PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA IBU YANG BERPERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL

(1)

i

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA IBU YANG BERPERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang Sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh

Gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

Wike asturina dany 08810120

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2012


(2)

(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Psychological Well Being Pada Ibu Yang Berperan Sebagai Orang Tua Tunggal, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan, petunjuk serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dra. Cahyaning Suryaningrum, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Dra. Tri Dayakisni, M.Si selaku pembimbing I dan Yuni Nurhamida, S.Psi,M.Si selaku pembimbing II atas segala bimbingan, kritikan, masukan, kesabaran dalam meluangkan waktu selama ini.

3. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UMM, terima kasih atas ketulusan dalam memberikan ilmu kepada penulis. Khususnya kepada bunda Hudaniah,S.Psi,M.Si selaku dosen wali yang mampu menjadi figur orang tua bagi penulis selama menempuh dunia perkuliahan.

4. Seluruh keluarga subjek penelitian. Bu SR, Bu LL, Tante TT dan Mbak FT atas segala waktu dan kesempatan yang diberikan kepada penulis.

5. Kepada Papi dan Mami selaku orang yang memberikan kesempatan pada penulis untuk hidup, tumbuh, dan berkembang guna mencapai tujuan hidup dengan segala totalitas waktu, kesabaran,materi maupun tenaga. Kepada 8 saudaraku, Mas Dan,Mbak Din,Mbak Pit, Mas Han, Mas AL, Mas Fahis, Mbak kiki, dan adik ku Ferdi. Serta keluarga besar Mudasir dan Saidi terimakasih atas doa dan dukungannya.

6. Kepada seluruh keluarga organisasi penulis di Malang yang selalu ada untuk di ajak diskusi berbagai macam topik. Keluarga besar HMI komisariat Psikologi UMM, KOPMA UMM, jajaran fungsionaris BEM FAPSI 2009,


(6)

vi

IMM komisariat Ekonomi UMM,dan HIMAHI FISIP. Dari kalian penulis belajar bagaimana hidup dalam kesederhanaan dan kaya dalam berfikir. 7. Kepada jajaran staff dan anggota Laboratorium Psikologi UMM dan Pusat

Layanan Psikologi UMM, atas kesempatan, pembelajaran maupun pengalaman yang terlahir sebagai hasil pembinaan dan pelatihan.

8. Segenap sahabat penulis Fitria, Syakib, anggota camp “PINK”, Annisa, Yulinda, Kiki, Reni, dan Tyas. Terimakasih kawan, atas kebersamaan dan suka duka yang ada.

9. Terakhir kepada “elmo dan om cwi ” yang selalu ada dan memberikan semangat dan dukungan nyata atas kehadiran informan-informan penting dalam penelitian ini. Ketulusan kalian menjadi semangat buat penulis untuk menyusun karya ilmiah ini.

Peneliti sadar masih banyak kekurangan dalam penelitian ini, untuk itu peneliti mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar lebih baik. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan pandangan baru pada para pembaca.

Malang , 22 September 2012 Penulis


(7)

vii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

INTISARI...iii

ABSTRACT...iv

DAFTAR ISI...v

DAFTAR TABEL...vii

DAFTAR LAMPIRAN...viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being... 8

B. Orang Tua Tunggal Wanita... 14

C. Perceraian... 15

D. Kematian pasangan... 18

E. PWB pada Ibu Yang Berperan Sebagai Orang Tua tunggal... 20

BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian... 23

B. Batasan Istilah... 23

C. Subjek Penelitian... 24

D. Teknik Pengumpulan Data... 24

E. Prosedur Penelitian... 25

F. Analisa Data... 26


(8)

viii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data... 28

a. Deskripsi Subjek Penelitian... 28

b. Deskripsi Data Psychological Well Being... 31

B. Analisa Data... 44

C. Pembahasan... 52

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 59

B. Saran... 59

DAFTAR PUSTAKA... 61


(9)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor tabel Halaman

Tabel 3.1 : Jadwal Kegiatan... 65 Tabel 4.1 : Identitas Subjek Penelitian... 28 Tabel 4.2: Hasil Analisa Data Subjek... 44


(10)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Guide Interview... 63

Hasil Wawancara Subjek SR... 67

Hasil Wawancara Subjek LL... 73

Hasil Wawancara Subjek TT... 78

Hasil Wawancara Subjek FT... 85

Hasil Wawancara Triangulasi Subjek SR... 90

Hasil Wawancara Triangulasi Subjek LL... 94

Hasil Wawancara Triangulasi Subjek TT... 96

Hasil Wawancara Triangulasi Subjek FT... 100

Informed Concent SR... 103

Informed Concent LL... 104

Informed Concent TT... 105


(11)

xi

DAFTAR PUSTAKA

Cahyani, Anggun.(2001). Dampak psikologis kematian pasangan hidup pada ibu

rumah tangga usia dewasa awal. (Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas

Muhammadiyah Malang, Jawa Timur)

Compton,William C.(2005). An introduction to positive psychology.USA: Thomson Wadsworth.

Dariyo, Agoes.(2003). Psikologi perkembangan dewasa muda.Jakarta: PT. Grasindo Dariyo, Agoes.(2006).Psikologi perkembangan: anak tiga tahun pertama.

Bandung:PT. Refika Aditama.

Dayakisni,Tri & Hudaniah.(2009). Psikologi sosial. Malang: UMM Press. Dayakisni, Tri & Yuniardi, Salis.(2008). Psikologi lintas budaya: edisi

revisi.Malang:UMM Press.

Djiwandono, Sri.(2005).Konseling dan terapi dengan anak dan orang tua. Jakarta: PT.Grasindo.

Hoyer, William J. & Roodin,Paul A.(2003). Adult development and aging: fifth

edition.New York: McGraw-Hill Companies.

Ihromi, T.O.(1999). Bunga rampai sosiologi keluarga.Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.

Laksono, Artanto Ridho.(2008).pemecahan masalah pada wanita sebagai orang tua

tunggal.Skripsi:Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Lopez, Shane J.& Synder C.R.(2003). Positive psychological assessment: 1st edition. Washington DC: American Psychological Association.

Moleong, Lex.(2009). Metodologi penelitian kualitatif: edisi revisi. Bandung: PT.Remaja Rosda Karya

Murad, Jeanet. (2004). Langgeng berumah tangga pasca bercerai.Intisari juni,491,30-31.

Papalia,Olds,Feldman. (2009). Human development edisi 10.Jakarta: Salemba. Pranandari, Kenes.(2008). Kecerdasan adversitas ditinjau dari pengatasan masalah

berbasis permasalahan dan emosi pada orang tua tunggal. Jurnal Psikologi


(12)

xii

Ryan, Richard.M & Deci,Edward L.(2001).On happines and human potentials: A

review of research on Hedonic and Eudaimonic well-being. New york:

University of Rochester.

Ryff, D.C. (1989). Happines is everything,or is it? Exploration on the meaning of

psychological well being. Madison : University of Wisconsin.

Ryff, D.C & Keyes,Corey lee M.(1995). The structure of psychological well-being

revisited. Madison : University of Wisconsin

Santrock, W. John.(2002). Life – span development :Perkembangan masa hidup jilid II. Jakarta : Erlangga.

Sinaga, Herna Juniar.(2007). Perbedaan kesepian pada wanita yang berperan

sebagai orang tua tunggal karena bercerai dan meninggal pasangan. Skripsi:

universitas Sumatra Utara.

Surya , Mohamad.(2001). Bina keluarga. Semarang: CV. Aneka ilmu,anggota IKAPI.


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jumlah keluarga dengan orang tua tunggal semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tentunya ikut mempengaruhi jumlah anak yang menjadi produk orang tua tunggal ikut meningkat pula. Fenomena orang tua tunggal bukan hanya terjadi di Indonesia sebagai negara berkembang, tetapi juga terjadi di negara maju. Bahkan banyak di negara maju dan industri, single parent merupakan gejala yang biasa (Pranandari,2008). Hal ini karena adanya perubahan nilai-nilai secara drastis dalam masyarakat selama beberapa tahun terakhir ini. Pada berbagai kasus di indonesia, bentuk keluarga dengan orang tua tunggal yang sering di jumpai adalah karena adanya perceraian dan kematian pasangan.

Menurut Djiwandono (2005) Pengalaman perceraian ini merupakan stressor bagi seluruh anggota keluarga, dimana perpisahan dan perceraian menggambarkan situasi konflik dalam keluarga. Perceraian yang terjadi antara pasangan suami-istri tentunya akan menimbulkan perubahan dalam ritme kehidupan sehari-hari, hubungan orang tua dan anak, dan kesejahteraan psikologis maupun kesejahteraan secara finansial.

Siapapun yang pernah bercerai pasti merasakan kerentanan emosional yang tinggi. Terutama bagi pihak yang merasa ditinggalkan oleh pasangannya. Perasaan tidak dibutuhkan, marah, bingung, merasa gagal, turunnya harga diri, tersingkirkan, bahkan penyesalan dan benci pada diri sendiri, semua akan muncul campur aduk. Hasil penelitian Hetherington (2002) menyatakan bahwa pada peristiwa perceraian ini, pihak ibulah yang paling pahit merasakan akibat dari perceraian itu. Apalagi dalam perceraian itu terdapat anak-anak yang dihasilkan selama pernikahan. Kondisi ini akan memunculkan masalah baru terkait dengan pengasuhan anak. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Hetherington ( Santrock, 2002) yang menyebutkan bahwa selama tahun pertama setelah perceraian, kualitas pengasuhan yang dialami anak-anak seringkali jelek; orang tua nampaknya sibuk dengan kebutuhan-kebutuhan dan penyesuaian-penyesuaiannya sendiri, mengalami kemarahan, depresi,


(14)

2

kebingungan dan instabilitas emosional. Hal ini yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk secara sensitif merespon kebutuhan-kebutuhan anak.

Selain perceraian penyebab seseorang menjadi orang tua tunggal dikarenakan kematian pasangan hidupnya. Zisook (dalam santrock, 2002) menyebutkan bahwa peristiwa kematian pasangan hidup merupakan peristiwa yang dapat mengganggu kehidupan emosional, mengubah hubungan individu dengan lingkungan sosialnya dan dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan baru dalam kehidupan setelah ditinggal pasangan. Ketika pasangan meninggal, pasangan yang ditinggalkan tidak hanya kehilangan dukungan emosional suami, namun harus menemukan cara untuk memenuhi semua tugas dan tanggung jawab dalam keluarga. Hal ini dikarenakan orang tua tunggal memiliki peran ganda yaitu sebagai ibu sekaligus ayah dalam mengasuh anaknya.

Tugas pengasuhan yang seharusnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak, karena suatu sebab, misalnya kematian salah satu orang tua, perceraian atau perpisahan, terpaksa tugas pengasuhan ini hanya dapat dijalankan oleh satu orang tua saja. Situasi seperti ini memunculkan apa yang oleh Sager dinamakan sebagai orang tua tunggal (single parent). Karena kematian suami atau perceraian itu, ibu memiliki tanggung jawab yang lebih terhadap kehidupan keluarga. Oleh karena itu ia sebagai single parent harus menjalankan semua tugas yang dulu ia lakukan bersama dengan suaminya, seperti mengurus rumah tangga dan memenuhi kebutuhan keluarga. Keadaan seperti ini menyebabkan orangtua tunggal wanita dikenai banyak tuntutan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal seperti ini yang dinyatakan oleh Perlmutter dan Hall (dalam Pranandari, 2008) bahwa menjadi orang tua tunggal berarti mengalami perubahan dimana perubahan ini dapat menimbulkan masalah, sebab seseorang yang dulunya hanya berperan hanya sebagai ibu atau ayah saja, saat ini harus berperan ganda. Melakukan berbagai tugas yang semula dilakukan bersama dengan pasangan akan membuat orangtua tunggal wanita melaksanakan tugas ganda.

Sebagai suatu tahapan kehidupan baru yang “ tidak lazim”, orangtua tunggal wanita tentunya akan menghadapi banyak persoalan baik dari segi ekonomi, sosial,dan psikologis. Hal ini seperti yang dinyatakan Mahmudah (dalam Pranandari, 2008) bahwa dari segi sosial persoalan yang muncul biasanya berkaitan dengan


(15)

3

anggapan umum yang masih menganggap negatif kehidupan orangtua tunggal wanita. Beratnya tekanan sosial (social stressor) yang dirasakan individu yang bercerai atau di tinggal mati pasangannya akan membawa dampak yang tidak baik bagi ketenangan batin, pikiran, perasaan ataupun perilakunya dalam menjalani kehidupannya.

Dari segi ekonomi persoalan yang muncul biasanya berkaitan dengan bagaimana menopang kehidupan ekonomi keluarga, karena kebanyakan wanita indonesia masih menggantungkan kehidupan ekonominya pada suami.

Dari segi psikologis, persoalan yang muncul biasanya berkaitan dengan bagaimana menciptakan figur pengganti dari pasangannya. Dalam satu penelitian Hetherington, 6 dari 48 pasangan yang bercerai terus melakukan hubungan seksual selama 2 tahun pertama setelah berpisah. Tata dan pola interaksi sosial sebelumnya sulit untuk dihilangkan. Meskipun perceraian adalah kejadian yang menandai hubungan antar pasangan, seringkali hal itu tidak menandakan berakhirnya hubungan (Santrock,2002). Disamping itu Menurut Sears ( dalam Sinaga,2007) kesepian akibat berpisah dengan orang-orang yang dicintai dapat membangun suatu reaksi emosional seperti kesedihan, kekecewaan bahkan rasa geram yang membuat kita marah pada lingkungan dan diri sendiri.

Melihat situasi yang dihadapi orangtua tunggal wanita dalam keluarga, dapat dikatakan bahwa orangtua tunggal wanita berada dalam situasi yang penuh tuntutan. Disamping itu menurut Amato (dalam Papalia, 2009) perceraian juga cenderung mengurangi kesejahteraan jangka panjang, terutama bagi pihak yang tidak memprakarsai perceraian. Alasan-alasan itu dapat mencakup gangguan hubungan orangtua-anak, keributan dengan pasangan, kesulitan ekonomi, kehilangan dukungan emosional, harus pindah dari rumah keluarga, penyesuaian kembali dengan peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial.

Menurut Mel Kranstler (dalam Ihromi,1999) sebagai seorang konsultan masalah perceraian mengamati bahwa perceraian bagi kebanyakan orang sebagai masa transisi yang penuh kesedihan. Masa transisi ini dirasakan sebagai masa-masa sulit bila dikaitkan dengan harapan-harapan masyarakat tentang perceraian.

Banyak hal yang berubah dalam kehidupan wanita pasca perceraian, disamping hal-hal yang sudah dibahas diatas seperti aspek sosial, ekonomi, aspek


(16)

4

psikologis juga menjadi pembahasan yang sangat menarik bila di fokuskan dari segi kesejahteraan psikologis pelaku perceraian terutama orang tua tunggal wanita.

Banyak individu yang bercerai mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan komunitasnya. Mereka merasa terbuang dan terpisah dari lingkungan hidupnya, merasa canggung dan tidak tahu harus bersikap bagaimana menghadapi lingkungan lama (saudara kandung, ayah-ibu), lingkungan tempat kerja, atau lingkungan masyarakat pada umunya (tetangga). Tidak sedikit pula, mereka merasa kesepian, depresi, stres, kecewa, tidak tentram, tidak bahagia, dan terisolasi dari lingkungan tersebut (Dariyo,2004). Hal ini menandakan psychological well being yang rendah.

Dampak negatif yang dialami anak setelah perceraian atau kematian salah satu orang tua mereka, biasanya bukan hanya karena perceraian atau kematian itu sendiri. Bahayanya justru datang dari konflik yang mengikuti perceraian itu,atau gara-gara terjadinya pengasuhan yang kurang tepat terhadap si anak yang dilakukan oleh orang dewasa dalam hal ini ibu yang mengalami stres akibat perceraian atau kematian suami. Oleh sebab itu, orang tua tunggal wanita harus pulih dahulu sebelum ia memulihkan kondisi psikologis anak-anaknya (Keluarga Single- Parent, 2009).

Dalam hal ini yang harus disiapkan oleh wanita yang menjadi orang tua tunggal khususnya bagi wanita yang menjadi orang tua tunggal akibat perceraian adalah mental. Sebab wanita yang bercerai akan merasa gagal mempertahankan pernikahannya dan merasa dirinya tak berharga. Perasaan seperti ini yang bisa menghambat orang tua tunggal dalam menjalankan fungsinya. Apalagi jika ia tidak segera bangkit dari kesedihan karena bercerai atau ditinggal mati pasangan, maka yang paling menderita adalah anak. Anak tidak hanya kehilangan sosok ayah , tapi juga sosok ibu.

Menurut Jeanette dalam kondisi mental ibu yang labil, ia tentu tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tak bisa memperhatikan lingkungannya, termasuk anak yang masih memerlukan perhatiannya dan cenderung untuk memperhatikan dirinya sendiri. Menurut Gelfand perselisihan dan stres perkawinan dapat mendahului, mempercepat, atau terjadi bersamaan dengan depresi perempuan. Di dalam keadaan seperti itu, perselisihan dan stres perkawinan dapat menjadi bencana perkawinan


(17)

5

yang merupakan faktor kunci yang menyumbang bagi masalah-masalah penyesuaian diri anak-anak akan adanya perceraian (Santrock,2002). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Downey tentang anak-anak yang orang tuanya mengalami depresi secara jelas mendokumentasikan bahwa depresi orang tua di kaitkan dengan masalah penyesuaian dan kelainan, khususnya depresi pada anak-anak mereka ( Santrock, 2002).

Untuk mampu mengasuh anak dengan baik dan benar pasca perceraian maupun kematian pasangan , orang tua tunggal wanita harus memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Sehingga orang tua tunggal wanita mampu dan siap untuk menghadapi konflik-konflik yang menyertai perceraian atau kematian pasangan.

Sehingga dari keadaan bercerai maupun kematian pasangan hidup tersebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi kondisi psychological well being pada ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal wanita dimana salah satu terbentuknya

psychological well being adalah pengalaman hidup seseorang. Seperti yang

disebutkan oleh Ryff (1989) bahwa pengalaman hidup seorang dapat mempengaruhi PWB dalam dimensi-dimensi tertentu, apalagi pengalaman tersebut adalah pengalaman yang sulit dilupakan.

Namun tidak semua wanita sebagai orang tua tunggal mengalami dampak negatif seperti yang disebutkan diatas. Perubahan kondisi psikologis pada wanita sebagai orang tua tunggal pasca perceraian atau kematian pasangan antara yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Sebagian orang tua tunggal wanita ada yang memilih untuk menikah lagi dengan alasan untuk mengatasi masalah-masalah seperti yang dijelaskan diatas, namun sebagian juga ada yang memilih untuk tetap menjadi orang tua tunggal. Salah satu hal yang mendorong untuk tetap menjanda adalah masa depan keluarga pasca bercerai atau kematian pasangannya. Ia memilih berkonsentrasi dan memperhatikan secara penuh perkembangan anak-anaknya sebab mereka masih membutuhkan bimbingan, pengarahan, dan keteladanan hidup yang bijaksana dari orang tua dalam hal ini ibu. Tindakan ini akan mendorong anak-anak menempuh masa depan yang lebih baik, mereka tidak putus asa dalam menghadapi keadaan keluarga. Bagi orangtua tunggal yang memiliki kemampuan untuk beradaptasi secara fleksibel dan pandai mengatasi masalah terhadap sumber-sumber potensi stres seperti


(18)

6

peristiwa-peristiwa negatif seperti perceraian dan kematian pasangan yang tidak diinginkan,dapat menjadi batu loncatan untuk pertumbuhan yang positif (Papalia dkk,2009). Dengan bersikap positif terhadap dirinya sendiri, single mother mampu menghadapi tantangan menjadi orang tua tunggal dan mampu untuk mewujudkan kebahagiaan baik untuk dirinya secara pribadi maupun keluarganya. Hal ini menandakan psychological well being yangtinggi.

Carol Ryff berpendapat (dalam Papalia,2009) bahwa orang-orang yang sejahtera secara psikologis adalah orang-orang yang memiliki sikap positif terhadap diri mereka dan orang lain. Mereka memiliki keputusan sendiri dan mengatur sendiri perilaku mereka sendiri, dan mereka memilih dan membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Mereka memiliki banyak tujuan yang membuat hidup mereka bermakna, dan mereka berjuang untuk menjelajahi dan mengembangkan diri mereka sendiri.

Dari uraian di atas permasalahan yang ingin dikaji secara lebih lanjut dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran psychological well being pada orang tua tunggal wanita yang mengalami perceraian atau kematian pasangan.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Gambaran

Psychological Well-Being padaibu yang berperan sebagai orang tua tunggal ? ”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran psychological well-being pada ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal.

D. Manfaat Penelitian 1.Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan perluasan teori di bidang psikologi sosial , mengenai gambaran psychological well-being pada ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal. Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan di bidang psikologi sosial sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.


(19)

7

2.Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada

a. Ibu khususnya yang berperan sebagai orang tua tunggal agar mengetahui gambaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi PWB maupun perilaku sehingga mereka dapat lebih sejahtera secara psikologis.

b. Masyarakat umum, tentang manfaat mengetahui pentingnya PWB untuk mencapai kesejahteraan psikologis sehingga dapat memberikan dukungan emosional maupun sosial terhadap ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal yang ada dilingkungan sekitar.

c. Praktisi Psikologi, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan masukan kepada para praktisi psikologi khususnya dalam menghadapi kasus-kasus yang berkaitan dengan psychological well being pada ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal.


(1)

kebingungan dan instabilitas emosional. Hal ini yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk secara sensitif merespon kebutuhan-kebutuhan anak.

Selain perceraian penyebab seseorang menjadi orang tua tunggal dikarenakan kematian pasangan hidupnya. Zisook (dalam santrock, 2002) menyebutkan bahwa peristiwa kematian pasangan hidup merupakan peristiwa yang dapat mengganggu kehidupan emosional, mengubah hubungan individu dengan lingkungan sosialnya dan dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan baru dalam kehidupan setelah ditinggal pasangan. Ketika pasangan meninggal, pasangan yang ditinggalkan tidak hanya kehilangan dukungan emosional suami, namun harus menemukan cara untuk memenuhi semua tugas dan tanggung jawab dalam keluarga. Hal ini dikarenakan orang tua tunggal memiliki peran ganda yaitu sebagai ibu sekaligus ayah dalam mengasuh anaknya.

Tugas pengasuhan yang seharusnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak, karena suatu sebab, misalnya kematian salah satu orang tua, perceraian atau perpisahan, terpaksa tugas pengasuhan ini hanya dapat dijalankan oleh satu orang tua saja. Situasi seperti ini memunculkan apa yang oleh Sager dinamakan sebagai orang tua tunggal (single parent). Karena kematian suami atau perceraian itu, ibu memiliki tanggung jawab yang lebih terhadap kehidupan keluarga. Oleh karena itu ia sebagai single parent harus menjalankan semua tugas yang dulu ia lakukan bersama dengan suaminya, seperti mengurus rumah tangga dan memenuhi kebutuhan keluarga. Keadaan seperti ini menyebabkan orangtua tunggal wanita dikenai banyak tuntutan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal seperti ini yang dinyatakan oleh Perlmutter dan Hall (dalam Pranandari, 2008) bahwa menjadi orang tua tunggal berarti mengalami perubahan dimana perubahan ini dapat menimbulkan masalah, sebab seseorang yang dulunya hanya berperan hanya sebagai ibu atau ayah saja, saat ini harus berperan ganda. Melakukan berbagai tugas yang semula dilakukan bersama dengan pasangan akan membuat orangtua tunggal wanita melaksanakan tugas ganda.

Sebagai suatu tahapan kehidupan baru yang “ tidak lazim”, orangtua tunggal wanita tentunya akan menghadapi banyak persoalan baik dari segi ekonomi, sosial,dan psikologis. Hal ini seperti yang dinyatakan Mahmudah (dalam Pranandari, 2008) bahwa dari segi sosial persoalan yang muncul biasanya berkaitan dengan


(2)

anggapan umum yang masih menganggap negatif kehidupan orangtua tunggal wanita. Beratnya tekanan sosial (social stressor) yang dirasakan individu yang bercerai atau di tinggal mati pasangannya akan membawa dampak yang tidak baik bagi ketenangan batin, pikiran, perasaan ataupun perilakunya dalam menjalani kehidupannya.

Dari segi ekonomi persoalan yang muncul biasanya berkaitan dengan bagaimana menopang kehidupan ekonomi keluarga, karena kebanyakan wanita indonesia masih menggantungkan kehidupan ekonominya pada suami.

Dari segi psikologis, persoalan yang muncul biasanya berkaitan dengan bagaimana menciptakan figur pengganti dari pasangannya. Dalam satu penelitian Hetherington, 6 dari 48 pasangan yang bercerai terus melakukan hubungan seksual selama 2 tahun pertama setelah berpisah. Tata dan pola interaksi sosial sebelumnya sulit untuk dihilangkan. Meskipun perceraian adalah kejadian yang menandai hubungan antar pasangan, seringkali hal itu tidak menandakan berakhirnya hubungan (Santrock,2002). Disamping itu Menurut Sears ( dalam Sinaga,2007) kesepian akibat berpisah dengan orang-orang yang dicintai dapat membangun suatu reaksi emosional seperti kesedihan, kekecewaan bahkan rasa geram yang membuat kita marah pada lingkungan dan diri sendiri.

Melihat situasi yang dihadapi orangtua tunggal wanita dalam keluarga, dapat dikatakan bahwa orangtua tunggal wanita berada dalam situasi yang penuh tuntutan. Disamping itu menurut Amato (dalam Papalia, 2009) perceraian juga cenderung mengurangi kesejahteraan jangka panjang, terutama bagi pihak yang tidak memprakarsai perceraian. Alasan-alasan itu dapat mencakup gangguan hubungan orangtua-anak, keributan dengan pasangan, kesulitan ekonomi, kehilangan dukungan emosional, harus pindah dari rumah keluarga, penyesuaian kembali dengan peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial.

Menurut Mel Kranstler (dalam Ihromi,1999) sebagai seorang konsultan masalah perceraian mengamati bahwa perceraian bagi kebanyakan orang sebagai masa transisi yang penuh kesedihan. Masa transisi ini dirasakan sebagai masa-masa sulit bila dikaitkan dengan harapan-harapan masyarakat tentang perceraian.

Banyak hal yang berubah dalam kehidupan wanita pasca perceraian, disamping hal-hal yang sudah dibahas diatas seperti aspek sosial, ekonomi, aspek


(3)

psikologis juga menjadi pembahasan yang sangat menarik bila di fokuskan dari segi kesejahteraan psikologis pelaku perceraian terutama orang tua tunggal wanita.

Banyak individu yang bercerai mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan komunitasnya. Mereka merasa terbuang dan terpisah dari lingkungan hidupnya, merasa canggung dan tidak tahu harus bersikap bagaimana menghadapi lingkungan lama (saudara kandung, ayah-ibu), lingkungan tempat kerja, atau lingkungan masyarakat pada umunya (tetangga). Tidak sedikit pula, mereka merasa kesepian, depresi, stres, kecewa, tidak tentram, tidak bahagia, dan terisolasi dari lingkungan tersebut (Dariyo,2004). Hal ini menandakan psychological well being yang rendah.

Dampak negatif yang dialami anak setelah perceraian atau kematian salah satu orang tua mereka, biasanya bukan hanya karena perceraian atau kematian itu sendiri. Bahayanya justru datang dari konflik yang mengikuti perceraian itu,atau gara-gara terjadinya pengasuhan yang kurang tepat terhadap si anak yang dilakukan oleh orang dewasa dalam hal ini ibu yang mengalami stres akibat perceraian atau kematian suami. Oleh sebab itu, orang tua tunggal wanita harus pulih dahulu sebelum ia memulihkan kondisi psikologis anak-anaknya (Keluarga Single- Parent, 2009).

Dalam hal ini yang harus disiapkan oleh wanita yang menjadi orang tua tunggal khususnya bagi wanita yang menjadi orang tua tunggal akibat perceraian adalah mental. Sebab wanita yang bercerai akan merasa gagal mempertahankan pernikahannya dan merasa dirinya tak berharga. Perasaan seperti ini yang bisa menghambat orang tua tunggal dalam menjalankan fungsinya. Apalagi jika ia tidak segera bangkit dari kesedihan karena bercerai atau ditinggal mati pasangan, maka yang paling menderita adalah anak. Anak tidak hanya kehilangan sosok ayah , tapi juga sosok ibu.

Menurut Jeanette dalam kondisi mental ibu yang labil, ia tentu tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tak bisa memperhatikan lingkungannya, termasuk anak yang masih memerlukan perhatiannya dan cenderung untuk memperhatikan dirinya sendiri. Menurut Gelfand perselisihan dan stres perkawinan dapat mendahului, mempercepat, atau terjadi bersamaan dengan depresi perempuan. Di dalam keadaan seperti itu, perselisihan dan stres perkawinan dapat menjadi bencana perkawinan


(4)

yang merupakan faktor kunci yang menyumbang bagi masalah-masalah penyesuaian diri anak-anak akan adanya perceraian (Santrock,2002). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Downey tentang anak-anak yang orang tuanya mengalami depresi secara jelas mendokumentasikan bahwa depresi orang tua di kaitkan dengan masalah penyesuaian dan kelainan, khususnya depresi pada anak-anak mereka ( Santrock, 2002).

Untuk mampu mengasuh anak dengan baik dan benar pasca perceraian maupun kematian pasangan , orang tua tunggal wanita harus memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Sehingga orang tua tunggal wanita mampu dan siap untuk menghadapi konflik-konflik yang menyertai perceraian atau kematian pasangan.

Sehingga dari keadaan bercerai maupun kematian pasangan hidup tersebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi kondisi psychological well being pada ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal wanita dimana salah satu terbentuknya psychological well being adalah pengalaman hidup seseorang. Seperti yang disebutkan oleh Ryff (1989) bahwa pengalaman hidup seorang dapat mempengaruhi PWB dalam dimensi-dimensi tertentu, apalagi pengalaman tersebut adalah pengalaman yang sulit dilupakan.

Namun tidak semua wanita sebagai orang tua tunggal mengalami dampak negatif seperti yang disebutkan diatas. Perubahan kondisi psikologis pada wanita sebagai orang tua tunggal pasca perceraian atau kematian pasangan antara yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Sebagian orang tua tunggal wanita ada yang memilih untuk menikah lagi dengan alasan untuk mengatasi masalah-masalah seperti yang dijelaskan diatas, namun sebagian juga ada yang memilih untuk tetap menjadi orang tua tunggal. Salah satu hal yang mendorong untuk tetap menjanda adalah masa depan keluarga pasca bercerai atau kematian pasangannya. Ia memilih berkonsentrasi dan memperhatikan secara penuh perkembangan anak-anaknya sebab mereka masih membutuhkan bimbingan, pengarahan, dan keteladanan hidup yang bijaksana dari orang tua dalam hal ini ibu. Tindakan ini akan mendorong anak-anak menempuh masa depan yang lebih baik, mereka tidak putus asa dalam menghadapi keadaan keluarga. Bagi orangtua tunggal yang memiliki kemampuan untuk beradaptasi secara fleksibel dan pandai mengatasi masalah terhadap sumber-sumber potensi stres seperti


(5)

peristiwa-peristiwa negatif seperti perceraian dan kematian pasangan yang tidak diinginkan,dapat menjadi batu loncatan untuk pertumbuhan yang positif (Papalia dkk,2009). Dengan bersikap positif terhadap dirinya sendiri, single mother mampu menghadapi tantangan menjadi orang tua tunggal dan mampu untuk mewujudkan kebahagiaan baik untuk dirinya secara pribadi maupun keluarganya. Hal ini menandakan psychological well being yang tinggi.

Carol Ryff berpendapat (dalam Papalia,2009) bahwa orang-orang yang sejahtera secara psikologis adalah orang-orang yang memiliki sikap positif terhadap diri mereka dan orang lain. Mereka memiliki keputusan sendiri dan mengatur sendiri perilaku mereka sendiri, dan mereka memilih dan membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Mereka memiliki banyak tujuan yang membuat hidup mereka bermakna, dan mereka berjuang untuk menjelajahi dan mengembangkan diri mereka sendiri.

Dari uraian di atas permasalahan yang ingin dikaji secara lebih lanjut dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran psychological well being pada orang tua tunggal wanita yang mengalami perceraian atau kematian pasangan.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Gambaran Psychological Well-Being pada ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal ? ”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran psychological well-being pada ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal.

D. Manfaat Penelitian 1.Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan perluasan teori di bidang psikologi sosial , mengenai gambaran psychological well-being pada ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal. Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan di bidang psikologi sosial sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.


(6)

2.Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada

a. Ibu khususnya yang berperan sebagai orang tua tunggal agar mengetahui gambaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi PWB maupun perilaku sehingga mereka dapat lebih sejahtera secara psikologis.

b. Masyarakat umum, tentang manfaat mengetahui pentingnya PWB untuk mencapai kesejahteraan psikologis sehingga dapat memberikan dukungan emosional maupun sosial terhadap ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal yang ada dilingkungan sekitar.

c. Praktisi Psikologi, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan masukan kepada para praktisi psikologi khususnya dalam menghadapi kasus-kasus yang berkaitan dengan psychological well being pada ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal.