Ternak kambing di daerah tropis seperti Indonesia merupakan sumber utama
produksi protein hewani bilamana adaptasi teknologi dan program pemuliaan ternak
yang terarah dapat dilaksanakan (Martojo, 1976). Dasgupta dan Guka (1978)
mengemukakan perlunya diusahakan pengembangan dan peningkatan produktivitas
4
peternakan rakyat yang banyak dilakukan secara kecil – kecilan di daerah pedesaan
dimana tingkat kehidupan sosial ekonomi peternak masih rendah. Susanto (1977)
menjelaskan bahwa ternak kambing mempunyai arti yang penting terutama di
Negara berkembang karena memiliki potensi untuk berkembang dalam waktu yang
relatif pendek dan dengan biaya yang relatif murah.
Makanan adalah faktor yang penting untuk pertumbuhan karena dengan
pemberian makanan yang bekualitas dan cukup maka berat badan ternak akan
meningkatkan, begitu juga dengan kualitas karkasnya (Newman dan Snapp, 1969).
Pakan kambing yang utama adalah hijauan yang terdiri dari rumput dan daun – daun.
Apabila menginginkan produksi lebih baik sesuai dengan tujuan komersil disamping
rumput dan daun – daun juga harus diberikan makanan penguat seperti dedak padi,
dedak jagung, bungkil kelapa, dan lainya.
Pada umumnya peternak memelihara kambing secara tradisional sehingga
mengakibatkan produktivitas kambing rendah. Menurut Handiwirawan et al (1996)
rendahnya produktivitas kambing terutama berkaitan dengan rendahnya laju
pertambahan bobot badan, panjangnya selang beranak, dan tingginya laju
mortalitas.
Kambing kacang biasanya berwarna hitam, kadang-kadang ada beberapa
bercak putih, tanduknya berbentuk pedang melengkung ke atas dan ke belakang.
Umumnya telinga pendek dan tegak. Janggut selalu terdapat pada hewan jantan dan
sangat jarang ditemui pada hewan betina. Persilangan kambing kacang mirip sekali
dengan induknya yang kambing kacang, tetapi warna lebih beragam seperti warna
hitam, coklat, atau putih atau campuran warna tersebut (Devendra dan Burns,
1983).
Menurut Hardjosubroto (1994) kambing PE atau peranakan etawa memiliki
sifat antara kambing kacang dan kambing etawah, yaitu tubuh berukuran besar,
muka cembung, daun telinga panjang, dan terkulai ke bawah. Di daerah belakang
paha, ekor, dan dagu berbulu panjang. Tanduk pendek dan kecil serta rahang bawah
lebih menonjol daripada rahang atasnya.
Pola Penyediaan Hijauan Pakan
Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979) sistem penggembalaan memiliki
arti sebagian besar atau seluruh makanan ternak diperoleh dari lapangan
5
penggembalaan. Cukup atau tidaknya makanan yang diperoleh di lapangan
penggembalaan akan dicerminkan oleh kondisi badan sapi. Yang perlu diperhatikan
ialah pada waktu musim kemarau, sehingga perlu memberikan makanan tambahan,
mengurangi populasi sapi jika persediaan makanan tidak ada, garam atau mineral
juga perlu diberikan, dan air minum harus tersedian di lapangan penggembalaan.
Sedangkan sistem penggembalaan cut and carry memiliki arti makanan diaritkan dan
diberikan di kandang. Baik jumlah maupun kualitas makanan perlu mendapat
perhatian sesuai dengan fase fisiologis, bobot dan tujuan produksi.
Hijauan Pakan
Rumput
a. Cynodon dactylon L. Pers.
Kaffka (2009) menyatakan bahwa Cynodon dactylon L. Pers telah berhasil
dibudidayakan di tanah yang salin di Califonia’s Central Valley dan dapat tumbuh
meski mendapat irigasi berupa air yang salin dan dapat digunakan sebagai makanan
ternak. Menurut Hameed dan Ashraf (2007) jumlah daun dan berat kering tanaman
pada Cynodon dactylon L. Pers akan menurun beranding terbalik dengan
peningkatan salinitas tanah. Menurut Sukla et al. (2011), Cynodon dactylon L. Pers.
ditemukan di habitat yang beragam. Cynodon dactylon L. Pers. dapat tumbuh dengan
baik pada tanah salin, mengindikasikan Cynodon dactylon L. Pers. toleransi terhadap
cekaman garam.
b. Panicum repens L.
Pier (1999) mengatakan bahwa Panicum repens L. tumbuh di tanah yang
lembab seperti pada tanah pasir di sepanjang pantai, dipinggir laguna, danau, kolam
dan sungai di daerah tropis dan subtropics di seluruh dunia. Panicum repens L.
secara cepat berkembang menjadi monokultur di habitatnya menggeser kehadiran
rumput yang lain. Secara spesifik, Panicum repens L. adalah rumput yang sangat
kompetitif dalam penyerapan air dan dapat menurunkan produksi rumput bermuda
Cynodon dactylon L. Pers. hingga 40 % dalam dua tahun.
6
Kacangan
a. Gamal (Gliricidia sepium Jacq. Kunth ex Walp.)
Tanaman yang berasal dari Amerika Tengah ini, di Indonesia lebih dikenal
dengan nama gamal. Daun gamal dapat digunakan sebagai hijauan makanan ternak
yang memiliki kandungan nutrien yaitu protein kasar (PK) 24,7 %, neutral
detergent fibre (NDF) 31, 8%, dan acid detergent fibre (ADF) 20,4%. Daun gamal
memiliki zat antinutrisi berupa saponin, tanin, kumarin, dan asam fenolat (Duke,
1983).
b. Lamtoro (Leucaena leucocephala Lamk.)
Lamtoro dapat tumbuh pada daerah tropis dan subtropis. Lamtoro memiliki
zat antinutrisi berupa mimosin. Apabila mimosin diberikan pada ruminansia dalam
kadar yang tinggi dapat menjadi racun bagi mikroba rumen sehingga dapat pula
menurunkan produksi asam amino (McDonald et al., 2002). Lamtoro mengandung
PK 24, 3%, ADF 21,5%. NDF 31,8%, dan tannin 14,8 mg/g BK (Baba et al.,
2002).
c. Kaliandra (Calliandra calothyrsus Meissn)
Palmer et al. (1995) menunjukan bahwa daun Calliandra calothyrsus
memiliki nilai pakan yang tinggi untuk ternak, khususnya sebagai sumber protein.
Kaliandra memenuhi kurang lebih 30% kebutuhan kambing, biri-biri, dan ternak
lainnya. Ternak akan tumbuh lebih baik bila disuplementasi dengan kaliandra
dibandingkan hanya diberi rumput. Tingkat suplementasi yang baik adalah 30% dari
total ransum karena pemberian yang lebih tinggi akan merugikan.
Rumbah
Berdasarkan komunikasi pribadi dengan Ir. M. Agus Setiana, MS pada
tanggal 1 Agustus 2012, rumbah merupakan hijauan makanan ternak selain rumput
maupun kacangan. Rumbah dapat berupa dedaunan yang memiliki kandungan serat
dan protein yang cukup tinggi sebagai suplementasi atau pengganti rumput dan
kacagan ketika ketersediaannya berkurang. Contoh rumbah adalah daun singkong,
daun waru, daun angsana.
7
Potensi Jerami Padi untuk Pakan Sapi
Menurut Natasamita dan Mudikdjo (1979) dengan memiliki persediaan
jerami padi kering, peternak tidak perlu lagi mencari rumput atau membeli hijauan
segar untu pakan sapi. Hampir semua limbah pertanian tanaman pangan dapat
dimanfaatkan untuk bahan pakan sapi. Walaupun hampir semua limbah pertanian itu
mengandung serat kasar tinggi, tapi dengan sentuhan teknologi sederhana limbah itu
dapat diubah menjadi pakan bergizi dan sumber energy bagi ternak. Kandungan
nutrisi jerami padi, diantaranya protein 4,5-5,5%, lemak 1,4-1,7%, serat kasar 31,546,5%, abu 19,9-22,9%, dan BETN 27,8-39,9%. Dengan demikian karakteristik
jerami sebagai pakan ternak tergolong hijauan bermutu rendah. Selain kandungan
nutrisinya yang rendah jerami padi juga termasuk pakan hijauan yang sulit dicerna
karena kandungan serat kasarnya sangat tinggi. Daya cerna yang rendah itu
terutaman disebabkan oleh struktur jaringan jerami yang sudah tua. Jaringan pada
jerami telah mengalami proses lignifikasi. Selaian adanya proses lignifikasi,
rendahnya daya cerna ternak terhadap jerami juga disebabkan oleh tingginya
kandungan silikat.
Dengan rendahnya kandungan nutrisi jerami padi dan sulitnya daya cerna
jerami maka pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak ruminansia perlu
diefektifkan. Salah satu caranya dengan penambahan suplemen agar kandunga
nutrisinya dapat memenuhi kebutuhan hidup ternak secara lengkap sekaligus
meningkatkan daya cerna pakan. Untuk meningkatkan daya cerna jerami padi
sebagai pakan ruminansia diperlukan perlakuan khusus. Antara lain dengan
perlakuan akali, urea, UMB (Urea Molases Blok) dan pakan tambahan.
Herbarium
Herbarium adalah tumbuhan yang telah dikeringkan dengan suatu proses
tertentu. Selain itu herbarium dapat diartikan sebagai koleksi kering spesimen
tumbuhan yang digunakan dalam penelitian maupun sebagai museum tumbuhan.
Spesimen tumbuhan yang telah dikeringkan ini menjadi sarana yang sangat penting
untuk studi tumbuhan dimasa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang bagi
para ahli taksonomi tumbuhan. Pada masa sekarang herbarium tidak hanya
merupakan suatu spesimen tumbuhan yang diawetkan tetapi juga mempunyai suatu
lingkup kegiatan botani tertentu, sebagai sumber informasi dasar untuk para ahli
8
taksonomi sekaligus berperan sebagai pusat penelitian dan pengajaran, juga pusat
informasi bagi masyarakat umum (Balai Taman Nasional Baluran, 2004).
Salinitas
Kadar garam (salinitas) tanah dipengaruhi oleh kadar mineral garam-garaman
dan dapat diukur dari konduktivitas listrik dari ekstrak tanah yang jenuh.
Pertumbuhan tanaman akan terganggu jika konduktivitas listrik dari ekstrak tanah
tersebut melebihi 4 desi Siemens per meter (4 dS/m). Untuk mencegah akumulasi
konsentrasi garam yang berbahaya, dan mengurangi akumulasi kadar garam, dapat
dilakukan dengan pemberian air secara berlebih. Kadar garam ini tercuci oleh air ke
lapisan tanah bagian bawah dan ikut melalui aliran sungai (Wild, 1993).
Harjadi dan Yahya (1988) mengungkapkan bahwa stres garam merupakan
salah-satu dari antara enam bentuk stres tanaman yaitu stres suhu, stres air, stres
radiasi, stres bahan kimia dan stres angin, tekanan, bunyi dan lainnya. Stres garam
terjadi dengan terdapatnya salinitas atau konsentrasi garam-garam terlarut yang
berlebihan dalam tanaman. Stres garam ini umumnya terjadi dalam tanaman pada
tanah salin. Stres garam meningkat dengan meningkatnya konsentrasi garam hingga
tingkat konsentrasi tertentu yang dapat mengakibatkan kematian tanaman.
9
MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan di Desa Mangunlegi, Kecamatan Batangan,
Kabupaten Pati pada bulan Desember 2011 – Febuari 2012. Desa Mangunlegi
terletak
antara
6º41’51,55”LS
-
6º42’39,38”LS
dan
111º12’53,56”BT
-
111º14’6,96”BT. Lokasi penelitian Desa Mangunlegi dibagi menjadi 4 zona
berdasarkan jarak dari pesisir pantai dan penggunaan lahan di Desa Mangunlegi.
Zona pertama adalah zona pesisir pantai, zona kedua adalah zona tambak, zona
ketiga adalah zona sawah tadah hujan dan zona keempat adalah zona pemukiman.
Sumber : Google Earth
Gambar 1. Lokasi Desa Mangunlegi
Materi
Materi penelitian adalah hijauan makanan ternak serta rumput lokal yang
tumbuh di Desa Mangunlegi. Peralatan yang digunakan berupa kuadran berukuran
0.5m x 0.5m, counter, pisau, kantong plastik, alat tulis, alkohol 70%, kertas buram,
label dan GPS device.
Metode
Identifikasi Rumput Lapang
Identifikasi rumput lapang menggunakan metode herbarium hijauan pakan
dengan mengikuti metode Stone (1983) yaitu eksplorasi koleksi herbarium.
Pembuatan herbarium basah yaitu dengan cara mengambil satu helai tiap jenis
hijauan lalu disemprotkan alkohol 70% pada seluruh bagian tanaman, kemudian
diletakkan pada kertas koran yang ditutup secara rapat, lalu diikat dengan tali.
Seluruh data lapangan dalam spesimen koleksi dicatat.
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari responden peternak Desa Mangunlegi dan pegawai Dinas Peternakan
Kecamatan Batangan melalui wawancara dan dengan menggunakan kuisioner.
Pengumpulan data observasi dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung ke
lapangan. Data sekunder diperoleh dari bahan tertulis atau pustaka yang dapat
dipercaya dan berhubungan dengan penelitian berupa hasil penelitian dan data-data
pendukung lainnya yang diperoleh dari instansi yang terkait seperti Kantor Desa
Mangunlegi, Kantor Kecamatan, Dinas Peternakan Kabupaten Pati, dan Badan Pusat
Statistik (BPS).
Analisis Data
Metode pengolahan data yang digunakan adalah analisis deskriptif,
perhitungan komposisi botani metode “dry weight rank”, analisis Kapasitas
Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) metode Nell dan Rollinson
(1974), analisis salinitas tanah, analisis Sistem Informasi Geografis dengan
menggunakan software ArcGIS® 9, analisis kapasitas dan daya tampung zona tambak
dengan pendekatan produksi bahan kering.
Analisis Komposisi Botani Rumput Lapang
Analisis komposisi botani yang dilakukan adalah analisisi metode “Dry
Weight Rank” menurut Mannetje dan Haydock (1963). Metode ini digunakan untuk
menduga komposisi botani padang rumput atas dasar bahan kering tanpa melakukan
pemotongan dan pemisahan spesies hijauan.
Analisis komposisi botani menggunakan bingkai kuadran terbuat dari kawat
berukuran 0,5m x 0,5m. Kuadran ditempatkan secara acak dilakukan sebanyak 25
kali. Kemudian dilakukan pencatatan semua spesies yang ada dan lakukan estimasi
perhitungan persentase spesies yang menduduki peringkat pertama, kedua, dan ketiga
dalam hal bahan kering.
11
Analisis Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia
Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) berdasarkan
metode Nell dan Rollinson (1974). Potensi penyediaan hijauan dari sumber-sumber
tersebut dikonversikan terhadap potensi padang rumput alami seperti ditampilkan
pada Tabel 1, kemudian dilakukan penghitungan potensi penyediaan hijauan
berdasarkan satuan ternak (ST) sebagai berikut:
Tabel 1. Sumber Hijauan Makanan Ternak dan Nilai Konversi Kesetaraan
Nilai konversi kesetaraan
Keterangan
(Sumber pembaku)
Padang rumput permanen (PRP)
Produksi: 15 ton
(sumber pembaku)
BK/Ha/thn
Sawah bera (Sb)
10% luas Sb setara Prp
Galengan sawah (Gs)
100% luas Gs setara Prp Luas
galengan:
3% luas sawah
Tegalan (Tg)
1% luas Tg setara Prp
Pinggir jalan (Pj)
Setiap 1 km panjang jalan
setara 0,5 Ha Prp
Sumber Hijauan
Sumber: Nell dan Rolinson 1974
1.
Daya Dukung Lahan (KPPTR Maksimum)
Rumus =
Keterangan:
2.
P
K
/
3
hari
-
Potensi hijauan pakan (BK) dengan satuan kg/tahun
-
Konsumsi ternak sebesar 6,29 kg BK/ST/hari
-
365 hari=1 tahun
KPPTR Efektif (ST)= Daya Dukung (KPPTR Maksimum) – POPRIIL
Keterangan:
-
POPRIIL adalah populasi riil ternak ruminansia (ST) pada tahun
tertentu.
Tabel 2. Perhitungan Satuan Ternak
Dewasa
Muda
Anak
Sapi
1
0,6
0,25
Domba
0,14
0,07
0,04
Kambing
0,16
0,08
0,04
Kuda
0,8
0,4
0,2
Sumber: Nell dan Rolinson 1974
12
Analisis Kadar Garam Tanah (Salinitas)
Tanah yang akan dilakukan analisis salinitas sebanyak 12 sampel. Sampel
tanah berasal dari zona pantai, zona tambak, zona sawah, dan zona pemukiman
dengan tiga ulangan. Analisis salinitas tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah
Kementerian Pertanian, Bogor.
Analisis Kapasitas dan Daya Tampung Galengan Tambak
Besarnya kapasitas dan daya tampung yang dimiliki oleh galengan tambak,
dihitung menggunakan analisis pendekatan kuantitatif dengan cara menghitung luas
galengan tambak secara faktual di area penelitian. Pengambilan rumput dilakukan
secara cuplikan dengan menggunakan kuadran berukuran 25 x 25 cm sebanyak 30
sampel. Rumput yang berhasil dikumpulkan dikeringkan dengan oven 70° selama 48
jam untuk memperoleh berat kering. Berat kering rata-rata tiap cuplikan dinyatakan
dalam satuan gram/cm2, kemudian dikonversikan ke dalam satuan ton/ha. Nilai
kapasitas secara faktual di lapangan diperoleh dari hasil rataan produksi dikalikan
dengan luas galengan tambak di lokasi penelitian.
Analisis Potensi Wilayah
Analisis suatu wilayah untuk pengembangan daerah peternakan menurut
Natasasmita dan Mudikdjo (1979) dapat dilakukan dengan dua jenis perhitungan
yaitu kepadatan teknis dan kepadatan ekonomis.
1. Nilai kepadatan teknis dengan menggunakan rumus :
Jumlah satuan ternak
km
2. Nilai kepadatan ekonomis dengan rumus :
Jumlah satuan ternak
orang
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Wilayah Penelitian
Kecamatan Batangan adalah salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten
Pati. Kecamatan Batangan terletak sejauh dua puluh dua kilometer ke arah timur dari
kota Pati. Di sebelah utara Kecamatan Batangan berbatasan dengan Laut Jawa,
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Rembang, sebelah selatan berbatasan
dengan Kecamatan Jaken dan Jakenan, dan di sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Juwana.
Luas wilayah Kecamatan Batangan adalah 50,66 km2 dengan jumlah
penduduk sebanyak 40.896 jiwa yang tersebar di delapan belas desa yaitu Desa
Tlogomojo, Desa Sukoagung, Desa Bulumulyo, Desa Tompomulyo, Desa Kuniran,
Desa Gunungsari, Desa Kedalon, Desa Klayusiwalan, Desa Ngening, Desa Raci,
Desa Ketitangwetan, Desa Bumimulyo, Desa Jembangan, Desa Lengkong, Desa
Mangunlegi, Desa Batursari, Desa Gajahkumpul dan Desa Pecangaan (BPS, 2011).
Kecamatan Batangan merupakan dataran rendah di pesisir pantai utara jawa
(pantura) dengan ketinggian minimum dua meter dan ketinggian maksimum delapan
belas meter dari permukaan laut. Jenis tanah di wilayah Kecamatan Batangan adalah
tanah aluvial. Suhu maksimum di Kecamatan Batangan adalah 32°C dan suhu
minimum 24°C. Kecamatan Batangan memiliki curah hujan sebanyak 847 mm/tahun
dengan jumlah hari dengan curah hujan terbanyak selama 61 hari (BPS, 2011).
Kondisi Umum Desa Mangunlegi
Desa Mangunlegi merupakan salah satu desa di kecamatan batangan yang
berada di pesisir pantai utara pulau jawa. Ketinggian rata-rata desa mangunlegi
apabila diukur dari permukaan air laut adalah lima meter. Di sebelah utara, Desa
Mangunlegi berbatasan dengan laut jawa. Di sebelah barat, berbatasan dengan Desa
Lengkong. Di Sebelah selatan, berbatasan dengan Desa Batursari. Dan di sebelah
timur, berbatasan dengan Desa Batursari dan Desa Pecangaan.
Desa Mangunlegi terdiri dari 2 dukuh, yakni Dukuh Asemlegi dan Dukuh
Mangonan dengan luas wilayah keseluruhan 268,27 ha. Secara administrasi, Desa
Mangunlegi dibagi menjadi 2 RW dengan 7 RT. Luas wilayah Desa Mangunlegi
dipergunakan sebagai tambak, sawah (sawah tadah hujan), tegal, pemukiman,
pemakaman, lapangan, hutan bakau, dan perkantoran pemerintahan. Hijaauan
makanan ternak tumbuh secara alami seperti rumput maupun hijauan makanan ternak
yang tumbuh secara buatan yang sengaja ditanam oleh warga di sekitar areal tersebut
yang berpotensi untuk memasok kebutuhan ternak ruminansia yang dipelihara. Jenis
penggunaan lahan di Desa Mangunlegi disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis Penggunaan Lahan di Desa Mangunlegi
No
Jenis Penggunaan Lahan
1.
Tambak
2.
Sawah (tadah hujan)
3.
Tegalan/Ladang
4.
Pemukiman
5.
Hutan Bakau
6.
Pemakaman
7.
Lapangan
8.
Perkantoran Pemerintahan
Luas (Ha)
167
40,25
28,56
26,24
3
1,5
1,5
0,25
Sumber : Profil Desa Mangunlegi (2010)
Lokasi penelitian (Desa Mangunlegi) dibagi menjadi empat zona berdasarkan
jarak dari pesisir pantai dan penggunaan lahan di desa mangunlegi. Zona yang
pertama adalah zona pesisir pantai, dimana zona daratan yang terkena langsung air
laut ketika pasang surut. Zona kedua adalah zona tambak. Zona ketiga adalah zona
sawah tadah hujan dan zona keempat adalah zona pemukiman.
Kondisi Umum Peternakan Desa Mangunlegi
Populasi ternak Kecamatan Batangan dapat dilihat pada Tabel 4. Populasi
ternak di Desa Mangunlegi didominasi oleh ternak ruminansia dan unggas. Ternak
ruminansia yang banyak dipelihara oleh peternak setempat adalah sapi dan kambing,
sedangkan ternak unggas yang dipelihara umumnya adalah ayam buras.
Menurut lurah desa mangunlegi, beternak merupakan mata pencaharian
sampingan (sambilan) yang dilakukan oleh sebagian warga. Mata pencaharian utama
sebagian besar warga desa mangunlegi adalah petani garam dan peternak ikan
bandeng yang dilakukan di tambak yang mereka miliki.
Apabila melihat lebih lanjut tentang kondisi peternakan ruminansia, warga
Desa Mangunlegi menggunakan sistem pemeliharan tradisional secara semi-intensif.
Dikatakan tradisional karena warga memelihara ternaknya dengan pengetahuan
15
seadanya yang didasarkan oleh pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki.
Pemeliharaannya dilakukan secara intensif dimana ternak selalu berada di dalam
kandang dan semi-intensif yakni dengan cara menggembalakannya pada siang hari
dan mengkandangkannya pada sore hari. Sebagian besar penanganan penyakitnyapun
dilakukan dengan pemberian resep obat tradisional pada ternak yang terserang
penyakit.
Tabel 4. Populasi Ternak Kecamatan Batangan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Desa
Tlogomojo
Sukoagung
Bulumulyo
Tompomulyo
Kuniran
Gunungsari
Kedalon
Klayusiwalan
Ngening
Raci
Ketitangwetan
Bumimulyo
Jembanga
Lengkong
Mangunlegi
Batursari
Gajahkumpul
Pecangaan
Kec. Batangan
Jenis Ternak
Sapi Kambing Domba Kuda Ayam Buras
171
205
0
1
1785
159
199
10
1
1591
420
315
15
2
2152
520
186
7
1
1789
516
236
6
5
1821
651
204
0
2
1539
1092
210
11
0
2182
509
296
5
2
2341
446
274
152
3
2366
122
331
46
3
2106
154
240
41
2
1245
29
214
0
0
1439
433
193
26
0
1939
40
212
12
1
1968
253
205
0
0
1536
251
215
19
2
1809
141
252
0
1
1408
0
257
28
0
1391
Itik
172
169
211
188
212
197
197
225
216
195
221
209
271
241
199
206
184
173
5907
3686
4244
378
26
32407
Sumber : Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Kecamatan Batangan
Jenis Ternak
Ternak ruminansia yang banyak dipelihara oleh warga adalah sapi dan
kambing. Jenis kambing yang dipelihara adalah kambing lokal (kacang) (Gambar
2a), kambing peranakan ettawa (PE), dan kambing jawarandu yang merupakan
persilangan antara kambing lokal dengan peranakan ettawa. Jenis sapi yang
dipelihara adalah sapi peranakan ongole (PO) (Gambar 2b) yang lebih sering disebut
oleh warga sebagai sapi lokal atau sapi jawa atau sapi putih. Kambing kacang
memiliki ciri bulu pendek (putih, hitam dan coklat). Tanduk berbentuk pedang
16
lengkung ke atas dan ke belakang. Pada umumnya memiliki telinga pendek dan tegak
(Devendra dan Burns, 1983). Kambing peranakan ettawa merupakan hasil
persilangan antara kambing ettawa dari India dengan kambing kacang dari Indonesia.
Kambing PE banyak dikembangkan di Indonesia terutama di daerah pedesaan Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Pesisir Utara Jawa Barat (Heriyadi, 2004). Jakaria et al.
(2007) menggolongkan sapi pesisir ke dalam kelompok sapi Bos indicus. Menurut
Natasasmita dan Mudikdjo (1979) bangsa sapi yang diklasifikasikan ke dalam Bos
indicus adalah sapi Ongole, Brahman, Angkole, dan Boran.
(a)
(b)
Gambar 2. Ternak Ruminansia di Desa Mangunlegi. (a) kambing lokal (kacang);
(b) sapi peranakan ongole (PO).
Sistem pemeliharaan
Pemeliharaan ternak ruminansia yang dilakukan oleh para peternak di Desa
Mangunlegi yakni menggunakan dua sistem yakni intensif dan semi-intensif.
Peternak yang menggunakan sistem intensif selalu menempatkan ternaknya di dalam
kandang sepanjang hari dengan alasan keamanan. Peternak yang menggunakan
sistem semi-intensif menggembalakan hewan ternak mereka pada siang hari dan
menempatkannya di dalam kandang pada malam hari.
Zona tempat penggembalaan ternak berada di zona tambak (Gambar 3a),
zona sawah (Gambar 3b), dan zona pemukiman. Pada zona tambak dan zona sawah,
ternak dibiarkan mencari rumput sepanjang hari, diikat dengan menggunakan tali
tambang pada sebuah pasak yang tertancap di tanah. Pada zona pemukiman, ternak
digembalakan di sekitar rumah mereka untuk mencari rumput.
17
(a)
(b)
Gambar 3. Zona Pengembalaan Ternak. (a) Zona tambak, (b) zona sawah.
Pola penyediaan hijauan
Peternak di Desa Mangunlegi menerapkan sistem pemeliharaan intensif dan
semi-intensif. Peternak yang menerapkan sistem pemeliharaan secara intensif,
melakukan cara cut and carry dalam menyediakan hijauan pakan bagi ternaknya
(Gambar 4). Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979), sistem cut and carry adalah
makanan diaritkan dan diberikan di kandang. Baik jumlah maupun kualitas makanan
perlu mendapat perhatian sesuai dengan fase fisiologis, bobot dan tujuan produksi.
Peternak
yang
menerapkan
sistem
pemeliharaan
semi-intensif,
menggembalakan ternaknya pada siang hari dan mencari rumput untuk memenuhi
kebutuhan ternak pada malam hari. Natasasmita dan Mudikdjo (1979) menyatakan
bahwa penggembalaan berarti sebagian besar atau seluruh kebutuhan makanan
diperoleh dari lapangan penggembalaan. Cukup atau tidaknya makanan yang
diperoleh di lapangan penggembalaan akan dicerminkan oleh kondisi badan sapi.
(a)
(b)
Gambar 4. Pola Penyediaan Hijauan Makanan Ternak
18
Peternak yang memelihara sapi selain memberi rumput potongan juga
memberi pakan jerami padi kering kepada ternaknya. Peternak mengaku tidak
mampu mencari rumput untuk memenuhi kebutuhan konsumsi BK sapi. Bahkan
untuk peternak yang memiliki sapi lebih dari empat ekor, harus membeli jerami padi
untuk konsumsi sapi yang dimiliki. Harga jerami padi yang dbeli peternak berkisar
Rp 900.000,00 – Rp 1.200.000,00 per truk, tergantung kadar air jerami padi. Jerami
yang mereka miliki, disimpan di lumbung jerami sebagai persediaan (Gambar 5).
Menurut Sarwono dan Arianto (2003), dengan memiliki persediaan jerami padi
kering, peternak tidak perlu lagi mencari rumput, namun jerami padi memiliki
kandungan nutrisi rendah. Jerami padi juga termasuk pakan hijauan yang sulit
dicerna, karena kandungan serat kasarnya yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh
struktur jaringan yang sudah tua, melalui proses lignifikasi.
Gambar 5. Lumbung Jerami
Pakan untuk ternak kambing biasanya diambil dari rumput dengan ditambah
beberapa leguminosa atau yang disebut dengan ramban. Leguminosa tersebut antara
lain adalah Leucaena leucocephala Lamk., atau dalam nama lokal disebut godhong
petet, Pterocarpus indicus Willd. (godhong angsana), Gliricidia sepium Jacq. Kunth.
ex Walp. (godhong kudo), Hibiscus macrophyllus Roxb. (godhong waru), Ruta
angustifolia Pers. (godhong kelor). Ramban yang diambil oleh peternak adalah
ramban yang disukai ternak.
Berdasarkan hasil wawancara dengan peternak, beberapa hijauan yang
disukai oleh ternak sapi dan telah teridentifikasi adalah jerami padi (Oryza sativa),
Alternanthera philoxeroides Mart. Griseb., Andropogon bladii Retz., Andropogon
sp., Arthraxon hispidus Makino., Bulbostylis warei Torr., Cardaminehirsuta L,
19
Carum roxburghianum Benth., Chloris garbata L. Swartz., Cynodon dactylon L.
Pers., Cyperus rotundus L., Echinochloa colona L., Eleusine indica L. Gaertn.,
Fimbristylis aphylla Steud., Ipomoea aquatica Forsk., Ipomoea obscura L.,
Leptochloa chinensis L. Ness., Panicum paludosum Roxb., Panicum repens L.,
Paspalidium flavidium Retz., Schizachfrium brevifolium Sw. Ness., Sphaeranthus
indicus L., Xerochloa cheribon Steud. Ohwi.
Keanekaragaman dan Komposisi Botani Hijauan di Desa Mangunlegi
Identifikasi jenis hijauan yang terdapat di Desa Mangunlegi dengan
menggunakan herbarium dan untuk menganalisis komposisi botani digunakan
metode “Dry Weight Rank” menurut Mannetje dan Haydock (1963). Setiap zona
penelitian dilakukan penghitungan komposisi botani untuk menentukan persentase
tiap jenis hijauan yang ada.
Tabel 5. Komposisi Botani Zona Pantai
No. Nama Lokal
Nama Latin
% Jenis
1
Kodokan
Panicum repens L.
45,46
2
Grinting
Cynodon dactylon L. Pers.
42,42
3
Mbakonan Tambak
Xerochloa cheribon Steud. Ohwi.
9,85
4
Abangan Tambak
Andropogon sp. Herb. Linn.
2,27
Hijauan di zona pantai didominasi oleh rumput Pannicum repens L. yakni
sebesar 45,46% (Tabel 5). Urutan kedua ditempati oleh rumput Cynodon dactylon L.
Pers. dengan porsi 42,42%. Urutan ketiga dan keempat ditempati oleh Xerochloa
cheribon Steud. Ohwi. dan Andropogon sp. Herb. Linn. Pier (1999) mengatakan
bahwa Panicum repens L. tumbuh di tanah yang lembab seperti pada tanah pasir di
sepanjang pantai, dipinggir laguna, danau, kolam dan sungai di daerah tropis dan
subtropis di seluruh dunia. Panicum repens L. secara cepat berkembang menjadi
monokultur di habitatnya menggeser kehadiran rumput yang lain. Secara spesifik,
Panicum repens L. adalah rumput yang sangat kompetitif dalam penyerapan air dan
dapat menurunkan produksi Cynodon dactylon L. Pers. hingga 40% dalam dua tahun.
Pada zona tambak teridentifikasi delapan jenis rumput. Rumput yang
mendominasi adalah Cynodon dactylon L. Pers. sebanyak 30,28% (Tabel 6). Apabila
20
merujuk ke Tabel 9. salinitas tanah di zona tambak mencapai 3020 ppm. Cynodon
dactylon L. Pers dapat tumbuh dengan baik dan mendominasi komposisi botani
rumput. Kaffka (2009) menyatakan bahwa Cynodon dactylon L. Pers telah berhasil
dibudidayakan di tanah yang salin di Califonia’s Central Valley dan dapat tumbuh
meski mendapat irigasi berupa air yang salin dan dapat digunakan sebagai makanan
ternak.
Tabel 6. Komposisi Botani Zona Tambak
No
Nama Lokal
Nama Latin
% Jenis
1
Grinting
Cynodon dactylon L. Pers.
30,28
2
Kacang-kacangan
Cardaminehirsuta L.
28,40
3
Gondan
Arthraxon hispidus Makino.
12,76
4
Abangan Tambak
Andropogon sp. Herb. Linn.
12,47
5
Platikan
Carum roxburghianum Benth.
8,23
6
Cakar Ayam
Borreria latifolia Schum.
3,02
7
Lawatan
Ipomoea obscura L.
3,02
8
Mbakonan Tambak
Xerochloa cheribon Steud. Ohwi.
1,81
Tabel 7. Komposisi Botani Zona Sawah
No
Nama Lokal
Nama Latin
% Jenis
1
Grinting
Cynodon dactylon L. Pers.
35,17
2
Suket Teki
Cyperus rotundus L.
16,82
3
Abangan Sawah
Leptochloa chinensis L. Nees.
10,76
4
Tuton
Echinochloa colona L.
9,16
5
Senikan
Andropogon bladii Retz.
8,67
6
Kremah/Urang
Alternanthera philoxeroides Mart.
6,71
Griseb.
7
Klapa-klapanan
Sphaeranthus indicus L.
5,70
8
Kangkung
Ipomoea aquatic Forsk.
4,12
9
Melikan Dawa
Fimbristylis aphylla Steud.
2,89
Pada zona sawah teridentifikasi sembilan jenis rumput, didominasi oleh
rumput Cynodon dactylon L. Pers. sebanyak 35,17% (Tabel 7). Apabila
21
membandingkan salinitas tanah zona penelitian (Tabel 9) zona sawah memiliki
salinitas tanah yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan zona pantai maupun
zona tambak. Rumput Cynodon dactylon L. Pers tetap saja mendominasi baik di
peringkat pertama maupun kedua tabel komposisi botani, namun ada dampak yang
nyata pada produktivitasnya. Menurut Hameed dan Ashraf (2007) jumlah daun dan
berat kering tanaman pada Cynodon dactylon L. Pers. akan menurun beranding
terbalik dengan peningkatan salinitas tanah.
Tabel 8. Komposisi Botani Zona Pemukiman
No
Nama Lokal
Nama Latin
% Jenis
1
Grinting
Cynodon dactylon L. Pers.
23,60
2
Suket Teki
Cyperus rotundus L.
22,62
3
Lulangan
Eleusine indica L. Gaertn.
9,35
4
Kodokan
Panicum repens L.
9,05
5
Melikan Cekak
Bulbostylis warei Torr.
6,04
6
Abangan Sawah
Leptochloa chinensis L. Nees
6,04
7
Sadaman
Elephantopus scaber L.
3,92
8
Kangkung
Ipomoea aquatic Forsk.
3,92
9
Melikan Dawa
Fimbristylis aphylla Steud.
3,02
10
Juwawut
Chloris garbata L. Swartz.
3,02
11
Mbakonan Pemukiman
Schizachfrium brevifolium Sw. Nees.
3,02
12
-
Panicum paludosum Roxb.
2,56
13
Klapa-klapanan
Spaeranthus indicus L.
2,03
14
-
Paspalidium flavidium Retz.
1,81
Pada zona pemukiman teridentifikasi 14 jenis dan rumput yang banyak
ditemui adalah rumput Cynodon dactylon L. Pers. dengan nilai komposisi botani
sebesar 23,60% (Tabel 8). Merujuk pada Tabel 9. seiring menjauhi zona pantai,
salinitas tanah mulai menurun dan keanekaragaman jenis rumput juga meningkat.
Hal ini disebabkan tidak semua jenis rumput dapat berkembang dengan baik di tanah
salin karena pengaruh cekaman atau stress. Harjadi dan Yahya (1988)
mengungkapkan bahwa stres garam merupakan salah-satu dari antara enam bentuk
stres tanaman yaitu stres suhu, stres air, stres radiasi, stres bahan kimia dan stres
22
angin, tekanan, bunyi dan lainnya. Stres garam terjadi dengan terdapatnya salinitas
atau konsentrasi garam-garam terlarut yang berlebihan dalam tanaman. Stres garam
ini umumnya terjadi dalam tanaman pada tanah salin. Stres garam meningkat dengan
meningkatnya konsentrasi garam hingga tingkat konsentrasi tertentu yang dapat
mengakibatkan kematian tanaman.
Rumput Cynodon dactylon L. Pers. atau yang sering disebut oleh peternak
sebagai suket grinting dapat tumbuh di semua zona rumput yang terdapat di Desa
Mangunlegi. Berdasarkan Tabel 9. tempat zona tersebut memiliki salinitas yang
berbeda. Besarnya salinitas tersebut meningkat apabila mendekati daerah pantai yang
terkena air laut secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa rumput Cynodon
dactylon L. Pers. dapat bertahan hidup di tanah yang salinitasnya hingga 3270 mg/l.
Menurut Sukla et al. (2011), Cynodon dactylon L. Pers. ditemukan di habitat yang
beragam. Cynodon dactylon L. Pers. dapat tumbuh dengan baik pada tanah salin,
mengindikasikan Cynodon dactylon L. Pers. toleransi terhadap cekaman garam.
Tabel 9. Salinitas Tanah Zona Penelitian
No
Zona
Luas (ha)
Salinitas (ppm)
1
Pantai
4,57
3270,00
2
Tambak
167
3020,00
3
Sawah
40,25
1102,67
4
Pemukiman
26,24
337,00
Seiring dengan menurunnya nilai salinitas tanah di tiap zona penelitian,
jumlah spesies rumput yang tumbuh pun mengalami peningkatan. Hal ini terbukti
dengan ditemukannya empat jenis rumput di zona pantai, delapan jenis rumput di
zona tambak, sembilan jenis rumput di zona sawah dan empat belas jenis rumput di
zona pemukiman.
23
Gambar 6. Peta Komposisi Botani Hijauan Desa Mangunlegi
24
Alternanthera philoxeroides Mart.
Griseb.
Andropogon bladii Retz.
Andropogon sp. Herb. Linn.
Arthraxon hispidus Makino.
Borreria latifolia Schum.
Bulbostylis warei Torr.
Cardaminehirsuta L.
Carum roxburghianum Benth.
Gambar 7. Hijauan Pakan di Desa Mangunlegi
25
Chloris barbata L. Swartz.
Cynodon dactylon L. Pers.
Cyperus rotundus L.
Echinochloa colona L.
Elephantopus scaber L.
Eleusine indica L. Gaertn.
Gliricidia sepium Jacq. Kunth. ex Walp. Hibiscus macrophyllus Roxb.
Gambar 7. Jenis Hijauan Pakan di Desa Mangunlegi (lanjutan)
26
Ipomoea aquatic Forsk.
Ipomoea obscura L.
Leptochloa chinensis L. Nees.
Leucaena leucocepala Lamk.
Panicum paludosum Roxb.
Fimbristylis aphylla Steud.
Panicum repens L.
Paspalidium flavidum Retz.
Gambar 7. Jenis Hijauan Pakan di Desa Mangunlegi (lanjutan)
27
Pterocarpus indicus Willd.
Ruta angustifolia Pers.
Schizachfrium brevifolium Sw. Nees.
Sphaeranthus indicus L.
Xerochloa cheribon Steud. Ohwi.
Gambar 7. Jenis Hijauan Pakan di Desa Mangunlegi (lanjutan)
Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)
Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia di Kecamatan Batangan
dihitung berdasarkan metode Nell and Rollinson (1974) dengan pendekatan potensi
lahan sebagai sumber dan penyedia hijauan bagi ternak ruminansia. Penghitungan
potensi lahan sebagai sumber penyedia hijauan makanan ternak ruminansia
dilakukan dengan menganalisis data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat
Statistik Kabupaten Pati. Data populasi ternak diperoleh dari Dinas Pertanian,
Peternakan, dan Kehutanan Kecamatan Batangan. Populasi ternak dikalikan dengan
koefisien satuan ternak.
28
Tabel 10. Analisis KPPTR Nell & Rollinson Kecamatan Batangan
No.
Desa
Populasi
Ternak (ST)
Asumsi Produksi
Hijauan
(ton BK/ha/thn)
KKPTR
KPPTR
Maksimum
Efektif
1
Tlogomojo
131,62
222,59
96,95
-34,67
2
Sukoagung
123,96
312,30
136,03
12,07
3
Bulumulyo
308,71
822,93
358,44
49,73
4
Tompomulyo
363,36
291,64
127,03
-236,33
5
Kuniran
367,91
334,28
145,60
-222,31
6
Gunungsari
452,40
261,78
114,02
-338,38
7
Kedalon
746,27
391,80
170,66
-575,61
8
Klayusiwalan
365,68
390,60
170,13
-195,55
9
Ngening
334,93
222,57
96,94
-237,99
10
Raci
114,71
51,60
22,48
-92,23
11
Ketitangwetan
127,38
41,88
18,24
-109,14
12
Bumimulyo
36,87
77,40
33,71
-3,16
13
Jembangan
306,71
140,59
61,24
-245,47
14
Lengkong
45,85
89,90
39,16
-6,69
15
Mangunlegi*
185,50
793,64
345,68
160,18
16
Batursari
188,17
157,68
68,68
-119,49
17
Gajahkumpul
115,47
32,76
14,27
-101,20
18
Pecangaan
23,40
0,00
0,00
-23,40
4.338,90
4.635,94
2.019,26
-2.319,64
Kec Batangan
*) Lokasi penelitian
Kecamatan Batangan memiliki nilai KPPTR negatif (Tabel 10). Hal ini
menunjukkan bahwa produksi hijauan makanan ternak (HMT) Kecamatan Batangan
tidak mampu memenuhi kebutuhan ternak yang ada. Rumus dan perhitungan nilai
Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia dapat dilihat pada lampiran 1
dan lampiran 2.
Desa Mangunlegi memiliki nilai KPPTR efektif yang paling tinggi jika
dibandingkan dengan desa lain di kecamatan Batangan. Masyarakat di Desa
Mangunlegi masih bisa menambah populasi ternak ruminansia yang mereka miliki
29
sebanyak 160,18 ST. Hal ini menunjukkan bahwa potensi hijauan di Desa
Mangunlegi masih memenuhi kebutuhan untuk pakan ternak ruminansia. Selain
untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak untuk Desa Mangunlegi sendiri, hijauan
makanan ternak yang tersedia dapat dijual keluar daerah untuk memenuhi kebutuhan
makanan ternak di desa lain.
Meskipun di Desa Mangunlegi memiliki nilai KPPTR efektif yang positif,
kebiasaan peternak yang suka mencari dan membeli jerami padi dari daerah lain
tetap dilakukan. Hal ini disebabkan oleh peternak tidak sanggup memotong rumput
selama seharian untuk memenuhi kebutuhan ternak. Kebanyakan peternak hanya
mampu mencari rumput sebanyak tiga karung per hari. Selain itu, kebiasaan membeli
jerami padi tetap dilakukan peternak karena produktivitas rumput lapang sangat
fluktuatif. Produktivitas rumput lapang akan sangat menurun apabila musim
kemarau, ditambah lagi area Desa Mangunlegi yang berada di pesisir pantai yang
memiliki suhu maksimum mencapai 32ºC.
Potensi Hijauan Galengan Tambak
Analisis KPPTR menurut Nell dan Rollinson (1974) belum memasukkan
perhitungan potensi galengan tambak sebagai penyedia hijauan. Akan tetapi, Desa
Mangunlegi memiliki luas galengan tambak yang berpotensi sebagai penyedia
hijauan makanan ternak. Peternak setempat memanfaatkan galengan tambak untuk
menggembalakan ternak dan mencari rumput.
Desa Mangunlegi, memiliki luas tambak seluas 167 ha (data profil desa).
Peternak di Desa Mangunlegi sering mencari rumput lapang di area galengan
tambak. Selain itu, peternak juga menggembalakan kambing yang dimiliki di area
galengan tambak. Hal ini menunjukkan tambak memiliki potensi sebagai penyedia
hijauan makanan ternak.
Potensi hijauan yang ada di area galengan tambak diketahui berdasarkan
persentase luasan galengan tambak dari luas tambak yang ada. Persentase rata-rata
luas galengan 9,64% dari luas tambak secara keseluruhan (lampiran 9). Hal ini
menunjukkan bahwa Desa Mangunlegi memiliki luas galengan tambak sebesar 16,10
ha.
Daya dukung total galengan tambak di Desa Mangunlegi adalah sebesar
41,96 ST, menunjukkan galengan tambak memiliki potensi sebagai penyedia hijauan
30
untuk sekitar 41,96 ST. Jika dijumlahkan antara potensi galengan tambak dengan
analisis KPPTR dengan metode Nell dan Rollinson (1974) maka nilai KPPTR efektif
Desa Mangunlegi akan bertambah menjadi 202,14 ST (lampiran 10).
Persentase produksi hijauan di galengan tambak sebesar 39,89% dari padang
rumput permanen. Nilai persentase tersebut dapat digunakan sebagai nilai koefisien
produksi hijauan tambak dalam perhitungan potensi hijauan galengan tambak yakni
sebesar 0,399 dari produksi hijauan padang rumput permanen.
Potensi Wilayah untuk Pengembangan Peternakan
Menurut Natasamita dan Mudikdjo (1979), untuk memperhitungkan potensi
suatu wilayah untuk pengembangan ternak secara teknis maka, perlu dilihat populasi
ternak yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan potensi makanan ternak
yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan. Selain perhitungan kepadatan
teknis, dihitung pula kepadatan ekonomis.
Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979) semakin rendah nilai kepadatan
teknik suatu wilayah, maka wilayah tersebut semakin berpotensi untuk
pengembangan peternakan ruminansia karena jumlah ternak tiap satuan wilayah
penghasil hijauan masih sedikit. Apabila dilihat pada Tabel 11. maka desa yang
memiliki nilai kepadatan teknik yang masih rendah adalah desa Sukoagung,
Bumimulyo, dan Lengkong. Oleh karena itu, penambahan populasi ternak
ruminansia masih memungkingkan apabila ditinjau dari aspek kepadatan teknik. Di
Desa Pecangaan, memiliki nilai kepadatan teknik imajiner. Hal ini disebabkan oleh
Desa Pecangaan tidak memiliki wilayah penghasil hijauan.
Natasasmita dan Mudikdjo (1979) menegaskan bahwa semakin tinggi nilai
kepadatan ekonomik suatu wilayah, maka wilayah tersebut cenderung ke arah
konsumen hijauan. Beberapa desa yang berperan sebagai konsumen hijauan adalah
Desa Kedalon, Desa Gunungsari, dan Desa Kuniran. Apabila dilihat dari aspek
kepadatan ekonomik, Desa Mangunlegi relatif memiliki nilai yang rendah apabila
dibandingkan dengan desa lain. Hal ini menunjukkan bahwa Desa Mangunlegi
merupakan desa produsen hijauan. Untuk Desa Pecangaan, meski memiliki nilai
kepadatan ekonomik yang rendah apabila dibandingkan dengan desa lain, namun
Desa Pecangaan tidak bisa dikatakan sebagai daerah produsen hijauan. Hal ini
disebabkan oleh Desa Pecangaan tidak memiliki wilayah sebagai penghasil hijauan.
31
Tabel 11. Potensi Desa untuk Pengembangan Ternak Ruminansia Kec. Batangan
No Desa
Jumlah Populasi
Ternak (ST)
Luas
Wilayah
(km²)
Kepadatan
Kepadatan
Teknis
Ekonomis
1
Tlogomojo
131,620
1,272
103,442
0,132
2
Sukoagung
123,960
1,768
70,105
0,124
3
Bulumulyo
308,710
2,978
103,667
0,309
4
Tompomulyo
363,360
1,798
202,046
0,363
5
Kuniran
367,910
1,921
191,560
0,368
6
Gunungsari
452,400
1,604
282,010
0,452
7
Kedalon
746,270
2,311
322,991
0,746
8
Klayusiwalan
365,680
2,269
161,164
0,366
9
Ngening
334,930
1,316
254,603
0,335
10
Raci
114,710
0,349
328,682
0,115
11
Ketitangwetan 127,380
0,279
456,232
0,127
12
Bumimulyo
36,870
0,516
71,453
0,037
13
Jembangan
306,710
0,949
323,363
0,307
14
Lengkong
45,850
0,599
76,506
0,046
15
Mangunlegi*
185,500
1,049
176,801
0,186
16
Batursari
188,170
1,064
176,852
0,188
17
Gajahkumpul
115,470
0,218
528,709
0,115
18
Pecangaan
23,400
0,000
imajiner
0,023
4338,900
22,260
3830,186
4,339
Kec. Batangan
*) Lokasi Penelitian
32
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hijauan makanan ternak pesisir pantai di Desa Mangunlegi berpotensi sebagai
makanan ternak ruminansia. Rumput lokal, leguminosa, dan rumbah yang telah
diidentifikasi sebanyak 30 jenis. Salah satunya adalah Cynodon dactylon L. Pers.
yang mampu hidup dan mendominasi komposisi botani di keempat zona penelitian
dengan tingkat salinitas yang berbeda. Selain itu, zona tambak (galengan tambak)
memiliki potensi sebagai penyedia hijauan makanan ternak. Desa Mangunlegi juga
berpotensi untuk pengembangan peternakan ruminansia karena memiliki nilai
kepadatan ekonomik yang rendah (produsen hijauan).
Saran
Pada penelitian selanjutnya diharapkan melakukan analisis kualitas nutrisi
rumput lokal yang terdapat di Desa Mangunlegi. Selain itu, perlu dilakukan kajian
secar