Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula pada Lahan Kakao Dataran Rendah dan Dataran Tinggi

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Raddad A M. 1995. Mass Production of Glomus mosseae Spores. Mycorrhiza 5: 229-231.

Anas, Iswandi. 1993. Pupuk Hayati (Biofertilizer). Bogor: Laboratorium Biologi Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bianciotto V, Palazzo D, Bonfante - Fasolo P. 1989. Germination Process and Hyphal Growth of a Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungus. Allionia 29: 17-24.

Bryla D R, Duniway J M. 1997. Effects of Mycorrhizal Infection on Drought Tolerance and Recovery in Safflower and Wheat. Plant and soil 197: 95-103.

Chakravarty, P dan M Chatapaul. 1988. Mycorrhizal and Control of Root Diseases. Abst. Publ. Eroupean Sump. on Mycor. Chechoslovakia. 51 p. Corryanti. 2011. Jamur Mikoriza Arbuskula Pada Lahan Tanaman Jati

Bertumpangsari Tebu. 16 (1): 1-8. Jurnal Agrotropika.

Daniels B A, Trappe J M. 1980. Factors Affecting Spore Germination of the Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungus, Glomus Epigaeus. Mycologia. 72: 457-471.

Delvian. 2003. Studi Keanekaragaman dan Potensi Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Di Hutan Pantai. Disertasi Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Ernita. 1998. Tanggap Tanah Ultisol Tambunan A Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Akibat Pemberian Inokulan Rhizobia dan Mikroba Pelarut Fosfat serta Abu Tandan [Thesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara Medan, Program Pascasarjana.

Fakuara M Y. 1988. Mikoriza, Teori dan Kegunaan dalam Praktek. PAU-IPB. Bogor.

Gianinazzi-Pearson V dan Gianinazzi S. 1983. The Physiology of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Roots. 71 : 192-209. Plant and Soil.

Hanum, Hamidah. 1997. Peningkatan Ketersediaan Hara N dan P Pada Tanah Ultisol Melalui Inokulasi Rhizobia dan Mikoriza Vesikular Arbuskular serta Pemupukan Batuan Fosfat Pada Tanaman Kedelai [Thesis]. Medan: Univeristas Sumatera Utara Medan, Program Pascasarjana.


(2)

Hapsoh. 2003. Kompatibilitas MVA dan Beberapa Genotipe Kedelai Pada Berbagai Tingkat Cekaman Kekeringan Tanah Ultisol: Tanggap Morfofisiologi dan hasil [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hapsoh. 2008. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Budidaya Kedelai Di Lahan Kering. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Budidaya Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Medan.

Hardiatmi, Sri. 2008. Pemanfaatan Jasad Renik Mikoriza Untuk Memacu Pertumbuhan Tanaman Hutan. Jurnal Inovasi Pertanian Volume 7 Nomor 1 (110). Innofarm.

Harrison M J. 1997. The Arbuscular Mycorrhizal Symbiosis: an Underground Association. Trends in Plant Science (reviews) 2 (2): 54-60.

Herman. 2000. Peranan dan Prospek Pengembangan Komoditas Kakao dalam Perekonomian Regional Sulawesi Selatan. 16 (1) : 21-31. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.

Hetrick B A D, Bloom J. 1986. The Influence of Host Plant on Production and Colonization Ability of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Spores. Mycologia 78 (1): 32-36.

Jakobsen I. 1992. Phosporus Transport by External Hyphae of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizas. Di dalam: Read D J, Lewis D H, Fitter A H, Alexander I J. Mycorrhizas in Ecosystems. CAB International. UK. Halaman 48-54.

Kabirun S, Widada J. 1995. Response of Soybean Grown on Acid Soil to Inoculation of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Biotrop Spec Publ. 56: 139-142.

Mukhlis. 2007. Analisis Tanah Tanaman. USU Press. Medan.

Morton J B, Benny G L. 1990. Revised Classification of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (Zygomicetes): a New Order, Glomales, Two New Suborders, Glomineae and Gigasporineae, and Two New Families, Acaulosporaceae and Gigasporaceae, with an Emendation of Glomaceae. Mycotaxon. 37: 471-491.

Nainggola dan Samah. 2004. Respon Tanaman Terhadap Pupuk Organik Kascing Oleh Cendawan Mikoriza Arbuskula. Volume 3 Nomor 2. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian.

Nurlaeny N, Marschner H, dan George E. 1996. Effects of Liming and Mycorrizal Colonization on Soil Phosphate Depletion and Phosphate Uptake by Maize (Zea mays L.) and Soybean (Glycine max L.) Grown in Two Tropical Acid Soils. 181 : 275-285. Plant and Soil.


(3)

Nusantara, Abimanyu Dipo. 2012. Bekerja Dengan Fungi Mikoriza Arbuskula. Seameo Biotrop. Bogor.

Ouimet, R, C Camire, dan Valentin Furland. 1996. Effect of Soil, K, Ca, and Mg Saturation and Endomycorrhization on Growth and Nutrient Uptake of Sugar Maple Seedlings. Plant and Soil 179 : 207-216.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2004. Panduan Lengkap Budi Daya Kakao. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Puspitasari, R. T. 2005. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula Di Hutan Pantai Ujung Genteng, Sukabumi - Jawa Barat. Tesis Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Sasli, Iwan. 1999. Tanggap Karakter Morfofisiologi Bibit Kakao Terhadap Cekaman Kekeringan dan Aplikasi Mikoriza Arbuskula. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sastrahidayat, I R. 1992. Pengaruh Pemberian Hayati (Endomikoriza) Pada Peningkatan Produktivitas Tanaman Kacang-Kacangan Pada Tanah Miskin Fosfor. Kerja Sama Badan Litbang Pertanian dan Unibraw. 41 p. Sastrahidayat I R. 1995. Studi Rekayasa Teknologi Pupuk Hayati Mikoriza. Di

dalam: Buku III Makalah Sidang-Sidang Bidang Ilmu dan Teknologi. Prosiding Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional VI; Jakarta 11-15 Sept 1995. Jakarta: LIPI bekerja sama dengan Dirjen Dikti, Depdikbud dan Forum Organisasi Profesi Ilmiah. Halaman 101-128.

Schreiner R P, Bethlenfalvay G J. 1996. Mycorrhizae, Biocides, and Biocontrol. 4. Response of a Mixed Culture of Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Host Plant to Three Fungicides. Biol. Fertil. Soils. 23: 189-195.

Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikoriza Dalam Kehutanan. PAU IPB Bogor. 103 p.

Setiadi, Y. 1992. Mikoriza dan Pertumbuhan Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.

Sieverding E. 1991. Vesicular Arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical Agrosystem. Eschborn: Deutsche GTZ GmbH.

Simanungkalit R D M. 1997. Effectiveness of 10 Species of Arbuscular Mycorrhizal (AM) Fungi Isolated from West Java and Lampung on Maize and Soybean. Di dalam: Jenie UA et al., editor. Challenges of Biotechnology in the 21 th century. Proceedings of the Indonesian Biotechnology Conference Vol II; 17-19 Jun 1997. Jakarta: The Indonesian Biotechnology Consortium. Hlm 267-274.


(4)

Smith S E dan Read D J. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press. New York.

Smith F A, Smith S E. 1996. Mutualism and Parasitism: Diversity in Function and Structure in the “Arbuscular” (VA) Mycorrhizal Symbiosis. Adv. Bot. Res. 22: 1- 43.

Steussy T F. 1992. The Systematics of Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Relation to Current Approaches to Biological Classification. Mycorrhiza 1: 113-121.

Subashini H D, Natarajan K. 1997. Enzymes and Phytohormones in Some Ectomycorrhizal Fungi. Di dalam: Mycorrhizas in Sustainable Tropical Agriculture and forest Ecosystems: Bogor. 26-30 Oktober 1997. Bogor: LIPI, Bogor Agriculture Institute, University of Adelaide. 11 halaman. Van Nuffelen M, Schenck N C. 1983. Spore Germination, Penetration and Root

Colonization of Six Species of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi on Soybean. Can. J. Bot. 62: 624-628.

Wenggi, D. 2010. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Yang Berasosiasi Dengan Kakao (Theobroma cacao L) Di Distrik Manokwari Barat dan Manokwari Utara. Universitas Negeri Papua. Papua.

Widada J, Kabirun S. 1997. Peranan Mikorisa Vesikular-Arbuskular dalam Pengelolaan Tanah Mineral Masam Tropika. Di dalam: Pros. Kongres Nasional VI HITI. Buku I. Halaman 589-595.

Zebua, Heronimus F. 2008. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Berdasarkan Ketinggian Tempat. Universitas Sumatera Utara. Medan.


(5)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan Januari 2014 sampai Juni 2014 yang melalui beberapa tahapan. Kegiatan dilakukan di tempat berbeda, pengambilan sampel (eksplorasi) lapangan dilakukan di Kabupaten Serdang Bedagai (Lubuk Pakam - Perbaungan) dan Kabupaten Dairi (Desa Adian Nangka, Kecamatan Lae Parira), analisis tanah dilakukan di Laboratorium Riset dan Tenologi, pengambilan data curah hujan dan temperatur dilakukan di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Sampali - Medan, pembuatan kultur trapping dilakukan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian, serta pengamatan kolonisasi akar dan identifikasi spora FMA dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah cangkul, sekop, sendok semen, garpu tanah, sekop pasir, ayakan pasir, permanent marker, meteran, sprayer, saringan (710 µm, 250 µm, dan 53 µm), pinset, erlemenyer, gelas ukur, pipet tetes, spatula, tabung sentrifuge, penggaris, cawan petri, cover glass, mikroskop binokuler, mikroskop stereo, kamera digital, botol film, gunting, batang pengaduk, kalkulator, alat tulis, preparat, dan timbangan. Bahan yang digunakan adalah plastik, kardus, goni, kertas label, kertas milimeter, pot kultur terbuka (warna), tanah, akar, jagung, pasir, anakan atau tumbuhan bawah, terabuster (1:250), larutan hara (Hyponex


(6)

merah) 1g/l, air, gula pasir 60%, tisu, pewarna Melzer’s, KOH 10%, HCl 2%, Trypan Blue, dan buku panduan mikoriza.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada lahan kakao yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Dairi. Kegiatan penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan kegiatan yang diawali dengan pengambilan sampel (eksplorasi) lapangan, analisis tanah, analisis curah hujan dan temperatur, pembuatan kultur

trapping, pengamatan kolonisasi akar, dan identifikasi spora FMA. Diagram alir

dari kegiatan penelitian ini disajikan pada gambar berikut ini.

Gambar 1. Alur Prosedur Pengambilan Contoh Tanah dan Akar

Pembuatan Kultur Trapping

Pengamatan Contoh Tanah dan Akar

Kolonisasi CMA Pada Akar Tanaman Sampel Ekstraksi Spora


(7)

Pengambilan Contoh Tanah dan Akar

Pengambilan contoh tanah dan akar tanaman dilakukan pada satu petak pada setiap tipe lahan kakao. Kegiatan pengambilan contoh tanah ini dilakukan hanya 1 kali. Contoh tanah diambil pada daerah rizosfir atau pada kedalaman 0-20 cm. Berat tanah yang diambil setiap titik sebanyak 500 g. Setiap petak terdapat 5 titik seperti pada gambar. Sampel tanah setiap titik dalam 1 petak dikompositkan sehingga homogen mewakili 1 petak. Selanjutnya diambil hanya 500 g tanah yang komposit. Petak penelitian dibuat sesuai metode ICRAF (Ervayenri et al., 1999). Pada setiap lahan dibuat 5 petak dengan ukuran 20 m x 20 m secara acak dengan pusat tanaman induk. Sedangkan contoh akar tanaman diambil dengan cara memotong akar-akar halus pada anakan kakao atau tanaman bawah agak tidak mengganggu pertumbuhan tanaman. Akar yang diambil dengan diameter berukuran 0,5-1,0 mm.

Gambar 2. Pengambilan Contoh Tanah dan Akar

Pembuatan Kultur Trapping

Teknik trapping yang digunakan mengikuti metoda Brundrett et al. (1994) dengan menggunakan pot kultur terbuka. Media tanam yang digunakan


(8)

berupa campuran contoh tanah dan pasir. Teknik pengisian media tanam dalam pot kultur adalah pot kultur diisi dengan pasir sampai setengah volume pot, kemudian dimasukkan contoh tanah dan terakhir ditutup dengan pasir sehingga media tanam tersusun atas pasir - contoh tanah - pasir. Benih yang digunakan untuk ditanam sebagai inang adalah jagung (Zea mays).

Dari setiap contoh tanah dibuat 5 pot kultur. Di samping itu diberikan penambahan terabuster guna merangsang pembentukan spora yang lebih baik. Perlakuan terabuster diberikan dengan konsentrasi 1:250 sebanyak 20 ml tiap pot. Frekuensi pemberian terabuster adalah 3x1 minggu selama satu bulan pertama dan 1x1 minggu selama 1 bulan kedua. Penambahan terabuster ini diharapkan berpengaruh terhadap sporulasi cendawan mikoriza.

Pemeliharaan kultur meliputi kegiatan penyiraman, pemberian hara dan pengendalian hama secara manual. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi dan sore selama 8 minggu. Ketika umur jagung mencapai 8 minggu, penyiraman dihentikan selama 2 minggu agar tanaman berada dalam keadaan stress kekeringan. Proses pengeringan ini berlangsung secara perlahan sehingga dapat merangsang pembentukan spora lebih banyak. Larutan hara yang digunakan adalah Hyponex merah (25-5-20) dengan konsentrasi 1 g/l. Pemberian larutan hara dilakuan setiap minggu sebanyak 20 ml tiap pot kultur. Pengendalian hama secara manual dilakukan dengan cara membuat tatakan.

Pemanenan dilakukan setelah pembentukan spora-spora baru diasumsikan cukup baik setelah dilakukan proses stressing pada kultur. Variabel yang diamati adalah jumlah spora per 50 g media tanam dan jenis spora. Selanjutnya spora-spora yang diperoleh dari kultur ini akan diidentifikasi jenisnya.


(9)

Gambar 3. Komposisi Pot

Pengamatan Contoh Tanah dan Akar

1. Ekstraksi spora

Teknik yang digunakan dalam mengekstraksi spora FMA adalah teknik tuang - saring dari Pacioni (1992) dan akan dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996). Prosedur kerja teknik tuang - saring ini, pertama adalah mencampurkan tanah sampel sebanyak 50 g dengan 200-300 ml air dan diaduk sampai butiran-butiran tanah hancur. Selanjutnya disaring dalam satu set saringan dengan ukuran 710 µm, 250 µm, dan 53 µm secara berurutan dari atas ke bawah. Dari saringan bagian atas disemprot dengan air kran untuk memudahkan bahan saringan lolos. Kemudian saringan paling atas dilepas dan saringan kedua kembali disemprot dengan air kran. Setelah saringan kedua dilepas sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada saringan terbawah dipindahkan ke dalam tabung sentrifuge.

Ekstraksi spora teknik tuang - saring ini kemudian diikuti dengan teknik sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996). Hasil saringan dalam tabung sentrifuge ditambahkan dengan gula pasir 60% yang diletakkan pada bagian bawah dari

Pasir Tanah


(10)

larutan tanah dengan menggunakan pipet. Tabung sentrifuge ditutup rapat dan disentrifuse secara manual selama 3 menit serta didiamkan selama 1 hari. Selanjutnya larutan supernatan tersebut dituang ke dalam saringan 53 µm, dicuci dengan air mengalir (air kran) untuk menghilangkan glukosa. Endapan yang tersisa dalam saringan di atas dituangkan ke dalam cawan petri dan kemudian diamati di bawah mikroskop binokuler untuk penghitungan kepadatan spora dan pembuatan praparat guna identifikasi spora FMA yang ada.

Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pewarna Melzer’s yang diletakan secara terpisah pada satu kaca preparat. Spora-spora FMA yang diperoleh dari ekstraksi setelah dihitung jumlah diletakan dalam larutan Melzer’s dan jenis spora FMA yang ada di larutan ini sama. Selanjutnya spora-spora tersebut dipecahkan secara hati-hati dengan cara menekan kaca penutup preparat menggunakan ujung pinset. Perubahan warna spora dalam larutan Melzer’s adalah salah satu indikator untuk menentukan tipe spora yang ada.

2. Kolonisasi FMA Pada Akar Tanaman Sampel

Pengamatan kolonisasi FMA pada akar tanaman contoh dilakukan melalui teknik pewarnaan akar (staining). Metoda yang digunakan untuk pembersihan dan pewarnaan akar sampel adalah metoda dari Kormanik dan McGraw (1982). Langkah pertama adalah memilih akar-akar halus dengan diameter 0,5-2,0 mm (Rajapakse dan Miller Jr., 1992) segar dan dicuci dengan air mengalir hingga bersih.


(11)

Akar sampel dimasukan ke dalam larutan KOH 10% dan dibiarkan selama lebih kurang 24 jam sehingga akar akan berwarna putih atau pucat. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan semua isi sitoplasma dari sel akar sehingga akan memudahkan pengamatan struktur infeksi FMA. Larutan KOH kemudian dibuang dan akar contoh dicuci pada air mengalir selama 5-10 menit. Selanjutnya akar contoh direndam dalam larutan HCl 2% dan diinapkan selama satu malam. Larutan HCl 2% kemudian dibuang dengan mengalirkannya secara perlahan-lahan. Selanjutnya akar sampel direndam dalam larutan Trypan Blue 0,05%. Kemudian larutan Trypan Blue dibuang. Selanjutnya kegiatan pengamatan siap dilakukan.

Penghitungan persentase kolonisasi akar menggunakan metoda panjang akar terkolonisasi (Giovannetti dan Mosse, 1980). Secara acak diambil potong-potongan akar yang telah diwarnai dengan panjang ± 1 cm sebanyak 10 potong-potongan akar dan disusun pada kaca preparat, untuk setiap tanaman sampel dibuat dua preparat akar. Potongan-potongan akar pada kaca preparat diamati untuk setiap bidang pandang. Bidang pandang yang menunjukan tanda-tanda kolonisasi (terdapat hifa dan atau arbuskula dan atau vesikula) diberi tanda positif (+), sedangkan yang tidak terdapat tanda-tanda kolonisasi diberi tanda negatif (-). Derajat atau persentase kolonisasi akar dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

% kolonisasi akar = ∑ bidang pandang bertanda (+)


(12)

Variabel Pengamatan

Variabel pengamatan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu variabel lingkungan dan variabel mikoriza. Variabel lingkungan meliputi kesuburan tanah (analisa tanah lengkap), perkembangan tanaman inang, dan perubahan musim atau komponen iklim. Komponen iklim yang diasumsikan mempunyai pengaruh paling besar terhadap perubahan musim untuk daerah tropis adalah curah hujan. Tinggi rendahnya curah hujan yang terjadi juga akan berpengaruh terhadap perkembangan dan aktivitas FMA.

Variabel mikoriza yang akan diamati meliputi persentase kolonisasi akar pada tanaman inang, kepadatan spora atau jumlah spora FMA tiap 50 g tanah, dan jenis spora FMA yang ditemukan. Berdasarkan data-data yang diperoleh dari variabel pengamatan akan dilakukan analisis untuk melihat hubungan antara variabel lingkungan dengan variabel mikoriza. Analisis ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana dinamika sporulasi FMA dengan adanya perubahan kondisi-kondisi lingkungan.

Variabel lainnya yang akan dimati terbagi atas variabel primer dan variabel sekunder. Variabel primer berupa tanah antara lain pH, C Organik, dan P tersedia. Variabel sekunder berupa iklim antara lain suhu dan curah hujan rata-rata bulanan serta ketinggian dari permukaan laut.


(13)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis yang dilakukan, diperoleh perbedaan pH, C Organik, dan P tersedia atau sifat kimia tanah diantara kedua lokasi penelitian. Pada dataran rendah pH lebih tinggi, yaitu 6,83 sedangkan pada dataran tinggi pH lebih rendah, yaitu 5,61. Nilai C Organik di dataran rendah lebih rendah, yaitu 1,05% sedangkan nilai C Organik di dataran tinggi lebih tinggi, yaitu 2,00%. Pada dataran rendah P tersedia lebih tinggi, yaitu 23,25 sedangkan pada dataran tinggi P tersedia lebih rendah, yaitu 4,34. Analisis tanah yang dilakukan memperoleh hasil, yaitu nilai pH (H2O), C Organik (%), dan P tersedia (ppm) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Analisis Tanah

Lapangan

Parameter pH

(H2O)

C Organik (%)

P tersedia (ppm) Kakao Dataran Rendah 6,83 (N) 1,05 (R) 23,25 (S) Kakao Dataran Tinggi 5,61 (AM) 2,00 (R) 4,34 (SR)

Keterangan

N = Netral AM = Agak

Masam

R = Rendah

S = Sedang SR = Sangat

Rendah

Sifat kimia di dalam tanah sangat berhubungan dengan kesuburan tanah. Menurut Corryanti (2011), status kesuburan lahan erat berkaitan dengan kondisi mikrobia tanah yang berlimpah, memiliki fungsi simbiosis dengan perakaran


(14)

tanaman, serta ditunjukkan dengan pertumbuhan tanaman yang baik. Kesuburan tanah berpengaruh terhadap mikoriza.

Data iklim yang diperoleh, diketahui bahwa curah hujan pada Desember 2013 - Januari 2014 di dataran rendah memiliki rataan yang lebih tinggi adalah 207 mm sedangkan di dataran rendah memiliki rataan yang lebih rendah adalah 153 mm. Selanjutnya untuk temperatur pada Desember 2013 - Januari 2014 di dataran rendah memiliki rataan yang lebih tinggi adalah 26,2˚C sedangkan di dataran rendah memiliki rataan yang lebih rendah adalah 20,1˚C. Pengambilan data curah hujan dan temperatur dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Curah Hujan dan Temperatur

Lokasi

Desember 2013 - Januari 2014 Curah Hujan

(mm)

Temperatur (˚ C)

Sei Rejo, Sergai 207 26,2

Sidikalang, Dairi 153 20,1

Selain faktor sifat kimia tanah, faktor lingkungan yang lain seperti curah hujan dan temperatur dapat pula mempengaruhi perbedaan kolonisasi FMA pada akar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, diperoleh data curah hujan dan temperatur rata-rata bulanan dari kedua lokasi pengambilan sampel memiliki perbedaan seperti dalam Tabel 2. Menurut Setiadi (1989), pertumbuhan yang baik antara 20˚C - 30˚C. Temperatur pada kedua lokasi memenuhi syarat pertumbuhan yang baik sehingga kolonisasi dapat berlangsung.

Curah hujan yang berkaitan dengan keadaan atau kondisi air tanah juga merupakan faktor yang mempengaruhi kolonisasi FMA pada akar. Menurut


(15)

Delvian (2003), melakukan pengamatan terhadap fluktuasi kolonisasi FMA pada akar beberapa jenis tanaman dalam 5 periode curah hujan yang berbeda, hasilnya terjadi variasi kolonisasi FMA ditemukan baik dalam perbedaan tanaman inang maupun perbedaan curah hujan. Jenis tanaman yang berbeda menunjukan respon yang berbeda terhadap satu kondisi curah hujan tertentu. Kolonisasi FMA cendrung naik dalam kondisi curah hujan yang lebih rendah seperti pada Tabel 2 yang menunjukan curah hujan di dataran tinggi lebih rendah dibandingkan dengan di dataran rendah.

Rataan persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran rendah lebih rendah dari rataan persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran tinggi, rataan persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran rendah adalah 37,19% dan rataan persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran tinggi adalah 70,04%. Pengamatan yang dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan persentase kolonisasi akar pada tanaman inang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Persentase Kolonisasi Akar Pada Tanaman Inang

Petak Lokasi Pengamatan

Dataran Rendah Dataran Tinggi

1 42,47 79,99

2 29,28 65,32

3 41,28 64,74

4 32,92 74,56

5 40,02 65,58

Jumlah 185,95 350,20

Rataan 37,19 70,04

Pengamatan di laboratorium terhadap akar kakao yang diperoleh dari dataran tinggi dan dataran rendah menunjukan bahwa tanaman kakao di kedua


(16)

lokasi ini mampu berasosiasi dengan FMA. Namun persentase kolonisasi yang dijumpai relatif berbeda dari setiap lokasi pengambilan sampel.

Kolonisasi FMA dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, baik faktor lingkungan maupun faktor mikoriza. Penyebaran FMA tidak pernah sama untuk kondisi lapangan tertentu. Hal ini disebabkan sebagian besar oleh kesuburan tanah yang berbeda-beda untuk setiap lokasi pegambilan sampel.

Persentase kolonisasi akar yang terkolonisasi FMA dari kedua tempat (Tabel 3) menunjukan perbedaan persentase kolonisasi akar yang terjadi pada akar kakao di kedua tempat. Rataan persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran rendah menurut Setiadi (1992) maka termasuk dalam kelas 3 atau sedang sedangkan rataan persentase kolonisasi akar pada kakao di dataran tinggi termasuk dalam kelas 4 atau tinggi. Berdasarkan golongan tersebut maka dapat dilihat kisaran terhadap kolonisasi.

Sifat kimia tanah yang telah dianalisis menunjukan C organik di dataran rendah termasuk rendah sama dengan C organik di dataran tinggi. Tinggi atau rendah kandungan bahan organik pada tanah akan mempengaruhi FMA. Oleh karena itu, kolonisasi FMA di dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan di dataran rendah. Hal ini terjadi karena C organik di dataran rendah lebih rendah dibandingkan dengan di dataran tinggi.

Berdasarkan hasil analisis kandungan P dalam tanah diketahui dapat mempengaruhi kolonisasi FMA pada akar inang. Tanah yang mengandung unsur P yang banyak atau sedikit akan mempengaruhi kolonisasi. Pada P tersedia yang jumlahnya besar di dalam tanah maka persentase kolonisasi akar akan rendah sedangkan P tersedia yang jumlahnya kecil di dalam tanah maka persentase


(17)

kolonisasi akar akan tinggi. Menurut Setiadi (1992) konsentrasi P yang tinggi di dalam tanah menghambat kolonisasi FMA. Pernyataan di atas mendukung dengan penelitian yang dilakukan.

Kolonisasi dipengaruhi oleh spesies FMA dan tanaman inang. Menurut Smith dan Read (1997), persentase kolonisasi tergantung pada spesies FMA dan tanaman inang, sering dihubungkan pertumbuhan akar dan kepekaan tanaman. Spesies FMA dan tanaman inang yang saling menguntungkan akan menyebabkan kolonisasi dapat berjalan dengan baik, keadaan tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan akar dan kepekaan tanaman.

Produksi spora dan kolonisasi akar pada tanaman inang saling berhubungan sehingga mempengaruhi persentase. Menurut Hedrick dan Bloom (1986), terdapat korelasi antara produksi spora dan kolonisasi akar antara spesies tanaman untuk masing-masing FMA. Tinggi atau rendah dalam produksi spora akan menyebabkan tinggi atau rendah dalam kolonisasi akar.

Tanah pada lahan kakao di dataran rendah memiliki persentase kolonisasi akar 37,19 dan di dataran tinggi memiliki persentase kolonisasi akar 70,04. Hasil yang didapat tidak berbeda dengan penelitian Zebua (2008) mengenai CMA di Hutan Pegunungan Sinabung, persentase kolonisasi akar akan rendah dengan unsur P yang tinggi. Persentase kolonisasi akar pada ketinggian 1500 mdpl sebesar 54,69% dan pada ketinggian 1900 mdpl sebesar 25,54%.

Struktur yang dibentuk FMA dengan mengkolonisasi akar kakao di kedua tempat yang diamati adalah struktur vesikula dan hifa. Struktur FMA yang ditemukan adalah seperti pada gambar di bawah ini.


(18)

Gambar 4. Akar Tanpa Kolonisasi FMA

Gambar 5. Vesikula dan Hifa Pada Akar

Kolonisasi FMA pada akar diawali dari pertumbuhan hifa oleh sumber tertentu. Tahap ini disebut prekolonisasi dan merupakan tahapan kolonisasi FMA yang pertama. Menurut Smith dan Read (1997), kolonisasi akar diawali dari pertumbuhan hifa dari ketiga sumber inokulum (spora, hifa, atau potongan akar terinfeksi FMA). Hifa ditemukan pada akar yang terkolonisasi FMA. Pengamatan akar pada kakao di dataran rendah dan dataran tinggi sangat sering dijumpai hifa pada akar yang menunjukan terjadi kolonisasi FMA.

Struktur FMA yang dijumpai pada akar kakao di dataran rendah dan dataran tinggi yang telah diamati adalah vesikula dan hifa (Gambar 5). Arbuskula


(19)

tidak dijumpai pada akar kakao di dataran rendah dan dataran tinggi yang telah diamati.

Pada pengamatan dengan menggunakan mikroskop maka dapat terlihat hifa, vesikula, dan arbuskula. Menurut Anas (1993), hifa yang ada di dalam sel atau akar tanaman terdiri dari hifa yang tidak bercabang yang terletak di antara sel, hifa intraseluler. Selain itu, terdapat hifa intraseluler yang bercabang secara diktomi (arbuskular) atau yang membengkak menjadi bulat atau bulat memanjang (vesikel) dan hifa mengering (hifa gelung). Pengertian di atas, menyatakan perbedaan vesikula dan arbuskula.

Hasil ekstraksi spora dari 50 g tanah yang dilakukan menunjukan bahwa rata-rata kepadatan spora dalam tanah pada lahan kakao di dataran rendah lebih rendah dari rata-rata kepadatan spora dalam tanah pada lahan kakao di dataran tinggi. Rata-rata kepadatan spora yang didapatkan dari dataran rendah adalah 39,6 (40) spora per 50 g sedangkan rata-rata kepadatan spora yang didapatkan dari dataran tinggi adalah 458,2 (459) spora per 50 g. Pengamatan yang dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan kepadatan spora atau jumlah spora FMA tiap 50 g tanah dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kepadatan Spora Atau Jumlah Spora FMA Tiap 50 g Tanah

Petak Dataran Rendah Dataran Tinggi

Spora / 50 g Spora / 50 g

1 35 523

2 68 586

3 28 404

4 27 441

5 40 337

Jumlah 198 2291


(20)

Pemerangkapan pada dasarnya digunakan untuk meningkatkan jumlah propagul FMA yang ada di dalam tanah yang diambil dari lapangan. Tahapan tersebut perlu dilakukan, mengingat tidak semua FMA aktif pada periode waktu yang sama.

Setelah melakukan pengamatan terhadap kolonisasi FMA pada akar, dilakukan juga penghitungan kepadatan spora hasil pemerangkapan di rumah kaca. Hasil pengamatan di laboratorium terhadap spora dari tanah hasil pemerangkapan di rumah kaca menunjukan bahwa kepadatan spora berbeda pada kedua lokasi (Tabel 4).

Tanah pada kakao di dataran rendah memiliki rata-rata kepadatan spora yang diperoleh adalah 39,6 (40) spora per 50 g tanah dan di dataran tinggi memiliki rata-rata kepadatan spora yang diperoleh adalah 458,2 (459) spora per 50 g tanah. Kepadatan spora yang berbeda ini tidak berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2005) yang melakukan pemerangkapan FMA dari tanah berbagai salinitas di hutan pantai Ujung Genteng, Sukabumi dengan Shorgum sp sebagai tanaman inang. Pada penelitian ini diperoleh variasi kepadatan spora yang sangat beragam antara lain dibawah 10 spora per 50 g tanah sampai kepada diatas 700 spora per 50 g tanah.

Jenis spora yang ditemukan, jumlah Glomus di dataran rendah lebih rendah dari jumlah Glomus di dataran tinggi. Jumlah Glomus di dataran rendah adalah 6 jenis sedangkan jumlah Glomus di dataran tinggi adalah 18 jenis.

Acaulospora ditemukan dengan jumlah yang sama di dataran rendah dan dataran

tinggi, yaitu 1 jenis. Pengamatan yang dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan jenis spora FMA yang ditemukan dapat dilihat pada Tabel 5.


(21)

Tabel 5. Jenis Spora FMA Yang Ditemukan

Tipe Spora Dataran Rendah Dataran Tinggi Jumlah Spesies Jumlah Spesies

Glomus 6 18

Acaulospora 1 1

Berdasarkan hasil analisis terhadap sifat kimia tanah menunjukan adanya perbedaan dari kedua tempat pengambilan sampel akar. Sifat kimia mempengaruhi kemampuan FMA berasosiasi dengan inang. Menurut Sasli (1999), Glomus berkembang dengan baik pada pH 5,5 sampai 6,5 dan

Acaulospora pada pH 5,0. Tipe spora tersebut akan berkembang dengan baik pada

pH tertentu tetapi pada pH dengan kisaran lebih rendah atau lebih tinggi, tipe spora tersebut juga dapat ditemukan. Hal ini dapat dilihat pada kakao di dataran rendah dengan pH 6,83 masih ditemukan Glomus dan Acaulospora sedangkan pada kakao di dataran tinggi dengan pH 5,61 masih ditemukan Acaulospora.

Pada lahan kakao di dataran rendah dan dataran tinggi hanya ditemukan 2 jenis. Hasil ini berbeda dengan penelitian Wenggi (2010) mengenai FMA Yang Berasosiasi Dengan Kakao Di Distrik Manokwari Barat dan Manokwari Utara. Penelitian tersebut menemukan 5 jenis pada lahan yang diteliti.

Identifikasi terhadap spora FMA dari tanah pada lahan kakao di dataran rendah ditemukan 2 genus spora FMA, yaitu Acaulospora yang terdiri dari 1 tipe spora dan Glomus yang terdiri dari 6 tipe spora. Pada lahan kakao di dataran rendah terdapat beberapa jenis spora FMA yang ditemukan seperti pada Tabel 6.


(22)

Tabel 6. Tipe dan Keterangan Spora FMA Pada Lahan Kakao Di Dataran Rendah

Tipe Spora Gambar Keterangan

Acaulospora sp. 1

Spora memiliki dinding dalam, struktur dinding yang kompleks, dinding luar yang tebal, dan dinding dalam yang tipis serta berwarna merah.

Glomus sp. 1

Spora berbentuk bulat dan warna kuning kecokelatan.

Glomus sp. 2 Spora berbentuk bulat

dan warna kuning.

Glomus sp. 3 Spora berbentuk oval dan

warna kuning pucat.

Glomus sp. 4

Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora berbentuk silinder, dan

warna kuning kecokelatan.

Glomus sp. 5 Spora berbentuk oval dan

warna kuning kehitaman.

Glomus sp. 6

Spora berbentuk bulat, warna kuning pucat, dan dinding tebal.


(23)

Identifikasi terhadap spora FMA dari tanah pada lahan kakao di dataran tinggi ditemukan 2 genus spora FMA, yaitu Acaulospora yang terdiri dari 1 tipe spora dan Glomus yang terdiri dari 18 tipe spora. Pada lahan kakao di dataran tinggi terdapat beberapa jenis spora FMA yang ditemukan seperti pada Tabel 7.

Tabel 7. Tipe dan Keterangan Spora FMA Pada Lahan Kakao Di Dataran Tinggi

Tipe Spora Gambar Keterangan

Acaulospora sp. 1

Spora memiliki dinding dalam, struktur dinding yang kompleks, dinding luar yang tebal, dan dinding dalam yang tipis serta berwarna kuning.

Glomus sp. 7

Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora berbentuk silinder, warna kuning kecokelatan, dan dinding tebal.

Glomus sp. 8

Spora berbentuk bulat, warna kuning pucat, dan dinding tebal.

Glomus sp. 9

Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel, warna kuning pucat, dan dinding tebal.

Glomus sp. 10 Spora berbentuk bulat


(24)

Glomus sp. 11

Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora berbentuk silinder, hifa bercabang, dan warna oranye.

Glomus sp. 12

Spora berbentuk bulat,

warna kuning kecokelatan, dan isi spora

berupa lipid butiran (granul) putih.

Glomus sp. 13

Spora bulat, tangkai hifa yang tetap menempel, hifa bercabang, dan warna kuning kehitaman.

Glomus sp. 14

Spora berbentuk agak bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora berbentuk silinder, dan warna kuning pucat.

Glomus sp. 15 Spora berbentuk oval dan

warna oranye.

Glomus sp. 1

Spora berbentuk bulat dan warna kuning kecokelatan.

Glomus sp. 16

Spora berbentuk bulat, warna kuning pucat, dan isi spora berupa lipid butiran (granul) putih.


(25)

Glomus sp. 17

Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora berbentuk silinder, dan warna oranye.

Glomus sp. 18

Spora berbentuk bulat, warna oranye, dan dinding berlapis.

Glomus sp. 2 Spora berbentuk bulat

dan warna kuning.

Glomus sp. 19

Spora berbentuk agak bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora berbentuk silinder, dan warna kuning kecokelatan.

Glomus sp. 20

Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel pada spora berbentuk silinder, hifa bercabang, dan warna kuning pucat.

Glomus sp. 21

Spora berbentuk bulat, tangkai hifa yang tetap menempel, dan warna kuning pucat.

Glomus sp. 22

Spora berbentuk agak bulat, tangkai hifa yang tetap menempel, dan warna kuning.


(26)

luar yang tebal, dan dinding dalam yang tipis. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap tipe spora genus Acaulospora dari kedua lokasi pengamatan tidak ditemukan tipe spora yang sama di kedua tempat. Masing-masing loasi menunjukan tipe spora Acaulospora yang berbeda. Perbedaan tersebut terletak pada warna di kedua spora. Spora di dataran rendah memiliki warna merah sedangkan spora di dataran tinggi memiliki warna kuning.

Genus Glomus yang ditemukan dari kedua lokasi pengamatan umumnya spora berbentuk bulat, agak bulat, dan oval. Spora FMA yang dijumpai berwarna kuning, kuning kecokelatan, kuning pucat, kuning kehitaman, dan oranye. Beberapa tipe spora genus Glomus ditemukan memiliki tangkai spora. Hasil identifikasi terhadap tipe spora genus Glomus dari kedua lokasi pengamatan, ditemukan 2 Glomus yang sama pada lahan kakao di dataran rendah dan dataran tinggi. Tipe spora yang dapat dijumpai pada kedua tempat adalah Glomus sp. 1 yang memiliki ciri spora berbentuk bulat dan warna kuning kecokelatan serta

Glomus sp. 2 yang memiliki ciri spora berbentuk bulat dan warna kuning.

Karakteristik Glomus dan Acaulospora dibedakan dalam beberapa ciri-ciri. Menurut Nusantara (2012), Glomus memiliki hifa yang relatif lurus, menjulur sepanjang kortek akar sering kali membentuk percabangan tipe H yang memungkinkan hifa tumbuh ke dua arah yang berbeda. Acaulospora, hifa pada titik masuk (entry point) memiliki karakteristik bercabang-cabang. Hifa pada kortek terluar biasanya memiliki percabangan yang lebih tidak teratur, lebih ikal, atau keriting dibandingkan dengan hifa Glomus. Penjelasan di atas, menyatakan perbedaan Glomus dan Acaulospora.


(27)

Genus Acaulospora dan Glomus dalam penelitian ini belum bisa diidentifikasi secara akurat nama spesies, karena dari seluruh jumlah spora yang ditemukan hanya sedikit yang dapat diidentifikasi. Kondisi ini dikarenakan banyak ditemukan spora-spora yang rusak dan kotor akibat belum terpisah dengan tanah. Proses identifikasi spora juga terkendala oleh terbatasnya peralatan di laboratorium dalam proses identifikasi sehingga penamaan spora belum dapat mencapai penamaan spesies.


(28)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa terdapat keanekaragaman FMA di dataran rendah dan dataran tinggi. Hasil yang diperoleh memberikan kesimpulan sebagai berikut.

1. Keberadaan FMA pada lahan kakao di dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan FMA pada lahan kakao di dataran rendah.

2. Status kolonisasi pada akar kakao di dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan kolonisasi pada akar kakao di dataran rendah.

Saran

Hasil penelitian ini hanya mendapatkan data mengenai keanekaragaman FMA pada tanaman inang kakao di satu musim pengamatan saja. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui potensi FMA yang berada di kedua tempat.


(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Kakao

Kakao (Theobroma cacao L.) termasuk salah satu komoditas perkebunan yang dikembangkan untuk kepentingan ekspor dan untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman dalam negeri. Komoditas kakao memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan devisa negara setelah kelapa sawit, karet, kelapa, dan kopi, meskipun produksi dan harga kakao di pasar dunia selalu berfluktuasi (Herman, 2000).

Fungi Mikoriza Arbuskula

Mikoriza adalah suatu struktur yang dibentuk oleh akar tanaman dan cendawan tertentu. Mikoriza merupakan suatu bentuk hubungan simbiose mutualisme, antara fungi dengan perakaran tumbuhan tinggi. Istilah mikoriza pertama kali digunakan oleh Robert Hartig pada tahun 1840, yang berasal dari bahasa Latin "Myhes" yang berarti cendawan dan "Rhiza" yang berarti akar (Hardiatmi, 2008).

Mikoriza dapat dikelompokan menjadi tiga golongan, yaitu;

Ektomikorhiza, Endomikoriza, dan Ektendomikoriza. Penggolongan tersebut

berdasarkan struktur tubuh buah dan cara infeksi terhadap tanaman (Hardiatmi, 2008).


(30)

FMA (Fungi Mikoriza Arbuskular) adalah salah satu jasad renik tanah dari kelompok jamur yang bersimbiosis dengan akar tanaman. Jamur ini mempunyai sejumlah pengaruh yang menguntungkan bagi tanaman yang bersimbiosis dengannya. FMA mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman karena status hara tanaman tersebut dapat ditingkatkan dan diperbaiki. Kemampuannya yang tinggi dalam meningkatkan penyerapan air dan hara terutama P (Hapsoh, 2008).

Di dalam tanah mikoriza dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH, suhu, Fe, Al, dan mikro organisme tanah. Glomus berkembang dengan baik pada pH 5,5 sampai 6,5 dan Acaulospora pada pH 5,0 (Sasli, 1999).

Glomus memiliki hifa yang relatif lurus, menjulur sepanjang kortek akar

sering kali membentuk percabangan tipe H yang memungkinkan hifa tumbuh ke dua arah yang berbeda. Acaulospora, hifa pada titik masuk (entry point) memiliki karakteristik bercabang-cabang. Hifa pada kortek terluar biasanya memiliki percabangan yang lebih tidak teratur, lebih ikal, atau keriting dibandingkan dengan hifa Glomus (Nusantara, 2012).

Jenis mikoriza dapat dikelompokan menjadi tiga golongan berdasarkan bentuk tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang, yaitu ektomikoriza, endomikoriza, dan ektendomikoriza (Setiadi, 1989). Ada beberapa jenis mikoriza yang dikenal, yaitu sheating, “vesikula - arbuskula”, “orchidaceous”, “miscellaneous”, dan “pseudomikoriza”. “Sheating - Mycorrhiza disebut juga sebagai ektomikoriza, sedangkan “vesikula - arbuskula”, “orchidaceous”, dan “miscellaneous” digolongkan ke dalam endomikoriza. Pseudomikoriza atau mikoriza palsu hampir sama dengan ektomikoriza, tetapi tidak mempunyai


(31)

“jarring hartig” dan mantel jamur yang merupakan ciri khusus dari ektomikoriza (Sastrahidayat, 1992).

Hifa yang ada di dalam sel atau akar tanaman terdiri dari hifa yang tidak bercabang yang terletak di antara sel, hifa intraseluler. Selain itu, terdapat hifa intraseluler yang bercabang secara diktomi (arbuskular) atau yang membengkak menjadi bulat atau bulat memanjang (vesikel) dan hifa mengering (hifa gelung) (Anas, 1993).

Syarat Tumbuh Kakao

1. Iklim

Iklim merupakan faktor yang meliputi curah hujan, suhu, kelembapan udara, penyinaran matahari, dan kecepatan angin yang antar unsur tersebut mempunyai hubungan yang rumit. Sebaran curah hujan lebih berpengaruh terhadap produksi kakao dibandingkan dengan jumlah curah hujan yang tinggi. Proses fisiologi tanaman kakao juga dipengaruhi oleh suhu udara. Kecepatan angin juga menentukan keberhasilan usaha tani kakao (PPKKI, 2004).

2. Tanah

Sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman adalah sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Sifat kimia tanah meliputi kadar unsur hara mikro dan makro dalam tanah, kejenuhan basa, kapasitas pertukaran kation, pH atau keasaman tanah, dan kadar bahan organik relatif mudah diperbaiki dengan teknologi yang ada. Sementara itu, sifat fisik tanah yang meliputi tekstur, struktur, konsistensi, kedalaman efektif tanah (solum), dan akumulasi endapan


(32)

suatu unsur (konkresi) relatif sulit diperbaiki meskipun teknologi perbaikannya telah ada. Sifat biologi tanah belum menjadi pertimbangan dalam melakukan penilaian kesesuaian lahan, karena hubungannya belum banyak diketahui secara pasti (PPKKI, 2004).

a. Sifat Kimia Tanah

Keasaman (pH) tanah yang baik untuk kakao adalah netral atau berkisar 5,6-6,8. Tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi, yaitu di atas 3% (PPKKI, 2004).

b. Sifat Fisik Tanah

Jeluk mempan atau kedalaman tanah yang dapat dijangkau akar secara aktif (effective depth) tidak identik dengan ketebalan solum tanah. Tekstur tanah menunjukan perbandingan tertentu antara tiga fraksi tanah, yaitu pasir, debu, dan lempung (PPKKI, 2004).

3. Timbulan

Faktor ini meliputi elevasi, topografi, dan tinggi tempat. Kakao tumbuh baik pada lahan datar atau kemiringan tanah kurang dari 15%. Suhu udara idealnya sekitar 28˚C, sehingga semakin tinggi tempat semakin rendah tingkat kesesuaiannya. Faktor timbulan yang berpengaruh adalah lereng, ini berkaitan dengan tingkat kesuburan, manajemen pemeliharaan, dan pemanenan (PPKKI, 2004).


(33)

Faktor Yang Mempengaruhi Keberadaan FMA

1. Spesies FMA dan Tanaman Inang

Persentase kolonisasi tergantung pada spesies FMA dan tanaman inang,

sering dihubungkan pertumbuhan akar dan kepekaan tanaman (Smith dan Read, 1997). Terdapat korelasi antara produksi spora dan kolonisasi

akar antara spesies tanaman untuk masing-masing FMA (Hedrick dan Bloom, 1986).

2. Suhu, Kelembaban, dan pH Tanah

Persentase kolonisasi meningkat pada 30˚ C, tetapi beberapa kombinasi cendawan - tanaman berkembang secara normal pada 35˚ C atau lebih (Bowen 1987, diacu dalam Smith & Read 1997). Kedelai yang diinokulasi FMA dapat membentuk kolonisasi sebesar 61% pada pH 5,6 dan meningkat menjadi 75% pada pH 6,4 (Nurlaeny et al., 1996).

3. Cahaya

Radiasi rendah, hari pendek dan fotosintesis yang rendah, mengurangi penyebaran akar yang bermikoriza (Gianinazzi - Pearson dan Gianinazzi, 1983). Beberapa laporan mengungkapkan kolonisasi berkurang pada cahaya rendah dalam hubungannya dengan suplai karbohidrat (Smith dan Read, 1997).

4. Ketersediaan Hara

Ada interaksi antara N dan P dalam pertumbuhan tanaman dan pengaruhnya terhadap kolonisasi, yakni P lebih tersedia pada tanaman cukup N dibandingkan dengan tanaman yang kekurangan N (Smith dan Read, 1997). Ketersediaan P mempengaruhi persentase kolonisasi. Fosfat yang sangat rendah


(34)

menghambat kolonisasi. Penambahan sedikit fosfat akan meningkatkan kolonisasi (Simanungkalit, 1997).

5. Pestisida

Pestisida meliputi methyl bromida, khloropikrin, dan berbagai macam racun fungi menurunkan kolonisasi FMA di lapangan (Fakuara, 1988). Aplikasi fungisida seperti Benomyl, PCNB, dan Captan menurunkan persentase kolonisasi

akar oleh FMA bila dibandingkan dengan tanpa fungisida (Schreiner dan Bethlenfalvay, 1996).

Peranan FMA

Status kesuburan lahan erat berkaitan dengan kondisi mikrobia tanah yang berlimpah, memiliki fungsi simbiosis dengan perakaran tanaman, serta ditunjukkan dengan pertumbuhan tanaman yang baik (Corryanti, 2011).

Proses infeksi dimulai dari pembentukan appresorium yaitu struktur yang berupa penebalan masa hifa yang kemudian menyempit seperti tanduk. Appresorium membantu hifa menembus ruang sel epidemis melalui permukaan akar, atau rambut-rambut akar dengan cara mekanis dan enzimatis. Hifa yang telah masuk ke lapisan korteks kemudian menyebar di dalam dan diantara sel-sel korteks, hifa ini akan membentuk benang-benang bercabang yang mengelompok disebut arbuskula yang berfungsi sebagai jembatan transfer unsur hara, antara cendawan dengan tanaman inang. Arbuskula merupakan hifa bercabang halus yang dapat meningkatkan luas permukaan akar, dua hingga tiga kali. Pada sistem perakaran yang terinfeksi akan muncul hifa yang terletak diluar, yang menyebar


(35)

disekitar daerah perakaran dan berfungsi sebagai alat pengabsorbsi unsur hara. Hifa yang terletak diluar ini dapat membantu memperluas daerah penyerapan hara oleh akar tanaman (Hardiatmi, 2008).

Sejumlah percobaan telah membuktikan hubungan saling menguntungkan, yaitu adanya cendawan mikoriza sangat meningkatkan efisiensi penyerapan mineral dari tanah. Mikoriza juga bisa memberikan kekebalan bagi tumbuhan inang. Mikoriza ini menjadi pelindung fisik yang kuat, sehingga perakaran sulit ditembus penyakit (patogen), sebab jamur ini mampu membuat bahan antibotik untuk melawan penyakit. Cendawan mikoriza bisa membentuk hormon seperti auxin, citokinin, dan giberalin yang berfungsi sebagai perangsang pertumbuhan tanaman (Hardiatmi, 2008).

Mikoriza menyebabkan terjadinya peningkatan ketahanan tumbuhan terhadap infeksi patogen dan parasit akar. Hal ini dikarenakan terdapatnya penghalang mekanis berupa mantel jamur yang dapat menghambat penetrasi patogen dan adanya kemampuan beberapa jamur mikoriza untuk memproduksi antibiotik. Mikoriza juga dapat merangsang inang untuk membentuk senyawa-senyawa penghambat dan meningkatkan persaingan kebutuhan hidup di rizosfer (Chakravarty dan Chatapaul, 1988).

Hubungan FMA Dengan Kakao

FMA adalah salah satu jasad renik tanah dari kelompok jamur yang bersimbiosis dengan akar tanaman. Jamur ini mempunyai sejumlah pengaruh yang menguntungkan bagi tanaman yang bersimbiosis dengannya (Hapsoh, 2008).


(36)

FMA banyak mendapat perhatian karena kemampuannya berasosiasi membentuk simbiosis mutualistik dengan hampir 80% spesies tanaman (Steussy, 1992). Menurut beberapa peneliti (Daniels dan Trappe, 1980; Van Nuffelen dan Schenck, 1983; Bianciotto et al., 1989; Al Raddad, 1995; Kabirun dan Widada, 1995; Nurlaeny et al., 1996; Simanungkalit, 1997; Hapsoh, 2003), kompatibilitas FMA dengan tanaman inang sangat bervariasi bergantung pada spesies FMA, spesies tanaman inang dan kondisi lingkungannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kakao yang lebih baik dibanding bibit tanpa mikoriza. Ini terlihat dari tingginya nilai rata-rata untuk hampir semua peubah yang diamati dibanding bibit yang tidak bermikoriza. Tinggi bibit di akhir penelitian meningkat sampai 133% terhadap kontrol yang justru terdapat pada tanaman dengan tingkat kekeringan 70% air tersedia. Ini menunjukkan bahwa bibit yang bermikoriza sebenarnya tidak terlalu bemasalah pada kondisi kekeringan oleh karena adanya hifa ekstemal cendawan mikoriza yang masih dapat menyerap air dari pori-pori tanah. Bobot kering bibit yang bermikoriza juga menunjukkan adanya perbedaan nyata dibanding kontrol. Pada akhir penelitian, bibit bermikoriza meningkatkan bobot kering tajuk dan akar masing-masing sebesar 144,7% dan 190% terhadap kontrol (Sasli, 1999).


(37)

Tahapan Kolonisasi FMA

1. Prekolonisasi

Kolonisasi akar diawali dari pertumbuhan hifa dari ketiga sumber inokulum (spora, hifa, atau potongan akar terinfeksi FMA). Rangsangan

prekolonisasi disebabkan oleh adanya flavonoid hasil eksudat akar (Smith dan Read, 1997).

2. Kontak dan Penembusan

Kontak hifa dengan akar diikuti oleh pelekatan dan setelah sekitar 2-3 hari, pembentukan apresorium yang membengkak. Penembusan dinding sel-sel tumbuhan selalu terjadi dengan pengecilan diameter hifa membentuk ujung yang

agak runcing, diikuti dengan ekspansi hifa memasuki lumen sel (Smith dan Smith, 1996; Smith dan Read, 1997).

3. Perkembangan Kolonisasi

Setelah pembentukan apresorium dan penembusan sel-sel epidermis dan eksodermis, percabangan hifa ke dalam korteks bagian tengah dan dalam akar (dalam mikoriza tipe Arum), tumbuh memanjang di ruang-ruang interseluler membentuk koloni. Koloni ini disebut ’kolonisasi’ untuk menggambarkan asosiasi mutualistik fungi - tumbuhan (Smith dan Smith, 1996; Smith dan Read, 1997). 4. Pergantian Arbuskula

Meskipun hifa fungi menembus dinding sel korteks akar, membran plasmanya tidak dirusak (ditembus) tetapi berkembang mengelilingi bentuk arbuskula, menghasilkan bentuk kompartemen apoplastik baru disebut kompartemen bidang kontak arbuskula. Di sini kedua simbion hanya dipisahkan


(38)

oleh membran masing-masing yaitu matriks bidang kontak yang tipis dari tumbuhan dan dinding sel fungi yang tipis, dengan lebar kompartemen bidang kontak antara 80-100 nm (Harrison, 1997).

5. Pertumbuhan Hifa Eksternal dan Produksi Spora

Sekali fungi berkembang di dalam akar dan tumbuh subur di dalam tanah, hifa eksternal merupakan sumber inokulum penting untuk kelanjutan kolonisasi sistem perakaran yang sama. Percabangan hifa yang halus ini sebagai bentuk adaptasi untuk mengeksplorasi pori-pori tanah dan juga selalu berasosiasi dengan bahan organik tanah, di mana mineralisasi hara terjadi (Smith dan Read, 1997).

Manfaat FMA

1. Meningkatkan Serapan Hara dan Air

FMA mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman karena status hara tanaman tersebut dapat ditingkatkan dan diperbaiki. Kemampuannya yang tinggi dalam meningkatkan penyerapan air dan hara terutama P (Jakobsen, 1992; Smith dan Read, 1997; Bryla dan Duniway, 1997; Hapsoh, 2003). Dijelaskan Sieverding (1991) bahwa FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air.

2. Pelindung Biologi Bagi Patogen Akar

Mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya infeksi patogen akar. Dari penelitian Sastrahidayat (1995) dilaporkan bahwa mikoriza mampu menekan tingkat serangan F. oxysporum lycopersici penyebab busuk akar


(39)

pada tanaman tomat dengan rata-rata sekitar 47,44% dan penyelamatan produksi sebesar 148,26%.

3. Meningkatkan Produksi Hormon Auksin

Selain itu fungi mikoriza dapat meningkatkan produksi hormon seperti auksin, sitokinin. Auksin dapat berfungsi meningkatkan elastisitas dinding sel dan mencegah atau memperlambat proses penuaan akar, dengan demikian fungsi akar

sebagai penyerap unsur hara dan air diperpanjang (Subashini dan Natarajan, 1997; Hapsoh, 2003).

4. Meningkatkan Produksi Tanaman

Selain fungsi yang telah disebutkan FMA dapat meningkatkan hasil tanaman pada tanah mineral masam tropika (Widada dan Kabirun, 1997). Peningkatan hasil juga dilaporkan pada berbagai jenis tanaman antara lain pada jagung (93,0%), kedelai (56,2%), padi gogo (25,0%), kacang tanah (23,8%), cabai (22,0%), bawang merah (62,0%), dan semangka (77,0%) (Sastrahidayat 1995), kedelai (29,2%-35,8%) (Hanum, 1997; Ernita, 1998).


(40)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Organisme tanah di dalam tanah ada yang bermanfaat dan ada pula mengganggu atau merugikan. Organisme yang bermanfaat, yaitu organisme tersebut terlibat dalam proses dekomposisi dan pengikat atau penyedia unsur hara. Organisme yang mengganggu atau merugikat, yaitu organisme tersebut memanfaatkan organisme lain seperti sebagai sumber makanan.

Salah satu contoh dari organisme yang bermanfaat adalah mikoriza. Mikoriza adalah salah satu cendawan yang mampu bersimbiosis dengan perakaran tanaman tingkat tinggi yang ditandai dengan Arbuskula. Simbiosis merupakan sifat yang menguntungkan bagi tanaman itu sendiri maupun tanaman inang untuk mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan kualitas serta daya hidup bibit tanaman pada tanah defisit unsur hara. Oleh karena itu mikoriza memegang peranan penting dalam meningkatkan produktifitas lahan bermasalah (Nainggola dan Samah, 2004).

Manfaat yang ditimbulkan dari mikoriza adalah meningkatkan kemampuan tanaman dalam mendapatkan hara. Mikoriza memberi manfaat pada pertumbuhan dan hasil tanaman dengan cara meningkatkan kemampuan tanaman untuk mendapatkan hara yang ada dalam tanah, yaitu dengan meningkatnya penyerapan unsur hara terutama P, dan juga meningkatkan penyerapan unsur hara lainnyaseperti N (NH4+ atau NO3-), K, dan Mg yang bersifat mobil. Peningkatan


(41)

penyerapan juga terjadi untuk unsur-unsur hara seperti Zn, Cu, S, B, dan Mo (Ouimet, 1996).

Di alam keberadaan dan status fungi mikoriza arbuskula tidak dapat diketahui secara pasti. Fungi mikoriza arbuskula dengan jumlah tertentu di alam, diketahui dapat berpengaruh pada jenis tanaman yang dijadikan sebagai inang. Kondisi serta keadaan dari lahan yang menjadi faktor utama dari perbedaan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Persentase kolonisasi akar oleh FMA akan mempengaruhi tanaman inang.

FMA di dalam tanah memiliki peran dalam membantu pertumbuhan tanaman. Namun belum diketahui besar perbedaan keberadaan dan status FMA yang disebabkan oleh ekologi tempat tumbuh. Tanaman yang tumbuh di tempat berbeda maka pertumbuhannya berbeda juga. Perbedaan tersebut disebabkan oleh keterkaitan tanah, organisme, dan tanaman. Hubungan dalam hal tersebut yang akan dilihat melalui pengamatan. Kakao merupakan jenis tanaman yang dapat tumbuh di dataran rendah dan dataran tinggi. Tanaman ini banyak ditanam dikarenakan memiliki banyak manfaat dalam pengolahannya. Kakao (Theobroma

cacao L.) adalah tanaman yang sering dimanfaatkan dalam kegiatan agroforestri

dan perkebunan oleh pemilik lahan.

Ada sekitar 150 spesies FMA yang telah dideskripsi berdasarkan morfologi spora (Morton dan Benny, 1990) meskipun deskripsi awal dalam

beberapa hal tidak memuaskan dan revisinya sangat diperlukan (Smith dan Read, 1997). Banyaknya spesies FMA menunjukan bahwa FMA pada

setiap lahan berbeda-beda, seperti perbedaan FMA di dataran rendah dan dataran tinggi.


(42)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberadaan dan status FMA berkaitan dengan perbedaan ekologi tempat tumbuh. Hal ini akan dapat mengetahui keberadaan dan status FMA di dataran rendah dan dataran tinggi.

Kegunaan Penelitian

Hasil yang akan didapat dari penelitian ini akan dapat mengetahui mengenai keberadaan dan status FMA. Melalui perbedaan ekologi tempat tumbuh maka dapat diketahui perbedaan dari FMA.

Hipotesis Penelitian

Informasi tentang dinamika sporulasi FMA di daerah tropis masih sangat kurang. Diduga adanya perbedaan ekologi tempat tumbuh akan mempengaruhi keberadaan FMA.


(43)

ABSTRACT

Rahmat Saputra : Existence and Status of Arbuscular Mycorrhizal Fungi on

Lowland and Highland Cocoa Field.

The goal of this research is to know the existence and the status of Arbuskular Mycorrhiza at Cocoa ecosystems in lowland andhighland. Soil sample has been taken from Adian Nangka Village, District of Lae Parira, Region of Dairi and Lubuk Pakam - Perbaungan, Region of Serdang Bedagai. This research use soil separating method to obtain spores and root coloring method to find out root colonization. The trapping result with host of Zea mays obtained an average spore density on the lowland is 39,6 (40) spores / 50 g soil, while the highland obtained 458,2 (459) spores / 50 g soil. The result shows on the lowland obtained 6 spores types of Glomus genus and 1 spores type of Acaulospora genus with up to 37,19% colonization percentage. Highland obtained 18 spores types of Glomus genus and 1 spores type of Acaulospora genus with up to 70,04% colonization percentage.


(44)

ABSTRAK

Rahmat Saputra : Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Lahan Kakao di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan status FMA pada lahan kakao di dataran rendah dan dataran tinggi. Contoh tanah dan akar berasal dari Desa Adian Nangka, Kecamatan Lae Parira, Kabupaten Dairi dan Lubuk Pakam -Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini menggunakan metode tuang saring untuk mendapatkan spora dan metode pewarnaan untuk mengetahui kolonisasi akar. Hasil trapping dengan tanaman inang Zea mays diperoleh kepadatan spora rata-rata pada dataran rendah adalah 39,6 (40) spora / 50 g tanah, sementara pada dataran tinggi diperoleh kepadatan spora rata-rata adalah 458,2 (459) spora / 50 g tanah. Hasil penelitian pada dataran rendah didapat 6 tipe spora genus Glomus dan 1 tipe spora genus Acaulospora dengan persentase kolonisasi mencapai 37,19%. Pada dataran tinggi diperoleh 18 tipe spora genus Glomus dan 1 tipe spora genus Acaulospora dengan persentase kolonisasi mencapai 70,04%. Kata kunci : FMA, Kakao, Dataran Rendah, Dataran Tinggi


(45)

KEBERADAAN DAN STATUS FUNGI

MIKORIZA ARBUSKULA PADA LAHAN KAKAO

DI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI

SKRIPSI

Disusun Oleh:

RAHMAT SAPUTRA 101201068

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014


(46)

KEBERADAAN DAN STATUS FUNGI

MIKORIZA ARBUSKULA PADA LAHAN KAKAO

DI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI

SKRIPSI

Disusun Oleh:

RAHMAT SAPUTRA 101201068/BUDIDAYA HUTAN

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014


(47)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula pada Lahan Kakao Dataran Rendah dan Dataran Tinggi

Nama : Rahmat Saputra

NIM : 101201068

Program Studi : Kehutanan

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing

Dr. Delvian, S.P, M.P Ketua

Dr. Deni Elfiati, S.P, M.P Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kehutanan Siti Latifah S.Hut, M.Si, Ph.D


(48)

ABSTRACT

Rahmat Saputra : Existence and Status of Arbuscular Mycorrhizal Fungi on

Lowland and Highland Cocoa Field.

The goal of this research is to know the existence and the status of Arbuskular Mycorrhiza at Cocoa ecosystems in lowland andhighland. Soil sample has been taken from Adian Nangka Village, District of Lae Parira, Region of Dairi and Lubuk Pakam - Perbaungan, Region of Serdang Bedagai. This research use soil separating method to obtain spores and root coloring method to find out root colonization. The trapping result with host of Zea mays obtained an average spore density on the lowland is 39,6 (40) spores / 50 g soil, while the highland obtained 458,2 (459) spores / 50 g soil. The result shows on the lowland obtained 6 spores types of Glomus genus and 1 spores type of Acaulospora genus with up to 37,19% colonization percentage. Highland obtained 18 spores types of Glomus genus and 1 spores type of Acaulospora genus with up to 70,04% colonization percentage.


(49)

ABSTRAK

Rahmat Saputra : Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Lahan Kakao di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan status FMA pada lahan kakao di dataran rendah dan dataran tinggi. Contoh tanah dan akar berasal dari Desa Adian Nangka, Kecamatan Lae Parira, Kabupaten Dairi dan Lubuk Pakam -Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini menggunakan metode tuang saring untuk mendapatkan spora dan metode pewarnaan untuk mengetahui kolonisasi akar. Hasil trapping dengan tanaman inang Zea mays diperoleh kepadatan spora rata-rata pada dataran rendah adalah 39,6 (40) spora / 50 g tanah, sementara pada dataran tinggi diperoleh kepadatan spora rata-rata adalah 458,2 (459) spora / 50 g tanah. Hasil penelitian pada dataran rendah didapat 6 tipe spora genus Glomus dan 1 tipe spora genus Acaulospora dengan persentase kolonisasi mencapai 37,19%. Pada dataran tinggi diperoleh 18 tipe spora genus Glomus dan 1 tipe spora genus Acaulospora dengan persentase kolonisasi mencapai 70,04%. Kata kunci : FMA, Kakao, Dataran Rendah, Dataran Tinggi


(50)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada 27 Mei 1992 dari pasangan Teddy Rostiadi dan Khairani. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri Melong 3 Cimahi Selatan lulus pada tahun 2004 dan melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Banda Aceh lulus tahun 2007. Kenudian penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 11 Banda Aceh lulus pada tahun 2010.

Pada tahun 2010 penulis mengikuti Ujian Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negeri (UMB-PTN) dan diterima di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penulis memilih minat Budidaya Hutan. Di masa perkuliahan penulis aktif dalam kepengurusan maupun kepanitiaan dibeberapa organisasi kemahasiswaan seperti Badan Kemakmuran Musholla Baytul Asyjaar, Rain Forest, dan Inkubator Sains.

Dalam menyelesaikan kegiatan akademik, pada tahun 2012 penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH) di hutan pendidikan Universitas Sumatera Utara, Taman Hutan Raya Bukit Barisan di Tongkoh, Kabupaten Karo. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Perhutani, Jawa Barat pada 31 Januari 2014 sampai dengan 5 Maret 2014.


(51)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik dan tepat waktu. Melalui kekuasaan-Nya penulis dapat melakukan semua ini dengan sangat baik beserta penyelesaian target dalam hasil yang dapat dicapai sebelumnya.

Judul dari penelitian ini adalah “Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Lahan Kakao Di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi”, sesuai dengan susunan dari tema penelitian secara runtun. Penelitian yang disusun sebagai salah satu syarat dalam kelulusan di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih dengan rasa hormat kepada dosen pembimbing Dr. Delvian, S.P, M.P dan Dr. Deni Elfiati, S.P, M.P serta kepada teman-teman sekelas. Hal ini dikarenakan telah membantu dan membimbing penulis dalam pelaksanaan hingga terwujudnya penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna, baik dari segi teknik penyusunan maupun dari segi materi dan pembahasan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi penyempurnaan penelitian ini.

Medan, 20 Juli 2014


(52)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. i

DAFTAR ISI………... ii

DAFTAR TABEL………. iii

DAFTAR GAMBAR……..……….. iv

DAFTAR LAMPIRAN……… v

PENDAHULUAN………... 1

Latar Belakang………... 1

Tujuan Penelitian…...………. 3

Kegunaan Penelitian………... 3

Hipotesis Penelitian……… 3

TINJAUAN PUSTAKA………... 4

Kakao………...……….…….. 4

Fungi Mikoriza Arbuskula……….…… 4

Syarat Tumbuh Kakao……… 6

Faktor Yang Mempengaruhi Keberadaan FMA………. 8

Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula………...…… 9

Hubungan Fungi Mikoriza Arbuskula Dengan Kakao………..……. 10

Tahapan Kolonisasi FMA……….. 12

Manfaat FMA………. 13

METODE PENELITIAN...……..……….. 15

Waktu dan Tempat……….………... 15

Bahan dan Alat………... 15

Prosedur Penelitian……….……… 16

HASIL DAN PEMBAHASAN………..……….. 23

Hasil……….... 23

Pembahasan……….... 23

KESIMPULAN DAN SARAN…………....……… 38

Kesimpulan....………. 38

Saran………... 38

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(53)

DAFTAR TABEL

1. Hasil Analisis Tanah……….. 23

2. Hasil Analisis Curah Hujan dan Temperatur………. 24

3. Persentase Kolonisasi Akar Pada Tanaman Inang………. 25

4. Kepadatan Spora Atau Jumlah Spora FMA Tiap 50 g Tanah……… 29

5. Jenis Spora FMA Yang Ditemukan……… 31

6. Tipe dan Keterangan Spora FMA Di Dataran Rendah ………..…… 32

7. Tipe dan Keterangan Spora FMA Di Dataran Tinggi ………...………… 33 Halaman Nomor


(54)

DAFTAR GAMBAR

1. Alur Prosedur….………..……….. 16

2. Pengambilan Contoh Tanah dan Akar….………..………. 17

3. Komposisi Pot………...………. 19

4. Akar Tanpa Kolonisasi FMA……….……… 28

5. Vesikula dan Hifa Pada Akar……….……… 28 Halaman Nomor


(55)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pengambilan Sampel……….. 43

2. Kultur Traping………...………. 43

3. Pengamatan Di Laboratorium………...………. 44

4. Kriteria Penilaian Sifat-Sifat Tanah………...………… 44

5. Kriteria pH Tanah………...……… 44

6. Klasifikasi Kolonisasi……….……… 44 Halaman Nomor


(1)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada 27 Mei 1992 dari pasangan Teddy Rostiadi dan Khairani. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri Melong 3 Cimahi Selatan lulus pada tahun 2004 dan melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Banda Aceh lulus tahun 2007. Kenudian penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 11 Banda Aceh lulus pada tahun 2010.

Pada tahun 2010 penulis mengikuti Ujian Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negeri (UMB-PTN) dan diterima di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penulis memilih minat Budidaya Hutan. Di masa perkuliahan penulis aktif dalam kepengurusan maupun kepanitiaan dibeberapa organisasi kemahasiswaan seperti Badan Kemakmuran Musholla Baytul Asyjaar, Rain Forest, dan Inkubator Sains.

Dalam menyelesaikan kegiatan akademik, pada tahun 2012 penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH) di hutan pendidikan Universitas Sumatera Utara, Taman Hutan Raya Bukit Barisan di Tongkoh, Kabupaten Karo. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Perhutani, Jawa Barat pada 31 Januari 2014 sampai dengan 5 Maret 2014.


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik dan tepat waktu. Melalui kekuasaan-Nya penulis dapat melakukan semua ini dengan sangat baik beserta penyelesaian target dalam hasil yang dapat dicapai sebelumnya.

Judul dari penelitian ini adalah “Keberadaan dan Status Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Lahan Kakao Di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi”, sesuai dengan susunan dari tema penelitian secara runtun. Penelitian yang disusun sebagai salah satu syarat dalam kelulusan di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih dengan rasa hormat kepada dosen pembimbing Dr. Delvian, S.P, M.P dan Dr. Deni Elfiati, S.P, M.P serta kepada teman-teman sekelas. Hal ini dikarenakan telah membantu dan membimbing penulis dalam pelaksanaan hingga terwujudnya penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna, baik dari segi teknik penyusunan maupun dari segi materi dan pembahasan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi penyempurnaan penelitian ini.

Medan, 20 Juli 2014


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. i

DAFTAR ISI………... ii

DAFTAR TABEL………. iii

DAFTAR GAMBAR……..……….. iv

DAFTAR LAMPIRAN……… v

PENDAHULUAN………... 1

Latar Belakang………... 1

Tujuan Penelitian…...………. 3

Kegunaan Penelitian………... 3

Hipotesis Penelitian……… 3

TINJAUAN PUSTAKA………... 4

Kakao………...……….…….. 4

Fungi Mikoriza Arbuskula……….…… 4

Syarat Tumbuh Kakao……… 6

Faktor Yang Mempengaruhi Keberadaan FMA………. 8

Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula………...…… 9

Hubungan Fungi Mikoriza Arbuskula Dengan Kakao………..……. 10

Tahapan Kolonisasi FMA……….. 12

Manfaat FMA………. 13

METODE PENELITIAN...……..……….. 15

Waktu dan Tempat……….………... 15

Bahan dan Alat………... 15

Prosedur Penelitian……….……… 16

HASIL DAN PEMBAHASAN………..……….. 23

Hasil……….... 23

Pembahasan……….... 23

KESIMPULAN DAN SARAN…………....……… 38

Kesimpulan....………. 38

Saran………... 38

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(4)

DAFTAR TABEL

1. Hasil Analisis Tanah……….. 23

2. Hasil Analisis Curah Hujan dan Temperatur………. 24

3. Persentase Kolonisasi Akar Pada Tanaman Inang………. 25

4. Kepadatan Spora Atau Jumlah Spora FMA Tiap 50 g Tanah……… 29

5. Jenis Spora FMA Yang Ditemukan……… 31

6. Tipe dan Keterangan Spora FMA Di Dataran Rendah ………..…… 32

7. Tipe dan Keterangan Spora FMA Di Dataran Tinggi ………...………… 33 Halaman Nomor


(5)

DAFTAR GAMBAR

1. Alur Prosedur….………..……….. 16

2. Pengambilan Contoh Tanah dan Akar….………..………. 17

3. Komposisi Pot………...………. 19

4. Akar Tanpa Kolonisasi FMA……….……… 28

5. Vesikula dan Hifa Pada Akar……….……… 28 Halaman Nomor


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pengambilan Sampel……….. 43

2. Kultur Traping………...………. 43

3. Pengamatan Di Laboratorium………...………. 44

4. Kriteria Penilaian Sifat-Sifat Tanah………...………… 44

5. Kriteria pH Tanah………...……… 44

6. Klasifikasi Kolonisasi……….……… 44 Halaman Nomor