Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

(1)

PERLINDUNGAN HAK TERKAIT LEMBAGA TELEVISI

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002

TENTANG HAK CIPTA

TESIS

Oleh

MUTIA ULFA

077011047/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PERLINDUNGAN HAK TERKAIT LEMBAGA TELEVISI

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002

TENTANG HAK CIPTA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUTIA ULFA

077011047/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Telah diuji pada

Tanggal : Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr.Runtung Sitepu,SH,MHum Anggota : 1. Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum 2. Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum 3. Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN 4. Syafruddin Hasibuan,SH,MH


(4)

ABSTRAK

Hasil karya cipta yang dihasilkan oleh pencipta ada yang langsung dapat dinikmati,tetapi tetap saja membutuhkan pihak lain untuk mempertunjukkan karya cipta tersebut. Masalah ini menyangkut perubahan bentuk perlindungan bagi karya rekaman suara, karya siaran dan karya pertunjukan. Sesuai Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta,ketiga jenis ciptaan itu dialihkan perlindungannya kedalam rejim hak terkait yang merupakann perlindungan yang hanya ditujukan pada pelaku, produser rekaman dan badan penyiaran. Salah satu lembaga penyiaran adalah lembaga penyiaran. televisi, sebagai sarana elektronik yang paling digemari dan dicari orang.

Adapun permasalahan yang akan dikemukakan dalam tesis ini adalah bagaimanakah bentuk-bentuk hak dari lembaga penyiaran televisi,bagaimanakah perlindungan hak terkait menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan bagaimanakah mekanisme penyelesaian sengketa dalam hal pemberian hak terkait lembaga penyiararan televisi menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptis. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan melakukan penelitian pada stasiun Deli TV sebagai lembaga penyiaran.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk hak dari lembaga penyiaran televisi adalah pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberi izin atau melarang orang lain membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar dari pertunjukannya. Produser rekaman suara memiliki hak eksklusif untuk memeberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, dan/atau menyiarkan ulang karya siarannya melalui transmisi dengan atau tanpa kabel, atau melalui sistem elektromagnetik lain. Perlindungan hak terkait lembaga penyiaran televisi menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta adalah antara lain hak-hak para pelaku artis yang dapat terdiri dari para penyanyi, aktor, musisi, dan sebagainya yang menyampaikan kepada publik suatu pertunjukan hidup, fiksasi dari pertunjukan demikian dan perbanyakan dari pertunjukan-pertunjukannya, juga para produser rekaman suara. Mekanisme penyelesaian sengketa dalam hal pemberian hak terkait lembaga penyiaran televisi menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: melalui tuntutan pidana, gugatan perdata, dan melalui alternatif penyelesaian sengketa

Kata Kunci: Perlindungan Hak Terkait; Lembaga Televisi; Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta


(5)

ABSTRACT

work result create that produced by creator there direct can be enjoyed, but permanent want other party to demonstrate work creates. this problem concerns protection transformation for voice recording work, broadcast work and work shows. appropriate number law 19 year 2002 about copyright, third that creation kind is shifted the protection intoes regime related right merupakann protection only is attributed in executant, produser recording and broadcasting body. one of [the] broadcasting institution institution broadcasting

.

television, as electronic tool most menggemari and looked for person.

as to troubleshoot that be proposed in this thesis how does forms belonging of television broadcasting institution, how does related right protection follow number law 19 year 2002 about copyright and how does quarrel completion mechanism in the case of institution related right gift penyiararan television follow number law 19 year 2002 about copyright. this watchfulness belongs watchfulness kind deskriptis. data source in this watchfulness is got with gather primary data and secondary data. primary data is got with do watchfulness in station deli television as broadcasting institution.

result from this watchfulness shows that forms belonging of television broadcasting institution has exclusive right to allow or prohibit another person makes, reproduce, or funnel voice recording and/or picture from show it. produser has exclusive right to memeberi permission or prohibit another person without the sanctions makes, reproduce, and/or funnel to repeat the broadcast work passes transmission with or without cable, or pass electromagnetic system other. television broadcasting institution related right protection follow number law 19 year 2002 about copyright between other rights artist executants that can consist of singers, actor, musicians, and as it submit to public a show alive, fiksasi from show such and perbanya from pertunjukan-pertunjukan, also produser voice recording. quarrel completion mechanism in the case of television broadcasting institution related right gift follow number law 19 year 2002 about copyright can be done to pass three manners that is: pass criminal prosecution, civil accusation, and pass alternative quarrel completion

keyword: Related right protection; Television institution; number law 19 year 2002 about copyright


(6)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji dan syukur Kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang syafa’atnya diharapkan kelak dikemudian hari

Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat dalam mencapai dan memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan.

Adapun judul tesis ini adalah : “PERLINDUNGAN HAK TERKAIT LEMBAGA TELEVISI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA”

Dalam penulisan tesis ini sudah tentu penulis tidak luput dari kehilapan, kesulitan-kesulitan serta terbatasnya pengetahuan penulis, tetapi atas berkat izin Allah SWT, serta kesungguhan penulis dan bantuan dari berbagai pihak sangat membantu dan bermanfaat bagi penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan pada waktunya.

Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada ayah dan bunda beserta keluarga yang telah memberikan dorongan moril dan materiil sehingga diselesaikannya tesis ini. Penulis menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya dalam menyelesaikan tesis ini. Selanjutnya dalam kesempatan ini pula penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof.Dr.muhammad Yamin,SH,MS,CN,selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara


(7)

2. Prof.Dr.Runtung Sitepu,SH,MHum, selaku ketua dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini

3. Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum, selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini

4. Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum, selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini

5. Ibu Yose Piliang, salaku Executive Produser Deli TV

6. Ibu Ranggini, SE, selaku Kordinator Bidang Pengelolaan Struktur, Komisi Penyiaran Indonesia¸ Medan.

7. Bapak Enrico M Naibaho selaku Kepala Wilayah Karya Cipta Indonesia Wilayah Sumatera Utara

8. Seluruh Staf Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Sumatera Utara 9. Yang terhormat dan ananda cintai Ayahanda H.Achmad Amin dan Hj.Nuraida,

yang tanpa pamrih membesarkan dan mendidik ananda, serta selalu memberikan doa sehingga ananda selalau dalam rahmat dan lindungan Allah SWT

10. Yang tersayang Abangda Irwansyah Putra, ST, M.T. Dedy Andriansyah, SE,Ak, Belvy Budiansyah, SE,Ak, dan Kakanda Ika Mustika, S.Si, A.pp. dan Nana Lisdiana SE,Ak

11. Sahabat setia dan terbaikku Zuhrina Imatama, SE yang senantiasa membantu dan memberikan nasehat kepada ananda dan selalu menemani ananda dikala senang dan susah.

12. Yang tercinta Rizky Dermawan, S.kom. terimakasih atas kesabaran, motivasi, dan dukungan yang selalu diberikan kepada adinda

13. Sahabat seperjuanganku Ira Novianty, SH. Fadly Aryus,SH. Mahruzar, SH

14. Seluruh rekan-rekan MKN stambuk 2007, group-A, group-B, dan terutama anak-anak group-C ( ketua Abdul muthalip, Ayah Syukri, Bang Amin, Bang Zul,


(8)

Kak Tina, Vina, Natalia, Deborah, Bangun, Cory, Kak Susy, Pak Mahadi, Kak Rita, Mami Nina. Kak Suarni Zebua, Aldy, Sherly, Kak Heriani, Eva, Melda, Dina)

15. Seluruh Staf Pegawai Administrasi ( Ibu Fatimah,Kak Lisa, Kak Winda, Kak Sari, Kak Afni, Bang Ijal. Bang Aldy)

16. Bapak/ibu dosen serta selueuh staf administrasi Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis hingga terselesaikannya studi ini.

. Penulis menyadari bahwa isi tesis ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi isi,tata tulisan,pembahasan maupun analisa yang telah dilakukan. Karena itu dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat positif dan membangun dari seluruh pembaca demi kesempurnaan tesis ini.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT jugalah berserah diri sembari berdoa semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua terutama bagi penulis sendiri. Hanya kepada allah SWT, saya mohon ampun dan kepada pembaca sekalian saya minta maaf, dan atas perhatiannyaa, saya ucapkan terimakasih.

Medan, Agustus 2009 Penulis,


(9)

RIWAYAT HIDUP I. DATA PRIBADI

Nama : Mutia Ulfa

Tempat/tanggal lahir : Lhokseumawe/16 November 1983

Alamat : Jln Pahlawan Nomor 14 Medan

Jenis kelamin : Perempuan

Status Perkawinan : Belum Menikah

II. ORANG TUA

Ayah : H.Achmad Amin

Ibu : Hj.Nuraida

III. LATAR BELAKANG PENDIDIDKAN

a.Tahun 1996 : menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di

SD Taman Siswa Lhokseumawe

b. Tahun 1999 : menyelesaikan pendidikan Sekolah

Menengah Lanjut Pertama, SMP Taman Siswa Lhokseumawe

c. Tahun 2002 : menyelesaikan pendidikan Sekolah

Menengah Atas, SMA Negeri 1 Medan

d. Tahun 2007 : Menyelesaikan Pendidikan Strata-1 Fakultas

Hukum,Universitas Syiah Kuala-Banda Aceh

e. Tahun 2009 : Menyelesaikan Pendidikan Strata-2 Magister

Kenotariatan Universitas Sumatera Utara-Medan


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah... 8

Tujuan penelitian ... 8

Manfaat Penelitian ... 8

Keaslian Penelitian ... 9

Kerangka Teori dan Konseptual ... 9

1. Kerangka Teori ... 9

2. Konsepsi ... 25

Metode Penelitian ... 27

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 27

2. Metode Pendekatan ... 28

3. Sumber Data... 28

4. Teknik Pengumpulan Data... 30


(11)

BAB II BENTUK - BENTUK HAK DARI LEMBAGA PENYIARAN

TELEVISI ………... 32

A. Pengertian Lembaga Penyiaran Televisi ... 32

B. Fungsi Sosial Televisi ... 41

BAB III CARA LEMBAGA PENYIARAN UNTUK MENDAPATKAN HAK MENGUMUMKAN KARYA CIPTA SESEORANG …….. 46

A. Peran Komisi Penyiaran Indonesia... 46

B. Perlindungan Hukum Atas Hak Terkait Dalam Lembaga Penyiaran Televisi ... 49

BAB IV BENTUK PERLINDUNGAN HAK TERKAIT LEMBAGA PENYIARAN TELEVISI MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA ... 55

A. Lembaga Penyiaran Televisi Yang Dilindungi Oleh UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ... 55

B. Upaya Hukum dalam Penyelesaian Pelanggaran Hak Terkait (Neighbouring Rights) Dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ... 66

C. Perlindungan Hak Tekait Lembaga Penyiaran Televisi Ditinjau Dari UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta... 76

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 101


(12)

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hak terkait (Neighbouring Rights) merupakan hal baru yang hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sehingga pemahaman masyarakat terhadap Hak Cipta dan Hak Terkait yang merupakan bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual masih kurang banyak. Masyarakat yang tidak atau bahkan kurang mengetahui betapa pentingnya Hak Atas Kekayaan Intelektual, bahkan di kalangan pencipta sendiri seperti seniman, desainer, pengarang dan juga penemu dan pemilik merek sendiri pun kurang mengetahui secara tepat bahwa pencipta ternyata memiliki hak yang disebut Hak Atas Kekayaan Intelektual. Pemahaman tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual saja masih kurang, lantas bagaimana pula harus menegakkan atau mempertahankan hak-hak tersebut, sehingga tidak jarang terjadi pelanggaran atau penyalahgunaan hak. Dengan pengalihan itu lantas timbul perbedaan yang signifikan yang menyangkut addressat perlindungan. Bila dalam konsepsi Hak Cipta yang dilindungi adalah karya Ciptanya, yaitu ciptaan yang bersifat kebendaan, sebaliknya dalam konsepsi Hak Terkait yang dilindungi adalah hak orang perorangan, badan hukum atau lembaga. Perbedaan ini tampak jelas pada definisi Hak Terkait yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta adalah sebagai berikut :


(13)

“Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak

eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi lembaga penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya”.

Selanjutnya siapa addressat perlindungan itu, dijelaskan dalam pasal yang sama angka 10, 11 dan 12 masing-masing sebagai berikut :

1. Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni lainnya.

2. Produser Rekaman Suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau perekaman bunyi, baik perekaman dari suatu pertunjukan maupun perekaman suara atau perekaman bunyi lainnya.

3. Lembaga Penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran yang berbentuk badan hukum, yang melakukan penyiaran atas suatu karya siaran dengan menggunakan transmisi dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem elektromagnetik

Salah satu lembaga yang mendapat perlindungan adalah lembaga penyiaran. Lembaga penyiaran merupakan media komunikasi yang memberikan siaran berupa suara atau gambar kepada publik. Lembaga penyiaran terdiri dari lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga


(14)

penyiaran berlangganan.1 Dalam hak atas kekayaan intelektual, lembaga penyiaran berhak untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.

Saat ini, lembaga penyiaran televisi, menjadi satu instrumen penting dalam segenap aspek kehidupan masyarakat. Televisi telah memberi andil besar dalam percepatan demokratisasi bidang politik, ekonomi, pendidikan, hiburan dan aspek lain. Peran yang dilakukan televisi seperti saat ini, sudah tentu tidak terlepas dari pilihan ideologis media yang ditransformasikan ke dalam realitas sehari-hari masyarakat.

Televisi dianggap sebagai media yang paling tepat dalam mentransformasikan informasi. Di antara beberapa media yang tersedia, televisi memiliki kelebihan-kelebihan, antara lain:

1. Efisiensi biaya

Televisi media yang paling efektif (jangkauan dibanding media lain seperti radio, media cetak).

2. Dampak yang kuat

Keunggulan kemampuan dilihat dan didengar (audio/visual) 3. Pengaruh yang kuat

Televisi sebagai media yang paling kuat di rumah selesai dari kesibukan dan kepenatan meluangkan waktu. 2

Media penyiaran TV memiliki kelebihan dalam hal ini. Yang disampaikan adalah gambar visual yang bergerak (life) bukan gambar diam seperti di media cetak.

Media penyiaran TV mampu menyiarkan pesan multimedia yang berupa tex,

1

Memahami Lembaga Penyiaran, http://www.koranpendidikan.com/artikel-1529.html, diakses tanggal 5 Februari 2009.

2

Media Televisi, http://belajardekavetiga.blogspot.com/2005/09/media-televisi.html, diakses tanggal 10 Januari 2009.


(15)

gambar/video dan audio sekaligus. Hal ini sangat menarik bagi pemirsa apalagi setelah karya animasi komputer berkembang, program siaran TV dan film menjadi enak dinikmati.3 Sebagai salah satu bagian dari media komunikasi, lembaga penyiaran tidak begitu saja dapat menyiarkan program yang akan ditayangkannya kepada khalayak. untuk menggunakan hak siarnya,4 Pasal 43 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyebutkan setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki hak siar. Dalam menayangkan acara siaran, lembaga penyiaran wajib mencantumkan hak siar.

Apabila berbicara tentang persoalan Hak Cipta dan Hak Terkait (Neighbouring Rights), pada umumnya maka secara tidak langsung akan berkenaan juga dengan persoalan uang. Untuk merancang, mewujudkan, memasarkan sedemikian rupa suatu karya cipta, maka dibutuhkan sejumlah uang, apakah dalam bentuk yang besar atau tidak. Pemegang Hak Cipta berhak mendapatkan sejumlah uang sebagai penghargaan atas ciptaannya.

Sebagai contoh seorang pencipta lagu yang memberikan Hak Cipta lagu miliknya pada sebuah perusahaan rekaman musik, si pencipta lagu tentu mendapat imbalan (royalti) atas setiap rekaman yang terjual atau setiap pertunjukan atas lagu tersebut. Apabila perusahaan musik itu selanjutnya akan menjual pada sebuah studio

3

Sri Sartono, Teknik Penyiaran Dan Produksi Program Radio, Televisi Dan Film Jilid 1, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta,2008, hlm. 101.

4

Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2002 menyebutkan Yang dimaksud dengan hak siar adalah hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program atau acara tertentu yang diperoleh secara sah dari pemilik hak cipta atau penciptanya.


(16)

film dan lagu yang diciptakan tersebut digunakan, maka si pencipta akan mendapat imbalan berupa sejumlah bagian tertentu dari keuntungan yang diperoleh oleh film itu berdasarkan jumlah presentase yang disepakati.

Suatu karya yang dipromosikan, dipertunjukkan ataupun diperbanyak dapat dinilai dari segi ekonomi. Suatu karya yang dihasilkan itu ternyata masih dibutuhkan individu atau sejumlah individu lain. Individu-individu inilah yang selain pencipta patut diberikan kepada mereka suatu penghargaan yang sama nilainya dengan penghargaan yang diberikan kepada seorang pencipta yaitu suatu hak khusus atau hak eksklusif yang dengan hak eksklusif ini pihak lain tidak dengan sembarangan dapat membuat, memperbanyak, menyiarkan atau menyiarkan ulang, menyewakan dan lain sebagainya selain tanpa adanya izin dari pemegang hak eksklusif tersebut.

Hak Cipta dan Hak Terkait (Neighbouring Rights) diatur dalam peraturan yang sama, yaitu dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Namun di antara keduanya terkesan nyaris tidak berbeda satu sama lain. Padahal jika ditelusuri, kedua hak itu berbeda. Hal ini dapat dilihat antara lain dari segi kepada siapa hak itu dapat diberikan.

Seperti yang tertera dalam penjelasan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta bahwa para pembuat Undang-undang mengisyaratkan agar bisa menegaskan serta memilah kedudukan Hak Cipta di satu pihak dan Hak Terkait di pihak lain dalam rangka memberikan perlindungan bagi karya intelektual yang bersangkutan secara lebih jelas.


(17)

Masih minimnya pemahaman masyarakat akan perbedaan kedua hak tersebut tentu saja hal ini dapat berpengaruh pada penegakan serta perlindungan hukum atas hak-hak tersebut. Kelahiran Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang merupakan Undang-undang terbaru negara Indonesia di bidang Hak Cipta sangat membantu untuk dapat menelusuri lebih jauh tentang Hak Cipta dan Hak Terkait yang terdapat di dalamnya, khususnya terhadap masalah kedudukan Hak Terkait dan Hak Cipta ini serta masalah perlindungannya di Indonesia.

Karena Hak terkait (Neighbouring Rights) ini merupakan hal baru yang hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia, masalah penerapan, penegakan serta masalah perlindungannya pun harus lebih dioptimalkan dengan sebaik mungkin agar dalam pelaksanaannya ke depan tidak mengalami hambatan apapun. Dalam hal ini patokan-patokan hukum yang diundangkan memegang peranan yang sangat penting untuk melindungi hasil suatu karya cipta. Di samping itu peranan Hak Cipta sangat penting dalam menghadapi mekanisme pemasaran hasil ciptaan manusia, yang semakin lama semakin membawa pada tingkat kompleksitasnya, yang akhirnya sering menimbulkan manipulasi terhadap keanekaragaman ciptaan manusia.

Berdasarkan uraian di atas, Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: ”Perlindungan Hak Terkait Lembaga Televisi Menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta "


(18)

Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah bentuk-bentuk hak dari lembaga penyiaran televisi?

2. Bagaimanakah perlindungan hak terkait lembaga penyiaran televisi menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta?

3. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa dalam hal pemberian hak terkait lembaga penyiaran televisi menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta?

Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk hak dari lembaga penyiaran

2. Untuk mengetahui cara lembaga penyiaran untuk mendapatkan hak

mengumumkan karya cipta seseorang.

3. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hak terkait lembaga penyiaran televise menurut undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan tesis ini adalah :

a. Secara akademis hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan secara akademis dalam memberikan gambaran hak penyiaran pada stasiun televisi.


(19)

b. Secara praktis hasil pembahasan dapat dijadikan dasar praktis dalam menghadapi persoalan yang berhubungan langsung dengan perdungan hak lembaga penyiaran.

Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan sebelumnya pada perpustakaan dilingkungan Universitas Sumatera Utara dan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan PERLINDUNGAN HAK TERKAIT LEMBAGA PENYIARAN TELEVISI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA dalam topik dan permasalahan-permasalahan yang sama. Penelitian ini merupakan hal yang baru dan asli sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan terbuka bagi kritikan-kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Pembahasan hak cipta tidak bisa lepas dari hak yang berkaitan atau biasa disebut hak terkait. Di dunia internasional sudah ada konvensi tersendiri tentang hak terkait, yaitu Konvensi Roma, sementara di Indonesia pengaturan hak terkait masih menyatu dalam Undang-undang Hak Cipta.


(20)

Hak terkait (neigbouring rights) adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi hal-hal:5

a. Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya

b. Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau meyewakan rekaman suara atau rekaman bunyinya, dan

c. Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak atau menyiarkan karya siarannya.

Salah satu penikmat hak tekait dengan hak cipta adalah lembaga penyiaran. Tidak sedikit orang sering memiliki kepercayaan dan pandangan yang keliru bahwa kepentingan umum hanya dapat dipenuhi oleh sektor publik dan bahwa sektor swasta harus diperbolehkan memiliki kebebasan penuh.6 Karena itu menurut Erich Vogt, tidaklah mengherankan kalau kita mendengar begitu banyak kelompok kepentingan dibidang penyiaran yang mengibaratkan lisensi penyiaran/ijin siaran sama seperti lisensi untuk mencetak uang.

Ketentuan yang mensyaratkan bahwa penyiaran hendaknya melayani publik dengan baik secara tradisional bertopang pada keyakinan bahwa gelombang udara adalah milik publik. Sebagai milik publik, spektrum frekuensi juga, sebagaimana halnya dengan milik publik lainnya, merupakan sumber daya yang terbatas sehingga

5

Noegroho Amien, “Hak Terkait”, makalah lemlit.ugm.ac.id/ makalahhk

i/HAK%20TERKAIT.ppt, diakses tanggal 10 Mei 2009.

6

Vogt Erich, Pelayanan Umum Sebagai Salah Satu Bentuk Penyiaran, Friedrich Ebert Stiftung, Jakarta, Tahun 2001, hal. 10


(21)

membatasi jumlah lisensi yang dapat dikeluarkan kepada umum untuk memanfaatkannya.7

Adanya perubahan besar di era penyiaran satelit dan digital telah mempengaruhi dan mewarnai sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Dalam pengamatan Anthony Giddens, televisi memainkan peran langsung dalam revolusi 1989, yang dengan tepat disebut sebagai “revolusi televisi” yang pertama. Protes turun ke jalan yang terjadi di satu negara disaksikan oleh para pemirsa televisi di negara lain, dan sebagian besar dari mereka kemudian melakukan hal yang sama di negara mereka sendiri.8 Tidak ketinggalan dengan penetrasi dari budaya industri

(industry culture) yang memasuki alam bawah sadar pemirsa saban hari dan sedikit

banyaknya berhasil merubah gaya hidup mereka.

Berbeda dengan era sebelumnya, bagaimana tradisi budaya dan moral benar-benar relatif terjaga. Perbedaannya karena sejumlah faktor terkait. Kebanyakan faktor tersebut sangat berhubungan dengan dampak pertumbuhan dan mapannya media.

Pertama, produksi budaya hari ini didominasi oleh media sampai ketingkat dimana

tidak ada aktivitas budaya atau produksi yang tidak tersentuh oleh media. Kedua, media menampilkan segala sesuatu sebagai hal yang menarik pada dan untuk dirinya; media-media cenderung untuk menghancurkan kemungkinan bahwa sesuatu secara kualitatif lebih baik dari yang lain. Hal ini dikarenakan oleh media, sesuatu bisa menjadi menarik atau menjadi membosankan dan seperti itulah sesuatu itu. Ketiga,

7

Ibid

8

Anthony Giddens, (terj.2001), Runaway World, Penerj. Andri Kristiawan S dan Yustina Koen S, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama terj.2001, hal. 10


(22)

faktor inilah yang menciptakan situasi sekarang begitu dari yang lainnya, yaitu dominasi media dan runtuhnya piranti kritis menjadi sekadar kategori barang-barang yang menarik atau membosankan, dimana bukan nilai budaya saja yang dihancurkan, tetapi nilai moralpun tal luput mengalami kerusakan moral.9

Dengan kata lain, hiburan merupakan supra-ideologi segala diskursus dalam televisi. Tak peduli apa yang ditayangkan dan melaui sudut pandang mana. Alasannya adalah bahwa semua itu ditayangkan untuk menghibur dan menyenangkan, sebagaimana pendapat Neil Postman. Lebih dari itu, ketika suatu masyarakat telah disibukkan dengan hal yang remeh-temeh, saat itu kehidupan budaya didefinisikan kembali sebagai arus hiburan tanpa henti, bila konversasi serius publik telah menjadi sebentuk ocehan bayi, singkat kalimat, ketika masyarakat menjadi sekelompok pemirsa dan urusan publiknya menjadi sebuah pertunjukan

vaudeville, maka sebuah negara akan tiba ditepi jurang kematian kebudayaan.10

a. Peranan Media Massa

Peran media massa dalam kehidupan sosial, terutama dalam masyarakat modern tidak ada yang menyangkal, menurut McQuail yang dikutip dalam Harjono Hafdjani, ada enam perspektif dalam hal melihat peran media.11

9

Keith Tester, Media, Budaya Dan Moralitas, Penerj. Muhammad Syukri, Yogyakarta: Kerjasama Juxtapose dengan Penerbit Kreasi Wacana.terj.2003, hal. 4

10

Harjono Hafdjani, Dampak Globalisasi Media Terhadap Masyarakat Dan Budaya, Indonesia, bl.ac.id/wp-content/uploads/2007/04/blcom-04-vol2-no2-april20071.

11


(23)

Pertama, melihat media massa seabagai window on event and experience.

Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang sedang terjadi di luar sana. Atau media merupakan sarana belajar untuk mengetahui berbagai peristiwa.

Kedua, media juga sering dianggap sebagai a mirror of event in society and the world, implying a faithful reflection. Cermin berbagai peristiwa yang ada di

masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Karenanya para pengelola media sering merasa tidak “bersalah” jika isi media penuh dengan kekerasan, konflik, pornografi dan berbagai keburukan lain, karena memang menurut mereka faktanya demikian, media hanya sebagai refleksi fakta, terlepas dari suka atau tidak suka.Padahal sesungguhnya, angle, arah dan framing dari isi yang dianggap sebagai cermin realitas tersebut diputuskan oleh para profesional media, dan khalayak tidak sepenuhnya bebas untuk mengetahui apa yang mereka inginkan.

Ketiga, memandang media massa sebagai filter, atau gatekeeper yang

menyeleksi berbagai hal unuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih issue, informasi atau bentuk content yang lain berdasar standar para pengelolanya. Di sini khalayak “dipilihkan” oleh media tentang apa-apa yang layak diketahui dan mendapat perhatian.

Keempat, media massa acapkali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan

atau interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai ketidakpastian, atau alternative yang beragam


(24)

Kelima, melihat media massa sebagai forum untuk mempresentasikan

berbagai informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkin terjadinya tanggapan dan umpan balik.

Keenam, media massa sebagai interlocutor, yang tidak hanya sekadar tempat berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi interaktif.

Pendeknya, semua itu ingin menunjukkan, peran media dalam kehidupan sosial bukan sekedar sarana diversion, pelepas ketegangan atau hiburan, tetapi isi dan informasi yang disajikan, mempunyai peran yang signifikan dalam proses sosial. Isi media massa merupakan konsumsi otak bagi khalayaknya, sehingga apa yang ada di media massa akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi sosial. Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh isi media massa inilah yang nantinya mendasari respon dan sikap khalayak terhadap berbagai objek sosial. Informasi yang salah dari media massa akan memunculkan gambaran yang salah pula terhadap objek sosial itu. Karenanya media massa dituntut menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Kualitas informasi inilah yang merupakan tuntutan etis dan moral penyajian media massa.

b. Hak Cipta dan Perkembangannya

Seiring dengan berkembangnya kehidupan manusia di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, tentu saja akan berpengaruh pada perkembangan kemampuan berfikir (intelektualitas) manusia. Kemampuan berfikir manusia tersebut


(25)

tertuang dalam bentuk ide-ide atau gagasan, yang lama kelamaan ide manusia tersebut dapat dijelmakan ke dalam bentuk ciptaan atau penemuan yang dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk membantu kelangsungan hidup manusia. Hak Cipta yang merupakan bagian dari karya intelektual juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Selain Hak Cipta ada hak-hak lain yang dapat dinikmati hasilnya baik oleh pencipta sendiri berupa keuntungan (manfaat ekonomi) ataupun oleh pihak lain berupa hasil ciptaan itu semata.

Hasil karya cipta yang dihasilkan oleh pencipta ada yang langsung dapat diminati, tapi tetap saja membutuhkan pihak lain untuk mempertunjukkan karya cipta tersebut. Masalah ini menyangkut perubahan bentuk perlindungan bagi karya rekaman suara, karya siaran dan karya pertunjukan. Sesuai Undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, ketiga jenis ciptaan itu dialihkan perlindungannya kedalam rejim Hak Terkait (Related Right/ Neighbouring Right). Neighbouring

Rights merupakan perlindungan Hak Cipta yang lebih khusus jika dibandingkan

dengan Hak Cipta pada umumnya, yaitu hanya ditujukan pada pelaku, produser rekaman dan badan penyiaran..

Sejarah perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual khususnya Hak Cipta dimulai di Italia pada awal Zaman Renaisance. Pada masa itu konsep Hak Cipta masih dipahami sebagai satu kesatuan dengan Paten yaitu hak yang diberikan oleh penguasa negara-negara kota kepada pihak-pihak tertentu. Perlindungan Hak Cipta pada masa itu masih bersifat tradisional, yaitu: ”tidak ada pemisahan yang jelas


(26)

dengan Hak Paten dan perlindungan itu pun diberikan kepada pengusaha percetakan bukan kepada pencipta.” 12

Antara Tahun 1946 dan Tahun 1517 pemerintah negara kota memberi hak istimewa (priveledge) kepada percetakan. Hak istimewa tersebut meliputi hak mencetak buku dalam bahasa sendiri maupun dalam bahasa asing tertentu. Pada tanggal 1 September 1486 Hak Cipta pertama diberikan kepada: ”Marc Antonio

Sabellico untuk buku yang berjudul “Decades Return Venetarum“,13 sehingga ia mempunyai kewenangan khusus untuk mengontrol percetakan maupun pendistribusian buku tersebut.

Di Indonesia Hak Cipta dan konsep perlindungannya dikenal pertama kali pada Tahun 1912 yaitu setelah masuknya Belanda. Maka berdasarkan asas konkordansi tersebut diberlakukanlah Auterswet 1912. Jadi, pada saat itu pengaturan secara formal Hak Cipta di Indonesia ini berdasarkan Auterswet Tahun 1912, sebagaimana dinyatakan dalam Staatsblad Tahun 1912 Nomor 600 dan dinyatakan berlaku mulai tanggal 23 Sepetember 1912.14

Perkembangan Hak Cipta di Indonesia dapat juga dilihat dari zaman penjajahan Belanda. Seperti telah diketahui bersama bahwa Indonesia pernah mengalami masa penjajahan Belanda selama 3½ abad. Selama masa penjajahan masalah politik, ekonomi, sosial budaya, kedaulatan termasuk dalam hubungan

12

Sanusi Bintang, Hukum Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.15.

13

Ibid

14


(27)

internasional, serta masalah hukum dan Hak Cipta seluruhnya dikuasai dan ditentukan oleh Belanda.15

Hak Cipta di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hanya saja meski Undang-Undang tersebut secara eksplisit menyebutkan klausul mengenai bagaimana suatu Hak Cipta dapat lahir dan melekat pada diri seseorang, tidak cukup jelas disebutkan di sana apakah dari ketiga jenis dasar penentuan atas timbulnya pengakuan terhadap lahirnya Hak Cipta tersebut (Hak Cipta lahir atau dianggap lahir ketika : diciptakan, diumumkan atau didaftarkan) bersifat alternatif ataukah prioritas. Undang-Undang mengatur bahwa Hak Cipta suatu karya cipta lahir ketika karya cipta tersebut diciptakan. Hak Cipta dapat pula dianggap lahir dengan adanya pengumuman. Secara prinsip kedua hal tersebut juga diakui dalam konvensi-konvensi Intelectual Property Right (Konvensi Berne dan WIPO Copy Right Treaty). Sedangkan mengenai pendaftaran, konvensi-konvensi tersebut tidak mengaturnya. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa masing-masing negara peratifikasi konvensi-konvensi internasional tersebut dapat bebas mengatur mengenai pengakuan Hak Cipta berdasarkan pendaftaran. Apakah pendaftaran tersebut bersifat alternatif ataukan bersifat prioritas. Menjadi pemahaman umum bahwa yang berlaku di Indonesia adalah tidak adanya keharusan pendaftaran atas suatu karya cipta.

Memang sukar untuk menafikkan bahwa sebagian esensi dari perbincangan Hak Cipta suka tidak suka akan selalu diwarnai dengan pembahasan keuntungan

15


(28)

material yang bisa diperoleh atas pengakuan suatu Hak Cipta. Akan tetapi adanya pendapat beberapa pihak yang melihat Hak Cipta lebih pada substansi pengakuan suatu karya cipta sebagai bentuk pada etika moral manusia, lantas menghadapkan kita pada pertanyaan besar selanjutnya manakah diantara kedua hak ini yang seyogyanya didahulukan.

Oleh karena itu konsep perlindungan Hak Cipta di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh sistem hukum sipil yang dalam perkembangan selanjutnya dipengaruhi juga oleh konvensi-konvensi internasional tentang Hak Cipta. Auterswet 1912 ini selain berlaku pada masa penjajahan Belanda, juga terus berlaku pada saat Indonesia merdeka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945. Pada saat Belanda menandatangani naskah Konvensi Bern pada tanggal 1 April 1913, Indonesia sebagai negara jajahannya diikutsertakan juga oleh Belanda dalam Konvensi Bern itu, sebagaimana tersebut dalam Staatsblad Tahun 1914 Nomor 797. Selanjutnya Konvensi Bern ditinjau kembali di Roma pada tanggal 2 Juni 1928, yang dinyatakan juga berlaku untuk Indonesia. Konvensi inilah yang kemudian berlaku di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda dalam hubungannya dengan dunia internasional khususnya mengenai Hak Cipta.

Hak Atas Kekayaan Intelektual dari waktu ke waktu akan terus mengalami perkembangan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini disebabkan karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang diikuti dengan bahkan perkembangan dunia industri dan kebutuhan manusia akan hasil yang dilahirkan dari bidang-bidang tersebut.


(29)

Adanya perkembangan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra maka mempengaruhi pula pada perkembangan Hak Cipta itu sendiri, untuk pertama kali negara Indonesia mempunyai peraturan perundang-undangan tentang Hak Cipta yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 masih terdapat pengaturan yang sangat sederhana, tentang hak terkait (Neighbouring Rights) yang telah ada sekarang ini dalam Undang-undang Hak Cipta terbaru sama sekali tidak terdapat pengaturannya, begitu juga dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 yang merupakan perubahan dan penyempurnaan atas Undang-undang Hak Cipta setidaknya, para pembuat Undang-undang tidak terpikir untuk menuangkan peraturan tentang Hak Terkait (Neighbouring Rights) ini.

Hak Terkait, yaitu hak si Pelaku, Produser Rekaman Suara dan Lembaga Penyiaran. Namun, pada prinsipnya keberadaan Hak Terkait tidak akan pernah terlepas dari hak si Pencipta sebagai pemilik hak dalam bentuk yang originalnya. Sebagai contoh, adalah jika seorang dosen memberi kuliah dan kemudian direkam oleh mahasiswanya. Investasi membeli recorder dan merekam perkuliahan tidak berarti si mahasiswa memiliki Hak Cipta atas perkuliahan tersebut. Yang dimilikinya hanyalah kepemilikan atas rekaman bukan substansi perkuliahan itu sendiri. Demikian pula halnya dengan karya rekam atas lagu, tidaklah mungkin dibuatkan suatu karya rekam atas suatu lagu tanpa seizin si pencipta lagu demikian pula dengan


(30)

pementasan dan penyiarannya. Jika ia tidak berkenan maka tidak akan pernah ada karya rekam, karya pementasan maupun karya siaran tersebut.16

Hadirnya Undang-undang Hak Cipta Nomor 12 Tahun 1997 sebagai perkembangan mengatur Hak Terkait (Neighbouring Rights). Hal ini disebabkan negara Indonesia baru meratifikasi konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan dua bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual.

Akibat dari baru ditemukannya istilah Neighbouring Rights, istilah

neighbouring rigths tidak begitu meluas di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari

kasus-kasus yang dihadapi oleh para artis misalnya, kebanyakan kasus yang mencuat adalah masalah pembayaran atau kompensasi yang diterima tidak sesuai dengan apa yang mereka lakukan. Kasus lain dengan mendapat pembayaran hanya sekali pada saat mereka menampilkan kreasinya pertama kali dan justru perusahaan penyiaran yang mendapatkan untung yang berlipat-lipat dari penampilan artis tersebut.

Semakin banyaknya ciptaan-ciptaan yang lahir dari buah pikiran manusia itu dirasakan perlu adanya suatu perlindungan hukum, agar setiap ciptaan yang lahir tidak dimanfaatkan oleh pihak lain baik secara moral maupun ekonomi. Perkembangan masyarakat membawa dampak baik dan buruk. Akibat dari kemajuan teknologi, kadangkala dalam beberapa hal dapat mengarah pada persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkan keuntungan yang cepat. Dengan melakukan berbagai cara, dengan mengutip di sana-sini misalnya seseorang dapat mencipta suatu ciptaan

16

Edmon Makarim, “Bias Hak Cipta Layanan Ring Back Tone Ponsel”, www.lkht.net/index.php?...88%3Abias-hak-cipta...layanan-rbt., diakses tanggal 11 Juni 2009


(31)

atau menampilkannya yang tampak seperti suatu ciptaan yang baru, tetapi pada dasarnya merupakan tiruan dari karya yang telah pernah diciptakan atau ditemukan oleh orang lain setidaknya.

”Istilah Hak Cipta mulai dipergunakan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia ke II yang diselenggarakan di Bandung pada bulan Oktober 1951. Setidaknya istilah yang dipergunakan adalah hak pengarang. Dalam bahasa Inggris istilah yang dipakai untuk pengertian tersebut adalah copyright.”17

Istilah hak pengarang yang dipergunakan setidak diadakannya kongres tersebut selintas memberikan arti yang sangat sempit terhadap hak yang dicakupnya, yaitu hanya mencakup hak pengarang saja, tidak meliputi penciptaan karya-karya yang lain seperti lukisan, komposisi musik, patung dan sebagainya.

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka Kongres Kebudayaan Indonesia berhasil melahirkan istilah Hak Cipta untuk menggantikan istilah hak pengarang. Pada akhir abad ke 19 kebutuhan akan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual khususnya Hak Cipta berkembang pesat baik dalam lingkup internasional maupun dalam lingkup nasional. Dalam lingkup internasional misalnya untuk dipenuhinya kebutuhan dimaksud pada Tahun 1886 dibentuk sebuah konvensi yang mencoba menentukan satu sistem Hak Cipta secara seragam di seluruh dunia yang dikenal dengan Konvensi Bern. Pada Tahun 1955, dengan tujuan yang sama dibentuk pula suatu Universal Convention of Copyright (UCC 1955) dan konvensi-konvensi lainnya.

17


(32)

Adapun yang menjadi dasar pertimbangan adanya perkembangan kehidupan yang berlangsung cepat, terutama di bidang perekonomian di tingkat nasional dan internasional yang menuntut pemberian perlindungan yang lebih efektif. Selain itu dikarenakan Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Mengenai Aspek-Aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual

Property Rights/TRIPs) yang merupakan bagian dari persetujuan pembentukan

Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan WTO.

Beberapa hal yang mendapatkan perubahan di dalam Undang-undang Hak Cipta ini adalah:

1. Penyempurnaan

Hal-hal yang sudah lebih disempurnakan adalah menyangkut pengaturan mengenai ciptaan yang tidak diketahui penciptanya, pengecualian terhadap pelanggaran Hak Cipta, juga waktu perlindungan suatu ciptaan, hak dan wewenang menggugat, dan ketentuan mengenai Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

2. Penambahan

Pengaturan baru di dalam Undang-undangHak Cipta ini adalah menyangkut pengaturan penyewaan ciptaan (rental right) atas rekaman video, film dan program komputer, pengaturan hak yang berkaitan dengan Hak Cipta (Neighbouring Rights) untuk pelaku, produser rekaman dan lembaga penyiaran dan pengaturan lisensi Hak Cipta.18

Mengenai konsep Hak Terkait sebagai bagian dari Hak Cipta (Neighbouring

Rights) ternyata sudah banyak dan diterima bahkan dipergunakan di banyak negara,

yaitu negara-negara yang telah meratifikasi konvensi-konvensi mengenai Hak Terkait seperti Konvensi Roma Tahun 1961 dan Konvensi Phonogram Tahun 1971.

18


(33)

Undang-undang Hak Cipta di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan. Pertama kali berlaku Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 (Lembaran Negara 1982 Nomor 15 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3217). Undang-undang ini mencabut ketentuan Auterswet 1912 yang pernah berlaku setidaknya dengan maksud untuk mendorong dan melindungi ciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu pengetahuan, seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan bangsa.

Pada Tahun 1987, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta disempurnakan dengan Undang-undang baru yakni Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Nomor 3362 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3362). Adapun maksud dari penyempurnaan ini sebagai upaya mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembanganya ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Saat ini pelanggaran terhadap Hak Cipta sudah mulai terlihat bahkan telah sampai pada taraf membahayakan misalnya dalam bentuk tindak pidana pembajakan.

Penyempurnaan Undang-undang Hak Cipta pada Tahun 1987 lebih diarahkan pada pengaturan, terutama dalam hal substansi hukumnya. Beberapa hal yang disempurnakan pengaturannya adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan ancaman hukuman.

2. Perubahan dari tindak pidana aduan menjadi tindak pidana biasa.

3. Kemungkinan perampasan hasil pelanggaran Hak Cipta untuk negara guna dimusnahkan.


(34)

4. Adanya hak gugat secara perdata baik bagi pihak yang dirugikan, di samping sekaligus hak negara untuk menuntut secara pidana.

5. Kewenangan hakim untuk memerintahkan penghentian kegiatan

pembuatan, perbanyakan, pengedaran, penyiaran dan penjualan ciptaan hasil pelanggaran setidak putusan pengadilan.

6. Penambahan program komputer sebagai ciptaan yang dilindungi dan penghapusan “paleo antropologi”sebagai ciptaan yang dilindungi karena bukan ciptaan manusia.

7. Lisensi wajib berkaitan dengan penerjemahan dan perbanyakan ciptaan yang dibutuhkan atau pelaksanaan sendiri oleh negara.

8. Peningkatan jangka waktu perlindungan Hak Cipta.19

Kedua produk perUndang-undangan Hak Cipta di atas terlihat bahwa mengenai ketentuan Hak Terkait (Neighbouring Rights) sama sekali tidak ada pengaturannya. Pada Tahun 1997 diadakan kembali penyempurnaan dan penambahan terhadap Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta negara Indonesia dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 29 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3679).

Undang-undang Hak Cipta Nomor 12 Tahun 1997 ternyata tidak berlangsung lama, dikarenakan masih terdapatnya beberapa hal yang perlu disempurnakan terutama mengenai perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang Hak Cipta. Sehubungan dengan adanya penyempurnaan di bidang Hak Cipta, selanjutnya sebagai perkembangan baru, pada tahun 2002 dibentuk Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 sebagai penyempurna ketentuan setidaknya.

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ini memuat beberapa ketentuan baru, antara lain mengenai:

19

Muhammad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan


(35)

1. Database merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi.

2. Penggunaan alat apapun baik melalui kabel maupun tanpa kabel, termasuk media internet, untuk pemutaran produk-produk cakram optik melalui media audio, media audio visual dan/atau sarana telekomunikasi.

3. Penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga, Arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

4. Penetapan Sementara Pengadilan untuk mencegah kerugian lebih besar bagi pemegang hak.

5. Batas waktu proses perkara perdata di bidang Hak Cipta dan Hak Terkait baik di Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung.

6. Pencantuman hak informasi manajemen elektronik dan sarana kontrol teknologi.

7. Pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap produk-produk yang menggunakan sarana produk-produksi berteknologi tinggi.

8. Ancaman pidana atas pelanggaran Hak Terkait. 9. Ancaman pidana dan denda minimal.

10.Ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan program komputer untuk kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum.20 Akibat dari keterbatasan suatu negara terhadap produk hukum Hak Cipta nasional negaranya masing-masing menyebabkan munculnya kebutuhan pengaturan secara internasional. Hal ini memberikan dampak bahwa perlindungan Hak Cipta oleh seseorang di satu negara tidak berarti mendapat perlindungan di negara lain terhadap hasil karyanya, karena hukum nasional hanya berlaku di wilayah negaranya saja. Dengan demikian dirasakan perlunya perluasan pengaturan Hak Cipta ini secara internasional dengan membuat perjanjian atau konvensi internasional khususnya di bidang Hak Cipta. Perjanjian Internasional (konvensi) adalah: ”Suatu perjanjian yang diadakan antar anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu”.21

20

Ibid.

21


(36)

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.22 Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.23

Pentingnya defenisi operasional bertujuan untuk menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus di buat beberapa defenisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, yaitu:

Kerangka konsep yang akan diajukan dalam penelitian tesis ini adalah:

1. Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.

22

Samadi Surya Barata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 1998, hal. 28

23

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, Tahun 1984, hal. 133


(37)

2. Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran. 3. Izin penyelenggaraan penyiaran adalah hak yang diberikan oleh negara kepada

lembaga penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran.

4. Lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perUndang-undangan yang berlaku.

5. Hak cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

6. Neighbouring Right atau Related Right atau Hak Terkait adalah hak yang

berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.


(38)

Metode Penelitian

Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif yakni suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu sistem pemikiran ataupun suatu peristiwa pada masa sekarang dengan tujuan untuk membuat gambaran secara sistimatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki,24 selain itu berupaya mendeskripsikan, mencatat, menganalisis, dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang terjadi atau ada saat itu.25 Penelitian ini menggunakan pendekatan dari gejala-gejala subyek suatu kelompok yang menjadi obyek penelitian atau bersifat fenomenologis, yang berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu.26

Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Dimana Pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji berbagai aspek hukum. Pendekatan yuridis normatif dipergunakan dengan

24

Muh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 63

25

Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial-Format-format Kuantitatif dan Kualitatif, Airlangga University Press, Surabaya, Tahun 2001, hal. 143

26

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rakesarasin, Yogyakarta, Tahun 1996, hal. 94


(39)

melihat peraturan perundang-perundangan yang mengatur hak penyiaran di stasiun Deli TV.

Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan melakukan penelitian pada Stasiun Deli TV sebagai lembaga penyiaran,Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Utara dan karya Cipta Indonesia. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan mempelajari :

1. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum berupa peraturan perUndang-undangan, dokumen

resmi yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan, berupa Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas.

2. Bahan Hukum Sekunder

yaitu semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku, karya ilmiah.27

3. Bahan Hukum Tertier

27

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, Tahun 2005, hal. 141


(40)

yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang akan ditentukan.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga sehingga akan diperoleh apa yang menjadi tujuan penelitian. Untuk memperoleh hasil penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya maka dalam penelitian akan dipergunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi pustaka

Studi pustaka dilakukan dengan cara mempelajari, mendalami, dan mengutip teori-teori atau konsep-konsep dari sejumlah literatur, baik buku, jurnal, majalah, koran, atau karya tulis lainnya yang relevan dengan topik, fokus atau variabel penelitian

b. Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara. Wawancara akan dilakukan pada beberapa informan sebagai narasumber yaitu Pimpinan Stasiun Deli TV, Kordinator Bidang Pengelolaan Struktur Komisi Penyiaran Indonesia Derah Sumatera Utara dan Kepala Wilayah Karya Cipta Indonesia Daerah Sumatera Utara sebagai narasumber yang mempunyai informasi


(41)

yang memberikan keterangan-keterangan demi menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

Analisis Data

Dalam menganalisa data dipakai analisis data deskripstif kualitatif, yaitu data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif yaitu dengan langkah-langkah data diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian, hasilnya disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.


(42)

BAB II

BENTUK-BENTUK HAK DARI LEMBAGA PENYIARAN TELEVISI

A. Pengertian Lembaga Penyiaran Televisi

Televisi saat ini adalah sarana elektronik yang paling digemari dan dicari orang. Untuk mendapatkan televisi tidak lagi sesusah zaman dahulu dimana perangkat komunikasi ini adalah barang yang langka dan hanya kalangan tertentu yang sanggup memilikinya. Saat ini televisi telah menjangkau lebih dari 90 persen penduduk di negara berkembang. Televisi yang dulu mungkin hanya menjadi konsumsi kalangan dan umur tertentu saat ini bisa dinikmati dan sangat mudah dijangkau oleh semua kalangan tanpa batasan usia.28

Dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, pada Pasal 13 ayat 2 ditegaskan bahwa jasa penyiaran diselenggarakan oleh:

1. Lembaga penyiaran swasta 2. Lembaga penyiaran publik 3. Lembaga penyiaran komunitas 4. Lembaga penyiaran berlangganan.

Siaran televisi di Indonesia, mungkin di seluruh dunia, akan menghadapi kontroversi antara "disukai dan tidak disukai". Di satu sisi siaran tv "disayangi"

28

Dwi Kurnia, “Tugas PTK Televisi”,

http://dwikurniakj05.wordpress.com/2008/05/03/tugas-ptk-televisi/, diakses tanggal 10 Juni 2009.


(43)

karena memberi banyak kenikmatan, di sisi lain, "tidak disenangi" karena dianggap mendatangkan banyak perubahan yang sering dikaitkan dengan moral, etika, nilai-nilai tradisi dan dianggap terlalu "agresif" dalam persaingan antarmedia massa, cetak, elektronik, maupun film.29

Kita juga tidak cukup memberi perhatian pada perkembangan industri televisi yang kini berjalan bak berprinsip neoliberal, menyerahkan perkembangan industri sepenuhnya kepada pasar bebas.30

Dalam Kompas 11 Desember 1995 Dirjen Kebudayaan mengatakan, gencarnya serbuan informasi atau program asing melalui siaran televisi merupakan masalah paling umum kini. Pernyataan ini kiranya mewakili pendapat betapa siaran televisi telah membawa banyak masalah dalam kehidupan kebudayaan kita. Apakah semua masalah itu hanya menjadi "beban" penyelenggara siaran semata? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita tidak hanya menilai keluarannya (out put) televisi, namun membahas bagaimana sesungguhnya selama ini kita memperlakukan dan mengatur keberadaan televisi di Indonesia demi terciptanya manfaat yang optimal dan bukan sebaliknya.31

Media massa umumnya memiliki kebijakan masing-masing dalam menentukan isi atau program, untuk memperoleh kekhasan profil khalayak sasaran yang mereka inginkan. Kebijakan tersebut sekaligus menentukan mutu media massa

29

Kuswandi, Wawan. Komunikasi Massa : Sebuah Analisis Media Televisi, Rineka Eka Cipta, Jakarta, 1996, hal. V.

30

Amir Effendi Siregar, “Industri Televisi Kita,” http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg84522.html, diakses tanggal 20 Juni 2009.

31

William L Rivers, Jay W. Jensen, Theodore Peterson, Media Massa dan Masyarakat


(44)

yang bersangkutan, termasuk iklan-iklan yang dimuat atau ditayang oleh media massa tersebut.

Pengertian televisi itu sendiri dapat diartikan sebagai sebuah alat penangkap siaran bergambar. Kata televisi berasal dari kata tele dan vision, yang mempunyai arti masing-masing jauh (tele) dan tampak (vision).32 Jadi televisi berarti tampak atau dapat melihat dari jarak jauh. Penemuan televisi itu sendiri dapat disejajarkan dengan penemuan roda, karena penemuan ini dapat merubah peradaban dunia. televisi selalu indentik dengan kata siaran televisi, dimana menurut Surat Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia Nomor : 54 / B KEP / MENPEN / 1971 Tentang penyelenggaraan Siaran Televisi di Indonesia siaran televisi berarti siaran-siaran dalam bentuk gambar dan suara yang dapat ditangkap ( dilihat dan didengarkan ) oleh umum baik dengan system pamancaran dalam gelombang-gelombang elektro-magnetik maupun lewat kabel-kabel.

Kritik khalayak tidak hanya terjadi pada segi redaksional (media pers) atau program (media elektronik), tetapi seringkali juga pada iklan-iklan yang dimuat atau ditayangkan media massa tersebut. Adakah upaya media massa selama ini untuk menentukan kebijakan mutu iklan yang dimuat atau ditayangkan oleh mereka? Sebagai "pintu terakhir" untuk menyaring iklan yang melanggar etika, apa upaya media massa untuk turut mewujudkan swakrama?

32

Ruedi Hofmann, Dasar-dasar Apresiasi Program Televisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1999, hlm. 9.


(45)

Ada kesan, bahwa media massa lebih suka menyerahkan tugas penyaringan etika iklan kepada pihak lain, misalnya; perusahaan periklanan, pengiklan atau Lembaga Sensor Film, dan sebagainya.33 Padahal dalam Tata Krama Periklanan Indonesia jelas-jelas dinyatakan, bahwa Media Periklanan bertanggung jawab atas kesepadanan antara pesan iklan yang disiarkannya dengan nilai-nilai sosial-budaya dari profil khalayak sasarannya.

Salah satu lembaga penyiaran yang ada di Indonesia adalah Deli TV. Deli TV (DTV) adalah stasiun televisi lokal pertama di Medan dan Sumatra Utara. Memiliki stasiun pemancar di Sibolangit dan Studio & kantor di jl.wartawan simp.intertip Nomor1 Medan, Indonesia . Diluncurkan tgl 18 Desember 2005. Siaran dimulai jam 10.00 - jam 24.00 , dengan kontent hampir 50% program lokal. Hanya dalam 2 tahun, Delitv telah eksis dengan didukung hampir 70% sponsor atau iklan lokal.34

Tak diragukan lagi, bahwa sebenarnya tujuan diciptakan televisi memiliki banyak manfaat yang positif. Setidaknya seperti apa yang dikatakan oleh Drs. Wawan Kuswandi dimana dikatakakan bahwa tujuan dari media televisi seharusnya (hal ini dalam konteks luas, tetapi tak tertutup juga dalam konteks keindonesiaan) :35

1. Sebagai alat informasi 2. Hiburan

3. Kontrol sosial

33

Ibid.

34

Hasil wawancara dengan ibu Yose Piliang, Executive Produser Deli TVMedan, tanggal 2 Juni 2009.

35

Iwan Sutiawan, “ Menyibak ‘Budaya’ Latah Tayangan Televisi,” dalam http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0705/02/0805.htm, diakses tanggal 20 Juni 2009.


(46)

4. Penghubung wilayah secara geografis.

Mari kita lihat apakah tujuan dari media televisi sudah sesuai dengan apa yang diharapkan khususnya dengan porsi acara televisi di Indonesia yang disuguhkan oleh beberapa stasiun televisi di Indonesia, khususnya stasiun televisi swasta yang tumbuh menjamur baik coverage nasional maupun lokal. Bila ia sebagai alat informasi tak jarang hanya lebih banyak diisi dengan berita infotainment, berapa banyak berita yang bersifat interaktif dan memperkaya wawasan seseorang justru tidak ditempatkan pada slot acara yang dikategorikan prime time, berarti hal ini secara tidak langsung menjadikan sisi hura-hura (lepas dari hasrat para pemasang iklan) lebih banyak diangkat di televisi dibandingkan dengan sisi yang seharusnya menjadikan rakyat Indonesia lebih merasakan dan sensitif terhadap permasalahan sosial di sekitarnya. Masyarakat lebih suka dan lebih peduli dengan siapa selebritis yang hari ini bercerai dibandingkan dengan kasus mengapa seorang ibu tega membunuh ketiga anaknya. 36

Bila sebagai hiburan, maka tak jauh hiburan yang disuguhkan lebih banyak kepada fokus acara sinetron (sinema elektronik). Adapun sinetron yang ada, sangat tak mewakili seluruh provinsi di Indonesia, yang ada hanya lingkup sentralistik Jakarta dan memukul rata seluruh provinsi di Indonesia. Lihatlah sinetron ‘remaja’ yang muncul belakangan telah menjadikan para remaja menjadi sosok-sosok yang hedonis dan egois. Lihat pula dengan trend ‘terkenal-instan’ yang telah menjadikan masyarakat Indonesia berharap menjadi masyarakat instant pula, lihat juga trend dengan sinetron yang katanya ‘religius’ dan mengingatkan orang akan mati menjadi

36


(47)

latah di seluruh stasiun televisi swasta membuat sinetron ‘islami’ yang sama, dan sederetan hiburan yang tak jelas nilai pendidikkannya apalagi hubungan sosial yang ada di masyarakat Indonesia.

Bila ia sebagai kontrol sosial, rasanya tujuan ini jauh dari harapan. Disebabkan televisi telah menjadikan masyarakat Indonesia individu-individu yang hedonis, kapitalis, bahkan egois. Televisi telah berhasil menempatkan posisinya di hati rakyat Indonesia sebagai guide life yang rasanya ‘kotak ajaib’ itu mesti ada di rumah-rumah keluarga Indonesia, bayangkan dari mulai rumah gedongan sampai bantaran sungai dan kolong jembatan, dari yang bermerek asli sampai imitasi, dari yang bergaransi sampai hasil mencuri, televisi sudah menjadi hajat hidup orang banyak. Lantas bagaimana mau menjadi kontrol sosial, yang ada justru malah menjadikan masyarakat Indonesia para social climber dalam memperlebar stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial di masyarakat Indonesia ketika melihat realita bahwa mengikuti televisi sudah menjadi kewajiban tersendiri. Jadi jangan harap televisi menjadi sebuah kontrol sosial, yang ada malah masalah sosial selama tayangan televisi yang ada masih seperti ini.

Siaran-siaran televisi akan memanjakan orang-orang pada saat-saat luang seperti saat liburan, sehabis bekerja bahkan dalam suasana sedang bekerjapun orang-orang masih menyempatkan diri untuk menonton televisi. Suguhan acara yang variatif dan menarik membuat orang tersanjung untuk meluangkan waktunya duduk di depan televisi. Namun dibalik itu semua dengan dan tanpa disadari televisi telah


(48)

memberikan banyak pengaruh negatif dalam kehidupan manusia baik anak-anak maupun orang dewasa.

Hadirnya teknologi komunikasi telah membawa perubahan yang besar bagi kehidupan. Banyak sisi positif yang dihasilkan dari hadirnya teknologi televisi sekarang ini, namun sisi negatifnya tidak sedikit juga. Televisi yang berfungsi sebagai alat hiburan, penyampai informasi, pengetahuan/pendidikan, membujuk namun juga dapat menyesatkan dan membohongi publik dengan program-program acara tertentu.37 Komunikasi tanpa batas telah banyak mengakibatkan pergeseran moral. Banyak teyangan televisi saat ini yang sudah kehilangan fungsi. Sebagai lat komunikasi yang seharusnya memberikan manfaat positif, memberikan hiburan yang membangun akhlak namun justru melukai pemirsa baik anak-anak maupun orang dewasa.

Di antara media yang ada, televisi dipandang yang paling mempunyai kelebihan, karena mampu memvisualisasikan barang yang ditawarkan secara nyata, membentuk “image”, juga dilengkapi suara. Penyebaranyapun sangat luas, hampir ke seluruh pelosok nusantara. Untuk itu, televisi telah dimanfaatkan oleh kalangan bisnis umumnya untuk promosi atau iklan, dan nonbisnis untuk kepentingan pendidikan, kampanye/propaganda, penyampaian hasil pembangunan serta lainnya.

Keampuhan televisi seperti itu, tentu akan bermanfaat dan tidak berdampak negatif., jika kita mampu menyajikan pesan-pesan iklan yang benar dan tidak

37


(49)

tendensius. Namun sebaliknya, jika iklan tersebut hanya menyajikan mimpi , maka hal itu akan berdampak merugikan konsumen.

Pada Bab I angka 1 TKTCPI (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia) dinyatakan tentang definisi periklanan sebagai : “salah satu sarana pemasaran dan sarana penerangan”. Dengan demikian bagi perlindungan konsumen, iklan adalah alat pemasaran produk konsumen dan juga alat penerangan (informasi) produk konsumen yang ditawarkan. Sebagai sarana pemasaran, peran iklan adalah untuk mendorong penciptaan kebutuhan produk konsumen yang diiklankan, memantapkan dan atau meningkatkan pangsa pasar produk tersebut.

Mungkin harapannya adalah fungsi televisi sebagai penghubung wilayah geografis, dalam hal ini khususnya Indonesia yang wilayahnya luas dan terbagi menjadi beribu-ribu pulau (sampai banyak pulau yang belum diberi nama dan pulau yang hilang ketika pasirnya digerus negara tetangga). Setidaknya televisi dapat menjadi bermanfaat dengan tayangan breaking news-nya baik ketika gempa dan tsunami di NAD, gempa dan tsunami di Yogyakarta, gempa dan tsunami di Pangandaran. Televisi menjadi sarana yang efektif dalam menayangkan berita tersebut dengan sangat cepat (walaupun untuk mengatakan tepat sangat disangsikan, sebab seringkali informasinya meleset).38 Termasuk juga dengan adanya beberapa stasiun televisi yang menayangkan program acara petualangan ke daerah-daerah terpencil di Indonesia sehingga dapat memperkaya wawasan dan menjadikan

38

Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial (alih bahasa Tri Wibowo Budi Santoso), Prenada Media, Jakarta, Juli 2005, hlm. 23.


(50)

masyarakat kota berkaca (tapi itu dia kesemua acara tersebut tidak ditaruh pada slot prime time, jadi akhirnya masyarakat kota pun masih bisa berkaca dengan filem barat dan sinetron murahan).

Terdapat suatu asumsi bahwa televisi memiliki dampak destruktif yang luar biasa, terlebih pada perusakan sistem budaya. Nilai dan norma budaya masyarakat Indonesia yang telah diwarisi secara turun-temurun dapat berubah 360 derajat dengan kehadiran sebuah ‘kotak ajaib’ di rumah-rumah penduduk Indonesia.39

Gaya hidup western setidaknya telah memberikan warna tersendiri, atau justru bahkan mungkin lebih westernis dibandingkan dengan orang western yang ketika ada trend baru sangat sayang untuk dilewatkan oleh generasi belakangan. Gaya hidup

western dan instant pulalah yang menimbulkan masalah sosial baru dikalangan

masyarakat, tumbuhnya generasi hedon baru yang individualistik dan pesimis dalam menatap hidup telah merebak menjadi trend tersendiri di Indonesia.

Betapa tidak, hampir seluruh wilayah di Indonesia berubah menjadi Jakarta. Penulis pernah berkesempatan ke suatu wilayah di Jawa Tengah dan mengunjungi sebuah pasar pakaian murah, dan alangkah kagetnya saya ketika melihat beberapa penjualnya telah menjadi ‘orang Jakarta’ yang berdialek Jawa. Gaya pakaian si-mba yang cukup full pressed body, rambut yang disisir ke pinggir di rebonding dan colouring, gaya bicara medoknya ketika mengucapkan lu-gue, hingga interaksi

39

Wirodono, Sunardian., Matikan TV-Mu, Teror Media Televisi Di Indonesia, Yogyakarta: Resist Book, Maret 2006


(51)

dengan teman yang lain benar-benar Jakarta. Kalau tetap seperti ini mungkin budaya lokal dan tradisi adat yang asli akan pudar dan luntur digerus oleh televisi.

B. Fungsi Sosial Televisi

Penyiaran selain profit oriented sekaligus berfungsi sosial. Penyiaran secara kelembagaan maupun content-nya, tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan masyarakat tempatnya berada. Sebagai lembaga penyiaran nasional di daerah, sikap-laku etis dan susila adalah kaidah batin dari lembaga penyiaran. Ini adalah refleksi nasionalismenya sebagai perekat sosial dan bangsa, sehingga tidak tabu bila ikut menghormati norma-norma sosial dan nilai-nilai setempat sebagai upaya memajukan local genius. Penghormatan atas keragaman, adalah etika nasional sehingga mampu menjaga Negara-Bangsa Indonesia dalam bingkai multi kultur.

Implikasinya cukup luas. Ini dapat dilihat dari perspektif hukum, sosial, dan politik. Alasannya, pertama, dengan sikap apatis tersebut, posisi KPID sebagai produk hukum diabaikan (belum dilecehkan). Kedua, sebagai badan regulasi, dalam logika hukum - seharusnya mampu mengatur lembaga penyiaran - ini mengesankan kurang wibawa.

Keadilan yang diinginkan masyarakat sering berseberangan dengan keadilan legalis tersebut. Antara das sein dan das solen, antara hukum normatif dan empiris, interprestasi dan aplikasinya sering mengalami pembiasan. Dalam kasus tersebut, pendekatan sosial dalam penegakan hukum dibutuhkan, sehingga Undang-undang tersebut mampu memberi keadilan distributif (kesebandingan).


(52)

Dalam menjalankan fungsi dan perannya untuk melayani masyarakat, antara KPI dan lembaga penyiaran di daerah ini, ke depan, perlu terus membuka ruang dialog dan berkomunikasi. Upaya menegakan Hukum Penyiaran tetap konsisten dilaksanakan. Ini akan menjamin kepastian hukum bagi masyarakat umum maupun masyarakat penyiaran. Walaupun demikian nilai-nilai etika, budaya, sosial dan agama masih relevan dikedepankan dan dijadikan norma lainnya karena ikut berperan dalam mengatur ketertiban masyarakat.40

Dari aspek yuridis sudah cukup jelas pada bagian sebelumnya bahwa hal ini adalah amanat yang tersirat dalam perUndang-undangan. Sebutlah Undang-undang 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi maupun Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam Undang-undang Penyiaran Pasal 3 disebutkan: “Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.”

Amanat yang lebih jelas tertulis pada pasal 36 ayat 1 Undang-undang Penyiaran : “Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untik pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan

40

Hadriani P, “Gaya Hidup, Mengawal Hak Cipta Program Televisi”, http://www. korantempo.com/korantempo/login.html, diakses tanggal 10 Juni 2009.


(53)

budaya”

Adalah sebuah pesan konstitusional bagi dunia penyiaran untuk melakukan peran-peran konstruktif berupa peran-peran edukasi, menjaga keutuhan negara serta pengamalan nilai-nilai agama dan budaya. Selain peran sebagai media informasi dan hiburan.

Eksistensi KPI adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam hal penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili kepentingan masyarakat.Legitimasi politik bagi posisi KPI dalam kehidupan kenegaraan berikutnya secara tegas diatur oleh Undang-undang Penyiaran sebagai lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Secara konseptual posisi ini mendudukkan KPI sebagai lembaga negara atau dalam istilah lain juga biasa dikenal dengan auxilarry state institution.

Dalam rangka menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan (otoritas) menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi. Dalam melakukan kesemua ini, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara lainnya, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan. Ini misalnya terkait dengan kewenangan yudisial dan yustisial karena terjadinya pelanggaran yang oleh Undang-undang Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana. Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada umumnya.


(54)

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) khususnya di Kota Medan menghadapi tantangan besar untuk menumbuhkan tanggung jawab publik lembaga penyiaran. Aspek yuridis, sosial, filosifis dan ekonomis adalah peta besar persoalan yang harus menjadi konsen KPID. Melalui perangkat dan kewenangan yang dimiliki, KPID harus mampu mendorong tumbuhnya tanggung jawab publik lembaga penyiaran.41 Karena lembaga penyiaran menggunakan ranah publik untuk melakukan kegiatan penyiaran, seluruh kegiatannya harus diabdikan kepada kepentingan publik, sesuai dengan tuntutan hukum, peran sosial yang konstruktif, dasar filosofis dan ekonomis yang normative.

Lembaga penyiaran sebagai rumpun media massa, jelas mempunyai peran sosial yang besar. Lembaga penyiaran menjadi bagian integral dari kehidupan sosial, sebagai media hiburan, pendidikan dan informasi. Bahkan lebih dari itu, lembaga penyiaran juga memainkan peran sebagai agen perubahan sosial. Sebagai media komunikasi massa, televisi sebagai media yang paling besar menyita perhatian masyarakat, sebagai media yang paling banyak dikonsumsi publik, mempunyai peluang dan tantangan besar untuk memainkan peran konstruktif. Sementara radio yang mempunai karakter intrusif, juga sangat potensial menembus lapisan masyarakat secara luas. Burhan Bungin dalam bukunya Sosiologi Komunikasi menyebut peran media sebagai agent of change adalah paradigma utama. Media harus memainkan peran sebagai institusi pencerahan masyarakat (sebagai media edukasi). Selain itu

41

Hasil wawancara dengan Ibu Ranggini, SE, Kordinator Bidang Pengelolaan Struktur, Komisi Penyiaran Indonesia¸ Medan.


(55)

media juga harus mencetak masyarakat yang kaya informsai (sebagai media informasi). Terakhir, media harus mampu mendorong perkembangan budaya manusia yang bermoral dan masyarakat sakinah. Dengan demikian, media massa juga berperan mencegah berkembangnya budaya-budaya yang justru merusak peradaban manusia.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Bentuk-bentuk hak dari lembaga penyiaran televisi

a. Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar dari pertunjukannya.

b. Produser rekaman suara memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya memperbanyak dan atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyi.

c. Lembaga penyiaran memiliki hak eksklusif untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak dan/atau menyiarkan ulang karya siarannya melalui transmisi dengan atau tanpa kabel, atau melalui sistem elektromagnetik lain

2. Perlindungan hak terkait lembaga penyiaran televisi menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta adalah antara lain hak-hak para pelaku artis (performing artist) yang dapat terdiri dari para penyanyi, aktor, musisi, dan sebagainya yang menyampaikan kepada publik suatu pertunjukan hidup (live


(2)

performing), fiksasi dari pertunjukan demikian dan perbanyakan (reproduksi) dari pertunjukan-pertunjukannya, juga para produser rekaman suara (producer of sound recording/phonogram), terutama hak-hak mengontrol reproduksi rekaman suara yang dibuat oleh pemegang Hak Cipta. Selanjutnya, lembaga-lembaga penyiaran yang menghasilkan karya-karya suaranya, seperti hak mengontrol siaran ulang, fiksasi dan reproduksi karya siarannya yang dilakukan pemegang Hak Cipta.

3. Mekanisme penyelesaian sengketa dalam hal pemberian hak terkait lembaga penyiaran televisi menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Upaya penyelesaian sengketa atau pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait dalam Undang-undang Hak Cipta 2002 dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: a. Melalui tuntutan pidana,

b. Melalui gugatan perdata,

c. Melalui alternatif penyelesaian sengketa.

B. Saran

1. Perlu dilakukan sosialisasi tentang perlunya perlindungan hukum terhadap neighbouring right, agar masyarakat dapat mengetahui lebih jelas.

2. Para penegak hukum diharapkan agar dalam menangani perkara pelanggaran Hak Terkait kiranya mempergunakan wewenang yang diberikan Undang-undang, hendaknya hukuman yang diberikan benar-benar setimpal dengan


(3)

3. Perlindungan hukum Hak Terkait dapat terlaksana dengan baik apabila ada tekad dan kerjasama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat dan pihak-pihak yang berkecimpung di dalamnya, yaitu dengan cara mensosialisasikan pembuatan kontrak dan perjanjian kerja sama secara notariel. Sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi kedua belah pihak.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU:

Abdulkadir Muhammad, 2001, Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Anthony Giddens, terj.2001, Runaway World, Penerj. Andri Kristiawan S dan Yustina Koen S, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Bambang Kesowo, GATT, TRIPS dan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), Mahkamah Agung, Jakarta, 1998.

Budi Rahardjo, 2002, Memahami Teknologi Informasi:Menyikapi dan Membekali Diri Terhadap Peluang dan Tangtangan Teknologi Informasi, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

Burhan Bungin, 2001, Metode Penelitian Sosial-Format-format Kuantitatif dan Kualitatif, Airlangga University Press, Surabaya.

Carlos M Correa, Intellectual Property Rights, the WTO and Developing Countries the TRIPs Agreement and Policy Option, Malaysia: Zed Books Ltd, 2000. Dedy Kurniadi, 2005, Perlindungan Hak Cipta atas Format Program Televisi, Jurist

Publishing, Jakarta.

Insan Budi Maulana, 2005, Undang-undang Haki Indonesia (Indonesian IPR Laws), Citra Aditya Bakti, Bandung

Keith Tester, 2003, Media, Budaya Dan Moralitas, Penerj. Muhammad Syukri, Yogyakarta: Kerjasama Juxtapose dengan Penerbit Kreasi Wacana.terj.2003 Kuswandi, Wawan, 1996, Komunikasi Massa : Sebuah Analisis Media Televisi,

Rineka Eka Cipta, Jakarta.

M. Linggar Anggoro, 2001, Teori dan Profesi Kehumasan, Serta Aplikasinya Di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta.

Mochtar Kusumatmaja, 1978, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Jakarta. Muh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Muhammad Djumhana dan Djubaedillah, 2003, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia), Edisi Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung. Noeng Muhajir, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rakesarasin, Yogyakarta. OK. Saidin, 2003, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelektual Property

Rights), Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.

Pipin Syaripin dan Dedah Jubaedah, 2004, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Pustaka Banu Quraisy, Bandung.

Ramdlon Naning,1982, Perihal Hak Cipta Indonesia, Liberty, Yogyakarta.


(5)

Sanusi Bintang, 1997, Hukum Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sentosa Sembiring, 2006, Hak Kekayaan Intelektual dalam Berbagai Peratuiran PerUndang-undangan, Yrama Widya.

Sitepu, Runtung, Diktat Kuliah HaKI-I – Hak Cipta, Paten, Merek,Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum Medan, tahun 2003

Soejono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Sri Sartono, 2008, Teknik Penyiaran Dan Produksi Program Radio, Televisi Dan Film Jilid 1, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, 1998, Konvensi-konvensi Hak Milik Intelektual Baru Untuk Indonesia (1997), Citra Aditya Bakti, Bandung. Suyud Margono dan Longginus Hadi, 2002, Pembaharuan Perlindungan Merek,

Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta.

Sztompka, Piotr, 2005, Sosiologi Perubahan Sosial (alih bahasa Tri Wibowo Budi Santoso), Prenada Media, Jakarta.

Taryaba Soenandar, 1996. Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-Negara ASEAN,Grafika, Jakarta, 1996.

Vogt Erich, Pelayanan Umum Sebagai Salah Satu Bentuk Penyiaran, Friedrich Ebert Stiftung, Jakarta, Tahun 2001.

William L Rivers, Jay W. Jensen, Theodore Peterson, 2003, Media Massa dan Masyarakat Modern (edisi kedua, alih bahasa Aris Munandar & Dudy Priatna), Kencana, Jakarta.

KARYA ILMIAH DAN SITUS INTERNET:

A. Zen Umar Purba, Perlindungan Dan Penegakan Hukum Haki, Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman Dan Ham RI, Makassar, 20 November 2001.

Amir Effendi Siregar, “Industri Televisi Kita,” http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg84522.html, diakses tanggal 20 Juni 2009.

Dwi Kurnia, “Tugas PTK Televisi”, http://dwikurniakj 05.wordpress. com/ 2008/ 05/03/tugas-ptk-televisi/, diakses tanggal 10 Juni 2009.

Edmon Makarim, “Bias Hak Cipta Layanan Ring Back Tone Ponsel”, www.lkht.net/index.php?...88%3Abias-hak-cipta...layanan-rbt.

Hadriani P., 2009, “Gaya Hidup, Mengawal Hak Cipta Program Televisi”, http://www. korantempo.com/korantempo/login.html, diakses tanggal 10 Juni 2009.


(6)

Harjono Hafdjani, 2007, Dampak Globalisasi Media Terhadap Masyarakat Dan Budaya, Indonesia,

bl.ac.id/wp-content/uploads/2007/04/blcom-04-vol2-no2-april20071

Iwan Sutiawan, 2005, “Menyibak ‘Budaya’ Latah Tayangan Televisi,” dalam http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0705/02/0805.htm, diakses tanggal 20 Juni 2009.

Mark Hill, 2006, “Format Rights Put To The Test, http/www.web13.epnet. com/citation.asp?. diakses tanggal 25 Februari 2009.

Masyarakat Seni Pertunjukan, 2007, “Pelik-Pelik Persoalan Perlindungan HaKI Bagi Karya Rekaman, Karya Siaran, dan Karya Pertunjukan,” http://www.mspi.org/index.php? option=com_content&task =view&id=75 &Itemid=83, diakses tanggal 13 Maret 2009.

Media Televisi, 2009, http://belajardekavetiga.blogspot.com/2005/09/media-televisi.html, diakses tanggal 10 Januari 2009.

Memahami Lembaga Penyiaran, http://www.koranpendidikan.com/artikel-1529.html, diakses tanggal 5 Februari 2009.

Mira R. Gnagey, “TV Watch Sebuah Kebutuhan Baru”,, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0703/04/0801.htm, diakses tanggal 3 Juni 2009.

Noegroho , “Hak Terkait”, makalah lemlit.ugm.ac.id/ makalahhk i/HAK%20TERKAIT.ppt, diakses tanggal 10 Mei 2009.

Rusdy Nurdiansyah, “Menggapai Bintang Melalui Festival,” http://www.republika.co.id/ oran_detail.asp?id=152622&kat_id=306 &kat_ id1=&kat_id2, diakses tanggal 10Juni 2009.

Satrio Arismunandar, Proses Pembuatan Berita Di Stasiun Televisi: Studi Kasus Trans TV, http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2004/08/proses-pembuatan-berita-di-stasiun.html.dikases tanggal 1

Suryomurcito, Hak Atas Kekayaan Intelektual Dan Lembaga Peradilan, Aktualita HaKI, Januari 2003.

Tim Redaksi, “Profil MQTV”, http://www.cybermq.com/mqtv/list_profil.php?id=1, diakses tanggal 2 Juni 2009.

Tonny Trimarsanto, “Televisi Monokultur di Negeri Multikultur,” http://www.republika co.id/koran_detail.asp? id=50665&kat_id=80&kat _id1=& kat_id2=.

Wirodono, Sunardian., Matikan TV-Mu, Teror Media Televisi Di Indonesia, Yogyakarta: Resist Book, Maret 2009

PERUNDANG-UNDANGAN: