61
tahun 1945. Dari tabel di atas diketahui bahwa tidak ada pasal yang berbicara khusus tentang hak negara, kewajiban negara berjumlah 16 ayat, hak warga
negara 25 ayat, dan kewajiban warga negara 6 ayat. Tabel di atas tidak menunjukkan sisi yang implisit dari hak dan kewajiban, namun apa yang
tertulis secara eksplisit hak dan kewajiban dalam UUD 1945.
Di dalam UUD 1945 tidak menyebutkan hak negara, namun apakah dalam kenyataannya memang demikian? Tentu saja tidak. Meminjam teori
keadilan Aristoteles, maka ada keadilan yang distilahkannya sebagai keadilan legalis, yaitu keharusan warga negara untuk taat kepada negara. Keharusan
taat itulah yang menjadi hak negara. Dalam kehidupan sehari-hari keadilan legalis ini selalu mengiringi setiap langkah wara negara, mulai dari kewajiban
membayar IMB, Listrik, PBB, memiliki SIM, Pajak Kendaraan bermotor, mentaati aturan lalu lintas, dan lain-lain.
Marilah kita mencoba menganalisis tabel tersebut menggunakan pandangan para pemikir tentang hubungan negara dan warga negara yang
digolongkan menjadi tiga yaitu Pluralis, Marxis, dan Sintesis dari keduanya. Negara dan warga negara sebenarnya merupakan satu keping mata uang
bersisi dua. Negara tidak mungkin ada tanpa warga negara, demikian pula tidak ada warga negara tanpa negara. Namun, persoalannya tidak sekedar
masalah ontologis keberadaan keduanya, namun hubungan yang lebih relasional, misalnya apakah negara yang melayani warga negara atau
sebaliknya warga negara yang melayani negara. Hal ini terlihat ketika pejabat akan mengunjungi suatu daerah, maka warga sibuk menyiapkan berbagai
macam untuk melayaninya. Pertanyaan lain, apakah negara mengontrol warga negara atau warga negara mengontrol negara?
1. Pluralis
Kaum pluralis berpandangan bahwa negara itu bagaikan sebuah arena tempat berbagai golongan dalam masyarakat berlaga. Masyarakat
berfungsi memberi arah pada kebijakan yang diambil negara. Pandangan pluralis persis sebagaimana dikatakan Hobbes dan John Locke bahwa
62
masyarakat itu mendahului negara. Mayarakat yang menciptakan negara dan bukan sebaliknya, sehingga secara normatif negara harus tunduk
kepada masyarakat Wibowo, 2000: 11-12.
2. Marxis
Teori Marxis berpendapat bahwa negara adalah serangkaian institusi yang dipakai kaum borjuis untuk menjalankan kekuasaannya. Dari
pandangan ini, sangat jelas perbedaannya dengan teori pluralis. Kalau teori pluralis melihat dominasi kekuasan pada warga negara, sedangkan teori
Marxis pada negara. Seorang tokoh Marxis dari Italia, Antonio Gramsci, yang memperkenalkan istilah ‘hegemoni’ untuk menjelaskan bagaimana
negara menjalankan penindasan tetapi tanpa menyebabkan perasaan tertindas, bahkan negara dapat melakukan kontrol kepada masyarakat
Wibowo, 2000: 15.
3. Sintesis
Pandangan yang menyatukan dua pandangan tersebut adalah teori strukturasi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens. Ia melihat ada kata
kunci untuk dua teori di atas yaitu struktur untuk teori Marxis dan agensi untuk Pluralis. Giddens berhasil mempertemukan dua kata kunci tersebut.
Ia berpandangan bahwa antara struktur dan agensi harus dipandang sebagai dualitas duality yang selalu berdialektik, saling mempengaruhi
dan berlangsung terus menerus. Wibowo, 2000: 21.
Untuk menyederhanakan pandangan Giddens ini saya mencoba mengganti istilah struktur sebagai negara dan agensi sebagai warga negara.
Negara mempengaruhi warga negara dalam dua arti, yaitu memampukan enabling dan menghambat constraining. Bahasa digunakan oleh
Giddens sebagai contoh. Bahasa harus dipelajari dengan susah payah dari aspek kosakata maupun gramatikanya. Keduanya merupakan rules yang
benar-benar menghambat. Tetapi dengan menguasai bahasa ia dapat berkomunikasi kepada lawan bicara tanpa batas apapun. Contoh yang lebih
63
konkrit adalah ketika kita mengurus KTP. Harus menyediakan waktu khusus untuk menemui negara RT, RW, Dukuh, Lurah dan Camat ini
sangat menghambat, namun setelah mendapatkan KTP kita dapat melamar pekerjaan, memiliki SIM bahkan Paspor untuk pergi ke luar negeri
Wibowo, 2000, 21-22
Namun sebaliknya, agensi warga negara juga dapat mempengaruhi struktur, misalnya melalui demonstrasi, boikot, atau
mengabaikan aturan. Istilah yang digunakan Giddens adalah dialectic control. Oleh karena itu dalam teori strukturasi yang menjadi pusat
perhatian bukan struktur, bukan pula agensi, melainkan social practice Wibowo, 2000: 22.
Tiga teori ini kalau digunakan untuk melihat hubungan negara dan warga negara dalam konteks hak dan kewajiban sebagaimana yang
tertuang dalam UUD 1945, maka lebih dekat dengan teori strukturasi. Meskipun dalam UUD 1945 tidak secara eksplisit menyebutkan hak
negara, namun secara implisit terdapat dalam pasal-pasal tentang kewajiban warga negara. Negara memiliki hak untuk ditaati peraturannya
dan hal itu terlihat dalam social practice-nya. Negara dan warga negara masing-masing memiliki hak dan kewajiban sesuai porsinya. Negara
memiliki kewenangan untuk mengatur warga negaranya, namun warga negara juga memiliki fungsi kontrol terhadap negara.
Contoh yang bisa menggambarkan situasi tersebut adalah kebijakan pemerintah untuk menaikkan Bahan Bakar Minyak BBM.
Beberapa kali pemerintah menaikkan BBM karena alasan pertimbangan menyelamatkan APBN, namun pada kesempatan lain atas desakan kuat
dari masyarakat akhirnya kenaikan BBM dibatalkan.
C. PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA DAN WARGA NEGARA DI NEGARA PANCASILA