Dampak Perceraian dan Hubungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Ibu sebagai Orang Tua Tunggal

DAMPAK PERCERAIAN DAN HUBUNGAN SOSIAL
TERHADAP KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS IBU SEBAGAI
ORANG TUA TUNGGAL

NURUL AIDA

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

iii

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Perceraian dan
Hubungan Sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Ibu sebagai Orang Tua
Tunggal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013
Nurul Aida
NIM I24090042

ii

ABSTRAK
NURUL AIDA. Dampak Perceraian dan Hubungan Sosial terhadap Kesejahteraan
Psikologis Ibu sebagai Orang Tua Tunggal. Dibimbing oleh HERIEN
PUSPITAWATI.
Keluarga ibu orang tua tunggal yang terbentuk akibat perceraian seringkali
membawa perubahan pada kesejahteraan ibu orang tua tunggal. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik ibu sebagai orang tua tunggal,
hubungannya dengan kesejahteraan psikologis, hubungan sosial, dan dampak
perceraian serta menganalisis dampak perceraian dan hubungan sosial terhadap

kesejahteraan psikologis di dua kondisi (enam bulan pertama dan lima tahun)
paska perceraian. Analisis deskriptif dan inferensia (uji beda, korelasi Pearson,
dan regresi linear berganda) digunakan dalam penelitian ini. Sebanyak enam
puluh responden ibu orang tua tunggal yang telah bercerai lebih dari enam bulan
dipilih dari dua desa di Kabupaten Cianjur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kesejahteraan psikologis, hubungan sosial, dan dampak perceraian responden
enam bulan pertama paska perceraian signifikan lebih rendah dibandingkan
dengan kondisi saat ini. Hubungan signifikan ditemukan pada umur saat ini,
jumlah tanggungan, pendapatan keluarga dengan dampak ekonomi, tingkat
depresi, dukungan sosial. Berdasarkan uji regresi, ditemukan pengaruh negatif
signifikan pada dampak perceraian terhadap kesejahteraan psikologis di kondisi
enam bulan pertama dan saat ini. Adapun hubungan sosial terhadap kesejahteraan
psikologis tidak ditemukan pengaruh yang signifikan.
Kata kunci: dampak ekonomi, dukungan sosial, tingkat depresi

ABSTRACT
NURUL AIDA. Impact Of Divorce and Social Relationship On Psychological
Well-being Single Mother. Supervised by HERIEN PUSPITAWATI.
Family with a single mothers who came from divorced, often bring the
impact such as problem or change on a single mothers well-being. The aim of this

research to indentify characteristics of single mother and relations with
psychological well-being and social relations, and also analyze impact divorce on
psychological well-being and social relations. Descriptive analysis, regression,
and Pearson correlation was used in this study. The respondents were sixty single
mother who come from the length divorced more than six month. The result
showed that compare with present condition, psychological well-being, impact of
divorce and social relation respondent are more significant lower than the first six
month after divorce. There was relationship between age of present and divorce,
family’s income, and size of family with level of depression, social support, and
economic impact. Based on regression analysis we found there was negative
effect of impact of divorce to psychological well-being at the first six month after
divorce and the present. Other wise, we found there was not significant effect of
divorce to social relationship.
Keywords: economic impact, level of depression, social support

iii

DAMPAK PERCERAIAN DAN HUBUNGAN SOSIAL
TERHADAP KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS IBU SEBAGAI
ORANG TUA TUNGGAL


NURUL AIDA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

iv

v

Judul Skripsi: Dampak Perceraian dan Hubungan Sosial terhadap Kesejahteraan

Psikologis Ibu sebagai Orang Tua Tunggal
Nama
: Nurul Aida
NIM
: I24090042

Disetujui oleh

Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc
Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

Tanggal Lulus:

vi


PRAKATA
Puji syukur atas rahmat dan semua bentuk kenikmatan yang diberikan Allah
SWT karena atas kelimpahan-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Dampak Perceraian dan Hubungan sosial terhadap Kesejahteraan Psikologis Ibu
Sebagai Orang tua Tunggal”. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan
dukungan dari banyak pihak. Penulis dengan segala hormat mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Dr. Ir. Herien Puspitawati M.Sc., M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pikirannya memberikan arahan, kritik, dan
saran serta dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi.
2. Ir. Melly Latifah, M.Si selaku dosen pembimbing akademik bersedia
meluangkan waktu dan pikirannya memberikan dorongan kepada penulis untuk
menyelesaikan studi sarjana.
3. Irni Rahmayani Johan, SP., MM selaku dosen yang telah bersedia meluangkan
waktu dan pikirannya memberikan arahan, kritik, dan saran serta dorongan
kepada penulis untuk menyelesaikan proposal skripsi.
4. Agus Surachman S.Si, Fernando Tandayu dan Indri Irmawati selaku dosen
pemandu seminar dan pembahas yang telah memberikan segala koreksi dan
saran untuk perbaikan penyusunan skripsi.
5. Aparat desa beserta ketua RT Sukanagalih dan Sindang Laya, Kabupaten

Cianjur atas keramahan, kerjasama, dan kesediannya dalam membantu
pengambilan data.
6. Keluargaku yang tercinta atas segala dorongan, saran, bantuan, doa, dan kasih
sayang yang tak henti diberikan sehingga skripsi dapat terselesaikan
7. Ibu Umas, Bapak Edi dan Ucu yang senantiasa membantu dalam proses
pengambilan data contoh.
8. Teman-temanku yang tercinta yang telah banyak membantu dalam perjalanan
penelitian: Lela Nesvi, Rena NL, Merisa, Rahmi D, Rahmi M, Susanti, Aila,
Salsabila serta teman seperjuanganku sejak SMA: Nahdhiyah S, Winda S,
Nurul Arifiani yang senantiasa memberikan dukungan yang diberikan kepada
penulis.
Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna dan dapat dijadikan
sebagai perbandingan maupun penambah pengetahuan para pembaca.

Bogor, Desember 2013
Nurul Aida

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

4

KERANGKA BERPIKIR

4

TINJAUAN PUSTAKA

8


Pandangan Teori Struktural Fungsional

8

Perceraian

9

Kesejahteraan Psikologis

12

Hubungan Sosial

14

METODE

16


Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

16

Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh

16

Jenis dan Cara Pengukuran Data

17

Pengolahan dan Analisis Data

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

20

Hasil

20

Pembahasan

27

SIMPULAN DAN SARAN

29

Simpulan

29

Saran

30

DAFTAR PUSTAKA

31

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

53

viii

DAFTAR TABEL
1. Sebaran karakteristik ibu dan keluarga
2. Sebaran alasan utama perceraian ibu orang tua tunggal
3. Sebaran perbedaan dampak perceraian ibu orang tua tunggal

berdasarkan waktu

20
22
23

4. Sebaran perbedaan kesejahteraan psikologis ibu orang tua tunggal

berdasarkan waktu

23

5. Sebaran perbedaan hubungan sosial ibu orang tua tunggal berdasarkan

waktu

24

6. Sebaran hubungan karakteristik ibu orang tua tunggal dan keluarga

dengan variabel dependen

25

7. Koefisien regresi hubungan sosial dan dampak perceraian terhadap

kesejahteraan psikologis paska perceraian

26

DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pemikiran dampak perceraian dan hubungan sosial

terhadap kesejahteraan psikologis ibu sebagai orang tua tunggal
2. Jumlah dan cara pemilillihan contoh

7
17

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

8.
9.
10.
11.
12.
13.

Peta Lokasi Penelitian
Penelitian Terdahulu
Jenis data, variabel, alat dan cara pengukuran data skala data
Data dan Cara Pengolahan
Uji Reliabilitas
Alasan Perceraian
Uji korelasi karaktersitik ibu dengan dampak perceraian, hubungan
sosial dan kesejahteraan psikologis saat ini (5 tahun), paska
perceraian
Uji korelasi dampak perceraian, hubungan sosial dan kesejahteraan
psikologis ibu enam bulan pertama paska perceraian
Uji korelasi dampak perceraian, hubungan sosial dan kesejahteraan
psikologis ibu saat ini (5 tahun) paska perceraian
Perbedaan dampak perceraian tiap item pertanyaan berdasarkan
waktu
Perbedaan kesejahteraan psikologis tiap item pertanyaan berdasarkan
waktu
Perbedaan hubungan sosial tiap item pertanyaan berdasarkan waktu
Indepth Interview

35
35
39
40
42
43

44
45
45
47
48
49
50

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perceraian merupakan suatu pilihan yang dihindari dan tidak
diinginkan oleh tiap pasangan di dalam pernikahannya. Berdasarkan data
BPS Susenas Indonesia (2013) di tahun 2009 sampai dengan 2012,
diketahui bahwa laju pernikahan dan perceraian di pedesaan jauh lebih
tinggi dibanding di perkotaan. Selain itu juga diketahui bahwa jumlah
perempuan yang berstatus cerai hidup lebih banyak dibanding laki laki
dengan perbandingan 14:1 (BPS Susenas Indonesia 2013).
Jawa Barat merupakan provinsi pertama (21.8%) yang paling banyak
menikah dan masyarakatnya menempati urutan ketiga terbanyak (18.7%)
dalam hal talak dan gugat cerai dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia
(BPS 2012). Salah satu kabupaten didalamnya, yakni Cianjur merupakan
kabupaten yang menempati urutan keenam dengan pasangan bercerai
terbanyak yang diinisiatori perempuan (Pengadilan Agama Cianjur 2012).
Fenomena perceraian ini tidak hanya dapat berdampak positif, netral
ataupun negatif pada anak saja, tetapi juga pada pasangan yang bercerai
(Amato 2000), khususnya perempuan.
Tidak termanajemennya peran ganda (instrumental dan ekspresif)
yang diemban dan dilakukan oleh perempuan dengan status ibu sebagai
orang tua tunggal, diduga merupakan awal dari munculnya permasalahan
baru pada kondisi paska perceraian. Smock (1994), Seltzer (1991), dan
Gerstel et al (1985) memaparkan bahwa dampak perceraian tidak hanya
membawa perubahan pada kondisi fisik, ekonomi, dan psikologis, namun
juga membawa perubahan pada kondisi sosial. Disamping itu, individu yang
bercerai juga sejatinya merupakan seorang makhluk sosial yang dalam
kesehariannya tidak terlepas dari interaksi sosial dengan orang-orang di
sekelilingnya. Namun beberapa faktanya menunjukkan bahwa tidak sedikit
dari individu yang bercerai kehilangan teman, sedangkan lainnya
mengembangkan hubungan sosialnya ke arah yang baik. Berbeda dengan
hal tersebut, Amato (2000) menyatakan bahwa perceraian memiliki
pengaruh yang kuat terhadap kesejahteraan. Kondisi kesejahteraan paska
perceraian menjadi hal yang seringkali dipertanyakan terutama oleh individu
yang mengalami perceraian. Salah satu kesejahteraaan yang juga penting
untuk dicapai dan diduga mengalami perubahan pada kondisi paska
perceraian yakni kesejahteraan psikologis. Tanpa terpenuhinya
kesejahteraan tersebut, individu akan mengalami keresahan maupun
ketidakbahagiaan di kehidupannya dan akan sangat mungkin untuk
melakukan tindakan kejahatan ataupun merusak diri. Perubahan yang
dirasakan paska perceraian baik dampak yang ditimbulkan pada kondisi
psikis, fisik, sosial, dan ekonomi maupun hubungan sosial diduga
memengaruhi kesejahteraan psikologis ibu sebagai orang tua tunggal dan
meskipun dampak dari perceraian diketahui akan menurun sejalan dengan
berjalannya waktu (Booth & Amato 1991), namun perbedaan kondisi di
enam bulan pertama dan saat ini paska perceraian, diduga tidak banyak

2

mengalami perubahan ke arah yang baik. Oleh karenanya di latarbelakangi
oleh teori dan studi sebelumnya, penelitian ini dilakukan guna mengetahui
dan menganalisis dampak perceraian serta hubungan sosial pada
kesejahteraan psikologis ibu sebagai orang tua tunggal.
Perumusan Masalah
Berdasarkan data Pengadilan Agama Cianjur (2013), diketahui bahwa
laju perceraian di Kabupaten Cianjur mengalami peningkatan sebesar 2.6
persen perkara cerai talak dan 16 persen cerai gugat di tahun 2011 sampai
dengan 2012. Data tersebut kemudian diperjelas oleh data di tahun 2011,
yang menunjukkan bahwa terdapat 203 perkara cerai talak dan 998 perkara
cerai gugat, sedangkan di tahun 2012 meningkat menjadi 221 perkara cerai
talak dan 1215 perkara cerai gugat. Sementara itu Euis (2013), memaparkan
bahwa anggota perempuan kepala keluarga (Pekka) terbanyak diketahui
berdomisili di Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet dan Desa Sindang Laya,
Kecamatan Cipanas1.
Lingkungan Desa Sindang Laya dan Sukanagalih diketahui memiliki
lapangan pekerjaan yang lebih beragam dibandingkan desa lainnya seperti
buruh villa, pabrik ataupun pasar, tidak lantas dapat dipastikan bahwa
pendapatan yang diterima tinggi dan mampu menutupi kebutuhan keluarga.
Apabila kondisi yang berkebalikannya terjadi dan pasangan yang tidak
memiliki komitmen kuat
pada pernikahan serta tidak mampu
menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, keputusan untuk bercerai
akan sangat mungkin diambil oleh pasangan.
Perceraian yang terjadi sepanjang tahun 2011 sampai dengan 2013 di
Cianjur, diketahui paling banyak diinisiatori oleh perempuan yang berstatus
ibu rumah tangga (Pengadilan Agama Cianjur 2013). Banyaknya inisiator
yang berasal dari ibu rumah tangga, menunjukkan bahwa dampak yang
mungkin dirasakan paska perceraian akan lebih besar dirasakan oleh ibu,
karena terdapatnya penambahan peran instrumental yang sebelumnya tidak
diembannya, diduga akan menjadi celah munculnya permasalahan baru di
kondisi paska perceraian. Ditambah dengan peran ekspresif yang juga harus
dilaksanakan sejalan dengan perceraian khususnya terhadap anak-anaknya
diduga akan memberikan dampak perceraian yang jauh lebih besar di paska
perceraian.
Dampak yang dirasakan ibu paska perceraian diketahui akan menurun
sejalan dengan berjalannya waktu (Booth & Amato 1991) dan studi
terdahulu yang menelaah dampak perceraian yang dirasakan ibu di kondisi
enam bulan pertama dan kondisi saat ini, belum banyak diteliti. Namun
diduga, dampak yang dirasakan di enam bulan pertama akan lebih besar
dibanding kondisi saat ini.
Bianchi et al (1999) menyatakan bahwa dampak dari perceraian yang
dirasakan perempuan, salah satunya yakni penurunan standar hidup yang
berpotensi menurunkan kondisi fisik individu (Kincaid & Caldwell 1991).
Selain itu, penurunan kesejahteraan psikologis pada perempuan sebagai
1

Euis. 2013. Jumlah
Cianjur

anggota perempuan kepala keluarga (Pekka) terbanyak.

3

dampak dari perceraian juga ditemukan pada studi sebelumnya (Bloom et al
1985; Matekasa 1994; Shapiro 1996) yang menunjukkan rendahnya
kebahagiaan dan self esteem serta tingginya tingkat depresi (Simon &
Marcussen 1999). Studi lainnya yang membuktikan bahwa perceraian dapat
membawa resiko yang lebih besar untuk tidak bahagia, gangguan kesehatan,
dan gangguan psikologis ditemukan oleh Amato (2000). Sementara itu,
dampak dari penurunan ataupun rendahnya kesejahteraan psikologis ini juga
membawa dampak traumatis (Hackey & Bernard 1990) pada individu yang
bercerai di kondisi paska perceraian. Hal ini disebabkan oleh terdapatnya
gangguan secara emosional yang bersifat temporer (William & Umberson
2004).
Acock dan Demo (1994) menemukan bahwa banyak ibu yang bercerai
mengembangkan kehidupan hubungan sosialnya dan mencari kebahagiaan
pada kondisi paska perceraian. Namun, hal yang bertentangan ditunjukkan
oleh Joung et al (1997) yang menemukan bahwa orang yang bercerai lebih
banyak menutup diri dari lingkungan sekitarnya. Sementara itu, hasil
penelitian Sarah (2012) menunjukkan bahwa hubungan jejaring sosial pada
pasangan yang bercerai berhubungan dengan dukungan sosial yang diterima
oleh orang di sekitar kehidupannya (mantan pasangan, keluarga, dan teman)
dan semakin efektif dukungan yang diterima, semakin efektif hubungan
yang berlangsung. Berdasarkan identifikasi rumusan masalah yang ada,
timbul pertanyaan dari benak peneliti yaitu:
1. Bagaimana karakterisitik ibu orang tua tunggal, mantan pasangan, dan
keluarga ibu orang tua tunggal di kondisi enam bulan pertama dan saat
ini paska perceraian?
2. Bagaimana hubungan karakteristik ibu sebagai orang tua tunggal dan
keluarga dengan hubungan sosial, dampak perceraian, dan
kesejahteraan psikologi pada kondisi saat ini?
3. Bagaimana dampak perceraian dan hubungan sosial terhadap
kesejahteraan psikologis ibu orang tua tunggal di enam bulan pertama
dan saat ini paska perceraian?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak perceraian dan
hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis ibu orang tua tunggal
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik ibu sebagai orang tua tunggal, mantan
pasangan, dan keluarga ibu orang tua tunggal pada dua kondisi (pra dan
paska perceraian)
2. Menganalisis karakteristik ibu sebagai orang tua tunggal dan keluarga
dengan hubungan sosial, dampak perceraian dan kesejahteraan psikologis
di kondisi saat ini
3. Menganalisis dampak perceraian dan hubungan sosial terhadap
kesejahteraan psikologis ibu orang tua tunggal di kondisi enam bulan
pertama dan saat ini

4

Manfaat Penelitian
Informasi pada penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh
pemerintah untuk membuat suatu kebijakan dengan sasaran pasangan yang
akan, baru maupun sudah menikah dan bercerai demi terciptanya sumber
daya yang berkualitas. Disamping itu, hasil dari penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat akan dampak
yang ditimbulkan dari perceraian dan memberikan gambaran akan pengaruh
dampakdari perceraian terhadap kesejahteraan psikologis ibu sebagai orang
tua tunggal. Pada jangka panjangnya informasi tersebut dapat mengubah
paradigma masyarakat tentang perceraian sebagai satu-satunya jalan yang
mudah dilakukan untuk mengakhiri konflik. Kegunaan lainnya yang dapat
diperoleh keluarga dari penelitian ini yakni menjadikan suatu gambaran
umum akan kehidupan orang tua tunggal paska perceraian sehingga
pasangan dapat menghindari dan menghadapi konflik pernikahan melalui
stategi khusus yang dibuat oleh pasangan guna terhindar dari perceraian.

KERANGKA BERPIKIR
Perceraian merupakan akumulasi dari permasalahan pasangan yang
gagal melakukan penyesuaian dalam pernikahan dan tidak mampu lagi
mencari penyelesaian masalah yang dapat memuaskan pasangan. Landasan
teori pada penelitian ini mendukung teori struktural fungsional yang
berpandangan bahwa keluarga merupakan institusi sosial yang memiliki
peran dan fungsi penting dalam lingkungan sosialnya. Keseimbangan sistem
yang stabil dalam keluarga dan sosial masyarakat merupakan hal yang
penting untuk dijaga dan dipelihara. Demi mencapai keseimbangan dan
keharmonisannya, setidaknya lima syarat harus dipenuhi oleh tiap keluarga
keluarga, diantaranya yakni diferensiasi peran, alokasi solidaritas, alokasi
ekonomi, alokasi politik dan alokasi integrasi dan ekspresi. Salah satu tanda
dari terorganisasinya keluarga dengan baik yakni adanya kesatuan pada
anggota didalamnya yang saling berkomunikasi dan menjalankan perannya
masing masing dengan baik (Puspitawati 2013). Keluarga yang tidak
memiliki kesatuan atau tidak terorganisasi dengan baik dapat menimbulkan
terjadinya perpecahan keluarga yakni perceraian (Puspitawati 2013).
Struktural fungsional berpandangan bahwa tingginya laju perceraian dan
meningkatnya angka orang tua tunggal merupakan gambaran dari rusaknya
institusi keluarga. Kerusakan pada intitusi keluarga merupakan masalah
utama dalam timbulnya permasalahan sosial lainnya.
Pada penelitian terdahulu menjelaskan bahwa status sosial ekonomi
seperti pendidikan, pendapatan, dan status pekerjaan berhubungan terbalik
dengan laju perceraian (Norton & Glick 1979). Jalovaara (2003)
menjelaskan bahwa pasangan yang memiliki level pendidikan yang terendah
memiliki resiko perceraian yang lebih rendah dibandingkan ekspektasi studi
sebelumnya. Adapun menurut Kitson dan Rascke (1981), individu yang
berasal dari keluarga yang bercerai memiliki resiko bercerai yang lebih

5

tinggi dibanding yang bukan berasal dari keluarga yang bercerai. Oleh
karenanya sosial ekonomi pasangan dan riwayat perceraian menjadi hal
perlu untuk dipertimbangkan sebagai faktor terjadinya perceraian.
Sementara itu, dilihat dari perbedaan dampak yang dirasakan dilihat dari
jenis kelaminnya, perempuan umumnya merasakan dampak yang lebih
tinggi dibanding laki laki.
Dampak dari perceraian hidup umumnya lebih besar dibanding
perceraian yang diakibatkan karena pasangan meninggal. Hal ini
dikarenakan sebelum dan sesudah perceraian hidup, umumnya individu
yang bercerai merasakan sakit dan tekanan secara emosional. Studi
sebelumnya mengenai perceraian, menunjukkan bahwa dampak perceraian
yang sangat besar dirasakan individu yakni pada tahun pertama dan
kemudian secara bertahap mengalami penurunan akibat penyesuaian diri
pada berbagai masalah yang dihadapi. Sementara itu, dampak fisik, sosial,
psikologis dan ekonomi (Smock 1994 & Gerstel et al 1985) yang
ditimbulkan akibat perceraian memiliki efek yang tidak sama pada semua
individu yang bercerai dan hal ini bergantung pada alasan yang
melatarbelakangi terjadinya perceraian.
Dampak perceraian umumnya dirasakan positif pada pasangan yang
merasa beruntung. Namun kenyataannya mereka menghadapi masalah yang
jauh lebih berat dibanding keuntungan dari perceraian. Dampak negatif yang
disebabkan oleh perceraian, salah satunya yakni menurunnya kesejahteraan.
Hal ini diperkuat oleh Booth dan Amato (1991) yang menyatakan bahwa
perceraian merupakan pengalaman pahit yang akan mendorong penurunan
kesejahteraan. Adapun menurut Puspitawati (2005) dalam Puspitawati
(2013), dimensi kesejahteraan yang harus dipenuhi agar anggota maupun
keluarga mampu mencapai tujuannya yakni kesejahteraan ekonomi, sosial,
psikologi, dan fisik. Mirowsky et al (1989) menjelaskan pada studi
sebelumnya bahwa orang yang bercerai memiliki kondisi kesejahteraan
psikologis yang lebih rendah dibanding orang yang menikah dan umumnya
memiliki resiko yang lebih besar untuk tidak bahagia, gangguan kesehatan,
dan gangguan psikologis (Amato 2000). Hal ini menjadi krusial apabila
salah satu kesejahteraan, khususnya kesejahteraan psikologis tidak terpenuhi
karena dampak negatif yang ditimbulkannya dapat berpengaruh pada
kehidupannya kelak, seperti gangguan mental, masalah kesehatan dan
penyimpangan perilaku seperti melakukan tindakan kejahatan (Puspitawati
2013).
Individu yang bercerai sekalipun juga merupakan makluk sosial yang
melakukan interaksi yang positif dengan orang-orang disekitar
kehidupannya. Interaksi sosial pada individu yang bercerai, diduga
mengalami perubahan di paska perceraian. House et al 1988 menjelaskan
hubungan sosial individu kedalam tiga subdivisi yakni integrasi sosial,
jejaring sosial dan dukungan sosial. Apabila ketiganya dipenuhi dan
berjalan sebagaimana mestinya, maka hubungan sosial yang dimiliki
individu dikatakan baik. Wang dan Amato (2000) pun menjelaskan bahwa
pasangan yang bercerai umumnya kehilangan teman dan hal ini diakibatkan
oleh keinginannya untuk mencari lingkungan kehidupan yang baru setelah
bercerai. Hubungan sosial tersebut duduga memengaruhi kesejahteraan

6

psikologis individu yang bercerai, khususnya pada ibu sebagai orang tua
tunggal.
Amato dan Cheadle (2005) belum menemukan bukti bahwa dampak
dari perceraian semakin melemah seiring waktu. Berbeda dengan hal
tersebut, Booth dan Amato (1991) menjelaskan bahwa dampak negatif yang
dirasakan individu yang bercerai akan menurun seiring berjalannya waktu.
Dilatarbelangi teori dan penelitian terdahulu, penelitian ini fokus pada
dampak perceraian, kesejahteraan psikologis, dan hubungan sosial yang
dilihat dari kondisi enam bulan pertama dan saat ini pada ibu orang tua
tunggal. Kerangka pemikiran ini digambarkan secara lengkap pada Gambar
1.

KARAKTERISTIK IBU SEBAGAI ORANG
TUA TUNGGAL
- Usia menikah, bercerai, dan saat ini
- Pendidikan
- Pekerjaan
- Pendapatan

HUBUNGAN SOSIAL IBU (Enam
bulan pertama dan saat ini)
- Integrasi Sosial
- Jejaring Sosial
- Dukungan Sosial

DAMPAK PERCERAIAN PADA
IBU (Enam bulan pertama dan saat
ini)
Dampak Psikologis
Dampak Ekonomi
Dampak Sosial
Dampak Fisik
KARAKTERISTIK KELUARGA
- Lama perceraian
- Jumlah tanggungan
- Jumlah anak
- Pendapatan

KESEJAHTERAAN
PSIKOLOGIS
IBU (Enam bulan pertama dan saat ini)
- Tingkat Depresi
- Self esteem
- Kebahagiaan

Gambar 1 Kerangka pemikiran dampak perceraian dan hubungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis ibu sebagai orang tua tunggal

TINJAUAN PUSTAKA
Keluarga
Keluarga menurut UU Nomor 1 tahun 1992 adalah unit sosial terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, anak atau suami dan istri
dan anak atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. Adapun menurut
Puspitawati (2013) keluarga didefinisikan sebagai unit sosial terkecil dalam
masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi masyarakat
dan Negara. Bentuk keluarga menggambarkan perbedaan sosial, tingkah
laku, dan kultur serta gaya hidup. Sussman et al (1974) menjabarkan
keluarga menjadi 7 bentuk yaitu (1) keluarga inti, (2) keluarga besar
tradisional, (3) keluarga dengan orang tua tunggal (single parents), (4)
individu dewasa yang hidup sendiri, (5) keluarga dengan orang tua tiri, (6)
keluarga binuklear, (7) keluarga non tradisional.
Keluarga dengan Orang Tua Tunggal (Single Parents)
Putusnya perkawinan menurut GBHN Nomor 1 tahun 1974 dapat
diakibatkan oleh kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.
Keluarga dengan orang tua tunggal dicirikan dengan kepemilikan satu orang
tua yakni ayah atau ibu yang umumnya menjadi satu-satunya orang yang
terlibat dalam kehidupan dan perawatan anak (Zaidin 2010). Diketahui pula
bahwa umumnya orang tua tunggal lebih banyak menghadapi masalah
dengan tanggung jawab pekerjaan dan rumah tangga, peran yang terlalu
berat, tekanan karena harus membuat keputusan sendiri, menemukan waktu
yang cukup untuk anak dan kehidupan pribadi mereka, kebutuhan fasilitas
perawatan anak yang cukup dan isolasi sosial. Namun hal ini tidak dapat
dijadikan pedoman bahwa keluarga dengan orang tua tunggal merupakan
keluarga yang tidak dapat menjalankan fungsi keluarganya dengan baik
karena penelitian Nock (1988) membuktikan bahwa keluarga dengan orang
tua tunggal dapat berfungsi secara efektif. Saat ini, jumlah keluarga dengan
orang tua tunggal yang dikepalai oleh ibu cenderung meningkat karena
berbagai alasan antara lain kemiskinan dan pergaulan bebas (Zaidin 2010).
Pandangan Teori Struktural Fungsional
Keluarga merupakan institusi sosial yang memiliki peran dan fungsi
penting dalam lingkungan sosial. Keseimbangan sistem sosial yang stabil
dalam keluarga dan masyarakat merupakan hal yang sangat penting untuk
dijaga. Sistem sosial yang dimaksud yakni suatu sistem yang seimbang,
harmonis, dan berkelanjutan. Demi menjaga keseimbangan dan juga
keharmonisannya, keluarga harus memiliki kemampuan untuk memelihara
stabilitas agar kelangsungan suatu sistem tetap terjaga dengan baik. Ketika
keluarga tidak berperan sebagaimana mestinya, permasalahan sosial seperti
kejahatan, menderita penyakit tertentu, penggunaaan narkoba sampai
dengan berubahnya bentuk keluarga akan mungkin terjadi. Salah satu
bentuk permasalahan sosial yang memiliki dampak pada perubahan bentuk
institusi keluarga yakni permasalahan perceraian.

9

Teori struktural fungsional memiliki pandangan bahwa tingginya laju
perceraian dan meningkatnya angka orang tua tunggal merupakan gambaran
dari rusaknya institusi keluarga. Rusaknya institusi keluarga merupakan
masalah utama dalam permasalahan sosial yang menjadi acuan timbulnya
permasalahan sosial lainnya seperti tindakan kejahatan. Berbeda dengan hal
tersebut diketahui pula bahwa teori struktural fungsional memandang bahwa
peran gender berkontribusi dalam keberfungsian suatu keluarga dimana
perempuan memiliki peran utama expressive yakni memanajemen tugas
keluarga dan menyediakan perawatan emosional serta memelihara seluruh
anggota keluarga, sedangkan laki-laki memiliki peran utama instrumental
yang maksudnya adalah menjadi pencari nafkah utama dan pembuat
keputusan utama di dalam keluarga. Berdasarkan pandangan tersebut dapat
dijelaskan kembali bahwa keluarga dapat mengalami gangguan sehingga
melemah disebabkan oleh perubahan yang terjadi di dalam keluarga seperti
perubahan peran gender. Perubahan yang umumnya ditemukan dalam
institusi keluarga yang mengakibatkan munculnya permasalahan sosial,
perceraian, yakni penambahan fungsi perempuan yang utamanya expressive
ditambah dengan instrumental.
Perceraian
Perceraian merupakan peristiwa runtuhnya pernikahan secara legal
yang sebenarnya tidak direncanakan dan dikehendaki oleh dua orang
individu yang terikat dalam pernikahan. Fenomena saat ini memperlihatkan
bahwa perempuan lebih banyak yang berinisiatif untuk mengajukan
percerian dibanding laki-laki. Perceraian juga menunjukkan jalan keluar dari
perkawinan yang tidak bahagia dan membawa efek pembebasan yang lebih
besar untuk perempuan yang ditunjukkan dengan banyaknya perempuan
yang lebih sering mengambil inisiatif untuk bercerai atau gugat (Kitson
1992).
Perceraian merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dijelaskan dan
memiliki dampak kepedihan yang begitu besar secara emosional, finansial
dan sosial pada pasangan. Berbeda dengan hal tersebut, Wheaton (1990)
menganalisis dari data panel orang Kanada dan menemukan bahwa orang
yang bercerai dengan banyak permasalahan mempunyai gejala-gejala stress
yang lebih rendah 2-4 tahun setelah perceraian, sedangkan orang yang
bercerai dengan permasalahan yang sedikit, memiliki tingkat stress yang
lebih tinggi.
Faktor yang berhubungan dengan perceraian
Umumnya sosial dan budaya merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan perubahan fungsi, ekonomi, peran, pekerjaan dan pendapatan
di dalam keluarga yang berdampak pada terbukanya kesempatan mengakhiri
suatu pernikahan. Banyak peneliti yang menemukan bahwa karakteristik
demografi seperti umur dan agama merupakan hal yang dipertimbangkan
dalam mempertahankan ataupun mengakhiri pernikahan. Namun, disamping
umur dan agama masih ada faktor lainnya yang berhubungan dengan
perceraian seperti sosioekonomi.

10

1. Umur pasangan ketika menikah
Booth dan Edwards (1985) mengatakan bahwa dari semua bukti
yang ada memperlihatkan bahwa dalam suatu pernikahan dimana umur
pasangannya terbilang muda, kemungkinan untuk berakhir dengan
perceraian lebih besar, khususnya pasangan yang berumur dibawah 18 tahun.
Berdasarkan data dari hasil penelitian di Amerika pada tahun 1995 diketahui
bahwa resiko perceraian dapat dilihat dari umur pasangan ketika menikah.
Peneliti membaginya menjadi empat kategori umur yaitu (1) dibawah 18
tahun (48%), (2)18-19 tahun (40%), (3) 20-24 tahun (29%), (4) diatas 25
tahun (24%). Kategori tersebut dapat diinterpretasikan bahwa perempuan
yang ketika menikah berumur dibawah 18 tahun beresiko dua kali lipat
untuk mengakhiri pernikahannya dengan bercerai dibanding perempuan
yang berumur 25 tahun atau lebih tua ketika menikah.
2. Lama pernikahan
Salah satu faktor yang dapat memprediksi terjadinya perceraian yakni
berasal dari perhitungan lama pernikahan. Literatur terdahulu menunjukkan
bahwa resiko perceraian lebih besar dialami ketika usia pernikahan satu
sampai lima tahun dan resikonya menurun setelah usia sepuluh tahun
pernikahan. Resiko pernikahan jika dihubungkan pada lama pernikahan
dapat digambarkan pada diagram yang fluktuasi dimana resiko bercerai
yang paling tinggi yakni ketika usia pernikahan 2-3 tahun dan resikonya
menurun pada usia pernikahan 25 tahun. Setelah periode usia tersebut,
perceraian masih mungkin dapat terjadi pada usia pernikahan 30-40 tahun.
3. Status sosial ekonomi
Penelitian terdahulu menemukan bahwa orang dengan pendidikan dan
pendapatan yang tinggi serta status pekerjaan yang bagus memiliki laju
kehancuran pernikahan yang lebih rendah (Norton&Glick 1979). Adapun
Ross dan Sawhill (1975) memaparkan bahwa terdapat hubungan positif
antara stabilitas pernikahan dengan pendapatan dimana keluarga dengan
pendapatan yang tinggi memiliki resiko bercerai lebih kecil. Selain itu, jika
dilihat dari sektor pendidikan diketahui bahwa pasangan yang ketika
menikah memiliki status pendidikan yang rendah berdampak pada resiko
bercerai lebih besar. Stress akibat ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
hidup dan pencapaian pendidikan merupakan dua faktor yang berkontribusi
dalam ketidakstabilan pada pernikahan (Glick & Norton 1977). Berbeda
dengan literatur lainnya, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Goode (1982) dan Kephart (1955) bahwa dari 5 kategori jenis pekerjaan
laki-laki yakni (1) profesional, (2) sales atauservice, (3) pekerjaan yang
terampil (petugas kebakaran), (4) pekerjaan yang cukup terampil, (5)
pekerjaan tidak terampil, yang memiliki resiko bercerai lebih besar yakni
berasal dari kategori pekerjaan tidak terampil.
Alasan Perceraian
Perceraian merupakan akhir dari tidak termanagenya konflik di dalam
pernikahan. Studi terdahulu mengemukakan bahwa dari dua ratus kasus
krisis perkawinan pada pasangan paruh baya disebabkan oleh masalah
seksual antara suami dan istri dimana kondisi saat itu istri dalam kondisi

11

sudah menopause. Berkurangnya gairah seks istri inilah yang menyebabkan
kualitas hubungan suami dan istri menurun dan suami cenderung
mengambil keputusan berselingkuh dengan perempuan lain. Pernyataan
yang hampir sama pun dipaparkan oleh Burgess dan Locke (1960) yang
mengatakan bahwa sumber utama masalah hubungan suami istri adalah
hubungan kasih sayang, seks, perbedaan pola budaya, peran sosial, kesulitan
ekonomi, dan tidak adanya persahabatan yang menguntungkan. Adapun
Goldsmith (1999) mengelompokkan alasan timbulnya konflik dan berakhir
perceraian ke dalam tiga area yakni pekerjaan, uang, dan seksual.
Pertengkaran suami istri yang disebabkan karena uang banyak terjadi
terutama pada keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah.
Pertengkaran ini kemudian pada studi terdahulu dikelompokkan menjadi
dua yakni kurangnya jumlah uang yang dibutuhkan untuk menutupi
kebutuhan pada keluarga dengan tingkat menengah kebawah dan
ketidakterbukaan keuangan yang sering muncul pada keluarga dengan
tingkat ekonomi menengah ke atas.
Berbeda dengan teori yang dipaparkan sebelumnya, Williamson
(1972) menjelaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena the conflict of
trivia yakni pertengkaran yang diawali oleh hal sepele misalnya istri selalu
menuntut peningkatan ekonomi dengan adanya tuntutan pembelian suatu
barang sehingga suami merasa bosan dan tidak nyaman lagi tinggal bersama
istrinya. Selain itu, di dalam hasil penelitian Raffela (2003) pun
menjelaskan bahwa sumber dari konflik dalam perkawinan yakni adanya
tekanan ekonomi yang tinggi dan umumnya berdampak pada timbulnya
masalah keuangan, masalah anak, adaptasi terhadap pasangan, hubungan
mertua dan ipar dan hubungan intim dengan pasangan.
Adapun menurut Puspitawati (2013), mengatakan bahwa terdapat 5
faktor penyebab perceraian yakni (1) hidup berumah tangga dengan berbeda
keyakinan, (2) krisis ekonomi dalam rumah tangga mengakibatkan tekanan
ekonomi keluarga sehingga tidak tercukupinya kebutuhan keluarga seharihari, (3) istri tidak menarik lagi dimata suami sehingga suami beralih ke
perempuan lain, (4) perselingkuhan yang diakibatkan adanya pihak ketiga
yang merusak rumah tangga, (5) tidak mempunyai anak yang menyebabkan
ketidaksempurnaan rumah tangga. Teori lainnya dari Mc Cubbin dan
Patterson (1987) menjelaskan komponen kejadian kehidupan keluarga yang
memengaruhi stres di dalam keluarga yakni dibagi menjadi 9 permasalahan
yakni (1) masalah kesulitan pengasuhan, (2) kesulitan perkawinan, (3)
kesulitan kehamilan dan membesarkan anak, (4) masalah keuangan dan
usaha, (5) transisi pekerjaan keluarga, (6) kesulitan perawatan keluarga dan
sakit, (7) kehilangan anggotan keluarga, (8) transisi keluar dan masuknya
anggota keluarga, (9) masalah keluarga dan kaitannya dengan hukum.
Dampak Perceraian
Dampak yang disebabkan oleh perceraian memiliki efek yang tidak
sama dirasakan oleh semua orang dewasa. Hal ini bergantung pada kondisi
diri pasangan yang bercerai. Beberapa pasangan merasakan dampak yang
negatif, sedangkan pasangan lain tidak merasakan dampak positif dari
perceraian. Dampak positif yang mungkin dirasakan oleh pasangan,

12

berdasarkan suatu penelitian yakni meningkatnya autonomi, kemampuan
pribadi, kepedulian diri, dan kesuksesan dalam pekerjaan dibanding
menikah. Keuntungan ini mungkin berhubungan dengan kebebasan dan
independen yang dimiliki pasangan serta dipengaruhi oleh dukungan sosial
dari lingkungan pasangan. Adapun dilihat dari dampak negatifnya,
perceraian dapat meningkatkan stress dalam kehidupan yang ditandai
dengan hilangnya sesuatu yang berharga dan perubahan transisi kehidupan.
Hal berharga yang hilang setelah paska bercerai yakni hilangnya nilai
terhadap hubungan, emosional dan sumber daya dari adanya hubungan yang
terputus. Selain itu, beberapa studi terdahulu pun menunjukkan bahwa
perceraian membawa dampak pada tinggi ataupun rendahnya kesejahteraan
pada pasangan. Salah satu analisis memaparkan bahwa pasangan yang
bercerai dan berumur lebih tua memiliki dampak lebih negatif pada
kesehatan laki-laki dibandingkan perempuan (Williams & Umberson 2004).
Selain itu, perceraian juga memberikan efek negative pada kesehatan mental,
fisik, dan kesejahteraan ekonomi perempuan (Smock 1994) serta
memberikan efek negatif terhadap hubungan keluarga laki-laki (Seltzer
1991), jaringan dan integrasi sosial (Gerstel et al 1985).
Dilihat dari perbedaan inisiator dan noninisiator dalam pengajuan
gugatan perceraian, diketahui bahwa inisiator memiliki adaptasi paska
bercerai yang lebih tinggi dibanding noninisiator sehingga dampak negatif
yang diakibatkan oleh perceraian menjadi lebih rendah dirasakan oleh
inisiator. Adapun jika dilihat dari jenis kelamin pasangan, diketahui bahwa
perceraian lebih meningkatkan depresi pada perempuan dibandingkan lakilaki (Marks&Lambert 1998). Jika teori tersebut benar, maka fenomena
perceraian saat ini dimana perempuan menjadi inisiator dalam menggugat
cerai suaminya dapat berakibat positif maupun negatif bagi perempuan yang
bercerai.
Kesejahteraan Psikologis
Penelitian terdahulu yang menguji efek transisi dari kehidupan dari
konsekuensi perceraian karena tekanan psikologis menjadi sebuah topik
utama untuk diteliti (Amato & Cheadle 2005). Jika dilihat dari studi secara
keseluruhan, ditemukan bahwa perceraian menyebabkan distress psikologi
dan berdampak pada kepemilikan kesejahteraan psikologi yang lebih rendah
dibanding orang yang menikah (Mirowsky et al 1989). Hal ini dapat
mengakibatkan pada terganggunya kesehatan mental seperti distress
psikologi (Booth dan Amato 1991) dan depresi (Shapiro 1996) seperti
terganggunya fisik (Gove 1972) dan bunuh diri. Di samping itu, dari
penelitian sebelumnya pun memaparkan bahwa stress terhadap kehidupan
dan ekonomi (Aneshensel et al 1991), konflik pernikahan (Horwitz &
Davies 1994), kondisi rendah atau tingginya status pekerjaan (Lennon &
Rosenfield 1994) berhubungan kuat dengan distress psikologi pada
perempuan. Namun, hasil penelitian yang membandingkan antara
perempuan dan laki-laki kadang-kadang tidak konsisten karena baik
perempuan maupun laki-laki mempunyai cara yang berbeda untuk
mengekspresikan stres psikologisnya (Simon 2000). Selain itu, menurut

13

Puspitawati (2005) indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui
kondisi kesejahteraan psikologis seseorang yakni diukur dari tingkat stress,
sakit jiwa, tingkat bunuh diri, tingkat perceraian, tingkat aborsi, dan tingkat
kriminal. Adapun Shapiro Adam (1999) menggunakan tiga buah indikator
untuk mengukur kesejahteraan psikologis dari penelitian sebelumnya dan
indikator tersebut yaitu self esteem, tingkat depresi dan kebahagiaan.
Self esteem merupakan faktor yang penting dalam kehidupan individu
karena dapat membuat individu merasa bahagia dan berdampak naik pada
kesehatan individu, keputusan dalam berkarir, dan mencari jalan keluar
yang dihadapi dalam kehidupan. Self esteem diartikan sebagai penilaian diri
yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan dan penerimaan orang
lain terhadap individu. Selain itu, menurut Watts Franklin (2004) self
esteem diartikan sebagai bagaimana individu memikirkan dan merasakan
sesuatu tentang dirinya sendiri. Hal tersebut dapat diketahui dari bagaimana
cara individu melihat, mengetahui kemampuan pribadi, berhubungan
dengan orang lain, dan harapan individu terhadap masa depan. Self esteem
merupakan suatu cara evaluasi diri baik secara positif maupun negatif.
Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri
dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan atas dirinya. Salah
satu penelitian memaparkan bahwa seringkali terdapat ketimpangan antara
bagaimana individu dipandang oleh lingkungan dengan bagaimana individu
melihat dirinya sendiri.
Penyesuian dan pengalaman distress setelah bercerai merupakan dua
hal yang berhubungan dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu
faktornya yakni persepsi individu terhadap pernikahan. Individu yang
merasa pernikahan merupakan komitmen seumur hidup memiliki tingkat
depresi yang lebih tinggi setelah bercerai dibanding individu yang
berpandangan bahwa pernikahan merupakan hubungan yang dapat datang
dan pergi. Secara umum, dapat diartikan individu yang sangat setuju bahwa
adanya perilaku menyimpang setelah bercerai dilaporkan memiliki tingkat
depresi yang lebih besar paska bercerai dibanding individu yang sedikit
setuju dengan adanya perilaku menyimpang. Selain itu, hal lainnya yang
ditemukan dari salah satu penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
individu yang bercerai dan berasal dari pernikahan yang memiliki tingakt
stress yang tinggi dilaporkan mempunyai tingkat kebahagiaan yang baik
sejalan dengan perceraian.
Banyak orang yang berasumsi bahwa orang yang telah bercerai berarti
telah keluar dari permasalahan besar dan membuat kehidupan kedepannya
lebih bahagia. Salah satu studi longitudinal tentang perceraian menemukan
bahwa umumnya perceraian tidak membawa pasangan pada kehidupan yang
lebih baik (Hetherington & Kelly 2002). Hal ini ditemukan dari hasil
penelitian terdahulu bahwa tiga dari sepuluh orang yang berakhir dengan
bercerai memiliki kondisi kehidupanya yang menurun. Disamping itu,
dibandingkan dengan individu yang menikah, individu yang bercerai
memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih rendah dan ditandai dengan
besarnya distress psikologi, rendahnya konsep diri, dan merasa sendiri
(David 2001). Selain itu, dilihat dari data internasional lainnya ditemukan
bahwa setengah dari semua kasus perceraian yang ada diketahui tidak

14

memperlihatkan tingkat konflik yang tinggi tetapi salah satu atau pasangan
diketahui masih merasa tidak bahagia (Amato & Hohmamn 2007). Di
samping itu diketahui juga bahwa ketika individu yang mengakhiri
pernikahannya dengan kondisi konflik yang tinggi, kebahagiaan dan
kesejahteraan mereka cenderung meningkat. Hal ini juga berlaku untuk
sebaliknya yakni ketika pernikahan berakhir karena konflik yang kecil maka
kebahagiaan dan kesejahteraan mereka cenderung menurun.
Penelitian terdahulu menjelaskan bahwa kontribusi bekerja dapat
berdampak pada kesehatan mental apabila pendapatan seseorang dalam
bekerja bertambah. Selain itu, Ross et al (1990) memaparkan bahwa
kontribusi bekerja baik pada perempuan maupun laki-laki dapat berdampak
dalam menurunkan level depresi, kecewa dan distress psikologi. Dilihat dari
perbedaan jenis kelamin, dampak yang ditimbulkan karena perpisahan dan
perceraian memiliki efek stress yang lebih besar pada perempuan yang
menikah maupun perempuan tidak menikah (Campbell et al 1976). Selain
itu, di dalam hasil penetian terdahulu pun ditemukan bahwa perceraian
lebih berdampak pada kesejahteraan psikologis pada perempuan dibanding
laki-laki. Hal ini dibuktikan dengan tingkat stress perempuan yang tinggi,
sedangkan kebahagiaannya lebih rendah dibandingkan laki laki, sejalan
dengan perceraian. Di samping itu, hasil penelitian Rogers (1999) yang
memaparkan bahwa peningkatan pendapatan perempuan yang menikah
secara signifikan juga diketahui berdampak pada kesejahteraan positif pada
dirinya dan negatif pada laki-laki.
Hubungan Sosial
House et al (1988) memaparkan bahwa hubungan sosial berpengaruh
pada kesehatan dan kesejahteraan individu. Jika dilihat dari dimensi di
dalamnya, hubungan sosial dapat dijelaskan ke dalam tiga subdivisi yakni
integrasi sosial, jejaring sosial, dan konten hubungan (House et al 1988).
Integrasi sosial dan konten hubungan merupakan dua subdivisi yang dapat
digunakan untuk mengukur kuantitas dan kualitas dari hubungan sosial,
sedangkan jejaring sosial digunakan untuk melihat karakteristik hubungan
yang berlangsung dan tipenya.
Integrasi sosial dapat dijelaskan sebagaisuatu subdivisi yang
digunakan untuk melihat kuantitas dari hubungan sosial dan biasanya diukur
dari frekuensi hubungannya.Integrasi sosial juga dapat dikonseptualisasikan
sebagai jumlah peran yang penting yang dimiliki seseorang seperti teman,
bos, atau pernikahan (Thoits 1983). Selain itu, integrasi sosial dapat diukur
dengan melihat integrasi sosial baik secara formal maupun informal dalam
kehidupan seseorang (Veroff et al 1981).
Studi terdahulu mendefinisikan konten hubungan yang didalamnya
terdapat dukungan sosial sebagai kenyamanan, material pendukung dan
informasi yang diterima baik formal dan informal selama berhubungan
dengan individu lain atau grup. Dampak yang diterima individu yang
memperoleh dukungan sosial yakni berkurangnya stressor yang dirasakan
individu. Selain itu, dukungan sosial pun dijelaskan dapat menghilangkan
ancaman yang dirasakan individu dan mengubah pandangan ancaman yang

15

diterima serta mengubah reaksi emosional individu. Pada permasalahan
perceraian, dukungan sosial merupakan sub divisi yang berhubungan pada
adaptasi pasangan paska bercerai. Hal ini didukung oleh Cohen (1985) yang
memaparkan bahwa suatu individu yang memiliki dukungan dari teman dan
keluarga yang positif akan berdampak lebih baik terhadap kesehatan tubuh.
Jejaring sosial merupakan salah satu hal yang menjadi kekuatan
pasangan di dalam pernikahan (Johnson 1991). Hal tersebut menunjukkan
karakterisitik hubungan sosial individu seperti tipe hubungan individu,
intensitas bertemu, dan aktivitas yang dilakukan ketika bertemu. Pada
kondisi keluarga yang bercerai, perubahan yang signifikan bukan hanya
berdampak pada hubungan pasangan saja, tetapi pada jejaring sosial
pasangan juga. Contohnya yakni ketika pasangan bercerai, banyak pasangan
yang kehilangan teman akibat berpindah tempat tinggal (Wang & Amato
2000). Di samping itu, jejaring sosial juga dipengaruhi oleh umur individu
yang mana diketahui dari hasil penelitian Studi terdahulu pun menunjukkan
bahwa individu yang lebih tua lebih sedikit memiliki teman dibanding
individu yang lebih muda, meskipun hubungan kedekatannya jauh lebih
dekat individu yang lebih tua. Orientasi yang dapat dijelaskan pada
hubungan individu yang lebih tua yakni menginvestasikan waktu yang
dimiliki dengan cara memperdalam dan menjaga hubungan yang telah
terjalin karena dirinya menyadari bahwa kondisi fisiknya sudah tidak seperti
sewaktu muda (Cartensen et al 1999).
Berdasarkan penelitian di tahun 1970-an diketahui bahwa orang yang
menikah memilki kesehatan mental yang lebih baik dibanding tidak
menikah (Gove & Tudor 1973) dan hal yang sama pun dipaparkan oleh
Gerstel, Reissman dan Rosenfield (1985) bahwa orang yang bercerai
memiliki kesehatan mental yang kurang baik karena kehilangan integrasi
sosial. Adapun jika dilihat dari aspek konten sosial, House et al (1988)
menjelaskan bahwa dari ratusan studi yang ada ditemukan hubungan yang
positif antara dukungan sosial dengan kesejahteraan, sedangkan dukungan
sosial (positif) dan hubungan yang tegang (negatif) memiliki efek yang
berlainan pada kesejahteraan.
Pustaka yang digunakan dalam bab ini ialah acuan primer, diutamakan
artikel jurnal dan paten yang relevan dengan bidang yang diteliti, terkini,
dan asli (state of the art). Diktat dan buku ajar tidak termasuk acuan primer.
Tinjauan pustaka memuat telaah singkat, jelas, dan sistematis tentang
kerangka teoretis, kerangka pikir, temuan, postulat-postulat, prinsip, asumsi,
dan hasil-hasil penelitian yang relevan yang melandasi masalah penelitian
atau gagasan guna menggali pemahaman mengenai masalah penelitian dan
pemecahan masalahnya. Oleh karena itu, dari tinjauan pustaka harus dapat
diturunkan kerangka pikir, hipotesis penelitian, dan metode penelitian.

16

METODE
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional yang
didalamnya juga menggunakan pendekatan retrospektif yakni, pengukuran
variabel yang dilakukan dalam satu kali waktu yang bersamaan pada obyek
yang berbeda dan menggunakan metode survei dengan menanyakan kondisi
enam bulan pertama dan kondisi saat ini paska perceraian. Adapun
pemilihan tempat dipilih secara purposive di Kabupaten Cianjur.
Pertimbangan dari pemilihan lokasi tersebut yakni karena Kabupaten
Cianjur menduduki peringkat ke-6 terbanyak di Jawa Barat dalam tingkat
perceraian hidupnya (BPS 2012) dan dilihat dari kondisi demografinya
diketahui masih kental dengan lingkungan pedesaan serta sebagian besar
penduduknya bekerja di bidang pertanian. Adapun lokasi tepatnya
keberadaan populasi, salah satu ketua serikat Provinsi Pekka (Perempuan
Kepala Keluarga) Kabupaten Cianjur menyatakan bahwa sebanyak 70
persen dari kadernya merupakan orang tua tunggal dan diketahui lima dari
kecamatan yang ada di Cianjur, terdapat dua desa dengan populasi anggota
Pekka terbanyak2. Kedua desa tersebut yakni Desa Sukanagalih, Kecamatan
Pacet dan Desa Sindang Laya, Kecamatan Cipanas. Penelitian ini dilakukan
pada bulan Mei-Agustus 2013.

Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh
Contoh yakni ibu or