Sistem Pemerintahan Nagari (Studi Kasus: Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Nagari di Nagari Cingkariang Kabupaten agam Menurut Perda nomor 12 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Nagari)

(1)

Skripsi

SISTEM PEMERINTAHAN NAGARI

(Studi Kasus : Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Nagari di Nagari Cingkariang Kabupaten Agam Menurut Perda Kabupaten Agam Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari)

Disusun Oleh : Dina Endriana

050906063

Dosen Pembimbing : Drs. Zakaria Thaher, M.SP

Dosen Pembaca : Warjio, SS, MA

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

Telah selesai diberikan bimbingan dan penulisan skripsi sehingga naskah penelitian ini telah memenuhi syarat dan dapat disetujui untuk dipertahankan dalam ujian skripsi oleh :

Nama : Dina Endriana

Nim : 050906063

Program studi : Ilmu Politik

Medan, 5 Maret 2010 Diketahui Oleh :

Ketua Departemen Ilmu Politik

Drs. Heri Kusmanto, MA NIP: 196410061998031002

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Zakaria Thaher, M.SP Warjio, SS, MA

NIP : 195801151986011002 NIP: 197408062006041003

Diketahui :

a.n Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Pembantu Dekan I

Drs. Humaizi, MA NIP : 195908091986011002


(3)

Abstrak

Nama : Dina Endriana

NIM : 050906063

Departemen : Ilmu Politik

Judul : Sistem Pemerintahan Nagari

(Studi Kasus: Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Nagari di Nagari Cingkariang Kabupaten agam Menurut Perda nomor 12 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Nagari)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan sistem pemerintahan nagari di Nagari Cingkariang menurut Perda Kabupaten Agam Nomor 12 Tahun 2007 tentang Sistem Pemerintahan Nagari. Masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini yaitu bagaimana sejarah terbentuknya nagari di Minangkabau, bagaimana pelaksanaan sistem pemerintahan nagari menurut adat Minangkabau serta bagaimana pelaksanaan sistem pemerintahan nagari di nagari Cingkariang menurut Perda no. 12 tahun 2007 tentang sistem pemerintahan nagari.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan melakukan wawancara dengan pihak terkait serta mengumpulkan data-data melalui buku dan dokumen lembaga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk menjadi sebuah nagari melalui empat tahapan (fase), mulai dari taratak, dusun, koto, nagari. Nagari di Minangkabau merupakan gabungan dari beberapa koto yang terdiri dari sekurang-kurangnya empat buah suku. Pemerintahan nagari menurut adat Minangkabau dipimpin oleh Penghulu. Penghulu merupakan pemimpin suku. Dalam memimpin nagari, penghulu-penghulu berada dalam kelembagaan yang disebut KAN (Kerapatan Adat Nagari). Ketua dari KAN merupakan kepala nagari. Sedangkan peda sistem pemerintahan nagari menurut Perda no.12 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari, pemerintahan nagari dipimpin oleh Wali nagari. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, wali nagari dan BAMUS nagari mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dalam penelitian ini terlihat bahwa fungsi KAN bergeser menjadi lembaga kemasyarakatan yang memiliki tugas dan fungsi mengurus urusan Adat Minangkabau.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis kepada Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia Nya

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Sistem Pemerintahan Nagari dengan

studi kasus pelaksanaan sistem pemerintahan nagari menurut Perda No. 12 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari. Skripsi ini memaparkan tentang nagari di Minangkabau. Bahwa untuk menjadi sebuah nagari melalui beberapa tahapan serta terdiri dari minimal empat buah suku.

Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa penghulu adalah pemimpin nagari dalam pelaksanaan sistem pemerintahan nagari menurut adat Minangkabau. Penghulu-penghulu tersebut berada dalam satu kelembagaan yang bernama KAN (kerapatan Adat Nagari). Fungsi penghulu sebagai kepala nagari ini kemudian bergeser pada pelaksanaan sistem pemerintahan nagari menurut Perda Kabupaten agam No.12 tahun 2007 tentang pemerintahan nagari menjadi lembaga kemasyarakatan yang mengurusi masalah adat Minangkabau.

Penulis berharap saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Sehingga skripsi ini lebih bermanfaat untuk penelitian selanjutnya. Karena penulis menyadari skripsi ini jauh dari rasa memuaskan.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Humaizi, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

2. Bapak Drs. Heri Kusmanto,MA selaku ketua Departemen Ilmu Politik

3. Bapak Drs. Zakaria Thaher, M.SP dan Bapak Warjio, SS, MA selaku pembimbing

yang begitu baik dan penuh kesabaran dalam membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. Memberikan kritik dan saran yang membangun skripsi ini menjadi lebih baik dari sebelumnya.

4. Kepada Keluargaku tercinta, papa, alm. Mama, ibu, kak deni, silvi, ryan, rehan, dan

vivi. Terima kasih tuk kasih sayang dan pengertiannya

5. Kepada semua dosen FISIP USU, terima kasih tuk ilmunya, semoga ini semua

bermanfaat bagi kehidupan penulis.

6. Tuk Bang Rusdi, kak uci, dan bg hendra terima kasih atas semua bantuannya sejak

penulis masuk ke kampus ini. Terima kasih tuk nasehat-nasehatnya.

7. Tuk semua kawan-kawan yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima


(5)

8. Serta semua yang penulis kenal, kalian adalah guru bagi penulis, tuk belajar banyak hal...penulis mohon maaf tuk segala kesalahan yang disengaja atau tidak. Semoga Allah membalas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis...

Medan, 6 maret 2010


(6)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan ... i

Abstrak ... ii

Kata pengantar ... iii

Daftar Isi ... v

BAB I Pendahuluan ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Rumusan Masalah ... 5

3. Batasan Masalah ... 5

4. Tujuan Penelitian ... 6

5. Manfaat Penelitian ... 6

6. Kerangka Teori ... 7

6.1 Sistem ... 7

6.2 Pemerintah ... 12

6.3 Pemerintahan ... 13

6.4 Pemerintahan Nagari ... 14

7. Metodologi Penelitian ... 15

7.1 Jenis Penelitian ... 15

7.2 Lokasi Penelitian ... 15

7.3 Teknik Pengumpulan Data ... 15

7.4 Teknik analisa Data ... 15

8. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II Deskripsi Lokasi Penelitian ... 17

1. Letak Geografis ... 17

2. Penduduk... 18


(7)

4. Ekonomi ... 18

5. Pendidikan dan Agama ... 19

6. Pemerintahan Nagari ... 20

7. Kelembagaan Nagari ... 22

BAB III Pelaksanaan sistem Pemerintahan Nagari ... 25

1. Sejarah Terbentuknya Nagari di Minangkabau ... 25

1.1 Fase Taratak ... 26

1.2 Fase Dusun ... 27

1.3 Fase Koto ... 27

1.4 Fase Nagari ... 28

2. Sistem Pemerintahan nagari Menurut Adat Minangkabau ... 30

2.1 Syarat Terbentuknya Nagari ... 31

2.2 Pemerintahan Nagari Menurut adat Minangkabau ... 32

2.2.1 Yang Berhak Menjadi Penghulu ... 36

2.2.2 Syarat-syarat Untuk Menjadi Penghulu ... 37

2.2.3 Kewajiban (utang) Seorang Penghulu ... 38

2.2.4 Martabat Penghulu ... 39

2.2.5 Pantangan (larangan) Penghulu ... 41

2.2.6 Perangkat Penghulu ... 43

2.2.7 Alasan Mendirikan Penghulu Baru... 45

2.2.8 Prosedur Pengangkatan Penghulu ... 46

3. Peraturan Perundangan-undanagan dan Hukum Adat ... 47

3.1 Adat ... 47

3.1.1 Adat yang Sebenarnya adat ... 47

3.1.2 Adat yang Diadatkan ... 48

3.1.3 Adat Yang Teradat... 49

3.1.4 Adat Istiadat ... 50


(8)

3.2.1 Undang-undang Nagari ... 50

3.2.2 Undang-undang Isi Nagari ... 51

3.2.3 Undang-undang Luhak dan Rantau ... 52

3.2.4 Undang-undang Dua Puluh ... 54

3.3 Cupak ... 58

3.4 Hukum Adat Minangkabau ... 60

3.4.1 Pampasan (ganti rugi) ... 60

3.4.2 Jenis Hukuman ... 61

3.4.3 Hukum Buang... 62

3.4.4 Peradilan ... 63

BAB IV Sistem Pemerintahan Nagari Cingkariang Menurut Perda No.12 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari ... 65

1. Pembentukan Nagari dan Pemerintahan Nagari... 65

2. Pemerintahan nagari Menurut Perda No.12 tahun 2007 tentang Pemerintahan nagari ... 67

2.1 Wali Nagari... 68

2.2 Perangkat nagari... 72

2.2.1 Sekretaris Nagari ... 72

2.2.2 Kepala urusan ... 73

2.2.3 Wali Jorong ... 78

2.2.4 Larangan Perangkat Nagari ... 79

2.2.5 Tata Kerja Perangkat Nagari ... 79

2.3 BAMUS Nagari ... 80

2.3.1 Fungsi BAMUS ... 80

2.3.2 Tugas dan wewenang BAMUS ... 80

2.3.3 Hak BAMUS ... 81

2.3.4 Kewajiban BAMUS ... 81

2.3.5 Larangan bagi BAMUS Nagari ... 82


(9)

2.4.1 Tugas KAN ... 83

2.4.2 Fungsi KAN ... 83

3. Peraturan Perundang-undangan... 84

4. Kendala-kendala Dalam Menjalankan sistem pemerintahan Nagari86 Bab V Penutup ... 88

1. Kesimpulan ... 88

2. Saran ... 89


(10)

Abstrak

Nama : Dina Endriana

NIM : 050906063

Departemen : Ilmu Politik

Judul : Sistem Pemerintahan Nagari

(Studi Kasus: Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Nagari di Nagari Cingkariang Kabupaten agam Menurut Perda nomor 12 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Nagari)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan sistem pemerintahan nagari di Nagari Cingkariang menurut Perda Kabupaten Agam Nomor 12 Tahun 2007 tentang Sistem Pemerintahan Nagari. Masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini yaitu bagaimana sejarah terbentuknya nagari di Minangkabau, bagaimana pelaksanaan sistem pemerintahan nagari menurut adat Minangkabau serta bagaimana pelaksanaan sistem pemerintahan nagari di nagari Cingkariang menurut Perda no. 12 tahun 2007 tentang sistem pemerintahan nagari.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan melakukan wawancara dengan pihak terkait serta mengumpulkan data-data melalui buku dan dokumen lembaga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk menjadi sebuah nagari melalui empat tahapan (fase), mulai dari taratak, dusun, koto, nagari. Nagari di Minangkabau merupakan gabungan dari beberapa koto yang terdiri dari sekurang-kurangnya empat buah suku. Pemerintahan nagari menurut adat Minangkabau dipimpin oleh Penghulu. Penghulu merupakan pemimpin suku. Dalam memimpin nagari, penghulu-penghulu berada dalam kelembagaan yang disebut KAN (Kerapatan Adat Nagari). Ketua dari KAN merupakan kepala nagari. Sedangkan peda sistem pemerintahan nagari menurut Perda no.12 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari, pemerintahan nagari dipimpin oleh Wali nagari. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, wali nagari dan BAMUS nagari mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dalam penelitian ini terlihat bahwa fungsi KAN bergeser menjadi lembaga kemasyarakatan yang memiliki tugas dan fungsi mengurus urusan Adat Minangkabau.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 ayat 1 dan 2 antara lain menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-undang. Pemerintah Daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.1

“Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Daerah otonom, selanjutnya disebut dengan daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI.”

Reformasi telah melahirkan Undang-undang No.22 tahun 1999 sebagai dasar pelaksanaan otonomi daerah. Seperti terdapat dalam BAB I Ketentuan Umum pasal 1 huruf h dan i Undang-undang No.22 Tahun 1999 yang menyatakan :

2

Adanya otonomi daerah ini, memunculkan ide untuk mengembalikan sistem pemerintahan di Sumatera Barat kepada sistem pemerintahan nagari. Sehingga di daerah

Munculnya Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah berarti menegaskan bahwa pemberian otonomi kepada daerah didasarkan kepada asas desentralisasi dalam wujud otonomi itu berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan pusat dengan daerah, serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan negara. Kongkritnya, dinamika yang selama ini lebih ditentukan oleh kehendak pemerintah pusat beralih kepenentuan dan pengendaliannya oleh masyarakat daerah.

1

Pasal 18 ayat 1 dan 2, Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 2


(12)

Sumatera Barat timbul suatu istilah yang dikenal dengan konsep “kembali ke nagari”. Disebut dengan “kembali” karena memang di Sumatera Barat pernah menggunakan suatu sistem pemerintahan nagari yang pernah jaya dan memiliki kesatuan dengan nilai sistem yang demokrasi dengan musyawarah dan mufakat “ bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” serta didasari oleh falsafah “ Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru.”

Istilah pemerintahan nagari yang pernah ada tersebut hilang selama masa pemerintahan Orde Baru dengan diberlakukannya Undang-undang no.5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa di ranah minang. Desa yang merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.3

Perubahan system pemerintahan nagari ke desa ternyata menimbulkan dampak negative dalam tatanan kehidupan masyarakat minangkabau,diantaranya yaitu (tulisan AA Nafis yang berjudul”nagari”di Singgalang:7 maret 1999)

4

a. Hilangnya batas-batas nagari atau terpecahnya wilayah nagari sebagai wilayah adat,

menyebabkan mengaburnya sala satu syarat adanya suatu nagari. Syarat tersebut adalah basasok bajarami yang artinya eksistensi daerah (wilayah) dapat ditandai bendera termasuk batas-batas yang jelas. Enam syarat yang lainnya: bapandam bapakuburan, balabuah batapian, bakorong bakampuang, barumah batanggo, basawah baladang, babalai bamusajik.

:

b. Sistem demokrasi masyarakat minang dalam memilih wali nagari yang merupakan

suatu tradisi yang amat baik di minang tidak lagi diteruskan dalam pemilihan kepala desa. Kepala desa / lurah ditunjuk dari atas, masyarakat tidak berperan aktif dalam pemilihan tersebut.

c. Masyarakat kehilangan tokoh angku palo (sebutan untuk wali nagari) yang tidak

dapat digantikan oleh kepala desa atau lurah. angku palo pada umumnya adalah

3

Drs.C.S.T Kansil, SH, Desa Kita Dalam Peraturan Tata Pemerintahan Desa, Jakarta : Ghalia Indonesia, hal. 25.

4

Tulisan AA. Navis, berjudul “ nagari” pada harian singgalang, 7 maret 1999 pada Hasrifendi dan Lindo Karsyah, Utopia Nagari Minangkabau, Padang: IAIN-IB Press,2003, hal 6.


(13)

tokoh kharismatik yang amat dihormati yang menjadi tauladan dan panutan anak nagari. Angku palo tidak saja menguasai seluk beluk pemerintahan nagari tetapi juga memahami adat istiadat nagari dan taat beragama.

d. Aspirasi anak nagari dalam pembagunan kehilangan wadah asli yaitu nagari.

Sedangkan desa/ lurah bahkan KAN tidak mampu menggantikan fungsi tersebut. e. Generasi muda sekarang sudah banyak yang tidak mengetahui dan memahami apa

yang dikatakan nagari terutama bagi yang tidak sempat mempelajari BAM.

Undang-undang no.5 tahun 1979 merupakan landasan pengaturan pemerintahan desa. Dengan system pemerintahan desa, system pemerintahan nasional secara vertical sampai ke desa. Sehingga menimbulkan konsekuensi terjadinya penyeragaman pemerintahan desa.

Kondisi ini mempunyai dampak kurang efektifnya perjalanan system ini terutama daerah Sumatera Barat karena di dalam system ini mempunyai kelemahan yaitu:

a. Desa yang sebelumnya merupakan wilayah nagari telah membatasi secara

administrative potensi sumber daya yang ada, sehingga desa mengalami kesulitan dalam pengembangan dan pembangunan desa itu sendiri.

b. Terjadinya penurunan ikatan sosial masyarakat nagari yang dulunya sudah baik,

sehingga mengakibatkan timbulnya beberapa konflik di tengah masyarakat.

c. Secara sosial budaya, masyarakat yang berada di perantauan memperlihatkan

kurangnya dukungan terhadap pemerintahan desa, karena masyarakat perantauan

lebih merasa terikat dengan nagari. 5

Undang-Undang no 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah memberikan peluang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk menyesuaikan bentuk dan susunan pemerintahan terendah dalam daerah berdasarkan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat. Berarti berdasarkan Undang-Undang tersebut, daerah diberikan kesempatan untuk berfikir kreatif untuk kemakmuran dan kesejahteraan daerah masing-masing. Sumatera Barat pun kemudian kembali ke system pemerintahan nagari yang sudah tenggelam ketika system pemerintahan desa diberlakukan.

5

Kemal S.H, Sekitar Pemerintahan Nagari Minangkabau dan Perkembangannya, Tinjauan Tentang Kerapatan Adat, Padang : Percetakan Daerah Sumatera Barat, hal. 153.


(14)

Dengan lahir dan berlakunya undang-undang nomor 22 tahun 1999 telah memberikan peluang untuk menjadikan nagari sebagai pemerintahan ke depan, sehingga menciptakan system pemerintahan yang bersifat desentralistik yang berimplikasi kepada upaya penumbuhan kembali demokrasi dan otonomi pada masyarakat nagari. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka sebagai pelaksanaannya, masing-masing daerah mengeluarkan peraturan daerah menurut daerahnya masing-masing. Begitu juga halnya dengan Sumatera Barat yang menggunakan sistem pemerintahan nagari. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-undang Otonomi daerah Nomor 22 tahun 1999, Propinsi Sumatera Barat mengeluarkan Peraturan Daerah Propinsi No. 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Peraturan Daerah Propinsi ini kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah daerah Kabupaten Agam dengan mengeluarkan Peraturan Daerah No. 31 tahun 2001 tentang pemerintahan nagari.

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2005 tentang desa sebagai tindak lanjut dari hal yang berkenaan dengan desa (nagari) akibat ditetapkannya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka peraturan daerah Kabupaten Agam Nomor 31 tahun 2001 tentang Pemerintahan nagari harus disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 sebagai pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa.

Disamping adanya perubahan perundang-undangan dalam pengaturan nagari, tuntutan perubahan pengaturan tentang penyelenggaraan pemerintahan nagari juga memperhatikan dinamika yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat dan hal-hal yang timbul dalam implementasi penyelenggaraan pemerintahan nagari seperti tumpang tindihnya fungsi lembaga-lembaga yang ada di nagari, kurang harmonisnya hubungan antar lembaga nagari dan keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan nagari. Dengan memperhatikan tuntutan perubahan perundang-undangan dan dinamika dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari tersebut maka perlu dilakukan penggantian terhadap

Peraturan Daerah Nomor 31 tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari.6

6

Peraturan Daerah Kabupaten Agam, Penjelasan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Nagari, hal. 47.

Sebagai pengganti Peraturan Daerah Nomor 31 tahun 2001 tersebut, maka dikeluarkanlah Peraturan Daerah


(15)

Nomor 12 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari di Kabupaten Agam yang merupakan dasar dan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari.

Semenjak ditetapkannya peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari pada tanggal 10 Desember 2007, maka jalannya pemerintahan seluruh Nagari di Kabupaten Agam berpedoman pada peraturan daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya, pemerintahan nagari dilaksanakan oleh wali nagari sebagai pimpinan eksekutif dibantu oleh Badan Musyawarah (BAMUS) Nagari sebagai legislatif. Pelaksanaan sistem pemerintahan nagari merupakan salah satu bentuk otonomi yang diberikan oleh pemerintah pusat, karena dalam sistem pemerintahannya, nagari berhak untuk mengatur rumah tangganya sendiri.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mempelajari dan meneliti bagaimana pelaksanaan sistem pemerintahan nagari di Nagari Cingkariang menurut Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari.

2. Rumusan Masalah

Masalah adalah sesuatu yang membutuhkan pemecahan, karena masalah merupakan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Dr. Winarno Surachman, yaitu:

“masalah adalah setiap kesulitan yang menggerakkan manusia untuk memecahkannya. Masalah harus dapat dirasakan sebagai suatu rintangan yang mesti dilalui

dengan jalan mengatasinya apabila kita akan berjalan terus.”7

3. Batasan Masalah

Maka dari itu berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah

dalam penelitian ini sebagai berikut : “ Bagaimana pelaksanaan sistem pemerintahan

nagari di Nagari Cingkariang menurut Perda No.12 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari”

Agar pembahasan penelitian ini menjadi lebih terarah dan tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini hanya membahas masalah :

7

Winarno Surachman, Dasar dan Teknik Research. Pengantar metodologi Ilmiah, Bandung : CV. Tarsito, 1978, hal. 33.


(16)

1. Sejarah ringkas terbentuknya nagari di Minangkabau

2. Sistem Pemerintahan Nagari secara tradisional menurut adat Minangkabau

3. Sistem Pemerintahan nagari di Nagari Cingkariang menurut Peraturan Daerah

No.12 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari. 4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana Sejarah ringkas terbentuknya nagari di

Minangkabau

2. Untuk mengetahui Sistem Pemerintahan Nagari secara tradisional munurut

adat Minangkabau

3. Untuk mengetahui Sistem Pemerintahan nagari di Nagari Cingkariang

menurut Peraturan Daerah No.12 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari. 5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:

a. Dapat menambah wawasan bagi penulis untuk memahami bagaimana

pelaksanaaan sistem pemerintahan nagari di Nagari Cingkariang menurut Peraturan Daeran Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari.

b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan

masukan bagi masyarakat dalam mempertimbangkan dan mengevaluasi pelaksanaan sistem pemerintahan nagari.

c. Secara akademis, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai referensi dan literatur

bagi departemen Ilmu Politik FISIP USU tentang pelaksanaan sistem pemerintahan nagari di Nagari Cingkariang menurut peraturan daerah no. 12 tahun 2007 serta dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.


(17)

6. Kerangka Teori 6.1 Sistem.

Menurut Tatang Amirin, istilah sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu ”systema”, yang mempunyai pengertian:

a. Suatu hubungan yang tersusun dari sekian banyak bagian.

b. Hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau

komponen-komponen secara teratur.

Jadi, sistem berdasarkan pengertian di atas mengandung arti sebagai sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu

keseluruhan.8

1. Faktor-faktor yang dihubungkan

Drs. Sukarna mendefinisikan sistem sebagai sesuatu yang berhubung-hubungan satu sama lain sehingga membentuk satu kesatuan.

Dengan demikian di dalam sistem ada dua unsur :

2. Hubungan yang tidak dipisahkan antara faktor-faktor itu

3. Karena hubungannya maka membentuk satu kesatuan.9

Sedangkan S. Pamudji mengemukakan pengertian sistem sebagai suatu kebulatan/ keseluruhan yang utuh, dimana di dalamnya terdapat komponen-komponen yang pada gilirannya merupakan sistem tersendiri, yang mempunyai fungsi masing-masing, saling berhubungan satu sama lain menurut pola, tatanan/ norma tertentu dalam rangka mencapai

suatu tujuan.10

8

Soleman B. Taneko, Konsepsi Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Cv. Fajar Agung, 1986, hal.1. 9

Drs. Sukarna, Sistem Politik, Bandung : Pt. Citra Aditya Bakti, 1990, hal.13. 10


(18)

Berdasarkan pengertian sistem diatas, maka dapat dilihat bahwa ciri umum sebuah sistem adalah bahwa dalam suatu sistem terdapat unsur-unsur yang saling berkaitan atau

berhubungan dalam satu kesatuan.11

Dalam kehidupan politik, dikenal sistem politik. Secara harfiah sistem politik ialah kumpulan pendapat-pendapat, prinsip-prinsip, dan lain-lain yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur hubungan antara individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan negara dan hubungan negara dengan

negara.12

1. Sistem politik menetapkan nilai-nilai dalam bentuk kebijaksanaan dan

keputusan

Berdasarkan definisi David Easton tentang sistem politik, bahwa sistem politik terdiri dari tiga unsur, yaitu :

2. Penetapannya bersifat peksaan atau dengan kewenangan

3. Penetapan yang bersifat paksaan itu mengikat masyarakat secara keseluruhan.13

Menurut Gabriel Almond, sistem politik merupakan organisasi melalui mana

masyarakat merumuskan dan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama mereka.14

Yang termasuk ke dalam sustu sistem politik adalah semua tindakan yang lebih kurang langsung berkaitan dengan pembuatan keputusan-keputusan yang mengikat

masyarakat.15

Terus bekerjanya sebuah sistem dijamin oleh berbagai macam input. Input kemudian diubah oleh proses-proses yang terjadi dalam sistem itu menjadi output. Dan selanjutnya output-output ini menimbulkan pengaruh terhadap sistem itu sendiri maupun terhadap lingkungan dimana sistem itu berada. Seperti yang ditunjukkan oleh kerangka kerja sistem politik yang dikembangkan oleh David Easton, sebagai berikut :

11

Soleman B. Taneko, Op.cit., hal.3. 12

Drs. Sukarna, Op.cit., hal. 15. 13

Ibid., hal .16. 14

Mochtar Mas’oed, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001, hal. 23. 15


(19)

Tabel 1

Kerangka kerja Sistem Politik oleh David Easton16

Lingkungan

Tuntutan Keputusan

Sistem Politik atau

Dukungan Kebijaksanaan

Umpan Balik

Lingkungan

Dalam bentuk dasarnya, suatu sistem politik hanya merupakan suatu alat dengan mana berbagai jenis input diubah menjadi output. Ia merupakan titik awal yang sangat

berguna, dari mana kita dapat memulai menghubungkan kompleksitas kehidupan politik.17

Untuk tetap menjaga keberlangsungan fungsinya, sistem juga memerlukan energi dalam bentuk tindakan-tindakan atau pandangan-pandanganyang memajukan dan

Tanpa input, suatu sistem tidak akan dapat berfungsi. Input terdiri atas dua jenis, yaitu tuntutan dan dukungan. Tuntutan merupakan suatu bagian penting dari bahan dasar yang diperlukan untuk bekerjanya suatu sistem. Tuntutan itu juga merupakan salah satu sumber timbulnya perubahan dalam sistem politik, karena berubahnya lingkungan menyebabkan timbulnya jenis input-tuntutan yang baru.

Input berupa tuntutan saja tidaklah memadai untuk keberlangsungan kerja suatu sistem politik. Input tuntutan itu hanyalah bahan dasar yang dipakai untuk membuat produk akhir yang disebut keputusan.

16

Ibid., hal. 4-5 17

David Easton, Kerangka kerja Analisa Sistem Politik, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1984, hal. 165.

I N P U T

O U T P U T


(20)

merintangi suatu sistem politik, tuntutan-tuntutan yang timbul di dalamnya, dan

keputusan-keputusan yang dihasilkannya. Input seperti ini disebut dukungan / support.18

Sistem politik memiliki konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi masyarakat yaitu keputusan-keputusan otoritatif (berdasarkan kewenangan/ dikuatkan oleh kekuasaan

yang sah). Konsekuensi-konsekuensi inilah yag disebut dengan output.19

Output merupakan hasil tututan dan dukungan yang dibuat oleh badan-badan pembuat keputusan ke dalam peraturan-peraturan atau kebijaksanaan untuk mempertahankan ketertiban, sehingga sistem dapat tetap berjalan dengan cara penyesuaian

atau mengubah keadaan.20 Sistem politik berusaha mempertahankan aliran arus dukungan,

yang sangat diperlukan sebagai energi untuk merubah tuntutan-tuntutan dari lingkungan menjadi keputusan-keputusan pemerintahan, melalui dua cara : yaitu dengan menciptakan output yang bisa memenuhi tuntutan anggota masyarakat, dan dengan melakukan sosialisasi politik. Output dari sistem politik berwujud keputusan-keputusan dan pelaksanaannya yang mengalokasikan hal-hal yang bernilai. Output-output ini bisa menciptakan dukungan di kalangan masyarakat terhadap sistem politik baik dengan cara memenuhi tuntutan atau dengan menunjukkan ancaman sanksi bagi yang tidak

mendukung.21

1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek

demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

Semenjak diberlakukannya undang-undang no. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, memberikan peluang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk menyesuaikan bentuk dan susunan pemerintahan terendah dalam daerah berdasarkan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat. Sehubungan dengan pemberlakuan UU No.22 Tahun 1999 ini, prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut :

2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung

jawab.

18

Mochtar Mas’oed, Op.cit., hal. 11. 19

Ibid., hal. 6. 20

Sukarna, Op.cit., hal.24. 21


(21)

3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.

4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap

terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar-daerah.

5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah

otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonom.

6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan

legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyeleng-gaaraan pemerintahan daerah.

7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam

kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.

8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah

kepada Daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang

menugaskannya.22

Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 telah memberikan harapan kepada daerah untuk dapat membenahi serta membangun daerahnya masing-masing sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah yang didasarkan pada otonomi yang nyata, luas dan bertanggung jawab yang bertujuan untuk lebih meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keinginan inilah

22


(22)

yang menimbulkan tuntutan di kalangan masyarakat agar pemerintah daerah dapat mengeluarkan peraturan daerah yang mengatur kehidupan masyarakatnya.

Maka berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999, pemerintah daerah mengeluarkan peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 9 tahun 2000 tentang ketentuan pokok pemerintahan nagari. Disusul dengan dikeluarkannya peraturan daerah kabupaten Agam Nomor 31 tahun 2001 tentang pemerintahan nagari. Kemudian peraturan daerah ini mengalami perubahan dengan dikeluarkannya peraturan daerah kabupaten Agam Nomor 12 tahun 2007 tentang pemerintahan nagari.

Dalam sistem pemerintahan nagari, Badan Musyawarah Nagari (BAMUS) sebagai legislatif yang terdiri dari unsur ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai bundo kanduang dan generasi muda, bersama -sama dengan wali nagari dan perangkat nagari (eksekutif) menetapkan Peraturan Nagari, menampung serta menyalurkan aspirasi masyarakat. Meskipun memiliki fungsi masing-masing, namun BAMUS dan pemerintah nagari saling berhubungan menurut aturan dan norma tertentu untuk mencapai tujuan.

Dalam hal ini,badan musyawarah nagari menampung aspirasi (input) dari masyarakat nagari, input tersebut kemudian dibahas dalam rapat dengan walinagari dan perangkat nagari (konversi). Setelah pembahasan dilakukan, maka dikeluarkanlah keputusan (output) sebagai tindak lajut dari input yang telah diberikan oleh masyarakat.

6.2Pemerintah

Istilah pemerintah berasal dari kata perintah. Pemerintah adalah orang, badan atau

aparat yang mengeluarkan atau memberi perintah.23

Bagi negara yang menganut sistem presidensial, pemerintah dalam arti sempit adalah presiden, wakil presiden dengan menteri-menteri. Dalam sistem parlementer, pemerintah dalam arti sempit adalah perdana menteri, wakil perdana menteri serta dewan

menteri atau kabinet.24

Segenap alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga kenegaraan yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan nasional disebut dengan pemerintah dalam

23

Taliziduhu Ndraha, Metodologi Pemerintahan Indonesia, jakarta: PT. Bina Aksara, 1988, hal. 22. 24


(23)

arti luas. Pemerintah dalam arti luas meliput i segenap lembaga-lembaga kenegaraan yang tercantum dalam batang tubuh UUD 1945, yaitu :

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat

2. Presiden

3. Dewan Pertimbangan Agung

4. Kementrian negara

5. Dewan Perwakilan Rakyat

6. Mahkamah Agung 25

Pada sistem pemerintahan nagari, wali nagari dan perangkatnya merupakan pemerintah nagari dalam arti sempit. Wali nagari menjalankan kekuasaannya dengan dibantu para perangkat nagari, seperti kepala urusan pemerintahan, kepala urusan pembangunan, kepala urusan sosial dan kemasyarakatan, kepala urusan keuangan dan aset, Bendahara dan wali jorong yang tersebar di enam jorong.

Sedangkan pemerintah dalam arti luas dalam sistem pemerintahan nagari meliputi wali nagari beserta seluruh perangkatnya, Badan Musyawarah Nagari (BAMUS NAGARI), Kerapatan Adat Nagari (KAN), serta seluruh lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada dalam nagari tersebut. Seperti LPMN (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Nagari).

6.3 Pemerintahan

Pemerintahan dalam arti sempit meliputi segala kegiatan pemerintah dalam arti sempit. Dalam hal ini, berarti pemerintahan dalam arti sempit adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh presiden, wakil presiden serta menteri-menteri (menurut sistem presidensial) dan perdana menteri, wakil perdana menteri serta dewan kabinet (menurut sistem parlementer). Pemerintahan dalam arti sempit juga diartikan sebagai perbuatan memerintahan yang dilakukan oleh eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara.

25


(24)

Pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ atau badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam rangka mencapai

tujuan pemerintahan negara (tujuan nasional).26

Apabila dikaitkan dengan pengertian sistem, maka kebulatan atau kesatuan yang utuh adalah pemerintahan, sedangkan komponen-komponennya adalah legislatif, eksekutif, serta yudikatif yang mempunyai fungsi masing-masing. Pada gilirannya legislatif merupakan satu sistem tersendiri, begitu juga dengan eksekutif dan yudikatif, mereka saling berhubungan satu sama lain mengikuti pola, tata, dan norma tertentu. Semua dalam rangka mencapai tujuan pemerintah negara yang lazimnya terumus dalam UUD negara

atau dalam dokumen-dokumen lain.27

Dalam rangka mencapai tujuannya, sistem pemerintahan itu berproses, dalam proses diperlukan masukan (input) dan setelah melalui proses konversi akan menghasilkan keluaran (output). Output selanjutnya akan menjadi umpan balik (feedback) dan menjadi masukan (input) lagi bagi proses konversi yang baru, dengan keluaran yang baru, yang

lebih baik.28

Inti proses pemerintahan adala kegiatan-kegiatan pembuatan keputusan berdasarkan kewenangan yang dilakukan oleh badan-badan politik atau struktur politik.

Sistem berkembang dan tumbuh dalam suatu lingkungan yang mempengaruhi dan dipengaruhinya. Lingkungan tersebut dapat berupa lingkungan fisik dan nonfisik atau sosial. Lingkungan sosial meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam.

29

6.4 Pemerintahan Nagari

Pemerintahan nagari adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah nagari dan badan permusyawaratan nagari dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.30

26

S.Pamudji, op.cit., hal. 25-26. 27

Ibid., hal. 29. 28

Ibid., hal. 30. 29

Sukarna, Op.cit., hal. 22. 30


(25)

7. Metodologi Penelitian 7.1 Jenis Penelitian

Untuk menguraikan pelaksanaan sistem pemerintahan Nagari Cingkariang, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel yang timbul dalam

masyarakat yang menjadi objek penelitian.31

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati.

32

31

Burhan Burgin, Metode Penelitian Sosial, formal-formal kualitatif dan kualitas, Surabaya : Airlangga University Press,2001, hal. 48.

32

Lexy J. Moleong. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.2000, hal.5.

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, peneliti melakukan wawancara ke lapangan serta dari dokumentasi yang dibutuhkan.

7.2 Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini yaitu di Nagari Cingkariang Kabupaten Agam.

7.3 Teknik Pengumpulan Data 1. Metode Lapangan

Dengan menggunakan metode ini, peneliti melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait.

2. Metode Kepustakaan

Metode kepustakaan digunakan pada penelitian ini dengan mengumpulkan data dan informasi melalui buku- buku dan dokumen-dokumen lembaga.

7.4 Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis analisa data kualitatif, yaitu tanpa menggunakan alat bantu rumus statistik.


(26)

Penelitian ini bersifat deskripsi dengan tujuan memberikan gambaran mengenai situas dan kejadian yang terjadi. Data-data yang terkumpul melalui wawancara dan dokumentasi akan ditampilkan dalam bentuk uraian lalu dianalisa kemudian dieksplorasi selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.

8 Sistematika Penulisan.

Untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih terperinci serta untuk mempermudah pemahaman isi dari skripsi ini maka penulis membagi dalam lima bab.

BAB I Pendahuluan

Menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Deskripsi Lokasi Penelitian

Bab ini berisi gambaran umum wilayah Nagari Cingkariang Kabupaten Agam.

Bab III Sistem Pemerintahan Nagari

Bab ini berisi tentang sejarah ringkas terbentuknya nagari di Minangkabau, dan Sistem pemerintahan nagari secara tradisional menurut hukum adat Minangkabau,

Bab IV Sistem Pemerintahan Nagari Cingkariang

Bab ini berisi tentang sistem pemerintahan nagari Cingkariang menurut Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2007 Tentang Pemerintahan Nagari.

BAB IV Penutup


(27)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

1. Letak Geografis

Nagari Cingkariang merupakan salah satu nagari di Kecamatan banuhampu. Secara geografis terletak diantara dua gunung, yakni gunung merapi dan gunung Singgalang, dengan ketinggian 900-1500m di atas permukaan laut. Dengan suhu rata-rata berkisar

antara 20-250 C dan pada malam hari mencapai 10 C. Kondisi wilayah sebahagian besar di

pinggir jalan raya dan dikaki gunung Singgalang dengan luas wilayah 620 Ha.

Nagari Cingkariang adalah salah satu dari 7 (tujuh) nagari yang ada di Kecamatan Banuhampu dengan batas-batas sebagai berikut:

1. Sebelah Utara dengan Nagari Padang Lua

2. Sebelah Selatan dengan Nagari Batagak

3. Sebelah Barat dengan Gunung Singgalang dan Sungai Tanang

4. Sebelah Timur dengan Nagari Ladang Laweh

Secara administratif, Nagari Cingkariang dibagi 6 (enam) jorong, yaitu :

1. Jorong Cingkariang dengan luas wilayah 83,1 Ha

2. Jorong Sungan Landai dengan luas wilayah 193,1 Ha

3. Jorong sungai Buluah dengan luas wilayah 43,05 Ha

4. Jorong Tanah Bairiang dengan luas wilayah 89 Ha

5. Jorong andaleh dengan luas wilayah 122 Ha

6. Jorong Baringin dengan luas wilayah 89,75 Ha33

Sedangkan Orbitasi dan waktu tempuh dari Nagari Cingkariang adalah sebagai berikut :

1. Jarak ke Ibukota Propinsi kira-kira 84 km dengan waktu tempuh selama 2,5 jam

33


(28)

2. Jarak ke Ibukota Kabupaten kira-kira 76 km dengan waktu tempuh selama 2 jam

3. Jarak ke ibukota kecamatan kira-kira 0,5 km dengan waktu tempuh selama 5

menit.34

2. Penduduk

Penduduk Nagari Cingkariang adalah penduduk asli dan perantau yang menetap di wilayah kenagarian Cingkariang. Demografi/ kependudukan berdasarkan pendataan penduduk yang dilakukan pada tahun 2007, jumlah penduduk Nagari Cingkariang mencapai 4612 jiwa (1.166 KK), yang terdiri dari 2.140 jiwa penduduk laki-laki dan 2.472 penduduk perempuan. Tersebar di 6 (enam) jorong, yaitu:

1. Jorong Cingkariang : 1.756 jiwa. Laki-laki 759 jiwa, perempuan 997 jiwa.

2. Jorong Sungai Landai : 1.146 jiwa. Laki-laki 546 jiwa, perempuan 599 jiwa.

3. Jorong Sungai Buluah : 962 jiwa. Laki-laki 465 jiwa, perempuan 497 jiwa.

4. Jorong Tanah Bairiang : 370 jiwa. Laki-laki 191 jiwa, perempuan 179 jiwa.

5. Jorong Andaleh : 284 jiwa. Laki-laki 116 jiwa, perempuan 132 jiwa.

6. Jorong Baringin : 130 jiwa. Laki-laki 62 jiwa, perempuan 68 jiwa.35

3. Topografi

Dilihat dari segi topografi, Nagari Cingkariang berada pada ketinggian 900-1500 m dari permukaan laut yang luasnya 620 Ha dengan wilayah yang terdiri dari :

a. Dataran dengan luas 242,4 Ha

b. Perbukitan atau Pegunungan dengan luas 274,8 Ha

c. Dan Lain-lain dengan luas 102,8 Ha 36

4. Ekonomi

Berdasarkan kondisi geografis Nagari Cingkariang, perekonomian masyarakat pada umumnya bergerak di bidang pertanian tanaman pangan dan palawija. Sebagaimana data :

34 Ibid., 35

Wawancara dengan Adri, S.Ag. 36


(29)

a. Tani sawah/ pertanian : 924 orang

b. Peternakan : 392 orang

c. Wiraswasta : 39 orang

d. Perdagangan : 217 orang

e. PNS/TNI/POLRI : 80 orang

f. Pensiunan : 140 orang37

5. Pendidikan Dan Agama.

Tabel 2

Tingkat Pendidikan Masyarakat Nagari Cingkariang Kabupaten Agam

No. Indikator Sub Indikator Jumlah

(orang)

1. Tingkat

pendidikan

penduduk usia 15 tahun keatas

1. Jumlah penduduk buta huruf 0

2. Jumlah penduduk tidak tamat

SD/sederajat

1366

3. Jumlah penduduk tamat

SD/sederajat

662

4. Jumlah penuduk tamat

SLTP/sederajat

525

5. Jumlah penduduk tamat

SLTA/sederajat

645

6. Jumlah penduduk tamat D-1 46

7. Jumlah penduduk tamat D-2 72

8. Jumlah Penduduk Tamat D-3 44

9. Jumlah Penduduk tamat S-1 20

10.Jumlah penduduk tamat S-2 1

11.Jumlah penduduk tamat S-3 1

2. Wajib Belajar 9 1. Jumlah penduduk usia 7-15 774

37


(30)

tahun dan angka putus sekolah

tahun

Jumlah penduduk usia 7-15 tahun masih sekolah

759

Jumlah penduduk usia 7-15 tahun putus sekolah

16

3. Prasarana

pendidikan

SLTA//sederajat 0 buah

SLTP/sederajat 0 buah

SD/sederajat 4 buah

Jumlah lembaga pendidikan agama 10 buah

Lembaga pendidikan lainnya/(kursus/sejenisnya)

5 buah

(Sumber : Data Indikator Penilaian Nagari Berprestasi 2007)38

1. TK sebanyak 3 (tiga) buah.

Dalam rangka meningkatkan SDM, khususnya bagi generasi muda/generasi penerus, maka diperlukan sarana dan prasarana pendidikan yang cukup dan memadai. Di samping itu, generasi muda dan masyarakat pada umumnya perlu dibekali dengan iman dan taqwa agar sumber daya manusia (SDM) yang cakap dan memiliki kepribadian yang mulia dapat terwujud dan terlaksana dengan baik. Sarana pendidikan yang telah ada di Nagari Cingkariang yaitu :

2. SD sebanyak 4 (empat) buah.

3. TPA/ MDA 4 (empat) buah.

Di Nagari Cingkariang, agama yang dianut seluruh penduduk adalah Islam. 6. Pemerintahan Nagari.

Pemerintahan nagari sebagai ujung tombak pelayanan publik di bidang administrasi dan kependudukan , dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang baik dan seefisien mungkin agar masyarakat yang dilayani merasakan kenyamanan dan kepuasaan dalam berurusan dengan pemerintah nagari.

38


(31)

Penyelenggaraan pemerintahan di Nagari Cingkariang mengacu kepada Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Agam Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Nagari, dimana roda pemerintahan dijalankan oleh wali nagari dengan dibantu seorang sekretaris nagari, 4 orang kepala urusan (Kepala Urusan Pemerintahan, Kepala urusan sosial kemasyarakatan, kepala pembangunan, kepala urusan administrasi keuangan dan aset), satu orang bendahara dan 6(enam) orang kepala jorong. Perangkat nagari bekerja sesuai tugas dan fungsi masing-masing.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada susunan perangkat nagari sebagai berikut: Tabel 3

Susunan Perangkat Nagari Cingkariang

No. Nama Jabatan

1 Tos Helmadi SH. Wali Nagari

2 Adri S.Ag Sekretaris Nagari

3 Vera Wahyuni, S.Si Kaur Pemerintahan/pemberdayaan

4 Yossefri Kaur Keamanan/ketertiban

5 Henni Devianti Kaur Kesejahteraan Rakyat

6 Ruslaini Kaur Adm. Keuangan dan Aset

7 Febi Astri Ayu Bendahara Nagari

8 Asril St. Marajo Kepala Jorong Cingkariang

9 Yose Rizal St. Mangkuto Kepala Jorong Sungai Landai

10 Nafius St. Palindih Kepala Jorong Sungai Buluah

11 Dasril st. Rangkayo Basa Kepala Jorong Tanah Bairiang

12 M. Zen St Batuah Kepala Jorong Andaleh

13 Wendrizal St. Bagindo Kepala Jorong Toboh Bairiang


(32)

7. Kelembagaan Nagari

1. BAMUS (Badan Permusyawaratan)

Berdasarkan Perda Kabupaten Agam Nomor 12 tahun 2007, BAMUS berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan nagari yang fungsinya adalah : Menetapkan peraturan nagari bersama wali nagari, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

Tugas BAMUS adalah:

1. Membahas Rancangan Peraturan Nagri bersama walinagari.

2. Melaksanakan pengawasan terhadap kinerja pemerintah nagari dan pelkasanaan

peraturan nagari serta peraturan walinagari.

3. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian walinagari.

4. Membentuk panitia pemilihan walinagari.

5. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi

masyarakat.

6. Menyusun tata tertib BAMUS NAGARI.39

2. KAN ( Kerapatan Adat Nagari)

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, KAN berperan sebagai pengayom, pembudayaan nilai-nilai dan pelestarian Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah terhadap anak kemenakan dalam melaksanakan pengembangan adat di tengah masyarakat yang sejalan dengan norma-norma agama, dimana saat ini di Nagari Cingkariang, nilai-nilai adat dan agama masih tetap dipertahankan dengan menggiatkan pasambahan serta ceramah adat. 3. PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga).

Kegiatan PKK antara lain:

1. Pembinaan administrasi PKK Nagari dan PKK Jorong

39


(33)

2. Peningkatan kegiatan Majlis Taklim

3. Peningkatan kegiatan BKB, Posyandu Balita, dan Posyandu Lansia.

4. Pemberian Vitamin A, Gondok

5. Menghimpun Iuran Bulanan bagi masyarakat yang ikut Qur’ban.

4. Bundo Kanduang

Lembaga Bundo Kanduang dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai organisasi masyarakat yang mayoritas adalah kaum ibu. Dalam melaksanakan kegiatannya bekerjasama dengan tim penggerak PKK dalam bentuk pembinaan keluarga sakinah sejahtera dan mengandung nilai-nilai budaya dan agama. Bundo Kanduang berperan sebagai pendidik anank-anaka generasi penerus bangsa. Bundo Kanduang juga berperan sebagai penopang ekonomi keluarga.

5. LPMN/Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Nagari

LPMN telah berperan aktif dalam menghimpun swadaya masyarakat juga mengembangkan potensi yang ada di nagari Cingkariang. Fungsi LPMN sebagai perencana, penggerak swadaya masyarakat, pelaksana dan pengendalian pembangunan.

6. Kelompok Tani

Di Nagari Cingkariang terdapat kelompok tani yang aktif melaksanakan kegiatan di bidang pertanian dalam bentuk penyuluhan dan pembinaan kepada kelompok tani terutama dalam rangka meningkatkan hasil pertanian seperti tanaman pangan, tanaman holtikultura, tanaman perkebunan dan kehutanan serta penyuluhan di bidang pemanfaatan lahan perladangan termasuk juga pembinaan dan penyuluhan kepada para peternak dalam mengantisipasi gejala-gejala penyakit ternak yang berbahaya.

7. Parik Paga Nagari

Parik paga nagari merupakan suatu kelompok perlindungan masyarakat di nagari. Dalam pelaksanaan tugas bertanggung jawab kepada walinagari. Dalam


(34)

melaksanakan fungsinya, parik paga nagari melakukan koordnasi dan

konsultasi terlebih dahulu dengan walinagari serta lembaga-lembaga nagari.40

40

Wawancara dengan Adri S.Ag (Sekretaris Nagari Cingkariang), pada tanggal 31 Desember 2009 di Kantor Wali Nagari Cingkariang, Kabupaten Agam.


(35)

BAB III

Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Nagari

1. Sejarah Terbentuknya Nagari di Minangkabau

Berbicara mengenai Minangkabau bukanlah berarti menonjolkan sukuisme, tetapi membicarakan salah satu bagian dari suku bangsa di Indonesiaserta membicarakan salah satu corak dari kebudayaan nasional yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.Propinsi Sumatera barat adalah salah satu propinsi menurut administratif Pemerintahan RI, sedangkan Minangkabau adalah teritorial menurut kultur Minangkabau yang daerahnya Jauh lebih

luas dari Sumatera Barat sebagai salah satu propinsi.41

1. Darek (daerah dataran tinggi) yang dilambangkan oleh tiga gunung, yaitu

Gunung Merapi, Gungung Singgalang, dan Gunung Sago. Wilayah Minangkabau terdiri atas tiga bagian, yaitu :

2. Pasisia, yaitu daerah yang berada disepanjang pantai bagian barat tengah Pulau

Sumatera yang dimulai dari perbatasan daerah Bengkulu Sekarang (Muko-Muko), sampai perbatasan Tapanuli bagian Selatan

3. Rantau, yaitu daerah tempat aliran sungai yang bermuara ke sebelah timur yang

berbatasan dengan selat malaka dan Laut Cina Selatan. Bahkan sampai ke Malaysia yang disebut Rantau Nan Sembilan(Negeri Sembilan).

Ketiga bagian daerah ini pada mulanya berasal dari tempat dan daerah yang satu, yang disebut “darek”, yakni dari lereng Gunung Merapi di Nagari Pariangan padang Panjang.Karena berkembangnya penduduk dan mendesaknya kepentingan hidup berekonomi, maka keluarga demi keluarga dari Lereng Gunung Merapi, daerah asal itu, melaksanakan transmigrasi lokal. Di daerah baru keluarga-keluarga yang pindah dari daerah asal di Lereng Gunung Merapi itu berkembang dan melakukan pembangunan, terutama dalam meneruka sawah dan ladang serta irigasi, sekaligus membuat daerah

41

Idrus Hakimy, Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau,bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997, hal. 18.


(36)

tempat tinggal yang dimulai dari taratak, dusun, koto, dan nagari, tanpa melupakan

hubungan mereka dengan tanah leluhur mereka, yaitu daerah darek.42

Sudah koto manjadi nagari

Asal mula terjadinya nagari menurut perkembangannya, di dalam adat dikatakan sebagai berikut:

Taratak mulo dibuek

Sudah taratak manjadi dusun Sudah Dusun Manjadi Koto

43

1. Taratak

Dari pepatah Minangkabau di atas, dapat dilihat bahwa ada empat fase munculnya nagari, yaitu :

2. Dusun

3. Koto

4. Nagari

1.1Fase Taratak

Pada saat nenek moyang kita dahulu mulai berpikir untuk menetap pada suatu daerah, saat itulah mulai dicari wilayah yang sesuai dan menjanjikan untuk didiami, semak belukar dibabat, kayu ditebangi, lurah ditimbun, bukit diratakan, air dialirkan ke sawah ladang. Kemudian ditanamlah ke dalam tanah tiang-tiang pembatas tanah yang disebut dengan batu lantak dengan syarat dan upacara tertentu. Batu-batu lantak itulah yang menandakan “hak bamilik, harato bapunyo” (hak milik harta yang berpunya) yang tidak boleh diganggu gugat.

Kegiatan menetapkan batas-batas pendirian pondok/rumah sekarang masih dipertahankan yang disebut maantak tanah. Dengan memanggil dan disaksikan oleh seluruh karib kerabat, pihak yang berbatasan tanah, dan yang dituakan dikampung.

Semakin hari anak kemenakan berkembang biak, daerah wilayah makin diperluas, lalu dibuatlah umpuak/pembagian yang jelas terutama untuk kemenakan perempuan yang

disebut ganggam dan baumpuak. 44

42

Ibid., hal. 20-21. 43


(37)

Taratak merupakan pemukiman yang paling luar dari kesatuan nagari, juga merupakan perladangan dengan berbagai huma di dalamnya. Pimpinannya disebut tuo (tua atau ketua). Taratak belum mempunyai penghulu, dan oleh karenanya rumah-rumahnya

belum boleh bergonjong.45

1.2Fase Dusun

Sudah menjadi kebiasaan nenek moyang kita untuk berpindah-pindah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin produktif wilayah yang dihuni, semakin lama mereka menetap. Tentu saja semakin lama anggota keluarga semakin bertambah. Sehingga semakin bertambah warga atau kaum wilayah tersebut.

Dusun merupakan permukiman yang telah lebih banyak penduduknya. Telah mempunyai tempat ibadah seperti surau. Telah dapat mendirikan rumah gadang dengan dua gonjong, tetapi belum mempunyai penghulu. Pimpinan pemerintaha dinamakan tuo dusun. Telah boleh melakukan kenduri atau perhelatan tetapi belum boleh melakukan hak

bantai (memotong ternak berkaki empat).46

1.3Fase Koto

Karena anak kemenakan berkembang, wilayah semakin lebar maka aturan dan norma hidup semakin diperluas skopnya,membutuhkan adanya pemimpin di wilayah tersebut. Maka dipilihlah pangatuo/tuo kampung dan didirikanlah rumah gadang secara bergotong royong sebagai pelambang kebesaran pemimpin. Diharapkan dengan adanya pemimpin dengan segala hak dan kewajiban dan atributnya akan tercipta masyarakat harmonis, elok susunnya bak siriah rancak liriknyo bak maatua (bagai sirih yang bagus

susunannya setelah dijalin).47

Koto merupakan permukiman yang telah mempunyai hak-hak dan kewajiban seperti nagari, pimpinan ditangan peghulu, tetapi balairungnya tidak mempunyai dinding.

48

44

Dapat dilihat pad 45

A.A Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, Adat Dan Kebudayaan Minangkabau, Jakarta: Grafiti Press,1984, hal.94.

46 Ibid. 47

Dapat dilihat pad. Diakses pada tanggal 6 Januari 2010. 48


(38)

1.4Fase Nagari

Dalam fase ini ada beberapa kelompok yang memisahkan diri dari inti, coba merantau kedaerah yang relatif dekat, kemudian di daerah baru tersebut mengalami fase yang sama dengan daerah asal. Dari taratak manjadi dusun, dari dusun manjadi koto, tetapi mereka tetap menjalin hubungan yang erat dan memakai aturan dan norma yang sama dengan daerah asal.

Agar hubungan kekerabatan tidak putus karena telah berdiri beberapa koto, maka dengan kesepakatan beberapa tuo kampung yang memiliki kaitan norma dan kekeluargaan

maka didirikanlah nagari. Dan daerah asal disebut jorong.49

Nagari merupakan permukiman yang telah mempunyai alat kelengkapan pemerintahan yang sempurna. Didiami sekurang-kurangnya empat suku penduduk dengan penghulu pucuk atau penghulu tua selaku pimpinan pemerintahan tertingginya.

50

Keempat fase terbentuknya nagari ini dalam adat Minangkabau disebut dengan koto nan ampek (koto nan empat), yang merupakan tingkat daerah permukiman wilayah pemerintahan nagari.Tingkat permukiman yang lebih rendah dapat berkembang hingga

mencapai status permukiman yang bertingkat lebih tinggi.51

Dengan berdasarkan seia-sekata(sakato), mulailah kata mufakat/musyawarah merupakan prinsip dasar dari masyarakat yang terdiri dari beberapa koto yang sekarang disebut nagari. Dengan hasil mufakat dan musyawarah bersama suatu nagari dipagari dengan undang-undang yang mengatur tentang daerah yang merupakan unsur nagari, seperti suku, korong, kampung, undang-undang yang mengatur tentang hak milik, ulayat

kaum, suku dan nagari.52

Uraian tentang terjadinya suatu nagari di Minangkabau, semenjak dari taratak, dusun, koto, sampai menjadi nagari merupakan tempat-tempat mulai dikembangkan rasa kebersamaan, kesatuan dan persatuan, rasa menjunjung tinggi prinsip sakato (musyawarah-mufakat), saling menghormati dan bantu membantu. Kesemua itu merupakan unsur-unsur

4

50

A.A Navis. Loc.cit. 51

Ibid. 52

Idrus Hakimi, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau , Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994, hal. 115.


(39)

pentingdari ajaran adat Minangkabau yang pada mulanya hakikatnya terdiri dari empat macam, yaitu ;

a. Raso, yang membina rasa kemanusiaan, saling menghormati.

b. Pariso, yang membina setelah melihat kenyataan pentingnya arti sakato yang

melahirkan kekuatan yang disebut persatuan.

c. Malu, ajaran yang membina pentingnya prinsip musyawarah dan mufakat.

d. Sopan, sifat yang membina rasa keadilan dan sosial yang saling membantu, tolong

menolong, merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.53

Susunan (organisasi) masyarakat Minang di nagari, yaitu:

1. Paruik

Paruik sudah mempunyai persekutuan hukum. Kelompok paruik ini merupakan satu keluarga besar (famili).

2. Jurai

Jurai berasal dari paruik yang sudah berkembang. Perkembangan paruik itu memicu timbulnya keharusan membelah diri menjadi satu kesatuan yang berdiri sendiri. Inilah yang disebut dengan jurai.

3. Suku

Suku merupakan pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya dari Jurai. Organ masyarakat dalam suku ini merupakan kesatuan-kesatuan matrilineal baru disamping paruik asalnya yang bertali darah dilihat dari garis ibu. Namun suku tidak merupakan satu persekutuan hukum, karena suku dapat berpencar di lain wilayah. Artinya suku tidak terikat dengan teritorial, tetapi terikat tali darah dari garis ibu. Karena itu, dimana saja suku yang merasa satu kesatuan masyarakat yang sama merasa setali darah (badunsanak).

4. Kampung

Kampung adalah kelanjutan dari paruik. Paruik berkembang menjadi jurai. Disamping paruik dan jurai berkembang lagi kesatuan matrilineal baru yaitu suku. Mereka

53


(40)

mendirikan rumah berdekatan. Kelompok rumah yang se-paruik, se-jurai dan se-suku inilah yang disebut kampung.

5. Nagari

Nagari kelanjutan dari paruik, jurai, suku dan kampung. Bila kampung lama sudah habis tanah mendirikan rumah, keluarga besar, sawah dan ladang menjadi sempit, maka mereka mencari lahan baru. Lahan baru itu dibersihkan menjadi taratak. Bagian dari anggota paruik atau jurai atau sesuku dalam kampung yang lama ada yang ingin pindah ke wilayah baru itu. Taratak berkembang menjadi dusun, dusun memiliki wilayah pusat bernama koto. Masyarakat yang se-paruik,se-jurai,se-suku mendirikan rumah berdekat-dekatan yang kemudian membentuk kampung. Lama kelamaan kampung menjadi banyak

dan terbentuklah nagari. 54

Untuk kelancaran pemerintahan nagari mulai dari taratak sampai ke nagari sudah diatur secara bertingkat sedemikian rupa. Nagari sebagai wilayah sudah memiliki alat kelengkapan pemerintahan. Struktur pertama dari bawah rumah batungganai sebagai kepala keluarga (saudara laki-laki tertua/ mamak tertua dalam paruik). Kedua bamamak yakni mamak kaum sebagai penghulu andiko/dipilih dari tungganai. Ketiga kampung ba nan tuo yakni tuo kampung (kepala jorong) dipilih dari penghulu andiko, keempat kepala bertali darah (suku) dipimpin penghulu suku nan 4 di nagari.

Nagari Minang dominan faktor genealogis (pertalian darah). Suasana suku lebih terasa di nagari minang daripada teritorial. Namun walaupun demikian, minang tidak mengabaikan wilayah. Nagari memiliki batas-batas wilayah nagari yang kuat ditetapkan dengan sumpah setia nenek moyang ketika nagari baru dibuat. Dalam nagari tidak setapak pun tanah tak bermilik. Mulai dari ulayat nagari/rajo, ulayat suku/penghulu/kaum, sampai milik wakaf dan milik privat yakni ulayat pribadi.

55

2. Sistem Pemerintahan Nagari Menurut Adat Minangkabau

Nagari didirikan di Minangkabau setelah melalui musyawarah dan mufakat karena nagari merupakan gabungan dari beberapa koto dan terdiri dari minimal empat buah suku.

54

Januari 2010. 55


(41)

Nagari yang akan dibentuk haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan yang disepakati oleh hasil musyawarah dan mufakat.

2.1Syarat terbentuknya nagari.

Nagari yang akan didirikan menurut adat Minangkabau, haruslah memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Babalai bamusajik

Maksudnya ialah bahwa suatu nagari haruslah mempunyai balai (balairung), tempat roda pemerintahan nagari dilaksanakan di bidang eksekutif, legislatif, dan juga yudikatif. Anggotanya seluruh penghulu. Juga mempunyai mesjid, yang merupaka pusat peribadatan seluruh penduduk di nagari itu. Pada pemukiman yang statusnya di bawah nagari tidak dibenarkan kedua sarana itu didirikan. Untuk kedua sarana itu, masing-masing hanya boleh didirikan dalam satu nagari. Sebab, kedua sarana lembaga itu sekaligus merupakan alat pemersatu seluruh penduduk.

b. Basuku banagari.

Maksudnya ialah bahwa setiap penduduk terbagi dalam kelompok masyarakat yang bernama suku. Setiap nagari minimal mempunyai empat buah suku dengan pimpinan penghulu dan peralatannya. Yang dimaksud banagari ialah bahwa setiap penduduk harus jelas asal-usulnya, baik sukunya maupun nagarinya yang semula, sebelum berpindah ke nagari yang ditempati saat itu. Sehingga dapat diketahui statusnya sebagai warga migrasi atau sebagai warga pendatang yang hendak menetap untuk sementara. Status kependudukan ini sangat penting bagi penentuan hak dan kewajiban mereka atas nagari itu.

c. Bakorong bakampuang

Maksudnya ialah bahwa setiap nagari menpunyai wilayah kediaman, baik di dalam lingkaran pusat yang mempunyai batas tertentu yang dibentuk alam atau dibangun berbentuk parit atao pohon aur berduri, maupun diluar lingkaran sebagai perkampungan, sebagai satelit atau hinterland. Setiap wilayah perkampungan di lingkaran pusat disebut sebagai korong. Sedangkan wilayah perkampungan di luarnya dinamakan dengan berbagai nama sesuai dengan kondisinya. Yakni koto, dusun, dan taratak yang semuanya disebut kampung.


(42)

d. Bahuma babendang

Maksudnya ialah setiap nagari haruslah memiliki pengaturan keamanan nagari dari gangguan yang datang dari luar terhadap harta benda serta pengaturan informasi resmi tentang berbagai hal yang perlu diketahui, seperti musim turun ke sawah, gotong royong, dan kondisi yang perlu dilaksanakan bersama agar segala sesuatau tidak menjadi simpang siur.

e. Balabuah batapian

Maksudnya ialah dalam nagari harus ada pengaturan perhubungan dan lalu lintas serta perdagangan.

f. Basawah baladang

Maksudnya ialah dalam nagari terdapat pengaturan sistem usaha pertanian serta harta benda yang menjadi sumber kehidupan dan hukum pewarisannya.

g. Bahalaman bapamedanan

Maksudnya ialah dalam nagari terdapat pengaturan rukun tetangga, pesta keramaian dan permainan.

h. Bapandam bapusaro

Maksudnya ialah dalam nagari terdapat pengaturan masalah kematian beserta

upacaranya.56

2.2Pemerintah Nagari Menurut Adat Minangkabau

Untuk kelancaran pelaksanaan sistem pemerintahan nagari, adat minangkabau mengaturnya sedemikian rupa seperti yang diungkapkan oleh mamangan :

Rang gadih mangarek kuku (anak gadis memotong kuku) Pangarek pisau sarawik (pemotongnya pisau serawik) Pangabuang batang tuonyo (pemotong batang tuanya) Batangnyo ambiak ka lantai (Batangnya diambil untuk lantai)

56


(43)

Nagari baampek suku (Nagari harus ada empat suku) Dalam suku babuah paruik (Dalam suku ada keterunan se perut)

Kampuang bamamak ba nan tuo (Kampung punya mamak dan punya ketua kampung)

Rumah dibari batungganai (Rumah ada lelaki sulung)

Maksudnya, setiap nagari mempunyai empat buah suku. Setiap suku mempunyai beberapa buah perut (kaum dari keturunan ibu). Setiap suku mempunyai penghulu, yang

dinamai penghulu suku. Keempat penghulu suku inilah yang menjadi pemegang

pemerintahan nagari secara kolektif, sedangkan yang memimpin penduduk ialah kepala

kaumnya masing-masing, yang disebut penghulu kaum. Sedangkan kampung atau

permukiman penduduk diatur seorang yang dinamakan tuo (ketua) kampung, sebagai

organik pimpinan pemerintahan nagari. Kepala rumah tangga disebut tungganai , yaitu seorang laki-laki yang tertua dari keluarga yang mendiami rumah itu, menurut stetsel

matrilineal.57

Secara tradisional, pemimpin dalam masyarakat minangkabau adalah penghulu. Penghulu berhak menjadi pemimpin sebuah nagari. Penghulu dalam memimpin nagari berada dalam kelembagaan kolektif yang biasa dikenal dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Penghulu dari empat suku dalam nagari memilih ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN), ketua kerapatan nagari langsung menjadi Kapala nagari (penghulu palo). Sedangkan tungganai/anak lelaki sulung yang berfungsi sebagai kepala keluarga dengan

tugasnya sebagai pengawas harta benda kaumnya.58

Penghulu suku masing-masing mewakili sukunya masing-masing dalam kerapatan nagari, dan mereka inilah yang menjalankan roda pemerintahan nagari. Segala

permasalahan harus “berjenjang naik, bertangga turun”, artinya segala permasalahan

sebelum sampai kepada pemerintahan nagari harus diselesaikan dari bawah dan bila tidak juga ada penyelesaian, baru dibawa ke tingkat kerapatan nagari. Demikian pula hasil

kerapatan nagari agar sampai kepada anak kemenakan juga melalui tingkatan “batanggo

turun”. Penghulu-penghulu suku akan menyampaikanya kepada penghulu kaum (mamak

57

Ibid.,hal. 106 58

Dapat dilihat pad diakses pada tanggal 6 januari 2010.


(44)

kaum), kemudian mamak kaum menyampaikan kepada tungganai, dari tungganai barulah

diteruskan kepada anak kemenakannya.59

Orang Minangkabau hidup bergolong-golongan dan berkelompok-kelompok yang beraneka ragam. Golongan yang terpenting ialah kekerabatan sedarah dari turunan ibu (matrilineal). Golongan itu bertingkat-tingkat , dari tingkatan yang paling kecil sampai ke tingkat yang paling besar merupakan suatu kesatuan yang utuh. Di samping golongan seturunan darah, mereka hidup berkelompok dalam berbagai jenis perkampungan, seperti taratak, dusun, korong koto dan nagari. Dalam perkampungan itu, hiduplah golongan-golongan itu secara berbaur erat dalam bentuk integrasi dan asimilasi antar golongan-golongan. Disamping itu, merekapun mempunyai perserikatan dalam jenis pekerjaan, keahlian, kegemaran dan sebagainya tanpa terikat pada golongan keturunan darah, kelompok

permukiman dan status sosial.60

Mamak juga merupakan pemimpin. Pengertian mamak pada setiap laki-laki yang lebih tua juga berarti pernyataan bahwa yang muda memandang yang lebih tua menjadi pimpinannya, sebagaimana yang diungkapkan mamangan “kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka nan bana, bana badiri sandirinyo.(kemenakan beraja kepada mamak, mamak beraja kepada penghulu, penghulu beraja kepada kebenaran, dan kebenaran akan datang dengan sendirinya).

Golongan atau kelompok dalam masyarakat mempunyai pimpinan yang berada di tangan mamak. Pengertian mamak secara harfiah adalah saudara laki-laki ibu. Secara sosiologis, semua laki-laki dari generasi yang ebih tua adalah mamak. Yang tidak termasuk mamak adalah laki-laki kerabat dekat ayah yang dipanggil dengan sebutan bapak atau pak.

61

Pemimpin golongan atau kelompok genealogis berdasarkan turunan ibu (matrilineal) adalah mamak menurut tingkatannya masing-masing. Pemimpin rumah tangga disebut tungganai, pemimpin kaum disebut mamak kaum, dan pemimpin suku ialah

penghulu.62

Penghulu merupakan andiko dari kaumnya atau raja dari kemenakannya, yang berfungsi sebagai kepala pemerintahan dan menjadi pemimpin, menjadi hakim dan

59

Wawancara dengan Bapak H. Maizar Buchari, BA Dt Muncak, (ketua KAN Nagari Cingkariang)pada tanggal 31 Desember 2009, di Jorong Sungai Buluah no.100. Nagari Cingkariang, kabupaten Agam.

60

Ibid., hal. 119 61

Ibid., hal. 130 62


(45)

pendamai dalam kaumnya. Penghulu juga menjadi jaksa dan pembela dalam perkara yang dihadapi kaumya terhadap orang luar.

Dalam mengurus kepentingan dan keselamatan kemenakannya, ia bertindak sebagai pengembala yang bersifat mobil, yang tiada bermarkas atau tempat kedudukan.Dalam mengahadapi orang luar, ia hanya dapat dihubungi di rumah pusaka kaumnya, yakni di rumah gadang. Namun di rumah tempat tinggal istrinya, kedudukannya

sama dengan urang sumando lainnya.63

1. Penghulu suku.

Jabatan penghulu sebagai pemimpin suku di Minangkabau bertingkat-tingkat, yaitu sebagai berikut :

Penghulu suku yaitu penghulu yang menjadi pemimpin suku. Penghulu ini disebut penghulu pucuk menurut kelarasan Koto Piliang, dan penghulu tua menurut kelarasan Bodi Caniago.

Penghulu pucuk atau penghulu tua adalah penghulu dari empat suku yang pertama datang membuka nagari tempat kediamannya, mereka merupakan pimpinan kolektif pada nagari itu. Mereka dinamakan dengan penghulu andiko.

2. Penghulu Payung

Penghulu payung adalah penghulu yang menjadi pemimpin dari warga suku yang telah membelah diri, karena terjadi perkembangan pada jumlah warga suku pertama. Penghulu belahan baru ini tidak berhak menjadi penghulu tua yang menjadi anggota pimpinan nagari.

3. Penghulu Indu

Penghulu indu merupakan penghulu yang menjadi pemimpin warga suku dari mereka yang telah membelah diri dari kaum sepayungnya. Pembelahan ini disebabkan karena pembengkakan jumlah mereka, perselisihan dalam perebutan gelar atau jabatan penghulu atau karena memeerlukan seorang pemimpin bagi kaum mereka yang telah banyak di rantau atau permukiman baru.

63


(46)

Penghulu pucuk atau penghulu tua, penghulu payung serta penghulu indu secara

bersama-sama disebut penghulu satu tungku.64

2.2.1 Yang Berhak Menjadi Penghulu

Menurut mamangan, jabatan seorang penghulu merupakan jabatan yang diwariskan dari niniak ka mamak, dari mamak ka kamanakan yaitu dari ninik ke mamak, dari mamak kepada kemenakan sesuai dengan sistem matrilineal (berdasarkan garis keturunan ibu). Kemenakan bagi seorang penghulu adalah semua warga sukunya pada nagari kediamannya. Namun, tidak semua laki-laki warga suku tersebut berhal untuk dicalonkan sebagai penghulu. Kemenakan yang berhak untuk dicalonkan menjadi pengganti panghulu

adalah kemenakan dibawah dagu, yaitu kemenakan yang mempunyai pertalian darah. 65

1. Kemenakan di bawah dagu (kamanakan di bawah daguak)

Kemenakan menurut struktur kebudayaan Minangkabau dibedakan menjadi empat jenis. Keempat jenis kemenakan di Minangkabau tersebut adalah :

Kemenakan dibawah dagu artinya kemenakan yang memiliki pertalian darah dengan mamaknya, baik yang dekat maupun jauh.

2. Kemenakan di bawah dada (kamanakan dibawah dado)

Kemenakan dibawah dada artinya kemenakan yang ada hubungannya karena sukunya sama namun penghulunya lain.

3. Kemenakan di bawah pusar (kamanakan dibawah pusek)

Kemenakan dibawah pusar artinya kemenakan yang ada hubungannya karena sukunya sama namun berbeda nagari asalnya.

4. Kemenakan di bawah lutut (kamanakan di bawah lutuik)

Kemenakan di bawah lutut artinya seorang kemenakan yang berbeda suku

maupun nagari asalnya namun meminta perlindungan di tempatnya.66

64

Ibid., hal. 131-132 65

Ibid., hal. 136 66

Ibid.,


(47)

2.2.2 Syarat-syarat Untuk Menjadi Penghulu

Karena penghulu merupakan pemimpin dalam masyarakat, mulai tingkatan kaum, suku maupun nagari maka untuk menjadi seorang penghulu haruslah yang memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Laki-laki

2. Baik zatnya, maksudnya berasal dari keturunan yang baik

3. Kaya, dalam arti kaya akal, budi, dan pengetahuan dalam bidang adat

4. Baligh berakal, maksudnya dewasa dan berpendirian tegus serta tegas dalam

tiap-tiap tindakan

5. Adil, maksudnya menempatkan sesuatu pada tempatnya.

6. Arif bijaksana, artinya mempunyai perasaan yang halus, paham akan yang

tersirat pikiran tajam dan cendekia, menurut pepatah adat : Tahu dibayang kato sampai

Tahu diranggeh ka malantiang Tahu di tunggua ka manaruang Takilek ikan dalam aia

Lah tantu jantan batinonyo Kilek baliuang alah ka kaki Kilek camin alah ka muko

7. Tablig, maksudnya menyampaikan sesuatu yang baik kepada umum

8. Pemurah, artinya pemurah pada nasehat, murah pada melarang mudarat

9. Tulus dan sabar, artinya beralam luas, berpadang lapang67

67


(48)

2.2.3 Kewajiban (hutang) Penghulu

Sebagai seorang pemimpin, penghulu dikatakan mempuyai “hutang”, yaitu tanggungjawab dan kewajiban yang harus diingatnya sepanjang waktu. Seorang penghulu di Minangkabau diibaratkan sebagai kayu gadang di tangah padang, ureknyo tampek baselo, dahannyo tampek bagantuan, daunnyo tampek balinduang, batangnyo tampek basanda. Artinya, penghulu diibaratkan sebagai sebuah kayu besar ditengah padang, uratnya tempat bersila, dahannya tempat bergantung, daunnya tempat berlindung, batangnya tempat bersandar. Maksudnya, sebagai seorang pemimpin, seorang penghulu

harus memelihara keselamatan dan kesejahteraan sesuai dengan hukum serta kelaziman.68

Hutang yang harus dibayarkan oleh penghulu diselesaikan , seperti warganya seperti yang diungkapkan oleh mamangan “mamak di pintu utang, kamanakan di pintu bayia”, (mamak di pintu hutang, kemenakan di pintu bayar). Maksud dari mamangan ini yaitu bahwa hutang yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban penghulu haruslah dibayarkan pula oleh kemenakannya yaitu dengan menjaga nama baik penghulu mereka,

seperti dengan mematuhi perintahnya.69

1. Alur dan Patut (alua jo patuik)

Dalam memimpin anak kemenakan serta masyarakat, ada empat jenis hutang (kewajiban) yang harus dijalankan oleh seorang penghulu, yaitu:

Alur ialah garis kebijaksanaan menurut hukum.

Patut ialah rasa kepantasan suatu hukum untuk dilaksanakan pada situasi dan kondisi yang tepat.

2. Jalan yang pasa (jalan nan pasa)

Yang dimaksud dengan jalan yang pasa ialah ketentuan yang berdasarkan konvensi atau janji yang mengikat.

3. Harta dan Pusaka (harato jo pusako)

Yang dimaksud dengan harta ialah kemakmuran kaum.

68

A.A Navis., Op.cit., hal. 139 69


(49)

Pusaka ialah warisan kaum yang berupa benda-benda kehormatan.70

Harta pusaka merupakan unsur yang sangat penting di dalam adat, karena harta pusaka merupakan wilayah tempat anak kemenakan berkembang dan mencari kehidupan seperti sawah dan ladangnya.Wilayah inilah yang merupakan daerah kecil kekuasaan seorang penghulu di Minangkabau, tempat anak kemenakannya berdiam dan berkembang. Wilayah ini mencakup pandam pekuburan, sawah

ladang, balai mesjid, labuah tapian, korong kampuang, dan rumah tangga.71

4. Anak kemenakan

Anak kemenakan ialah seluruh penduduk kampung. Dengan demikian, penghulu berkewajiban untuk memelihara seluruh masyarakat kampung.

Memelihara anak kemenakan merupakan tugas pokok seorang penghulu. Memelihara atau memimpin anak kemenakan di bidang pendidikan untuk kemajuan lahir batin, kehidupan bidang sawah dan ladang (perekonomian), menyelesaikan setiap peresengketaan yang terjadi di bidang adat dalam

kehidupan sehari-hari.72

2.2.4 Martabat Penghulu

Sebagai seorang pemimpin, penghulu memiliki martabat yaitu kehormatan jabatannya. Mamangan menyebutkan bahwa penghulu itu tumbuah dek ditanam, tinggi dek dianjuang, gadang dek diambak (tumbuh karena ditanam, tinggi karena dianjung, besar karena dipelihara). Artinya, seorang penghulu lahir karena dilahirkan kaumnya, tinggi karena didukung kaumnya dan besar karena dipupuk kaumnya. Martabat penghulu itu bisa berarti timbal balik. Bagi penghulu agar ia melaksanakan tugasnya dengan benar dan bagi

pihak kemenakan agar menjaga nama dan kehormatan penghulu mereka. 73

Dalam adat, martabat penghulu bertujuan untuk menjaga prestise seorang pebghulu dalam memimpin anak kemenakannya mapun dalam pergaulannya sehari-hari. Penghulu merupakan contoh telahan bagi anak kemenakan serta masyarakat di sekitarnya. Dengan

70 Ibid., 71

Idrus Hakimy, Pokok-Pokok Pengetahuan adat Minangkabau, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997, hal.74.

72 Ibid., 73


(1)

tidak berasal dari tingkat sosial dan ekonomi yang sama. Pelanggaran yang dilakukan terhadap peraturan nagari ini adalah teguran secara langsung yang dilakukan oleh pimpinan suku atau kaumnya.

4. Kendala- kendala dalam menjalankan sistem pemerintahan nagari

Dalam menerapkan sistem pemerintahan nagari menurut Perda No. 12 Tahun 2007 tentang sistem pemerintahan nagari, terdapat beberapa kendala yang dihadapi. Kendala tersebut antara lain :

a. Rendahnya Sumber Daya Manusia Nagari

Rendahnya sumber daya manusia di nagari Cingkariang salah satu penyebabnya adalah banyaknya penduduk usia sekolah yang putus sekolah. Penyebab putus sekolah ini diantaranya faktor ekonomi dan faktor sosial. Untuk mengatasi hal ini, di Jorong Cingkariang dibentuk BAZIS (Badan Amal Zakat Infak Sedekah), sebuah badan amal yang berfungsi menggalang dana dari para donatur baik dari donatur yang berada di jorong Cingkariang, maupun donatur yang berada di perantauan. Dana yang didapat dipergunakan untuk membantu biaya pendidikan masyarakat yang kurang mampu.Mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke tingkat perguruan tinggi. Namun hal ini belum terwujud sepenuhnya oleh jorong lain di Nagari Cingkariang.

Faktor sosial yang menyebabkan rendahnya SDM adalah faktor yang dianggap cukup memprihatinkan. Diantaranya pengaruh lingkungan dan kurangnya pengawasan dari orang tua. Banyak yang menganggap pendidikan bukan suatu hal yang penting untuk masa depan, lebih mementingkan hura-hura pergaulan dan banyak orang tua yang memilih menuruti apa yang menjadi kemauan anaknya. Sekolah atau tidak itu pilihan anak.

Akibatnya, tanpa pendidikan yang cukup, sumber daya yang dimilikipun terbatas. Mereka cenderung tidak peduli dengan perkembangan nagarinya. Mereka lebih cenderung memikirkan gaya hidup daripada memikirkan perkembangan nagarinya sendiri.

Berbeda dengan masyarakat Nagari Cingkariang yang berada di Perantauan, mereka umumnya memiliki tingkat pendidikan yang tinggi daripada masyarakat nagarinya. Namun, apa yang telah mereka dapatkan tidak diterapkan langsung untuk membangun pemerintahan nagarinya. Mereka lebih memilih hidup di perantauan untuk mencari


(2)

kesejahteraan hidupnya. Sumbangan nyata yang diberikan masyarakat perantauan berupa bantuan dana ke nagarinya. Namun, tanpa sumber daya manusia yang tinggi, penggunaan dana tersebut tidak bisa maksimal seperti yang diharapkan.

b. Kurangnya aparatur nagari yang menjalankan sistem pemerintahan nagari

Hal ini terlihat dari jumlah perangkat nagari yang hanya 12 orang. Seharusnya, perangkat nagari tersebut ditambah sehingga dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing mereka memiliki mitra yang diharapkan dapat membatunya agar hasil kerja yang didapatkan lebih maksimal.

Aparatur nagari ini umumnya orang-orang yang memiliki sumber daya manusia yang terbatas dan orang-orang yang bekerja bukan pada bidang keahliannya. Hal ini karena masyarakat yang memiliki pendidikan yang tinggi umumnya lebih memilih mencari pekerjaan di perantauan.

c. Dana dari pemerintah yang minim.

Banyaknya pembangunan yang harus dibiayai pemerintah mengakibatkan dana yang didapat oleh pemerintah nagari Cingkariang untuk pembangunan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Ini menjadi kendala dalam pembangunan yang akan dilaksanakan. Pembangunan yang direncanakan tidak dapat dilaksanakan sesuai waktunya karena menunggu bantuan dana dari masyarakat perantauan.

d. Masyarakat yang cenderung apatis

Hal ini disebabkan desakan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga masyarakat cenderung lebih memikirkan pendapatan yang akan mereka peroleh untuk kebutuhan hidup daripada terlibat dengan urusan kemasyarakatan seperti gotong royong membangun sarana dan prasarana umum. Karena hal tersebut dianggap membuang-buang waktu.


(3)

Bab V Penutup

Pada bab ini, penulis akan mengemukaan beberapa kesimpulan yang didapat dari uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya. Disamping itu juga akan dikemukakan sara-saran yang diharapkan dapat menjadi masukan bagi masyarakat nagari Cingkariang dalam membangun Cingkariang yang lebih baik lagi.

1. Kesimpulan

a. Dengan dikeluarkannya undang-undang no.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka sebagai pelaksanaannya, masing-masing daerah mengeluarkan peraturan daerah menurut daerahnya masing-masing. Begitu juga halnya dengan Sumatera Barat yang menggunakan sistem pemerintahan nagari. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-undang Otonomi daerah Nomor 22 tahun 1999, Propinsi Sumatera Barat mengeluarkan Peraturan Daerah Propinsi No. 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Peraturan Daerah Propinsi ini kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah daerah Kabupaten Agam dengan mengeluarkan Peraturan Daerah No. 31 tahun 2001 tentang pemerintahan nagari. Perda tersebut kemudian diganti menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Agam No. 12 Tahun 2007 tentang pemerintahan Nagari.

b. Perda Kabupaten Agam no.12 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari ditetapkan pada tanggal 10 Desember 2007. Maka sejak tanggal tersebut sampai sekarang jalannya pemerintahan seluruh nagari di Kabupaten Agam berpedoman pada perda tersebut. Dalam pelaksanaannya, pemerintahan nagari dijalankan oleh Wali Nagari dan Bamus.

c. Pada pelaksanaannya, sistem pemerintahan nagari menurut adat Minangkabau dipimpin oleh penghulu. Penghulu merupakan pemimpin suku yang dipilih dari mamak dengan ikatan turunan darah. Penghulu-penghulu tersebut dalam kelembagaan kolektif dikenal dengan kerapatan adat nagari (KAN). Ketua dari KAN langsung menjadi kepala nagari.

d. Pada sistem pemerintahan nagari menurut Perda no.12 tahun 2007 Tentang Pemerintahan Nagari, nagari dipimpin oleh wali nagari yang dipilih melalui


(4)

pemilihan secara langsung oleh masyarakat nagari. Dalam menjalankan tugasnya, wali nagari dibantu oleh sekretaris nagari, kepala urusan serta wali jorong yang memimpin tiap-tiap jorong. Wali nagari juga bekerjasama dengan Bamus (Badan permusyawaratan) nagari yang terdiri dari unsur ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai , bundo kanduang serta generasi muda.

e. Pada sistem pemerintahan nagari menurut Perda Kabupaten Agam no. 12 tahun 2007, terlihat pergeseran fungsi penghulu yang tergabung dalam KAN, yang semula sebagai pemimpin pemerintahan nagari menjadi lembaga kemasyarakatan yang memiliki tugas dan fungsi mengurusi masalah adat.

2. Saran

a. Agar Pemerintah Nagari mensosialisasikan peraturan daerah sehingga masyarakat mengetahui bagaimana sistem pemerintahan nagari yang sedang mereka jalani b. Agar semua pihak bekerjasama untuk memberikan arahan kepada generasi muda

akan pentingnya pendidikan. Sebab generasi muda adalah generasi penerus yang menjalankan sistem pemerintahan nagari mereka.

c. Agar pemerintah nagari memberikan kesempatan kepada masyarakat yang berpotensi untuk turut terlibat menjadi aparatur pemerintahan nagari. Agar ilmu yang didapatkan dapat diterapkan sesuai bidangnya sehingga pemerintahan nagari dapat dijalankan lebih efektif.


(5)

DAFTAR PUSTAKA Undang-undang

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah

Peraturan Daerah Kabupaten Agam No. 12 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari Buku

Burgin, Burhan, Metode Penelitian Sosial, Formal-Formal Kualitatif dan Kualitas, surabaya: Air Langga University Press, 2001.

Easton, David, Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1984. Hakimy, Idrus, Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 1997.

Halimy, Idrus, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya, 1994.

Kansil, CST, Desa Kita dalam Tata Pemerintahan Desa, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Karsyah, Lindo dan hasrifendi, Utopia Nagari Minangkabau, Padang: IAIN-IB Press,

2003.

Kemal, SH, Sekitar Pemerintahan nagari minangkabau Dan Perkembangan, Tinjauan Tentang Kerapatan Adat, Padang: percetakan Daerah sumatera Barat, 1964. Manggis, Rasyid, Minangkabau, sejarah dan Adatnya, Padang : Sridharma, 1971.

Mas’oed, Mochtar, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gajah Mada University press, 2001.

Moleong, Lexy J, Metode Penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.

Navis, A.A, Alam terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Jakarta: Grafiti Press, 1984.

Ndraha, Talizidhuhu, Metodologi pemerintahan Indonesian, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988.

Pamudji, S, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Sukarna, Sistem Politik, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990.


(6)

Surachman, Winarno, Dasar dan Tekhnik Research, Pengantar Metodologi Ilmiah, Bandung: CV. Tarsito, 1978.

Taneko, Soeleman B, Konsepsi Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: CV. Fajar Agung, 1986. Internet:

http://www.cimbuak.net/content/view/30/7/

Wawancara

http://wawasanislam.wordpress.com/2009/3/6/pemahaman-tentang-nagari/

Wawancara dengan Bapak H. Maizar Buchari, BA Dt Muncak (ketua KAN) Nagari Cingkariang pada tanggal 31 Desember 2009, di Jorong Sungai Buluah No. 100. Nagari Cingkariang.

Wawancara dengan Bapak Adri S.Ag, Sekretaris Nagari Cingkariang, pada tanggal 31 Desember 2009, di kantor Wali Nagari Cingkariang