Dinamika Psikologis Hardiness Pada Ibu Sebagai Orang Tua Tunggal Karena Perceraian

(1)

DINAMIKA PSIKOLOGIS

HARDINESS

PADA IBU SEBAGAI ORANG TUA

TUNGGAL KARENA PERCERAIAN

Khoirun Nisa1), Sri Lestari2) 1

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta email: knisa877@yahoo.com

2

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta email: sri.lestari@ums.ac.id

Abstract

This research aim to describe about the psychological dynamics of hardiness of mother who divorced single parent. The research used qualitative approach, which in-depth interview and event sampling method were performed to gather data. The result shows that hardiness begins with the commitment, that in this phase the mother will decide to be a single parent. The next two phases are self control and facing the challenges. The third phase is motivated by the hope for future live of their children. These three phases support to the finding of Maddi and Kobasa (2005). On the last phase, the mother will take wisdom from their life experience. This research also found that the spirituality dimensions have involved in each phase. The spiritual values that come up are submission, patient and gratitude. Factors that would affect to hardiness of single parent are farewell causes, family and social support, academic motivation of the children and employment status.

Keyword : hardiness, mother, single parent, divorce.

1. PENDAHULUAN

Fenomena orangtua tunggal beberapa dekade terakhir ini marak terjadi di berbagai negara. Pada tahun 2005 di Inggris terdapat 1,9 juta orangtua tunggal dan 91% dari angka tersebut adalah wanita sebagai orangtua tunggal. Berdasarkan data tersebut diperoleh gambaran tingginya keluarga yang berstatus sebagai single parent (Alvita, 2008). Di Indonesia, jumlah perceraian semakin meningkat. Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA), tahun 2010 ada 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian di Pengadilan Agama se-Indonesia. Angka tersebut merupakan angka tertinggi sejak 5 tahun terakhir. Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat perceraian yang cukup tinggi (www.badilag. net).

Salah satu dampak perceraian adalah terjadinya perubahan struktur dalam suatu keluarga yang menjadikan ayah atau ibu menjadi orangtua tunggal. Pada ibu, terjadi

perempuan baik di dalam keluarga maupun di masyarakat terkait peran dan statusnya yang baru yaitu dari seorang ibu bukan kepala keluarga lalu merangkap sebagai seorang kepala keluarga, yang tentu tidak mudah. Terlebih bagi seorang ibu yang terpaksa mengasuh anaknya hanya seorang diri karena bercerai dari suaminya. Hal tersebut membutuhkan perjuangan yang cukup berat untuk membesarkan anak termasuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, dan yang lebih memberatkan lagi adalah anggapan-anggapan dari lingkungan yang sering memojokkan para ibu sebagai orangtua tunggal. Hal tersebut dapat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan anak. Bagi seorang ibu, menjadi orang tua tunggal merupakan pengalaman yang luar biasa berat. Terlebih bila lingkungan tidak berpihak, terkadang seorang ibu takut jika hal tersebut dapat mempengaruhi perkem-bangan anak-anaknya, sehingga diperlu-kan sikap kuat dan tegar terhadap setiap tantangan


(2)

hidupnya sebagai teladan bagi anak-anaknya (Isti‘anah, 2010). Menjadi orangtua tunggal merupakan

sebuah fase yang tidak dialami oleh semua orang, perubahan fungsi dan peran pada seseorang sebelum dan saat menjadi orangtua tunggal dapat mempengaruhi pula perubahan pada perekonomian, sosial dan psikologis. Seorang istri yang ditinggal suami karena meninggal dunia maupun karena perceraian, maka dengan terpaksa mereka harus menjalankan peran sebagai ibu dan ayah sekaligus. Seorang istri tiba-tiba menjalankan multi peran dan mengambil tanggung jawab penuh dalam keluarga, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, cara mengambil keputusan yang tepat untuk kelangsungan keluarga, dan berusaha menguatkan anggota keluarga atas persoalan yang dihadapi (Laksono, 2008).

Umumnya perempuan lebih peka dan sensitif terhadap perubahan terutama dalam kehidupannya. Mereka mengalami stres karena harus memikul peran ganda dalam keluarga. Perempuan tersebut mengalami suatu tekanan hidup karena sebelumnya dijalani bersama-sama dengan pasangannya sekarang menjadi seorang diri dalam mengatur rumah tangga baik dalam keluarga maupun dalam mendidik dan merawat anak. Perempuan tersebut mengalami masalah psikososial dalam bentuk tekanan psikologis, seperti dalam bentuk afektif, kognitif, fisik dan perilaku. Selain itu orang tua tunggal pada umumnya akan mengalami masalah keuangan, terlebih bagi mereka yang berada pada kalangan ekonomi menengah ke bawah. Hal tersebut akan menambah beban hidup perempuan sebagai orangtua tunggal (Sovia, 2009).

Hasil penelitian National Institute For Occupational Safety and Health (Muchtar, 2004) menyatakan bahwa penyebab stres dapat berasal dari dalam diri individu yaitu usia, kondisi fisik dan faktor kepribadian, maupun faktor dari luar individu baik dari keluarga, lingkungan kerja, cita-cita maupun ambisi. Faktor kepribadian yang diduga dapat berperan dalam menghadapi stres adalah kepribadian tahan banting (hardiness).

Maddi (Nurhidayah & Hidayanti, 2009) menyatakan bahwa hardiness merupakan suatu karakteristik kepribadian yang membuat individu menjadi lebih kuat, tahan, stabil dan optimis dalam menghadapi stres dan mengurangi efek negatif dari timbulnya stres yang harus dihadapi.

2. KAJIAN LITERATUR

Istilah hardiness oleh Maddi (2002) diartikan sebagai sikap dan keterampilan untuk bertahan dalam keadaan stres. Sementara itu, Kamtsios dan Karagiannopoulou (2012) menyatakan

hardiness seperti seperangkat keyakinan

seseorang mengenai interaksi dirinya dengan dunia, menekankan pentingnya: keterlibatan daripada isolasi, kontrol daripada ketidakberdayaan, dan tantangan bukan ancaman.

Hadjam (2003) menyatakan bahwa kepribadian tahan banting (hardiness) mengurangi pengaruh kejadian-kejadian hidup yang mencekam dengan meningkatkan penggunaan strategi penyesuaian, antara lain dengan menggunakan sumber-sumber sosial yang ada di lingkungannya untuk dijadikan tameng, motivasi, dan dukungan dalam menghadapi masalah ketegangan yang dihadapinya dan memberikan kesuksesan. Saat menghadapi kondisi yang menekan, individu yang tahan banting juga akan mengalami stres atau tekanan, namun tipe kepribadian ini dapat menyikapi secara positif keadaan tidak menyenangkan tadi agar dapat menimbulkan kenyamanan melalui cara-cara yang sehat.

Karakter kepribadian hardiness

mempunyai pengaruh yang positif pada berbagai status individu dan berfungsi sebagai sumber perlawanan pada saat individu menemui kejadian yang menimbulkan stres. (Nurtjahjanti, 2011). Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Rahardjo (2005), tentang kontribusi

hardiness dan self-efficacy terhadap stres


(3)

menujukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara hardiness yang dimiliki maka akan semakin rendah stres kerja yang dirasakan.

Schultz dan Schultz (2002), menjelaskan bahwa individu yang memiliki tingkat

hardiness yang tinggi memiliki sikap yang

membuat mereka lebih mampu dalam melawan stres. Individu dengan hardy

personality percaya bahwa mereka dapat

mengontrol atau mempengaruhi kejadian- kejadian dalam hidupnya. Mereka secara mendalam berkomitmen terhadap pekerjaannya dan aktivitas-aktivitas yang mereka senangi, dan mereka memandang perubahan sebagai sesuatu yang menarik dan menantang lebih daripada sebagai sesuatu yang mengancam.

Menurut Maddi dan Kobasa (2005), terdapat tiga dimensi hardiness yaitu komitmen, kontrol dan tantangan. Pertama, komitmen adalah kecenderungan untuk melibatkan diri dalam aktivitas yang sedang dihadapi. Aspek ini berisi keyakinan bahwa hidup itu bermakna dan memiliki tujuan. Individu juga berkeyakinan teguh pada dirinya sendiri walau apapun yang akan terjadi. Kedua, kontrol diri adalah keyakinan individu bahwa dirinya dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa yang terjadi atas dirinya. Aspek ini berisi keyakinan bahwa individu dapat mempengaruhi atau mengendalikan apa saja yang terjadi dalam hidupnya. Individu percaya bahwa dirinya dapat menentukan terjadinya sesuatu dalam hidupnya, sehingga tidak mudah menyerah ketika sedang berada dalam keadaan tertekan. Ketiga, tantangan adalah kecenderungan untuk memandang suatu perubahan yang terjadi sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri, bukan sebagai ancaman terhadap rasa amannya. Aspek ini berupa pengertian bahwa hal-hal yang sulit dilakukan atau diwujudkan adalah sesuatu yang umum terjadi dalam kehidupan, yang pada akhirnya akan datang kesempatan untuk melakukan dan mewujudkan hal tersebut.

Stres akibat perpisahan dan perceraian yang terjadi menempatkan laki-laki maupun perempuan dalam resiko kesulitan fisik

maupun psikis (Chase-Lansdale & Hetherington dalam Santrock, 2004). Laki- laki dan perempuan yang berpisah atau bercerai memiliki tingkat kemungkinan yang lebih tinggi mengalami gangguan psikiatris, masuk rumah sakit jiwa, depresi klinis, alkoholisme, dan masalah psikosomatis, seperti gangguan tidur (Santrock, 2004).

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga mengakibatkan seseorang menjadi orangtua tunggal yang berarti akan membawa seseorang untuk beradaptasi dengan kondisi yang baru yakni penambahan peran dan serangkaian tugas-tugas ganda yang harus dilakukan. Seiring dengan perjalanan waktu orangtua yang dulunya lengkap dapat menjadi tidak lengkap yang disebabkan karena adanya perpisahan, yakni kematian, perceraian, sakit, perang atau bencana alam, sehingga orangtua harus menjalankan peran sebagai orangtua tunggal. Artinya hanya terdapat satu orangtua saja dalam menjalankan peran sebagai kepala keluarga dan orangtua tunggal, untuk itu ia harus dapat menjalankan peran dan tanggung jawab secara total baik sebagai ibu sekaligus sebagai ayah. (Usman, 2007)

3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif fenomenologi, teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling yang dilakukan dengan mengambil orang-orang yang memiliki ciri-ciri spesifik yang telah ditentukan oleh peneliti. Adapun kriteria informan untuk penelitian ini adalah : (a ) perempuan dengan status orang tua tunggal karena perceraian, (b) memiliki anak, (c) tinggal dengan anaknya, (d) memiliki pekerjaan., sedangkan karakteristik informan pendukung adalah : orang yang dekat dengan informan utama dan memahami kehidupan informan. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara semi terstruktur dan observasi dengan metode event

sampling.

Data demografi informan penelitian ditampilkan dalam tabel 1.


(4)

Tabel 1. Data demografi informan utama

Informan Usia Sebab Cerai Pekerjaan Anak Lama

berpisah

Status ekonomi

MR 38 th KDRT Asisten rumah

tangga

2 (bersekolah di SD & SMA)

3 bln Menengah ke

bawah SM 50 th KDRT Staf TU SMP 2 (Lulus S1 &

mahasiswa S1)

16 th Menengah ke

bawah

Data dalam penelitian ini dianalisis secara tematik. Adapun langkah-langkah yang dilakukan mengikuti analisis data secara induktif, yakni: (a) mengorganisasi data, (b) melakukan pengkodean, (c) menentukan tema, (d) menyusun kategori, (e) mendeskripsikan kategori, dan (f) menyusun pembahasan (Poerwandari, 1998).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi pada orang tua tunggal dan subjek pendukung didapatkan hasil bahwa hardiness pada orang tua tunggal dibentuk setelah informan tidak dipedulikan oleh suami. Kemudian berkembang dalam kehidupannya saat menjadi orang tua tunggal. Dinamika psikologis hardiness pada orang tua tunggal karena perceraian muncul dalam enam kategori tema, yaitu : (a) Komitmen, (b) Kontrol diri, (c) tantangan, (d) Nilai spiritualitas, (e) Harapan terhadap anak, (f) hikmah dari perpisahan. Berikut ini dipaparkan setiap dimensi tersebut.

Pada orang tua tunggal yang disebabkan karena perceraian, hardiness mulai muncul ketika seorang ibu mengalami peristiwa yang tidak diinginkan dalam kehidupan pernikahannya seperti kekerasan dalam rumah tangga. Selanjutnya mereka harus mencari nafkah sendiri dan baru memutuskan untuk bercerai. Hardiness makin berkembang saat ibu menjalani perannya sebagai orang tua tunggal.

Orang tua tunggal yang disebabkan karena perceraian pada awalnya membentuk suatu komitemen, dengan menyiapkan diri

untuk bekerja, meluangkan waktu untuk anak, menjaga keberlangsungan pendidikan anak, seperti yang diungkapkan oleh informan MR.

Iya itu kalau pagi saya bisa nganter sekolah masih, jemput masih bisa nanti masih nyuapin dia kalau makan

nungguin itu masih bisa...” (W.MR/

886-894).

Hal yang sama juga dilakukan oleh informan SM yang meluangkan waktu untuk anak-anaknya.

“rumah tangga itu ya isah-isah terus

anak yo dimaemi, terus sudah bersih to ke mbah e, ke mbah kakunge kan masih, ya masih diemong mbah e semua kan masih kecil-kecil, diemong mbah e, mbah kakung itu wes dijak tenpundi- pundi mbak dijak ten tegal ngarit hehe dijak ten endi-endi yo ra po-po terus diajak mbah putri ten pasar itu, terus saya ke kantor, yo montang-manting

mbak tapi yo gak po-po...” (W. SM/

346-361)

Maddi (Nurhidayah & Hidayanti, 2009) menyatakan bahwa hardiness merupakan suatu karakteristik kepribadian yang membuat individu menjadi lebih kuat, tahan, stabil dan optimis dalam menghadapi stres dan mengurangi efek negatif dari timbulnya stres yang harus dihadapi.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga mengakibatkan seseorang menjadi orang tua tunggal yang berarti akan membawa seseorang untuk beradaptasi dengan kondisi yang baru yakni penambahan peran dan serangkaian tugas-tugas ganda


(5)

yang harus dilakukan. Seiring dengan perjalanan waktu orang tua yang dulunya lengkap dapat menjadi tidak lengkap yang disebabkan karena adanya perpisahan, sehingga orang tua harus menjalankan peran sebagai kepala keluarga dan orang tua tunggal. Oleh karena itu ia harus dapat menjalankan peran dan tanggung jawab secara total baik sebagai ibu sekaligus sebagai ayah (Usman, 2007).

Ibu sebagai orang tua tunggal yang mengalami kekerasan dalam pernikahan mempercayai bahwa kehidupan setelah menjadi orang tua tunggal akan lebih bahagia. Seperti yang diungkapkan oleh informan MR.

“Lebih happy itu mbak hahaha, lebih

nyaman lebih happy nggak tertekan pokoknya ya plong lah daripada punya suami tapi tertekan ketakutan di rumah

nggak nyaman...” (W. MR/ 857-862).

Hal serupa juga diungkapkan oleh informan SM dalam wawancaranya.

“Perubahannya (Iter: iya) iya

perubahan saya ya seneng bisa menyekolahkan anak sendiri, malah lebih tenang nggak ada yang gimana ya, nggak ada yang ngganggu malah

seneng saya...” (W. SM/ 287-293 )

Cotton (dalam Dodik, 2012) menyatakan kepribadian hardiness adalah komitmen yang kuat terhadap diri sendiri, sehingga dapat menciptakan tingkah laku yang aktif terhadap diri sendiri, terhadap lingkungan dan menetralkan situasi-situasi yang menekan. Orang dengan kepribadian hardiness memiliki keberanian berkonfrontasi dengan perubahan atau perbedaan dan menarik hikmah dari keadaan tersebut (Foster & Dion, dalam Dodik 2012).

Setelah komitmen terbentuk pada diri ibu yang menjadi orang tua tunggal karena perceraian, ibu akan menjalankan perannya sebagai orang tua tunggal, tentunya dalam menjalankan peran seorang ibu harus tetap mengontrol dirinya. Pada tahap ini seorang ibu akan mengendalikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Orang tua

tunggal akan percaya bahwa dirinya dapat menentukan terjadinya sesuatu dalam hidupnya, sehingga tidak mudah menyerah ketika sedang berada dalam keadaan tertekan (Maddi & Kobasa, 2005).

Dalam tahap ini seorang ibu berusaha mengendalikan perasaan saat harus menghadapi situasi sulit dalam memenuhi kebutuhan, dengan berbagi cerita dengan anak. Banyaknya peran yang harus dijalankan oleh seorang ibu dengan status orang tua tunggal tentunya dukungan keluarga akan memberikan kekuatan pada kehidupan ibu. Seperti yang dilakukan oleh informan SM, yang berbagi cerita dengan anaknya sebelum mengambil keputusan.

“Ke anak heem saya yo cerita mbak,

cerito ngene..ngene, anak juga gitu mbak wes ra opo-opo to bu angger iku ngene..ngene..semua sama anak juga begitu, nggak ada yang kok iki berat

kok iki itu endak” (W. SM/ 835-842)

Hal yang sama juga dilakukan oleh informan MR, namun informan MR tidak menceritakan semua permasalahan kepada anaknya. Informan MR memilih permasalahan yang tidak terlalu berat agar tidak menjadi beban bagi anaknya yang masih di bangku SMA, seperti diungkapkan dalam wawancara.

“Iya nggak semuanya mbak ya ada

yang enggak enggak..sampai dia kan belum waktunya kadang kan nggak maulah dia sampai dia juga pikiran yang berat berat saya nggak mau sebatas curhatan biasa lah kalau ada yang sampai sensitif itu saya nggak pernah, mungkin kalau saya lebih ke teman, teman saya gitu yang bisa saya

percaya” (W. MR/ 1206-1217)

Setelah ibu mampu mengontrol diri dalam menjalankan perannya, tahap selanjutnya adalah menghadapi tantangan dalam menjalankan peran sebagai orang tua tunggal. Tantangan yang dihadapi oleh ibu sebagai orang tua tunggal diantaranya adalah: (1) mencari tambahan penghasilan, (2) memenuhi biaya sekolah anak, (3) berupaya


(6)

mewujudkan harapan anak, dan (4) menghadapi stigma sosial.

Upaya ibu untuk mengubah sebuah permasalahan menjadi tantangan yang harus diselesaikan oleh orang tua tunggal melibatkan kemampuan untuk mengubah sudut pandang dan perilaku agar stressor yang negatif menjadi tantangan yang positif (Kreitner & Kinicki, 2005). Kedua informan berusaha menjalani perannya sebagai orang tua tunggal, sebagaimana diungkapkan oleh informan MR.

“Sesulit apapun itu saya jalani mbak

hehe jadi ya itu prinsip saya tadi kalau saya bisa sendiri, saya nggak akan meminta bantuan ke orang lain, tapi kalau saya sudah nggak bisa saya mentok baru saya minta pertolongan orang lain gitu, jadi nggak ada rasa tertekan itu nggak ada bagi saya itu

nggak ada” (W.MR/ 1056-1066).

Sementara untuk Informan SM juga mengatakan hal yang serupa.

“..yo wes berjalan sendirinya, ya

pokoknya dihadapi, ada masalah yo dihadapi tapi yo gak usah di gawe

berat heem ya udah ya sudah gitu” (W.

SM/ 912-917)

Dari seluruh tahap yang dialami oleh orang tua tunggal semua tidak terlepas dari nilai-nilai spiritualitas. Karakter kepribadian

hardiness mempunyai pengaruh yang positif

pada berbagai status individu dan berfungsi sebagai sumber perlawanan pada saat individu menemui kejadian yang menimbulkan stres (Nurtjahjanti, 2011). Dalam penelitian ini terungkap nilai-nilai spiritualitas yang dipercayai dan dijalani oleh ibu dalam menjalankan perannya sebagai orang tua tunggal. Setelah melakukan usaha dengan bekerja keras dan memenuhi seluruh tanggungjawab, mereka memasrahkan hasil kepada Allah Swt, memasrahkan kehendak kepada tuhan berarti manusia sekedar berusaha, Tuhanlah yang menentukan, sekuat apapun manusia berusaha, ia akan berhadapan dengan kekuasaan tertinggi di dunia yakni Tuhan yang Maha Kuasa.

(Hariwijaya, 2004). Hal ini diungkapkan oleh informan MR dan SM dalam wawancaranya bahwa segala kehidupan di dunia ini sudah diatur oleh Allah Swt.

“...tapi saya cuma pasrah yang di atas

kalau jalan hidup saya seperti ini ya udah tak jalanin saya nggak takut mbak Allah itu maha pemurah mau mengasih rezeki Allah itu sudah dikasih rezekinya itu saya pasrah saja sama yang di atas

apapun yang terjadi bismillah...”

(W.MR/ 1301-1310).

“...tapi ya itu hanya pasrah kepada

Allah kalau saya itu hehe gitu

pasrah...” (W.SM/420-423)

Bersandar dan berserah diri kepada Allah SWT adalah sebaik-baik usaha untuk mendapatkan kebaikan dan kecukupan dari- Nya. Allah berfirman dalam surah Ath- Thaalaq ayat 3:

Dan barangsiapa yang bertawakkal

kepada Allah niscaya Allah akan

mencukupkan (keperluan)nya” (Qs.

Ath-Thallaq: 3)

Dalam kepasrahan tersebut manusia menerima segala takdir yang telah Tuhan gariskan kepada setiap manusia. Orang tua tunggal pun demikian, mempercayai bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya sudah menjadi takdir yang Tuhan berikan kepadanya, dengan begitu ibu dengan status orang tua tunggal menjalani segala fungsi dan perannya dengan sabar dan terus berdoa kepada Allah Swt dalam Al-Quran surat Al- Baqarah ayat 153 disebutkan :

“Hai orang-orang yang beriman,

jadikanlah sabar dan shalat sebagai

penolongmu, sesungguhnya Allah

beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah 153).

Ayat tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa kondisi sabar dapat digunakan sebagai suatu bentuk usaha untuk memecahkan masalah. Selanjutnya setelah serangkaian sikap tersebut, hal terakhir yang dilakukan oleh ibu sebagai orang tua tunggal adalah dengan bersyukur, seperti yang


(7)

dijelaskan oleh kedua informan bahwa dengan bersyukur maka apa yang sudah dijalani serta didapatkan akan terasa lebih nikmat. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah Saw bersabda :

“ Sesungguhnya apabila Allah memberi

sesuatu nikmat kepada hamba-Nya, maka Dia senang melihat pengaruh

nikmat-Nya kepada hamba-Nya.” (HR.

Ahmad)

Rasa berterima kasih yang ditimbulkan dalam suatu kebersyukuran juga didasari oleh adanya emosi positif yang dirasakan oleh individu setelah memperoleh suatu hal yang dipersepsi sebagai pemberian atau hadiah dari Allah Swt, khususnya apabila hal tersebut dianggap menyenangkan. Hal ini juga disampaikan oleh informan MR dalam wawancaranya.

“...saya lebih bersyukur mbak lebih

bersyukur sama Allah...” (W.MR/1342-

1344)

Rasa syukur adalah penerimaan terhadap segala yang diberikan oleh Allah Swt. Berbagai pemberian Allah tersebut juga mencakup hal-hal yang dianggap tidak menyenagkan seperti kesusahan, bencana, penyakit, dan sebagainya. Pengucapan alhamdulillah dapat menjadi semacam pengukuh (reinforcer) bagi ketaatan individu kepada Sang pemberi nikmat. Bentuk ketaatan tersebut antara lain terimplikasi dalam perubahan diri menjadi lebih baik. (Putra, 2014).

Hikmah yang dapat diambil oleh orang tua tunggal akan memberikan makna dalam kehidupan seorang ibu, mereka akan antusias menyongsong masa depan karena perubahan- perubahan dalam kehidupan dianggap sebagai suatu tantangan dan sangat berguna untuk perkembangan hidupnya. Orangtua tunggal tentunya memiliki harapan yang terbaik untuk anak-anak mereka agar mendapat kebahagiaan. Harapan-harapan tersebut adalah: (a) dapat menyekolahkan anak setinggi-tingginya, (b) anak menjadi

orang yang sukses dan hidup bahagia, (c) anak mendapat pekerjaan mapan.

Dari beragam peristiwa yang harus dihadapi, orangtua tunggal dapat mengambil hikmah, diantaranya: (1) lebih banyak belajar mengenai sabar dalam menjalani hidup, dan (2) belajar bahwa masalah dalam hidup adalah pelajaran untuk lebih dewasa.

Selama menjalani peran dan tanggung jawab sebagai orang tua tunggal mengalami masa pasang surut dalam perkembangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika psikologis hardiness pada orang tua tunggal adalah: (a) status pekerjaan, (b) dukungan keluarga, dan (c) motivasi akademik anak.

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai faktor yang mempengaruhi dinamika psikologis hardiness pada orang tua tunggal dapat dilihat pada tabel 2.

Dari tabel 2, dapat disimpulkan bahwa dinamika psikologis hardiness pada orang tua tunggal dipengaruhi status pekerjaan, dukungan keluarga dan orang-orang di sekitarnyam serta motivasi akademik anak.

Pada istri yang bercerai akibat KDRT, mereka merasakan kembali kondisi kenyamanan dalam kehidupannya, yang selama menjadi korban KDRT tidak merasakan kenyamanan dalam kehidupan- nya. Keinginan untuk memperoleh kenyamanan kembali tersebut, menguatkan dorongan untuk berpisah dari suami yang melakukan KDRT, serta membuat istri lebih siap untuk mencari nafkah bagi diri sendiri dan anak-anaknya.

Pada istri yang bercerai akibat KDRT, mereka merasakan kembali kondisi kenyamanan dalam kehidupannya, yang selama menjadi korban KDRT tidak merasakan kenyamanan dalam kehidupan- nya. Keinginan untuk memperoleh kenyamanan kembali tersebut, menguatkan dorongan untuk berpisah dari suami yang melakukan KDRT, serta membuat istri lebih siap untuk mencari nafkah bagi diri sendiri dan anak-anaknya.


(8)

Tabel 2. Faktor yang mempengaruhi dinamika psikologis hardiness pada orang tua tunggal

Informan Status pekerjaan Dukungan keluarga Motivasi akademik anak MR Bekerja di 1 tempat sebagai

asisten rumah tangga, setelah itu bekerja di 8 tempat

Keluarga tidak memberikan dukungan apapun

Setelah lulus SMA anak ingin bekerja

SM Staf TU SMP status honorer setelah bercerai staff TU status PNS

Keluarga memberikan dukungan moral

Anak ingin menamatkan pendidikan S1

5. SIMPULAN

Hasil penelitian ini mendukung temuan tiga sikap dalam hardiness yang diungkap- kan Maddi dan Kobasa (2005) yakni komitmen, kontrol diri, dan tantangan. Dalam fase pertama, yakni komitmen, orang tua meneguhkan keputusan untuk menjadi orang tua tunggal. Kedua, fase kontrol diri yang ditandai upaya untuk mempengaruhi atau mengendalikan apa saja yang terjadi dalam hidupnya. Ketiga, fase menghadapi tantangan diwarnai dengan upaya untuk mengubah ancaman sebagai tantangan guna meraih kehidupan yang lebih baik.

Dalam penelitian ini juga ditemukan gamabran kondisi ibu sebagai orang tua tunggal yang mengembangkan harapan pada anak, agar kelak anak dapat memiliki kehidupan yang lebih baik. Ibu juga mampu mengambil hikmah dari serangkaian peristi- wa yang dialaminya. Hardiness pada orang tua tunggal karena perceraian dipengaruhi keberadaan dukungan keluarga dan orang- orang di sekitar, motivasi akademik anak, status pekerjaan, dan kondisi perekonomian.

Pada penelitian ini terungkap bahwa

hardiness pada orangtua tunggal disertai

dengan nilai-nilai spiritualitas dari ajaran

agama yang diyakini yakni pasrah, sabar dan syukur.

Implikasi dari hasil penelitian ini adalah penguatan nilai-nilai spiritualitas yang bersumber dari ajaran agama memiliki peran penting dalam mengukuhkan hardiness pada orangtua tunggal dalam menata kembali kehidupannya untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Lingkungan terdekat seperti kerabat diharapkan mampu memberikan dukungan sosial yang memadai dengan menghindarkan stigma negatif terhadap orangtua tunggal yang terjadi melalui perceraian.

REFERENSI

Alvita, N.O. (2015). Wanita sebagai single

parent dalam membentuk anak yang

berkualitas. Diunduh dari http://okvina.

wordpress.com/html.Diakses tanggal 23

Oktober 2015.

Aprilia, W. (2013). Resiliensi dan dukungan sosial pada orang tua tunggal (studi kasus pada ibu tunggal di Samarinda). eJournal Psikologi, 2013, 1 (3): 268-279 ISSN 0000-0000, ejournal.psikologi.fisip- unmul.org


(9)

Departemen Agama RI. (2002). Al-Quran

dan Terjemahannya. Jakarta: CV Darus

Sunnah

Dodik, A.A. S.S. & Astuti, K. (2012). Hubungan antara kepribadian hardiness dengan stres kerja pada anggota polri bagian operasional di Polresta Yogyakarta. Insight, 10(1),37-48.

Goode, W.. J. (2007). Sosiologi Keluarga.

Jakarta: Bumi Aksara.

Hadjam, N.R., Masrun., Martaniah, S.M. (2003). Peran kepribadian tahan banting pada gangguan somatisasi. Anima, Indonesia Psychological Journal. 19(2),

122-135.

Isti‘anah. (2010). Kepribadian anak pada

keluarga single parent: Studi kasus terhadap AS dan NA di Banjarnegara Jawa Tengah. Skripsi (tidak dipublikasi- kan). Yogyakarta: Program Studi Bimbingan dan Konsling Islam, Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Kamtsios, S. & Karagiannopoulou, E.

(2012). Conceptualizing students‘

academic hardiness dimensions: a qualitative study. Europe Journal

Psychology Education. DOI

10.1007/s10212-012-0141-6.

Kreitner, J. (2007). Human Resources

Management. McGraw Hill International

Edition.

Kobasa, S.C. (1984). Hardiness and health: A prospective study. Journal of Personality and Social Psychology, 42(1), 168-177.

Maddi, S. R & Kobasa. (2005). The story of hardiness: twenty years of theorizing, research and practice. Consulting

Psychology Journal Practice and

Research, 54(3), 175-185.

Maddi, S.R. (2006). Hardiness: the courage to grow from stresses. The Journal of

Positive Psychology, 1(3), 160-168.

Nurtjahjanti, H & Ratnaningsih, I Z. (2011). Hubungan kepribadian hardiness dengan

optimisme pada calon tenaga kerja indonesia (CTKI) wanita di BLKN DISNAKERTRANS Jawa Tengah.

Jurnal Psikologi UNDIP, 10 (2). 126-

132

Olson, D.H., & DeFrain, J. (2003). Marriage

and Families. Boston: McGraw-Hill

Putra, J. S. (2014). Syukur: Sebuah konsep psikologi indigenous islami. Jurnal Soul, 7(2),35-44.

Poerwandari, E. (1998). Pendekatan

Kualitatif dalam penelitian Psikologi.

Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Rahardjo, W. (2005/. Kontribusi hardiness dan self efficacy terhadap stress kerja: Studi pada perawat RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Makalah dalam Seminar Nasional PESAT (Psikologi, Sastra, Arsitektur dan Sipil) Human Capacity Development and The Nations Competitiveness,1. 45-57.

Santrock, J.W. (2004). Life-Span Develop- ment: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5, Jilid II. Jakarta: Erlangga.

Schefer, R. T. (2008). Sosiology A Brief

Introduction. New York: McGraw-Hill.

Schultz, D. & Schultz, S. E. (2002).

Psychology and Work Today. Eight

Edition. New Jersey: Prentice Hall.

Usman, M., Cangara, S. & Muhammad, Rahmat, M. (2007). Kehidupan Orang Tua Tunggal: Studi kasus ibu sebagai kepala keluarga di Kelurahan Parangloe. http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/7ccf3 3c28d52e13a40fec81777694e07.pdf. Diakses pada tanggal 23 April 2016.


(1)

Tabel 1. Data demografi informan utama

Informan Usia Sebab Cerai Pekerjaan Anak Lama

berpisah

Status ekonomi

MR 38 th KDRT Asisten rumah

tangga

2 (bersekolah di SD & SMA)

3 bln Menengah ke

bawah SM 50 th KDRT Staf TU SMP 2 (Lulus S1 &

mahasiswa S1)

16 th Menengah ke

bawah

Data dalam penelitian ini dianalisis secara tematik. Adapun langkah-langkah yang dilakukan mengikuti analisis data secara induktif, yakni: (a) mengorganisasi data, (b) melakukan pengkodean, (c) menentukan tema, (d) menyusun kategori, (e) mendeskripsikan kategori, dan (f) menyusun pembahasan (Poerwandari, 1998).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi pada orang tua tunggal dan subjek pendukung didapatkan hasil bahwa hardiness pada orang tua tunggal dibentuk setelah informan tidak dipedulikan oleh suami. Kemudian berkembang dalam kehidupannya saat menjadi orang tua tunggal. Dinamika psikologis hardiness pada orang tua tunggal karena perceraian muncul dalam enam kategori tema, yaitu : (a) Komitmen, (b) Kontrol diri, (c) tantangan, (d) Nilai spiritualitas, (e) Harapan terhadap anak, (f) hikmah dari perpisahan. Berikut ini dipaparkan setiap dimensi tersebut.

Pada orang tua tunggal yang disebabkan karena perceraian, hardiness mulai muncul ketika seorang ibu mengalami peristiwa yang tidak diinginkan dalam kehidupan pernikahannya seperti kekerasan dalam rumah tangga. Selanjutnya mereka harus mencari nafkah sendiri dan baru memutuskan untuk bercerai. Hardiness makin berkembang saat ibu menjalani perannya sebagai orang tua tunggal.

Orang tua tunggal yang disebabkan karena perceraian pada awalnya membentuk suatu komitemen, dengan menyiapkan diri

untuk bekerja, meluangkan waktu untuk anak, menjaga keberlangsungan pendidikan anak, seperti yang diungkapkan oleh informan MR.

Iya itu kalau pagi saya bisa nganter sekolah masih, jemput masih bisa nanti masih nyuapin dia kalau makan nungguin itu masih bisa...” (W.MR/ 886-894).

Hal yang sama juga dilakukan oleh informan SM yang meluangkan waktu untuk anak-anaknya.

“rumah tangga itu ya isah-isah terus

anak yo dimaemi, terus sudah bersih to ke mbah e, ke mbah kakunge kan masih, ya masih diemong mbah e semua kan masih kecil-kecil, diemong mbah e, mbah kakung itu wes dijak tenpundi- pundi mbak dijak ten tegal ngarit hehe dijak ten endi-endi yo ra po-po terus diajak mbah putri ten pasar itu, terus saya ke kantor, yo montang-manting mbak tapi yo gak po-po...” (W. SM/ 346-361)

Maddi (Nurhidayah & Hidayanti, 2009) menyatakan bahwa hardiness merupakan suatu karakteristik kepribadian yang membuat individu menjadi lebih kuat, tahan, stabil dan optimis dalam menghadapi stres dan mengurangi efek negatif dari timbulnya stres yang harus dihadapi.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga mengakibatkan seseorang menjadi orang tua tunggal yang berarti akan membawa seseorang untuk beradaptasi dengan kondisi yang baru yakni penambahan peran dan serangkaian tugas-tugas ganda


(2)

yang harus dilakukan. Seiring dengan perjalanan waktu orang tua yang dulunya lengkap dapat menjadi tidak lengkap yang disebabkan karena adanya perpisahan, sehingga orang tua harus menjalankan peran sebagai kepala keluarga dan orang tua tunggal. Oleh karena itu ia harus dapat menjalankan peran dan tanggung jawab secara total baik sebagai ibu sekaligus sebagai ayah (Usman, 2007).

Ibu sebagai orang tua tunggal yang mengalami kekerasan dalam pernikahan mempercayai bahwa kehidupan setelah menjadi orang tua tunggal akan lebih bahagia. Seperti yang diungkapkan oleh informan MR.

“Lebih happy itu mbak hahaha, lebih nyaman lebih happy nggak tertekan pokoknya ya plong lah daripada punya suami tapi tertekan ketakutan di rumah

nggak nyaman...” (W. MR/ 857-862).

Hal serupa juga diungkapkan oleh informan SM dalam wawancaranya.

“Perubahannya (Iter: iya) iya

perubahan saya ya seneng bisa menyekolahkan anak sendiri, malah lebih tenang nggak ada yang gimana ya, nggak ada yang ngganggu malah

seneng saya...” (W. SM/ 287-293 )

Cotton (dalam Dodik, 2012) menyatakan kepribadian hardiness adalah komitmen yang kuat terhadap diri sendiri, sehingga dapat menciptakan tingkah laku yang aktif terhadap diri sendiri, terhadap lingkungan dan menetralkan situasi-situasi yang menekan. Orang dengan kepribadian hardiness memiliki keberanian berkonfrontasi dengan perubahan atau perbedaan dan menarik hikmah dari keadaan tersebut (Foster & Dion, dalam Dodik 2012).

Setelah komitmen terbentuk pada diri ibu yang menjadi orang tua tunggal karena perceraian, ibu akan menjalankan perannya sebagai orang tua tunggal, tentunya dalam menjalankan peran seorang ibu harus tetap mengontrol dirinya. Pada tahap ini seorang ibu akan mengendalikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Orang tua

tunggal akan percaya bahwa dirinya dapat menentukan terjadinya sesuatu dalam hidupnya, sehingga tidak mudah menyerah ketika sedang berada dalam keadaan tertekan (Maddi & Kobasa, 2005).

Dalam tahap ini seorang ibu berusaha mengendalikan perasaan saat harus menghadapi situasi sulit dalam memenuhi kebutuhan, dengan berbagi cerita dengan anak. Banyaknya peran yang harus dijalankan oleh seorang ibu dengan status orang tua tunggal tentunya dukungan keluarga akan memberikan kekuatan pada kehidupan ibu. Seperti yang dilakukan oleh informan SM, yang berbagi cerita dengan anaknya sebelum mengambil keputusan.

“Ke anak heem saya yo cerita mbak, cerito ngene..ngene, anak juga gitu mbak wes ra opo-opo to bu angger iku ngene..ngene..semua sama anak juga begitu, nggak ada yang kok iki berat

kok iki itu endak” (W. SM/ 835-842)

Hal yang sama juga dilakukan oleh informan MR, namun informan MR tidak menceritakan semua permasalahan kepada anaknya. Informan MR memilih permasalahan yang tidak terlalu berat agar tidak menjadi beban bagi anaknya yang masih di bangku SMA, seperti diungkapkan dalam wawancara.

“Iya nggak semuanya mbak ya ada yang enggak enggak..sampai dia kan belum waktunya kadang kan nggak maulah dia sampai dia juga pikiran yang berat berat saya nggak mau sebatas curhatan biasa lah kalau ada yang sampai sensitif itu saya nggak pernah, mungkin kalau saya lebih ke teman, teman saya gitu yang bisa saya

percaya” (W. MR/ 1206-1217)

Setelah ibu mampu mengontrol diri dalam menjalankan perannya, tahap selanjutnya adalah menghadapi tantangan dalam menjalankan peran sebagai orang tua tunggal. Tantangan yang dihadapi oleh ibu sebagai orang tua tunggal diantaranya adalah: (1) mencari tambahan penghasilan, (2) memenuhi biaya sekolah anak, (3) berupaya


(3)

mewujudkan harapan anak, dan (4) menghadapi stigma sosial.

Upaya ibu untuk mengubah sebuah permasalahan menjadi tantangan yang harus diselesaikan oleh orang tua tunggal melibatkan kemampuan untuk mengubah sudut pandang dan perilaku agar stressor yang negatif menjadi tantangan yang positif (Kreitner & Kinicki, 2005). Kedua informan berusaha menjalani perannya sebagai orang tua tunggal, sebagaimana diungkapkan oleh informan MR.

“Sesulit apapun itu saya jalani mbak hehe jadi ya itu prinsip saya tadi kalau saya bisa sendiri, saya nggak akan meminta bantuan ke orang lain, tapi kalau saya sudah nggak bisa saya mentok baru saya minta pertolongan orang lain gitu, jadi nggak ada rasa tertekan itu nggak ada bagi saya itu

nggak ada” (W.MR/ 1056-1066).

Sementara untuk Informan SM juga mengatakan hal yang serupa.

“..yo wes berjalan sendirinya, ya pokoknya dihadapi, ada masalah yo dihadapi tapi yo gak usah di gawe berat heem ya udah ya sudah gitu” (W. SM/ 912-917)

Dari seluruh tahap yang dialami oleh orang tua tunggal semua tidak terlepas dari nilai-nilai spiritualitas. Karakter kepribadian hardiness mempunyai pengaruh yang positif pada berbagai status individu dan berfungsi sebagai sumber perlawanan pada saat individu menemui kejadian yang menimbulkan stres (Nurtjahjanti, 2011). Dalam penelitian ini terungkap nilai-nilai spiritualitas yang dipercayai dan dijalani oleh ibu dalam menjalankan perannya sebagai orang tua tunggal. Setelah melakukan usaha dengan bekerja keras dan memenuhi seluruh tanggungjawab, mereka memasrahkan hasil kepada Allah Swt, memasrahkan kehendak kepada tuhan berarti manusia sekedar berusaha, Tuhanlah yang menentukan, sekuat apapun manusia berusaha, ia akan berhadapan dengan kekuasaan tertinggi di dunia yakni Tuhan yang Maha Kuasa.

(Hariwijaya, 2004). Hal ini diungkapkan oleh informan MR dan SM dalam wawancaranya bahwa segala kehidupan di dunia ini sudah diatur oleh Allah Swt.

“...tapi saya cuma pasrah yang di atas kalau jalan hidup saya seperti ini ya udah tak jalanin saya nggak takut mbak Allah itu maha pemurah mau mengasih rezeki Allah itu sudah dikasih rezekinya itu saya pasrah saja sama yang di atas apapun yang terjadi bismillah...” (W.MR/ 1301-1310).

“...tapi ya itu hanya pasrah kepada Allah kalau saya itu hehe gitu

pasrah...” (W.SM/420-423)

Bersandar dan berserah diri kepada Allah SWT adalah sebaik-baik usaha untuk mendapatkan kebaikan dan kecukupan dari- Nya. Allah berfirman dalam surah Ath- Thaalaq ayat 3:

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (Qs. Ath-Thallaq: 3)

Dalam kepasrahan tersebut manusia menerima segala takdir yang telah Tuhan gariskan kepada setiap manusia. Orang tua tunggal pun demikian, mempercayai bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya sudah menjadi takdir yang Tuhan berikan kepadanya, dengan begitu ibu dengan status orang tua tunggal menjalani segala fungsi dan perannya dengan sabar dan terus berdoa kepada Allah Swt dalam Al-Quran surat Al- Baqarah ayat 153 disebutkan :

“Hai orang-orang yang beriman,

jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah 153).

Ayat tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa kondisi sabar dapat digunakan sebagai suatu bentuk usaha untuk memecahkan masalah. Selanjutnya setelah serangkaian sikap tersebut, hal terakhir yang dilakukan oleh ibu sebagai orang tua tunggal adalah dengan bersyukur, seperti yang


(4)

dijelaskan oleh kedua informan bahwa dengan bersyukur maka apa yang sudah dijalani serta didapatkan akan terasa lebih nikmat. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah Saw bersabda :

“ Sesungguhnya apabila Allah memberi sesuatu nikmat kepada hamba-Nya, maka Dia senang melihat pengaruh nikmat-Nya kepada hamba-Nya.” (HR. Ahmad)

Rasa berterima kasih yang ditimbulkan dalam suatu kebersyukuran juga didasari oleh adanya emosi positif yang dirasakan oleh individu setelah memperoleh suatu hal yang dipersepsi sebagai pemberian atau hadiah dari Allah Swt, khususnya apabila hal tersebut dianggap menyenangkan. Hal ini juga disampaikan oleh informan MR dalam wawancaranya.

“...saya lebih bersyukur mbak lebih

bersyukur sama Allah...” (W.MR/1342-

1344)

Rasa syukur adalah penerimaan terhadap segala yang diberikan oleh Allah Swt. Berbagai pemberian Allah tersebut juga mencakup hal-hal yang dianggap tidak menyenagkan seperti kesusahan, bencana, penyakit, dan sebagainya. Pengucapan alhamdulillah dapat menjadi semacam pengukuh (reinforcer) bagi ketaatan individu kepada Sang pemberi nikmat. Bentuk ketaatan tersebut antara lain terimplikasi dalam perubahan diri menjadi lebih baik. (Putra, 2014).

Hikmah yang dapat diambil oleh orang tua tunggal akan memberikan makna dalam kehidupan seorang ibu, mereka akan antusias menyongsong masa depan karena perubahan- perubahan dalam kehidupan dianggap sebagai suatu tantangan dan sangat berguna untuk perkembangan hidupnya. Orangtua tunggal tentunya memiliki harapan yang terbaik untuk anak-anak mereka agar mendapat kebahagiaan. Harapan-harapan tersebut adalah: (a) dapat menyekolahkan anak setinggi-tingginya, (b) anak menjadi

orang yang sukses dan hidup bahagia, (c) anak mendapat pekerjaan mapan.

Dari beragam peristiwa yang harus dihadapi, orangtua tunggal dapat mengambil hikmah, diantaranya: (1) lebih banyak belajar mengenai sabar dalam menjalani hidup, dan (2) belajar bahwa masalah dalam hidup adalah pelajaran untuk lebih dewasa.

Selama menjalani peran dan tanggung jawab sebagai orang tua tunggal mengalami masa pasang surut dalam perkembangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika psikologis hardiness pada orang tua tunggal adalah: (a) status pekerjaan, (b) dukungan keluarga, dan (c) motivasi akademik anak.

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai faktor yang mempengaruhi dinamika psikologis hardiness pada orang tua tunggal dapat dilihat pada tabel 2.

Dari tabel 2, dapat disimpulkan bahwa dinamika psikologis hardiness pada orang tua tunggal dipengaruhi status pekerjaan, dukungan keluarga dan orang-orang di sekitarnyam serta motivasi akademik anak.

Pada istri yang bercerai akibat KDRT, mereka merasakan kembali kondisi kenyamanan dalam kehidupannya, yang selama menjadi korban KDRT tidak merasakan kenyamanan dalam kehidupan- nya. Keinginan untuk memperoleh kenyamanan kembali tersebut, menguatkan dorongan untuk berpisah dari suami yang melakukan KDRT, serta membuat istri lebih siap untuk mencari nafkah bagi diri sendiri dan anak-anaknya.

Pada istri yang bercerai akibat KDRT, mereka merasakan kembali kondisi kenyamanan dalam kehidupannya, yang selama menjadi korban KDRT tidak merasakan kenyamanan dalam kehidupan- nya. Keinginan untuk memperoleh kenyamanan kembali tersebut, menguatkan dorongan untuk berpisah dari suami yang melakukan KDRT, serta membuat istri lebih siap untuk mencari nafkah bagi diri sendiri dan anak-anaknya.


(5)

Tabel 2. Faktor yang mempengaruhi dinamika psikologis hardiness pada orang tua tunggal

Informan Status pekerjaan Dukungan keluarga Motivasi akademik anak MR Bekerja di 1 tempat sebagai

asisten rumah tangga, setelah itu bekerja di 8 tempat

Keluarga tidak memberikan dukungan apapun

Setelah lulus SMA anak ingin bekerja

SM Staf TU SMP status honorer setelah bercerai staff TU status PNS

Keluarga memberikan dukungan moral

Anak ingin menamatkan pendidikan S1

5. SIMPULAN

Hasil penelitian ini mendukung temuan tiga sikap dalam hardiness yang diungkap- kan Maddi dan Kobasa (2005) yakni komitmen, kontrol diri, dan tantangan. Dalam fase pertama, yakni komitmen, orang tua meneguhkan keputusan untuk menjadi orang tua tunggal. Kedua, fase kontrol diri yang ditandai upaya untuk mempengaruhi atau mengendalikan apa saja yang terjadi dalam hidupnya. Ketiga, fase menghadapi tantangan diwarnai dengan upaya untuk mengubah ancaman sebagai tantangan guna meraih kehidupan yang lebih baik.

Dalam penelitian ini juga ditemukan gamabran kondisi ibu sebagai orang tua tunggal yang mengembangkan harapan pada anak, agar kelak anak dapat memiliki kehidupan yang lebih baik. Ibu juga mampu mengambil hikmah dari serangkaian peristi- wa yang dialaminya. Hardiness pada orang tua tunggal karena perceraian dipengaruhi keberadaan dukungan keluarga dan orang- orang di sekitar, motivasi akademik anak, status pekerjaan, dan kondisi perekonomian.

Pada penelitian ini terungkap bahwa hardiness pada orangtua tunggal disertai dengan nilai-nilai spiritualitas dari ajaran

agama yang diyakini yakni pasrah, sabar dan syukur.

Implikasi dari hasil penelitian ini adalah penguatan nilai-nilai spiritualitas yang bersumber dari ajaran agama memiliki peran penting dalam mengukuhkan hardiness pada orangtua tunggal dalam menata kembali kehidupannya untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Lingkungan terdekat seperti kerabat diharapkan mampu memberikan dukungan sosial yang memadai dengan menghindarkan stigma negatif terhadap orangtua tunggal yang terjadi melalui perceraian.

REFERENSI

Alvita, N.O. (2015). Wanita sebagai single parent dalam membentuk anak yang berkualitas. Diunduh dari http://okvina. wordpress.com/html.Diakses tanggal 23 Oktober 2015.

Aprilia, W. (2013). Resiliensi dan dukungan sosial pada orang tua tunggal (studi kasus pada ibu tunggal di Samarinda). eJournal Psikologi, 2013, 1 (3): 268-279 ISSN 0000-0000, ejournal.psikologi.fisip- unmul.org


(6)

Departemen Agama RI. (2002). Al-Quran dan Terjemahannya. Jakarta: CV Darus Sunnah

Dodik, A.A. S.S. & Astuti, K. (2012). Hubungan antara kepribadian hardiness dengan stres kerja pada anggota polri bagian operasional di Polresta Yogyakarta. Insight, 10(1),37-48.

Goode, W.. J. (2007). Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara.

Hadjam, N.R., Masrun., Martaniah, S.M. (2003). Peran kepribadian tahan banting pada gangguan somatisasi. Anima, Indonesia Psychological Journal. 19(2), 122-135.

Isti‘anah. (2010). Kepribadian anak pada

keluarga single parent: Studi kasus terhadap AS dan NA di Banjarnegara Jawa Tengah. Skripsi (tidak dipublikasi- kan). Yogyakarta: Program Studi Bimbingan dan Konsling Islam, Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Kamtsios, S. & Karagiannopoulou, E.

(2012). Conceptualizing students‘

academic hardiness dimensions: a qualitative study. Europe Journal Psychology Education. DOI 10.1007/s10212-012-0141-6.

Kreitner, J. (2007). Human Resources Management. McGraw Hill International Edition.

Kobasa, S.C. (1984). Hardiness and health: A prospective study. Journal of Personality and Social Psychology, 42(1), 168-177.

Maddi, S. R & Kobasa. (2005). The story of hardiness: twenty years of theorizing, research and practice. Consulting Psychology Journal Practice and Research, 54(3), 175-185.

Maddi, S.R. (2006). Hardiness: the courage to grow from stresses. The Journal of Positive Psychology, 1(3), 160-168. Nurtjahjanti, H & Ratnaningsih, I Z. (2011).

Hubungan kepribadian hardiness dengan

optimisme pada calon tenaga kerja indonesia (CTKI) wanita di BLKN DISNAKERTRANS Jawa Tengah. Jurnal Psikologi UNDIP, 10 (2). 126- 132

Olson, D.H., & DeFrain, J. (2003). Marriage and Families. Boston: McGraw-Hill Putra, J. S. (2014). Syukur: Sebuah konsep

psikologi indigenous islami. Jurnal Soul, 7(2),35-44.

Poerwandari, E. (1998). Pendekatan Kualitatif dalam penelitian Psikologi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Rahardjo, W. (2005/. Kontribusi hardiness dan self efficacy terhadap stress kerja: Studi pada perawat RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Makalah dalam Seminar Nasional PESAT (Psikologi, Sastra, Arsitektur dan Sipil) Human Capacity Development and The Nations Competitiveness,1. 45-57.

Santrock, J.W. (2004). Life-Span Develop- ment: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5, Jilid II. Jakarta: Erlangga.

Schefer, R. T. (2008). Sosiology A Brief Introduction. New York: McGraw-Hill. Schultz, D. & Schultz, S. E. (2002).

Psychology and Work Today. Eight Edition. New Jersey: Prentice Hall. Usman, M., Cangara, S. & Muhammad,

Rahmat, M. (2007). Kehidupan Orang Tua Tunggal: Studi kasus ibu sebagai kepala keluarga di Kelurahan Parangloe.

http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/7ccf3 3c28d52e13a40fec81777694e07.pdf. Diakses pada tanggal 23 April 2016.