Influence of parent-child attachment and teacher-student attachment to build self esteem in progressive and conventional school advisor

PENGARUH KELEKATAN ORANG TUA-ANAK DAN
GURU-ANAK TERHADAP PEMBENTUKAN SELF ESTEEM
ANAK DI SEKOLAH DASAR PROGRESIF DAN
KONVENSIONAL

DIAN ANGGRAENI TRI ASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Kelekatan
Orang tua-Anak dan Guru-Anak terhadap Pembentukan Self Esteem Anak di
Sekolah Dasar Progresif dan Konvensional adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Dian Anggraeni Tri Astuti
NIM I251100141

RINGKASAN
DIAN ANGGRAENI TRI ASTUTI. Pengaruh Kelekatan Orang tua-Anak dan
Guru-Anak terhadap Pembentukan Self Esteem Anak di Sekolah Dasar Progresif
dan Konvensional. Dibimbing oleh DWI HASTUTI dan MELLY LATIFAH.
Self esteem (harga diri) merupakan kemampuan anak dalam mengevaluasi
dan menghargai diri dan mengindikasikan sejauh mana seseorang tersebut percaya
bahwa dirinya mampu, berarti, sukses, dan berharga. Self esteem tinggi dicirikan
dengan kepercayaan diri dan keaktifan anak dalam bersosialisasi dengan
lingkungannya. Kelekatan orang tua merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi proses pembentukan self esteem anak. Hubungan tersebut dicirikan
dengan kepekaan ibu dalam memberikan respon atas sinyal yang diberikan anak,
sesegera mungkin atau menunda, respon yang diberikan tepat atau tidak, akan
mempengaruhi hubungan dalam jangka waktu yang panjang. Selain itu kelekatan
anak dengan guru akan membantu anak membangun self esteemnya.

Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh kelekatan
orang tua dengan anak dan guru dengan anak terhadap pembentukan self esteem
anak usia sekolah dasar pada sekolah progresif dan konvensional. Penelitian ini
menggunakan desain cross-sectional. Tempat penelitian dipilih secara purposive,
terdiri atas 5 sekolah. Sekolah dasar yang terlibat dalam penelitian ini merupakan
sekolah progresif atau konvensional yang memiliki kesamaan dalam fasilitas fisik
sekolah. Lokasi penelitan dipilih berdasarkan rekomendasi Kepala Dinas
Pendidikan Nasional Kota Depok. Contoh penelitian adalah keluarga siswa kelas
4 dan 5 yang dipilih secara acak sebanyak 30 keluarga dari setiap sekolah
sehingga total contoh sebanyak 150 keluarga. Data dikumpulkan dengan
menggunakan alat bantu kuesioner yang diisi siswa atas bimbingan peneliti.
Kuesioner tersebut adalah Parental Bonding Instrument (PBI) untuk data
kelekatan orang tua anak, The Student – Instructor Relationship (SIRS) untuk data
kelekatan guru-anak, dan Self-Esteem Inventory (SEI) untuk mengukur selfesteem. Pengolahan data meliputi pengeditan, pengkodean, entry data, pengecekan
data, dan selanjutnya dianalisis secara statistika deskriptif dan analisis statistika
inferensial. Analisis statistika inferensial yang digunakan adalah uji korelasi
Spearman, Pearson, Chi Square, dan uji beda t-test, serta uji regresi linier.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak dari kedua tipe
sekolah memiliki self esteem yang cukup tinggi. Kelekatan ibu maupun ayah dari
kedua tipe sekolah menunjukkan bahwa kelekatan care lebih tinggi daripada

kelekatan overprotection, sedangkan kelekatan ibu overprotection dari sekolah
konvensional lebih tinggi daripada sekolah progresif. Kelekatan connectedness
yang terbentuk antara guru dengan anak lebih tinggi daripada kelekatan anxiety.
Antara kedua tipe sekolah menunjukkan hal yang sama.
Dari hasil uji hubungan ditemukan bahwa adanya hubungan yang positif
antara kelekatan care pada orang tua-anak dengan self esteem yang tinggi, dan
hubungan negatif antara kelekatan overprotection pada orang tua-anak dengan self
esteem yang rendah, baik di sekolah progresif maupun konvensional. Ditemukan
juga bahwa terdapat hubungan yang positif antara kelekatan connectedness pada
guru-anak dengan tingginya self esteem anak, serta hubungan yang negatif antara
kelekatan anxiety pada guru-anak dengan rendahnya self esteem, Hal ini terjadi

pada kedua tipe sekolah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kelekatan
orang tua-anak berhubungan dengan kelekatan guru-anak. Semakin orang tua care
terhadap anaknya, maka anak semakin mampu membangun kelekatan
connectedness dengan gurunya. Sebaliknya semakin orang tua overprotection
terhadap anaknya, maka anak juga semakin anxiety dengan gurunya.
Secara umum self esteem anak dipengaruhi oleh kelekatan. Semakin tinggi
kelekatan anxiety guru dengan anak, maka semakin rendah self esteem anak.
Kelekatan dengan ibu yang care mempengaruhi tingginya self esteem anak dan

kelekatan ibu yang overprotection, mempengaruhi semakin rendahnya self esteem
anak. Tipe sekolah tidak mempunyai pengaruh dalam pembentukan self esteem
anak.
Kata kunci: kelekatan orang tua-anak, kelekatan guru-anak, self esteem, sekolah
progresif, sekolah konvensional

SUMMARY
DIAN ANGGRAENI TRI ASTUTI. Influence of Parent-Child Attachment and
Teacher-Student Attachment to Build Self Esteem in Progressive and
Conventional School. Advisor: DWI HASTUTI and MELLY LATIFAH.
Self esteem is one’s ability to evaluate him/herself with the award for
him/herself and indicates the extent to which a person believes that he/she is
capable, meaningful, successful, and worthwhile. High self esteem is
characterized by self-confidence and liveliness of children in socializing with the
environment. A factor that affects the process of building self esteem is the
relationship between parents and children. The relationship is described by
mother's sensitivity to respond to signals that the child gives. The immediate or
delay respond and, right or wrong respond will affect the relationship in the long
term, it is referred to as attachment. The attachment between teacher and student
was also expected to influence child’s self esteem.

In general, this study was aimed to analyze the influence of the parentchild attachment and teacher-student attachment in building school-age students’
self esteem. This was cross-sectional study, consisting of 5 elementary schools
selected purposively recommended by Head of Department of Education in
Depok City. The criteria of selected school were homogeneous and characterized
as progressive and conventional schools. Thirty students’ families were selected
randomly from the fourth and the fifth grade. Total sample were 150 families.
Data was collected using questionnaires which is filled by student. The
questionnaires are were Parental Bonding Instrument (PBI) to measure parentchild attachment, The Student – Instructor Relationship (SIRS) to measure
teacher-student attachment and Self-Esteem Inventory (SEI) to measure child selfesteem. Data was edited, coded, entried into the computer, cleaning the data, and
then analyzed. Data was analyzed using descriptive and inferential statistical
analysis. Inferential statistical analysis used Spearman and Pearson correlation
test, Chi Square, t-test, and linear regression.
The result showed that most of the students had high self esteem both in
conventional and progressive school’s students. In term of parent-child
attachment, showed that care attachment was higher than overprotection
attachment on both types of schools, but maternal overprotection attachment from
conventional schools was higher than progressive schools. The result also showed
that connectedness of teacher-student attachment was higher than anxiety.
Spearman correlation test revealed that there were correlation between
maternal care attachment and high self-esteem, also between maternal

overprotection attachment and low self esteem on both type of schools. There
were correlations between connectedness teacher-student attachment and high
students’ self esteem, also between anxiety teacher-student attachment and low
students’ self esteem on both types of schools.
Overall, students’ self esteem was influenced by the attachment between
teacher and student. The more anxiety between student and teacher it is likely, the
lower student’s self esteem. Maternal care attachment influenced to higher self
esteem of child, meanwhile the more overprotection the maternal attachment, the

lower self esteem of child. Type of schools had no influence in building child’s
self esteem.
Keyword: parent-child attachment, teacher-student attachment, self esteem,
progressive school, and conventional school

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH KELEKATAN ORANG TUA-ANAK DAN GURUANAK TERHADAP PEMBENTUKAN SELF ESTEEM ANAK
DI SEKOLAH DASAR PROGRESIF DAN KONVENSIONAL

DIAN ANGGRAENI TRI ASTUTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Diah Krisnatuti, M.Sc

Judul Tesis : Pengaruh Kelekatan Orang tua-Anak dan Guru-Anak terhadap
Pembentukan Self Esteem Anak di Sekolah Dasar Progresif dan
Konvensional
Nama
: Dian Anggraeni Tri Astuti
NIM
: I251100141

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc
Ketua

Ir. Melly Latifah, M.Si
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Ilmu Keluarga dan
Perkembangan Anak

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc MSc

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr

Tanggal Ujian: 02 Agustus 2013

Tanggal Lulus:

Judul Tesis

Pengaruh Kelekatan Orang tua-Anak dan Guru-Anak terhadap
Pembentukan SelfEsteem Anak di Sekolah Dasar Progresif dan
Konvensional

: Dian Anggraeni Tri Astuti
: 1251100141

Nama
NIM

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing .

M
o

O

"

セ@

,


,...

Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc
Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Keluarga dan
Perkembangan Anak

Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc MSc

Tanggal Ujian: 02 Agustus 2013

Tanggal Lulus:

0 8 NOV 2013

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 ini ialah
kelekatan dengan orang tua dan guru terhadap pembentukan self esteem anak,
dengan judul Pengaruh kelekatan orang tua-anak dan guru-anak terhadap
pembentukan self esteem anak di sekolah dasar progresif dan konvensional.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc dan Ibu
Ir. Melly Latifah, M.Si selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan juga kepada Ibu Ratna Megawangi, PhD yang banyak memberi saran
dan masukan selama proses penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada Dr. Ir. Diah Krisnatuti sebagai dosen penguji yang telah banyak memberi
saran dan masukan. Rasa terima kasih juga penulis tujukan kepada dan ibu drg.
Rahma Dewi selaku Direktur yayasan Indonesia Heritage Foundation yang
memberikan dana dalam program S2 ini. Terima kasih sebesarnya juga kepada
Taufiq Ilmawan selaku suami serta buah hati tercinta yang merelakan kesibukan
bundanya menuntut ilmu, terima kasih kepada ibunda Sumarsiniwati atas segala
doanya, serta terima kasih kepada seluruh teman-teman seangkatan dan teman
sekerja yang menemani dan membantu dalam proses kuliah maupun penyelesaian
tesis ini. Tak lupa ungkapan terima kasih kepada sekolah yang telah bersedia
menjadi tempat penelitian, serta siswa-siswi kelas 4 dan 5 yang bersedia menjadi
responden dalam penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013
Dian Anggraeni Tri Astuti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

ix

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
5
6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Self Esteem (Harga Diri)
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak
Kelekatan Orang tua dengan Anak
Kelekatan Guru dengan Anak

6
6
9
11
12

3 KERANGKA PMIKIRAN

13

4 METODE
Desain , Tempat dan Waktu Penilitian
Teknik Penarikan Contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional

17
17
17
18
19
21

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan Umum

22
22
36

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

39
39
40

DAFTAR PUSTAKA

41

LAMPIRAN

44

RIWAYAT HIDUP

51

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Jenis dan cara pengumpulan data
Hasil uji reliabilitas kuesioner kelekatan orang tua-anak,
kelekatan guru-anak, dan self esteem
Rata-rata usia contoh dan jumlah saudara serta perbedaannya
antar tipe sekolah
Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan hubungannya
dengan tipe sekolah
Sebaran keluarga menurut tingkat pendidikan orang tua
dan hubungannya dengan tipe sekolah
Sebaran contoh menurut status pekerjaan ibu pada dua tipe sekolah
Rata-rata pendapatan total keluarga dan perbedaannya
antar tipe sekolah
Sebaran contoh menurut tingkat kelekatan orang tua–anak
pada kedua tipe sekolah
Rata-rata skor menurut tingkat kelekatan orang tua–anak
dan hubungannya dengan tipe sekolah
Sebaran contoh menurut dimensi kelekatan orang tua-anak pada dua
tipe sekolah
Sebaran contoh menurut kelekatan orang tua-anak pada dua tipe
sekolah
Rata-rata skor kelekatan guru–anak dan hubungannya
dengan tipe sekolah
Rata-rata skor tingkat self esteem anak dan hubungannya
dengan tipe sekolah
Nilai koefisien korelasi antara karakteristik orang tua dan
anak dengan kelekatan orang tua pada dua tipe sekolah
Nilai koefisien korelasi antara karakteristik anak dengan
kelekatan guru-anak
Nilai koefisien korelasi antara karakteristik orang tua dan
karakteristik anak dengan self esteem
Nilai koefisien korelasi antara kelekatan orang tua dan
kelekatan guru dengan self esteem
Nilai koefisien korelasi antara kelekatan orang tua dengan
kelekatan guru dan dengan self esteem anak
Faktor-faktor yang mempengaruhi self esteem

18
19
24
25
26
26
27
28
28
29
29
29
30
31
32
33
33
34
35

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Lingkungan yang mempengaruhi anak berdasarkan
teori ekologi Bronfenbrenner
Kerangka pemikiran penelitian pengaruh kelekatan orang tua-anak
dan guru-anak terhadap pembentukan self esteem
Teknik penarikan contoh
Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan hubungannya
dengan tipe sekolah

9
16
18
25

5

Sebaran contoh menurut tingkat self esteem anak berdasarkan
Tipe sekolah

30

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Rata-rata dan Standar deviasi beberapa variabel penelitian
Analisis Item Kuesioner Parental Bonding Instrumen untuk Ibu
Analisis Item Kuesioner Parental Bonding Instrumen untuk Ayah
Analisis Item Kuesioner Student Instructur Relationship
Analisis Item Kuesioner Self Esteem
Uji Hubungan antar variabel di sekolah Progresif
Uji Hubungan antar variabel di sekolah Konvensional

44
45
46
47
48
49
50

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberadaan suatu bangsa tidak terlepas dari keberadaan generasi muda
sebagai tumpuan harapan untuk memimpin negara dimasa yang akan datang.
Generasi muda yang memiliki jiwa kreatif, penuh semangat, serta inovasi dari ideide unik yang siap untuk membangun bangsa. Generasi unggul seperti ini
diharapkan juga memiliki kepribadian yang utuh dan ketahanan mental yang baik.
Kemampuan menjadi individu yang tangguh perlu upaya yang dilakukan sejak
dini saat masih kecil. Demi menunjang keberhasilan seseorang dalam hidup maka
sejak kecil anak perlu menguasai berbagai kemampuan terutama kemampuan
sosial emosional yang baik, karena menurut Goleman (1995) keberhasilan hidup
seseorang lebih ditentukan oleh kemampuan emosionalnya dibandingkan dengan
kemampuan intelektual. Kemampuan sosial emosional merupakan pondasi bagi
perkembangan kemampuan anak berinteraksi dengan lingkungannya secara lebih
luas. Salah satu aspek kepribadian yang perlu dikembangkan agar kemampuan
sosial emosional anak baik adalah self esteem (harga diri).
Self esteem yang tinggi perlu dimiliki anak, mengingat pentingnya peran self
esteem bagi anak untuk mencapai kebahagiaan dalam menjalani kehidupan. Anak
yang memiliki self esteem tinggi mampu membangkitkan rasa percaya diri,
penghargaan diri, memiliki rasa aman untuk bersosialisasi dengan teman-teman
atau lingkungan sehingga memiliki motivasi yang tinggi untuk berprestasi.
Sebaliknya anak yang memiliki self esteem rendah selalu meragukan apakah
mampu untuk meraih sesuatu atau tidak, mencari situasi aman dan nyaman, takut
mencoba dan bergantung kepada orang lain.
Menurut teori perkembangan anak Erik Erikson (1963), masa sekolah
(School Age) yaitu usia 6-12 tahun ditandai adanya kecenderungan industry–
inferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa
ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan
untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di
pihak lain karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang
anak menghadapi hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat
menyebabkan anak merasa rendah diri yang berakibat pada rendahnya self esteem
(Santrock 1997). Peran lingkungan terdekat yaitu keluarga dan sekolah sangat
menentukan kesuksesan dan kegagalannya.
Pembentukan pertama self esteem anak adalah dari lingkungan terdekat
yaitu keluarga. Orang tua merupakan orang terdekat yang sangat mempengaruhi
bagaimana seorang anak terbentuk kepribadiannya. Hubungan antara anak dengan
orang tua merupakan bagian dari interaksi sosial yang dilakukan anak dengan
lingkungan keluarganya. Bonner (dalam Gerungan 1987) merumuskan interaksi
sosial sebagai hubungan antara dua atau lebih individu dimana kelakuan individu
yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang
lain atau sebaliknya. Pada dasarnya, hubungan antara anak dengan orang tua
merupakan hubungan yang timbal balik, sehingga dengan demikian, dalam usaha
untuk menciptakan hubungan yang memuaskan kedua belah pihak, maka peranan
orang tua maupun anak sangatlah besar (Gunarsa 1989). Pendapat tersebut

2
menunjukkan bahwa kualitas interaksi antara anak dengan orang tua, merupakan
faktor penting dalam menunjang sifat-sifat kepribadian dan motivasi yang
diperlukan dalam belajar.
Menurut Hurlock (1978), komunikasi yang terbuka atau penghargaan
terhadap pendapat orang lain seringkali melahirkan harapan yang masuk akal di
kalangan anggota keluarga. Sikap menerima dari orang tua berarti
memperlakukan anak sebagai pribadi, menerima dan menghargai haknya dan
tidak dijadikan sebagai alat pemenuhan kepentingan keluarga. Berbagai hasil studi
menunjukkan bahwa sikap menolak dari orang tua terhadap anak cenderung
menjadikan anak mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri. Para ahli
menemukan hubungan yang kuat antara self esteem dengan kebahagiaan individu
(Santrock 2007). Penelitian yang melibatkan seribu anak menunjukkan anak
dengan self esteem rendah lebih mudah mengalami depresi daripada anak yang
memiliki self esteem tinggi (Rao 1994). Self esteem pada anak mulai realistis
ketika anak mulai menginjak fase anak akhir (Harter 2006). Pada usia akhir, anakanak mampu mengevaluasi dirinya dan pada umumnya menjadi lebih kritis dalam
membentuk dan membangun kesan terhadap harga dirinya (Papalia & Olds 2004).
Oleh karena itu Branden (1994) menekankan pentingnya keluarga khususnya
orang tua dalam pembentukan self esteem anak. Kondisi rumah yang membuat
anak merasa tidak aman dan tidak nyaman dapat berdampak buruk terhadap
tingkat self esteem anak.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Richard dan Killman (dalam Kartadinata
1983) menunjukkan bahwa 13 persen dari 34 orang kasus yang ditangani,
mengalami penolakan dari ibunya dan sebanyak 63 persen mengalami perasaan
ditolak sebagai akibat perlakuan ibu yang terlalu melindungi mereka. Dampak
yang akan terjadi apabila anak mengalami penolakan dalam keluarganya akan
berpengaruh dalam sikap atau kepribadian anak. Coopersmith (1967) juga
mengemukakan berdasarkan hasil penelitiannya pada anak usia 10-12 tahun atau
pada fase pra remaja (preadolescence) bahwa perkembangan self esteem pada
masa tersebut dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Seorang anak dengan self
esteem tinggi terbentuk karena sikap positif dari orang tua terhadap keberadan
anak, orang tua memberikan kebebasan kepada anak tidak terlalu mengekang
tetapi juga tidak bersikap permissive. Papalia & Olds (2004) juga menyatakan
orang tua yang hangat, responsive dan memiliki harapan-harapan realistik akan
meningkatkan self esteem anak, sedangkan orang tua yang perfeksionis, suka
mengkritik, atau terlalu mengontrol atau terlalu melindungi, memanjakan,
mengabaikan, serta tidak memberikan batasan-batasan atau aturan yang jelas dan
konsisten dapat menurunkan self esteem anak.
Disamping peran orang tua, pembentukan self esteem anak diduga juga
dipengaruhi lingkungan terdekat kedua yaitu sekolah. Di Indonesia terdapat
berbagai tipe sekolah dengan sistem yang berbeda-beda. Secara umum ada tipe
sekolah progresif dan konvensional, dimana masing-masing mempunyai ciri
khusus yang berbeda. Saat seorang anak mempunyai kemampuan bersosialisasi
dengan baik dari keluarganya akan memudahkan anak tersebut bersosialisasi
dengan lingkungan disekitarnya termasuk sekolah. Kemampuan ini akan mampu
memberikan perlindungan dan ketahanan diri terhadap faktor resiko pada masa
kanak-kanak (Miller, Brehm, & Whitehouse 1998). Maddox dan Prinz (2003)

3
berpendapat bahwa hal yang paling berpengaruh dalam faktor perlindungan untuk
anak adalah adanya kelekatan yang positif di sekolah.
Kelekatan yang dimaksud adalah dengan gurunya sebagai orang tua kedua
dari anak, karena ketika berada di sekolah anak berinteraksi dengan gurunya.
Hurlock (1978) mengemukakan bahwa hubungan antara anak (siswa) dengan guru
ditentukan oleh sikap guru terhadap anak dan sikap anak terhadap gurunya. Agar
anak mempunyai persepsi yang positif, guru harus bersikap terbuka, jujur, dan
menghargai anak. Sikap guru seperti ini akan menumbuhkan rasa aman dan
percaya diri pada anak. Oleh karena itu, menurut Kartadinata (1983), situasi
belajar harus merupakan situasi yang demokratis, dimana gagasan anak dihargai,
dan timbulnya keragaman pendapat adalah sesuatu yang dapat diterima dalam
mengembangkan dinamika pembelajaran. Biasanya situasi demikian akan ditemui
di sekolah progresif. Guru sadar bahwa setiap anak itu berbeda kebutuhan,
kemampuan dan kepribadiannya.
Sedangkan di sekolah konvensional
pembelajaran fokus pada pencapaian nilai tertinggi dan kemampuan menguasai
prestasi akademik.
Hasil studi Michael dan Powell (dalam Supriadi 1985) menunjukkan
bahwa faktor-faktor yang mendasari interaksi antara anak/siswa dengan guru
adalah metode pembelajaran yang digunakan oleh guru, kepribadian guru,
kepercayaan anak/siswa terhadap guru, adanya penghargaan yang baik, dan tidak
ada penekanan khusus dalam disiplin. Perasaan anak-anak terhadap hubungannya
dengan guru dan sekolah dapat mempengaruhi kemampuan anak dalam
sosialisasinya dengan lingkungan dan emosionalnya serta prestasi akademisnya
(Greenberg 1995). Sekolah progresif dan konvensional yang mempunyai metode
pembelajaran yang berbeda diduga mempengaruhi hubungan kelekatan yang
terbentuk antara guru dengan anak, dengan demikian akan berpengaruh terhadap
pembentukan self esteem anak di sekolahnya.

Perumusan Masalah
Hubungan anak pada masa-masa awal dapat menjadi model dalam
hubungan-hubungan selanjutnya. Hubungan awal ini dimulai sejak anak terlahir
ke dunia, bahkan sudah dimulai sejak janin berada dalam kandungan (Sutcliffe
2002). Menurut Ainsworth (dalam Belsky 1988) hubungan kelekatan berkembang
melalui pengalaman bayi dengan pengasuh ditahun-tahun awal kehidupannya.
Kepekaan ibu dalam memberikan respon atas sinyal yang diberikan bayi, sesegera
mungkin atau menunda, respon yang diberikan
tepat atau tidak akan
mempengaruhi hubungan atau lebih sering disebut kelekatan (Attachment) anak
dan ibunya. Sebagian besar anak telah membentuk kelekatan dengan pengasuh
utama (primary care giver) pada usia sekitar delapan bulan dengan proporsi 50
persen pada ibu, 33 persen pada ayah dan sisanya pada orang lain (Sutcliffe 2002).
Kenyamanan secara fisik juga memegang peranan penting dalam pandangan
Erikson (1986) mengenai perkembangan bayi. Pendapat Erikson yang menyatakan
bahwa pada tahun pertama kehidupan terjadi tahap percaya vs tidak percaya (trust
versus mistrust). Kenyamanan secara fisik dan pengasuhan yang sensitif adalah
kunci untuk membentuk rasa percaya (basic trust) pada bayi. Bayi yang mendapat
kenyamanan ini pada tahap umur berikutnya akan tumbuh lebih baik daripada

4
bayi yang tidak mendapat kenyamanan. Keluarga sebagai lingkungan terdekat dan
pertama bagi anak harus mampu mendukung anak agar ketika saatnya tiba
bersosialisasi dilingkungannya, anak sudah siap. Perlunya penghargaan terhadap
berbagai prestasi anak serta komunikasi yang harmonis sangat menentukan
bagaimana anak menilai harga dirinya. Hubungan yang terjalin tidak hanya
sekedar adanya komunikasi, namun terbentuk suatu ikatan yang dalam antara anak
dengan orang disekitarnya.
Kelekatan anak dengan orang tua ini akan mempengaruhi kelekatan anak
tersebut dengan gurunya kelak. Di sekolah, guru mempunyai peran yang sama
dengan orang tua. Seperti halnya orang tua-anak, hubungan guru-anak yang
terjalin di sekolah melibatkan emosi dan sosial antar keduanya (Pianta 1999).
Kelekatan antara orang tua dengan anak sangat dasyat mempengaruhi
pembentukan kepribadian anak, salah satunya adalah terbentuknya self esteem.
Banyak anak di Indonesia yang bermasalah terkait dengan kepribadiannya. Jika
melihat berbagai media, adanya berita tawuran remaja, maraknya pergaulan bebas
remaja, ditemukan anak usia sekolah dasar yang sudah mengenal film porno
kemudian mempraktekkannya dengan temannya, pencurian yang dilakukan anakanak maupun remaja, dan masih banyak berita negatif lainnya. Bahkan menurut
survey yg dilakukan save the children di 10 kota besar di Indonesia mendapati 93
% anak pernah mendapati kekerasan di rumah dan sekolah. Artinya anak
mengalami penekanan secara fisik dan mental, yang tentu saja akan sangat
berpengaruh terhadap perkembangan dan pembentukan jati dirinya termasuk self
esteemnya. Menurut Dariuszky (2004) yang menghambat perkembangan self
esteem adalah perasaan takut, yaitu kekhawatiran atau ketakutan (fear). Hal
tersebut juga mencirikan tidak adanya komunikasi yang baik antara anak dengan
orang tuanya. Tidak adanya komunikasi yang baik menyebabkan tidak
terbentuknya kelekatan, sehingga anak menjadi insecure.
Fenomena lain terkait dengan berbagai harapan orang tua yang dibebankan
kepada anak saat mulai masuk usia sekolah. Usia anak-anak yang semestinya
diberikan kesempatan bermain lebih banyak, ketika masuk dunia sekolah, anak
mulai mengalami penekanan. Berbagai materi pelajaran yang diberikan tanpa
melihat materi tersebut bermakna atau tidak bagi anak. Harapan orangtua agar
anaknya berhasil mempunyai nilai tinggi dengan cara les diberbagai lembaga
privat, serta keinginan orang tua mempunyai kemampuan yang lebih dengan les
musik, renang, atau les-les yang lain. Bahkan meskipun sudah mengikuti berbagai
macam les pelajaran, masih banyak anak yang berprestasi rendah, padahal
berdasarkan tes inteligensi (IQ) anak termasuk berIQ rata-rata bahkan superior
(lebih besar dari 110 skala Weschler). Berdasarkan hasil penelitian Achir (dalam
Munandar 2004) sekitar 39 persen siswa berbakat di Jakarta memperoleh nilai di
bawah rata-rata. Bahkan dari hasil penelitian di Amerika Serikat diperkirakan
antara 15 – 50 persen anak berbakat berprestasi kurang (underachiever).
Menurut Munandar (2004), salah satu penyebab anak tidak mampu
berprestasi sesuai kemampuannya adalah latar belakang seseorang, yang
menyangkut rasa harga diri (self esteem) yang rendah. Rasa harga diri yang rendah
adalah ketidak percayaan atas kemampuan yang dimiliki. Seseorang tidak percaya
bahwa dirinya mampu melakukan apa yang diharapkan orang tua dan gurunya.
Dampak dari self esteem yang rendah, biasanya dengan perilaku berani dan
menentang atau dengan mekanisme pertahanan untuk melindungi diri. Misalnya

5
dengan menyalahkan sekolah atau guru atau dengan menyatakan tidak peduli atau
tidak berusaha dengan sungguh-sungguh jika prestasi mereka kurang memuaskan.
Rendahnya self esteem terkadang dicirikan dari perkataan anak terhadap dirinya
“matematika memang susah”, atau “aku memang bodoh”. Menyalahkan
merupakan mekanisme anak untuk menghindari tanggung jawab. Beberapa faktor
lain yang mempengaruhi self esteem adalah adanya penolakan orang tua, harapan
orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulangkali, kurang mempunyai
tanggungjawab personal, ketergantungan pada orang lain dan terlalu ideal diri
yang tidak realistis (Papalia & Old 2004).
Fenomena lain yang terjadi adalah saat anak masuk sekolah. Anak mulai
mendengar orang-orang dewasa mengkritiknya, memberikan komentar yang
kurang berkenan tentang prestasinya. Jack Canfield 1986, seorang psikolog ahli
self esteem, menemukan bahwa dalam satu hari rata-rata setiap anak menerima
460 komentar yang negatif dan 75 komentar positif. Terdapat enam kali lebih
banyak komentar negatif daripada komentar positif. Setelah beberapa tahun di
sekolah, terjadilah learning shutdown, yang menguras banyak tenaga kreatif
manusia. Hal ini bisa terjadi di sekolah manapun.
Sekolah progresif dengan metode pembelajaran yang active learning,
konkrit serta berpusat pada siswa seharusnya dapat menstimulasi peningkatan
prestasi anak. Penghargaan terhadap berbagai pendapat anak di sekolah progresif
juga diharapkan meningkatkan self esteem anak. Di sekolah konvensional, dengan
metode ceramah, pembelajaran berpusat pada guru, lebih banyak hapalan serta
pemberian nilai dan rangking dapat memicu terjadinya kompetisi berlebih pada
siswa. Kompetisi yang berlebihan akan memunculkan label negatif pada siswa,
dimana akan mempengaruhi self esteemnya.
Fenomena diatas merupakan landasan untuk membuat suatu penelitian
mengenai pengaruh kelekatan orang tua dengan anak dan guru dengan anak
terhadap pembentukan self esteem dengan membedakan tipe sekolah, yaitu
progresif dan konvensional, sebagai tempat anak belajar. Penelitian ini difokuskan
kepada anak dan sekolah. Anak meliputi hubungan antara karakteristik anak dan
karakteristik orang tua, serta bentuk kelekatan yang terjalin dengan orang tuanya,
kelekatan dengan gurunya, tipe sekolah, dan self esteem anak.

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kelekatan
orang tua-anak dan guru-anak anak terhadap pembentukan self esteem anak di
sekolah dasar progresif dan konvensional.
Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Membedakan kelekatan orang tua-anak dengan kelekatan guru-anak, dan self
esteem anak pada dua tipe sekolah,
2. Menganalisis hubungan antara karakteristik orang tua dan anak dengan
kelekatan orang tua-anak, dan hubungan karakteristik anak dengan kelekatan
guru-anak pada dua tipe sekolah

6
3.
4.
5.
6.

Menganalisis hubungan antara karakteristik orang tua dan anak dengan self
esteem anak pada dua tipe sekolah,
Menganalisis hubungan antara kelekatan orang tua-anak dengan kelekatan
guru-anak pada dua tipe sekolah,
Menganalisis hubungan antara kelekatan orang tua-anak dan kelekatan guruanak dengan self esteem,
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi self esteem anak.

Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak terkait yaitu
masyarakat (orang tua) dan sekolah. Bagi orang tua akan memberikan pandangan
bahwa hubungan kelekatan yang terbentuk antara orang tua dengan anak dapat
menentukan sikap apa yang terbentuk dalam diri anak. Sikap orang tua juga dapat
menjadi penentu apakah anaknya akan tangguh dengan self esteem tinggi dalam
masyarakat atau tidak. Semua berawal dari rumah, karena merupakan lingkungan
yang pertama kali dikenal anak.
Bagi sekolah, penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai faktor
yang mempengaruhi self esteem siswa. Sekolah memberikan standar kepada
gurunya cara berkomunikasi yang baik kepada siswanya. Harapannya para guru
mampu mendidik siswanya secara utuh menyeluruh sehingga menghasilkan
kualitas anak didik yang terbaik. Pembelajaran akan bisa efektif bila guru
mempunyai koneksi dengan murid serta peduli dengan memberikan kehangatan
dalam berkomunikasi, serta membangun kepercayaan dengan murid. Keberhasilan
murid juga sangat dipengaruhi oleh guru dan sistem sekolah. Penelitian ini
diharapkan dapat memberi masukan untuk menentukan kebijakan sekolah dalam
menentukan kualitas guru serta melihat hal-hal yang mempengaruhi motivasi
belajar, dimana hal ini tergantung dari self esteem anak.
Bagi pemerintah penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam
menentukan kebijakan-kebijakan terutama yang terkait dengan perlindungan hakhak anak. Di Indonesia undang-undang perlindungan terhadap anak masih perlu
data kuat agar dapat ditegakkan dan diterapkan dengan sebenar-benarnya,
sehingga tidak terjadi lagi kekerasan terhadap anak.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Self Esteem (Harga Diri)
Coopersmith (1967) mendefinisikan self-esteem sebagai evaluasi yang
dibuat individu dengan penghargaan untuk dirinya dan mengindikasikan sejauh
mana individu tersebut percaya bahwa dirinya mampu, berarti, sukses, dan
berharga. Secara singkat, self-esteem adalah pendapat personal akan keberhargaan
diri yang diekspresikan dalam sikap individu yang berpengaruh terhadap dirinya.
Hal ini merupakan pengalaman subyektif yang disampaikan individu dengan
laporan verbal dan tingkah laku yang terlihat.

7
Self-esteem memiliki definisi yang mengalami perubahan dari waktu ke
waktu. Dari tahun ke tahun para ahli terus menambahkan dan memperbaiki
definisi dari self-esteem sehingga dengan terus berkembangnya definisi tersebut,
maka konsep self-esteem akan semakin jelas dan dimengerti. Self-esteem
merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan biasanya dipertahankan oleh
individu. Self-esteem mengekspresikan sikap dari penerimaan diri atau penolakan
diri dan mengindikasikan kepercayaan individu untuk mampu, penting, sukses,
dan berharga.
Selain definisi dari Coopersmith, banyak juga definisi lain yang merupakan
pengembangan dari Coopersmith seperti dari Nathaniel Branden dan James Battle.
Menurut Branden (1992), self-esteem adalah kepercayaan diri akan kemampuan
seseorang berpikir dan menangani tantangan dalam hidup dan kepercayaan diri
bahwa seseorang tersebut pantas untuk hidup bahagia, merasa dihargai dan
diterima. Sedangkan menurut Battle (1992), self-esteem adalah persepsi yang
dimiliki oleh individu akan seberapa berharga diri individu tersebut.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Self – Esteem
Dalam perkembangannya, self-esteem dipengaruhi oleh berbagai faktor,
yaitu (Coopersmith 1967):
1. Karakteristik Orangtua, antara lain: self-esteem dan stabilitas emosi ibu.
Seorang ibu dengan self-esteem tinggi akan mempunyai standar yang tinggi
dalam membentuk self-esteem anaknya dan memiliki emosi yang stabil
daripada ibu dengan self-esteem rendah. Seorang ibu yang memiliki emosi
tidak stabil dan sangat tergantung pada suasana hatinya tidak dapat
memberikan perhatian dan konsisten dalam berelasi dengan anak mereka.
Seorang ibu dengan self-esteem tinggi akan lebih percaya diri dan memiliki
daya tahan dalam sikap dan tingkah laku mereka berhubungan dengan
perawatan anak mereka. Sedangkan seorang ayah dengan self-esteem tinggi
akan lebih memperhatikan dan menerima anaknya, dan kemudian anak tersebut
akan mempercayai ayahnya
2. Karakteristik Individu, seperti: kondisi fisik, inteligensi, dan keadaan emosi.
Individu yang memiliki kondisi fisik yang tidak sehat akan menganggap diri
mereka tidak mampu dan tidak berharga. Begitu pula dengan individu yang
memiliki inteligensi di bawah rata-rata akan merasa sulit dalam menilai diri
dan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya serta perasaan-perasaannya.
Selain itu, individu yang memiliki gangguan emosi seperti kecemasan dan stres
dapat terhambat dalam menyalurkan kemampuan-kemampuan yang
dimilikinya, sehingga dapat menumbuhkan penilaian negatif terhadap diri dan
lingkungannya. Nilai dan cita-cita individu juga berkaitan dengan
perkembangan self-esteem individu
3. Latar Belakang Sosial, termasuk di dalamnya adalah sosial-ekonomi, agama,
pekerjaan ayah-ibu, dan nilai-nilai yang dianut dalam keluarga. Latar belakang
sosial individu dapat menghambat atau mendorong timbulnya perasaan positif/
negatif terhadap dirinya. Individu dengan keluarga yang secara ekonomi serba
kekurangan, akan terhambat dalam menyalurkan kemampuan yang
dimilikinya.

8
Tingkat Self – Esteem
Tingkat self-esteem individu satu dengan yang lainnya berbeda.
Coopersmith (1967) mengulas karakteristik umum yang nampak pada individu
dengan berbagai tingkatan self-esteem, yaitu :
Pertama Self-esteem tinggi, Individu yang memiliki self-esteem yang
tinggi atau positif, puas dengan karakteristik dan kemampuan dirinya. Adanya
penerimaan dan penghargaan diri yang positif memberikan rasa aman dalam
menyesuaikan diri atau bereaksi terhadap stimulus lingkungan sosial. Individu
mempercayai persepsi diri, sehingga tidak terpaku pada kesukaran-kesukaran
personal. Pada umumnya individu dengan self-esteem tinggi nampak; (i) aktif dan
dapat mengekspresikan diri dengan baik, (ii) berhasil dalam bidang akademis,
terlebih dalam mengadakan hubungan sosial, (iii) dapat menerima kritik dengan
baik, (iv) percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri, (v) tidak terpaku pada
dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitannya sendiri, (vi) keyakinan akan
dirinya tidak didasarkan pada fantasinya karena memang mempunyai
kemampuan, kecakapan sosial, dan kualitas diri yang tinggi, (vii) tidak akan
terpengaruh pada penilaian dari oranng lain tentang sifat atau kepribadiannya,
baik itu positif ataupun negatif, (viii) akan menyesuaikan dirinya dengan mudah
pada suatu lingkungan yang belum dikenalnya, (ix) akan lebih banyak
menghasilkan suasana yang berhubungan dengan kesenangannya, sehingga
tercipta tingkat kecemasan dan perasaan tidak aman yang rendah serta memiliki
daya pertahanan yang seimbang.
Kedua Self-esteem rendah. Dengan adanya penghargaan diri yang buruk
pada diri sendiri membuat individu tidak mampu untuk mengekspresikan dirinya
dalam lingkungan sosialnya. Mereka tidak puas dengan karakteristik dan
kemampuan-kemampuannya sehingga individu yang memiliki self-esteem yang
rendah akan cenderung dependen, pasif, dan bersikap konform terhadap
lingkungannya. Individu cenderung sensitif terhadap kritik sebagai pembuktian
akan ketidakmampuannya. Pada umumnya individu dengan self-esteem rendah
nampak; (i) mempunyai perasaan inferior, (ii) takut dan gagal dalam mengadakan
hubungan sosial, (iii) terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi, (iv)
merasa diasingkan dan tidak dicintai, (v) kurang dapat mengekspresikan diri, (vi)
sangat tergantung pada lingkungan, (vii) tidak konsisten, (viii) secara pasif selalu
mengikuti apa yang ada di lingkungannya, (ix) taktik pertahanan diri yang banyak
mereka gunakan adalah defence mechanism, (x) mudah mengakui masalahnya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak
Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak
dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009,
keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau
suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
Megawangi (2007) menyatakan bahwa keluarga dimiliki sebagai wahana untuk
mendidik, mengasuh, dan sosialisasi anak, serta mengembangkan kemampuan
seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik dalam

9
masyarakat. Menurut Berns (1997), keluarga memiliki fungsi ekonomi,
sosialisasi/pendidikan, peran sosial, dan reproduksi.

Gambar 1 Lingkungan yang mempengaruhi anak berdasarkan teori ekologi
Bronfenbrenner
Teori ekologi memperlihatkan bahwa perkembangan kehidupan seorang
anak sangat tergantung pada faktor internal dan faktor eksternal diri mereka. Teori
sistem ekologi Brofenbrenner menelaah perkembangan anak dalam konteks
hubungan yang membentuk lingkungan mereka. Teori Bronfenbrenner
mendefinisikan secara kompleks setiap "lapisan" lingkungan, masing-masing
dengan efek pada perkembangan anak. Microsystem adalah lapisan yang paling
dekat dengan anak dan berisi struktur dimana anak memiliki kontak langsung.
Microsystem ini meliputi hubungan dan interaksi seorang anak dengan lingkungan
terdekatnya (Berk 2003). Termasuk bagaimana kondisi dirinya yang akan
mempengaruhi perilakunya. Struktur dalam Microsystem juga termasuk keluarga,
sekolah, lingkungan, atau bahkan lingkungan penitipan anak. Pada tingkat ini,
terjadi dampak hubungan dalam dua arah. Misalnya, orang tua dari seorang anak
dapat mempengaruhi keyakinan dan perilaku mereka, bagaimanapun, anak juga
mempengaruhi perilaku dan kepercayaan dari orang tua.
Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan salah satu faktor eksternal yang akan sangat
mempengaruhi perkembangan anak. Sekolah sama halnya dengan keluarga. Jika
melihat teori ekologi Bronfenbrenner (1990), sekolah merupakan bagian dari
lingkungan mikrosistem. Walaupun sekolah bukanlah lingkungan eksternal
pertama yang mempengaruhi anak, namun sekolah memberikan dampak yang luar
biasa terhadap kualitas seorang anak.
Setiap sekolah memiliki metode pembelajaran yang berbeda. Berdasarkan
metode pembelajarannya secara umum sekolah dibagi ke dalam dua tipe, yaitu
progresif dan konvensional. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing tipe
sekolah.
Sekolah Progresif. Pendidikan progresif berawal dari pemikiran John
Dewey di abad 20-an, di mana ia mengemukakan 5 poin penting, yaitu (Kohn
2008) pertama pendidikan adalah partisipasi individu dalam kesadaran sosial,

10
kedua sekolah adalah tempat mendapatkan informasi, tempat di mana banyak hal
yang dipelajari, atau tempat di mana suatu kebiasaan dibentuk sehingga sekolah
harus merupakan cerminan dari komunitas. Sekolah harus merepresentasikan
kehidupan saat ini. Ketiga, kurikulum di sekolah harus mencerminkan
perkembangan manusia di dalam kehidupan sosialnya, sehingga harus menyatu
dengan kegiatan-kegiatan lain atau dengan kata lain terintegrasi. Keempat, metode
pembelajaran berfokus pada anak, karena itu materi yang diberikan melihat pada
apa yang diminati anak. Kelima, sekolah merupakan alat rekonstruksi sosial. Jadi
pendidikan harus memberikan hal yang tepat untuk mencapainya. Berdasarkan
pemikiran Dewey tersebut dapat disimpulkan bahwa sekolah progresif adalah
sekolah yang memiliki cara atau metode pengajaran berbeda dari sekolah yang
konvensional. Biasanya sekolah progresif memiliki ciri-ciri; (Kohn 2008)
menekankan cara belajar melalui praktek (learning by doing), kurikulum yang
terintegrasi dan berdasarkan tema, sangat menekankan pada penyelesaian masalah
dan berpikir kritis, bekerja kelompok dan pengembangan kemampuan sosial,
memahami dan praktek adalah tujuan dari belajar, bukan sekedar menghapal,
kolaboratif dan cooperative learning project, pendidikan sebagai tanggung jawab
sosial dan demokras, kurikulum terintegrasi dengan pelayanan masyarakat dan
service learning project terdapat di kurikulum harian, isi mata pelajaran diseleksi
berdasarkan kemampuan apa yang akan dibutuhkan di masyarakat pada masa
depan, penekanan terhadap buku merupakan alternatif variasi sumber belajar,
menekankan pada pembelajaran sejati dan kemampuan sosia, dan penilaian
berdasarkan evaluasi dan projek dan hasil karya siswa. Sekolah progresif pada
tingkat sekolah dasar tidak menggunakan nilai dalam melaporkan perkembangan
belajar muridnya. Laporan perkembangan yang ditampilkan biasanya berupa
narasi.
Sekolah Konvensional. Sekolah konvensional adalah sekolah yang
memiliki metode pendidikan dengan cara-cara lama, yaitu sebagai berikut
(Megawangi, Dina WF, Riza, dan Merdekawati EF 2010): pendekatan satu arah
(one-way teaching), orientasi hapalan (rote learning/drilling), terpacu hanya dari
buku (textbook thinking), orientasi pada nilai atau ujian nasional, dan materi
pembelajaran parsial.
Pendekatan satu arah artinya bentuk komunikasi antara guru dan murid di
mana guru mengajar dan murid belajar atau mendengarkan. Guru biasanya berdiri
di depan kelas menjelaskan materi pelajaran dan murid biasanya hanya duduk
diam dan manis. Cara belajar rote learning artinya belajar dengan cara mengingat
atau menghafal tanpa memahami makna yang dihafalkan (Beck 2009). Walaupun
anak dapat hafal dari materi yang diberikan, namun anak tidak dapat
memahaminya dengan baik. Ini berarti anak belajar dengan menggunakan
kemampuan berpikir yang rendah seperti taksonomi Bloom, yaitu di mana
mengingat atau menghafal berada pada lapisan berpikir paling bawah (Megawangi
et.al 2010).
Sekolah konvensional mengukur keberhasilan belajar siswa dengan
menggunakan nilai. Orientasi nilai akan membunuh rasa percaya diri dan siswa
menjadi takut untuk mengambil inisiatif karena takut salah/gagal. Cara ini hanya
dapat mengembangkan kemampuan berpikir terendah karena hanya mampu
membeo jawaban yang benar saja (Megawangi et al. 2010).

11
Materi pembelajaran yang parsial artinya materi yang diberikan tidak
terintegrasi antar pelajaran. Siswa tidak dapat melihat keterkaitan antara satu mata
pelajaran dengan mata pelajaran lainnya, bahkan siswa tidak mengerti apa
relevansinya dengan kehidupan nyata (Megawangi et al. 2010).

Kelekatan Orang tua dengan Anak
Kelekatan adalah proses yang berlangsung antara pengasuh dan bayi.
Kelekatan dapat juga dideffinisikan sebagai suatu hubungan emosional atau
hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang
mempunyai arti khusus. Hubungan yang dibina akan bertahan cukup lama dan
memberikan rasa aman anak (Sutcliffe 2002).
Mary Ainsworth (1979) juga memberikan kontribusi besar bagi
perkembangan teori kelekatan. Ainsworth bergabung dengan penelitian bersama
tim Bowlby di tahun 1950 dan mengembangkan dampak dari pemisahan anakanak dengan pengasuhnya. Ainsworth melakukan observasi naturalistik ibu dan
bayi dan kemudian mengembangkan dalam laboratorium prosedur yang dikenal
sebagai 'Strange Situation'. Dari penelitian ini, Ainsworth mengidentifikasi tiga
jenis kelekatan pada bayi: secure (bayi akan tertekan pada saat ibu mereka pergi
dan akan kembali terhibur atau tenang saat ibu mereka datang kembali), anxiousambivalent (di mana bayi mengalami stres pada saat ibu mereka pergi, bahkan
saat kembali), dan anxious avoidant (di mana bayi tidak terganggu oleh
keberangkatan ibu mereka dan tidak tertarik saat ada ibu mereka).
Manfaat Kelekatan
Kenyamanan secara fisik juga memegang peranan penting dalam
pandangan Erikson (1986) mengenai perkembangan bayi. Pendapat Erikson yang
menyatakan bahwa pada tahun pertama kehidupan terjadi tahap trust versus
mistrust. Kenyamanan secara fisik dan pengasuhan yang sensitif adalah kunci
untuk membentuk basic trust pada bayi. Trust pada bayi ini pada akhirnya akan
menjadi dasar dari attachment dan dasar dari ekspektasi menetap yang
menganggap bahwa dunia adalah tempat yang aman, baik dan menyenangkan.
Sementara John Bowlby (1969), seorang psikoanalis, yang menekankan
pentingnya kelekatan pada tahun pertama kehidupannya, dan juga pentingnya
responsivitas pengasuh. Bowlby percaya bahwa bayi dan pengasuh primer secara
biologis sudah terdeposisi untuk membentuk attachment. Bayi akan menangis,
tersenyum, merengek, atau merangkak dan berjalan mengikuti ibu mereka. Secara
otomatis pengasuh primer akan selalu dekat dengan mereka. Bowlby (1969)
adalah yang pertama dalam menyajikan gagasan bahwa pengalaman pengasuhan
awal, yaitu seorang ibu yang mencatat sinyal dari seorang bayi yang tertekan atau
takut.
Orang tua merupakan figur penting dalam kehidupan seorang anak
terutama remaja. Hubungan dan peran orang tua pada masa remaja sangat penting
bagi perkembangan diri remaja (Dirgagunarsa 2004). Hubungan yang baik antara
orang tua dan remaja yang telah dibina sejak lahir akan menimbulkan adanya
kelekatan (attachment) atau ikatan relasi satu sama lain. Hetherington dan Parke
(2003) mengemukakan bahwa kelekatan adalah hubungan, mengembangkan

12
interaksi antara orang tua dan anak. Dari penelitian yang dilakukan oleh
Holmbeck ditemukan bahwa ikatan hubungan yang hangat, mendalam dan
berkualitas antara orang tua dan anak serta remaja mampu membantu anak pra
remaja dalam mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam dirinya. Orford
menemukan bahwa suatu hubungan yang berkualitas dapat dilihat dari seberapa
jauh hubungan tersebut memberikan fungsi-fungsi dukungan sosial yang penting,
seperti pertolongan, perhatian, suatu pengakuan, dan pendampingan. Berdasarkan
penelitian Coopersmith (dalam Borualogo 2004) diketahui bahwa orang tua
memiliki peranan penting dalam meningkatkan harga diri anak terutama pada
masa remaja.

Kelekatan Guru dengan Anak
Pianta (1999) mendefinisikan hubungan sebagai suatu sistem timbal balik
antara dua individu yang melibatkan interaksi, persepsi, dan karakteristik kedua
individu yang bersangkutan. Lebih lanjut lagi Pianta mengatakan bahwa
hubungan merupakan suatu hasil dari beberapa komponen kegiatan yang terjadi
berulang-ulang. Pianta (1999) menggambarkan hubungan sebagai refleksi dari
pembentukan interaksi dan persepsi antara satu individu dan individu lainnya.
Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa suatu hubungan merupakan perilaku interaktif
antar individu yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan atribut motivasional.
Kohn (dalam