Studies of vaccinated broiler chicken serologically and molecular using Infectious Bursal Disease (IBD) vaccine in different doses

(1)

VAKSIN INFECTIOUS BURSAL DISEASE (IBD) BERBAGAI

TINGKAT DOSIS

INDRIAWATI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Thesis Kajian Serologis Dan Molekuler Ayam Pedaging Yang Divaksinasi Menggunakan Vaksin Infectious Bursal Disease (IBD) Berbagai Tingkat Dosis adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2012

Indriawati


(3)

using Infectious Bursal Disease (IBD) vaccine in different doses.. Under direction of RETNO D. SOEJOEDONO and SRI MURTINI .

Disease of Infectious bursal disease (IBD) is a viral disease that causes economic losses to the poultry industry as it causes high mortality and immunosuppression. IBD disease prevention efforts carried out by means of vaccination and biosecurity. IBD vaccination of day old security needs to be investigated its ability to prevent infection. This study aimed to observe the serological response and clinical condition based on examination of molecular actively vaccinated with IBD vaccine at different dose levels of daily life and challenged with virus field isolates. A total of 180 chickens were divided into four groups: K1 (full dose), K2 (½ Dose), K3 (dose ¼) and K4 (Dose 0). The vaccine used was a live IBD vaccine strains intermediate. Observations carried out on five chickens from each group that includes: antibody titers, the ratio bursa weight/bodyweight and pathology images. Presence of field virus infection and the linical condition due to infection challenge was observed by PCR. Observations made on days 1, 7, 28 and 42. Observations showed that the full dose vaccinated chickens started to show positive antibody formation against IBD at day 28 after vaccination, while in chickens vaccinated with a half and a quarter dose positive antibody titers 42 days post-vaccination. Clinical observations showed that vaccinated chickens various dose levels showed the same clinical symptoms than the control group. Similarly to the results of PCR observations it appears that the chickens from the vaccinated group of IBD viruses detected. The results of this study suggest that active IBD day old vaccination is not effective in preventing infection of the field.


(4)

Menggunakan Vaksin Infectious Bursal Disease (IBD) Berbagai Tingkat Dosis. Dibimbing oleh RETNO D. SOEJOEDONO dan SRI MURTINI.

Kebutuhan protein hewani sebagaian besar dipenuhi dari ayam pedaging, Meningkatnya kebutuhan akan protein hewani (daging, telur, susu) diikuti oleh meningkatnya kebutuhan akan vaksin hewan. Akan tetapi masih terdapat kendala penyakit yang masih sering menyerang ternak ayam, diantaranya adalah penyakit

Infectious Bursal Disease (IBD), penyakit Newcastle Disease (ND) dan Infectious Bronchitis (IB). Ketiga penyakit tersebut saling berkaitan karena biasanya setelah ayam terserang IBD maka akan mudah terserang penyakit seperti IB dan ND.

Penyakit Infectious Bursal Disease (IBD) merupakan penyakit viral yang menyebabkan kerugian ekonomi pada industri perunggasan karena menyebabkan kematian tinggi dan imunosupresi. Usaha pencegahan penyakit IBD dilakukan dengan cara vaksinasi dan biosekuriti. Vaksinasi IBD aktif umumnya diberikan pada ayam umur 10-14 hari tergantung pada titer antibodi induknya. Peternak dilapangan memvaksinasi ayamnya untuk kepraktisannya pada umur sehari. Keamanan vaksinasi IBD umur sehari ini perlu diteliti kemampuannya dalam mencegah infeksi. Penyakit Infectious Bursal Disease (IBD) disebabkan oleh Birnavirus yang memiliki RNA utas ganda dan lima protein, yaitu VP1, VP2, VP3, VP4 dan VP5.

Organ target utama virus IBD adalah bursa fabrisius, tempat pemebentuk kekebalan utama pada ayam. Olhe karena itu penyakit ini bersifat imunosupresif, akibatnya, selama hidup ayam mudah terserang penyakit seperti ND dan IB. Penyakit IBD resisten terhadap lingkungan, oleh karena itu letupan akan terjangkitnya penyakit yang terjadi pada suatu peternakan masih dapat terjadi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati respon serologis dan kondisi klinis berdasarkan pemeriksaan molekuler pada ayam yang divaksin dengan vaksin IBD aktif strain intermediate berbagai tingkat dosis pada umur sehari dan ditantang dengan virus isolat lapang.

Sebanyak seratus enam puluh ekor ayam dibagi menjadi empat kelompok , yaitu K1 (dosis penuh), K2 (Dosis ½), K3 (Dosis ¼ ) dan K4 (Dosis 0). VAksin yang digunakan adalah vaksin virus IBD strain intermediate. Sebanyak 180 ekor ayam dibagi menjadi empat kelompok: K1 (dosis penuh), K2 (Dosis ½), K3 (Dosis ¼) dan K4 (Dosis 0). Vaksin yang digunakan adalah vaksin IBD live strain intermediate.

Pengamatan dilakukan terhadap lima ekor ayam dari setiap kelompok yang meliputi, titer antibody, rasio antara berat badan dengan berat bursa serta gambaran patologinya. Adanya infeksi virus lapang dan kondisi klinis akibat infeksi tantang diamati dengan teknik PCR untuk mendeteksi adanya virus dari bursa Fabricius ayam percobaan. Pengamatan dilakukan pada hari ke 1, 7, 28 dan 42 .. Hasil pengamatan menunjukan bahwa ayam yang divaksinasi dosis penuh mulai menunjukan positif terbentuknya antibodi terhadap IBD pada hari ke 28 setelah vaksinasi sedangkan pada ayam yg divaksin dengan setengah dan seperempat dosis titer antibodi positif 42 hari


(5)

divaksin terdeteksi adanya virus IBD. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa vaksinasi IBD aktif umur sehari tidak efektif dalam mencegah infeksi lapang.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

BURSAL DISEASE (IBD) BERBAGAI TINGKAT DOSIS

INDRIAWATI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Master Pada

Program Studi Bioteknologi

SEKOLAH PASCASARJANA JURUSAN BIOTEKNOLOGI

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

(9)

Nama : Indriawati

NIM : P051080071

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Drh. Retno D. Soejoedono, MS Dr. Drh. Hj. Sri Murtini, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Bioteknologi

Prof. Dr. Soeharsono, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc. Agr.


(10)

Aku persembahkan tesis ini untuk keluargaku yang selalu memberikan kasih, semangat dan penuh dukungan selama menjalankan masa perkuliahan. Untuk ketiga

matahariku: Maraden Pasaribu, Marvel Tiurnauli dan Muammar Awmory Pasaribu yang telah memberikan semangat untuk mama dan juga suami tercinta Juliaman Pasaribu yang terus memberikan dukungan baik moriil dan materiil, serta kedua orang tuaku Ayah H. Achmad Badri dan Ibu Hj. Asmawati yang selalu mendoakan


(11)

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelasikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan ummatnya hingga akhir zaman.

Tesis berjudul Kajian Serologis Dan Molekuler Ayam Pedaging Yang Divaksinasi Menggunakan Vaksin Infectious Bursal Disease (IBD) Berbagai Tingkat Dosis” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master pada Sekolah Pascasarjana Jurusan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari Thesis ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Drh. Retno D. Soejoedono, MS dan Dr. Drh. Hj. Sri Murtini, MSi sebagai pembimbing tesis yang telah banyak memberikan bimbingan, saran dan nasehat serta segala kemudahan dan fasilitas penelitian yang diperoleh selama penelitian hingga penyelesaian penulisan tesis.

2. Selain itu, ucapan terima kasih juga untuk Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA sebagai ketua program studi PS BTK serta seluruh dosen dan staf yang telah memberikan ilmunya selama ini.

3. Keluarga tercinta, Ayah, Ibu serta Adik-adikku yang terus mendoakan dan mendukung selama ini.

4. Dr. Endang T. Margawati (Ketua Kelti), M. Ridwan, Bang Handrie dan kawan-kawan di laboratorium Biologi Molekuler Hewan Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI Cibinong.

5. Rekan-rekan satu angkatan PS BTK Angkatan 2008 (Ari, Eka, Duti, Ety, Dedi dan Pak Zul) atas doa, motivasi, suka duka dan kekeluargaan selama ini.

6. Rekan-rekan MKM-FKH (Ita, Mega, Pak Kuswara, Selyn, Ade, Wahyu dkk) atas bantuan dan semangat yang diberikan selama penelitian berlangsung.

Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT, Amin.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini. Saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bogor, Maret 2012


(12)

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 28 April 1974 dari ayah H. Achmad Badri dan Ibu Hj. Asmawati. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara.

Penulis melewati pendidikan sekolah dasar (SD) di SDN 09 PAGI Jakarta dan lulus tahun 1986. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) di Madrasah Tsanawiyah Darut Tafsir Bogor, lulus tahun 1989 dan melanjutkan ke sekolah menengah umum (SMU) di SMU As-Syafi’iyah 01 Jakarta dan lulus tahun 1992 dan pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai mahasiswa S1 Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi S2 di Institut Pertanian Bogor dengan program studi Bioteknologi (BTK).

Selama menjalankan perkuliahan S1, penulis aktif mengikuti organisasi intrakampus antara lain sebagai anggota Biological Science Club (BScC), anggota Kelompok Studi Ekologi Perairan (KSEP) dan Kelompok Studi Primata. Mulai tahun 1999 Sampai saat ini penulis bekerja di laboratorium Biologi molekuler Hewan Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI yang penelitian utamanya adalah mengaplikasikan teknologi DNA marker pada ternak untuk sifat penting tertentu serta pembuatan bahan vaksin penyakit hewan dengan teknologi protein rekombinan. Penulis juga tercatat sebagai anggota Persatuan Mikrobiologi Indonesia (PERMI) cabang Bogor.


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Ayam Broiler ... 5

Penyakit Infectious Bursa Disease (IBD) ... 5

Virus IBD di Indonesia ... 9

Imunosupresi ... 10

Deteksi Virus IBD ... 11

Vaksin dan Vaksinasi IBD ... 13

MATEDOLOGI PENELITIAN ... 15

Tempat dan Waktu Penelitian ... 15

Bahan dan Alat Penelitian ... 15

Metodologi Penelitian ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

Sebelum Uji Tantang ... 21

Pasca uji Tantan ... 23

Imunosupresi ... 26

Uji Molekuler ... 27

KESIMPULAN DAN SARAN ... 31


(14)

DAFTAR TABEL

1. Perlakuan Vaksinasi IBD dan ND Pada Masing-masing Kelompok Ayam…. 16

2. Rataan Berat Bursa Kelompok Ayam... 22

3. Rataan Rasio Berat Bursa (g)/ Berat Badan Kelompok Ayam... 22

4. Rataan Skor Bursa Lesi Masing-masing Kelompok Ayam... 23

5. Pemeriksaan Pathologis Ayam Perlakuan………... 26


(15)

DAFTAR GAMBAR

1. Organisasi genom virus IBD... 6

2. Visualisasi struktur virus IBD menggunakan mikroskop electron... 7

3. Pohon filogenetik virus IBD ………... 10

4. Diagram batang titer antibodi IBD hari ke-7 dan 28... 21

5. Diagram batang rataan ELISA-IBD hari ke-42 ...………... 24

6. Gambaran pengamatan patologi anatomi……..………... 26


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia saat ini masih tergolong rendah dibandingkan dengan beberapa Negara ASEAN lainnya. Berdasarkan data Statistik Peternakan (2010) konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia sampai saat ini baru mencapai 8.5 Kg, sedangkan konsumsi daging ayam hanya 4.5 kg/kapita/tahun. Angka konsumsi tersebut merupakan yang terendah di antara negara-negara ASEAN. Sumber protein hewani utama saat ini berasal dari ternak unggas khususnya jenis ayam pedaging (broiler).

Perkembangan industri perunggasan terbukti terus meningkat meskipun besarannya setiap tahunnya masih berfluktuasi. Masalah utama industri perunggasan antara lain adalah banyaknya kasus penyakit yang menyebabkan penurunan produksi daging maupun telur, beberapa penyakit yang sering muncul di dunia perunggasan diantaranya yaitu dari kelompok penyakit viral seperti Avian Influenza, Newcastle Disease (ND), Infectious Bursa Disease (IBD atau Gumboro), Marek dan penyakit viral lainnya.

Penyakit Infectious Bursal Disease (selanjutnya disebut IBD) menyerang ayam muda berumur sekitar tiga sampai enam minggu. Penyakit ini mudah menular dan bersifat akut. Penyakit ini dikarakterisasi dengan rusaknya sel limfoid bursa fabricius (Sharma et al. 2000; Cereno 2004). Sejak ditemukannya 40 tahun yang lalu, penyakit ini merupakan masalah yang serius bagi industri unggas komersial.

Dampak ekonomi yang ditimbulkan penyakit ini bermacam-macam, termasuk kerugian akibat tingginya morbiditas dan mortalitas (Lukert dan Saif 2003). Dampak lainnya adalah imunosupresi pada ayam yang dapat bertahan terhadap infeksi IBD, diperburuk dengan infeksi agen penyakit lainnya, menurunnya kemampuan respon ayam terhadap vaksinasi dan masuknya produk unggas terinfeksi (Sharma et al. 2000; Toro et al. 2009).


(17)

Imunosupresi pada ayam menimbulkan infeksi sekunder yang umumnya berupa penyakit Newcastle Disease (ND), diketahui penyakit ND juga mempengaruhi perindustrian unggas. Peternak umumnya melakukan program vaksinasi bersamaan untuk penyakit IBD dan ND.

Tindakan pencegahan terhadap penyebaran virus IBD telah dilakukan dengan vaksinasi. Berbagai penelitian telah dilakukan berkaitan dengan efektifitas, efikasi, efek samping dan daya imunogenik vaksin. Usaha pencegahan penyakit IBD dengan vaksinasi banyak mengalami kegagalan (Partadiredja et al. 1981) dan kegagalan ini diduga disebabkan oleh adanya perbedaan struktur antigen antara subtipe (varian) virus IBD dalam serotipe yang sama (Partadiredja dan Soejoedono 1997). Virus varian mampu meniadakan kekebalan ayam yang divaksinasi.

Babiker et al. (2008) telah melakukan evaluasi terhadap vaksin komersial terhadap ayam komersial, namun masih terjadi outbreak pada sebagian populasi ayam komersial tersebut. Coletti et al. (2001) telah melakukan penelitian mengenai efikasi dan keamanan vaksinasi intermediate secara in ovo. Vaksinasi dapat memproteksi infeksi virus pada ayam SPF dan memberikan proteksi sebagian pada ayam komersial.

Vaksin yang beredar saat ini adalah vaksin IBD galur intermediate, disebabkan galur virus lapang yang ada di Indonesia adalah galur yang ganas. Vaksin galur mild

kurang memberikan respon terhadap infeksi penyakit IBD. Oleh karena itu dibuat vaksin lokal dari galur intermediate (Bahri dan Kusumaningsih 2005)

Vaksinasi umumnya diberikan pada umur dua minggu, dimana saat titer antibody asal induk sudah menurun. Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa kasus IBD sering terjadi pada ayam dengan umur dibawah 2 minggu. Oleh karena itu pada penelitian ini, akan diuji vaksinasi dengan vaksin IBD intermediate live pada ayam umur sehari dengan berbagai tingkatan dosis dan diuji dengan virus IBD galur lapang. Respon akibat vaksinasi tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran pengendalian penyakit akibat virus IBD pada tiap-tiap peternakan.


(18)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengamati respon serologis dan kondisi klinis berdasarkan pemeriksaan molekuler pada ayam yang divaksin dengan vaksin IBD aktif galur intermediate berbagai tingkat dosis pada umur sehari dan ditantang dengan virus galur lapang.

Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini, dengan mengetahui dosis yang tepat pada ayam pedaging umur sehari yang divaksinasi dengan vaksin IBD galur intermediate berbagai tingkatan dosis diharapkan dapat menjadi acuan bagi peternak dalam program vaksinasi, sehingga dapat mencegah timbulnya IBD pada ayam pedaging.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Pedaging

Ayam ras pedaging disebut juga broiler, yang merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging ayam. Sebenarnya ayam pedaging baru populer di Indonesia sejak tahun 1980-an dimana pemegang kekuasaan mencanangkan penggalakan konsumsi daging ruminansia yang pada saat itu semakin sulit keberadaannya.

Pedaging adalah istilah untuk menyebutkan galur ayam hasil budidaya teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat, konversi pakan yang baik dan dapat dipotong pada usia yang relatif muda sehingga sirkulasi pemeliharaannya lebih cepat dan efisien serta menghasilkan daging yang berkualitas baik (Rasyaf 2008).

Menurut Hardjoswaro dan Rukmiasih (2000), ayam pedaging dapat digolongkan kedalam kelompok unggas penghasil daging artinya dipelihara khusus untuk menghasilkan daging. Umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kerangka tubuh besar, pertumbuhan badan cepat, pertumbuhan bulu yang cepat, lebih efisien dalam mengubah ransum menjadi daging.

Penyakit Infectious Bursa Disease (IBD)

Tahun 1957 AS Cosgrove menemukan sindrom yang terjadi di peternakan ayam pedaging dekat Gumboro, Delaware. Sindrom ini kemudian dikenal dengan penyakit Gumboro karena daerah tempat penyakit yang mula-mula terjadi.

Penyakit ini sangat penting di dunia perunggasan karena terjadi kematian yang tinggi pada ayam muda (umur 3–6 minggu) dan merupakan penyakit imunosupresif apabila terjadi secara subklinis akan mengakibatkan reaksi terhadap vaksinasi rendah, serta ayam akan mudah terkena infeksi bakteri, protozoa, dan virus lain.


(20)

Virus IBD tergolong kedalam keluarga Birnaviridae dari genus Abivirnavirus

(Huang et al. 2004). Nama genus Birnaviridae dimaksudkan untuk menggambarkan virus yang memiliki dua segmen RNA utas ganda (Muller et al. 2003) dan dikelilingi oleh protein capsid berbentuk icosahedral simetri (Van Den Berg et al. 2004). Panjang segment A adalah 3.2 Kb sementara segmen B lebih pendek yaitu 2.8 Kb. Organisasi genom virus IBD dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Organisasi genom virus IBD (a); (b) modifikasi post translasi ORF segment A; NC= Sekuen non-coding (Van Den Berg. 2000).

Pada segmen A terdapat dua open reading frames (ORF). Utas tambahan pada segmen A memiliki monocistronic ORF yang panjangnya 3.039 pb (Van Den Berg 2000). Mundt et al. (2003) mengemukakan bahwa ORF yang pendek dengan panjang basa 438 pb sebagian bertumpuk pada ujung 5’ ORF pertama dan menyandikan protein nonstruktural VP5. Genome segmen B menyandikan VP1 (Boot et al. 2000). Protein ini bertanggung jawab terhadap sintesis mRNA dan replikasi genomnya, lebih lanjut ditunjukkan bahwa VP1 memiliki pengaruh pada efisiensi replikasi viral dan juga memodulasi virulensi virus secara in vivo (Liu dan Vakaria 2004).


(21)

Lejal et al. (2000) mengkarakterisasi lima protein virus IBD melalui analisa SDS-PAGE, yaitu VP1 (90 Kd), VP2 (40 Kd), VP3 (35 Kd), VP4 (28 Kd) and VP5 (21 Kd). VP1 memiliki polymerase dan aktivitas penangkapan enzim (Boot et al.

2000). Protein VP2 mengandung daerah antigenik yang bertanggung jawab untuk memicu netralisasi antibodi dan spesifisitas serotipe (Sharma et al. 2000).

Protein VP3 merupakan protein kedua dan menyusun sekitar 40% serta mengandung kelompok antigen spesifik dan sumber netralisasi antibodi (Becht dan Muller 1991). Baik protein VP2 maupun VP3 bertanggung jawab terhadap integritas struktur virus. Protein VP4 (6%) dan VP1 (3%) merupakan protein yang kecil yang menyusun protein virus. Protein VP5 dikodekan oleh ORF kedua yang sebagian bertumpuk (overlapping) dengan ORF kedua (Yao dan Vakharia 2001). Lombardo et al. (2000) mengamati bahwa ekspresi VP5 pada sistem sel berbeda menyebabkan efek sitotoksis hebat yang menghasilkan sel lisis dan disimpulkan bahwa VP5 berfungsi sebagai mematikan protein dan fungsi pada pelepasan virus.

Struktur virus IBD adalah non-envelop dengan diameter 60nm dan memiliki berat jenis 1.336 g/ml di CsCl (Kibenge dan Dharma 1997). Capsid pada virion mengandung lapisan tunggal 32 capsomer disusun dengan 5:3:2 secara asimetri (Hirai dan Shimakura 1974). Visualisasi struktur virus IBD dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur virus IBD menggunakan mikroskop electron. (a) partikel virus IBD; (b) struktur seperti tubula ketika VP2 terekspresi menggunakan sistem baculovirus; (c) Partikel seperti virus (VLP) jelas ketika poluprotein terekspresi via sistem baculovirus (Van Den Berg, 2000).


(22)

Penyebaran Virus IBD pada ayam komersial melalui infeksi secara oral atau pernafasan. Virus berpindah dari lambung ke jaringan lainnya lewat sel phagositis seperti makrofag. Di dalam usus makrofag berasosiasi dengan jaringan yang dapat dideteksi awal sekitar 4 jam setelah inokulasi oral menggunakan immunofluoresen (Van Den Berg et al. 2000). Lebih lanjut dikatakan oleh Van Den Berg et al. (2000). Virus kemudian mencapai bursa lewat darah dimana virus akan bereplikasi. Setelah 13 jam PI (post inoculation) ditemukan bahwa folikel terdapat virus IBD selanjutnya pada 16 jam PI kedua jelas terjadi viremia disertai dengan replikasi kedua pada organ lainnya yang dapat menyebabkan penyakit dan kematian.

Menurut Cereno (2004), sampai saat ini terdapat tiga galur virus IBD yang dapat dibedakan dari gejala klinisnya yaitu galur klasik, galur variant dan galur sangat virulen atau disebut juga vvIBD. Galur sangat virulen secara antigenik berhubungan dengan galur klasik dan secara antigenik berbeda dari galur varian dan virus serotipe 2 (Abdel-Alim and Saif 2001).

Organ target virus IBD adalah bursa fabricius (BF). BF mencapai perkembangan maksimum antara umur 3-6 minggu dan pada saat itu ayam rentan terhadap penyakit. Infeksi menghasilkan mortalitas tinggi selama masa akut penyakit atau penurunan sel B setelah masa penyembuhan dari penyakit (Van Den Berg 2000; Lukert dan Saif 2003). Ayam yang terinfeksi dengan virus IBD ketika berumur lebih dari 12 minggu tidak menunjukkan gejala klinis (Van Den Berg 2000).

Sel IgM termasuk target virus IBD. Selama fase akut penyakit IBD, bursa akan atrofi disebabkan sel B folikel bursa kosong. Replikasi virus menyebabkan kerusakan yang luar biasa pada sel limfoid dalam medulla dan daerah cortical folikel. Apoptosis sel B tetangga menambah kerusakan pada morfologi bursa. Pada saat yang bersamaan, sejumlah antigen viral dapat dideteksi pada organ lainnya (Kim et al.

2000).

Produksi antibodi distimulir pada situs awal replikasi viral didalam usus berasosiasi dengan jaringan dan virus ini dapat dideteksi cepat setelah 3 hari post infeksi. Antibodi ini menghindari penyebaran virus ke jaringan lainnya. Akibat


(23)

cepatnya serbuan antibodi, foci necrosis yang terbentuk di dalam BF terhenti berkembang dan sepenuhnya dieliminasi (Van Den Berg et al. 2004)

Virus ini tahan terhadap keadaan fisika maupun bahan kimia. Sehubungan dengan kestabilan dan kekuatannya, virus ini mempunyai resistensi terhadap berbagai macam desinfektan dan faktor – faktor lingkungan lainnya. Virus IBD akan tetap memiliki kemampuan menginfeksi sekurangnya selama 4 bulan di dalam lingkungan kandang ayam (Butcher dan Miles 2009). Virus ini tidak aktif pada pH 12, tahan terhadap suhu 370C selama 90 menit dan 560C selama 5 jam (Lukert and Saif 2003).

Virus IBD di Indonesia

Rudd et al. (2002) telah mendapatkan sekuen nukleotida yang lengkap dari virus IBD lapangan Indonesia isolat Tasik 94 serta sekuen asam amino dari segmen genom A dan B. Hasil sekuen menunjukkan adanya kemiripan dengan galur vvIBD yang beredar di Eropa, memiliki homologi nukleotida yang sangat besar (99,7 %) dengan vvIBD galur Belanda, yaitu D6948.

Parede et al. (2003) juga telah mengkarakterisasi virus IBD di Indonesia sebagai galur sangat virulen berdasarkan keunikan perubahan genetiknya, sedangkan Suwarno dan Rahardjo (2005) telah mengisolasi virus IBD di Lamongan dan Kediri, Jawa Timur. Diketahui bahwa berat molekul VP2 virus IBD dari daerah Jawa Timur adalah 44 kDa serta bersifat imunogenik yang dapat memicu produksi antibodi spesifik.

Mahardika dan Parede (2008), membandingkan sekuen virus IBD galur BalKar97 dan Neg98 dengan sekuen virus IBD di Indonesia (Rudd et al. 2002) serta sekuen virus IBD berbagai negara pada GenBank menggunakan piranti lunak CLUSTALW (MEGA3.1). Pada Gambar 3 dapat dilihat pohon filogenetik hasil analisis yang membagi dua kelompok virus IBD yaitu kelompok Amerika-Eropa dan Australia. Sebagian besar virus IBD Indonesia masuk dalam kelompok virus sangat virulen (vv-IBD), satu galur Indo 13 masuk dalam kelompok klasik dan sangat dekat dengan virus klasik Amerika, STC. Dikatakan bahwa keragaman virus IBD di Indonesia ini diduga terjadi karena adanya introduksi berulang ke Indonesia.


(24)

Gambar 3 Pohon filogenetik virus IBD (Mahardika dan Parede, 2008).

Imunosupresi

Imunosupresi adalah suatu kondisi terjadinya penurunan reaksi pembentukan zat kebal tubuh atau antibodi akibat kerusakan organ limfoid. Penurunan jumlah antibodi dalam tubuh, keadaan ini menyebabkan berbagai agen penyebab penyakit akan lebih leluasa masuk dalam tubuh ayam dan terjadilah infeksi. Hal tersebut akan menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan dan produksi.

Tanda-tanda terjadinya kasus imunosupresi adalah performa produksi yang jelek dari suatu flok peternakan, akibat terjadinya kematian dalam jumlah banyak, pencapaian berat badan rendah, konversi pakan rendah dan keseragaman pertumbuhan berat badan ayam rendah, serta banyaknya ayam yang kerdil. Selain itu,


(25)

meningkatnya gangguan pernafasan pada unggas setelah vaksinasi dan terjadinya wabah penyakit pada suatu peternakan. Hal tersebut dapat disebabkan adanya reaksi suboptimal terhadap vaksinasi. Gambaran perubahan patologi anatomi pada kasus imunosupresi adalah terjadinya atrofi pada bursa fabricius dan rasio perbandingan ukuran antara bursa fabrisius dengan limpa. ukuran bursa fabrisius yang sama atau lebih kecil dari limpa, pada lima minggu pertama umur ayam, dapat mengindikasikan bahwa telah terjadi kasus imunosupresi (Sharma et al. 2000).

Efek imunosupresi virus IBD bergantung pada galur virus yang menginfeksinya. Ayam terinfeksi virus IBD pada umur muda dapat mengalami kematian karena infeksi lain seperti hepatitis, reovirus, coccidiosis, Marek, hemorrhagic-aplastic anemia dan dermatitis, infectious laryngotracheitis, infectious bronchitis, chicken anemia agent, salmonellosis, Escherichia coli, colibacillosis, Mycoplasma synoviae dan Eimeria tenella (Ming et al. 2000).

Deteksi Virus IBD Serologi

Uji secara serologi yang umum digunakan untuk mendeteksi virus IBD adalah

Enzymed Linked Immunosorbent Assay (ELISA), Virus Neutralization (VN) dan

Agarose Gel Precipitation (AGP). ELISA adalah uji yang paling umum digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap virus IBD. Uji ini ekonomis, sederhana, cepat dan dapat menguji sampel dalam jumlah banyak pada waktu yang bersamaan dan dapat diautomasikan pada perangkat lunak komputer (Alkhalaf 2009). ELISA juga dapat mengkuantifikasi antibodi terhadap virus IBD sehingga dapat digunakan untuk mengamati status kekebalan suatu populasi ayam untuk mengamati respon vaksinasi serta ekspos alami di lapang dan titer ntibodi asal induk (Wang et al. 2008). ELISA tidak dapat membedakan antibodi spesifik dua serotipe virus, umumnya virus dengan serotipe 2 yang tersebar pada ayam komersial dan dapat menimbulkan kesan tingginya tingkat antibodi populasi ayam tersebut (Ashraf et al. 2006).

Uji VN dapat membedakan serotipe 1 dan 2 virus IBD serta dapat membedakan antibodi yang berasal dari virus IBD subtipe berbeda. Terdapat 6 subtipe antigen pada


(26)

serotipe 1 yang telah diidentifikasi dengan uji VN. Titer VN yang akurat mencerminkan daya proteksi relatif ayam terhadap virus IBD. Penelitian proteksi silang secara in vivo dapat digunakan untuk mendeteksi perbedaan antigenik antar galur virus dan mendeterminasi imunogenisitas virus dan mengamati respon inang secara lengkap (Jackwood et al. 2001).

Metode lain yang digunakan untuk mendeteksi virus IBD adalah dengan uji Agarose Gel Presipitasi (AGP), Uji ini merupakan uji kuantitatif yang cepat, tetapi tidak sensitif. AGP tidak dapat mendeteksi perbedaan serotipe dan mengukur permulaan antigen soluble kelompok-spesifik (Lukert dan Saif 2003).

Molekuler

Penelitian secara in vivo untuk membedakan galur virus IBD membutuhkan waktu lama dan mahal. Oleh karena itu karakterisasi galur virus IBD dilakukan secara molekuler karena lebih efisien, cepat dan akurat (Jackwood dan Sommer-wagner 2010; Mardassi et al. 2004 dan Rudd et al. 2002). Penelitian terhadap galur virus yang virulen di Indonesia secara molekuler telah dilakukan oleh Parede et al. (2003) dan Rudd et al. (2002). Keduanya menyatakan bahwa virus IBD di Indonesia adalah virus galur virulen yang memiliki mutasi substitusi asam amino serin pada posisi 222. Analisa RT-PCR dan RFLP telah secara ekstensif digunakan untuk mendeteksi dan mendiagnosa galur virus IBD oleh Ozbey et al. (2003).

Jackwood dan Sommer-wagner (2002) membagi kelompok virus IBD berdasarkan pada situs ensim restriksi, yang berasal dari mutasi nukleotida yang tidak selalu merubah asam amino. Berdasarkan profil RFLP dan sekuen nukleotida dapat digunakan untuk memprediksi perbedaan antara galur IBD, namun pengujian in vivo

penting untuk mendeteksi perbedaan antigenik yang aktual. Banda dan Villegas (2004) menggunakan metode molekuler untuk membedakan antara galur klasik, varian dan sangat virulen, selain itu juga dapat mendeteksi perbedaan subtipe antigen secara genetik. Metode Multiplex Polymerase Chain Reaction (MPCR) juga telah digunakan oleh Caterina et al. (2004) untuk membedakan virus avian adenovirus group I, avian reovirus, infectious bursal disease dan anemia ayam dari sampel feses.


(27)

Teknik ini lebih sensitif, spesifik, lebih murah serta dapat digunakan untuk diagnosis, penapisan dan pengamatan pada populasi ayam (Caterina et al. 2004).

Vaksin dan Vaksinasi IBD

Prinsip utama vaksinasi terhadap penyakit adalah vaksin tersebut harus dapat menstimulasi pembentukan antibodi secara cepat dan tinggi. Tindakan pencegahan penyakit lainnya dilakukan dengan tindakan biosekuriti yang ketat untuk mencegah jumlah virus lapang lebih besar dari jumlah antibodi yang terbentuk dalam tubuh ayam. Jumlah virus lapang yang tidak dapat diperkecil oleh tindak biosekuriti akan menyebabkan titer antibodi yang dihasilkan oleh vaksin akan tidak mampu untuk mencegah terjadinya penyakit.

Butcher dan Miles (2009), telah membagi vaksin IBD menjadi tiga kategori berdasarkan patogenisitas virus, yaitu mild, intermediate dan virulent. Tipe virus IBD

intermediate adalah yang paling umum digunakan sebagai seed vaksin. Vaksin ini dapat menstimulir ayam pedaging untuk menghasilkan antibodi lebih cepat daripada vaksin tipe-mild, tanpa kerusakan yang signifikan pada bursa dibandingkan dengan penggunaan vaksin tipe virulent.

Pada umumnya vaksinasi IBD dilakukan pada umur muda, mulai telur/embrio sampai ayam berumur 5 minggu. Vaksinasi dilakukan dengan tujuan mencegah atau menurunkan masalah infeksi virus dari lapangan. Tujuan yang kedua adalah untuk menaikkan status kebal dari ayam. Umumnya anak ayam mendapatkan perlindungan antibodi asal induk sampai umur 2-5 minggu. Perkembangan sistem kekebalan menjadi lebih matang dengan meningkatnya umur dan titer antibodi asal induk akan turun hingga 0 secara alamiah. Kondisi inilah yang dinamakan dengan penurunan antibodi asal induk (Saif 2002).

Tindakan pencegahan infeksi IBD lainnya adalah menggunakan vaksin virus rekombinan. Vaksin ini dirancang untuk menghindari interferensi antibodi asal induk. Vaksin rekombinan ini biasanya berdasarkan insersi gen yang mengkodekan protein virus IBD yang imunogenik pada vector viral apathogenik. Rong et al. (2005) menggunakan segmen A (VP2, VP4 danVP3) sebagai insersi gen yang diekspresikan


(28)

kedalam vector pET21a dan ditranformasikan ke dalam sel Eschericia coli. Vaksinasi dengan vaksin rekombinan ini digunakan secara intramuscular. Zhou et al. (2010) melakukan penelitian menggunakan vaksin protein rekombinan IBDV-VP2 pada ayam pedaging dan ayam white leghorn (SPF) di Beijing. Dinyatakan bahwa ayam SPF dan ayam pedaging yang divaksinasi oleh protein rekombinan memiliki daya proteksi yang lebih stabil dan aman dibandingkan dengan ayam yang divaksin oleh vaksin live yang dilemahkan.


(29)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan masyarakat veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan dan Kandang terpadu Kampus IPB Dramaga, Bogor. Penelitian dilakukan mulai dari Bulan September – November 2011

Bahan dan Alat Penelitian

Ayam pedaging umur sehari (DOC) beserta pakan, vaksin IBD Blend M galur intermediate komersial, Virus IBD isolat lapang (Balitvet), ELISA kit IBD (Biocheck), RNEasy Protect Mini Kit QIAGEN, Access quick RT-PCR System

(PROMEGA), Plat ELISA dan ELISA Reader Metode Penelitian Hewan coba.

Seratus enam puluh ekor DOC digunakan pada penelitian ini. Sebanyak dua puluh ekor DOC ditimbang dan diambil sampel darahnya. Ayam dimatikan dan diambil organ BFnya ditimbang dan diamati kondisinya. Selanjutnya sisa ayam sebanyak 140 ekor dibagi menjadi empat kelompok dengan 35 ekor setiap kelompoknya. Pembagian kelompok ayam percobaan dilakukan secara random (Tabel 1).

Kelompok Percobaan dan Vaksinasi.

Kelompok K1, K2, dan K3 diberikan vaksin IBD aktif galur intermediate

dengan dosis vaksinasi 102 EID50 (untuk dosis penuh), 50 EID50 (dosis ½) dan 25 EID50 (dosis ¼), kelompok K4 divaksinasi dengan ND tetes tetapi tidak divaksin dengan IBD. Dosis perlakuan pada setiap kelompok ayam dapat dilihat pada Tabel 1.


(30)

Tabel 1 Perlakuan vaksinasi IBD dan ND pada masing-masing kelompok ayam

Perlakuan Kelompok ayam perlakuan

K1 (IBD penuh)

K2 (IBD ½)

K3 (IBD ¼)

K4 (IBD 0)

Vaksinasi ND dan IBD    -

Challenge dengan virus IBD  (10 ekor)  (10 ekor)  (10 ekor)  (10 ekor)

Koleksi darah    

Timbang BB    

Koleksi BF    

Uji Tantang dengan Virus IBD.

Isolat virus IBD lapang lokal diperoleh dari Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET), Cimanggu, Bogor. Virus IBD diinfeksikan pada ayam umur 28 hari sebanyak 0.2ml/oral/ekor. Ayam yang ditantang ditempatkan dalam kandang terpisah.

Peubah yang diamati.

Parameter yang digunakan untuk mengamati efek vaksinasi dan uji tantang dengan virus IBD adalah dengan mengambil sampel darah, penimbangan bobot badan, sampling bursa fabricius, limpa. pengamatan gejala klinis dan kematian. Uji serologi dengan uji HI untuk deteksi antibodi terhadap ND dan ELISA untuk deteksi antibodi anti IBD serta konfirmasi keberadaan virus IBD secara molekuler.

Peubah yang diamati meliputi :

1. Bobot Badan dan Bursa Fabricius.

Penimbangan bobot badan (g) dan bursa (g) dilakukan pada setiap individu kelompok percobaan seminggu sekali. Rasio bobot badan dan bursa dihitung dalam satuan persen. Hasil perhitungan pada setiap kelompok percobaan dibuat grafik. Rumus perhitungan ratio Bursa Fabricius menurut European Pharmacopoeia 5.0 (2005) dengan bobot badan sebagai berikut:

Ratio Bursa Fabricius dengan bobot badan = Bursa Fabricius (g) x 100%


(31)

2. Titer antibodi terhadap IBD

Pengambilan sampel darah dimulai pada hari ke-0 untuk mengetahui tingkat antibodi asal induk (maternal antibody=MA). Masing-masing kelompok ayam percobaan pada hari ke-7 dan 28 (sebelum diuji tantang) dan pada hari ke-42 (setelah uji tantang, akhir dari penelitian), diambil sepuluh ekor dan diambil darahnya untuk dikoleksi serumnya. Darah yang dikoleksi disimpan dalam lemari pendingin selama semalam supaya sel darah merah dan serum ayam terpisah. Serum ayam disimpan dalam tabung mikro 1.5 ml steril pada suhu -20OC sampai akan dianalisa selanjutnya.

3. Perubahan patologis

Gambaran patologis ayam percobaan diamati pada hari ke 7, 28 dan 42 setelah vaksinasi dan penantangan. Perubahan patologi dicatat dan diskoring.

Uji Serologis

Uji Haemagglutinasi – Inhibisi (HI).

Seluruh sumur microplate V bottom 1-12 diisi dengan PBS steril masing-masing 25 l. Serum yang akan diuji dan masukkan kedalam sumur pertama sebanyak 25 l kemudian lakukan pencampuran serum dengan PBS pada sumur pertama dengan cara mengambil dan mengeluarkan cairan tersebut dengan pipet mikro sebanyak lima kali sebanyak 25 l dari sumur pertama kemudian pindahkan ke sumur kedua dan lakukan pencampuran seperti di atas, selanjutnya pindahkan 25 l ke sumur ke- 3, begitu seterusnya sampai sumur ke 12. Larutan pada sumur ke- 12 diambil 25 l dan dibuang. Seluruh sumur selanjutnya ditambahkan suspensi virus standar (4 HAU) masing-masing 25 l Microplate digoyang-goyang kemudian diinkubasikan pada suhu 4oC selama 60 menit. Selanjutnya ditambahkan 25 l suspensi sel darah merah 1% ke dalam seluruh sumur.

Microplate kembali dikocok dengan menggoyang-goyangkannya, kemudian diinkubasikan pada suhu 4oC selama 60 menit. Selanjutnya dilakukan pembacaan


(32)

hasil saat kontrol positif sudah membentuk drop eye. Hasil pembacaan uji HI dihitung titernya dan dibuat nilai rata-rata Geometric Titre Mean (GMT).

Uji ELISA-IBD.

ELISA dilakukan mengikuti prosedur kit ELISA IBD dari Biocheck(Babiker, 2008b). Serum sampel diencerkan dengan perbandingan 1:500 dengan bufer pengencer. Kontrol negatif dimasukkan pada lubang A1 dan A2 pada plate yang sudah ditempeli dengan antigen, kontrol positif pada A3 dan A4. Reference

Kontrol berada pada lubang A5. Serum yang telah diencerkan dimasukkan pada lubang A6, A7, A8 dan seterusnya. Plate tersebut diinkubasi pada suhu 22-270C selama 30 menit. Selanjutnya dicuci selama 3-5 kali dan ditambahkan konjugat pada semua lubangnya. Inkubasi juga dilakukan selama 30 menit pada suhu yang sama. Setelah itu plate dicuci 3-5 kali, dan diteruskan dengan penambahan substrat dan diinkubasi selama 15 menit. Pada saat inkubasi tepat 15 menit, ditambahkan

stop solution untuk menghentikan reaksi pada plate. Selanjutnya plate dibaca absorbansinya, yang kemudian dikonversikan ke dalam titer. Pembacaan hasil ELISA dilakukan dengan melewatkan plat ELISA pada mesin ELISA pada panjang gelombang 405nm. Hasil absorbansi yang muncul dibandingkan dengan standar yang sudah ditetapkan menurut petunjuk yang ada pada kit tersebut dan dibuat rata-rata nilai Geometric Titre Mean (GMT).

Uji Molekuler

Pengujian secara molekuler dilakukan untuk mengkonfirmasi virus yang menginfeksi ayam adalah virus IBD. Primer yang digunakan untuk pengujian ini adalah spesifik untuk virus IBD.

Isolasi RNA. Total RNA diperoleh dari organ BF menggunakan kit RNEasy

Protect Mini Kit, QIAGEN mengikuti prosedur yang disarankan. Sebanyak 30 mg organ Bursa fabricius digerus bersama dengan nitrogen cair menggunakan mortar


(33)

500µl bufer lisis kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12.000rpm selama 1 menit. Supernatan yang terbentuk di pindahkan ke tabung mikro baru dan steril secara hati-hati dengan pipet mikro. Ke dalam tabung ditambahkan 500µl bufer RLT dan pipetted supaya homogen. Sebanyak 750 µl campuran ini dimasukkan kedalam kolom QIAGEN dan diinkubasi pada suhu ruang selama 1 menit selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 1 menit, selanjutnya kedalam kolom ditambahkan 750 µl bufer pencuci RW dan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 12.000rpm selama 3 menit. Pencucian kolom dilakukan sebanyak dua kali. Ke dalam kolom ditambahkan bufer elusi sebanyak 50µl dan disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 1 menit. Hasil elusi (total RNA) digunakan untuk proses RT-PCR.

Reverse transcription-PCR (RT-PCR). Uji RT-PCR dilakukan menggunakan pasangan primer yang mengamplifikasi daerah 672pb vVP2 (Li et al. 2009).

Primer forward yang digunakan yaitu 5’-GCCGATGATTACCAATTCTCATC-3’

dan primer reverse 5’-CCGGATTATGTCTTTGAAGC-3’. Pereaksi RT-PCR menggunakan RT-PCR Access Quick (PROMEGA), sebagai berikut: 5x AMV Tfl PCR Buffer; 10mM dNTP mix; 25mM MgSO4; 10pmol Primer F; 10 pmol primer R; 5U/ul Tfl Polymerase. Campuran PCR diinkubasi pada suhu 42oC selama 45 menit. cDNA sebagai cetakan DNA diamplifikasi pada PCR sebanyak 36 siklus pada 95oC selama 1 menit , 56oC selama 45 detik dan 72oC selama 50 detik. Suhu perpanjangan akhir 72oC selama 10 menit .

Hasil RT-PCR dilewatkan pada 2% gel agarose dalam 1x TBE, bufer yang digunakan adalah 1x TBE. Voltage yang digunakan yaitu 100V selama 60 menit. Gel agarose kemudian di rendam dalam larutan ethidium bromide selama 15 menit. Gel agarose diletakkan di atas UV transilluminator untuk melihat pita yang muncul. Hasil elektroforesis kemudian didokumentasikan.


(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan terhadap semua kelompok ayam sebelum vaksinasi menunjukan bahwa ayam yang digunakan memiliki antibodi terhadap IBD cukup tinggi dan seragam dengan titer antara 3.584–3.585. Antibodi yang terdeteksi tersebut merupakan antibodi asal induk. Tingginya titer antibodi asal induk disebabkan anak ayam masih memperoleh IgY yang berasal dari kuning telur yang diturunkan dari induk ke anak melalui kuning telur (Lukert dan Saif 2003). Antibodi asal induk yang tinggi dapat menetralisir serangan virus asal lapang/lingkungan.

Sebelum Uji Tantang

Hasil pengamatan bedah bangkai dan pemeriksaan patologis hari ke-0 (sebelum perlakukan dimulai) tidak menunjukkan adanya perubahan pada organ BF (ayam dalam kondisi normal). Hal ini diperkuat dengan tidak adanya lesi pada bursa (skor bursa lesi = 0). Selain itu pada ayam tidak tampak adanya paparan virus IBD lapang maupun penyakit lainnya. Respon kekebalan tubuh ayam pada hari ke-7 dan 28 setelah vaksinasi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28.

Hasil pengamatan menunjukan bahwa rataan titer antibodi hari ke-7 pada kelompok yang tidak divaksin (K4) lebih tinggi (4.608) dibandingkan dengan kelompok K1 (2.894) dan K2 (3.860) dan K3 (2.976) yang divaksinasi. Tingginya rataan titer antibodi pada ayam kelompok K4 (dosis 0) hari ke-7 disebabkan masih terdapat antibodi asal induk dan bukan merupakan antibodi yang terbentuk dari hasil vaksinasi, karena ayam pada kelompok tersebut tidak divaksinasi IBD. Hal ini sesuai


(35)

dengan pernyataan Cookson (2011), bahwa paruh waktu antibodi asal induk (MA) adalah 6-8 hari. Ayam yang divaksin (kelompok K1, K2 dan K3,) antibodi asal induk mengalami penurunan diduga karena ada netralisasi virus vaksin yang masuk oleh antibody asal induk sehingga menurunkan rataan titernya. Dengan demikian antibodi menjadi lebih rendah dibandingkan K4.

Pada Gambar 4, menunjukkan hasil pemeriksaan titer antibodi IBD pada pengamatan hari ke-28 dari kelompok K1 (dosis penuh) memiliki titer antibodi yang paling tinggi (3.899), dibanding kelompok ayam yang divaksin dengan setengah dan seperempat dosis. Kelompok 1 dengan dosis penuh akan memberikan repson kekebalan tubuh yang maksimal dibandingkan kelompok lainnya. Rendahnya jumlah antigen vaksin IBD yang diberikan pada ayam kelompok K2 dan K3 tidak mampu menginduksi kekebalan yang cukup. Hal itu tampak dari titer antibodi kelompok K2 dan K3 yang rendah bahkan lebih rendah daripada kelompok ayam yang tidak divaksin. Pada kelompok K4 titer antibodinya menurun karena antibodi induk telah termetabolisme dan mulai menghilang setelah umur 14 hari. Rendahnya antibodi pada kelompok K2 dan K3 selain berkaitan dengan rendahnya antigen vaksin yang masuk, juga terkait dengan mengecilnya BF dari kelompok tersebut seperti tampak pada Tabel 2.

Tabel 2 Rataan Berat Bursa Fabricius Kelompok Ayam

Kelompok Ayam

Pengamatan Hari ke

0 7 28 42 42T*

K1

0.0562

0.280 0.960 0.748 0.790

K2 0.220 0.900 0.700 0.528

K3 0.196 1.200 0.748 0.635

K4 0.074 1.380 2.056 0.659

Ket: *42T= Kelompok Tantang

Tabel 3 Rataan Rasio Berat Bursa (g)/ Berat Badan Kelompok Ayam

Umur (hari) Kelompok Percobaan

K1 K2 K3 K4

7 1.829 1.761 1.513 0.968

28 0.670 0.613 0.771 1.413

42 0.368 0.328 0.318 1.754

42T* 0.488 0.295 0.337 0.419


(36)

Tabel 4 Rataan Skor Bursa Lesi Masing-masing Kelompok Ayam

Umur (hari) Kelompok Percobaan

K1 K2 K3 K4

28 0.6 0.4 0.2 0.4

42 1.2 0.6 1.2 0.4

42T* 1.2 1.2 1.2 2.0

Ket: *42T= Kelompok Tantang

Tabel 4, menunjukkan skor bursa lesi pada pengamatan hari ke-28 masih di bawah 1, hal ini mengindikasikan belum terjadi perubahan pada organ bursa fabricius. Lesi bursa lebih besar sama dengan dua mengindikasikan kerusakan bursa fabricius yang parah. Pada ayam yang divaksinasi usia sehari umumnya mengalami atropi pada bursa akibat adanya infeksi virus vaksin.

Berdasarkan aturan FOHI (DitJen Bina Usaha Peternakan 2007), vaksin IBD yang baik tidak menyebabkan atropi atau rasionya diatas 0.7. Pemberian vaksin hari pertama dosis penuh dan setengah telah menyebabkan atrofi pada BF hari ke 28-42 setelah vaksinasi karena nilai rasionya dibawah 0.7. Atrofi ini terjadi akibat kerusakan sel-sel B pada BF sehingga folikel limfoid menjadi mengecil. Kerusakan pada organ BF akan menyebabkan penurunan kemampuan pembentukan kekebalan terhadap antigen lainnya (Sharma et al. 2000). Selain itu, menurunnya titer antibodi IBD dapat disebabkan oleh terjadinya proses netralisasi. Netralisasi merupakan proses terjadinya pengikatan antara antibodi dengan virus vaksin yang akan mencegah virus mencapai sel target dengan cara mencegah interaksi dari ikatan permukaan virus dengan sel reseptor atau menghalangi internalisasi pelepasan secara intraseluler (Campbell et al. 2004)

Pemeriksaan bedah bangkai (necropsy) menunjukkan efek hasil akibat vaksinasi, yaitu terdapatnya ptechiae pada otot dada dan paha, serta pada organ BF terdapat eksudat, kekuningan (yellowish) dan ptechiae. Menurut Alan et al. (2000) gejala tersebut merupakan efek samping vaksinasi jika menggunakan vaksin aktif, yaitu berupa pembengkakan dan perdarahan pada organ bursa, penekanan sistem imun diikuti oleh kematian.


(37)

Pasca Uji Tantang

Hasil rataan titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-42 kelompok ayam yang tidak ditantang maupun yang ditantang dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil pengamatan menunjukan rataan titer antibodi terhadap IBD paling tinggi adalah kelompok K2 (dosis ½) sebesar 5.639, lalu K3 (4.771), sedangkan pada K1 rataan titer antibodi lebih rendah 3.899.

Gambar 5 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-42

Peningkatan titer antibodi pada hari ke 42 (2 minggu setelah penantangan) merupakan respon booster dari masuknya infeksi virus lapang yang di berikan. Pada ayam kelompok K1 titernya tidak setinggi kelompok K2 maupun K3 dan K4, karena pada kelompok ini sebelum infeksi titer antibodinya cukup tinggi (3.899). Titer tersebut termasuk protektif sehingga virus lapang yang masuk bisa di netralisasi, dengan demikian titer virus booster-nya menurun sehingga antibodi yang dihasilkan lebih rendah. Berbeda dengan ke tiga kelompok lainnya, sebelum infeksi titer antibodi terhadap IBDnya rendah (di bawah titer protektif 3000), sehingga ketika virus tantang masuk, antigen virus tersebut bertindak sebagai booster kekebalan ayamnya sehingga titer antibodinya meningkat. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan (Van Den Berg 2000) yang menyatakan bahwa uji secara serologi tidak dapat membedakan antara antbodi yang diinduksi oleh virus IBD patogen dan yang diinduksi oleh virus vaksin yang dilemahkan, sehingga titer antibodi yang tinggi pada suatu flok terinfeksi dapat disebabkan oleh respon infeksi virus .

Hasil pengujian titer antibodi ini sejalan dengan gambaran rasio bursa dengan bobot badan (Tabel 3). Pada kelompok K1 yang ditantang memiliki rasio paling besar dibanding kelompok lainnya, hal ini menunjukan kelompok lain mengalami atrofi,


(38)

bursa, yang ditunjukkan dengan berat bursa yang lebih ringan (Tabel 2). Dibandingkan dengan kelompok yang tidak ditantang, semua kelompok tantang mengalami atrofi bursa. Kejadian atrofi bursa disebabkan masuknya virus ke dalam tubuh ayam mengikuti aliran darah menuju organ target yaitu BF. Didalam organ bursa virus berproliferasi menyebabkan bursa atrofi pada hari pengamatan ke-42 (Tabel 2).

Selama masa uji tantang (hari ke-28 sampai hari ke-42), juga diamati perubahan yang terjadi baik pada ayam yang ditantang maupun ayam yang tidak ditantang. Pada ayam yang tidak ditantang, tidak ditemukan perubahan tingkah laku ayam. Kelompok ayam yang ditantang di temukan perubahan pola nafsu makan, minum serta performan yang berupa ayam lesu, kurang nafsu makan, selalu minum, diarea dan bulu yang mengkerut.

Tabel 5 Pemeriksaan Patologis Ayam Perlakuan Pengamatan

Hari Ke

Kelompok Ayam

K1 K2 K3 K4

0 Normal

7 Normal

28 Ptechiae pada otot dada dan paha Eksudat pada BF

Ptechiae pada otot dada dan BF  Catharalis eksudat

pada BF

Catharalis eksudat pada BF

 Ptechiae pada BF  Yellowish pada BF

BF normal

42 BF atrofi

 Ptechiae pada otot dada dan paha Limpa

membengkak ½ follicle atrofi BLS moderat

BF atrofi

 Ptechiae pada otot dada dan paha Limpa membengkak Catharalis eksudat

pada BF BLS mild

 Ptechiae di otot paha dan dada

BF atrofi Plica atrofi Catharalis eksudat

pada BF BLS mild

normal

42T*  Ptechiae pada otot paha dan dada Perkejuan eksudat

pada BF Limpa atrofi

 Ptechiae pada otot dada, paha dan BF Limpa membengkak BLS mild

 Ptechiae pada otot dada dan paha (++++) BF atrofi

BLS moderat

Ket: *42T= Kelompok Tantang

Data gambaran patologis setiap kelompok ayam dapat dilihat pada Tabel 5. Kelompok ayam K4 (dosis 0) mengalami perubahan patologi berupa ptechiae pada otot dada dan paha, atrofi bursa, limpa membengkak, terdapat eksudat pada bursa serta otot dada yang seperti direbus (putih). Gambaran patologi pada K1, K2 dan K3


(39)

menunjukkan gejala yang sama dengan K4 (Tabel 5). Gambaran PA (Tabel 5) serta data ratio bursa (Tabel 3) menunjukkan bahwa program vaksinasi yang dilakukan pada ayam umur sehari belum efektif untuk menghadapi serangan virus IBD hasil uji tantang yang merupakan galur lapang (virus isolat lokal).

Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Hair-Bejo et al. (2004), program vaksinasi pada ayam umur sehari dengan vaksin jenis intermediate tidak cukup efektif menghadapi penyakit IBD. Pada perlakuan dosis penuh (K1) belum terbukti akan memberikan daya proteksi yang lebih baik dan efektif jika dibandingkan dengan ayam kelompok K2 dan K3 vaksinasi dengan dosis yang lebih rendah. Dosis penuh memicu pembentukan antibodi yang lebih cepat, namun efek samping juga lebih berat jika dilihat dari perubahan anatomi yang dapat merusak performa ayam (adanya ptechiae pada otot dada dan paha) (Gambar 6).

Gambar 6 Gambaran patologi anatomi ayam terserang penyakit IBD (a) Haemorrhage pada otot paha; (b) Ptechiae pada otot dada; (c) Ptechiae pada otot paha dan (d) BF dan limpa ayam.

Imunosupresi

Virus IBD merupakan virus yang unik, ketika ayam terinfeksi virus IBD maka ayam titer antibodi terhadap IBD tinggi, namun secara bersamaan terdapat penurunan

(a)

(d) (c)


(40)

titer antibodi terhadap penyakit lain. Pada Tabel 6 dapat dilihat pemeriksaan titer antibodi terhadap ND, pada pengamatan hari ke 28 untuk K3 dan K4 tidak berubah (2.40), sedangkan titer antibodi terhadap IBD masih tinggi (Gambar 4). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ali et al. (2004), yaitu ayam yang di vaksinasi dengan vaksin virus ND galur LaSota memberikan pengaruh berlawanan dengan vaksin IBD live sehingga menurunkan titer antibodi terhadap ND.

Pada Hari ke-42 kelompok ayam yang tidak ditantang K1 dan K2 mengalami peningkatan titer antibodi ND yaitu 1.63 dan 3.00 sedangkan titer antibodi IBD juga tinggi (Gambar 3), hal ini mengindikasikan bahwa pada dosis vaksin IBD penuh dan setengah masih mampu mnginduksi pembentukan antibodi terhadap ND maupun IBD. Namun untuk kelompok ayam K3 dan K4 telah terjadi penurunan titer antibodi terhadap ND berbanding terbalik dengan titer antibodi IBD yang tinggi (Gambar 5), hal ini menunjukkan telah terjadi efek imunosupresi pada K3 dan K4.

Tabel 6 Rataan Titer Antibodi terhadap ND (log2)

Kelompok Ayam

Pengamatan Hari ke

0 7 28 42 42T*

K1

6,05

2,80 1,10 1,63 2,20

K2 2,90 0,80 3,00 1,75

K3 2,40 2,40 0,20 1,50

K4 2,40 2,40 2,00 0,70

Ket: *42T= Kelompok Tantang

Kesulitan keberhasilan program vaksinasi telah diteliti oleh Soejoedono (1996) yang menyatakan bahwa terdapat 24 galur virus IBD di Indonesia yang merupakan serotipe I dan berbeda secara antigennya dengan vaksin IBD impor. Menurut Parede et al. (2003) virus IBD mudah bermutasi karena memiliki dua utas RNA, hingga saat ini virus IBD yang tersebar di Indonesia telah mengalami evolusi dari vvIBD asalnya. Mutasi yang ditimbulkan dapat menyebabkan vaksin yang ada di pasaran(komersial) tidak secara optimal melindungi ayam terhadap infeksi virus IBD galur lokal.


(41)

Uji Molekuler

Konfirmasi keberadaan virus IBD dilakukan menggunakan metode Reverse-Transcriptase Polimerase Chain reaction (RT-PCR). Primer yang digunakan untuk konfirmasi adalah berasal dari sekuen VP2 yang merupakan daerah imunogenik pada virus IBD. Hasil elektroforesis RT-PCR dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 7 Hasil elektroforesis RT-PCR virus IBD (a) sampel 28 hari sebelum ditantang dan (b) setelah uji tantang hari ke-42 kelompok ditantang (Ket. M=DNA Ladder 100pb).

Gambar 7a, menunjukan hasil RT-PCR pada semua sampel K1, K2, K3 dan K4 muncul pita yang sama (672pb). Pita yang muncul pada kelompok ayam yang tidak ditantang diduga berasal dari virus asal vaksin, sedangkan pada Gambar 7b, tampak bahwa semua kelompok ayam yang diuji tantang terinfeksi oleh virus IBD. Hal ini ditunjukkan oleh munculnya pita RT-PCR pada gel agarose di semua kelompok. Vaksinasi pada saat titer antibodi asal induk tinggi menjadi tidak efektif disebabkan vaksin virus dinetralisir oleh antibodi asal induk sehingga virus tidak dapat bermultiplikasi, akibatnya respon kekebalan tidak muncul seperti yang diharapkan (Ashraf et al. 2006; Suwarno dan Rahardjo 2005). Pada kondisi virus lapang mampu menembus sistem kekebalan tubuh ayam, kemungkinan kejadian IBD akan muncul kembali artinya program vaksinasi tidak efektif. Pengaruh galur virus uji tantang berhubungan dengan perbedaan homologi antara galur tantang secara individual dan galur vaksin atau perbedaan virulensi galur virus tantang (Maas et al.

2001).

Menurut Hair-Bejo et al. (2004) vaksinasi yang diberikan pada saat ayam berumur sehari dengan dosis penuh menggunakan vaksin intermediate tidak efektif,

672pb 500pb

1000pb

672pb 500pb

(b) (a)

1000pb


(42)

disebabkan titer antibodi asal induk yang masih tinggi sehingga terjadi netralisasi antibodi asal vaksin oleh antibodi asal induk. Menurut Hussain et al. (2003) terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan kegagalan vaksinasi, yaitu: vaksin itu sendiri (tipe, penyimpanan, transportasi dan penanganan), kondisi ternak ayam dan administrasi vaksin.

Selain itu, menurut hasil penelitian Wahyuwardani (2012) diketahui bahwa virus IBD galur lokal ternyata berbeda satu asam amino dengan virus IBD-Indo-5, sedangkan galur vaksin komersial telah banyak mengalami perubahan pada sekuennya karena telah diatenuasi. Usaha pengembangan vaksin penyakit IBD di Indonesia masih terus dilakukan dalam upaya menghasilkan vaksin yang mampu memicu antibodi yang lebih protektif, namun disisi lain perlu penelitian lebih lanjut mengenai adanya mutasi pada virus IBD yang menimbulkan perbedaan antigenik antara virus vaksin dan virus yang ada dilapangan. Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan gambaran letupan penyakit IBD yang masih terus terjadi sampai saat ini.


(43)

KESIMPULAN

Hasil yang dapat disimpulkan pada penelitian ini adalah bahwa berbagai dosis vaksin jenis intermediate yang diberikan pada DOC tidak memberikan proteksi yang optimal untuk menghadapi uji tantang menggunakan virus IBD galur lapang lokal. Ke tidak mampuan vaksin tersebut dalam mencegah infeksi isolat lapang ditunjukan dari besarnya bursa score lesion, adanya atropi bursa dan penurunan titer antibodi terhadap ND pada ayam yang divaksin maupun tidak. Hal ini juga didukung oleh adanya pita berukuran 672 pb pada semua sampel pool cDNA kelompok ayam percobaan, baik sebelum maupun sesudah percobaan.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk mengidentifikasi galur virus vaksin yang digunakan dan galur virus lapang secara molekuler, sehingga dapat diidentifikasi galur virus IBD penyebab penyakit IBD secara tepat. Diharapkan dapat dilakukan program vaksinasi yang sesuai dan memberikan proteksi yang lebih baik.


(44)

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Alim GA, Saif YM. 2001. Pathogenicity of cell culture-derived and bursa-derived Infectious Bursal Disease viruses in specific-pathogen-free chickens.

Avian Dis. 45:844-52.

Alan J, Rahman MM, Sil BK, Khan MSR, Giasuddin, Sarker MSK. 2002. Effect of maternally derived antibody on vaccination against Infectious Bursal Disease (Gumboro) with light vaccine in Brunei. Int’l J Poultry Sci. 1: 98-101

Ali AS, Abdalla MO, Mohammed MEH. 2004. Interaction between Newcastle Disease and Infectious Bursal Disease vaccines commonly used in Sudan. Int’l

J poultry Sci. 3(4): 300-304

Alkhalaf AN. 2009. Detection of variant strains of Infectious Bursal Disease virus in broiler flocks in Saudi Arabia using antigen capture Enzyme-Linked Immunosorbent Assay. Pakistan Vet. J. 29(4): 161-164

Ashraf S, Abdel-Alim G, Saif YM, 2006. Detection of antibodies against serotypes 1 and 2 Infectious Bursal Disease virus by commercial ELISA kits. Avian Dis. 50(1): 104-109

Babiker MAA, Yahia IE, Noura K, Manal ME. 2008. Evaluation of Commercial Anti- Infectious Bursal Disease IBD Vaccines under Sudan Condition. Int’l J

Poultry Sci. 7(6): 570-573

Bahri S, Kusumaningsih A. 2005. Potensi, peluang dan strategi pengembangan vaksin hewan di Indonesia. J. Litbang Pertanian. 24 (3): 113-120

Banda AP, Villegas. 2004. Genetic characterization of very virulent Infectious Bursal Disease viruses from Latin America. Avian Dis. 48:540–549

Becht H, Muller H.1991. Identification of a novel viral protein in Infectious Bursal disease virus-infected cells. J. Gen. Virol. 176: 437-443

Boot HJ, T er Huurne AHM, Peeters BPH. 2000. Generation of full-length cDNA of the two genomic dsRNA segments of Infectious Bursal Disease virus. J. Virol Meth. 84:49– 58

Butcher GD, Miles RD. 2009. Infectious Bursal Disease (Gumboro) in Commercial Broilers, http://edis.ifas.ufl.edu. [Akses tanggal 2 september 2011]


(45)

Campbell NA, Reece JB , Mitchell LG. 2004. Biologi. Edisi kelima. Jilid 3. Manalu W, Safitri A, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Biology.

Caterina KM. Frasco Jr S, Girshick T, Khan MI. 2004. Development of multiplex PCR for detection of avian adenovirus, Infectious Bursal Disease virus, and Chicken Anemia Virus. Mol. Cell. probes. 18(5):293-298

Cereno T. 2004. Infectious Bursal Disease (IBD): causative agent, diagnosis and prevention. http://www.canadianpoultry.ca/infectious_bursal_disease.htm

[Akses tanggal 15 Agustus 2011]

Coletti M, Del Rossi E, Franciosini MP, Passamonti F, Tacconi G, Marini G. 2001. Efficacy and safety of an Infectious Bursal Diseases Virus intermediate vaccine in ovo. Avian Dis.45 : 1036-1043.

Cookson K. 2011. Preventing immunosuppresive disease. Newsletter Pfizer. http://www.egg-cite.com/articles/single.aspx?pageID=50&contentID=201 [Akses tanggal 12 Oktober 2011]

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2007. Farmakope Obat Hewan Indonesia (FOHI). Jilid I. Ed ke-3. Departemen Pertanian. P117-119

Hair-Bejo M, Ng MK, Ng HY. 2004. Day Old vaccination against Infectious Bursal Disease in broiler chickens. Int’l J Poultry Sci. 3(2):124-128.

Hardjosworo PS dan Rukmiasih MS. 2000. Meningkatkan Produksi Daging Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Hirai K, Shimakura S. 1974. Structure of Infectious Bursal Disease virus. J Virol. 14:957-64.

Huang Z, Elankumaran S, Yunus AS, Samal SK. 2004. A recombinant Newcastle Disease Virus (NDV) Expressing VP2 protein of Infectious Bursal Disease (IBDV) protects against NDV and IBDV. J. Virol. 78(24): 54-63

Hussain, I, Zahoor MA, Rasool MH, Mahmood MS, Mansoor MK, Riaz MN. 2003. Detection of Serum Antibody Levels Against Infectious Bursal Disease (IBD) Virus Using Indirect Hemagglutination (IHA) Test in Commercial Broilers.

Int’l J Poultry Sci. 2 (6): 442-445

Jackwood DJ, Sommer-Wagner SE. 2002. Identification of infectious bursal disease virus quasispecies in commercial vaccines and field isolates of this double-stranded RNA virus. Virology. 304:105-13.


(46)

Jackwood DJ, Sommer-Wagner SE. 2010. Detection and characterization of Infectious Bursal Disease viruses in broiler at processing. Prevent Vet Med. 97:45–50

Jackwood DJ, Byerley EH, Sommer-Wagner SE. 2001. Use of a genetic marker for wild-type potentially pathogenic Infectious Bursal Disease viruses. Avian Dis. 45:701-5.

Kibenge FS, Dhama V. 1997. Evidence that virion-associated VP1 of Avibirnaviruses contains viral RNA sequences. Arch Virol. 142:1227-36.

Kim IJ, You SK, Kim H, Yeh HY, Sharma JM. 2000. Characteristics of bursal T lymphocytes induced by Infectious Bursal Disease virus. J Virol. 74:8884-92. Lejal N, B da Costa, JC Huef, B Delmas. 2000. Role of 502-652 and Lys-692 in the

protease activity of Infectious Bursal Disease virus VP4 and identification of its substrage cleavage sites. J Gene of Virol. 81:983-992.

Li Y, Wu T, Cheng X and Zhang C. 2009. Molecular characteristic of VP2 gene of Infectious Bursal Disease viruses isolated from a farm in two decades. Virus Genes. 38:408–413

Liu M and Vakharia VN. 2004. VP1 protein of Infectious Bursal Disease virus modulates the virulence in vivo. Virology. 330:62-73.

Lombardo E, Maraver A, Espinosa I, Fernandez-Arias A, Rodriguez JF. 2000. VP5, the nonstructural polypeptide of Infectious Bursal Disease virus, accumulates within the host plasma membrane and induces cell lysis. Virology. 277:345-357.

Lukert PD, Saif YM. 2003. Infectious Bursal Disease. Didalam: YM Saif, HJ Barnes, AM Fadly, JR Glisson, LR McDougald, DE Swayne, Diseases of Poultry. Ed ke-11. Iowa State Press, Ames, Iowa. pp. 161-179.

Maas RA, Venema S, Ori HL, Pol JMA, Claassen IJTM, ter Huurne AAHM. 2001. Efficacy of inactivated Infectious Bursal Disease (IBD) vacines: comparison of serology with protection of progeny against IBD virus strains of varying virulence. Avian Path. 30 (4):345-354.

Mahardika IGNK, Parede L. 2008. Analisis filogenetik sekuen nukleotida bagain hipervariabel protein VP2 Virus Gumboro Isolat Indonesia. J vet. 9 (2): 60-64 Mardassi H, Khabouchi N, Ghram A, Manouchi A, Karboul . 2004. A very virulent


(47)

recurrent Infectious Bursal Disease outbreaks in Tunisian vaccinated flocks.

Avian Dis. 48: 829–840

Ming Y. 2000. Emerging immunosuppressive disease poultry. Idexx’s Technical

update Seminar. Surabaya Oct. 3

Muller H, Islam MR, Raue R. 2003. Research on Infectious Bursal Disease: the past, the present and the future. Vet Microbiol. 97:153-165.

Mundt E, de Haas N, Van Loon AA. 2003. Development of a vaccine for immunization against classical as well as variant strains of Infectious Bursal Disease virus using reverse genetics. Vaccine. 21:4616-4624

Ozbey G, Ertas HB, Muz A. 2003. Restriction fragment length polymorphism analysis of isolates of Infectious Bursal Disease viruses from Turkey. Vet. Med.

– Czech. 48(12): 359–362

Parede L, Sapats SI, Gould G, Rudd MF, Lowther S,Ignjatovic J. 2003. Characterization of Infectious Bursal Disease virus isolates from Indonesia indicates the existence of very virulent strains with unique genetic changes.

Avian Pathol. 32:511–518

Partadiredja M, Soejoedono RD. 1997. Cross protection study of chicken vaccinated with an imported IBD vaccine challenged with 3 pathogenic IBDV isolates in Indonesia. Hemera Zoa. 79:22-29

Partadiredja M, Rumawas W, Suharjanto I. 1981. Kasus penyakit IBD di Indonesia serta akibatnya bagi peternakan di Indonesia. Prosiding Seminar Penelitian Peternakan. Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian

,

Rasyaf M. 2008. Panduan beternak ayam pedaging. Penerbit Swadaya, Jakarta. Pp Rong J, Cheng T, Liu X, Jiang T Gu H and Zou G. 2005. Development of

recombinant VP2 vaccine for the prevention of Infectious Bursal isease of chickens. Vaccine. 23(40):4844-51.

Rudd MF, Heine HG, Sapats SI, Parede L, and Ignjatovic J. 2002. Characterization of an Indonesian very virulent strain of Infectious Bursal Disease virus. Arch. Virol. 147: 1303–1322

Saif YM. 2002 Immunosuppression induced by Infectious Bursal Disease virus. Vet Immun. Immunopat. 30 1: 45-50


(48)

Sharma JM, Kim IJ, Rautenschlein S and Yeh HY. 2000. Infectious Bursal Disease virus of chickens: pathogenesis and immunosuppression. Dev Comp Immunol. 24:223-235.

Statistik Peternakan. 2010. Direktorat Jendral Bina Peternakan. Departemen Pertanian Soejoedono RD. 1996. Pengaruh beberapa subtype virus Infectious Bursal Disease

terhadap keberhasilan vaksinasi.[Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Suwarno, Rahardjo AP. 2005. Imunogenitas Protein VP2 Virus Infectious Bursal Disease (IBD) Isolat Lokal Sebagai Dasar Pengembangan Vaksin Sub Unit,

Media Kedokteran Hewan. 21(1): 1-5.

Toro HVL, van Santen FJH, Breedlove C. 2009. Effects of Chicken Anemia virus and Infectious Bursal Disease virus in commercial chickens. Avian Dis. 53: 94-102

Van Den Berg TP, Morales D, Enterradossi N, Rivallan G, Toquin D, Raue R, Zierenberg K, Zhang MF, Zhu YP, Wang CQ, Zheng HJ, Wang X, Chen GC, Lim BL, Muller H. 2004. Assessment of genetic, antigenic and pathotypic criteria for the characterization of IBDV strains. Avian Pathol.1: 1–2.

Van Den Berg TP. 2000. An acute Infectious Bursal Bisease in poultry: a review.

Avian Pathol. 29:175-194.

Wahyuwardani S. 2012. Patogenesis infeksi virus Gumboro isolat lokal pada embryo dan ayam pedaging [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Wang MY, Hu HL, Suen SY, Chiu FY, Shien JH and Lai SY. 2008. Development of an Enzyme-Linked Immunosorbent Assay for detecting Infectious Bursal Disease Virus (IBDV) infection based on the VP3 structural protein. Vet. Microbiol. 131: 229-236.

Yao K and Vakharia VN. 2001. Induction of apoptosis in vitro by the 17-kDa nonstructural protein of Infectious Bursal Disease virus: possible role in viral pathogenesis. Virology. 285:50-58.

Zhou X, Wang D, Xiong J, Zhang P, Li Y and She R. 2010. Protection of chickens, with or without maternal antibodies, against IBDV infection by a recombinant IBDV-VP2 protein. Vaccine. 28:3990–3996.


(49)

using Infectious Bursal Disease (IBD) vaccine in different doses.. Under direction of RETNO D. SOEJOEDONO and SRI MURTINI .

Disease of Infectious bursal disease (IBD) is a viral disease that causes economic losses to the poultry industry as it causes high mortality and immunosuppression. IBD disease prevention efforts carried out by means of vaccination and biosecurity. IBD vaccination of day old security needs to be investigated its ability to prevent infection. This study aimed to observe the serological response and clinical condition based on examination of molecular actively vaccinated with IBD vaccine at different dose levels of daily life and challenged with virus field isolates. A total of 180 chickens were divided into four groups: K1 (full dose), K2 (½ Dose), K3 (dose ¼) and K4 (Dose 0). The vaccine used was a live IBD vaccine strains intermediate. Observations carried out on five chickens from each group that includes: antibody titers, the ratio bursa weight/bodyweight and pathology images. Presence of field virus infection and the linical condition due to infection challenge was observed by PCR. Observations made on days 1, 7, 28 and 42. Observations showed that the full dose vaccinated chickens started to show positive antibody formation against IBD at day 28 after vaccination, while in chickens vaccinated with a half and a quarter dose positive antibody titers 42 days post-vaccination. Clinical observations showed that vaccinated chickens various dose levels showed the same clinical symptoms than the control group. Similarly to the results of PCR observations it appears that the chickens from the vaccinated group of IBD viruses detected. The results of this study suggest that active IBD day old vaccination is not effective in preventing infection of the field.


(1)

VAKSIN INFECTIOUS BURSAL DISEASE (IBD) BERBAGAI

TINGKAT DOSIS

INDRIAWATI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Alim GA, Saif YM. 2001. Pathogenicity of cell culture-derived and bursa-derived Infectious Bursal Disease viruses in specific-pathogen-free chickens. Avian Dis. 45:844-52.

Alan J, Rahman MM, Sil BK, Khan MSR, Giasuddin, Sarker MSK. 2002. Effect of maternally derived antibody on vaccination against Infectious Bursal Disease (Gumboro) with light vaccine in Brunei. Int’l J Poultry Sci. 1: 98-101

Ali AS, Abdalla MO, Mohammed MEH. 2004. Interaction between Newcastle Disease and Infectious Bursal Disease vaccines commonly used in Sudan. Int’l J poultry Sci. 3(4): 300-304

Alkhalaf AN. 2009. Detection of variant strains of Infectious Bursal Disease virus in broiler flocks in Saudi Arabia using antigen capture Enzyme-Linked Immunosorbent Assay. Pakistan Vet. J. 29(4): 161-164

Ashraf S, Abdel-Alim G, Saif YM, 2006. Detection of antibodies against serotypes 1 and 2 Infectious Bursal Disease virus by commercial ELISA kits. Avian Dis. 50(1): 104-109

Babiker MAA, Yahia IE, Noura K, Manal ME. 2008. Evaluation of Commercial Anti- Infectious Bursal Disease IBD Vaccines under Sudan Condition. Int’l J Poultry Sci. 7(6): 570-573

Bahri S, Kusumaningsih A. 2005. Potensi, peluang dan strategi pengembangan vaksin hewan di Indonesia. J. Litbang Pertanian. 24 (3): 113-120

Banda AP, Villegas. 2004. Genetic characterization of very virulent Infectious Bursal Disease viruses from Latin America. Avian Dis. 48:540–549

Becht H, Muller H.1991. Identification of a novel viral protein in Infectious Bursal disease virus-infected cells. J. Gen. Virol. 176: 437-443

Boot HJ, T er Huurne AHM, Peeters BPH. 2000. Generation of full-length cDNA of the two genomic dsRNA segments of Infectious Bursal Disease virus. J. Virol Meth. 84:49– 58

Butcher GD, Miles RD. 2009. Infectious Bursal Disease (Gumboro) in Commercial Broilers, http://edis.ifas.ufl.edu. [Akses tanggal 2 september 2011]


(3)

Campbell NA, Reece JB , Mitchell LG. 2004. Biologi. Edisi kelima. Jilid 3. Manalu W, Safitri A, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Biology.

Caterina KM. Frasco Jr S, Girshick T, Khan MI. 2004. Development of multiplex PCR for detection of avian adenovirus, Infectious Bursal Disease virus, and Chicken Anemia Virus. Mol. Cell. probes. 18(5):293-298

Cereno T. 2004. Infectious Bursal Disease (IBD): causative agent, diagnosis and prevention. http://www.canadianpoultry.ca/infectious_bursal_disease.htm [Akses tanggal 15 Agustus 2011]

Coletti M, Del Rossi E, Franciosini MP, Passamonti F, Tacconi G, Marini G. 2001. Efficacy and safety of an Infectious Bursal Diseases Virus intermediate vaccine in ovo. Avian Dis. 45 : 1036-1043.

Cookson K. 2011. Preventing immunosuppresive disease. Newsletter Pfizer. http://www.egg-cite.com/articles/single.aspx?pageID=50&contentID=201 [Akses tanggal 12 Oktober 2011]

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2007. Farmakope Obat Hewan Indonesia (FOHI). Jilid I. Ed ke-3. Departemen Pertanian. P117-119

Hair-Bejo M, Ng MK, Ng HY. 2004. Day Old vaccination against Infectious Bursal Disease in broiler chickens. Int’l J Poultry Sci. 3(2):124-128.

Hardjosworo PS dan Rukmiasih MS. 2000. Meningkatkan Produksi Daging Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Hirai K, Shimakura S. 1974. Structure of Infectious Bursal Disease virus. J Virol. 14:957-64.

Huang Z, Elankumaran S, Yunus AS, Samal SK. 2004. A recombinant Newcastle Disease Virus (NDV) Expressing VP2 protein of Infectious Bursal Disease (IBDV) protects against NDV and IBDV. J. Virol. 78(24): 54-63

Hussain, I, Zahoor MA, Rasool MH, Mahmood MS, Mansoor MK, Riaz MN. 2003. Detection of Serum Antibody Levels Against Infectious Bursal Disease (IBD) Virus Using Indirect Hemagglutination (IHA) Test in Commercial Broilers. Int’l J Poultry Sci. 2 (6): 442-445

Jackwood DJ, Sommer-Wagner SE. 2002. Identification of infectious bursal disease virus quasispecies in commercial vaccines and field isolates of this double-stranded RNA virus. Virology. 304:105-13.


(4)

Jackwood DJ, Sommer-Wagner SE. 2010. Detection and characterization of Infectious Bursal Disease viruses in broiler at processing. Prevent Vet Med. 97:45–50

Jackwood DJ, Byerley EH, Sommer-Wagner SE. 2001. Use of a genetic marker for wild-type potentially pathogenic Infectious Bursal Disease viruses. Avian Dis. 45:701-5.

Kibenge FS, Dhama V. 1997. Evidence that virion-associated VP1 of Avibirnaviruses contains viral RNA sequences. Arch Virol. 142:1227-36.

Kim IJ, You SK, Kim H, Yeh HY, Sharma JM. 2000. Characteristics of bursal T lymphocytes induced by Infectious Bursal Disease virus. J Virol. 74:8884-92. Lejal N, B da Costa, JC Huef, B Delmas. 2000. Role of 502-652 and Lys-692 in the

protease activity of Infectious Bursal Disease virus VP4 and identification of its substrage cleavage sites. J Gene of Virol. 81:983-992.

Li Y, Wu T, Cheng X and Zhang C. 2009. Molecular characteristic of VP2 gene of Infectious Bursal Disease viruses isolated from a farm in two decades. Virus Genes. 38:408–413

Liu M and Vakharia VN. 2004. VP1 protein of Infectious Bursal Disease virus modulates the virulence in vivo. Virology. 330:62-73.

Lombardo E, Maraver A, Espinosa I, Fernandez-Arias A, Rodriguez JF. 2000. VP5, the nonstructural polypeptide of Infectious Bursal Disease virus, accumulates within the host plasma membrane and induces cell lysis. Virology. 277:345-357.

Lukert PD, Saif YM. 2003. Infectious Bursal Disease. Didalam: YM Saif, HJ Barnes, AM Fadly, JR Glisson, LR McDougald, DE Swayne, Diseases of Poultry. Ed ke-11. Iowa State Press, Ames, Iowa. pp. 161-179.

Maas RA, Venema S, Ori HL, Pol JMA, Claassen IJTM, ter Huurne AAHM. 2001. Efficacy of inactivated Infectious Bursal Disease (IBD) vacines: comparison of serology with protection of progeny against IBD virus strains of varying virulence. Avian Path. 30 (4):345-354.

Mahardika IGNK, Parede L. 2008. Analisis filogenetik sekuen nukleotida bagain hipervariabel protein VP2 Virus Gumboro Isolat Indonesia. J vet. 9 (2): 60-64 Mardassi H, Khabouchi N, Ghram A, Manouchi A, Karboul . 2004. A very virulent


(5)

recurrent Infectious Bursal Disease outbreaks in Tunisian vaccinated flocks. Avian Dis. 48: 829–840

Ming Y. 2000. Emerging immunosuppressive disease poultry. Idexx’s Technical

update Seminar. Surabaya Oct. 3

Muller H, Islam MR, Raue R. 2003. Research on Infectious Bursal Disease: the past, the present and the future. Vet Microbiol. 97:153-165.

Mundt E, de Haas N, Van Loon AA. 2003. Development of a vaccine for immunization against classical as well as variant strains of Infectious Bursal Disease virus using reverse genetics. Vaccine. 21:4616-4624

Ozbey G, Ertas HB, Muz A. 2003. Restriction fragment length polymorphism analysis of isolates of Infectious Bursal Disease viruses from Turkey. Vet. Med. – Czech. 48(12): 359–362

Parede L, Sapats SI, Gould G, Rudd MF, Lowther S,Ignjatovic J. 2003. Characterization of Infectious Bursal Disease virus isolates from Indonesia indicates the existence of very virulent strains with unique genetic changes. Avian Pathol. 32:511–518

Partadiredja M, Soejoedono RD. 1997. Cross protection study of chicken vaccinated with an imported IBD vaccine challenged with 3 pathogenic IBDV isolates in Indonesia. Hemera Zoa. 79:22-29

Partadiredja M, Rumawas W, Suharjanto I. 1981. Kasus penyakit IBD di Indonesia serta akibatnya bagi peternakan di Indonesia. Prosiding Seminar Penelitian Peternakan. Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian

,

Rasyaf M. 2008. Panduan beternak ayam pedaging. Penerbit Swadaya, Jakarta. Pp Rong J, Cheng T, Liu X, Jiang T Gu H and Zou G. 2005. Development of

recombinant VP2 vaccine for the prevention of Infectious Bursal isease of chickens. Vaccine. 23(40):4844-51.

Rudd MF, Heine HG, Sapats SI, Parede L, and Ignjatovic J. 2002. Characterization of an Indonesian very virulent strain of Infectious Bursal Disease virus. Arch. Virol. 147: 1303–1322

Saif YM. 2002 Immunosuppression induced by Infectious Bursal Disease virus. Vet Immun. Immunopat. 30 1: 45-50


(6)

Sharma JM, Kim IJ, Rautenschlein S and Yeh HY. 2000. Infectious Bursal Disease virus of chickens: pathogenesis and immunosuppression. Dev Comp Immunol. 24:223-235.

Statistik Peternakan. 2010. Direktorat Jendral Bina Peternakan. Departemen Pertanian Soejoedono RD. 1996. Pengaruh beberapa subtype virus Infectious Bursal Disease

terhadap keberhasilan vaksinasi.[Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Suwarno, Rahardjo AP. 2005. Imunogenitas Protein VP2 Virus Infectious Bursal Disease (IBD) Isolat Lokal Sebagai Dasar Pengembangan Vaksin Sub Unit, Media Kedokteran Hewan. 21(1): 1-5.

Toro HVL, van Santen FJH, Breedlove C. 2009. Effects of Chicken Anemia virus and Infectious Bursal Disease virus in commercial chickens. Avian Dis. 53: 94-102

Van Den Berg TP, Morales D, Enterradossi N, Rivallan G, Toquin D, Raue R, Zierenberg K, Zhang MF, Zhu YP, Wang CQ, Zheng HJ, Wang X, Chen GC, Lim BL, Muller H. 2004. Assessment of genetic, antigenic and pathotypic criteria for the characterization of IBDV strains. Avian Pathol.1: 1–2.

Van Den Berg TP. 2000. An acute Infectious Bursal Bisease in poultry: a review. Avian Pathol. 29:175-194.

Wahyuwardani S. 2012. Patogenesis infeksi virus Gumboro isolat lokal pada embryo dan ayam pedaging [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Wang MY, Hu HL, Suen SY, Chiu FY, Shien JH and Lai SY. 2008. Development of an Enzyme-Linked Immunosorbent Assay for detecting Infectious Bursal Disease Virus (IBDV) infection based on the VP3 structural protein. Vet. Microbiol. 131: 229-236.

Yao K and Vakharia VN. 2001. Induction of apoptosis in vitro by the 17-kDa nonstructural protein of Infectious Bursal Disease virus: possible role in viral pathogenesis. Virology. 285:50-58.

Zhou X, Wang D, Xiong J, Zhang P, Li Y and She R. 2010. Protection of chickens, with or without maternal antibodies, against IBDV infection by a recombinant IBDV-VP2 protein. Vaccine. 28:3990–3996.