HIDROLISIS PATI UMBI TALAS TARO DI BAWAH PENGARUH ULTRASONIKASI UNTUK MENGHASILKAN GULA REDUKSI SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL

(1)

ABSTRAK

HIDROLISIS PATI UMBI TALAS TARO DI BAWAH PENGARUH ULTRASONIKASI UNTUK MENGHASILKAN GULA REDUKSI

SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL

Oleh

FUNDA ELISYIA

Penenelitian ini dilakukan untuk mempelajari potensi hidrolisis umbi talas taro di bawah pengaruh ultrasonikasi pada frekuensi 40 kHz untuk menghasilkan gula reduksi dengan menitikberatkan pada kajian tentang pengaruh pH, waktu, dan suhu. Kadar gula reduksi yang terdapat dalam hidrolisat sampel, ditentukan dengan metode spektrofotometri UV-Vis. Hasil penenelitian menunjukkan kadar gula reduksi tertinggi untuk sampel umbi primer dicapai dengan hidrolisis pada pH 2, selama 90 menit, pada suhu 80 0C, dengan kadar sebesar 1.969,2 mg/L. Untuk sampel umbi sekunder kadar gula reduksi dihasilkan dari hidrolisis pada pH 2, selama 60 menit, pada suhu 70 0C dengan kadar gula reduksi sebesar 691,8 mg/L. Uji fermentasi menggunakan serbuk kulit kayu raru dan Saccharomyces cerevisiae menunjukkan bahwa kedua agen fermentasi ini mampu mengubah gula reduksi hasil hidrolisis umbi talas taro menjadi bioetanol. Analisis kadar bioetanol dengan metode spektrofotometri UV-Vis menunjukkan bahwa fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae pada sampel umbi primer menghasilkan kadar bioetanol sebesar20,63 % dan pada sampel umbi sekunder sebesar 26,31 %, sedangkan untuk sampel umbi primer yang difermentasi dengan serbuk kulit kayu raru menghasilkan kadar bioetanol sebesar 5 % dan untuk sampel umbi sekunder sebesar 2,87 %.

Kata kuci: Umbi talas taro, ultrasonikasi, hidrolisis, fermentasi, kayu raru Saccharomyces cerevisiae.


(2)

(3)

(4)

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Jaya pada tanggal 4 November 1992 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Abdul Rohim dan Ibu Ernani.

Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SDN 1 Tanjung Jaya pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 2 Bangun Rejo pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Muhammadiyah 1 Metro pada tahun 2010. Penulis diterima di Universitas Lampung, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Kimia pada tahun 2010.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Kimia (HIMAKI) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung sebagai Kader Muda HIMAKI (KAMI) pada periode 2010 – 2011, anggota Bidang Sains dan Penalaran Ilmu Kimia pada periode 2011-2012 dan sekertasris Biro Penerbitan (BP) pada periode 2012-2013. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung sebagai anggota Biro Kesekretariatan pada periode 2010-2011.

Selama menjadi mahasiswa, penulis juga pernah menjadi asisten Praktikum Kimia Dasar untuk mahasiswa Fakultas Pertanian Jurusan Teknik Pertanian dan


(6)

(7)

Segala Puji dan Syukur Kepada Allah SWT Kupersembahkan Karya Kecilku ini

Teruntuk

Bapak dan Ibuku tersayang yang senantiasa memberikan kasih sayang,

perhatian, dukungan, dan motivasi, serta selalu mendoakan keberhasilanku

Seluruh keluarga besarku yang selalu mendoaakan keberhasilanku

Sahabat dan teman-temanku yang selalu berbagi kebahagiaan

Seseorang yang kelak akan mendampingi hidupku


(8)

SANWACANA

Puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hidrolisis Pati Umbi Talas Taro Di Bawah Pengaruh Ultrasonikasi Untuk Menghasilkan Gula Reduksi Sebagai Bahan Baku Bioetanol”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains di Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, arahan, serta bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis menghaturkan terima kasih kepada:

1. Ibu Kamisah D Pandiangan, M.Si. selaku pembimbing utama atas segala bimbingan, bantuan, saran dan nasihat, serta motivasinya yang sangat berarti bagi penulis selama penelitian hingga selesainya skripsi ini.

2. Bapak Prof. Wasinton Simanjuntak, Ph.D. selaku pembimbing kedua atas segala bimbingan, bantuan, saran, serta motivasinya yang sangat berarti bagi penulis selama penelitian hingga selesainya skripsi ini.

3. Bapak Prof.Dr John Hendri, M.S selaku pembahas atas segala arahan, saran dan kritik, serta motivasinya dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Diky Hidayat, M.Sc. selaku pembimbing akademik atas segala bimbingan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.


(9)

6. Bapak Dr. Suripto Dwi Yuwono, M.T. selaku Ketua Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

7. Seluruh Staf Pengajar dan karyawan Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

8. Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Abdul Rohim dan Ibu Ernani, atas segala kasih sayang, doa, motivasi, dukungan, nasihat, serta saran dan kritik yang sagat berharga bagi penulis.

9. Abangku Deddy Hermawan, atas segala doa, dukungan dan semangatnya yang sangat berharga bagi penulis.

10.Kakakku Alan Gusmiadi Amd, atas segala, doa, motivasi, dukungan, nasihat serta saran dan kritik yang sangat berharga bagi penulis.

11.Partner-ku, Leni Astuti, S.Si, atas kerja sama yang sangat baik serta bantuan, dukungan, dan motivasinya selama penelitian.

12.Sahabat-sahabat terbaikku, Leni Astuti, S.Si, Faradhila Syani, Hanif Amrulloh ZA, S.Si, Purniawati, dan M Yususf Tamtomi, Chintia Yolanda, Desi Merianti, atas segala bantuan dan motivasinya.

13.Teman-teman se-angkatan 2010, Adetia Fatmawati, agung supriyanto, Rahmat Kurniawan, Wynda Dwi Anggraini, S.Si, Hapin Afriyani, S.Si, Rina Rachmawati. S., S.Si, Ariyanti, Kristi Arina, Fajria Faiza, Syifa Kusuma Wardani, Lolita Napatilova, Surtini Karlina. S, M. Prasetio Ersa, M. Nurul Fajri, Widya Afriliani .W, S.Si, Sevina Silvi, S.Si, Martha Selvina Gultom, Rini Handayani Rotua. P, Chyntia Gustianda .P, Putri Heriyani, S.Si, Nur


(10)

Anggraini, Maria Anggraini, dan Jini Zulhijah, terimakasih untuk

persaudaraan, cerita dan kenangan yang dibina selama menempuh pendidikan di kampus.

14.Rekan-rekan Laboratorium Kimia Fisik, Mbak Nurjannah, S.Si, Mbak Ruth Meta, S.Si, Mbak Juju, S.Si, Mbak Gege, S.Si, Faradilla Syani, Hanif

Amrulloh ZA, S.Si, dan Leni Astuti, S.Si, Bu Laila S, Bu Rina, serta adik-adik satu bimbingan terima kasih untuk semua kerjasama dan bantuannya. 15.Teman – teman KKN Way Kanan Desa Kedaton, Febriyanti, S.Si, Yunita

Lestari, S.Si, Fatrin, Doko, Jerry, Ucup, Bowo, Angga, S.Si, Aviy, Devi, Reta, Fahmi, Harry, Narto, Adi, Rifky, atas kebersamaannya selama menjalani kegiatan KKN.

16.Imam Mubaraq yang selalu menemani dan memberikan dukungan serta motivasinya yang sangat berharga bagi penulis.

17.Uni Kidas, Mb Liza, Mb Nora, Mas Nomo dan Pak Gani terima kasih atas seluruh bantuan yang diberikan kepada penulis.

18.Seluruh keluarga besar Jurusan Kimia Angkatan 2008 – 2013. 19.Almamater tercinta, Universitas Lampung.

20.Semua pihak yang telah membantu penulis selama kuliah, penelitian, hingga penulisan skripsi ini.

Semoga Tuhan yang Maha Esa membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih banyak


(11)

Bandar Lampung, Agustus 2014 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Tujuan Penelitian ... 4

C.Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Bahan Baku Bioetanol ... 5

1. Pati ... 6

2. Talas taro ... 8

B. Pengolahan Bioetanol ... 11

1. Hidrolisis pati ... 11

2. Gula reduksi ... 14

3. Analisis gula reduksi ... 16

4. Fermentasi ... 19

C. Ultrasonikasi ... 24

D. Analisis Bioetanol ... 25

III. METODOLOGI PENELITIAN A.Waktu dan Tempat Penelitian ... 31

B.Alat dan Bahan ... 31

C.Prosedur Penelitian ... 32

1. Preparasi tepung umbi talas ... 32

2. Penentuan kadar pati ... 32

3. Hidrolisis Umbi Talas ... 33

3.1. Pennetuan pH optimum ………... 33

3.2. Penentuan Waktu optimum ... 34

3.3. Penentuan Suhu optimum ... 34

3.4. Hidrolisis pada kondisi optimum ... 34


(13)

4.1. Analisis kualitatif ... 35

4.2. Analisis kuantitatif ... 35

4.2.1. Pembuatan reagen DNS ... 35

4.2.2.Pembuatan kurva standar ... 35

4.2.3.Penentuan Ggula reduksi dalam sampel... 36

5. Fermentasi Alkohol ... 36

5.1.Fermentasi alkohol dengan Saccharomyces cerevisiae ... 36

4.2.Fermentasi alkohol dengan Serbuk Kulit Kayu Raru ... 37

6. Analisis Kadar Bioetanol ... 38

6.1. Analisis kadar bioetanol dengan kromatografi gas ... 38

6.2. Analisis kadar bioetanol oksidasi K2Cr2O7 ... 38

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Preparasi Tepung Umbi Talas ... 40

B. Penentuan Kadar Pati ... 41

C. Hidrolisis Talas Taro ... 43

1. Penentuan pH optimum ... 45

2. Penentuan Waktu optimum ... 48

3. Penentuan Suhu optimum ... 51

4. Hidrolisis pada kondisi optimum ... 54

D. Fermentasi Alkohol ... 55

1. Persiapan serbuk kulit kayu raru ... 55

2. Fermentasi hidrolisat umbi talas ... 56

3. Analisis bioetanol dengan spektroskopi UV-Vis ... 56

4. Analisis bioetanol dengan kromatografi gas ... 58

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 62

B. Saran ... 63 DAFTAR PUSTAKA


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktur pati (a) Amilosa (b) Amilopektin ... 7

2. Tanaman talas taro ... 10

3. Umbi talas aro ... 11

4. Mekanisme reaksi gula reduksi dan Fehling. ... 16

5. Reaksi antara DNS dengan glukosa ... 17

6. Skema fermentasi glukosa menjadi alkohol ... 23

7. Skema alat kromatogram gas ... 28

8. Gambar umbi talas taro utuh ... 40

9. Contoh sampel umbi talas primer (a), contoh umbi talas sekunder ... 41

10. Sampel umbi primer (a), sampel umbi sekunder (b) yang telah ditambahkan iodium dan sampel umbi primer (c), sampel umbi sekunder (d) yang telah disaring ... 42

11. Kurva standar untuk penentuan kadar pati sampel ... 42

12. Contoh hasil analisis kualitatif untuk kontrol negatif (a), kontrol positif (b), sampel umbi primer sebelum dihidrolisis (c), serta sesudah dihidrolisis pH 2 selama 90 menit dan suhu 50 0C (e) …... 43

13. Hasil scanning panjang gelombang komples DNS-glukosa ……… 44


(16)

15. Hasil analisis kualitatif umbi primer untuk kontrol (a), dan umbi primer yang dihirolisis pada pH yang berbeda,

yakni pH = 2 (a), pH = 3 (b), pH = 4 (c), dan pH = 5 (d) ………. 46 16. Hasil analisis kualitatif umbi sekunder untuk kontrol (a),

dan umbi sekunder yang dihidrolisis pada pH yang berbeda,

yakni pH = 2 (a), pH = 3 (b), pH = 4 (c), dan pH = 5 (d) ………... 46 17. Hasil analisis kuantitatif pengaruh pH hidrolisis terhadap kadar

gula reduksi sampel umbi primer (a), dan umbi sekunder (b) ………….. 47 18. Hasil analisis kualitatif untuk sampel umbi primer, kontrol (a)

dan umbi primer yang dihidrolisis pada waktu berbeda, yakni

30 menit (b), 60 menit (c), 90 menit (d), dan 120 menit (e) …………... 49 19. Hasil analisis kualitatif untuk sampel umbi sekunder, kontrol (a)

dan umbi sekunder yang dihidrolisis pada waktu berbeda, yakni

30 menit (b), 60 menit (c), 90 menit (d), dan 120 menit (e) …………... 49 20. Hasil analisis kuantitatif pengaruh waktu hidrolisis terhadap

kadar gula reduksi umbi primer (a), dan umbi sekunder ………... 50 21. Hasil analisis kualitatif untuk sampel umbi primer, kontrol (a),

dan umbi primer yang dihidrolisis pada suhu berbeda, yakni

50 0C (b), 60 0C (c), 70 0C (d), dan 80 0C (e) ……….... 52 22. Hasil analisis kualitatif untuk sampel umbi sekunder, kontrol (a),

dan umbi sekunder yang dihidrolisis pada suhu berbeda, yakni

50 0C (b), 60 0C (c), 70 0C (d), dan 80 0C (e) ……… 52 23. Pengaruh suhu hidrolisis umbi primer (a), dan umbi sekunder (b) …... 53 24. Hasil analisis kualitatif umbi primer kondisi optimum (a)

dan umbi sekunder kondisi optimum (b) ………... 55 25. Contoh kayu raru (a) dan serbuk kulit kayu raru (b) ……… 56 26. Kurva standar untuk menentukan kadar etanol sampel ………... 57 27. Hasil oksidasi fermentasi hidrolisat (a) umbi primer, (b) umbi

sekunder dengan Saccaromyces cereviciae dan (c) umbi primer,

(d) umbi sekunder dengan serbuk kulit kayu raru ………... 58 28. Kromatogram standar etanol ………... 59

29. Kromatogram hasil fermentasi dengan Saccharomyces serevisiae (a) dan serbuk kulit kayu raru (b) ………. 60


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan energi secara global maupun nasional meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan dipacu oleh pertumbuhan ekonomi secara global dan pengaruh perkembangan teknologi (Zen, 1988). Secara umum kebutuhan energi di dunia sampai saat ini masih bergantung pada sumber daya fosil, terutama minyak dan gas bumi, serta batubara. Bahan bakar fosil seperi minyak bumi saat ini harganya semakin meningkat, selain kurang ramah lingkungan juga termasuk sumber daya yang tidak dapat diperbaharui.

Saat ini telah berhasil dikembangkan berbagai jenis energi terbarukan untuk mengantisipasi masalah krisis energi, terutama biodiesel (Bosbaz, 2005; Seftaria, 2011), biogas (Usman et al., 2011; Elaiyaraju and Partha, 2012), dan bioetanol (Trisnawati, 2008; Nicolić et al., 2010). Bioetanol merupakan salah satu sumber energi alternatif yang mendapat perhatian sangat besar karena memiliki banyak keuntungan, diantaranya dapat diperbarui, emisi karbondioksida yang lebih sedikit sehingga lebih ramah lingkungan. Selain itu, bioetanol dapat digunakan langsung dan sebagai rekatan untuk pembuatan biodiesel. Keuntungan lain dari bioetanol adalah perkembangan teknologi yang memungkinkan bioetanol dihasilkan dari berbagai bahan baku yang dapat diperbaharui.


(18)

Secara garis besar, bioetanol dapat dibuat dari tiga kelompok bahan baku. Kelompok pertama adalah bahan baku yang mengandung sukrosa, contohnya adalah nira aren (Haryjanto, 2010), nira sorgum (Gusmailina & Komarayati, 2012), dan nira kelapa (Sari et al., 2012). Kelompok kedua adalah bahan baku yang mengandung pati, misalnya ubi kayu (Collares et al., 2012), jagung (Nicolić et al., 2010), gandum (Perez et al., 2007), dan sorgum (Herrera et al., 2003). Kelompok ketiga adalah bahan baku yang mengandung serat selulosa/

lignoselulosa misalnya kulit nanas (Mulyani et al., 2012), jerami padi (Gunawan dan Widjaja, 2012), ampas tebu (Prasetya et al., 2010), dan onggok (Septarini, 2013)

Dari ketiga kelompok bahan baku yang disebutkan di atas, pati merupakan bahan baku yang dewasa ini mendapat perhatian paling banyak, karena sumbernya yang sangat beragam dan pengolahannya yang lebih mudah dibanding bahan baku berserat. Selain pati yang dipaparkan di atas, salah satu bahan baku potensil lain yang dimiliki Indonesai adalah tanaman talas. Tanaman talas memiliki potensi yang tinggi sebagai bahan baku bioetanol karena umbi talas diketahui

mengandung pati sekitar 85,6 % (Alcantra et al., 2013) . Di samping itu, tanaman talas merupakan jenis tanaman yang cepat tumbuh dan dapat dipanen pada usia yang relatif singkat. Berdasarkan pada potensi di atas, dalam penelitin ini digagas untuk mengolah umbi talas taro menjadi bioetanol.

Dalam pengolahan pati menjadi bioetanol, proses yang paling menentukan adalah hidrolisis, karena tahap inilah yang mengubah pati menjadi gula reduksi yang selanjutnya dapat difermentasi menghasilkan bioetanol. Pada saat fermentasi


(19)

biasanya proses pengubahan gula reduksi menjadi bioetanol menggunakan bantuan mikroorganisme seperti bakteri atau jamur. Saccharomyces cerevisiae merupakan jenis jamur yang umum digunakan untuk mengubah gula reduksi menjadi bioetanol, karena rendemen etanol yang dihasilkan tinggi, sangat mudah ditumbuhkan, nutrisi yang dibutuhkan sederhana, laju pertumbuhan cepat, dan stabil. Selain Saccharomyces cerevisiae pada penelitian ini juga digunakan bahan alternatif lain yaitu serbuk kayu raru, karena serbuk kayu raru dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat batak untuk memfermentasi air nira menjadi tuak selain itu juga pada serbuk kayu raru terdapat bakteri endofitik sehingga berpotensi untuk merubah gula reduksi menjadi bietanol.

Berdasarkan pada proses hidrolisis, dalam penelitian ini telah dipelajari hidrolisis tepung umbi talas taro dengan bantuan ultrasonikasi. Pengggunaan ini juga didasarkan pada temuan bahwa ultrasonikasi mampu mengurai molekul besar menjadi molekul yang lebih sederhana, contohnya pada penelitian tentang praperlakuan ultrasonik dari chip kayu untuk mengkonversi selulosa menjadi glukosa untuk produksi bioetanol (Ihsan et al., 2010). Penelitian lain yang mendasari gagasan ini adalah hasil penelitian sebelumnya (Septarini, 2013) yang menunjukkan bahwa hidrolisis onggok di bawah pengaruh ultrasonikasi mampu menghasilkan gula reduksi dalam jumlah yang signifikan.

Secara umum diketahui bahwa proses hidrolisis pati dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yakni pH, waktu, dan suhu (Purba, 2009). Atas dasar ini, penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh ketiga faktor di atas terhadap kadar gula reduksi yang dihasilkan.


(20)

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mempelajari potensi hidrolisis umbi talas taro di bawah pengaruh ultrasonikasi, dengan menitikberatkan pada kajian tentang pengaruh pH, waktu, dan suhu, terhadap kadar gula reduksi yang mampu dihasilkan. 2. Membandingkan potensi umbi talas taro primer dan sekunder.

C. Manfaat Penelitan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk

mengoptimalkan potensi talas taro sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan dan meningkatkan nilai tambah dari pertanian talas.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bahan Baku Bioetanol

Bioetanol adalah etanol yang diproduksi dari bahan baku nabati. Bioetanol merupakan cairan hasil proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat dengan menggunakan bantuan mikroorganisme (Dahlan, dkk., 2009). Bioetanol telah dikenal sejak lama, dan dewasa ini senyawa ini menarik perhatian yang sangat besar karena selain manfaat tradisionalnya, senyawa ini juga merupakan bahan bakar alternatif dan terbarukan. Sebagai bahan bakar, bioetanol dapat digunakan langsung atau dicampur dengan bahan bakar lain, terutama gasoline, dan

campurannya dikenal sebagai gasohol. Selain cara pemanfaatan di atas, bioetanol juga memiliki sejumlah keunggulan dibanding bahan bakar fosil. Bioetanol termasuk bahan bakar ramah lingkungan karena gas CO2 yang dihasilkan dari pembakarannya jauh lebih kecil dibanding CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Dari sisi bahan bakar, bioetanol memiliki kemiripan dengan bensin, sehingga penggunaannya tidak memerlukan modifikasi mesin. Di samping itu, bioetanol mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan bahan bakar fosil berbasis minyak bumi. Bioetanol mudah terbakar dan memiliki kalor pembakaran netto yang besar, yaitu sekitar 2/3 dari kalor pembakaran netto bensin. Pada suhu 25 ºC dan tekanan 1 bar, pembakaran bietanol menghasilkan


(22)

energi sebesar 21,03 MJ/liter sedangkan bensin menghasilkan 30 MJ/liter

(Elander, 1996). Bioetanol murni juga dapat larut sempurna dalam bensin dalam segala perbandingan. Bioetanol juga memiliki keunggulan dari sudut pandang lingkungan, yakni jumlah gas CO2 hasil pembakarannya yang jauh lebih sedikit dibanding dengan bahan bakar fosil, sehingga bahan bakar alternatif ini dikenal juga sebagai bahan bakar ramah lingkungan (Giancoli, 1998). Keuntungan lain dari bioetanol adalah bersifat terbarukan, artinya dapat dihasilkan dari bahan baku atau sumber yang dapat dibudidayakan, misalnya ubi kayu (Collares et al., 2012), jagung (Nicolić et al., 2010), gandum (Perez et al., 2007), dan sorgum (Herrera et al., 2003). Faktor lain yang sangat mendukung produksi bioetanol adalah

perkembangan teknologi yang telah memungkinkan bioetanol dapat diproduksi dari karbohidrat yang bukan merupakan bahan pangan utama. Pada dasarnya bahan baku yang digunakan untuk produksi bioetanol adalah bahan baku yang mengandung pati. Di Indonesia, industri bioetanol berbahan baku pati memiliki potensi yang sangat besar karena didukung oleh ketersediaan bahan baku yang melimpah.

1. Pati

Pati merupakan salah satu jenis polisakarida terpenting dan tersebar luas di alam. Pati disimpan sebagai cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan antara lain di dalam biji buah (padi, jagung, gandum, jemawut, sorghum), di dalam umbi (ubi kayu, ubi jalar, talas, ganyong, kentang) dan pada batang (aren dan sagu). Bentuk pati digunakan untuk menyimpan glukosa dalam proses metabolisme. Berat


(23)

molekul pati bervariasi tergantung pada kelarutan dan sumber patinya (Hart dan Schmetz, 1972).

Berdasarkan struktur kimianya, pati dapat digolongkan menjadi dua jenis, yakni amilosa, dengan ciri utama memiliki rantai lurus, dan amilopektin, dengan ciri utama memiliki struktur bercabang, seperti ditunjukkan dalam Gambar 1. Seperti terlihat dalam Gambar 1, kedua jenis pati memiliki ikatan α-(1,4)-D-glikosidik, namun pada amilopektin terdapat percabangan pada posisi α-(1,6)-D-glikosidik.

(a)

(b) Gambar 1. Struktur pati (a) amilosa (b) amilopektin

Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa. Butiran pati mengandung amilosa berkisar antara 15-30%, sedangkan amilopektin berkisar antara 70-85%. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin akan berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati (Jane dan Chen, 1992). Adanya perbedaan struktur mengakibatkan perbedaan kelarutan pati dalam


(24)

air. Amilosa dapat larut dalam air, sedangkan amilopektin tidak dapat larut dalam air (Aiyer, 2005), sehingga amilosa lebih mudah dihidrolisis daripada

amilopektin.

Salah satu metode yang digunakan untuk menetukan kadar pati adalah dengan metode spektroskopi UV-Vis. Pati tidak larut dalam air dan dalam analisis pati, memberikan warna biru dengan iodium (I3). Reaksi pati dengan iodium (I3) akan terbentuk kompleks pati dan iodium kompleks, semakin tinggi kadar pati, maka kompleks iodium yang yang tersisa semakin menurun. Berdasarkan prinsip tersebut penentuan kadar pati didasarkan pada sisa iodium (I3) yang berlebih menggunakan metode spektroskopi UV-Vis (Ghazali, 2012).

2. Talas Taro

Selain tanaman yang sudah umum digunakan sebagai sumber pati untuk industri bioetanol, di Indonesia sebenarnya terdapat tanaman lain yang sangat berpotensi karena memiliki kandungan pati yang cukup tinggi, yakni talas. Talas merupakan tanaman sekulen yaitu tanaman yang umbinya banyak mengandung air (Rukmana, 1998). Sifat fisik dari tanaman talas adalah talas banyak mengandung asam perusai (asam biru atau HCN), sistem perakaran serabut, liar dan pendek, umbi dapat mencapai 4 kg atau lebih, berbentuk silinder atau bulat, berukuran 30 cm x 15 cm, berwarna coklat, daunnya berbentuk perisai atau hati, lembaran daunnya 20-50 cm panjangnya, dengan tangkai mencapai 1 meter panjangnya, warna pelepah bermacam-macam. talas mengandung banyak senyawa kimia yang


(25)

dihasilkan dari metabolisme sekunder seperti alkaloid, glikosida, saponin, minyak essensial, resin, gula dan asam-asam organik. Keuntungan dari umbi talas adalah kemudahan patinya untuk dicerna. Umbi talas mengandung pati yang mudah dicerna kira-kira sebanyak 18,2%, sukrosa serta gula preduksinya 1,42% dan karbohidrat sebesar 23,7%. Kadar karbohidrat dari talas menunjukkkan potensinya sebagai bahan baku bioetanol. Keuntungan lain adalah talas tidak mengandung selulosa maupun lignin, sehingga secara prinsip akan lebih mudah dihidrolisis menghasilkan gula reduksi.

Berbagai macam tanaman talas mudah ditemukan di Indonesia seperti, talas sutrera, talas taro, talas bogor, talas semir, talas ketan hitam, talas timpul, talas balitung, talas sente dan talas banten. Pada penelitian ini jenis talas yang digunakan sebagai bahan baku bioetano adalah talas taro. Talas taro atau Colocasi esculenta merupakan salah satu jenis talas yang mudah dijumpai dan merupakan salah satu tanaman monokotil dari famili Araceae, dengan data taksonomi sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Class : Monocotyledoneae Ordo : Arecales

Famili : Araceae


(26)

Talas taro seringkali dibudidayakan pada daerah tropis dengan curah hujan cukup (175-250 mm/tahun) serta tanah yang subur di daerah lembab dengan temperatur sekitar 21-270C. Tanaman ini dapat hidup pada dataran rendah sampai ketinggian 2700 m di atas permukaan laut namun tidak tahan terhadap temperatur sangat rendah.

Gambar 2. Tanaman talas taro

Sebagai tanaman pangan, bagian tanaman yang paling banyak dimanfaatkan adalah umbi, meskipun daun dan tangkai daunnya dapat digunakan sebagai sayuran. Umbi tersebut terdiri dari umbi primer dan umbi sekunder. Kedua umbi tersebut berada di bawah permukaan tanah. Hal yang membedakannya adalah umbi primer merupakan umbi induk yang memiliki bentuk silinder dengan panjang 30 cm dan diameter 15 cm, sedangkan umbi sekunder merupakan umbi yang tumbuh di sekeliling umbi primer dengan ukuran yang lebih kecil. Umbi sekunder ini digunakan oleh talas untuk melakukan perkembangbiakannya secara vegetatif (Lingga et al., 1986).


(27)

Gambar 3. Umbi talas taro

B. Pengolahan Bioetanol

1. Hidrolisis Pati

Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia dengan menggunakan air untuk memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Hidrolisis merupakan tahap awal dalam proses pembuatan bioetanol. Hidrolisis pati merupakan proses pemecahan molekul amilum menjadi bagian-bagian penyusunnya yang lebih sederhana seperti dekstrin, isomaltosa, maltosa dan glukosa (Purba, 2009). Proses hidrolisis pati menjadi glukosa dapat menggunakan katalis enzim, asam atau gabungan keduanya. Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dengan hidrolisis secara asam. Hidrolisis secara asam memutus rantai pati secara acak, sedangkan hidrolisis secara enzimatis memutus rantai pati secara spesifik pada percabangan tertentu. Secara garis besar, tahap hidrolisis pati adalah gelatinisasi, liquifikasi dan sakarifikasi. Hidrolisis dibagi menjadi dua macam, yaitu hidrolisis asam dan hidrolisis enzim. Menurut Purba (2009) proses hidrolisis enzimatik dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: jenis enzim, ukuran partikel, suhu, pH, waktu hidrolisis, perbandingan cairan terhadap bahan baku (volume substrat), dan


(28)

pengadukan. Enzim yang dapat digunakan adalah α-amilase, β-amilase, amiloglukosidase, glukosa isomerase, dan isoamilase Enzim yang biasa

digunakan untuk proses pembuatan sirup glukosa secara sinergis adalah enzim α -amylase dan enzim glukoamilase. Enzim α-amilase akan memotong ikatan amilosa dengan cepat pada pati kental yang telah mengalami gelatinisasi.

Kemudian enzim glukoamilase akan menguraikan pati secara sempurna menjadi glukosa pada tahap sakarifikasi.

Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa hidrolisis asam juga sangat bergantung pada suhu, pH, waktu, dan pengadukan. Anozie and Aderibigbe (2011)

melakukan penelitian tentang hidrolisis pati dari tepung singkong menggunakan katalis asam klorida encer. Dalam penelitian tersebut dilakukan percobaan pada suhu yang berbeda, yakni 60, 70, dan 80 0C, selama 20, 40, dan 60 menit, dengan dibantu agitasi menggunakan pengaduk magnetik dengan kecepatan 200, 250, dan 300 rpm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum hidrolisis adalah suhu 80 0C selama 60 menit dengan kecepatan 200 rpm, dan menghasilkan kadar gula reduksi sebesar 46,12 g/L atau setara dengan konversi pati sebesar 30,75%. Penelitian lain yang juga mempelajari kondisi optimum hidrolisis pati dilakukan oleh Barnali et al. (2008). Dalam penelitian tersebut, pati dari tepung gandum dihidrolisis menggunakan asam klorida encer selama 10 menit, dengan variasi suhu 75, 85, dan 95 0C, dan variasi pH 2; 3; 4; dan 5. Kondisi optimum dicapai pada suhu 95 0C dan pH 3, dengan konversi sebesar 42%. Selain dengan asam klorida, beberapa penelitian juga telah dilakukan menggunakan asam sulfat. Srinorakutara et al. (2006) melakukan percobaan hidrolisis pati dari limbah ubi kayu (onggok) menggunakan asam sulfat dengan konsentrasi 0,2–5,0 M pada


(29)

suhu 60, 100, 110, dan 120 0C selama 30 menit. Kondisi optimum dicapai pada suhu 120 oC dengan konsentrasi asam sulfat 0,6 M menghasilkan kadar gula reduksi sebesar 6,1% (w/v). Zamora et al. (2010) juga melakukan percobaan hidrolisis pati dari ubi kayu menggunakan asam sulfat 30% (w/w) pada suhu 98 oC, pH 0,8 selama 4,5 jam, dengan variasi konsentrasi pati sebesar 150, 170, dan 190 g/L, dan kecepatan agitasi 200, 400, dan 600 rpm. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kondisi optimum diperoleh pada konsentrasi pati sebesar 190 g/L dan kecepatan agitasi 600 rpm, dengan konversi pati menjadi gula reduksi sebesar 90,5%.

Beberapa penelitian tentang proses hidrolisis pati menjadi glukosa telah banyak dilakukan. Pada proses hidrolisis pati secara enzimatik (Baskar, 2008; Chamsart et al.,2006; Morales et al., 2008; Wojciechowski et al., 2002), proses hidrolisis pati secara asam (Putri dan Sukandar, 2008; Soeroso et al., 2008; Yoonan dan Kongkiattikajorn, 2004), dan proses hidrolisis asam dan enzimatik (Yetti et al., 2007)

Proses hidrolisis ini akan mengubah pati menjadi glukosa. Dalam prakteknya, hidrolisis pati menjadi gula reduksi baik menggunakan asam ataupun secara enzimatik, berlangsung secara bertahap, seperti disajikan dalam reaksi di bawah ini.

Pati → Dekstrin → Maltosa → Glukosa

Dari kedua metode hidrolisis yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa hidrolisis enzimatik bekerja dengan cukup baik, namun metode ini


(30)

dalam kondisi yang steril, dan biaya yang relatif mahal. Oleh karena itu, hingga dewasa ini metode hidrolisis asam masih lebih banyak diterapkan baik dalam penelitian maupun industri, dibanding dengan hidrolisis enzimatik. Dengan demikian, maka dalam penelitian ini akan digunakan metode hidrolisis asam. Untuk meningkatkan rendemen gula reduksi dan bioetanol, dewasa ini telah banyak dikembangkan metode praperlakuan sebagai perlakuan awal terhadap bahan baku sebelum tahap hidrolisis dilakukan. Metode praperlakuan ini dimaksudkan untuk mengubah karakteristik bahan baku sehingga lebih mudah dihidrolisis. Salah satu metode praperlakuan yang umum digunakan adalah ultrasonikasi.

2. Gula Reduksi

Gula reduksi adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi. Hal ini dikarenakan adanya gugus aldehid atau keton bebas (Lehninger, 1993), seperti ditunjukkan pada Tabel 1.


(31)

Tabel 1 Contoh Gula Reduksi Contoh Gula

Reduksi

Bentuk siklik Bentuk cincin terbuka Glukosa

Mannosa

Galaktosa

Arabinosa

Maltosa

Monosakarida yang mengandung gugus aldehid dapat mereduksi senyawa-senyawa pengoksidasi seperti, ferisianida, hidrogen peroksida dan ion kupro. Pada reaksi ini gula direduksi pada gugus karbonilnya oleh senyawa pengoksidasi. Aldosa mudah teroksidasi menjadi asam aldonat, sedangkan ketosa hanya dapat bereaksi dalam suasana basa (Fennema, 1996).


(32)

3. Analisis Gula Reduksi

Gula reduksi yang dihasilkan dari proses hidrolisis dianalisis dua cara, yaitu analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis gula reduksi secara kualitatif digunakan untuk mengidentifikasi apakah sampel mengandung gula reduksi atau tidak, sedangkan analisis gula reduksi secara kuantitatif digunakan untuk

menentukan kadar gula reduksi. Adapun metode analisis gula reduksi secara kualitatif yang banyak digunakan adalah uji Benedict, uji Fehling, uji Barfoed, uji Tollens, dan uji Molisch (Mathews, 2000). Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk analisis gula reduksi secara kualitatif adalah uji Fehling. Pada uji Fehling digunakan reagen Fehling yang merupakan oksidator lemah dan terdiri dari Fehling A dan Fehling B. Larutan Fehling A mengandung CuSO4, sedangkan Fehling B mengandung campuran alkali NaOH dan Na-K-tartrat. Gula reduksi akan bereaksi dengan Fehling B membentuk enediol, kemudian enediol ini bereaksi dengan Fehling A membentuk ion Cu2+ dan campuran asam-asam. Selanjutnya ion Cu2+ dalam suasana basa akan mengendap menjadi endapan Cu2O berwarna hijau, kuning-orange, atau merah bergantung dari jenis gula reduksinya. Mekanisme reaksi gula reduksi dan Fehling adalah sebagai berikut.

Gambar 4. Mekanisme reaksi gula reduksi dan Fehling

Analisis gula reduksi secara kuantitatif dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan metode Luff Schoorl (Kowalski et al., 2013), Nelson-Somogyi (Woiciechowski et al., 2002), dan DNS (Lone et al., 2012). Metode DNS


(33)

merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk menentukan kadar gula reduksi. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode DNS. Dalam metode DNS digunakan reagen dinitro salisilat (DNS). Bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk membuat reagen DNS adalah asam

3,5-dinitrosalisilat, NaOH, Na2SO3, Na-K-tartarat, fenol, dan akuades. DNS merupakan senyawa aromatis yang dapat bereaksi dengan gula reduksi

membentuk asam 3-amino-5-nitrosalisilat, suatu senyawa yang mampu menyerap radiasi gelombang elektromagnetik pada panjang gelombang maksimum 550 nm (Kusmiati dan Agustini, 2010). Semakin tinggi kadar gula reduksi yang terdapat dalam sampel, maka akan semakin banyak pula molekul asam 3-amino-5- nitrosalisilat yang terbentuk, sehingga absorbansi sampel akan semakin tinggi. Reaksi antara gula reduksi dengan DNS merupakan reaksi redoks pada gugus aldehid gula dan teroksidasi menjadi gugus karboksil. Sementara itu, DNS sebagai oksidator akan tereduksi membentuk asam 3-amino dan 5- nitrosalisilat. Reaksi ini berlangsung dalam suasana basa dan suhu tinggi sekitar 90-100 0C. Bila terdapat gula reduksi pada sampel, maka larutan DNS yang awalnya

berwarna kuning akan bereaksi dengan gula reduksi sehingga menimbulkan warna jingga kemerahan (Kusmiati dan Agustini, 2010).

Reaksi antara DNS dengan glukosa adalah sebagai berikut.


(34)

Sampel yang telah direaksikan dengan DNS selanjutnya ditentukan kadar gula reduksinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Spektrofotometer UV-Vis adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorbansi suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Alat ini menggunakan dua buah sumber cahaya yang berbeda, yaitu sumber cahaya UV menggunakan lampu Hidrogen atau Deuterium dan sumber cahaya tampak menggunakan lampu Tungsten. Larutan sampel yang akan dianalisis diukur absorbansi sinar ultra violet atau sinar tampaknya.

Konsentrasi larutan sampel yang dianalisis akan sebanding dengan jumlah sinar yang diserap oleh zat yang terdapat dalam larutan tersebut. Prinsip kerja spektrofotometer UV-Vis ini didasarkan pada Hukum Lambert-Beer yang menyatakan hubungan antara absorbansi cahaya dengan konsentrasi zat dalam larutan. Secara sistematik, Hukum Lambert-Beer dapat dinyatakan dengan persamaan berikut.

A = - log T = log = ε . b . c Dimana:

A = absorbansi T = transmitansi

I0 = intensitas cahaya masuk

It = intensitas cahaya yang diteruskan oleh larutan sampel ε = absorbtivitas molar (L mol-1cm-1)

b = ketebalan lapisan larutan sampel (panjang jalur absorbsi) (cm) c = konsentrasi sampel (mol L-1)

Agar dapat menentukan kadar gula reduksi pada sampel, terlebih dahulu dibuat kurva standar menggunakan larutan glukosa. Kurva standar dibuat dengan mengalurkan absorbansi pada panjang gelombang 510 nm dengan konsentrasi larutan standar (Kusmiati dan Agustini, 2010). Dari kurva standar tersebut akan


(35)

didapatkan persamaan garis, yang menunjukkan hubungan antara konsentrasi dan absorbansi dengan persamaan umum:

y = ax + b, dimana y merupakan absorbansi, a merupakan slope, x

konsentrasi sampel, dan b intersep. Dengan mensubstitusi nilai absorbansi sampel ke persamaan tersebut dan kemudian diplotkan terhadap kurva standar, maka dapat diketahui konsentrasi atau kadar gula reduksi pada sampel.

4. Fermentasi

Fermentasi alkohol merupakan proses pengubahan gula reduksi menjadi bioetanol dengan bantuan mikroorganisme seperti bakteri atau jamur. Reaksi pembentukan etanol secara umum dapat dituliskan sebagai berikut.

C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2

Dalam prakteknya, proses fermentasi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang harus dikontrol agar proses berlangsung optimal, antara lain suhu, pH, oksigen, dan substrat (Subekti, 2006). Dalam proses fermentasi, suhu perlu dikontrol karena sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme yang berperan dalam proses fermentasi. Secara umum suhu optimal untuk proses fermentasi adalah 30-40 0C (Subekti, 2006). Di samping suhu, pH juga merupakan variabel pertumbuhan mikroorganisme yang sangat penting, karena mikroorganisme hanya dapat

tumbuh pada kisaran pH tertentu. Untuk Saccharomyces cerevisiae, pertumbuhan yang optimal berlangsung dalam media dengan pH 4,0-5,0.


(36)

1. Pemecahan rantai karbon dari glukosa dan pelepasan paling sedikit 2 pasang atom hidrogen menghasilkan senyawa karbon lainnya yang lebih mudah teroksidasi dibandingakan glukosa.

2. Senyawa yang teroksidasi akan diieduksi oleh hidrogen yang terlepas pada tahap pertama dengan membentuk senyawa yang merupakan hasil

fermentasi.

Bahan pangan yang difermentasi prosesnya dikontrol oleh aktivitas dari mikroorganisme yang digunakan untuk mengubah bahan pangan tersebut, mengawetkan bahan pangan dengan memproduksi asam atau alkohol, atau memproduksi aroma yang dapat meningkatkan kualitas bahan pangan tersebut (Fellows 2000). Seperti halnya makhluk hidup lain, mikroorganisme juga membutuhkan asupan nutrisi yang cukup sebagai sumber energi untuk

pertumbuhannya. Dengan kata lain, mikroorganisme memerlukan substrat yang mengandung nutrisi sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan untuk

pertumbuhannya.

Dalam bidang bioetanol, ada beberapa jenis mikroorganisme yang umum

digunakan, antara lain Zymomonas mobilis (Zhang and Feng, 2010), Aspergillus niger (Ado et al., 2009), dan Saccharomyces cerevisiae (Hong et al., 2013). Dewasa ini, Saccharomyces cerevisiae merupakan jenis mikroorganisme yang paling banyak digunakan untuk fermentasi alkohol karena mampu menghasilkan etanol dengan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan jenis mikroorganisme lainnya. Selain itu, mikroorganisme ini mudah ditumbuhkan, membutuhkan


(37)

nutrisi yang sederhana, laju pertumbuhan yang cepat, dan sangat stabil (Walker, 2011).

Khamir mampu mengkonsumsi berbagai substrat gula, tergantung spesies yang digunakan. Secara umum, mikroorganisme ini dapat tumbuh dan memfermentasi etanol secara efisien pada pH 3,5-6,0 dan suhu 28-35 0C. Walaupun laju awal produksi etanol meningkat pada suhu lebih tinggi, produktifitas keseluruhan menurun karena efek penghambatan etanol meningkat (Ratledge, 1991). Menurut Paturau (1969), fermentasi etanol memakan waktu 30-72 jam. Frazier dan

Westhoff (1978) menambahkan bahwa suhu optimum untuk fermentasi antara 25-30 0C dan kadar gula antara 10-18 persen. Jika konsentrasi gula terlalu tinggi, aktivitas khamir dapat terhambat dan waktu fermentasi menjadi lebih lama serta tidak semua gula dapat difermentasi.

Saccharomyces cerevisiae adalah salah satu spesies khamir yang memiliki daya konversi gula menjadi etanol sangat tinggi. Mikroba ini biasanya dikenal dengan baker’s yeast dan metabolismenya telah dipelajari dengan baik. Produk metabolik utama adalah etanol, CO2 dan air, sedangkan beberapa produk lain dihasilkan dalam jumlah sangat sedikit. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik.

Saccharomyces cerevisiae memerlukan suhu 30 0C dan pH 4,0-4,5 agar dapat tumbuh dengan baik. Selama proses fermentasi akan timbul panas. Bila tidak dilakukan pendinginan suhu akan terus meningkat sehingga proses fermentasi terhambat (Oura, 1983).


(38)

Di samping kondisi lingkungan seperti suhu dan pH, kebutuhan nutrien dan kofaktor juga memegang peranan penting bagi kehidupan khamir. Sejumlah kecil oksigen harus disediakan pada proses fermentasi oleh khamir karena oksigen merupakan komponen yang diperlukan dalam biosintesis beberapa asam lemak tidak jenuh. Biasanya diberikan tekanan oksigen 0,05- 0,10 mmHg. Lebih besar dari nilai tersebut, konversi akan cenderung ke arah pertumbuhan sel (Kosaric et al., 1983). Pada permulaan proses, khamir memerlukan oksigen untuk

pertumbuhannya, oleh karena itu perlu diberikan oksigen. Sesudah terjadi akumulasi CO2 dan reaksi berubah menjadi anaerob, alkohol akan menghalangi fermentasi lebih lanjut setelah tercapai konsentrasi antara 13-15 persen volume dan biasanya maksimum 13 persen volume. Konsentrasi alkohol akan

menghambat fermentasi tergantung pada suhu dan jenis khamir yang digunakan (Prescott dan Dunn, 1981).

Pada kondisi anaerobik, khamir memetabolisme glukosa menjadi etanol sebagian besar melalui jalur Embden Meyerhof-Parnas. Secara ringkas pembentukan etanol dari glukosa sebagai berikut.

C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2 : H = -31,2 kkal (glukosa) (etanol) (karbondioksida)

Setiap mol glukosa terfermentasi menghasilkan dua mol etanol, CO2 dan ATP. Oleh karena itu, secara teoritis setiap g glukosa memberikan 0,51 g etanol. Pada kenyataannya etanol biasanya tidak melebihi 90-95 persen dari hasil teoritis. Hal ini dikarenakan sebagian nutrisi digunakan untuk sintesa biomassa dan

memelihara reaksi. Reaksi samping juga dapat terjadi, yaitu terbentuknya gliserol dan suksinat yang dapat mengkonsumsi 4-5 persen substrat (Oura, 1983).


(39)

Keterangan : ATP = Adenin trifosfat ADP = Adenin difosfat

NAD = Nikotinamida adenin dinukleotida

NADP = Nikotinamida adenin dinukleotida fosfat NADH = Nikotinamida adenin dinukleotida tereduksi

Gambar 6. Skema fermentasi glukosa menjadi alkohol (Embden Meyerhof- Parnas Pathway) (Paturau, 1969).

Selain dengan menggunakan Saccharomyces cerevisiae, dapat juga digunakan kulit kayu raru untuk fermentasi alkohol. Tanaman ini dipilih didasarkan pada pemanfaatannya yaitu untuk memfermentasi air nira menjadi tuak atau minuman beralkohol. Tuak dibuat dengan cara memasukkan serbuk kulit kayu raru ke dalam nira aren dan dibiarkan selama beberapa jam untuk proses fermentasi (Wibowo dan Nauli, 2010). Berdasarkan penelitian Pasaribu (2009), diketahui


(40)

ada empat jenis kulit kayu raru yang berasal dari Sumatera Utara dan Riau, yaitu Cotylelobium melanoxylon Pierre, Cotylelobium lanceolatum Craib, Shorea balanocarpoides Symington, dan Vatica perakensis King. Dari keempat jenis kayu raru tersebut, yang paling umum dimanfaatkan sebagai tuak adalah jenis Cotylelobium melanoxylon Pierre.

C. Ultrasonikasi

Ultrasonikasi adalah metode yang menggunakan gelombang ultrasonik yaitu gelombang akustik dengan frekuensi lebih besar dari 20 kHz. Ultrasonik bersifat non-destructive dan non-invasive, sehingga dapat dengan mudah diadaptasikan ke berbagai aplikasi, terutama dalam proses biologi dan kimia (McClements, 1995). Berdasarkan rentang frekuensinya, ultrasonikasi dibagi menjadi tiga, yaitu power ultrasonikasi (16–100 kHz), ultrasonikasi frekuensi tinggi (100 kHz–1 mHz), dan ultrasonikasi diagnostik (1–10 MHz) (Patist and Bates, 2008).

Gelombang ultrasonik lebih tinggi dibandingkan panjang gelombang molekul-molekul sehingga dapat terjadi interaksi di dalam medium cairan. Intensitas gelombang ultrasonik yang menjalar di dalam medium cair akan menurun karena adanya penyerapan energi terhadap medium dan menimbulkan adanya perbedaan tekanan sehingga dapat menimbulkan gelembung kecil dalam cairan. Ketika gelembung mencapai volume yang maksimal dan tidak mampu menyerap energi lagi, maka akan terjadi peristiwa kavitasi. Kavitasi adalah peristiwa

pembentukan, pertumbuhan, dan meledaknya gelembung di dalam cairan yang terjadi pada rentang frekuensi antara 20 kHz–10 MHz, dan melibatkan sejumlah


(41)

energi yang sangat besar. Peristiwa meledaknya gelembung menghasilkan efek panas yang menyebar secara konveksi dalam medium akibat kenaikan temperatur yang sangat tinggi (5.000 K pada tekanan 1.000 atm dengan laju pemanasan dan pendinginan 1.010 K/s). Pada kondisi tertentu, tekanan yang dihasilkan pun meningkat dan peristiwa ini terjadi berulang dalam waktu yang sangat singkat (dalam skala nano detik) seiring dengan bertambahnya waktu ultrasonikasi (Camarena and Martinez, 2006).

Beberapa keunggulan dari metode ultrasonikasi adalah tidak membutuhkan penambahan bahan kimia lainnya, prosesnya cepat, mudah, dan murah, serta tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan pada struktur kimia, partikel, dan senyawa-senyawa bahan yang digunakan (Lida, 2002). Penggunaan ultrasonikasi sebagai metode praperlakuan hidrolisis telah banyak dipelajari dan menghasilkan kesimpulan yang sama bahwa perlakuan ultrasonikasi dapat meningkatkan rendemen gula reduksi. Pada penelitian ini ultrasonikasi tidak dilakukan sebagai metode praperlakuan, tetapi dimanfaatkan untuk menghidrolisis umbi talas taro secara langsung. Artinya, proses hidrolisis dilakukan di bawah pengaruh ultrasonikasi dengan harapan metode ini mampu meningkatkan rendemen gula reduksi secara signifikan.

D. Analisis Bioetanol

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk analisis bioetanol adalah kromatografi gas. Kromatografi gas adalah teknik kromatografi yang dapat digunakan untuk memisahkan senyawa organik yang mudah menguap. Metode


(42)

ini umum digunakan karena prosesnya mudah, cepat, sensitivitas tinggi, dan mampu memisahkan komponen-komponen dengan efisiensi yang tinggi, bahkan komponen dengan titik didih yang berdekatan dapat dipisahkan.

Prinsip dasar kromatografi yaitu didasarkan pada pemisahan senyawa berdasar fasa diam dan fasa bergerak. Suatu komponen dalam satu campuran dibawa melewati fasa diamnya olehaliran fasa bergerak, baik itu gas maupun cairan, dimana pemisahan terjadi didasarkan pada perbedaan laju perpindahan komponen sampel (Skoog,dkk.,1998).

Secara garis besar, perangkat kromatografi gas terdiri dari beberapa komponen dengan fungsi yang berbeda. Untuk membawa sampel dari pangkalan injeksi melalui kolom menuju detektor diperlukan suatu gas pembawa. Gas pembawa harus bersifat inert, memiliki kemurnian yang tinggi, dan cocok dengan detektor yang digunakan. Gas pembawa yang biasanya digunakan adalah hidrogen, nitrogen, helium, dan argon. Gas pembawa ditempatkan dalam sebuah silinder yang bertekanan tinggi, umumnya 150 atm.

Komponen kromatografi gas yang berfungsi untuk memasukkan sampel adalah injektor. Injektor juga berfungsi untuk menguapkan sampel dan mencampurkan uap sampel dengan gas pembawa. Injektor dilengkapi dengan blok pemanas (heater block) yang digunakan untuk mengatur suhu injektor. Setelah sampel diinjeksikan, sampel tersebut dialirkan oleh gas pembawa menuju kolom. Kolom berfungsi sebagai fase diam dan merupakan tempat terjadinya proses pemisahan komponen-komponen dalam campuran berdasarkan perbedaan interaksi


(43)

yaitu kolom kemas (packing column), kolom kapiler (capillary column); dan kolom preparatif (preparative column). Komponen-komponen yang

meninggalkan kolom selanjutnya dideteksi menggunakan detektor. Ada beberapa jenis detektor yang sering digunakan dalam kromatografi gas, antara lain Flame Ionization Detector (FID), Thermal Conductivity Detector (TCD), Flame Photometric Detector (FPD), Flame Photometric Detector (FPD), dan Mass Spectrometer (MS).

Flame Ionization Detector (FID), yaitu detektor yang digunakan untuk mengukur komponen-komponen sampel yang memiliki gugus alkil. Di dalam FID

komponen-komponen sampel akan terionisasi, dan ion-ion yang dihasilkan akan dikumpulkan oleh ion pengumpul, kemudian arus yang dihasilkan akan dikonversi menjadi satuan tegangan. Semakin tinggi konsentrasi komponen, semakin banyak pula ion yang dihasilkan sehingga responnya juga akan semakin besar.

Thermal Conductivity Detector (TCD), yaitu detektor yang bekerja dengan prinsip mengukur daya hantar panas dari masing-masing komponen. TCD merupakan detektor yang paling umum digunakan karena semua komponen memiliki daya hantar panas.

Flame Photometric Detector (FPD), yaitu detektor khusus untuk mendeteksi senyawa yang mengandung sulfur, posfor, dan organo timah. Prinsip kerja jenis detektor ini adalah energi yang diemisikan dari pembakaran senyawa komponen akan dilewatkan pada filter tertentu, kemudian dideteksi oleh photomultiflier.


(44)

Flame Thermionic Detector (FTD), yaitu detektor khusus untuk mendeteksi senyawa yang mengandung nitrogen atau organo-posfor. Prinsipnya adalah hasil pembakaran senyawa komponen akan direaksikan dengan garam Rubidium dan respon listrik yang dihasilkan akan dikonversi dalam satuan tegangan.

Mass Spectrometer (MS), jenis detektor yang prinsip kerjanya berdasarkan pemecahan komponen-komponen sampel menjadi ion-ion fragmen, lalu ion-ion fragmen tersebut dilewatkan pada Mass Analyzer untuk dipisahkan berdasarkan perbedaan massa/muatan. Selanjutnya diteruskan ke ion detektor untuk

mendeteksi jumlah ion yang dihasilkan.

Hasil deteksi akan dicatat oleh recorder sebagai kromatogram yang berupa puncak (peak). Secara sederhana, komponen-komponen kromatografi gas di atas dapat digambarkan dalam skema alat kromatografi gas, seperti terlihat pada Gambar 7 berikut ini.

Gambar 7. Skema alat kromatografi gas Injektor

Pengontrol gas

Tabung gas pembawa

Kolom

Detektor Rekorder


(45)

Dewasa ini telah banyak penelitian yang menggunakan kromatografi gas untuk menentukan kadar etanol hasil fermentasi. Najafpour et al. (2004) melakukan penelitian menggunakan kromatografi gas untuk menentukan kadar etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi glukosa menggunakan Saccharomyces

cerevisiae. Dalam penelitian tersebut, gas pembawa yang digunakan adalah nitrogen, detektor yang digunakan adalah FID dan kolom yang digunakan adalah kolom Porapak QS 100/120 mesh. Suhu oven pada kolom diatur sebesar 175 0C dan suhu detektor adalah 185 0C. Standar yang digunakan adalah isopropanol. Etanol yang diperoleh dari fermentasi gula reduksi sebanyak 150 g/L adalah sebesar 57 g/L atau setara dengan konversi gula reduksi sebesar 38%.

Merujuk pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Najafpour et al. (2004), maka dalam penelitian ini akan digunakan kromatografi gas dengan gas pembawa nitrogen (N), detektor FID, dan kolom Porapak QS 100/120 mesh. Kondisi analisis dalam penelitian ini juga dibuat sama dengan penelitian tersebut.

Penentuan kadar etanol dapat juga dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu dengan penggunaan spektrometer UV-Vis pada λ (panjang gelombang) 414 nm. Pada λ ini merupakan serapan maksimum dari hasil oksidasi etanol dengan menggunakan K2Cr2O7 dalam suasana asam, dengan demikian absorbansi etanol pada λ diatas dapat digunakan untuk analisis kuantitatif dengan memanfaatkan hukum Lambert-Beer (Supriyanto, 1999; Day dan Underwood, 2002).

Prinsip analisis ini, didasarkan pada besarnya absorbansi yang terjadi pada perubahan warna pada K2Cr2O7 dalam suasana asam yang berwarna jingga


(46)

dimanfaatkan dengan bantuan kurva kalibrasi yang dapat dibuat dengan mengukur absorbansi larutan etanol dengan kadar etanol yang berbeda pada λ 414 dengan menggunakan spektrometer UV-Vis, dengan absorbansi ini didapat kurva kalibrasi dan persamaan garis yang menunjukkan hubungan antara absorbansi hasil oksidasi etanol dengan kadar etanol, sehingga dapat digunakan untuk menentukan kadar etanol dalam sampel (Day dan Underwood, 2002). Selain mengguakan mikroorganisme ada proses fermentasi digunakan juga serbuk kayu raru. Serbuk kayu raru ini biasa nya pemanfaatannya secara tradisional oleh masyarakat batak untuk memfermentasi air nira menjadi tuak.


(47)

III METODELOGI PENELITIAN

A.Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2014 bertempat di Laboratorium Kimia Fisik, Laboratorium Biomassa, Universitas Lampung dan Laboratorium Afiliasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.

B.Alat dan Bahan

Alat-alat yang akan digunakan yaitu ultrasonikator Bandelin Sonorex Technic, water batch Precisterm, neraca analitik Wiggen Houser, spektrofotometer UV-VIS Varian Cary 100, autoklaf Kleinfeld-Germany HV-L25, laminar air flow ESCO AVC4A1, Kromatografi gas GC-2010 AF Shimadzu, blender Philips, oven, mortar, sentrifius, indikator pH universal, botol film, dan alat-alat gelas yang umum digunakan di laboratorium. Bahan yang digunakan adalah umbi talas taro, yakni umbi primer dan umbi sekunder, H2SO4 pekat, glukosa, fenol, K2Cr2O7, DNS, NaOH, akuades, larutan Fehling A dan B, NaOH, Na-K tartarat, Na2SO3, Saccharomyces cerevisiae, serbuk kulit kayu raru, nira, buffer phospat pH 5, NaCl 0,85%, KI, dan alumunium foil.


(48)

C.Prosedur Penelitian

1. Preparasi tepung umbi talas

Preparasi tepung umbi talas dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penghalusan dan pengeringan. Penghalusan dilakukan dengan menggunakan mortar.

Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven selama 3 hari dan disimpan dalam wadah kedap udara agar tidak ditumbuhi mikroorganisme yang dapat merusak bubuk talas.

2. Penentuan kadar pati

Kadar pati umbi talas taro yang diteliti ditentukan dengan metode spektrofotometer UV-Vis menggunakan pereaksi iodium, kemudian absorbansi sampel diukur pada panjang gelombang () 348 nm. Penentuan dengan metode spektrofotometer UV-Vis ini didasarkan pada perubahan warna sampel setelah direaksikan dengan iodium yang berwarna biru keunguan yang dapat mengendap dan dapat dipisahkan.

Penentuan kadar pati secara kuantitatif, dibuat kurva standar terlebih dahulu

mengunakan pati murni. Pembuatan kurva standar dilakukan menggunakan larutan pati dengan konsentrasi 0,01;0,1;0,2;0,3; dan 0,4 gram. Absorbansi dari masing- masing larutan standar diukur pada panjang gelombang 348 nm. Kemudian nilai absorbansi tersebut diplot terhadap konsentrasi untuk mendapatkan kurva standar dan persamaan garis yang menunjukkan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi pati.

Untuk menentukan kadar pati dalam sampel, sebanyak 0,2 g sampel dimasukkan kedalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 15 mL akuades dan1,5 mL larutan


(49)

iodium kemudian disaring sehingga diperoleh filtrat. Filtrat sampel lalu dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis untuk mendapatkan absorbansi pada panjang gelombang 348 nm. Kadar gula reduksi dalam sampel dihitung menggunakan persamaan garis yang didapatkan dari kurva standar, yaitu y = a + bx, dimana y adalah absorbansi sampel (nm), x konsentrasi sampel (mg/L), a merupakan intersep, dan b adalah slope. Kadar pati dalam % dapat dihitung berdasarkan rumus berikut:

Kadar pati (%) =

x 100 %

3. Hidrolisis umbi talas taro

Dalam penelitian ini, serangkaian percobaan hidrolisis dilakukan untuk mempelajari pengaruh tiga variabel, yakni pH, suhu, dan waktu, dengan tujuan untuk

mendapatkan nilai optimum dari masing-masing variabel untuk menentukan kondisi optimum hidrolisis yang dilakukan di bawah pengaruh ultrasonikasi. Kondisi optimum ditentukan berdasarkan kadar gula reduksi yang dihasilkan dari masing-masing percobaan. Untuk prosedur ultrasonikasi yaitu, 20 gram tepung umbi talas disuspensikan dalam 500 mL akuades ke dalam gelas beaker, kemudian hidrolisis sampel dilakukan di bawah pengaruh ultrasonikasi dengan frekuensi tetap sebesar 40 kHz pada waktu, pH, dan suhu yang berbeda.

3.1. Penentuan pH optimum

Untuk tujuan ini, serangkaian percobaan hidrolisis dilakukan pada suhu 50 oC selama 30 menit, dengan pH yang berbeda, yakni 2, 3, 4, dan 5. Setelah percobaan, sampel lalu disaring dan kadar gula reduksi yang terkandung dalam filtrat ditentukan


(50)

dengan metode Fehling untuk analisis kualitatif, dan metode DNS untuk analisis kuantitatif. Dari percobaan ini didapatkan pH optimum yang selanjutnya digunakan untuk penentuan suhu dan waktu optimum.

3.2. Penentuan waktu optimum

Untuk menentukan waktu optimum, percobaan hidrolisis dilakukan pada pH

optimum yang didapatkan dari percobaan sebelumnya dan suhu 50 oC, dengan waktu hidrolisis yang berbeda, yakni 30, 60, 90, dan 120 menit, lalu kadar gula reduksi yang dihasilkan dianalisis seperti pada percobaan sebelumnya (percobaan 3.1).

3.3. Penentuan suhu optimum

Untuk menentukan suhu optimum, sampel disiapkan seperti dalam percobaan sebelumnya dan pH sampel diatur menjadi pH optimum, kemudian dihidrolisis selama waktu optimum pada suhu yang berbeda, yakni 50, 60, 70, dan 80 0C. Kadar gula reduksi dari masing-masing perlakuan kemudian ditentukan untuk mendapatkan suhu optimum.

3.4. Hidrolisis pada kondisi optimum

Percobaan ini dilakukan dengan memadukan pH, waktu, dan suhu optimum yang didapatkan sebelumnya. Percobaan ini dimaksudkan untuk melihat apakah ketiga variabel pada nilai optimum masing-masing bekerja secara sinergis untuk

menghasilkan gula reduksi. Percobaan dan analisis gula reduksi akan dilakukan dengan cara yang sama dengan percobaan sebelumnya.


(51)

4. Analisis kadar gula pereduksi

Dalam penelitian ini, gula reduksi dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.

4.1. Analisis kualitatif

Analisis kualitatif dilakukan dengan metode Fehling. Untuk tujuan ini ke dalam sebuah tabung reaksi dimasukkan larutan Fehling A dan Fehling B masing- masing sebanyak 1 mL. Ke dalam tabung kemudian ditambahkan 2 mL sampel dan

dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 10 menit. Adanya gula reduksi ditunjukkan dengan terbentuknya endapan Cu2O berwarna merah bata.

4.2. Analisis kuantitatif

4.2.1. Pembuatan reagen DNS

Sebanyak 1 gram asam 3,5-dinitrosalisilat dilarutkan dalam 20 mL akuades, dimasukkan dalam labu ukur 100 mL, lalu dihomogenkan dan ke dalam labu ukur ditambahkan 1 gram NaOH; 0,2 gram fenol; 0,05 gram Na2SO3, dan 1 mL Na-K tartarat 40%, kemudian ditambahkan akuades sampai batas miniskus dan

dihomogenkan.

4.2.2. Pembuatan kurva standar

Pembuatan kurva standar dilakukan menggunakan larutan glukosa dengan

konsentrasi 200; 400; dan 600 mg/L dari larutan stok 1000 mg/L. Absorbansi dari masing- masing larutan standar diukur pada panjang gelombang 510 nm.


(52)

Kemudian nilai absorbansi tersebut diplot terhadap konsentrasi untuk mendapatkan kurva standar dan persamaan garis yang menunjukkan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi glukosa.

4.2.3. Penentuan gula reduksi dalam sampel

Untuk menentukan kadar gula reduksi dalam sampel, sebanyak 0,5 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 0,5 mL akuades dan 2 mL reagen DNS. Tabung reaksi ditutup dengan alumunium foil dan dipanaskan dalam waterbath selama 10 menit pada suhu 100 oC. Sampel kemudian didinginkan hingga suhu kamar, lalu ditambahkan akuades sebanyak 12 mL dan dihomogenkan. Sampel lalu dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis untuk mendapatkan

absorbansi pada panjang gelombang 510 nm. Kadar gula reduksi dalam sampel dihitung menggunakan persamaan garis yang didapatkan dari kurva standar, yaitu y = a + bx, dimana y adalah absorbansi sampel (nm), x konsentrasi sampel (g/L), a merupakan intersep, dan b adalah slope.

5. Fermentasi alkohol

5.1. Fermentasi alkohol dengan Saccharomyces cerevisiae

Prosedur fermentasi dengan bantuan Saccharomyces cerevisiae ini tahap awal yang dilakukan adalah semua bahan dan alat yang digunakan disterilisasi menggunakan autoklav pada suhu 121 oC dan tekanan 1 atm selama 2 jam, kecuali Saccharomyces cerevisiae dan larutan NaOH, kemudian didinginkan dan disinari dengan sinar uv di dalam laminar air flow hingga suhu ruang. percobaan ini sebanyak 0,1 gram


(53)

Saccharomyces cerevisiae dimasukkan ke dalam 10 mL larutan NaCl 0,85 %, lalu campuran diinkubasi terlebih dahulu selama 1 jam.

Tahap selanjutnya adalah fermentasi gula reduksi menjadi bioetanol. Sebanyak 100 mL substrat hidrolisat dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 mL, lalu pH larutan substrat tersebut diatur menjadi 5 dengan menambahkan NaOH, agar larutan substrat tetap dalam kondisi pH tersebut, maka digunakan buffer fospat pH 5 sebanyak 5 mL. Kemudian ke dalam larutan dimasukkan Saccharomyces cerevisiae.

Mulut Erlenmeyer lalu ditutup dengan sumbat kapas, lalu Erlenmeyer dibungkus dengan aluminium foil supaya sistem menjadi anaerob, kemudian dibiarkan pada suhu ruang selama 72 jam. Selanjutnya kadar bioetanol ditentukan dengan spektroskopi UV-VIS dan kromatogafi gas.

5.2 Fermentasi alkohol dengan serbuk kulit kayu raru

Semua bahan dan alat yang digunakan disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC dan tekanan 1 atm selama 2 jam, kecuali serbuk kulit kayu raru dan larutan NaOH, kemudian didinginkan di dalam laminar air flow hingga suhu ruang. Setelah itu, sebanyak 100 mL hidrolisat dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 mL, lalu ditambahkan nira 5 mL. pH campuran kemudian diatur menjadi 5 , lalu setelah pH tercapai, ke dalam sampel ditambahkan buffer fosfat pH 5 sebanyak 5 mL. Ke dalam campuran kemudian ditambahkan serbuk kulit kayu raru sebanyak 5 gram. Mulut Erlenmeyer lalu ditutup dengan disumbat kapas, lalu erlenmeyer dibungkus dengan aluminium foil supaya sistem menjadi anaerob, kemudian dibiarkan pada


(54)

suhu ruang selama 72 jam. Selanjutnya kadar bioetanol ditentukan dengan spektroskopi UV-Vis dan kromatogafi gas.

6. Analisis kadar bioetanol

Analisis kadar bioetanol dilakukan dengan metode kromatogafi gas dan oksidasi dengan K2Cr2O7.

6.1. Analisis kadar bioetanol dengan kromatogafi gas

Analisis kadar bioetanol dilakukan dengan metode kromatogafi gas merujuk pada penelitian Najafpour et al. (2004). Analisis ini dilakukan untuk memastikan bahwa alkohol yang terdapat dalam hasil fermentasi sampel adalah bioetanol. Sebagai standar, digunakan etanol murni dan bioetanol hasil fermentasi diambil sebanyak 1 µL dinjeksikan kedalam kolom kromatogafi gas. Kromatogram yang didapatkan dibandingkan dengan standar berdasarkan waktu retensi.

6.2 Analisis kadar bioetanol dengan oksidasi K2Cr2O7

Analisis kadar etanol dilakukan dengan membuat kurva standar hasil oksidasi etanol dengan menggunakan K2Cr2O7, berdasarkan pada larutan standar etanol dengan konsentrasi 5, 10, 20, 30, 40, 50, dan 60%. Sebanyak 1 mL masing-masing larutan standar ditambahkan dengan 1 mL larutan K2Cr2O7 dalam suasana asam yang dibuat dengan mencampurkan larutan K2Cr2O70,1 N dengan perbandingan 1:1. Masing-masing campuran dipanaskan selama 10 menit dan diukur absorbansi pada panjang gelombang 414 nm, selanjutnya digunakan kurva standar ini untuk mengukur kadar etanol dari larutan sampel.


(55)

Analisis kadar etanol dalam sampel dilakukan dengan cara mengambil 1 mL sampel dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan mengunakan pipet volum, kemudian ditambahkan 1 mL K2Cr2O7 0,1 N dalam suasana asam warna lautan jingga dan dididihkan selama 10 menit, warna larutan sampel yang mengandung etanol akan berubah menjadi hijau dan berbau aldehida. Hasil oksidasi ini, kemudian diukur absorbansi pada panjang gelombang 414 nm dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis.


(56)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik simpulan sebagai berikut.

1. Talas taro umbi primer yang diteliti mengandung pati dengan kadar sebesar 74 % dan umbi sekunder yang diperoleh sebesar 46 %.

2. Kadar gula reduksi umbi primer yang dihasilkan cenderung lebih besar jika dibandingkan dengan kadar gula reduksi umbi sekunder.

3. Kondisi optimum hidrolisis umbi primer, adalah pada pH 2, waktu 90 menit, dan suhu 80 0C, dengan kadar gula reduksi sebesar 1.969,2 mg/L.

4. Kondisi optimum hidrolisis umbi sekunder, yaitu pada pH 2, waktu 60 menit, dan suhu 70 0C, dengan kadar gula reduksi sebesar 691,8 mg/L.

5. Kadar bioetanol tertinggi adalah 26,31 % untuk sampel umbi sekunder yang difermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae dan 5 % untuk sampel yang difermentasi dengan serbuk kulit kayu raru.


(57)

B. Saran

Hal-hal yang disarankan untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengembangkan proses


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Ado, S. A., Olukotun G.B., Ameh J. B., and Yabaya A. 2009. Bioconversion Of Cassava Starch to Ethanol in A Simultaneous Saccharification and Fermentation Process by Co-Cultures of Aspergillus Niger and Saccharomyces Cerevisiae. Science World Journal, 4(1): 19-22. Aiyer, P.V. 2005. Amylases and Their Applications. African Journal of

Biotechnology, (13), pp.1525-1529.

Anozie, A.N. and Aderibigbe A.F. 2011. Optimization Studies of Cassava Starch Hydrolysis using Response Surface Method. New Clues in Sciences, 1: 37-43.

Barnali, B., Basu R.K., and Ash S.N. 2008. Kinetic Study on Acid Catalytic Hydrolysis of Starch. Journal of Scientific and Industrial Research, 67: 295-298.

Baskar, G., Muthukumaran, C., Renganathan, S., (2008), “Optimization of

Enzymatic Hydrolysis of Manihot Esculenta Root Starch by Immobilize α

-Amylase Using Response Surface Methodology”, International Jurnal of

Natural Sciences and Engineering 1:3: 156-160.

Bozbas, K. 2005. Biodiesel as An Alternative Motor Fuel: Production and Policies in The European Union. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 1-12.

Camarena, F. and Martinez J.A. 2006. Potential of Ultrasound to Evaluate Turgidity and Hydration of The Orange. Journal Food Engineering, 75: 503-507.

Chamsart, S., Sawangwon, C., Tungkao, S., dan Waiprib, Y., (2005), “Enzymatic

Hydrolysis of Cassava Starch in a Stirred Tank Lysis Reactor”,

Proceeding of the 15th Thailand Chemical Engineering and Applied Chemistry, Chonburi, 28-29 Oktober 2005.


(59)

Collares, R.M., Luiza V.S.M, Mariana M.B., Nina P.G.S., Marcio A.M., Dilson A.B., Lisiane M.T. 2012. Optimization of Enzymatic Hydrolysis of Cassava to Obtain Fermentable Sugars. Journal of Zhejiang University-Science B (Biomedicine and Biotechnology), 13(7): 579-586.

Dahlan., Muhammad H., Sari., Dewi D, Ismadyar. 2009. Pemekatan Nira Nipah Menggunakan Membran Selulosa Asetat. Jurnal Teknik Kimia Universitas Sriwijaya : Palembang.

Dinarsari, Astrinia, A., dan Adhitasari, A. 2013. Proses Hidrolisa Pati Talas Sente (Alocasia macrorrhiza) Menjadi Glukosa : Studi Kinetika Reaksi. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, 2(4) : 253-260.

Elaiyaraju, P. and Partha N. 2012. Biogas Production from Co-Digestion of Orange Peel Waste and Jatropha De-oiled Cake in An Anaerobic Batch Reactor. African Journal of Biotechnology, 11(14): 3339-3345

Elander, R.T. and Pustche, 1996. Handbook on Bioethanol, C.E.Ed, Taylor and Francis Publication. 329-350.

Fardiaz, S. 1987. Penuntun praktek mikrobiologi pangan Bogor: Lembaga Surnberdaya 1nformasi.UPT-Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fellows, P J. 2000. Food Processing Tecnology. 2nd edition. Cambridge -

England: CRC Press, New York Wasington DC.

Fennema, 1996. Food Chemistry, In R. Owen (eds.), Carbohydrates. New York: Marcel Dekker. 167- 196.

Frazier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. 4th ed. McGraw-Hill Book. Publishing. Co. Ltd. New York.

Gazali, Arniza. 2012. Spectroscopic Determination of Starch in Paper. Giancoli, C Douglas. 1998. Fisika Jilid I Edisi Kelima. Yunilza anum,

Penerjemah. Jakarta : Erlangga. Terjemahan Dari : Phisic Principle and Aplication, Fifth Edition.

Gunawan, Setyo dan Widjaja, Arief. 2012/ Pengembangan Teknologi Bioetanol Generasi 2 Melalui Pemanfaatan Selulosa dan Hemiselulosa Dalam Jerami Padi. Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Surabaya.

Gusmailina & Komarayati S, 2010. Prospek Bioetanol Sebagai Pengganti Minyak Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Hartati dan Prana. 2003. Ananlisis Kadar Pati dan Serat Kasar Tepung Beberapa Kultivar Talas. Jurnal Natur Indonesia 6 (1):29-33.


(60)

Haryjanto, Lilliek. 2012. Konversi ex-situ Untuk Mendukung Program Pemuliaan Aren (Arenga pinnata MERR) Sebagai Sumber Energi Alternatif. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.

Yogyakarta.

Hartz, H dan R. D. Schmertz. 1972. Organic Chemistry : A Short Course. Michigan University, Michigan.

Herrera A., Tellez-Luis S.J., and Ramirez J.A. 2003. Production of Xylose from Sorghum Straw Using Hydrochloric Acid. Journal Cereal Science, 37: 267-274.

Hong, L.S., Ibrahim D., and Omar C.O. 2013. Effects of Physical Parameters on Second Generation of Bioethanol Production from Oil Palm Frond by Saccharomyces cerevisiae. Biosources, 8(1): 969-980.

Ihsan, Mohammad., Ayuputri, Rettyana., Nugraha, Tutun. 2010. Ultrasonic Pretreatment of Woodchip For The Conversion of Sellulosa to Glucose For Bioethanol Production. Indonesian Journal of Materials Science. ISSN: 1411-1098.

Jane, J. L. Dan J. F. Chen. 1992. Effect of Amylose Molecular Size and Amylopectin Branch Chain Length on Paste Propertiess of Starch. J. Cereal Chem, 69 (1): 60-65.

Kowalski, S., Marcin L., and Wiktor B. 2013. Applicabality of Physico-chemical Parameters of Honey for Identification of The Botanical Origin. Acta Scientiarum Polonorum, 2(1): 51-59.

Kosaric, H., A. Wieczorek, G. P. Cosentino, R. J. Magee dan J. E. Prenosil. 1983. Ethanol Fermentation. Di dalam H. Dellweg (ed). Biotechnology Volume 3. Verlag Chemie, Weinheim.

Lehninger L A. 1993. Dasar-Dasar Biokimia. .Erlangga. Jakarta.

Lida, Y., Tuziuti T., Yasui K., Towata A., and Kozuka T. 2002. Control of Viscosity in Starch and Polysaccharide Solution with Ultrasound After Gelatinization. Journal of National Institute of Advanced Industrial Science and Technology (AIST).Nagoya, Japan.

Lingga P, B. Sarwono, F. Rahardi. P. C. Rahardja. J.J. Anfiastini, Rini W, dan W. H. Apriadji. 1986. Bertanam Umbi-umbian. Penebar Swadaya, Jakarta. Lone, M.A., Wani M.R., Bhat N.A., Sheikh S.A. and Reshi M.A. 2012.

Evaluation of Cellulase Enzyme Secreted by Some Common and Stirring Rhizosphere Fungi of Juglans Regia L. by DNS Method. Journal of Enzyme Research, 3: 18-22.


(61)

Mandel, M. 1985. Application of Cellulases. Biochemical Society Transactions, 12: 414-416.

Mathews, van Holde and Ahern. 2000. Biochemistry, 3rd Edition. San Fransisco. Benjamin/Cummings, 278-310.

McClements, D.J. 1995. Advances in The Application of Ultrasound in Food Analysis and Processing. Trends Food Science Technology, 6: 293-299. Muhaimin. 2011. Studi Kinetika Hidrolisis sabut kelapa Dengan Menggunakan

Katalis H2SO4. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta

Mulyani, S., A.N, Al-Baarri., N, Azizah. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Pada Proses Fermentasi Bioetanol Dari Whey Dengan Substitusi Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 1(2).

Naibaho, Netty, M., Syahrumsyah, H., dan Suprapto, H. 2009. Studi Waktu dan Metode Blanching Terhadap Sifat Fisiko-Kimia Tepung Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium). Jurnal Teknologi Pertanian, 4(2): 69-74. Najafpour, G., Younesi H., and Ku S. 2004. Ethanol Fermentation in An

Immobilized Cell Reactor using Saccharomyces cerevisiae. Bioresource Technology, 92: 251–260.

Nicolić, S., Mojovic L., Rakin M., Dušanka P., and Jelena P. 2010.

Ultrasound-assisted Production of Bioethanol by Simultaneous Saccharification and Fermentation of Corn Meal. Food Chemistry, 122: 216–222.

Oura, E. 1983. Reaction products of yeast fermentations. Di dalam H. Dellweg (ed). Biotechnology Volume III. Academic Press. New York..

Patist, A., and Bates, D. 2008. Ultrasonic Innovations in The Food Industry: From the Laboratory to Commercial Production. Innovative Food Science and Emerging Technologies, 9(2): 147-154.

Paturau, J. M. 1969. By Product of the Cane Sugar Industry: An Introduction to their Industrial Utilization. Elsevier Scientific Publ. Amsterdam.

Perez, J.A., Gonzalez A., and Oliva J.M. 2007. Effect of Process Variables on Liquid Hot Water Pretreatment of Wheat Straw for Bioconversion to Fuel-Ethanol In A Batch Reactor. Journal Chemistry Technology


(62)

Prasetya, Bambang., Suparno, Ono., Sunarti, Titi Candra., Manguwidjaja, Djumali., Hermiati, Euis. 2010. Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu Untuk Produksi Bioetanol. Bogor. Pusat Penelitian Bioteknologi – LIPI. 29 (4).

Prescot, S. G. Dan C. G. Dunn. 1991. Industrial Microbiology. McGraw – Hill Book Co. Ltd, New York.

Purba, Elida, (2009), “Hidrolisis Pati Ubi Kayu (Manihot Esculenta) dan Pati Ubi

Jalar (Impomonea batatas) menjadi Glukosa secara Cold Process dengan

Acid Fungal Amilase dan Glukoamilase”, Universitas Lampung,

Lampung.

Putri, Lily S. E. dan Sukandar, D., (2008), “Konversi Pati Gayong (Canna edulis

Ker.) menjadi Bioetanol melalui Hidrolisis Asam dan Fermentasi”,

Biodiversitas .9(2): 112-116.

Ratledge, C. 1991. Yeast physiology - a micro-synopsis. Bioprocess Engineering. 6:195-203.

Rukmana, Rahmat. 1998. Stroberi Budidaya Dan Pascapanen. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Sari, Anis Novita., Arthawan, I Gusti Ketut Arya., Wijaya, I Made Anom Sutrisna. 2012. Potensi Nira Kelapa Sebagai Bahan Baku Bioetanol. Jurnal Bumi Lestari, 12(1): 85 – 92.

Sari, Juwita, R. 2013. Optimalisasi Produksi Gula Reduksi Dari Onggok Sebagai Baku Bioetanol Dengan Praperlakuan Ultrasonikasi. Skripsi. Universitas lampung. Bandar lampung.

Skoog, D.A., Holler, F.J., Nieman, T.A. 1998. Principles of Instrumental Analysis. Ed ke-5. Orlando: Hourcourt Brace.

Seftaria, Vera. 2011. Studi Pendahuluan Transesterifikasi Minyak Kelapa dengan Katalis Heterogen Berbasis Silika Sekam Padi (Ti-Silika) dan Donor Gugus Metil Non-Alkohol (Dimetil Karbonat). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Septarini, Luh Gede Rai Putri, 2013. Hidrolisis Onggok Di Bawah Pengaruh Ultrasonikasi Untuk Menghasilkan Gula Reduksi dan Uji Fermentasinya Menjadi Bioetanol. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Subekti, Hendro. 2006. Produksi Etanol dari Hidrolisat Fraksi Selulosa Tongkol

Jagung oleh Saccharomyces cerevisiae. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(63)

Supriyanto, R. 1990. Kimia Analitik. Lampung, Universitas Lampung. Trisnawati, Evi. 2008. Pengaruh Ultrasonikasi Terhadap Hidrolisis Pati dan

Onggok serta Kaitannya dengan Fermentasi Menggunakan Kulit Kayu Tanaman Raru. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Underwood, A.L, 2002. Analisis Kimia Kuantitatif, Erlangga, Jakarta.

Walker, G. 2011. Fuel Alcohol: Current Production and Future Challenges (125th Anniversary Review). Journal Inst Brew, 117: 3-22.

Wojciechowski, A.L., Nistsche, S., Pandey, A. dan Socco, C. R., (2002), “Acid and Enzymatic Hydrolysis to Recover Reducing Sugars from Cassava

Bagasse : an Economic Study”, Brazilian Archives of Biology and

Technology,.45(3): 393-400.

Yetti, M., Nazamid, B.S., Roselina, K. Dan Abdulkarin, S. M., (2007),

“Improvement of Glucose Production by Raw Starch Degrading Enzyme

Utilizing Acid-Treated Sago Starch as Substrate”, ASEAN Food Journal 14(2): 83-90.

Yoonan, Kanlaya dan Kongkiattikajorn, J., (2004), “A Study of Optimal

Conditions for Reducing Sugars Producton from Cassava Peels by Diluted

Acid and Enzymes”, Kasetsart Journal (Natural Science), 38: 29-35.

Zamora, L.L., Calderón J.A.G., Vázquez, E.T., and Reynoso E.B. 2010. Optimization of Ethanol Production Process from Cassava Starch by Surface Response. Journal Mexico. Chemistry. Society, 54(4): 198-203. Zhang, W., Liang, M., and Lu, C. 2007. Morphological and Structural

Development of Hardwood Cellulose During Mechanochemical


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ado, S. A., Olukotun G.B., Ameh J. B., and Yabaya A. 2009. Bioconversion Of Cassava Starch to Ethanol in A Simultaneous Saccharification and Fermentation Process by Co-Cultures of Aspergillus Niger and Saccharomyces Cerevisiae. Science World Journal,4(1): 19-22. Aiyer, P.V. 2005. Amylases and Their Applications. African Journal of

Biotechnology, (13), pp.1525-1529.

Anozie, A.N. and Aderibigbe A.F. 2011. Optimization Studies of Cassava Starch Hydrolysis using Response Surface Method. New Clues in Sciences, 1: 37-43.

Barnali, B., Basu R.K., and Ash S.N. 2008. Kinetic Study on Acid Catalytic Hydrolysis of Starch. Journal of Scientific and Industrial Research, 67: 295-298.

Baskar, G., Muthukumaran, C., Renganathan, S., (2008), “Optimization of

Enzymatic Hydrolysis of Manihot Esculenta Root Starch by Immobilize α -Amylase Using Response Surface Methodology”, International Jurnal of Natural Sciences and Engineering 1:3: 156-160.

Bozbas, K. 2005. Biodiesel as An Alternative Motor Fuel: Production and Policies in The European Union. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 1-12.

Camarena, F. and Martinez J.A. 2006. Potential of Ultrasound to Evaluate Turgidity and Hydration of The Orange. Journal Food Engineering, 75: 503-507.

Chamsart, S., Sawangwon, C., Tungkao, S., dan Waiprib, Y., (2005), “Enzymatic Hydrolysis of Cassava Starch in a Stirred Tank Lysis Reactor”,

Proceeding of the 15th Thailand Chemical Engineering and Applied Chemistry, Chonburi, 28-29 Oktober 2005.


(2)

Collares, R.M., Luiza V.S.M, Mariana M.B., Nina P.G.S., Marcio A.M., Dilson A.B., Lisiane M.T. 2012. Optimization of Enzymatic Hydrolysis of Cassava to Obtain Fermentable Sugars. Journal of Zhejiang University-Science B (Biomedicine and Biotechnology), 13(7): 579-586.

Dahlan., Muhammad H., Sari., Dewi D, Ismadyar. 2009. Pemekatan Nira Nipah Menggunakan Membran Selulosa Asetat. Jurnal Teknik Kimia Universitas Sriwijaya : Palembang.

Dinarsari, Astrinia, A., dan Adhitasari, A. 2013. Proses Hidrolisa Pati Talas Sente (Alocasia macrorrhiza) Menjadi Glukosa : Studi Kinetika Reaksi. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, 2(4) : 253-260.

Elaiyaraju, P. and Partha N. 2012. Biogas Production from Co-Digestion of Orange Peel Waste and Jatropha De-oiled Cake in An Anaerobic Batch Reactor. African Journal of Biotechnology, 11(14): 3339-3345

Elander, R.T. and Pustche, 1996. Handbook on Bioethanol, C.E.Ed, Taylor and Francis Publication. 329-350.

Fardiaz, S. 1987. Penuntun praktek mikrobiologi pangan Bogor: Lembaga Surnberdaya 1nformasi.UPT-Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fellows, P J. 2000. Food Processing Tecnology. 2nd edition. Cambridge -

England: CRC Press, New York Wasington DC.

Fennema, 1996. Food Chemistry, In R. Owen (eds.), Carbohydrates. New York: Marcel Dekker. 167- 196.

Frazier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. 4th ed. McGraw-Hill Book. Publishing. Co. Ltd. New York.

Gazali, Arniza. 2012. Spectroscopic Determination of Starch in Paper. Giancoli, C Douglas. 1998. Fisika Jilid I Edisi Kelima. Yunilza anum,

Penerjemah. Jakarta : Erlangga. Terjemahan Dari : Phisic Principle and Aplication, Fifth Edition.

Gunawan, Setyo dan Widjaja, Arief. 2012/ Pengembangan Teknologi Bioetanol Generasi 2 Melalui Pemanfaatan Selulosa dan Hemiselulosa Dalam Jerami Padi. Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Surabaya.

Gusmailina & Komarayati S, 2010. Prospek Bioetanol Sebagai Pengganti Minyak Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Hartati dan Prana. 2003. Ananlisis Kadar Pati dan Serat Kasar Tepung Beberapa Kultivar Talas. Jurnal Natur Indonesia 6 (1):29-33.


(3)

Haryjanto, Lilliek. 2012. Konversi ex-situ Untuk Mendukung Program Pemuliaan Aren (Arenga pinnata MERR) Sebagai Sumber Energi Alternatif. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.

Yogyakarta.

Hartz, H dan R. D. Schmertz. 1972. Organic Chemistry : A Short Course. Michigan University, Michigan.

Herrera A., Tellez-Luis S.J., and Ramirez J.A. 2003. Production of Xylose from Sorghum Straw Using Hydrochloric Acid. Journal Cereal Science, 37: 267-274.

Hong, L.S., Ibrahim D., and Omar C.O. 2013. Effects of Physical Parameters on Second Generation of Bioethanol Production from Oil Palm Frond by Saccharomyces cerevisiae.Biosources, 8(1): 969-980.

Ihsan, Mohammad., Ayuputri, Rettyana., Nugraha, Tutun. 2010. Ultrasonic Pretreatment of Woodchip For The Conversion of Sellulosa to Glucose For Bioethanol Production. Indonesian Journal of Materials Science. ISSN: 1411-1098.

Jane, J. L. Dan J. F. Chen. 1992. Effect of Amylose Molecular Size and Amylopectin Branch Chain Length on Paste Propertiess of Starch. J. Cereal Chem, 69 (1): 60-65.

Kowalski, S., Marcin L., and Wiktor B. 2013. Applicabality of Physico-chemical Parameters of Honey for Identification of The Botanical Origin. Acta Scientiarum Polonorum, 2(1): 51-59.

Kosaric, H., A. Wieczorek, G. P. Cosentino, R. J. Magee dan J. E. Prenosil. 1983. Ethanol Fermentation. Di dalam H. Dellweg (ed). Biotechnology Volume 3. Verlag Chemie, Weinheim.

Lehninger L A. 1993. Dasar-Dasar Biokimia. .Erlangga. Jakarta.

Lida, Y., Tuziuti T., Yasui K., Towata A., and Kozuka T. 2002. Control of Viscosity in Starch and Polysaccharide Solution with Ultrasound After Gelatinization. Journal of National Institute of Advanced Industrial Science and Technology (AIST).Nagoya, Japan.

Lingga P, B. Sarwono, F. Rahardi. P. C. Rahardja. J.J. Anfiastini, Rini W, dan W. H. Apriadji. 1986. Bertanam Umbi-umbian. Penebar Swadaya, Jakarta. Lone, M.A., Wani M.R., Bhat N.A., Sheikh S.A. and Reshi M.A. 2012.

Evaluation of Cellulase Enzyme Secreted by Some Common and Stirring Rhizosphere Fungi of Juglans Regia L. by DNS Method. Journal of Enzyme Research, 3: 18-22.


(4)

Mandel, M. 1985. Application of Cellulases. Biochemical Society Transactions, 12: 414-416.

Mathews, van Holde and Ahern. 2000. Biochemistry, 3rd Edition. San Fransisco. Benjamin/Cummings, 278-310.

McClements, D.J. 1995. Advances in The Application of Ultrasound in Food Analysis and Processing. Trends Food Science Technology, 6: 293-299. Muhaimin. 2011. Studi Kinetika Hidrolisis sabut kelapa Dengan Menggunakan

Katalis H2SO4. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Yogyakarta

Mulyani, S., A.N, Al-Baarri., N, Azizah. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Pada Proses Fermentasi Bioetanol Dari Whey Dengan Substitusi Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 1(2).

Naibaho, Netty, M., Syahrumsyah, H., dan Suprapto, H. 2009. Studi Waktu dan Metode Blanching Terhadap Sifat Fisiko-Kimia Tepung Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium). Jurnal Teknologi Pertanian, 4(2): 69-74. Najafpour, G., Younesi H., and Ku S. 2004. Ethanol Fermentation in An

Immobilized Cell Reactor using Saccharomyces cerevisiae. Bioresource Technology, 92: 251–260.

Nicolić, S., Mojovic L., Rakin M., Dušanka P., and Jelena P. 2010. Ultrasound-assisted Production of Bioethanol by Simultaneous Saccharification and Fermentation of Corn Meal. Food Chemistry, 122: 216–222.

Oura, E. 1983. Reaction products of yeast fermentations. Di dalam H. Dellweg (ed). Biotechnology Volume III. Academic Press. New York..

Patist, A., and Bates, D. 2008. Ultrasonic Innovations in The Food Industry: From the Laboratory to Commercial Production. Innovative Food Science and Emerging Technologies, 9(2): 147-154.

Paturau, J. M. 1969. By Product of the Cane Sugar Industry: An Introduction to their Industrial Utilization. Elsevier Scientific Publ. Amsterdam.

Perez, J.A., Gonzalez A., and Oliva J.M. 2007. Effect of Process Variables on Liquid Hot Water Pretreatment of Wheat Straw for Bioconversion to Fuel-Ethanol In A Batch Reactor. Journal Chemistry Technology


(5)

Prasetya, Bambang., Suparno, Ono., Sunarti, Titi Candra., Manguwidjaja, Djumali., Hermiati, Euis. 2010. Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu Untuk Produksi Bioetanol. Bogor. Pusat Penelitian Bioteknologi – LIPI. 29 (4).

Prescot, S. G. Dan C. G. Dunn. 1991. Industrial Microbiology. McGraw – Hill Book Co. Ltd, New York.

Purba, Elida, (2009), “Hidrolisis Pati Ubi Kayu (Manihot Esculenta) dan Pati Ubi Jalar (Impomonea batatas) menjadi Glukosa secara Cold Process dengan Acid Fungal Amilase dan Glukoamilase”, Universitas Lampung,

Lampung.

Putri, Lily S. E. dan Sukandar, D., (2008), “Konversi Pati Gayong (Canna edulis Ker.) menjadi Bioetanol melalui Hidrolisis Asam dan Fermentasi”, Biodiversitas .9(2): 112-116.

Ratledge, C. 1991. Yeast physiology - a micro-synopsis. Bioprocess Engineering. 6:195-203.

Rukmana, Rahmat. 1998. Stroberi Budidaya Dan Pascapanen. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Sari, Anis Novita., Arthawan, I Gusti Ketut Arya., Wijaya, I Made Anom Sutrisna. 2012. Potensi Nira Kelapa Sebagai Bahan Baku Bioetanol. Jurnal Bumi Lestari, 12(1): 85 – 92.

Sari, Juwita, R. 2013. Optimalisasi Produksi Gula Reduksi Dari Onggok Sebagai Baku Bioetanol Dengan Praperlakuan Ultrasonikasi. Skripsi. Universitas lampung. Bandar lampung.

Skoog, D.A., Holler, F.J., Nieman, T.A. 1998. Principles of Instrumental Analysis. Ed ke-5. Orlando: Hourcourt Brace.

Seftaria, Vera. 2011. Studi Pendahuluan Transesterifikasi Minyak Kelapa dengan Katalis Heterogen Berbasis Silika Sekam Padi (Ti-Silika) dan Donor Gugus Metil Non-Alkohol (Dimetil Karbonat). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Septarini, Luh Gede Rai Putri, 2013. Hidrolisis Onggok Di Bawah Pengaruh Ultrasonikasi Untuk Menghasilkan Gula Reduksi dan Uji Fermentasinya Menjadi Bioetanol. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Subekti, Hendro. 2006. Produksi Etanol dari Hidrolisat Fraksi Selulosa Tongkol

Jagung oleh Saccharomyces cerevisiae. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(6)

Supriyanto, R. 1990. Kimia Analitik. Lampung, Universitas Lampung. Trisnawati, Evi. 2008. Pengaruh Ultrasonikasi Terhadap Hidrolisis Pati dan

Onggok serta Kaitannya dengan Fermentasi Menggunakan Kulit Kayu Tanaman Raru. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Underwood, A.L, 2002. Analisis Kimia Kuantitatif, Erlangga, Jakarta.

Walker, G. 2011. Fuel Alcohol: Current Production and Future Challenges (125th Anniversary Review). Journal Inst Brew, 117: 3-22.

Wojciechowski, A.L., Nistsche, S., Pandey, A. dan Socco, C. R., (2002), “Acid and Enzymatic Hydrolysis to Recover Reducing Sugars from Cassava Bagasse : an Economic Study”, Brazilian Archives of Biology and Technology,.45(3): 393-400.

Yetti, M., Nazamid, B.S., Roselina, K. Dan Abdulkarin, S. M., (2007),

“Improvement of Glucose Production by Raw Starch Degrading Enzyme Utilizing Acid-Treated Sago Starch as Substrate”, ASEAN Food Journal 14(2): 83-90.

Yoonan, Kanlaya dan Kongkiattikajorn, J., (2004), “A Study of Optimal

Conditions for Reducing Sugars Producton from Cassava Peels by Diluted Acid and Enzymes”, Kasetsart Journal (Natural Science), 38: 29-35. Zamora, L.L., Calderón J.A.G., Vázquez, E.T., and Reynoso E.B. 2010.

Optimization of Ethanol Production Process from Cassava Starch by Surface Response. Journal Mexico. Chemistry. Society, 54(4): 198-203. Zhang, W., Liang, M., and Lu, C. 2007. Morphological and Structural

Development of Hardwood Cellulose During Mechanochemical