Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional

dan Pasal 28D ayat 2 UUD 1945 Amandemen ke-4 yang menegaskan bahwa, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan Pasal 27 ayat 2 dan setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja Pasal 28D ayat 2.

4. Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Dalam kepustakaan hukum internasional istilah hubungan hukum internasional dan hukum nasional dikenal dengan municipal law. Dengan meningkatnya ketergantungan suatu negara terhadap negara-negara lain, makin meningkat pula peran dari hukum internasional. Dan dengan meluasnya wilayah dari pengaturan hukum internasional, dibutuhkan suatu pemikiran ulang atas posisi hukum internasional di level lokal, dengan mengedepankan semangat humanisme Philip Allot dalam Jawahir Thontowi, 2006: 77. Terdapat dua persoalan penting tentang kaitan antara kedudukan hukum internasional dengan sistem hukum nasional. Pertama, apakah hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bidang hukum yang terpisah dan berdiri sendiri, ataukah merupakan bagian dari satu sistem hukum yang lebih besar, atau kedua hukum tersebut memiliki wilayah yang berbeda-beda ? Kedua, apakah di antara kedua hukum tersebut secara hierarkhis ada yang lebih unggul dibanding yang lainnya ? Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006: 79 Dari persoalan tersebut, timbul tiga aliran teori yang berupaya memberikan jawaban atas persoalan tersebut, yaitu: a. Teori Monisme Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem hukum umumnya J.G. Starke, 2001: 96 atau semua hukum merupakan satu sistem kesatuan hukum yang mengikat apakah terhadap individu-individu dalam suatu negara ataupun terhadap negara-negara dalam masyarakat internasional Boer Mauna, 2008: 12. Dalam teori ini terdapat dua pandangan yaitu yang memberikan primat pada hukum nasional atas hukum internasional dan primat hukum internasional atas hukum nasional. b. Teori Dualisme Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang sama sekali berbeda secara intrinsik dari hukum nasional J.G. Starke, 2001: 96. Menurut teori dualisme perbedaan tersebut terdapat pada Boer Mauna, 2008: 12-13: 1. Perbedaan sumber hukum Hukum nasional bersumberkan pada hukum kebiasaan dan hukum tertulis suatu negara sedangkan hukum internasional berdasarkan pada hukum kebiasaan dan hukum yang dilahirkan atas kehendak bersama negara-negara dalam masyarakat internasional. 2. Perbedaan mengenai subjek Subjek hukum nasional adalah individu-individu yang terdapat dalam suatu negara sedangkan subjek hukum internasional adalah negara-negara anggota masyarakat internasional. 3. Perbedaan mengenai kekuatan hukum Hukum nasional mempunyai kekuatan mengikat yang penuh dan sempurna jika dibandingkan dengan hukum internasional yang lebih banyak bersifat mengatur hubungan negara-negara secara horizontal. Namun pandangan dualisme ini dibantah golongan monisme dengan alasan bahwa: a Walaupun kedua sistem hukum itu mempunyai istilah yang berbeda, namun subjek hukumnya tetap sama yaitu bukankah pada akhirnya yang diatur oleh hukum internasional adalah individu-individu yang terdapat dalam suatu negara. b Sama-sama mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Disaat diakuinya hukum internasional sebagai suatu sistem hukum maka tidaklah mungkin untuk dibantah bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian dari satu kesatuan ilmu hukum dan karena itu kedua perangkat hukum tersebut sama-sama mempunyai kekuatan mengikat baik terhadap individu ataupun negara. c. Teori Koordinasi Teori ini memandang bahwa hukum internasional memiliki lapangan yang berbeda dengan hukum nasional, sehingga kedua sistem hukum tersebut memiliki keutamaan di lapangannya masing-masing, bisa dikatakan tidak ada masalah pengutamaan. Oleh karena itu tidak ada yang lebih tinggi ataupun rendah antara satu dengan lainnya Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006: 81. Kedudukan hukum internasional dalam peradilan nasional suatu negara terkait dengan doktrin inkorporasi dan doktrin transformasi. Doktrin inkorporasi menyatakan bahwa hukum internasional dapat langsung menjadi bagian dari hukum nasional. Dalam hal suatu negara menandatangani dan meratifikasi traktat, maka perjanjian tersebut dapat secara langsung mengikat terhadap warga negaranya tanpa adanya sebuah legislasi terlebih dahulu. Sedangkan doktrin transformasi menyatakan tidak terdapat hukum internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukannya transformasi yang berupa pernyataan terlebih dahulu dari negara yang bersangkutan. Dengan kata lain, traktat tidak dapat digunakan sebagai sumber hukum nasional di pengadilan sebelum dilakukannya transformasi ke dalam hukum nasional Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006: 82. Seperti halnya kovenan atau perjanjian mengenai hak-hak asasi lain yang telah diratifikasi, problem utama terletak pada implementasi. Negara-negara yang berpandangan monistis monist states, terhadap kesepakatan-kesepakatan mengenai hak asasi dianggap memiliki status sama dengan hukum nasional equal to domestic law. Secara otomatis, terjadi harmonisasi de jure pada hukum nasional di negara yang telah meratifikasi. Negara lain ada yang tunduk pada sistem dualistis the dualist system, yang mensyaratkan implementasi legislasi http:hpurwadie.blogspot.com. Dalam konteks kewajiban negara atau masyarakat untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas pekerjaan bagi warga negara yang memiliki hak atas pekerjaan, pandangan dualis ini mensyaratkan legislasi yang lebih eksplisit, bahkan operasional. Kewajiban negara dalam merealisasikan hak atas pekerjaan bersifat aktif dan pemenuhannya tidak ditentukan secara individu non- enforceable rights. Terlepas dari hal tersebut, di Indonesia negara bersifat aktif dapat berarti negara mengatur, membuat kebijakan, dan program-program aksi. Kewajiban negara terhadap pemenuhan hak atas pekerjaan ini semakin penting ketika kondisi ekonomi dan iklim dunia kerja yang semakin menyulitkan. Sebab, kondisi tersebut sangat potensial terjadinya pengabaian dan pelanggaran terhadap akses pada pekerjaan dan kondisi pekerjaan. Pengabaian dan pelanggaran itu di antaranya menempatkan warga negara yang memiliki hak atas pekerjaan diperlakukan seperti barang dagangan yang dapat diperjualbelikan http:hpurwadie.blogspot.com.

5. Sejarah Penyusunan International Convention of Protection of the