Aneka Pandangan Di Sekitar Struktur Informasi

Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, Nomor 1

ANEKA PANDANGAN DI SEKITAR STRUKTUR INFORMASI
Namsyah Hot Hasibuan
Abstract: For a wide range of period a number of experts had given seriously their
notions pertaining with information structure. That they were in fact from different
background of studies make it more plausible to considering of their varied
terminological existence for the same referent in dealing with information structure.
Among other of their rested terms are, such as dicotomy of subject-predicate
(subyek-predikat), topic-comment (topik-komen), and given-new (lama-baru). The
former one is as two terms which rendered many services on the explanation of
syntactic structures. In recent years experts working on information structure have
taken the given-new distinction and applied it to written sentences. Since written
sentences have no intonation, intonation structure was then assigned on them. What
may be the implication of such treatment and the other experts’ notions on the other
terms can furtherly being come by us across this paper’s contents.
Keywords: different in terminology for the same referent
PENDAHULUAN
Soal subyek dan predikat, sebagai
salah satu dikotomi yang ditemukan dalam
kajian bahasa, ternyata terdapat juga sejumlah

ilmu lain yang ambil bagian dalam
pembicaraannya. Tidak mengherankan apabila
pada bagian berikut ini terdapat berbagai
pandangan dan konsepsi terhadap istilah
dikotomis tersebut, termasuk problema yang
muncul dari penggunaannya. Selain itu,
ditemukan juga istilah lain yang oleh sebagian
ahli dipandang sebagai solusi alternatif
terhadap problema penggunaan subyekpredikat tersebut.
Uraian selanjutnya adalah mengenai
struktur informasi dalam teks, mulai dari masa
pengembangannya oleh para ahli dari mazhab
Praha, yang di antara upayanya diketahui telah
mengintegrasikan pembedaan antara tema dan
rema ke dalam sistem tata bahasa. Upaya
mereka menggunakan pendekatan fungsional,
yang menekankan urgensi struktur informasi
dalam berkomunikasi melalui penggunaan
bahasa, adalah suatu hal yang patut menjadi
catatan. Pemikiran tentang pengemasan

informasi dapat dipandang sebagai bagian
implikatif dari pendekatan fungsional itu.
Dalam lanjutan pembicaraan struktur
informasi, ternyata tidak kalah pentingnya
pembicaraan tentang satuan-satuan informasi,
baik yang bersifat tutur maupun yang hurufiah,
yang merupakan pengkajian terhadap struktur
informasi setelah menjadikan pembedaan
antara lama-baru dalam konteks bahasa tulis.
Dengan alasan kalimat tulis tidak memiliki
54

Namsyah Hot Hasibuan adalah Dosen FS USU

intonasi, maka sejumlah ahli menerapkan
struktur intonasi terhadapnya. Dalam lanjutannya, diketahui bahwa informasi lazimnya
dikemas dalam struktur yang tautannya erat
dengan struktur wacana. Hal itu, oleh ahli,
didasarkan pada penutur, yang dalam menyampaikan informasi, bahasa yang digunakan
terlebih dahulu harus melalui upaya

penyusunan berdasarkan struktur sintaksis dan
wacana pada saat penggunaannya.
Ciri lebih informatif dan kurang informatif juga melengkapi uraian ini. Susunan kata
ataupun intonasi dijadikan dasar pertanda atas
pembedaan keduanya. Disebutkan bahwa
bagian yang dipandang lebih informatif
posisinya berada sesudah bagian yang kurang
informatif. Dalam kaitan inilah muncul istilah
tema-rema atau topik-komen. Dari segi
prosodi, bagian yang lebih informatif ditandai
oleh ciri intonasi yang paling menonjol berupa
aksen nada. Bagian kalimat lainnya, yang
kurang menonjol dari segi intonasi dipandang
sebagai
bagian yang kurang informatif.
Terhadap bagian berurutan yang disebutkan
ada juga yang mengidentikkannya dengan
pembedaan bagian kalimat atas fokus-latar
atau lama-baru. Hal lain yang dapat ditambahkan berkenaan dengan struktur informasi
dan struktur wacana adalah, dalam banyak

bahasa keduanya sama-sama dipengaruhi oleh
faktor prosodi.
PEMBAHASAN
Dikotomi subyek-predikat telah lama
menjadi bahan pembicaraan. Soalnya kedua

Hasibuan, Aneka Pandangan di Sekitar...

istilah tersebut tidak hanya melulu sebagai
bahan pembicaraan linguistik. Di samping itu
terdapat juga sejumlah ilmu lain yang tercatat
telah
turut
ambil
bagian
dalam
membicarakannya,
seperti
epistemologi,
logika, metafisika, ontologi, yang semuanya

itu merupakan bawahan ilmu filsafat. Bidang
lain yang menyusul kemudian adalah psikologi
atau teori informasi. Penelusuran historis
menunjukkan bahwa penggunaan dikotomi
subyek-predikat dapat merujuk kembali
kepada Plato dan Aristoteles. Kedua istilah
tersebut dipandang sebagai kategori yang
menunjukkan fungsi yang berbeda dalam
kalimat. Istilah subyek dipersepsi sebagai
nomina, sedangkan predikat sebagai verba.
Namun, kemajuan penelitian dalam bidang
tipologi bahasa memberi bukti
bahwa
dikotomi subyek – predikat bukan merupakan
kategori yang bersifat universal. Dalam bahasa
Indonesia saja, ditemukan predikat yang tidak
termasuk ke dalam kategori verba, misalnya
pada kalimat bersahaja: Rumah orang itu
tepas, tiangnya empat. Seperti yang terdapat
pada kalimat pertama bahasa Indonesia di atas,

predikat kalimat tersebut tidak termasuk ke
dalam kategori verba atau kerja. Predikatnya
adalah kelas nomina atau benda. Demikian
juga kalimat kedua, jelas bahwa predikatnya
adalah kategori adverbia, yang dalam hal ini
kata bilangan, bukan kelas verba atau kerja
seperti pemersepsian awal yang disebutkan di
atas.
Problema nyata yang muncul dari
pemersepsian dikotomi subyek-predikat di atas
telah menjadi pendorong bagi sebagian ahli
bahasa untuk menggantikan dikotomi tersebut
dengan topik-komen (topic-comment). Namun,
topik-komen kemudian tidak begitu dipandang
sebagai istilah yang mencerminkan aspek
gramatikal, dalam hal ini kategori kalimat,
karena keduanya lebih terkait dengan
pengetahuan atau pemahaman oleh partisipan
terhadap apa yang lagi dibicarakan atau aspek
tentang apa yang disebutkan sebelumnya

daripada tentang struktur unit bahasa.
Problema yang muncul dalam mendefinisikan
kalimat melalui penggunaan struktur subyekpredikat dengan sendirinya tercatat sebagai
penyebab tidak digunakannya lagi konsep
tersebut dalam teori sintaksis. Walau
demikian, pengertian dasarnya masih tetap
dapat ditemukan pada teori linguistik generatif
dalam upayanya mentransformasikan kalimat
menjadi sebuah FB (Frasa Benda) dan FV

(Frasa Verba) (K Æ FN FV). Dari gambaran
di atas, secara ringkas dapat dikatakan bahwa,
di satu sisi, penggunaan konsep subyekpredikat dalam telaah bahasa bermanfaat
secara deskriptif, tetapi hingga kini kedua
istilah tersebut belum lagi memiliki batasan
gramatikal yang jelas.
Dalam epistemologi, dikotomi subyekpredikat, masing-masing dikonsepsi sebagai
bagian kalimat yang lagi dibicarakan, dan
bagian mana dari kalimat yang menjelaskan
sesuatu. Pada kalimat biasa subyek dan

predikat dalam kajian epistemologi identik
dengan yang ditemukan pada kajian gramatika.
Namun, dalam sejumlah hal, seperti pada
kalimat berkonstruksi pasif, kedua bidang
kajian ini berbeda pandangan terhadap
penetapan subyek. Pada kalimat pasif bahasa
Indonesia: Ikat pinggangku dicuri si Gotuk,
misalnya, problema muncul pada penentuan
subyek. Dalam hubungan ini, bagian yang
manakah pada kalimat bahasa Indonesia
tersebut
yang
menjadi
subyek
epistemologisnya? Pertanyaan semacam ini
dapat timbul dengan mengingat bahwa
pandangan epistemologis memperhatikan juga
adanya ihwal ketergantungan konteks (context
dependent)
dalam

setiap
putusannya,
sebagaimana halnya penggunaan topik dalam
teori linguistik.
Dalam logika terdapat dua konsepsi
utama tentang struktur kalimat. Yang pertama
(1) pengkonsepsian subyek dan predikat secara
tradisional, yang dapat dirujuk kembali ke
karya-karya Aristotles awal; yang kedua (2)
pengkonsepsian menurut pandangan Frege
yang menyebutkan adanya struktur fungtorargumen (functor-argument) dalam kalimat.
Dengan mengikuti pandangan Aristotles alias
tradisional, terdapat pengasumsian bahwa
subyek dan predikat merupakan istilah umum
yang dihubungkan dengan kehadiran kopula,
yang dapat diskemakan seperti S adalah P ( S
is P ). Kalimat dengan penggunaan kopula
menunjukkan adanya penetapan hubungan
antara subyek dan predikat, dan hal itu
tergambar, misalnya, pada kopula yang

menggunakan pola some……is, atau all
……are. Perhatikan contoh (01a-b) berbahasa
Inggeris berikut ini.
(01) a. Some Athenian is big. (A is B for some
A)
b. All Athenians are Greeks. (A is G for all
A)
55

Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, Nomor 1

Contoh (01a – b) di atas merupakan
cerminan dari pandangan tradisionalis ala
Aristotles yang memperlakukan subyek dan
predikat secara simetris serta pembenaran
terhadap bentuk kalimat inversif sebagai upaya
menemukan kaidah penarikan kesimpulan.
Dengan cara demikian, dari kalimat contoh
(01a) dan (01b) di atas, mereka dapat
mengambil kesimpulan seperti tergambar

pada: Some big person is Athenian, Some
Greeks are Athenian. Contoh kalimat yang
merupakan
cerminan
pola
pandangan
tradisionalis di atas ternyata menuai banyak
kritikan dengan berbagai alasan, di antaranya:
(1) ciri kesimetrisan tidak dapat diberlakukan
pada kalimat negasif, (2) tidak ditemukannya
pembenaran penjelasan kalimat hanya melalui
penggunaan satu perangkat istilah tertentu, dan
(3) penerapan penentuan hubungan subyekpredikat secara simetris tidak memungkinkan
pada kalimat, seperti: Every Athenian hates
some king.
Konsepsi yang menunjukkan relasi
subyek dan predikat dengan penggunaan
kopula, seperti pada contoh (01a-b) tidak
ditemukan contohnya dalam kalimat biasa
bahasa Indonesia. Keidentikan makna antara to
be, yang dipandang sebagai kopula dalam
kalimat seperti pada (01a-b), memang
ditemukan dengan kata ada dalam bahasa
Indonesia. Namun, kata tersebut tidak
ditemukan dalam kalimat biasa sebagai kopula
yang menunjukkan hubungan subyek predikat,
sebagaimana terdapat pada (01a-b). Untuk
mengungkapkan pola makna yang sama,
seperti pada contoh (01a-b), bahasa Indonesia
tidak menggunakan kata ada, melainkan
menghilangkan penggunaannya sebagai kopula
dalam kalimat. Dengan demikian, penggunaan
kata itu sebagai kopula pada kalimat (02a) dan
(02b) masing-masing dalam bahasa Indonesia
dipandang sebagai kalimat yang tidak diterima.
Untuk dapat diterima, kedua kalimat tersebut
dapat ditempuh melalui cara penghilangan atau
peniadaan kata yang dianggap sebagai kopula
tersebut, sehingga diperoleh kalimat yang
berterima seperti pada contoh (02c – d) yang
berikutnya.
(02) a. * Ayahku ada dokter.
b. * Rumah besar itu ada rumah raja.
c. Ayahku dokter.
d. Rumah besar itu rumah raja.

56

Pemunculan kata ada terjadi dalam
kalimat bahasa Indonesia apabila kata tersebut
digunakan bukan sebagai kopula penunjuk
relasi subyek-predikat, melainkan sebagai
penunjuk keberadaan sesuatu pada tempat
tertentu. Jadi, kata ada, dalam hal ini, sudah
merupakan kata berkategori adverbial lokatif.
Perhatikan contoh (03a-b) berikut ini.
(03) a. Ayahku ada di rumah.
b. Sudah kukatakan, tidak ada dia
datang ke mari.
Pandangan berikutnya tentang konsep
struktur kalimat adalah yang berasal dari
Frege. Dia mendasarkan pandangannya pada
konsep kalimat tunggal (atomic sentence) yang
terdiri dari sebuah fungtor dan satu argumen.
Kalimat seperti (04a) merupakan model
kalimat tunggal dengan menghadirkan predikat
bertaut argumen, sementara kalimat pada (04b)
merupakan konstruksi kalimat pada umumnya,
yang memiliki penentu relasi subyek-predikat.
(04) a. Sokrates berjalan kaki.
b. Setiap orang senang padanya.
Selanjutnya, dalam Brown dan Yule
(1989) disebutkan bahwa kajian intensif
tentang struktur informasi dalam teks mulai
dikembangkan oleh para ahli dari mazhab
Praha sebelum Perang Dunia II. Di sana
mereka melakukan pengkajian, menurut
perspektif fungsi kalimat terhadap yang
mereka sebut dinamisme komunikatif yang
terdapat pada bagian-bagian kalimat. Dari sana
jugalah, menurut Van Heusinger (1999), ahliahli Praha mengintegrasikan pembedaan antara
tema dan rema ke dalam sistem tata bahasa.
Ciri strukturalis mazhab Praha yang, dalam hal
ini, penting dicatat menurut Van Heusinger
adalah, mereka menggunakan pendekatan
fungsional. Bahasa dipandang sebagai alat
untuk melakukan komunikasi, dan oleh karena
itu struktur informasi dipandang penting, baik
untuk sistem bahasa maupun untuk
kepentingan proses komunikasi itu sendiri.
Perspektif fungsional kalimat dikembangkan selanjutnya oleh berbagai peneliti.
Firbas (1964) misalnya, (dalam Van Heusinger
1999) berpendapat bahwa struktur informasi
lebih tepat dipandang sebagai suatu
keseluruhan tingkatan atau hierarki yang
disebutnya dinamisme komunikatif, seperti
telah disebutkan di atas. Kemudian

Hasibuan, Aneka Pandangan di Sekitar...

dikembangkanlah relasi tematis kalimat ke
dalam teks, dan mazhab Praha dari generasi
berikutnya menggunakan dikotomi topik-fokus
serta memberi penjelasan sekalian, bagaimana
mengintegrasikan struktur topik-fokus ini ke
dalam model tata bahasa.
Untuk
menindaklanjutinya
dapat
dicoba memformalkan topik-fokus, dengan
menyesuai-kannya
dengan
proposisi
terstruktur dan logika dinamis. Perlu diingat
bahwa yang paling banyak berupaya dalam
memperkenalkan pembedaan antara tema dan
rema oleh pengikut mazhab Praha kepada para
linguis strukturalis Amerika adalah Halliday
(lihat Brown dan Yule, 1989). Oleh Halliday,
hasil kajian Praha selanjutnya dikembangkan
dan mendapat penyintesaan langsung dengan
struktur teks yang telah menjadi bidang yang
digemarinya. Secara khusus, dia telah
mengadopsi pandangan mazhab Praha tentang
informasi yang menyebutkan bahwa informasi
terdiri dari dua kategori. Kategori yang
pertama dan kedua adalah informasi baru (new
information) dan informasi lama (given
information). Informasi baru dalah informasi
yang diketahui lebih dahulu oleh pemberinya,
sedangkan yang menerimanya belum mengetahuinya. Pada informasi lama ditemukan
bahwa apa yang diketahui oleh pemberi
tentang isi informasi telah diketahui pula oleh
si penerima informasi. Tahunya penerima akan
isi informasi dapat saja disebabkan oleh
adanya wujud fisik dalam konteks, atau oleh
karena telah disebutkan dalam wacana.
Lebih lanjut lagi, Halliday mengikuti
mazhab Praha yang memandang informasi
sebagai faktor yang bersifat fungsional.
Menurut Halliday, dalam Bahasa Inggris,
faktor intonasi dapat berfungsi membedakan,
atau setidaknya dapat dijadikan sebagai
pertanda penunjuk informasi mana yang oleh
penutur perlakukan sebagai yang baru serta
mana pula yang diperlakukan sebagai
informasi lama. Dalam bahasannya tentang
struktur
informasi,
Halliday
memiliki
kecenderungan secara khusus melakukan
spesifikasi terhadap penyusunan atau pengorganisasian informasi dalam Bahasa Inggris
tutur serta menghubungkannya dengan
realisasi fonologis, terutama intonasinya.
Belakangan, banyak ahli telah
mengembangkan lingkup pembicaraan tentang
informasi lama dan baru ini kepada struktur
kalimat dengan tujuan untuk merealisasikan
kedua kategori informasi tersebut. Yang terjadi

sesudahnya adalah penyimpangan dalam
memaknai istilah tersebut. Perluasan makna
terjadi, utamanya terhadap yang disebut lama,
yang justru lebih luas maknanya dari yang
dimaksudkan semula oleh Halliday. Malah,
dari maknanya yang terakhir tidak ditemukan
pertaliannya lagi dengan faktor intonasi, yang
oleh Halliday sendiri telah mendapat perhatian
dan pembicaraan sebelumnya. Bagaimana
sesungguhnya pandangan Halliday terhadap
struktur informasi dapat ditelusuri melalui
uraian Brown dan Yule 1989. Dijelaskan,
Halliday mengasumsikan bahwa penutur
bermaksud mengkodekan isi klausa (yang
merupakan unit dasar dalam sistem tata
bahasa). Dalam banyak hal, apa yang Halliday
pandang sebagai isi ideasional sebuah klausa
dapat dibandingkan dengan apa yang ahli lain
sebut sebagai isi proposisional kalimat biasa.
Isi klausa ini disusun oleh penutur ke dalam
struktur klausa kalimat dan mencari di
dalamnya pilihan tematis yang dapat
diperolehnya. Dalam bahasa tutur, isi klausa
disusun ke dalam satu atau lebih satuan
informasi,
yang
secara
fonologis,
direalisasikan melalui intonasi. Menurut
Halliday, penutur diharuskan membagi
tuturannya ke dalam satuan-satuan informasi,
dan menyampaikan pesannya dalam kemasan
berurutan. Penutur secara mana suka dapat
menetapkan bagaimana dia harus mengemas
informasi itu. Selain itu, penutur juga bebas
menetapkan dari mana setiap satuan informasi
diawali ataupun diakhiri, serta bagaimana
susunan internal satuan informasi yang akan
dibuat.
Berpedoman pada penjelasan di atas,
dengan mengambil contoh bahwa penutur
hendak memberi tahukan pendengarnya bahwa
Kucing putih itu telah pergi dari rumah, dia
dapat mengemas informasi yang terdapat
dalam kalimat Bahasa Indonesia itu ke dalam
aneka jumlah bagian. Dia dapat dan boleh
membuatnya tetap satu bagian, seperti pada
contoh (05a); dua bagian, seperti pada contoh
(05b); atau tiga bagian, seperti pada (05c).
(05) a.
Kucing putih itu telah pergi dari
rumah.
b. Kucing putih itu – telah pergi dari
rumah.
c. Kucing putih itu – telah pergi – dari
rumah.

57

Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, Nomor 1

Dari contoh (05) di atas, dapat dilihat
adanya penyusunan internal di antara satuan
informasi
serta
kaitannya
dengan
pendistribusian informasi lama dan baru pada
satuan. Dapat ditandai, menurut Halliday,
bahwa penutur akan menempatkan informasi
lama sebelum informasi baru. Penderetan
struktur informasi yang lazim adalah dengan
urutan
lama-baru
(given-new).
Satuan
informasi yang terdapat pada bagian awal
wacana biasanya merupakan satuan yang
memuat informasi baru.
Ahli lain yang tercatat berbicara soal
struktur informasi adalah Chafe 1976 (lihat
Van Heusinger 1999). Chafe tertarik pada cara
bagaimana
wacana
disusun.
Dia
mengasumsikan bahwa wacana disusun
berdasarkan pengetahuan penutur akan
pengetahuan pendengarnya, bukan oleh isi
semantis ekspresi linguistiknya. Terhadap
upaya penyusunan ini Chafe menggunakan
istilah
pengemasan
(packaging)
yang
maknanya lebih dekat kepada bagaimana
pesan disampaikan daripada pesan itu sendiri.
Perumpamaannya dia sampaikan melalui
pengemasan pasta gigi yang dapat memberi
pengaruh terhadap penjualan barang tersebut.
Dengan demikian, menurut Chafe, relevansi
upaya pengemasan adalah kepada nomina,
yang dapat saja: (a) berupa lama atau baru, (b)
sebagai fokus kontras (focus of contast), (c)
definit atau indefinit,
(d) subyek dalam
kalimat, (e) topik kalimat, dan (f) orang yang
sudut pandangnya diikuti oleh penutur atau
dengan orang yang penutur senangi. Terhadap
lama-nya (givenness) Halliday, dikembangkan
oleh Chafe kemudian ke dalam model
kesadaran psikologis penutur dan pendengar.
Informasi lama (given) didefinisikannya
sebagai pengetahuan yang menurut asumsi
penutur ditemukan pada kesadaran petutur
pada saat tuturan berlangsung. Menyusul yang
disebut informasi baru (new information)
sebagai – apa yang disampaikan menurut
asumsi penutur kepada kesadaran petutur
melalui apa yang dikatakannya. Apa yang
terpenting dari Chafe adalah upayanya dalam
memasukkan struktur informasi ke dalam wilayah psikologi. Penyusunan kalimat dijelaskan
dengan memperhatikan kondisi kejiwaan partisipan. Hal demikian ternyata membawa kita
kembali kepada model awal struktur informasi
dengan segala problemanya. Pandangan Chafe
tentang kelamaan (givenness) sebagai jenis
aktivasi di dalam kesadaran penutur dan
58

pendengar mengundang pembicaraan tentang
skala kelamaan.
Pemikiran
tentang
pengemasan
informasi selanjutnya dikembangkan oleh
Vallduvi (1990) (dalam Van Heusinger 1999)
yang mengasumsikan struktur informasi terdiri
dari tiga bagian yang menggabungkan aspekaspek struktur informasi yang paling menonjol
menjadi satu, yaitu fokus-latar dan topikkomen. Dalam kalimat (06), misalnya,
Jonggur merupakan topik dan fokus tentang
Jonggur minum.
(06) Apa Jonggur minum?
(07) Struktur topik-komen dan fokus-latar
Topik
Komen
Jonggur
minum
susu
Latar belakang
Fokus
Predikat minum pada (06) terdapat
pada dua bagian yang berbeda pada (07), yaitu
sebagai bagian dari komen dan latar. Dalam
kaitan ini, Vallduvi juga mengusulkan struktur,
seperti terdapat pada (08) yang sesuai dengan
struktur informasinya pada (09). Dia sarankan
agar bagian utama kalimat dimasukkan ke
dalam fokus dan latar, dan bagian kedua, latar
belakang, ke dalam penyambung (link) dan
buntut (tail) (yang meliputi topik dan yang
selebihnya dari latar belakang). Penggabungan
ini akan menghasilkan tiga satuan informasi,
yaitu: fokus, penyambung, dan buntut.
(08) Model kemasan Vallduvi
Penyambung

Buntut

Fokus

Jonggur

minum

susu

(09) Struktur
informasi
penyambung-buntut

model

fokus-

Kalimat
Fokus

Latar belakang
Penyambung

Buntut

Vallduvi memberi penjelasan situasi
yang ada dengan cara informal, dan dia tidak
terlihat begitu berupaya memberikan analisis
semantis terhadap fenomena yang dihadapi.
Dia mengatakan malah bahwa pengemasan
informasi tidak akan berpengaruh pada syarat-

Hasibuan, Aneka Pandangan di Sekitar...

syarat kebenaran. Hal demikian dikuatinya
dengan mengatakan bahwa mana kala isi
proporsionalnya sama, tidak muncul daripadanya INFORMASI yang sama. Namun,
sejauh ini Vallduvi tidak menjelaskan secara
meyakinkan apa yang dimaksudkannya dengan
informasi itu. Penjelasan menarik dari Chafe
adalah tentang semantik fokus kontrastif yang
dia bedakan dari fokus informasi yang
direalisasikan melalui kontras lama-baru
(given-new). Fokus kontrastif pada Roma
dalam kalimat (10), misalnya, menginformasikan bahwa pengetahuan penutur tentang
Roma di antara sekian banyak nama lain merupakan pilihan yang tepat untuk menjadi
pemeran. Dalam menafsirkan kalimat (10),
menurut Chafe, terdapat tiga faktor yang
terlibat. Yang pertama adalah asumsi atau
pengetahuan yang melatari bahwa seseorang
membuat dodol, kedua sejumlah kemungkinan
nama orang lain, dan yang ketiga penjelasan
tentang kemungkinan nama orang lain yang
tepat (perhatikan contoh (10).
(10) ROMA membuat dodol.
(1) Latar belakang: Seseorang membuat
dodol.
(2) Nama lain yang mungkin: (Risna, Karlia,
Musair, Paisa... dsb.).
(3) Penjelasan: Roma adalah yang membuat
dodol itu.
Setidaknya, dengan melihat konsepsi
fokus kontaraktif Chafe, dapat dicatat bahwa
terdapat kesamaannya dengan deskripsi
Chomsky tentang struktur informasi pada
praduga dan fokus. Chomsky (1971) (dalam
Van Heusinger 1999) membicarakan struktur
informasi dalam konteks pembedaannya antara
struktur batin (deep structure) dan struktur
lahir (surface structure). Dari penjelasannya
diketahui bahwa struktur batin itulah
sesungguhnya
yang
berperan
dalam
menentukan arti kalimat. Namun, yang perlu
menjadi perhatian di sini adalah perlakuannya
terhadap kontras lama-baru (given-new), yang
dalam istilahnya disebut praanggapan-fokus
(presupposition-focus). Fokus didefinisikan
sebagai frasa yang memiliki perolehan intonasi
yang menonjol; sedangkan praanggapan secara
informal dinyatakan sebagai bagian kalimat
yang dalam penyampaiannya bebas dari tindak
tutur atau negasi yang dibuat terhadap kalimat.
Praanggapan dapat disamakan dengan formula,
kalimat minus komponen fokus.

Struktur Informasi dan Prosodi
Dengan mengacu kepada Brown dan
Yule 1989, diperoleh penjelasan bahwa satuansatuan informasi itu direalisasikan secara langsung ke dalam tuturan dengan intonasi
tertentu, dengan sebutan kelompok bertona
(tone groups). Untuk maksud yang sama, ada
juga yang menyebutnya kelompok senapas
(breath groups), klausa fonemis (phonemic
clauses), ataupun satuan setona (tone unit).
Penutur mendistribusikan bobot informasi
yang hendak diekspresikannya ke dalam
satuan-satuan fonologis tertentu. Kelompok
bertona secara fonologis dapat ditandai oleh
adanya sebuah suku kata bertona. Suku kata
bertona seperti ini ditandai oleh bagian yang
mendapat nada maksimal padanya. Karena itu
ada juga yang menyebutnya suku kata inti,
atau tekanan kalimat, yang ditandai oleh
adanya nada bergerak maksimal, ketinggian
nada maksimal, intensitas maksimal atau
durasi maksimal. Kelompok bertona dalam
bahasa lisan dipandang ada juga kaitannya
dengan ritme bahasa tutur. Dalam kajian
Halliday ditentukan bahwa setiap foot dalam
bahasa Inggris diawali dengan suku kata
bertekanan dan disusul kemudian oleh
sejumlah suku kata yang tidak betekanan.
Kelompok bertona, dengan demikian, harus
diawali dengan sebuah suku kata bertekanan.
Namun, dalam kalimat-kalimat khusus
ditentukan juga sesekali bahwa suku kata
pertama pada foot awal dalam kelompok
bertona tidak mendapat tekanan. Iktus
takbersuara (silent ictus) dipostulasikan
sebagai awal pada kelompok bertona. Suku
kata bertona berfungsi memfokuskan informasi
baru pada kelompok bertona. Dalam kasus
biasa, suku kata bertona akan terpusat pada
leksikal terakhir kelompok bertona. Bagian ini
umumnya akan menjadi kata inti konstituen
yang mengandung informasi baru. Pada (11)
diberikan contoh penggambaran penjelasan di
atas dengan mengambil contoh lafal berbahasa
seorang penutur bahasa Indonesia.
(11) a. // oh / baru aku / SADAR //
b. // masa / studiku telah / BERUJUNG //
c. // yang / dahulunya / PANJANG //
d. // dan / seolah / tiada / BATAS //
e. // namun / kini / tiada / LAGI //.
Pada contoh (11a-e) penutur bahasa
Indonesia melafalkan tuturannya dan sekaligus
mengadakan pemenggalan terhadap setiap
59

Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, Nomor 1

tuturan tersebut menjadi satuan-satuan
informasi
yang
direalisasikan
sebagai
kelompok bertona. Dengan mengikut pada
penjelasan sebelumnya, yang mengisyaratkan
fokus tekanan jatuh pada bagian leksikal
terakhir, diperoleh gambaran seperti pada
(11a-e). Pada kelompok bertona, dari (11a)
hingga (11e), bagian leksikal terakhir memiliki
suku bertona yang menandakannya sbagai
fokus informasi baru. Tentang kebenaran
penjelasan ini masih perlu mendapat
pembuktian lanjut, mengingat bahwa bahasa
Indonesia, walau mengenal adanya tona dalam
pelafalan, berbeda karakteristiknya dengan
bahasa Inggris yang dijadikan sebagai data
pengambilan teori.
Struktur Informasi dan Kalimat
Sejumlah
ahli
psikologi
yang
melakukan pengkajian terhadap struktur
informasi telah menjadikan pembedaan antara
lama-baru dalam konteks bahasa tulis. Mereka
sering (menurut Brown dan Yule 1989)
mengutip kalimat tulis secara terpisah. Oleh
karena kalimat tulis tidak memiliki intonasi,
maka para ahli yang dimaksudkan menerapkan
struktur intonasi terhadapnya. Hal itu mereka
dasarkan pada bentuk sintaktis ekspresi
nominal dan pada struktur kalimat untuk
menetapkan yang mana di dalam kalimat yang
memiliki status baru, serta yang mana pula
yang memiliki status lama dalam kalimat.
Mereka berpandangan bahwa status informasi
sepenuhnya ditentukan oleh bentuk ekspresi
yang digunakan. Pendekatan yang dilakukan
terhadap struktur informasi telah membawa
orang kembali kepada penafsiran ulang apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan status
lama (given) itu. Melalui data kalimat tulis
yang dilafalkan dengan kuat, Brown dan Yule
mencatat beberapa hal berkenaan dengan
bentuk kalimat dan penerapan intonasi di
dalamnya. Pertama adalah adanya masih
ketidakjelasan, apakah status lama-baru
ditentukan oleh bentuk kalimat atau sebagai
akibat dari penempatan pusat tekanan pada
komponen yang berbeda dalam kalimat, atau
disebabkan oleh adanya interaksi antara dua
sistem yang berbeda. Kedua, posisi Halliday
ditampilkan
salah
tampaknya,
dengan
pandangan bahwa kalimatlah yang mengisyaratkan lama-barunya informasi; padahal,
Halliday sendiri telah sering mengingatkan
bahwa penuturlah yang menentukan status
informasi. Ketiga, istilah lama (given) tidak
60

lagi dipakai sebagai istilah analitis dalam
menjelaskan status rujukan ekspresi klausa
(kelompok bertona), melainkan menggunakan
pra anggapan yang mengatributi klausa dalam
kalimat.
Pandangan
tentang
kelamaan
(givenness) diambil alih oleh para ahli
psikologi kemudian, seperti Sanford dan
Garrod 1981. Mereka tetap memegang
pandangan Halliday yang menurut mereka
tetap mencanangkan bahwa soal lama-baru
dapat diterapkan pada setiap kalimat dalam
wacana dan hal itu dapat ditandai, baik pada
kalimat maupun pada intonasinya. Dengan
contoh kalimat bahasa Indonesia Inilah si
mahasiswa yang merantau itu, kita dapat
membaginya atas:
Lama : Seseorang merantau.
Baru : Seseorang yang merantau itu adalah
si Miswa.
Kalimat di atas (Inilah si Miswa yang
merantau
itu),
sesungguhnya
apabila
dilafalkan akan berwujud seperti pada (12)
berikut ini.
(12) // inilah si MISWA / yang MERANTAU
itu //
Pada kalimat (12) di atas, yang
mendapat penekanan adalah Miswa dan
merantau. Dengan demikian, yang dipandang
sebagai informasi baru adalah yang terdapat
pada kedua kata tersebut; sedangkan bagian
inilah si dan yang... itu tidak dapat dipandang
sebagai bagian yang berisi informasi baru,
melainkan informasi lama karena bagianbagian tersebut tidak mendapat tekanan.
Struktur Informasi dan Wacana
Pada prinsipnya, yang diharapkan dari
tuturan adalah perolehan informasi. Karena
informasi diperoleh lewat penggunaan bahasa,
dengan sendirinya tanpa bahasa dengan segala
perangkat kelengkapannya informasi akan
menjadi suatu perolehan yang sulit atau tidak
mungkin
bagi
manusia.
Dalam
penyampaiannya, informasi lazimnya dikemas
dalam struktur yang tautannya erat sekali
dengan struktur wacana (lihat Siregar, 2005).
Struktur informasi dikatakan memiliki pertalian
yang erat dengan struktur wacana. Penjelasan
itu cukup beralasan karena penutur, dalam
menyampaikan informasi, bahasa yang
digunakan terlebih dahulu harus melalui upaya
penyusunan berdasarkan struktur sintaksis dan
wacana pada saat penggunaan bahasa tersebut.

Hasibuan, Aneka Pandangan di Sekitar...

Dalam Siregar 2005, kejelasan hubungan
antara
keduanya
disampaikan
dengan
menyatakan bahwa teori struktur informasi
adalah teori yang berkaitan dengan struktur
wacana atau konteks. Hal itu dapat dilihat,
misalnya, pada komponen-komponen dalam
konteks yang dirujuk seharusnya oleh struktur
informasi kalimat, seperti kesamaan latar,
topik wacana, dan yang lainnya lagi berupa
bagian awal teks, ataupun pertanyaan yang
dijadikan sebagai bahan pembahasan.
Selanjutnya
disebutkan
bahwa
penggunaan istilah dalam struktur informasi
terimplikasi pada pembedaan dua hal
mendasar yang berkenaan dengan bagianbagian wacana atau tuturan. Pertama adalah
penggunaan istilah topik-komen atau temarema yang membedakan antara bagian tuturan
yang menunjukkan tujuan wacana dan bagian
yang berhubungan dengan lanjutan wacana;
dan yang kedua penggunaan istilah lama-baru
yang membedakan bagian-bagian wacana
berupa kata-kata yang dapat membedakan isi
informasi yang diperoleh dari sejumlah
kemungkinan pilihan yang disediakan oleh
konteks dengan bagian wacana yang sudah
lazim. Pada struktur informasi dikenal adanya
dikotomi kalimat dalam membedakan bagian
yang lebih informatif dan bagian lainnya yang
kurang informatif. Susunan kata ataupun
intonasi dapat menjadi pertanda atas perbedaan
keduanya. Biasanya, bagian yang dipandang
lebih informatif posisinya berada sesudah
bagian yang kurang informatif. Dalam kaitan
inilah munculnya istilah yang sering disebut
dengan tema-rema atau topik-komen. Dari segi
prosodi, bagian yang lebih informatif ditandai
oleh ciri intonasi yang paling menonjol berupa
aksen nada. Bagian kalimat lainnya, yang
kurang menonjol dari segi intonasi dipandang
sebagai
bagian yang kurang informatif.
Terhadap bagian berurutan yang disebutkan
ada juga yang mengidentikkannya dengan
pembedaan bagian kalimat atas fokus-latar
atau lama-baru. Dalam keterkaitannya dengan
struktur informasi, kajian struktur wacana
berupaya untuk dapat menjelaskan koherensi
satuan bahasa yang lebih besar dari kalimat.
Jelasnya, sampai pada penjelasan koherensi
satuan bahasa di tingkat teks. Struktur wacana
melakukan penkajian dan memberi penjelasan
tentang satuan wacana yang lebih besar;
termasuklah, di antaranya, relasi di antara
satuan-satuan yang membentuk struktur
wacana secara hierarkis. Makna wacana tidak

dipandang sebagai sekadar totalitas makna
kalimat-kalimat yang menjadi komponen
dalam penyusunan wacana itu. Di antara
makna kalimat-kalimat dan kelompok kalimat
ditemukan sejumlah relasi semantis yang oleh
penutur dipahami berdasarkan kesimpulan
yang dia peroleh melalui teks, padahal relasi
semantik semacam itu tidak diungkapkan
secara eksplisit dalam wacana (misalnya,
dengan penggunaan kata hubung wacana). Hal
semacam itu dapat dilihat, misalnya, pada
perbandingan contoh (13) dan (14) berikut ini.
(13) Gigi paman semua masih utuh. Dia
sering menyikatnya.
(14) Paman
ompong.
*Dia
sering
menyikatnya.
Kelompok kalimat pada masingmasing contoh nomor (13) dan (14) di atas
memiliki kesamaan, yakni sama-sama
mempunyai penanda relasi anaforis yang
identik. Namun, kedua pasangan kalimat
tersebut masing-masing menghasilkan struktur
wacana yang berbeda. Hal lain yang dapat
ditambahkan berkenaan dengan struktur
informasi dan struktur wacana adalah, dalam
banyak
bahasa
keduanya
sama-sama
dipengaruhi oleh faktor prosodi. Dengan
demikian, faktor prosodi kalimat merupakan
faktor penting yang tidak dapat diabaikan
dalam struktur informasi dan struktur wacana.
Faktor prosodi kalimat yang mempengaruhi
penataan struktur informasi dapat lagi kita lihat
misalnya pada contoh (06), yang menyebabkan
adanya perbedaan fokus di dalamnya.
KESIMPULAN
Penggunaan dikotomi subyek-predikat
merupakan dua buah istilah yang memiliki jasa
bantu dalam menjelaskan struktur kalimat.
Hingga kini pun sebenarnya belum ditemukan
definisi yang jelas tentang konsep keduanya.
Yang ada hanya berupa sejumlah istilah usulan
yang memiliki tautan historis dari berbagai
bidang
keilmuan,
seperti
sintaksis,
epistemologi, logika, dan metafisika. Konsep
subyek-predikat tradisional ala Aristotles
dalam kajian tata bahasa ternyata lebih banyak
memunculkan problema daripada yang dapat
diselesaikannya. Dua hal, yaitu ketidakjelasan
pengertian struktur subyek-predikat beserta
problema
penggunaannya
dalam
teori
linguistik ternyata membawa beban pikiran
61

Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, Nomor 1

ketika konsep dikotomi tersebut dibawakan ke
ranah bidang ilmu lain, seperti psikologi,
ataupun teori informasi.
Pemenggalan terhadap setiap tuturan
oleh penutur bahasa Indonesia menjadi satuansatuan informasi yang direalisasikan sebagai
kelompok bertona ditemukan data pendukungnya. Dengan mengikut pada penjelasan yang
mengisyaratkan fokus tekanan jatuh pada
bagian leksikal terakhir (seperti pada (11a-e),
maka bagian ini memiliki suku bertona yang
menandakannya sebagai fokus informasi baru.
Tentang kebenaran penjelasan ini masih perlu

mendapat pembuktian lanjut, mengingat
bahwa bahasa Indonesia, walau mengenal
adanya tona dalam pelafalan, bahasa Indonesia
berbeda karakteristiknya dengan bahasa
Inggris yang dijadikan sebagai data
pengambilan teori.

DAFTAR PUSTAKA
Brown, Gillian. 1989. Discourse Analysis. Cambridge, Cambridge University Press.
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta, PT Gramedia.
Saeed, John I. 2000. Semantics. Blackwell Publisher Limited.
Siregar, Bahren Umar. 2005. “Struktur Informasi, Struktur Wacana, dan Semantik Wacana:
Menelaah Bahasa Dalam Konteks” (Makalah). Medan, Bahren Umar Siregar.
Van Heusinger, Klaus. 1999. Intonation and Information structure. Konstanz, University of
Konstanz.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Hong Kong, Wyvern Typesetting Ltd.

62