PERDA SYARIAH DALAM HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA (Studi Perda No. 7 Tahun 2007 tentang Berpakaian Muslim/Muslimah bagi Pelajar, Mahasiswa dan Karyawan di Kabupaten Pasaman Barat)

PERDA SYARIAH DALAM HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA
(Studi Perda No. 7 Tahun 2007 tentang Berpakaian Muslim/Muslimah bagi
Pelajar, Mahasiswa dan Karyawan di Kabupaten Pasaman Barat)
(SKRIPSI)

Oleh :

SINTA SEPTIANA

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan
Pendidikan Strata Satu
Pada
Bagian Hukum Tata Negara

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

ABSTRAK

PERDA SYARIAH DALAM HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA
(Studi Perda No. 7 Tahun 2007 tentang Berpakaian Muslim/Muslimah bagi
Pelajar, Mahasiswa dan Karyawan di Kabupaten Pasaman Barat)

Oleh
SINTA SEPTIANA

Tujuan Penelitian ini adalah Mengetahui kesesuaian penerapan Perda No. 7 Tahun
2007 tentang Berpakaian Muslim/ Muslimah bagi Pelajar, Mahasiswa dan
Karyawan di Kabupaten Pasaman Barat terhadap UUD Tahun 1945. Jenis
penelitian ini adalah normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang
(statute approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan historis
(historical approach). Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi
kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formalisasi syariat Islam pada
Perda No. 7 Tahun 2007 tentang Berpakaian Muslim/Muslimah bagi Pelajar,
Mahasiswa dan Karyawan di Kabupaten Pasaman Barat dilihat dari kesesuaiannya
terhadap UUD Tahun 1945, dianggap tidak sesuai/ bertentangan. Hal ini
dikarenakan adanya pemaksaan pelaksanaan kewajiban umat Islam dalam
berpakaian muslim/muslimah, dan pemberlakuan Perda tersebut menjadikan umat
agama lain juga terpaksa memakai pakaian muslim/ muslimah. Sehingga hal

tersebut bertentangan dengan hak dalam kebebasan beragama, dan hak untuk tidak
didiskriminasi sebagaimana dijamin dalam UUD Tahun 1945.

Kata Kunci : Peraturan Daerah, Pakaian Muslim/Muslimah, UUD Tahun 1945

ABSTRACT
LOCAL REGULATION OF SHARIA IN STATE RELATIONS AND
RELIGIOUS
(Study local regulation number 7 year 2007 about muslim/ muslimah dress
for students, college students and employees in west pasaman)
By
SINTA SEPTIANA

The purpose of this research was to determine the suitability of the application of
local regulation number 7 year 2007 about muslim/ muslimah dress for students,
college students and employees in west pasaman according to the Constitution of
1945. This type of research is normative, using statute approach, case approach
and historical approach. The data was collected by means of literature study. The
results for research showed that the formalization of Islamic sharia in local
regulation number 7 year 2007 about muslim/ muslimah dress for students,

college students and employees in west pasaman seen from compliance with the
Constitution of 194, is considered incompatible/ contradictory. This is due to the
imposition of the implementation of the obligations of muslims dressed in muslim/
muslimah, and enforcement of these local regulations makes believers of other
religions are also forced to wear muslim/ muslimah dress.so that it’s contrary to
the right to freedom of religion, and the right not to be discriminated against as
guaranteed by the Constitution of 1945.

Keywords

:Local Regulation, Muslim/ Muslimah Dress, Constitution in 1945

DAFTAR ISI

Halaman
Abstrak
Abstract
Halaman Judul
HalamanPengesahan
Halaman Persetujuan

Riwayat Hidup
Moto
Persembahan
Sanwacana
Daftar Isi

i
ii
iii
iv
v
vi
ix
x
xi
xvi

BAB I PENDAHULUAN
1.1.


Latar Belakang ......................................................................

1

1.2.

Rumusan Masalah ..................................................................

4

1.3.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian .........................................................
1.3.2. Kegunaan Penelitian ....................................................

4
4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Negara Hukum ............................................................................

6

2.2.Hak Asasi Manusia ......................................................................

10

2.2.1. Pengertian Hak Asasi Manusia ....................................

10

2.2.2. HAM dalam UUD tahun 1945 ....................................

13

2.3. Hubungan Negara dan Agama ...................................................

18


2.3.1. Negara Paham Teokrasi ..............................................

18

2.3.2. Negara Paham Sekuler ................................................

19

2.3.3. Negara Paham Pancasila .............................................

20

2.4. Peraturan Daerah ........................................................................

22

2.4.1. Pengertian Peraturan Daerah .......................................

22


2.5. Berpakaian Muslim dan Muslimah .............................................

24

xvii

BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Tipe dan Jenis Penelitian ...............................................................

28

3.2. Metode Pendekatan .....................................................................

28

3.3. Data dan Sumber Data ...................................................................

29

3.4. Metode Pengumpulan Data ...........................................................


30

3.5. Metode Pengolahan Data ...............................................................

30

3.6. Analisis Data ..................................................................................

31

BAB IV PEMBAHASAN
Tolak Ukur Perda No. 7 tahun 2007 tentang Berpakaian Muslim/Muslimah bagi
Pelajar, Mahasiswa dan Karyawan di Kabupaten Pasaman Barat terhadap UUD
tahun 1945.............................................................................................. 32
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan ....................................................................................

50


5.2. Saran ..............................................................................................

50

DAFTAR PUSTAKA

51

LAMPIRAN

54

I.

1.1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang


Negara Kesatuan Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut NKRI)
merupakan Negara berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana
hal tersebut tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945
(yang selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) serta dalam pasal 29 ayat (1) UUD
Tahun 1945,“Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Ketentuan tersebut menegaskan Negara Indonesia tidak menganut teokrasi yang
mendasarkan pada ideologi agama tertentu dan tidak juga beraliran sekuler yang
tidak memedulikan agama. Relasi agama dan negara di Indonesia amat sinergis
dan tidak pada posisi dikotomi yang memisahkan antara keduanya.1 Sehingga
semua agama dihadapan negara diperlakukan sama.

UUD Tahun 1945 juga menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu. Sebab, salah satu hak yang paling asasi dari hak asasi
manusia adalah kebebasan agama, karena kebebasan beragama itu langsung
bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak

1

Rahmat Rosyadi, Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Prespektif Tata Hukum
Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 1.

2

kebebasan beragama bukan pemberian negara atau bukan pemberian golongan.2
Oleh karenanya, legitimasi keberadaan agama diwilayah hukum NKRI serta untuk
menjalankan agama sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing,
dilindungi secara konstitusional3.

Berdasarkan hal diatas maka setiap Warga Negara Indonesia bebas menganut
agama dan menjalankan ibadahnya masing-masing, sesuai dengan agama dan
kepercayaannya. Pemaksaan terhadap warga negara untuk menganut agama
tertentu atau melarang warga negara menjalankan ibadahnya sesuai dengan syariat
dan ajaran agamanya, merupakan tindakan yang bertentangan dengan Hak Asasi
Manusia (yang selanjutnya disebut HAM).4

Mengenai kebebasan beragama, ada hal menarik terkait perkembangan Indonesia
dalam kurun waktu sepuluh Tahun terakhir, sebab dalam waktu tersebut
perkembangan formalisasi syariat Islam sangatlah pesat karena telah merambah
kesejumlah daerah, yang dimobilisasi melalui berbagai peraturan, salah satunya
adalah Peraturan Daerah (yang selanjutnya disebut Perda).5 Setidaknya terdapat
181 kebijakan mengenai peraturan syariah yang dikeluarkan oleh 23 provinsi.6

2

Penjelasan atas BAB II angka 1 Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila: Ketetapan
MPR No.II/MPR/1978 tertanggal 22 Maret Tahun 1978, dalam Departemen Agama RI, Kompilasi
Peraturan Perudang-Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama: Edisi VIII, (Jakarta :Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2006), hlm. 7-8.
3
Ibid.
4
Rahmat Rosyadi, Rais Ahmad, Op.cit, hlm. 2.
5
Ibid, hlm. 10.
6
Qomaruz Zaman, SHI.,Msi., Daftar Perda Syariah Islam Berdasarkan Provinsi Nomor Urut
Tahun diterbitkannya dan Jumlah Tiap Provinsi,
http://politikdanhukumku.blogspot.com/2012/04/daftar-Perda-syariah-Islam-berdasarkan.html,
diakses Tanggal 08 Mei 2013 Pukul 19:41 WIB.

3

Merambahnya penegakan formalisasi syariah Islam diberbagai daerah dalam
bentuk Perda dan peraturan lainnya merupakan salah satu tawaran alternatif dalam
rangka menyelesaikan berbagai persoalan di Indonesia yang dewasa ini tengah
dilanda krisis moral. Perda sendiri merupakan hak daerah otonom dalam
menetapkan peraturan guna mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat.

Salah satu langkah mengatasi krisis moral adalah dengan Penerapan Perda
Berpakaian Muslim/Muslimah. Kabupaten Pasaman Barat di Provinsi Sumatera
Barat merupakan satu dari enam provinsi yang mengeluarkan Perda syariah terkait
berpakaian muslim, yakni pada Perda No. 7 Tahun 2007 tentang Berpakaian
Muslim dan Muslimah Bagi Pelajar, Mahasiswa, dan Karyawan.

Menariknya meskipun Kabupaten Pasaman Barat tidak seperti Nanggoroe Aceh
Darusallam yang memiliki otonomi khusus dalam menjalankan Perda Syariah,
akan tetapi, pada penerapan Perda ini umat agama lain di Kabupaten Pasaman pun
mengenakan pakaian muslim yang seharusnya hal tersebut merupakan kewajiban
bagi umat muslim.

Berdasarkan permasalahan terkait formalisasi syariah Islam khususnya tentang
berpakaian muslim/muslimah didalam Negara Indonesia yang multukulturalisme
inilah yang menjadi pemikiran bagi penulis guna meneliti lebih lanjut terkait
Perda Syariah dalam Hubungan Negara dan Agama (Studi Perda No. 7
Tahun 2007 tentang Berpakaian Muslim/Muslimah bagi Pelajar, Mahasiswa,
dan Karyawan di Kabupaten Pasaman Barat).

4

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang diatas, maka
yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : Bagaimana tolok ukur
Perda No. 7 Tahun 2007 tentang Berpakaian Muslim/ Muslimah bagi Pelajar,
Mahasiswa dan Karyawan di Kabupaten Pasaman Barat terhadap UUD Tahun
1945?

1.2. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian

Setelah melihat permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian
dalam skripsi ini antara lain adalah : Mengetahui kesesuaian Perda No. 7 Tahun
2007 tentang Berpakaian Muslim/ Muslimah bagi Pelajar, Mahasiswa dan
Karyawan di Kabupaten Pasaman Barat terhadap UUD Tahun1945.

1.3.2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu :
1) Kegunaan teoritis karya tulis ini dapat digunakan sebagai bahan kajian untuk
mengembangkan wawasan terutama Hukum dan HAM, terkait penerapan
Perda syariah khususnya berpakaian muslim di Indonesia.
2)

Kegunaan praktis penelitian ini berguna untuk ;

a.

Bahan informasi bagi masyarakat, akademi, dan kalangan birokrasi
pemerintahan yang bergerak di bidang Hukum dan HAM.

5

b.

Menambah referensi bahan bacaan dan sebagai sumber data yang melakukan
penelitian berhubungan dengan Hukum dan HAM dalam menganalisis Perda
yang bertentangan dengan konstitusi.

c.

Sebagai salah satu syarat akademik bagi peneliti untuk menyelesaikan Strata
Satu pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Negara Hukum

Negara Hukum merupakan esensi yang menitikberatkan pada tunduknya
pemegang kekuasaan negara pada aturan hukum.7 Hal ini berarti alat-alat negara
mempergunakan kekuasaannya hanya sejauh berdasarkan hukum yang berlaku
dan dengan cara yang ditentukan dalam hukum itu. Menilik kembali pada sejarah,
gagasan negara hukum ini berawal di Inggris dan merupakan latar belakang dari
Glorious Revolution 1688 M. Gagasan itu timbul sebagai reaksi terhadap kerajaan
yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang terkenal sebagai Bill Of Right
1689, hal ini menunjukan kemenangan parlemen atas raja, serta rentetan
kemenangan rakyat dalam pergolakan-pergolakan yang menyertai perjuangan Bill
of Rights8. Konsep negara hukum ini merupakan protes terhadap pemerintahan
tirani yang melakukan penindasan terhadap rakyat, sebab tidak ada batasan bagi
diktator dalam melakukan kekuasaannya.
Konsep ini sejalan dengan pengertian Negara Hukum menurut Bothling9, adalah
“de staat, waarin de wilsvriheid van gezagsdragers is beperket door grezen van

7

Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, ( Bandung: Mandar Maju,
2013), hlm. 1.
8
Jimly Assihiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm. 87.
9
Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), hlm. 27.

7

recht.” (negara, dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasan dibatasi oleh
ketentuan hukum)

Pembatasan kekuasaan sebagaimana konsep Negara Hukum juga ada pada UUD
Tahun 1945 sebelum amandemen yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1),
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar.”

Tidak hanya itu keinginan Founding Father untuk menciptakan negara hukum
juga tercermin dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “.....yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat.....”

Kedaulatan rakyat sendiri memiliki makna bahwasanya kekuasaan penuh berada
ditangan rakyat. Atau bisa dikatakan dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat. Rakyat
dianggap berdaulat baik dibidang politik maupun bidang ekonomi dan sosial. Hal
ini sejalan dengan konsep negara hukum guna menciptakan pemerintahan yang
bebas dari penindasan terhadap rakyat. Bahkan menurut Jimly Asshiddiqie
kedaulatan rakyat merupakan satu diantara konsep-konsep yang pertama-tama
dikembangkan dalam persiapan menuju Indonesia merdeka. Yang mana
kedaulatan rakyat itu sudah menjadi polemik dikalangan intelektual pejuang
kemerdekaan Indonesia pada Tahun 1930-an.10

10

Tim Penyusun Revisi Naskah Komperhensif, Perubahan UUD NKRI 1945, Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Pembahasan Tahun 1999-2002, Buku II Sendi-Sendi/ Fundamental Negara.
(Jakarta: Sekretaris Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), Hlm.60

8

Seperti pada Sidang Pertama Rapat Besar Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, Soepomo menyatakan11, “Majelis
Permusyawaratan Rakyat adalah suatu badan yang memegang kedaulatan rakyat,
ialah suatu badan yang paling tinggi dan tidak terbatas kekuasannya.”

Dapat diartikan bahwa kedaulatan rakyat merupakan tonggak dalam negara
hukum, bahkan sebuah lembaga yang memegang kedaulatan rakyat dikatakan
sebagai lembaga yang tidak terbatas kekuasaannya.

Kejelasan terhadap Indonesia sebagai negara hukum terjadi Pasca Perubahan
UUD Tahun 1945. Selain memberikan implikasi terhadap posisi dan kedudukan
MPR, yang menurut UUD Tahun 1945 tidak ada lagi lembaga tertinggi. Juga
kepastian terhadap Indonesia sebagai negara hukum tertuang pada pasal 1 ayat (3)
UUD Tahun 1945

yang merupakan hasil perubahan ketiga yakni, Negara

Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini menjelasakan bahwa Indonesia bukan
berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat)

Ketentuan di atas berasal dari Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang ”diangkat” ke dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Negara hukum yang dimaksud ialah negara yang
menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan
tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel). Paham
negara hukum sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) berkaitan
erat dengan paham negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum
11

Jimly Assihiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press,
2005), hlm. 16-17.

9

materiil sesuai dengan bunyi alinea keempat Pembukaan dan ketentuan Pasal 34
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.12

Dengan demikian,

Indonesia

sebagai

negara

hukum

memiliki

ciri-ciri

“rechtsstaat” yakni sebagai berikut :
1) Adanya Undang-Undang Dasar atau Konstitusi yang memuat ketentuan
tertulis tentang hubungan antara penguasa dengan rakyat.
2) Adanya pemisahan kekuasaan negara, yang meliputi kekuasaan pembuatan
undang-undang yang berada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang
bebas dan merdeka, dan pemerintah mendasarkan tindakannya atas
undang-undang (wetmatig bestuur).
3) Diakui

dan

dilindunginya

hak-hak

rakyat

yang

sering

disebut

“vrijhedsrechten van burger”

Dalam kaitannya penjelasan diatas, menunjukan dengan jelas ide sentral konsep
negara hukum / rechtsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak
asasi manusi yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan.13 Sejalan
dengan ungkapan Thomas Hobbes yang menyatakan Hak Asasi Manusia
merupakan jalan keluar untuk megatasi keadaan yang disebut hommo homini
lupus, bellum omnium contras omnes. 14 Sebagaimana yang dikatakan Paul
Scholten, “ciri utama negara hukum adalah, er is recht tegenover den staat.”

12

Tim Penyusun Revisi Naskah Komperhensif, Perubahan UUD NKRI 1945, Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Pembahasan Tahun 1999-2002, Buku II Sendi-Sendi/ Fundamental Negara,
Op.cit., hlm. 63-64.
13
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Op.cit., hlm. 6.
14
Jimly Assihiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jendral
dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm. 87.

10

Artinya warga negara mempunyai hak terhadap negara, dan individu mempunyai
hak terhadap masyarakat.15 Indonesia sendiri hak asasi manusia terjamin dalam
konstitusi yang ketentuan tersebut antara lain mengenai16 :
1) Kebebasan berserikat dan berkumpul
2) Kebebasan mengeluarkan pikiran baik lisan dan tulisan
3) Hak bekerja dan penghidupan yang layak
4) Kebebasan beragama
5) Hak untuk ikut mempertahankan negara dan,
6) Hak lainnya dalam pasal-pasal tentang hak asasi manusia.

2.2. Hak Asasi Manusia
2.2.1. Pengertian Hak Asasi Manusia

Sejak dahulu suara-suara atau perlawanan-perlawanan terhadap diskriminasi,
marginalisasi dan represi terdapat dihampir semua kebudayaan di muka bumi ini.
Aspirasi

semua

orang

untuk

dilindungi

dari

pengalaman-pengalaman

ketidakadilan seperti itu dewasa ini telah dirumuskan dalam Hak-hak Asasi
Manusia.

17

Namun, sebuah problema muncul mengenai pemaknaan dari HAM

sendiri.

Substansi utama hak asasi manusia adalah kebebasan dan hak atas privasi.
Kebebasan merupakan suatu kemampuan dari seseorang untuk menentukan
pilihannya. Secara filosofis hakekat kebebasan manusia, terletak dalam

15

Ibid., hlm. 11.
Ibid., hlm. 12.
17
F. Budi Hardiman, Hak-Hak Asasi Manusia (Polemik dengan Agama dan Kebudayaan),
(Yogyakarta : Kanisius, 2011), hlm. 11.
16

11

kemampuan manusia menentukan diri sendiri. Pada satu sisi kata bebas atau
kebebasan dapat berarti keadaan tiada penghalang atau paksaan.

Hal ini didasarkan bahwa keinginan manusia untuk hidup bebas, merupakan
keinginan insani yang sangat mendasar. Manusia menurut kodratnya sama-sam
bebas dan memiliki hak yang sama, manusia lahir bukan untuk diperbudak dan
tidak ada seorang pun yang dapat mengurangi kebebasan tanpa ijin darinya.18

Berdasarkan “kebebasan” inilah yang menjadi dasar pemaknaan HAM. Menurut
sejarah politik Barat, semua deklarasi HAM mencantumkan subjek hukum
(rechtsubject) yang sangat umum, yaitu “manusia”, “setiap manusia”, “tak
seorang pun”, atau “semua manusia”. Lepas dari perbedaan-perbedaan internal
dari manusia-manusia yang konkret misalnya ditentukan oleh agama, bahasa,
jenis kelamin, warna kulit, dll. Ini yang merupakan pencerminan dari pengertian
HAM secara universal yang mana manusia itu sama, dan memiliki ciri-ciri dasar
yang sama, karenanya juga memiliki hak-hak yang sama.19

Definisi HAM diatas melepaskan ikatan HAM dari doktrin ajaran agama.
Sehingga norma-norma agama sama sekali tidak menjadi ukuran penting dalam
terminologi pengertian HAM diatas.

Pandangan HAM yang bersifat universal ini bertentangan dengan pemaknaan
HAM menurut Islam. Dalam Islam definisi HAM adalah hak yang melekat pada
diri setiap manusia sejak lahir sebagai karunia Allah Swt sehingga hak tersebut

18

Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 135.
19
Ibid, hlm. 43.

12

tidak akan pernah bertentangan dengan Kewajiban Asasi Manusia (yang
selanjutnya disebut KAM) yang telah digariskan oleh Allah Swt.

Inti dari KAM sendiri adalah kewajiban manusia beribadah kepada Allah Swt hal
ini didasarkan pada firman Allah QS.51 surat Ad-Dzaariyaat : 56.20 “Dan Aku
tidak menciptakan Jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu.”

Ketentuan dalam pandangan barat HAM tidak memiliki kaidah dan batasan yang
jelas, sehingga berbenturan dengan kepentingan mereka sendiri atau kemauan
hawa nafsu mereka. Maka mereka berlindung dibalik pengecualian-pengecualian
berbeda dengan HAM dalam pemahaman Islam yang statis, tidak berubah-ubah.
Artinya apa-apa yang diharamkan atau dihalalkan syariat Islam akan tetap berlaku
hingga hari akhir. Sesuatu yang telah ditetapkan sebagai HAM maupun KAM
oleh Allah Swt dan Rasulullah Saw, maka dari dulu hingga kini bahkan sampai
pada masa yang akan datang akan tetap menjadi HAM dan KAM.21

Untuk bangsa multikulturalisme seperti Indonesia pemaknaan tentang HAM ada
dalam UU. No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 1 poin
(1),
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

20

Habib Rizieq Syihab, Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah, (Jakarta: IslamPress,
2012), hlm. 94.
21
Ibid, hlm. 95.

13

Pemaknaan HAM di Indonesia sesuai dengan tujuan negara hukum yang mana
dalam ciri rechtsstaat salah satunya adalah diakui dan dilindungi hak-hak rakyat
oleh negara hukum, sebab sebagaimana menurut Russell kebebasan manusia tidak
mungkin dapat dijamin sepenuhnya bila tidak ada sesuatu yang digunakan untuk
mengatur kebebasan itu.22

2.2.2. Hak Asasi Manusia dalam UUD Tahun 1945

Indonesia merupakan negara berdasarkan atas Rechtsstaat bukan Machtstaat yang
arti dalam paham negara hukum jaminan hak asasi manusia dianggap sebagai ciri
mutlak harus ada di setiap negara yang disebut Rechtsstaat. Bahkan, dalam
perkembangan selanjutnya jaminan-jaminan hak asasi manusia itu juga
diharuskan tercantum dengan tegas dalam undang-undang dasar atau konstitusi
tertulis negara demokrasi. Jaminan ketentuan tersebut dianggap sebagai materi
terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping materi ketentuan lainnya,
seperti mengenai format kelembagaan dan pembagian kekuasaan negara serta
mekanisme hubungan antar lembaga negara.23

Sebagaimana negara hukum, Indonesia juga menjamin HAM didalam UUD
Tahun 1945, bahkan pengakuan dan jamin lebih eksplisit tercantum pasca
amandemen UUD Tahun 1945. Namun, sebelumnya penulis akan membahas
terkait awal gagasan HAM dalam UUD Tahun 1945.

Pada mulanya, dalam rancangan naskah UUD Tahun1945 yang dibahas dalam
sidang BPUPKI pada Tahun 1945 tidak memuat sama sekali ketentuan mengenai
22
23

Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Op.cit., hlm. 225.
Jimly Assihiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Op.cit., hlm. 85.

14

HAM. Sebabnya bahwa para penyusun Rancangan UUD sependapat bahwa UUD
yang hendak disusun haruslah berdasarkan asas kekeluargaan, yaitu suatu asas
yang sama sekali menentang Paham liberalisme dan Individualisme. Pemahaman
demikian itulah yang kemudian mendasari pandangan filosofi penyusunan UUUD
Tahun 1945 yang juga mempengaruhi perumusan pasal-pasal HAM.akan tetapi,
meskipun menyetuji prinsip kekeluargaan dan menentang individualisme serta
liberalisme, namun tokoh lain seperti Muh. Hatta dan Muh. Yamin memandang
perlu untuk memasukan pasal-pasal tertentu tentang hak-hak asasi manusia ke
dalam UUD Tahun 1945, dalam rangka mencegah timbul negara machtsstaat.24

Berdasarkan penjelasan diatas, jelaslah bahwa di kalangan the Founding Fathers
memang terdapat perbedaan pandangan yang sangat prinsipil satu sama lain. Oleh
karena itu, sebagai komprominya ketentuan UUD Tahun 1945 yang berkenaan
dengan HAM dapat dikatakan hanya memuat secara terbatas, yaitu sebanyak tujuh
pasal saja. Sedikitnya pasal terkait HAM dikarenakan pada saat UUD Tahun 1945
disusun, beberapa anggota Panitia berpendapat bahwa hak-hak asasi manusia
adalah sesuatu yang bersumber pada individualisme dan liberalisme, sehingga
bertentang dengan asas kekeluargaan yang dianut oleh Bangsa Indonesia.

Padahal dapat dibuktikan bahwa sejarah pekembangan HAM, menuliskan hak-hak
asasi tidaklah dilahirkan oleh paham liberalisme dan individualisme, melainkan
oleh absolutisme. Hak-hak asasi timbul sebagai akibat adanya pertentangan antara
penguasa dan rakyat yang merasa ditindas oleh penguasa yang absolut.25

24
25

Ibid., hlm. 97-99.
Ibid., hlm. 100-101.

15

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya UUD Tahun1945 sebelum pasca mandemen
memuat tujuh pasal yang berkaitan dengan HAM. Pasal-pasal yang biasa
dinisbatkan dengan pengertian HAM itu adalah :
1) Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
2) Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
3) Pasal

28

yang

berbunyi

“Kemerdekaan

berserikat

dan

berkumpul,

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang.”
4) Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
5) Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib
ikut serta dalam usaha pembelaan negara.”
6) Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran.”
7) Pasal 34 yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar
dipelihara oleh negara.”

Dari beberapa pasal diatas jika diperhatikan sungguh-sungguh hanya satu
ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas
hak asasi manusia, yaitu pasal 29 ayat (2). Sementara itu, ketentuan-ketentuan
yang lain sama sekali bukanlah rumusan tentang HAM, melainkan hanya

16

ketentuan mengenai hak warga negara atau yang biasa disebut the citizens’
constitutional rights. Hak konstitusional warga negara hanya berlaku bagi orang
yang berstatus sebagai warga negara, sedangkan bagi orang asing tidak dijamin.

Satu-satunya yang berlaku bagi tiap-tiap penduduk tanpa membedakan status
kewarganegaraanya adalah pasal 29 ayat (2) tersebut. Selain itu, ketentuan pasal
28 dapat dikatakan memang terkait dengan ide HAM. Akan tetapi pasal 28 belum
meberikan jaminan konstitusional secara langsung dan tegas sebab masih akn
diatur lebih lanjut dan masih akan ditetapkan dalam UU.

Sementara itu, lima ketentuan lainnya, yaitu pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 30
ayat (1), pasal 31 ayat (1) dan pasal 34, semuanya berkenaan baik dengan hak
konstitusional warga negara Republik Indonesia, yang tidak berlaku bagi warga
negara asing. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang sungguh-sungguh berkaitan
dengan HAM adalah Pasal 29 ayat (2).

Pasal 29 ayat (2) sendiri sebenarnya tidak mengacu pada pengertian-pengertian
HAM yang lazim diperbincangkan. Melainkan sebagai hasil kompromi akibat
dicoretnya tujuh kata dari Pembukaan UUD Tahun 1945 yang berasal dari
rumusan Piagam Jakarta. 26

Melihat kembali pada ketentuan pasal 29 ayat (2), didalamnya terdapat
pemaknaan terkait kebebasan agama dan beragama. Hak kebebasan beragama ini
dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik pasal 18. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia
26

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010), hlm. 352-354.

17

melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isinya sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak
atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup
kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas
pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama
dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau
kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; (2)
Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk
menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.

Artinya, perihal kebenaran yang diyakini oleh masing-masing umat beragama
lainnya, negara juga tidak berhak campur tangan. Apa yang secara ekslusif benar
menurut umat agama tertentu biarlah menjadi urusan umat agama itu
sendiri.terkait penjaminan terhadap kepercayaan sebab di semua agama selalu
terdapat jalur keyakinan yang tidak tunggal. Maka posisi negara terhadap
perbedaan keyakinan (mahzab, sekte, aliran, dst.) juga harus sama, adil,
proposional, tidak diskriminatif dan mengayomi semuanya.27

Bentuk teramat

pentingnya hak dalam menjalankan kebebasan agama dan beragama ini sehingga
hak tersebut merupakan hak

yang tidak dapat di derogasi dalam keadaan

apapun.28

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, pada masa sebelum Amandemen UUD
Tahun 1945, pengaturan tentang HAM didalam konstitusi sangatlah terbatas,
bahkan yang mengartikan HAM sesungguhnya hanya tersirat dalam pasal 29 ayat

27

Masdar Farid M., Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Prespektif Islam, (Jakarta: Pustaka
Alvabet, cet-1, 2010), hlm. 159.
28
Rhona K.M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Pusham UII, 2008), hlm.
52.

18

(2). Namun, setelah runtuhnya pemerintahan tirani pada masa orde baru.
Penjaminan HAM secara khusus ada pada BAB XA yang merupakan hasil
amandemen kedua. BAB ini terdiri dari 10 pasal meliputi pasal 28 A, pasal 28 B
ayat (1) dan (2), pasal 28 C ayat (1) dan (2), pasal 28 D ayat (1), (2), (3), dan (4),
pasal 28 E ayat (1), (2), dan (3), pasal 28 F, pasal 28 G ayat (1) dan (2), pasal 28
H ayat (1), (2), (3) dan (4), pasal 28 I ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), dan pasal 28 J
ayat (1) dan (2).

Pengaturan pada BAB XA tentang HAM merupakan pencerminan dari HAM
bukan Hak Konstitusional Negara, sebab subjek hukumnya adalah “setiap orang”
artinya bukan hanya warga negara yang mendapatkan hak konstitusional
melainkan setiap orang tanpa ada pembatasan.

2.3. Hubungan Negara dan Agama
2.3.1. Negara Teokrasi

Dalam perkembangan, paham teokrasi terbagi kedalam dua bagian, yakni paham
teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi
langsung, pemerintah diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula.
Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang
memerintah adalah Tuhan pula. Sementara menurut sistem pemerintahan teokrasi
tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan yang
memerintah adalah raja atau kepala yang memiliki otoritas atas nama Tuhan,
kepala Negara atau raja diyakini memerintah atas kehendak Tuhan.

19

Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua hal
yang tidak dapat dipisahkan. Negara dapat menyatu dengan agama, karena
pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan,
segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah
Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi
juga diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan. Dalam pemerintahan Teokrasi
tidak langsung, bahwa sistem dan norma-norma dalam negara dirumuskan
berdasarkan firman-firman Tuhan. Dengan demikian, negara menyatu dengan
agama. Agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Sehingga dalam pembentukan
peraturan pun mengacu pada kitab suci agama tertentu yang menjadi agama pada
negara.29

2.3.2. Negara Sekuler

Selain paham teokrasi, terdapat pula paham sekuler dalam praktik pemerintahan
dalam kaitan hubungan agama dan Negara. Paham sekuler memisahkan dan
membedakan antara agama hubungan agama dan Negara. Dalam negara sekuler,
tidak ada hubungan antar system kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini,
Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia.
Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini menurut
paham sekuler tidak dapat disatukan.

Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai
dan norma agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak
29

Ubaidillah Pendidikan Kewarganegaraan demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, (Jakarta:
IAN Jakarta Press, 2000), hlm. 126.

20

berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma
tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Sekalipun paham ini
memisahkan antara agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya Negara sekuler
membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka
yakini dan Negara intervensif dalam urusan agama.30

2.3.3. Negara Pancasila

Berbeda halnya dengan Indonesia yang dapat dikatakan bukan negara teokrasi
dikarenakan multikulturalismenya dalam hal ini pluralisme agama, juga sekuler
sebab jelas pada Ideologi mengacu pada “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pada
negara plural seperti Indonesia relasi agama dan negara dikemas secara sinegris
bukan dikotomi yang memisahkan antara keduanya. Suatu negara yang menganut
keragaman agama, pengakuan kebebasan beragama memberikan rasa aman pada
rakyat. Artinya tidak ada satu agama yang dijadikan agama resmi negara serta
tidak juga satu agama tertentu yang dijadikan sumber moral dan hukum.

Hubungan antara negara dan agama antara lain diwujudkannya dengan
dibentuknya kementerian agama dalam struktur organisasi pemerintahan. Salah
satu contoh pengakuan ini melalui keluarnya surat edaran Menteri Dalam Negeri
No. 477/74054/1978 yang antara lain menyebutkan agama yang diakui
pemerintah yaitu Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, Buddha dan Khong Hu
Cu.

30

Pemerintah

juga

membentuk

MUI,

WALUBI,

PGI,

KWI,

Dede Rosyada, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hlm. 60.

dan

21

HINDUDHARMA. Walaupun Negara Indonesia mengakui agama-agama tersebut
dan dijabarkan dalam bentuk pelayanan organ negara, akan tetapi jaminan kepada
tiap-tiap orang memeluk agama diluar agama yang diatas tetap memperoleh
perlindungan.31

Negara Pancasila dapat dikatakan sebagai Negara Kebangsaan yang Berketuhanan
Yang Maha Esa sesuai dengan makna Negara Kebangsaan Indonesia yang
berdasarkan dengan Pancasila, merupakan kesatuan integral dalam kehidupan
bangsa dan negara, maka memiliki sifat kebersamaan, kekeluargaan, religiusitas.
Dalam pengertian inilah maka negara pancasila pada hakikatnya adalah negara
kebangsaan yang berketuhanan Yang Maha Esa.

Rumusan ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana terdapat dalam pembukaan
UUD Tahun 1945, telah memberikan sifat yang khas kepada negara kebangsaan
Indonesia, yaitu paham integralistik bahwa negara merupakan suatu kesatuan
integral dari unsur-unsur yang menyusunya, negara mengatasi semua golongan
bagian-bagian yang membentuk negara, negara tidak memihak pada suatu
golongan betapapun golongan tersebut sebagai golongan besar.32

Negara tidak memaksa dan tidak memaksakan agama, karena agama adalah
merupakan suatu keyakinan batin yang tercermin dalam hati sanubari, dan tidak
dapat dipaksakan. Kebebasan beragama dan kebebasan agama adalah merupakan
hak asasi manusia yang paling mutlak karena langsung bersumber pada martabat

31
32

Yulia Neta, Iwan Satriawan, Ilmu Negara, (Lampung: PKPUU, 2013), hlm. 88.
Prof. Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2010), hlm. 131.

22

manusia yang berkedudukan sebagai makhluk pribadi dan makhluk ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa.

Oleh karena itu, agama bukan diberikan negara atau golongan tetapi hak
beragama dan kebebasan beragama merupakan pilihan pribadi manusia dan
tanggung jawab pribadinya. Sehingga tidak ada tempat bagi pemaksaan agama,
karena ketaqwaan itu bukan hasil paksaan siapapun juga. Oleh karena itu harus
memberikan toleransi kepada orang lain dalam menjalankan agama dan negara.33

2.4. Peraturan Daerah
2.4.1. Pengertian Peraturan Daerah

Peraturan Daerah atau yang bisa disebut local wet atau local legislation adalah
peraturan yang dibentuk oleh lembaga legislatif lokal dengan kekuatan berlaku
hanya dalam lingkup wilayah satuan pemerintahan lokal tertentu saja.34 Dari segi
pembuatannya, sudah semestinya kedudukan Peraturan Daerah ini, baik Perda
tingkat provinsi maupun Perda tingkat kabupaten atau kota35, setara dengan
undang-undang.

Dalam artian jika undang-undang dibentuk oleh lembaga legislatif pusat dengan
bersama persetujuan Presiden selaku Kepala Pemerintahan eksekutif. Maka, Perda
dibentuk oleh lembaga legislatif daerah bersama persetujuan Kepala Daerah
setempat. Dengan perkataan lain sama dengan undang-undang yang melibatkan

33

Sudaryono Arch, BAB 1 Negara “Pancasila”, http://filsafat.kompasiana.com/2013/03/11/Bab1-negara-pancasila-541639.html. tanggal 26 Juni 2013, Pukul 22.49.
34
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang,(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 26.
35
Berdasarkan ketentuan pasal 121 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

23

lembaga legislatif dan peran wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat
yang berdaulat.36

Dapat dikatakan, makna khusus dari Perda sendiri adalah peraturan yang dibentuk
oleh Gubernur/Kepala Daerah Provinsi bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dalam melaksanakan otonomi daerah yang
diberikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi.37

Menurut Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dalam Pasal 1 ayat 7, yang dimaksud dengan Perda provinsi
adalah, “Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan
rakyat daerah dengan persetujuan gubernur (kepala daerah).”

Pemaknaan tentang Perda Kabupaten/ kota tertulis dalam pasal 8, “Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.”

Hal ini serupa dengan pasal 69 terkait kewenangan kepala daerah dalam UU No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan, “Kepala
daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi.”

Ketentuan tersebut juga diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yakni tertulis pada 136 ayat (1) terkait kewenangan Kepala

36

Ibid, hlm. 92-93.
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan (jenis, fungsi dan materi muatan) edisi 1,
(Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 202.

37

24

Daerah , “Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan
DPRD.”

Kewenangan pembentukan Perda provinsi ini merupakan pemberian kewenangan
(atribusin) untuk mengatur daerahnya sesuai dengan Pasal 136 ayat 2 UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, “Perda dibentuk dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas
pembatuan.” Namun demikian, pembentukan suatu Perda ini dapat juga
merupakan pelimpahan wewenang (delegasi) dari peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.38

2.5. Berpakaian Muslim dan Muslimah

Dienul Islam bukan saja mengatur hubungan antara manusia dengan Ilahnya
(Tuhannya) tetapi, juga mengatur hubungan antara sesama manusia. Bahkan Islam
mengatur seluruh aspek kehidupan insani, termasuk mengatur masalah pakaian
karena dalam masyarakat masalah pakaian ini sangat penting dan sensitif sekali.39

Pakaian adalah suatu nikmat yang besar, menutupi organ-organ khusus tubuh
manusia dan melindunginya dari bahaya perubahan cuaca.40 Sehingga di dalam
Al-Quran pun menjelaskan bagaimana cara berpakaian yang seharusnya yaitu
yang biasa dikatakan pakaian muslim.

38

Maria Farida Indrati S, Loc. Cit.
Mulhandy Ibn Haj, dkk., Enam Puluh Satu Tanya Jawab tentang JILBAB, (Yogyakarta:
Semesta, 2006), hlm. 1.
40
Syaikh’ Abdulloh bin Sholih Al-Fauzan,Zinatu I-Mar’ati I-Muslimah, diterjemahkan oleh Arif
Munandar, dengan judul Perhiasan Wanita Muslimah, (Solo : Al-Qowam, 2006), hlm. 29.
39

25

Di dalam Al-Quran Surat 7 (Al-Araf) ayat 26 dan 27 Allah Swt telah berfirman
yang artinya,
“Hai anak-anak Adam! Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada
kamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasanmu. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian
itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, supaya mereka
ingat.”
Allah

menganugerahkan

kepada

para

hamba-Nya

segala

apa

yang

membahagiakan mereka, berupa busana wajib yang berguna untuk menutupi aurat
dan busana yang menjadi perhiasan dan kecantikan. Mereka mempercantik diri
pada hari-hari besar dan momen tertentu dengan busana tersebut.

Islam adalah agama yang fitrah. Tiada mengurangi suatu sektor kehidupan kecuali
sejalan dengan fitrah dan mampu mewujudkan kebahagiaan didunia dan akhirat.
Oleh karena itu, Islam tidak merekomendasikan satu jenis busana tertentu yang
tidak boleh dilanggar. Namun, syariat Islam mengakui kebiasaan dari setiap
busana, setiap bangsa dan setiap negeri selagi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam
dan kaidah-kaidah syar’i yang telah ditetapkan Islam dalam persoalan pakaian,
baik busana laki-laki maupun wanita.41

Selain itu Islam juga mengatur mengenai batas-batas aurat, yang mana aurat
adalah bagian yang tidak diperbolehkan terlihat dalam Islam.42 Batas-batas aurat
bagi lelaki adalah dari pusar hingga lutut. Selain itu boleh ditampakan. Hal ini
berdasarkan Hadist Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari,
Hakim dari Muhammad bin Jahsy, katanya “Rasulullah saw, lewat didepan

41
42

Ibid, hlm. 29-30.
http://kamusbahasaindonesia.org/aurat, di akses tanggal 27 Mei 2013, pukul 01:21 WIB.

26

Ma’mar. Kedua pahanya terbuka, maka sabdanya : Hai Ma’mar! Tutuplah kedua
pahamu karena paha itu aurat.”

Akan tetapi, jika memang keadaan menghendaki sedikit terbuka maka boleh
dilakukan. Hal ini berdasarkan pada pertimbangan Hadist lain yang diriwayatkan
oleh oleh Ahmad dan Bukhari dari Anas :43 “Bahwasannya Nabi Saw, sewaktu
perang Khaibar (ia) menyingsingkan kain dari pahanya, sehingga tampaklah
paha yang putih olehku.”
Berikut pula merupakan ketentuan dalam berpakaian bagi pria muslim, yakni44 :
1) Larangan Isbal / memanjangkan pakaian hingga menutup mata kaki.
2) Mengenakan pakaian tipis dan ketat.
3) Mengenakan pakaian menyerupai wanita.
4) Mengenakan pakaian dengan gambar makhluk yang bernyawa.
5) Tidak berbahan sutera.

Tidak hanya pengaturan pakaian muslim saja, busana bagi wanita mukminat Islam
sangat mengaturnya. Sebab, wanita di dalam Islam sangat begitu dihargai
sehingga dengan pengaturan busana khususnya bagi wanita adalah cara Islam
untuk melindungi sesuatu yang begitu berharga.

Adapun batasan bagi aurat wanita yang wajib ditutupi adalah : seluruh tubuh
wanita kecuali muka dan kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan. Ini
berdasar pad hadist Nabi saw yang diriwayatkan oleh Turmudzi dari Ibnu Mas’ud,

43

Mulhandy Ibn Haj, dkk., Op.cit, hlm.4.
http://dealovangga.blogspot.com/2013/01/beberapa-ketentuan-pakaian-laki-laki.html,
Dewangga, Beberapa Ketentuan Pakaian Laki-Laki, tanggal 24 Juni 2013, pukul 08.00.
44

27

“perempuan itu adalah aurat, maka apabila ia keluar, dari rumahnya syetan pun
berdiri tegak (dirangsang olehnya).”45

Berdasarkan penjelasan diatas maka Islam pun mengatur mengenai pakaian yang
harus digunakan wanita untuk menutup seluruh auratnya. Salah satunya dengan
mewajibkan wanita mengenakan Jilbab. Jilbab sendiri berasal dari bahasa Arab
yang jamaknya jalaabib artinya pakaian yang lapang atau luas, sehingga dapat
menutupi aurat wanita, kecuali muka dan kedua telapak tangan sampai
pergelangan tangan saja yang ditampakan. 46

Dalam Al-Qur'an kitabullah dijelaskan pula mengenai jilbab, Q.S. Al-Ahzab ayat
59 yang artinya adalah sebagai berikut:
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu
dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Berikut merupakan beberapa ketentuan dalam berbusana muslimah bagi wanita47,
1) Baju mencakup seluruh tubuh
2) Baju tidak ketat dan tidak menampakan lekuk tubuh.
3) Tidak menyerupai laki-laki.
4) Tidak transparan
5) Tidak menampakan perhiasan

45

Ibid, hlm. 4.
Ibid, hlm. 5.
47
Syaikh’ Abdulloh bin Sholih Al-Fauzan,Zinatu I-Mar’ati I-Muslimah, diterjemahkan oleh Arif
Munandar, dengan judul Perhiasan Wanita Muslimah, Op.cit., hlm. 31-47.
46

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Tipe Penelitian
Dalam analisa penelitian ini, penulis memilih jenis penelitian normatif,47 yaitu
meneliti berbagai peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar
ketentuan hukum untuk menganalisis tentang apakah tolak ukur peraturan daerah
Kabupaten Pasaman Barat Nomor : 7 Tahun 2007 terkait berpakaian muslim dan
muslimah bagi pelajar, mahasiswa dan karyawan sesuai dengan diberlakukan
UUD Tahun 1945 atau tidak.

Tipe penelitian yang dipakai adalah tipe penelitian preskriptif analisis, yaitu
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsepkonsep hukum, dan norma-norma hukum.48

3.2. Metode Pendekatan

Pendekatan

yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute

approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan historis (historical
approach).

47

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2004), hlm. 43.
48
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 22.

29

1) Pendekatan undang-undang (statute approach)49 dilakukan dengan
menelaah peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan
hak asasi manusia dan kewajiban berpakaian muslim khususnya bagi
masyarakat Kabupaten Pasaman Barat.
2) Pendekatan kasus (case approach)50 dilakukan dengan cara melakukan
telaah terhadap kasus yang terjadi akibat diterapkannya peraturan
berpakaian muslim tersebut.
3) Pendekatan historis (historical approach)51 dilakukan dengan menelaah
latar belakang adanya pengaturan terkait pembentukan Perda yang
mewajibkan siswa, mahasiswa dan karyawan di daerah Kabupaten
Pasaman Barat berkewajiban mengenakan pakaian muslim dan muslimah.

3.3. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder yaitu data normatif,52
yang terdiri dari:
1) Bahan Hukum Primer yaitu bahan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan dan dokumen hukum yang mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat karena dibuat dan diumumkan secara resmi oleh
pembentuk hukum negara,53

49

Ibid., hlm. 93.
Ibid., hlm. 94.
51
Ibid.
52
Ibid., hlm. 151.
53
Ibid.
50

30

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berupa publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.54 Berupa
pandangan para ahli (pakar), akademisi, ataupun para praktisi melalui
penelusuran dokumen-dokumen, buku-buku, jurnal hukum, suntingan
dalam internet, dan literatur lainnya yang relevan.
3) Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain Kamus
Hukum, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. 55

3.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui Studi Kepustakaan (library research)
dengan cara membaca, mengutip, mencatat, dan memahami berbagai literatur
yang terkait dengan objek penelitian baik berupa bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

3.5. Metode Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan cara :

1. Identifikasi, identifikasi data yaitu mencari dan menetapkan data yang
berhubungan dengan penerapan Perda Berpakaian Muslim.
2. Pemeriksaan data (editing), yaitu data yang diperoleh, diperiksa untuk
mengetahui apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan dan kesalahan54
55

Peter Mahmud Marzuki,... Op. Cit, hlm. 141
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,Op.cit, hlm. 52

31

kesalahan serta apakah data tersebut telah sesuai dengan permasalahan yang
dibahas.
3. Seleksi data, yaitu memeriksa secara keseluruhan data untuk menghindari
kekurangan dan kesalahan data yang berhubungan dengan permasalahan
4. Klarifikasi data, pengelompokan data yang telah dievaluasi menurut
bahasannya masing-masing dan telah dianalisis agar sesuai dengan
permasalahannya.
5. Penyusunan data, yaitu menyusun data yang telah diperiksa secara sistematis
sesuai dengan urutannya sehingga pembahasan lebih mudah dipahami

3.6.

Analisis Data

Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan metode
kualitatif, yaitu dengan cara menguraikan data dalam bentuk kalimat yang
tersusun secara sistematis. Kemudian, sarana atau alat untuk menganalisis data
yaitu menggunakan interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis dan Interpetasi
Historis.
Interpretasi gramatikal dilakukan dengan cara menguraika