Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Pengadaan Barang dan Jasa

Hubungan antara ketiga komponen dalam model di atas adalah hubungan yang bersifat saling menguntungkan dan saling membutuhkan, adapun uraiannya adalah sebagai berikut: a. Hubungan pemerintah dengan pihak swasta Hubungan pemerintah dengan pihak swasta terletak pada berbagai kebijakan yang akan diberlakukan pemerintah dalam dunia usia, berbagai regulasi dalam kehidupan dunia usaha tidak bisa ditentukan secara sepihak oleh pemerintah daerah, melainkan harus berkoordinasi yang baik. Keuntungan adanya regulasi dan birokrasi yang tidak menyulitkan pihak swasta adalah semakin terbukanya kesempatan bagi swasta menanamkan investasi dan mengembangkan usaha di daerah. Hal ini akan membawa keuntungan bagi pemerintah daerah, yaitu dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari sektor swasta, melalui perolehan pajak, retribusi dan sumbangan pihak swasta kepada daerah. b. Hubungan pemerintah dengan masyarakat Hubungan pemerintah dengan masyarakat terletak pada berbagai kebijakan yang akan ditetapkan pemerintah kepada masyarakat. Masyarakat merupakan pihak yang secara langsung akan merasakan kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Keuntungan masyarakat adalah berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah akan lebih tepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sementara itu keuntungan bagi pemerintah adalah kebijakan yang ditetapkan tersebut secara langsung telah mendapatkan legitimasi dari masyarakat. c. Hubungan swasta dengan masyarakat Hubungan swasta dengan masyarakat terletak pada keadaan saling membutuhkan dan saling ketergantungan. Pihak swasta membutuhkan masyarakat sebagai sasaran atau segmen pasar potensial dalam usaha mereka, sementara masyarakat membutuhkan pihak swasta sebagai institusi ekonomi yang menyediakan berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dalam hidup. Menurut Manullang 1986: 7: Kemitraan sebagai kerjasama usaha yang telah dipilih oleh pemerintah untuk dijadikan pola untuk memberdayakan usaha kecil, melibatkan beberapa pihak yaitu : 1 Pemrakarsa adalah pengusaha besar baik swasta maupun BUMN yang bersedia menjalin kemitraan dengan pengusaha kecil. 2 Mitra Usaha yaitu pengusaha kecil termasuk koperasi dapat dipertimbangkan menjadi peserta dalam kemitraan usaha nasional dengan mempertimbangkan kesediaan menjalin kemitraan dengan pengusaha besar dan b mempunyai kinerja yang baik. 3 Pemerintah berperan dalam koordinasi, fasililitasi, dan pengawasan bagi kemitraanusaha nasional. Menurut Manullang 1986: 8-12, beberapa peranan pemerintah dalam kemitraan dengan pihak swasta adalah sebagai berikut: a. Koordinasi Pada dasarnya lembaga yang melakukan koodinasi sebenarnya tidak hanya dari unsur instansi pemerintah tetapi juga meliputi dunia usaha, perguruan tinggi dan tokoh masyarakat. Dalam melakukan koordinasi ruang lingkupnya meliputi kegiatan dalam hal penyusunan kebijakan dan program pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi serta pengendalian umum terhadap pelaksanaan kemitraan usaha nasional b. Fasilitasi Peran fasilitasi dari pemerintah hendaknya dilaksanakan semaksimal mungkin, terutama dalam mengupayakan penyediaan dan pemberian fasilitas baik modal, teknologi dan jaringan pasar dalam dan luar negeri, sehingga masyarakat dapat menikmati dan menggunakan peluang yang sama. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi keketimpangan sosial di dalam masyarakat karena ada sekelompok kecil masyarakat yang sangat mudah mendapat peluang, sementara sebagian besar masyarakat lainnya sulit mendapatkannya. c. Pengawasan Pemerintah berperan dalam melakukan pengawasan pengendalian kemitraan dengan beberapa aspek kegiatan kebijakan hukum yaitu: Formulating, Executing, Controling. Ketiga tahap kebijakan di bidang kemitraan tersebut, tentunya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, dan kesemuanya menjadi variabel pengaruh independent variable dan sekaligus variabel terpengaruh dependent variable. Fungsi formulasi tentunya sangat ditentukan dengan model pelaksanaan executing ataupun model pengawasan controlling yang akan dijalankan dan demikian pula sebaliknya. Khusus yang berkaitan dengan masalah controlling dapat diartikan sebagai pengawasan, namun pada sisi yang lainnya dapat pula diartikan sebagai pengendalian, fungsi pengawasan lebih menekankan kepada kegiatan yang tidak aktif, sedangkan pengendalian sebenarnya merupakan pengawasan dalam bentuk kegiatan yang aktif. Fungsi-fungsi pengawasan dan atau pengendalian ini dilakukan dalam beberapa tahapan proses gabungan antara pengawasan dan pengendalian yang dalam 3. Model-Model Kemitraan Pemerintah dan Swasta Menurut Caroline Pascarina 2007: 11: Kemitraan antara pemerintah dan swasta dikenal dengan istilah Public and Private Partnership PPP yaitu merupakan pengaturan antara pemerintah dan sektor swasta untuk menyediakan berbagai jenis pelayanan publik, seperti pembangunan infrastruktur, penyediaan fasilitas-fasilitas komunitas, dan berbagai jenis pelayanan lainnya. PPP bercirikan adanya pembagian investasi, risiko, pertanggungjawaban, dan penghargaan antara pemerintah dengan sektorswasta yang menjadi mitranya. Alasan yang melatarbelakangi lahirnya model tersebut umumnya berkaitan dengan pembiayaan, perancangan, konstruksi, operasionalisasi, dan pemeliharaan pelayanan infrastruktur. Dengan adanya kemitraan, maka kelebihan yang dimiliki oleh pemerintah maupun sektor swasta dapat dipadukan. Peran dan pertanggung jawaban dari kemitraan bisa beragam, bisa jadi peran pemerintah lebih banyak atau sebaliknya, peran swastalah yang lebih banyak dalam suatu bentuk kemitraan. Namun, peran pemerintah yang kuat dan efektif tetap diperlukan dalam pembuatan kebijakan. Pemerintah tetap menjadi pihak yang bertanggung jawab dan akuntabel untuk menjamin kualitas pelayanan publik. Pada prinsipnya dalam PPP, terdapat dua pelaku yang terlibat, yakni pemerintah dan swasta. Keduanya bekerjasama sebagai mitra, dalam hal ini tidak ada pihak yang bersifat membawahi pihak lain. Dalam PPP ada tujuan bersama berdasarkan komitmen yang hendak dicapai, dan berdasarkan komitmen tanggungjawab sendiri. Setiap pihak memberikan input finansial atau sumber daya lainnya. Kedua belah pihak bersedia menanggung risiko dan pembagian keuntungan berdasarkan pertimbangan input yang diberikan share dalam kesepakatan perjanjian. Terdapat sejumlah tipe PPP yang didasarkan pada derajat risiko yang ditanggung kedua belah pihak; jumlah keahlian yang diperlukan dari setiap pihak untuk menegosiasikan perjanjian; serta implikasi yang muncul dari hubungan tersebut. Secara umum ada lima model PPP yang diklasifikasikan berdasarkan spektrum investasi dan peran pemerintah, yaitu sebagai berikut: Sumber: Caroline Pascarina 2007: 13 Gambar 2 Model-Model Kemitraan Pemerintah dan Pihak Swasta Bentuk kontrak pelayanan servicecontract merupakan bentuk PPP yang lebih banyak menitikberatkan pada peran pemerintah, baik dari sisi investasi maupun penyediaan jasa layanan. Sebaliknya, model build operatesown secara lepas merupakan bentuk PPP yang menitikberatkan investasi dan penyediaan pelayanan pada sektor swasta. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator. Menurut Caroline Pascarina 2007: 14-15 Selain kelima model tersebut, terdapat beberapa varian lain dari model PPP, antara lain seperti dikemukakan oleh Ministry of Municipal Affairs 1999 yang mengklasifikasikan tipe PPP ke dalam 10 varian yang didasarkan pada pembagian peran di antara pihak-pihak yang bermitra serta jenis pelayanan yang cocok untuk masing-masing tipe, yaitu sebagai berikut: 1 Operations and maintenance Operasionalisasi dan Pemeliharaan Model ini didasari oleh kontrak antara pemerintah dan swasta untuk mengoperasikan dan memelihara fasilitas publik. 2 Design-build Perencanaan dan Pengembangan Didasari oleh kontrak pemerintah dan swasta untuk merencanakan dan mengembangkan fasilitas yang memenuhi standar dan prasyarat kinerja pemerintah. Ketika fasilitas itu telah dibentuk, maka pemerintah akan menjadi pemilik yang bertanggung jawab terhadap penggunaan fasilitas tersebut 3 Turnkey operation Pengoperasian Pemerintah menyediakan dana untuk melaksanakan kegiatan, tapi melibarkan sektor swasta untuk mendesain, membangun, dan mengoperasikan fasilitas utnuk jangka waktu tertentu. Sasaran kinerja ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah yang menjadi pemilik dari fasilitas tersebut 4 Wrap arround addition Penambahan dalam Fasilitas yang Sudah Ada Pihak swasta membiayai dan membangun fasilitas tambahan pada fasilitas yang sudah ada. Selanjutnya, pihak swasta dapat mengoperasikan fasilitas tambahan ini untuk jangka waktu tertentu sampai dapat mengembalikan investasi dan keuntungan dari investasi tersebut 5 Lease-purchase Sewa-Beli Kontrak pemerintah dengan pihak swasta untuk mendesain, membiayai, dan membangun fasilitas pelayanan publik. Pihak swasta kemudian menyewakan fasilitas tersebut pada pemerintah untuk jangka waktu tertentu. Setelah jangka waktu itu habis, maka fasilitas akan menjadi milik pemerintah. Model ini dapat diterapkan bila pemerintah memerlukan suatu fasilitas tapi tidak punya cukup biaya untuk membangunnya 6 Temporary privatization Privatisasi Sementara Kepemilikan fasilitas publik yang sudah ada diberikan pada pihak swasta untuk meningkatkan danatau mengembangkan fasilitas. Fasilitas itu kemudian dimiliki dan dioperasikan oleh pihak swasta dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam kontrak atau sampai pihak swasta sudah dapat mengembalikan modal investasi ditambah keuntungannya 7 Lease-developoperate or buy-develop-operate Sewa-Pengembangan- Operasionalisasi Atau Beli Pengembangan Operasionalisasi Mitra swasta menyewa atau membeli sebuah fasilitas dari pemerintah, kemudian mengembangkan atau memodernisasikannya, selanjutnya mengoperasikannya sesuai dengan kontrak yang dibuat bersama pemerintah. Pihak swasta diharapkan untuk berinvestasi dalam pengembangan fasilitas dan diberi jangka waktu yang pasti untuk mengembalikan dan memperoleh keuntungan dari investasi tersebut 8 Build-Transfer-Operate Pembangunan-Pengalihan-Pengoperasian Didasari kontrak pemerintah dengan swasta untuk membiayai dan membangun fasilitas, di mana setelah fasilitas itu selesai dibangun, maka pihak swasta mengalihkan kepemilikan fasilitas itu pada pemerintah. Pemerintah kemudian menyewakan fasilitas itu lagi kepada swasta berdasarkan sewa jangka panjang yang memungkinkan swasta mengembalikan investasi dan memperoleh keuntungan 9 Build-Own-Operate-Transfer Pembangunan-Kepemilikan-Pengoperasian Pengalihan Pihak pengembang swasta memperoleh hak franchise secara ekslusif untuk membiayai, membangun, mengoperasikan, memelihara, mengelola, dan mengumpulkan biaya pungutan selama periode tertentu untuk mengembalikan investasi. Di akhir hak franchise, kepemilikan dialihkan kembali pada pemerintah. 10 Build-Own-Operate Pembangunan-Kepemilikan-Pengoperasian Pemerintah dapat mengalihkan kepemilikan dan tanggung jawab atas suatu fasilitas yang sudah ada, atau mengadakan kontrak dengan swasta untuk membangun, memiliki, dan mengoperasikan fasilitas yang baru dibangun. Pihak swasta menyediakan dana untuk pembangunan fasilitas tersebut

E. Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan yang menjadi urusan Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antartingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 10 Ayat 1 dan 2 bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan yang menjadi urusan pemerintah pusat. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya daerah, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembagian. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14 Ayat 1, urusan pemerintah yang menjadi wewenang Pemerintah KabupatenKota adalah sebagai berikut: 1 Perencanaan dan pengendalian pembangunan 2 Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang 3 Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat 4 Penyediaan sarana dan prasarana umum 5 Penanganan bidang kesehatan 6 Penyelenggaraan pendidikan 7 Penanggulangan masalah sosial 8 Pelayanan bidang ketenagakerjaan 9 Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah 10 Pengendalian lingkungan hidup 11 Pelayanan pertanahan 12 Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil 13 Pelayanan administrasi umum pemerintahan 14 Pelayanan administrasi penanaman modal 15 Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya 16 Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang- undangan. Menurut Affan Gaffar 2006: 34, daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupatenkota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antarlintas kabupatenkota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupatenkota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi. Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupatenkota. Disisi lain, pemerintah kabupatenkota yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang. Menurut Affan Gaffar 2006: 36-37, Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah adalah sebagai berikut: a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas. d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupatendaerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah g. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah. h. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya. Menurut Rumajar Jeferson 2007: 37-43, asas-asas yang dianut dalam pelaksanaan otonomi daerah oleh pemerintah daerah meliputi: a Asas Desentralisasi Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan desentralisasi adalah pemberian otonomi kepada daerah untuk meningkatkan daya guna penyelenggaraaan pemerintahan daerah, terutama pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat serta melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri Negara kesatuan adalah bentuk negara di mana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan pada satu badan legislatif nasionalpusat kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada Pemerintah Daerah. Pemerintah pusat berwenang menyerahkan sebagian kekuasaan pada daerah otonom atau negara kesatuan dengan sistem desentralisasi Sesuai Pasal 1 Angka 7 Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004. Urusan-urusan yang telah diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi, menjadi wewenang dan tanggung jawab daerah, baik yang menyangkut penentuan kebijakan maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaannya. Bidang kewenangan yang mewarnai fenomena desentralisasi adalah bidang kepegawaian, budget kepegawaian dan penyesuaian berbagai rupa kebijaksanaan umum. Hal ini tertuang dalam Ketentuan Umum Pasal 1 Angka 2 dan dipertegas dalam Pasal 10 Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan: 1