Stabilitas Protein Rekombinan Interferon Alfa-2b Manusia Pada Pichia Pastoris.

STABILITAS PROTEIN REKOMBINAN INTERFERON ALFA-2B
MANUSIA PADA Pichia pastoris

SYUBBANUL WATHON

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Stabilitas Protein
Rekombinan Interferon Alfa-2b Manusia pada Pichia pastoris adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015
Syubbanul Wathon
NIM P051130131

RINGKASAN
SYUBBANUL WATHON. Stabilitas Protein Rekombinan Interferon Alfa-2b
Manusia pada Pichia pastoris. Dibimbing oleh SRI BUDIARTI dan RATIH
ASMANA NINGRUM.
Protein rekombinan interferon alfa-2b manusia (rhIFNα-2b) merupakan
protein terapeutik yang diaplikasikan untuk penanganan hepatitis dan kanker.
Pengembangan bentuk sediaan rhIFNα-2b yang stabil tetap menjadi tantangan.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari stabilitas rhIFNα-2b pada tiga
parameter, yaitu suhu, pH dan kondisi lama penyimpanan.
Overproduksi rhIFNα-2b dilakukan menggunakan sistem ekspresi Pichia
pastoris (P. pastoris) yang ditumbuhkan pada media Buffered Methanol Complex
(BMMY) pada suhu 30 °C selama 48 jam dan 2% metanol sebagai induser.
MinimateTM tangensial flow filtration system dengan molecular weight cut off
(MWCO) 5 kDa digunakan pada proses filtrasi protein. Protein yang telah
difiltrasi kemudian dipurifikasi dengan AKTA purifier 10 system menggunakan
kolom His-trap. Kuantifikasi protein menggunakan bicinchoninic acid assay

menunjukkan bahwa yield rhIFNα-2b hasil purifikasi sebesar 10.92 mg/L (OD600
= 2.3). Karakterisasi bobot molekul menggunakan analisis Sodium Dodecyl
Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) dan Western Blot
menunjukkan bahwa protein tersebut merupakan rhIFNα-2b dengan bobot
molekul sekitar 24 kDa. Karakterisasi identitas protein berbasis spektrometri
massa Matrix Assisted Laser Desorption Ionization-Time Of Flight/ Time Of
Flight (MALDI-TOF/ TOF) menginformasikan bahwa protein tersebut
teridentifikasi sebagai hIFNα-2b dengan urutan asam amino yang mewakili 22%
dari sekuen secara keseluruhan. Analisis SDS-PAGE non reducing dan software
Image J menunjukkan bahwa peningkatan suhu, kondisi pH asam dan basa serta
kondisi lama penyimpanan telah memacu terjadinya aggregasi dan degradasi
rhIFNα-2b. Uji 3-[4.5-dimethyltiazol-2il]-2.5-diphenylltetrazolium bromide
(MTT) menunjukkan bahwa aggregasi dan degradasi menurunkan aktivitas
antiproliferasi rhIFNα-2b terhadap sel MCF-7.
Kondisi kenaikan suhu, pH asam dan basa serta lama penyimpanan dapat
mempengaruhi stabilitas rhIFNα-2b. Kondisi stabil rhIFNα-2b dicapai pada suhu
4 °C, pH 7 selama 2 hari waktu inkubasi. Data tersebut dapat digunakan untuk
mengembangkan formulasi rhIFNα-2b sebagai protein terapeutik.
Kata kunci: rhIFNα-2b, Pichia pastoris, stabilitas, aggregasi, degradasi


SUMMARY
SYUBBANUL WATHON. Stability of Human Recombinant Interferon Alpha-2b
in Pichia pastoris. Supervised by SRI BUDIARTI and RATIH ASMANA
NINGRUM.
Recombinant human interferon alpha-βb (rhIFNα-2b) is therapeutic protein
used in hepatitis and cancer treatments. The development of stable dosage forms
of rhIFNα-2b remains a great challenge. This research was aimed to study the
stability of rhIFNα-2b in three parameters: temperature, pH and storage time.
The rhIFNα-2b was overproduced in Pichia pastoris (P. pastoris) by using
buffered methanol complex medium (BMMY) at 30 °C for 48 h with 2% of
methanol as inducer. MinimateTM tangensial flow filtration system with molecular
weight cut off (MWCO) 5 kDa was used on protein filtration. Purification of
rhIFNα-2b was performed by immobilized affinity chromatography column using
AKTA purifier system. Colorimetric bicinchoninic acid assay informed that the
yield of purified rhIFNα-2b was 10.92 mg/L (OD600 = 2.3). Sodium dodecyl
sulphate-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) and Western Blot
analysis confirmed that the protein was rhIFNα-2b with 24 kDa in size. Matrix
assisted laser desorption ionization-time of flight/ time of flight (MALDITOF/TOF) mass spectrometry identified the protein as hIFNα-2b with 22% of
amino acid coverage. Non reducing SDS-PAGE and Image J software analysis
showed that temperature increment, acidic and basic pH, as well as storage time

length had caused aggregation and degradation. 3-[4.5-dimethylthiazol-2il]-2.5diphenyltetrazolium bromide (MTT) assay informed that the aggregation and
degradation reduced the antiproliferative activity of rhIFNα-2b on human breast
cancer MCF-7 cell line.
Temperature increment, acidic and basic pH as well as storage time
prolongation affect rhIFNα-2b stability. The highest stability of rhIFNα-2b can be
achieved at 4 °C and pH 7 for two days. These data can be used to develop
rhIFNα-2b formulations as therapeutic protein.
Keywords: rhIFNα-2b, Pichia pastoris, stability, aggregation, degradation

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STABILITAS PROTEIN REKOMBINAN INTERFERON ALFA-2B

MANUSIA PADA Pichia pastoris

SYUBBANUL WATHON

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. I Made Artika, MAppSc

Judul Tesis : Stabilitas Protein Rekombinan Interferon Alfa-2b Manusia pada
Pichia pastoris
Nama

: Syubbanul Wathon
NIM
: P051130131

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr dr Sri Budiarti
Ketua

Dr Ratih Asmana Ningrum
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Bioteknologi

Dekan Sekolah Pascasarjana


Prof Dr Ir Suharsono, DEA

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
19 Agustus 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Stabilitas
Protein Rekombinan Interferon Alfa-2b Manusia pada Pichia pastoris. Peran serta
yang sangat besar telah diberikan oleh berbagai pihak kepada penulis dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini.
Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan
terima kasih dan rasa hormat kepada Ibu Dr dr Sri Budiarti dan Ibu Dr Ratih
Asmana Ningrum sebagai komisi pembimbing yang telah banyak memberi ide,
saran dan nasehatnya pada penulis sejak awal hingga akhir penyusunan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis disampaikan kepada ayahanda, ibunda, saudara
beserta seluruh keluarga besar, atas segala doa, kasih sayang dan motivasinya.

Penulis memberikan penghargaan kepada segenap staf pengajar, karyawan
dan rekan-rekan seperjuangan angkatan 2013 di program studi Bioteknologi
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah berbagi ilmu dan nasehat kepada
penulis selama menjalankan studi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
seluruh staf peneliti di Laboratorium Protein Terapeutik dan Vaksin, Pusat
Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong Bogor yang telah membantu selama
penelitian berlangsung.
Penulis mengharapkan masukan yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan tesis ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2015
Syubbanul Wathon

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Protein Terapeutik
Produksi Protein Rekombinan pada Pichia pastoris
Interferon

Aktifitas Anti Virus
Aktifitas Imunomodulator
Aktifitas Anti Proliferasi
Stabilitas Protein Terapeutik dan Faktor yang Mempengaruhi

2
2
3
4
5
6
6
9

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Prosedur Kerja
Overproduksi rhIFNα-2b pada P. pastoris
Filtrasi, Purifikasi dan Kuantifikasi rhIFN-αβb
Karakterisasi rhIFN-αβb

Uji Stabilitas rhIFN-αβb
Uji Aktifitas Anti Proliferasi rhIFNα-2b pada Sel MCF-7
Analisis Statistik

10
10
10
10
11
11
11
11
12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Overproduksi rhIFNα-2b pada P. pastoris
Filtrasi, Purifikasi dan Kuantifikasi rhIFN-αβb
Karakterisasi rhIFN-αβb
Uji Stabilitas rhIFN-αβb
Uji Aktifitas Anti Proliferasi rhIFNα-2b pada Sel MCF-7

12
12
14
15
16
19

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

21
21
21

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

33

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

5
6
7
8
9
10

Penghantaran sinyal hIFN-α melalui jalur JAK-STAT
Mekanisme molekuler hIFN-α sebagai anti kanker
Model struktur molekuler protein hIFNα-2b
Visualisasi dari SDS-PAGE supernatan bebas sel, SDS-PAGE
supernatan hasil filtrasi dan purifikasi, Western Blot supernatan hasil
filtrasi dan purifikasi
Hasil penentuan sekuen asam amino rhIFNα-2b menggunakan analisis
MALDI-TOF/ TOF spektrometri massa
Profil rhIFNα-2b pada kondisi peningkatan temperatur dan variasi pH
Analisis luas area pita utama rhIFNα-2b menggunakan software Image
J pada kondisi peningkatan temperatur dan variasi pH
Profil rhIFNα-2b pada kondisi sampling hari ke-2 dan sampling hari ke20
Analisis luas area pita utama rhIFNα-2b menggunakan software Image
J pada kondisi sampling hari ke-2 dan sampling hari ke-20
Persentase penghambatan rhIFNα-2b terhadap sel MCF-7 pada
pengujian peningkatan temperatur, variasi pH dan kondisi lama
penyimpanan

7
7
8

15
16
17
18
19
19

20

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Media
Larutan
Komposisi Gel Poliakrilamid
Kurva Standar BSA
Isolat P. pastoris X-33 Rekombinan
Kromatogram Purifikasi rhIFNα-2b
Kultur Sel MCF-7
Analisis ragam pengaruh kondisi peningkatan temperatur, variasi pH
dan lama penyimpanan pada persentase penghambatan rhIFNα-2b
terhadap proliferasi sel MCF-7

27
28
29
29
30
30
31

32

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Interferon (IFN) merupakan sitokin yang disekresikan oleh sel eukariot
sebagai respon adanya infeksi virus, bakteri, protozoa atau senyawa lainnya. IFN
dapat dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan sel yang menghasilkannya, yaitu
IFN α (dihasilkan oleh sel leukosit), IFN (dihasilkan oleh sel fibroblast) dan IFN
(dihasilkan oleh sel limfosit T helper) (Kontsek & Konssekova 1997). Human
interferon alfa (hIFN-α) merupakan famili protein yang memiliki aktifitas biologis
yang cukup luas yaitu sebagai anti kanker, anti virus dan imunomodulator
(Cherbi-Alix & Wietzerbin 2007). Hifnα-2 terdiri atas tiga subtipe, yaitu hifnα-2a,
hIFNα-2b dan hifnα-2c (Ceaglio et al. 2010). hIFNα-2b menjadi alel dominan
dibandingkan dengan subtipe yang lain (Lee et al. 1995). hIFNα-2b merupakan
protein yang tersusun atas 188 asam amino (23 asam amino merupakan signal
peptide dan 165 asam amino adalah mature protein) dan mengalami O-glikosilasi
pada asam amino treonin di posisi ke-106 (Ningrum et al. 2013).
Tubuh manusia secara alami dapat menghasilkan IFN, namun terkadang
jumlahnya tidak mencukupi untuk melawan agen penyakit yang berkembang
cepat di dalam tubuh. Pada kondisi tersebut manusia memerlukan penambahan
IFN dari luar tubuh. Kebutuhan IFN dari luar tubuh dapat dipenuhi melalui
produksi protein rekombinan IFN (Gow & Mutimer 2001; Dingermann 2008).
Produksi beberapa jenis protein rekombinan IFN terus dilakukan, salah satunya
adalah protein rekombinan IFNα-2b manusia (rhIFNα-2b). Protein tersebut telah
direkomendasikan oleh United States Food and Drug Administration (US FDA)
pada tahun 1986 sebagai protein terapeutik untuk penanganan hepatitis dan
beberapa kanker seperti multiple myeloma, chronic myeloid leukemia, renal cell
carcinoma, epidermoid cervical cancer, melanoma dan medullary thyroid
carcinoma (Tagliaferri et al. 2005).
Produksi rhIFNα-2b dapat menggunakan beberapa macam sistem ekspresi,
diantaranya adalah sistem ekspresi sel tembakau BY2 (Xu et al. 2007),
Escherichia coli (E. coli) (Srivastava et al. 2005), Saccharomyces cerevisiae (S.
cerevisiae) (Tuite et al. 1982), Streptomyces lividans (S. lividans) (Pimienta et al.
2002), sel telur unggas (Rapp et al. 2003; Patel et al. 2007), P. pastoris (Shi et al.
2007; Li et al. 2007; Ghosalkar et al. 2008), dan sel mamalia (Rossmann et al.
1996; Loigon et al. 2008). Setiap sistem ekspresi tersebut memiliki kelebihan dan
keterbatasan. Penelitian terdahulu yang dilakukan Ningrum et al. (2013) telah
berhasil mengkonstruksi kerangka baca terbuka gen pengkode hIFNα-2b dan
memproduksi rhIFNα-2b dengan menggunakan sistem ekspresi P. pastoris. Bobot
molekul rhIFNα-2b tersebut 24 kDa dan terdapat polyhistidine tag pada ujung Cterminalnya. Uji aktivitas biologis menunjukkan bahwa rhIFNα-2b tersebut
memiliki aktivitas dalam menghambat proliferasi sel kanker payudara manusia
MCF-7 (Ningrum et al. 2015).
P. pastoris merupakan salah satu spesies dari kelompok yeast metilotropik
yang sering dipakai sebagai sistem ekspresi untuk memproduksi protein
rekombinan (Macauley-Patrick et al. 2005; Fickers 2014). Keuntungan
menggunakan sistem ekspresi P. pastoris diantaranya adalah kemudahan dalam

2
memanipulasi pada tingkat molekuler, tingkat sekresi dan ekspresi protein
rekombinan yang sangat tinggi, kemudahan teknik transformasi dan seleksi sel
transforman, biaya produksi lebih murah dibandingkan sistem ekspresi sel
eukariot lainnya. P. pastoris dapat tumbuh pada media sederhana hingga
mencapai kerapatan sel yang tinggi. P. pastoris juga mampu melakukan
modifikasi pasca translasi, misalnya proses glikosilasi dan pelipatan protein yang
sangat menentukan aktifitas biologis suatu protein terapeutik (Cregg et al. 2000;
Balamurugan et al. 2007).
Usaha produksi protein terapeutik pada umumnya masih mengalami
permasalahan pada tahap stabilisasi protein. Salmannejad et al. (2014)
menyatakan bahwa rhIFNα-2b memiliki kestabilan yang rendah terhadap
degradasi fisik dan kimia. Ketidakstabilan rhIFNα-2b dapat terjadi selama proses
preparasi, formulasi dan penyimpanan (Diress et al. 2010). Ketidakstabilan
protein terapeutik dapat menurunkan aktifitas biologis, efek imunogenik dan
perubahan dosis selama terapi (Ruiz et al. 2006). Stabilitas protein terapeutik
sangat penting diketahui untuk meningkatkan aktifitas, kelayakan dan keefektifan
suatu protein terapeutik hingga pada tahap komersialisasi.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari stabilitas rhIFNα-2b pada beberapa
perlakuan, meliputi kenaikan suhu, variasi pH dan kondisi lama penyimpanan.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat dalam menyediakan informasi mengenai stabilitas
rhIFNα-2b yang diproduksi pada P. pastoris. Data mengenai stabilitas protein
sangat diperlukan untuk menentukan kondisi preparasi, formulasi dan
penyimpanan yang tepat agar aktivitas dan keefektifan protein terapeutik dapat
mencapai kondisi yang optimal.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Protein Terapeutik
Produk biofarmasetika memiliki catatan sukses dalam pengobatan
berbagai penyakit kronis dan penyakit lain yang mengancam kehidupan manusia.
Produk biofarmasetika yang paling banyak dikembangkan adalah protein
terapeutik (Rader 2008). Protein terapeutik merupakan molekul protein yang
memiliki aktivitas sebagai obat sehingga dapat digunakan untuk keperluan klinis
(Morrow 2010). Protein terapeutik dapat dibedakan berdasarkan fungsinya
masing-masing yang mencakup sebagai protein fusi, anti-koagulan, faktor
pembekuan darah, faktor pembentukan tulang, enzim-enzim, faktor pertumbuhan,
hormon, interferon, interleukin, eritropoetin dan trombolitik (Dimitrov 2012).

3
Protein terapeutik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan obat dengan
ukuran molekul yang lebih kecil. Protein terapeutik pada umumnya memiliki
spesifitas tinggi dan fungsi kompleks yang tidak bisa ditiru dengan senyawa kimia
sederhana. Reaksi protein terapeutik bersifat sangat spesifik dan jarang
mengganggu proses biologis yang normal sehingga tidak menimbulkan efek
samping. Tubuh manusia umumnya memberikan toleransi yang baik terhadap
protein terapeutik dibandingkan dengan senyawa kimia. Protein terapeutik dapat
menjadi pengganti pada penanganan penyakit yang disebabkan karena suatu
mutasi tanpa harus melakukan terapi gen. Terapi gen saat ini masih belum tersedia
pada sebagian besar penyakit yang disebabkan oleh gangguan genetik. Protein
terapeutik bersifat unik dalam hal bentuk dan fungsinya. Perusahaan
biofarmasetika dapat memperoleh perlindungan hak paten untuk pengembangan
dan produksi suatu protein terapeutik (Leader et al. 2008).
Beberapa jenis protein terapeutik diproduksi secara konvensional melalui
proses pemurnian dari sumber alaminya (native), misalnya enzim pankreas yang
diperoleh dari pankreas babi (Brown et al. 1997) dan α-1-proteinase inhibitor
yang dikumpulkan dari plasma darah manusia (Dirksen 1999). Saat ini sistem
produksi protein terapeutik telah berkembang melalui teknik rekayasa genetika
dan teknologi DNA rekombinan dengan menggunakan sistem ekspresi bakteri,
yeast, sel serangga, sel mamalia, hewan dan tumbuhan transgenik (Brannigan &
Wilkinson 2002). Pemilihan sistem ekspresi umumnya berdasarkan pertimbangan
biaya produksi dan modifikasi protein (misalnya glikosilasi, fosforilasi, dan
pelipatan protein) yang dibutuhkan untuk aktivitas biologis protein terapeutik
(Leader et al. 2008).
Produksi protein rekombinan memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
produksi protein non rekombinan. Proses transkripsi dan translasi suatu gen
manusia menyebabkan aktivitas spesifik yang lebih tinggi dan dapat menurunkan
penolakan imunologis. Produksi protein rekombinan lebih efisien dan dapat
dilakukan dalam skala produksi yang lebih besar dibandingkan protein non
rekombinan. Produksi protein rekombinan dapat menurunkan resiko penularan
penyakit pada hewan atau manusia. Produksi protein rekombinan dapat
memungkinkan untuk melakukan modifikasi protein dan pemilihan varian gen
tertentu untuk meningkatkan fungsi atau spesifitas protein (Leader et al. 2008).
Lembaga US FDA telah merekomendasi lebih dari 130 protein atau peptida
untuk digunakan dalam kepentingan klinis dan 95 protein diantaranya diproduksi
menggunakan teknologi DNA rekombinan. Peningkatan teknologi produksi dan
pemahaman ilmu biofarmasetika akan mengikuti perkembangan produksi protein
terapeutik sebagai langkah penting dalam penanganan berbagai macam penyakit,
misalnya penanganan penyakit diabetes (insulin), stadium akhir penyakit ginjal
(eritropoetin), gangguan pembekuan darah (faktor VII, VIII, IX), hepatitis dan
beberapa jenis kanker (interferon) (Dingermann 2008).

Produksi Protein Rekombinan pada P. pastoris
P. pastoris merupakan salah satu spesies dari kelompok yeast metilotropik
yang banyak digunakan sebagai sistem ekspresi untuk memproduksi protein
rekombinan. P. pastoris memiliki kelebihan sebagai sistem ekspresi terutama

4
kemudahan dalam hal manipulasi pada tingkat molekuler, modifikasi pasca
translasi, pelipatan protein, dan sekresi protein secara ekstraseluler (Cereghino &
Cregg 2000). Proses produksi yang mudah, peralatan produksi yang relatif murah
dan kemudahan dalam proses scale up membuat sistem ekspresi P. pastoris lebih
diminati untuk memproduksi protein rekombinan, termasuk untuk memproduksi
protein terapeutik (Balamurugan et al. 2007). Proses scale up sistem ekspresi P.
pastoris dapat lebih besar dibandingkan sistem ekspresi E. coli (Vozza et al.
1996). Sistem ekspresi P. pastoris pada kasus tertentu dapat mengekspresikan
protein rekombinan lebih tinggi dibandingkan sistem ekspresi yeast konvensional,
yaitu S. cereviceae (Fickers 2014).
Kesuksesan sistem ekspresi P. pastoris untuk memproduksi protein
rekombinan karena beberapa faktor, salah satunya adalah adanya promoter
alcohol oxidase 1 (aox1). Promoter aox1 merupakan promoter kuat, mudah
diregulasi dan dapat mengintegrasikan vektor ekspresi pada genom P. pastoris
dengan satu atau beberapa situs tertentu (Li et al. 2007). Promoter aox1
mengontrol ekspresi 30% dari keseluruhan protein solubel yang dihasilkan P.
pastoris, sehingga promoter tersebut umumnya digunakan untuk menjalankan dan
mengatur ekspresi suatu protein rekombinan (Cregg et al. 2000). Transformasi
pada P. pastoris dapat dilakukan dengan mudah melalui metode elektroporasi atau
metode speroplasting (Balamurugan et al. 2007).
Ekspresi protein rekombinan pada P. pastoris dapat terjadi secara
intraseluler maupun ekstraseluler. Sekresi protein rekombinan keluar sel
memerlukan sinyal sekuen untuk mengarahkan protein pada jalur sekretori.
Beberapa sinyal sekuen telah dicoba pada sistem ekspresi P. pastoris, termasuk
native sinyal sekuennya. Sinyal sekuen yang paling efektif digunakan yaitu faktor
α-prepo yang berasal dari S. cereviceae (Ghosalkar et al. 2008). P. pastoris
mensekresikan native protein lebih rendah dibandingkan dengan protein
rekombinan sehingga kondisi tersebut dapat mempermudah purifikasi protein
(Balamurugan et al. 2007).
Sistem ekspresi P. pastoris memiliki keuntungan dalam proses glikosilasi
protein, khususnya pada protein rekombinan yang diaplikasikan sebagai protein
terapeutik. Proses glikosilasi yang terjadi pada P. pastoris bukan termasuk tipe
hiperglikosilasi. Hiperglikosilasi dapat memacu respon imun yang berlebihan, hal
ini dapat menimbulkan efek negatif dalam tubuh manusia (Macauley-Patrick et al
2005). Glikosilasi pada sistem ekspresi P. pastoris umumnya merupakan
gabungan 8 sampai 14 residu manosa pada tiap rantai peptida dan lebih pendek
dibandingkan dengan glikosilasi pada S. cereviceae, yaitu 50-150 residu manosa
(Balamurugan et al. 2007). P. pastoris juga dilaporkan telah sukses memproduksi
protein rekombinan dengan pola ikatan disulfida tertentu (Cregg et al. 2000).
Aktifitas biologis pada beberapa protein rekombinan sangat ditentukan dari
formasi ikatan disulfidanya (Diress et al. 2010).

Interferon
Penemuan IFN berawal dari penelitian yang dilakukan Nagano dan Kojima
ketika menemukannya pada kelinci yang terserang virus. Selang beberapa tahun
kemudian peneliti lain yaitu Isaacs dan Lindermann juga menemukan molekul

5
yang serupa ketika melakukan pengamatan pada sel ayam yang diinkubasi dengan
virus influenza. Hasil pengamatannya menunjukkan adanya suatu faktor yang
dapat melindungi sel dari infeksi virus. Fenomena ini dinamakan fenomena
interferensi dan substansi aktif yang dihasilkan kemudian dinamakan interferon
(Chelbi-Alix & Wiedzerbin 2007).
Pada dasarnya IFN merupakan kelompok protein dari famili sitokin yang
disekresikan oleh sel vertebrata karena adanya rangsangan yang berasal dari virus,
bakteri, protozoa dan senyawa lainnya (Ningrum et al. 2013). IFN dapat
dibedakan menjadi 3 kelompok berdasarkan jenis sel yang menghasilkannya.
Kelompok yang pertama yaitu IFN-α dihasilkan oleh sel leukosit. Kelompok
kedua yaitu IFN- yang dihasilkan oleh fibroblast dan dapat bekerja pada hampir
semua sel di dalam tubuh manusia. Kelompok ketiga yaitu IFN- yang dihasilkan
oleh limfosit sel T helper dan hanya bekerja pada sel-sel tertentu seperti:
makrofag, sel endotelial, fibroblast, sel T sitotoksik dan sel limfosit B (Konstek &
Konssekova 2002).
IFN bertindak sebagai messenger intraseluler yang memicu terjadinya
aktifitas biologi setelah berikatan dengan reseptor sel target (Barr et al. 2008).
IFN akan berikatan dengan reseptor spesifik pada membran sel target.
Berdasarkan lokasi reseptor di permukaan sel, IFN dibagi menjadi dua tipe. IFN
tipe 1 terdiri atas IFN α, , ω dan τ. IFN tipe β hanya terdiri atas IFN (Takaoka
& Yanai 2006). IFN tipe 1 adalah keluarga sitokin yang khusus untuk
mengkoordinasikan kekebalan terhadap virus dan infeksi intraseluler. Identifikasi
reseptor dan jalur sinyal deteksi patogen untuk menginduksi IFN tipe 1 telah
banyak dilakukan (Stetson & Metzitov 2006). Reseptor yang dikenali oleh IFN
tipe 1 dibedakan menjadi dua subunit, yaitu IFNAR-1 dan IFNAR-2 (Honda et al.
2005).
IFN memiliki aktivitas anti virus dan anti kanker yang berpengaruh pada
metabolisme dan diferensiasi sel serta dapat memodulasi sistem imun (Jonash &
Haluska 2001). Kompleksitas fungsi IFN pada sistem imun tubuh manusia dapat
melalui jalur pengaktifan fungsi khusus suatu sel yang meliputi diferensiasi,
pertumbuhan, pengekspresian antigen permukaan dan imunoregulasi sel (Meager
2006). Peran IFN selanjutnya dalam sistem imun tubuh manusia dapat melalui
beberapa mekanisme sebagai berikut:
Aktivitas Anti Virus
Aktivitas anti virus IFN tidak terjadi secara langsung, melainkan melalui
mekanisme pencegahan replikasi virus pada sel-sel yang berada disekitar sel yang
terinfeksi. Pencegahan replikasi virus dilakukan melalui pengikatan IFN pada
reseptor permukaan membran sel dan mengaktifkan gen-gen pengkode protein
yang menghalangi replikasi virus. Ekspresi gen pengkode IFN terjadi melalui
sistem transduksi sinyal jalur Janus Kinase-Signal Tranducer and Activator of
Transcription (JAK-STAT). Rangsangan penginduksi IFN (virus, bakteri atau
mitogen lain) akan memicu sel untuk mengaktifkan gen IFN. Protein IFN
kemudian disekresikan oleh sel dan mengenali reseptor pada membran sel
disekitarnya. IFN kemudian memperingatkan sel disekitarnya sehingga
menyebabkan sel-sel tersebut melepaskan protein-protein dan messenger lain
yang mengganggu produksi protein untuk perakitan virus baru (Highleyman
2007). Mekanisme peringatan tersebut terjadi ketika IFN dengan segera terikat

6
pada reseptor spesifik yang terletak di permukaan sel yang tidak terinfeksi. Ikatan
tersebut mengaktifkan 2 macam enzim, yaitu: protein kinase yang membantu
fosforilasi dua macam protein alfa 1 dan alfa 2. Kedua protein tersebut yang
menghambat sintesis protein virus. Enzim kedua adalah β’,5’ oligoadenylate (β’, 5’
A) sintetase yang membentuk oligonukleotida rantai pendek. Oligonukleotida ini
selanjutnya merangsang enzim yang dapat mendegradasi materi genetik virus,
misalnya ribonuklease yang menyebabkan degradasi RNA virus (Sangfelt et al.
2000).
Aktivitas Imunomodulator
IFN terlibat dalam sistem imun tubuh melalui beberapa mekanisme, yaitu:
1). meningkatkan fagositosis makrofag dan daya sitotoksik sel Natural Killer
(NK). 2). meningkatkan ekspresi Human Leukocyte Antigen (HLA) pada
permukaan sel yang terinfeksi oleh virus, sehingga memungkinkan sel limfosit T
sitotoksik dan sel NK lebih mudah mengenali dan menghancurkan sel yang
terinfeksi. HLA merupakan istilah yang digunakan bagi Major Histocompatibility
Complex (MHC) pada manusia. 3). terlibat dalam lymphokine cascade dan
produksi interleukin 1 dan 2 (Highleyman 2007).
Aktivitas Anti Proliferasi
Aktivitas antiproliferasi IFN terjadi secara langsung dan tidak langsung.
Aktivitas anti proliferasi secara langsung terjadi melalui penghambatan
pertumbuhan sel kanker dengan cara cell cycle arrest, apoptosis atau diferensiasi.
Aktivitas antiproliferasi secara tidak langsung terjadi melalui aktivasi sel-sel imun,
misalnya sel T, sel NK, inhibisi vaskularisasi (antiangiogenesis) dan induksi
sitokin. Aktivitas antiproliferasi adalah hasil dari regulasi ekspresi gen yang
dimulai dengan jalur transduksi sinyal dan aktivasi transkripsi JAK-STAT (Barr et
al. 2008). Jalur JAK-STAT diawali dengan pengikatan IFN pada reseptor di
permukaan sel. JAK merupakan enzim tirosin kinase dan mengaktifkan STAT
yang merupakan enzim tirosin fosforilasi. Famili STAT terdiri atas tujuh protein,
yaitu STAT-1, STAT-2, STAT-3, STAT-4, STAT-5a, STAT-5b dan STAT-6.
Sedangkan famili JAK terdiri atas empat protein, yaitu JAK-1, JAK-2, JAK-3 dan
tirosin kinase-2 (TYK-2). JAK-1 dan TYK-2 diaktivasi oleh IFN-α yang
menyebabkan reaksi fosforilasi dan dimerisasi. STAT-1 (P91) dan STAT-2
(P113) ditranslokasikan oleh Interferon Regulating Factor-9 (IRF-9) ke dalam inti
sel (Gambar 1). Protein kompleks yang diketahui sebagai Interferon Stimulated
Gene Factor-3 (ISGE-3) dapat mengaktifkan Interferon Stimulating Respone
Element (ISRE). Fosforilasi 2 subunit STAT-1 membentuk faktor aktivasi-α yang
akan berikatan dengan Gamma Activator Sequence (GAS). Kondisi ini akan
menginduksi ratusan Interferon Stimulating Genes (ISG) yang berperan dalam
mekanisme antiproliferasi (Samuel 2001; Gao et al. 2004; Ningrum 2014).
Jalur JAK-STAT berhubungan dengan jalur Mitogen Activated Protein
Kinase (MAPK) dalam proses proliferasi sel. Jalur MAPK berperan dalam proses
proliferasi, diferensiasi, pertahanan dan apoptosis sel. IFN mencegah transduksi
sinyal Extracellular-signal Regulated Kinase (ERK) dan Mitogen ERK Kinase
(MEK). Penghambatan jalur tersebut dapat mencegah siklus pembelahan sel
kanker dari fase G0/ G1 menuju fase S. Kondisi tersebut menyebabkan sel kanker
tidak dapat melakukan replikasi DNA dan proliferasi tidak terjadi. Selain itu IFN

7
juga menginduksi Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan melepaskan sitokrom c
dari mitokondria (Gambar 2). Jalur tersebut mengaktifkan sinyal caspase-cascade
yang menyebabkan fragmentasi DNA dan kematian sel (Steelman et al. 2004;
Ningrum 2014).

Gambar 1. Penghantaran sinyal hIFNα-2b melalui jalur JAK-STAT (Ningrum
2014).

Gambar 2. Mekanisme molekuler hIFNα-2b sebagai anti kanker (Ningrum 2014).

8
Gen ifn dari beberapa spesies (tikus, sapi dan manusia) telah dikloning
namun hanya gen ifn dari manusia (hifn) yang telah banyak diketahui. Pada
genom manusia terdapat 13 gen hifn-α dan 6 pseudogen dengan homologi sekuen
nukleotidanya berkisar antara 85-95% (Lawn et al. 1981). Gen hifn-α
berkelompok pada kromosom manusia nomor 9 dan tidak mengandung sekuen
intron. Lokus gen hifn-αβ terdiri atas tiga allelik, yaitu hifn-αβa, hIFNα-2b dan
hifn-αβc. Hasil dari ekspresi gen hifn-α adalah suatu polipeptida yang tersusun
atas 166 asam amino (kecuali IFN-αβ, mempunyai 165 asam amino karena
mengalami delesi pada posisi asam amino 44) dan 23 asam amino peptida signal
yang bersifat hidrofobik (Ceaglio et al. 2010).
Protein IFN-α merupakan bentuk monomer dan termasuk kelompok IFN
tipe 1. Protein tersebut mempunyai berat molekul antara 19-26 kDa. Kelompok
protein IFN-α merupakan kelas yang paling dominan dari IFN lain yang
dihasilkan oleh leukosit darah yang terstimulasi. Pada umumnya IFN-α tidak
memiliki rantai samping karbohidrat, namun ada beberapa kelompok yang
merupakan golongan glikoprotein dengan derajat glikosilasi berbeda. hIFN-αβ
merupakan salah satu contoh glikoprotein yang memiliki glikosilasi O pada asam
amino treonin posisi ke-106 (Gunther et al. 1991; Ningrum 2014).

Gambar 3. Model struktur molekuler protein hIFNα-2b (Wang et al. 2002).
hIFNα-2b memiliki empat residu sistein yang membentuk 2 jembatan
disulfida pada hIFN-αβb. Ikatan disulfida ini terjadi antara sistein 1 dengan sistein
98 dan sistein 29 dengan sistein 138 (Bae et al. 1995). Model struktur molekuler
hIFNα-2b dapat dilihat pada Gambar 3. Struktur IFN-αβb hampir mirip dengan
IFN-αβa, perbedaannya hanya terletak pada asam amino nomor βγ. Asam amino
nomor 23 pada IFN-αβb adalah lisin (K), sedangkan pada IFNα-2a adalah arginin
(R) (Klaus et al. 1997).

9
Stabilitas Protein Terapeutik dan Faktor yang Mempengaruhi
Protein merupakan makromolekul penyusun tubuh terbesar kedua setelah air.
Fakta ini menunjukkan bahwa protein merupakan molekul penting yang
menompang seluruh proses kehidupan dalam tubuh (Witarto 2001). Sifat-sifat
penting protein dalam kehidupan telah mendorong aplikasi protein dalam berbagai
sektor seperti industri, lingkungan, dunia kedokteran dan farmasi. Eksplorasi
protein dalam dunia kedokteran dan farmasi salah satunya berkenaan dengan
produksi berbagai jenis protein terapeutik (Morrow 2010). Namun dalam
pengembangan protein terapeutik masih menghadapi beberapa kendala,
diantaranya adalah kualitas protein yang tersedia secara alami cukup rendah serta
karakter yang dimiliki protein hanya bertahan pada kondisi normal (Wang 1999).
Keadaan tersebut mendorong upaya untuk meningkatkan sifat protein sesuai
dengan kebutuhan. Salah satu sifat protein yang paling banyak mendapat
perhatian adalah stabilitas protein. Studi mengenai stabilitas protein terapeutik
umumnya diutamakan pada fenomena ketidakstabilan fisik dan kimia (Chi et al.
2003).
Ketidakstabilan fisik umumnya meliputi reaksi denaturasi, aggregasi,
presipitasi, dan tegangan permukaan. Fenomena denaturasi ditandai dengan
berubahnya stuktur globular atau struktur tiga dimensi suatu protein. Struktur
globular umumnya merupakan struktur native protein. Denaturasi dapat merubah
bentuk fisik protein, tetapi komposisi kimianya tetap sama. Denaturasi dapat
melibatkan perubahan struktur sekunder dan tersier protein (atau keduanya).
Denaturasi dapat terjadi karena pemanasan protein pada suhu yang tinggi dan
umumnya bersifat irreversible. Fenomena aggregasi dapat terjadi karena adanya
perubahan pelipatan protein selama proses preparasi, formulasi, freeze-thawing,
transportasi dan penyimpanan. Perubahan pelipatan protein dapat memungkinkan
gugus hidrofobik protein terbuka dan dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Gugus hidrofobik yang terbuka dapat berinteraksi dengan gugus hidrofobik
protein lain atau sesamanya (Diress et al. 2010). Faktor lingkungan yang dapat
memacu terjadinya aggregasi meliputi proses dehidrasi, perubahan kondisi pH
lingkungan, perubahan atau kenaikan suhu lingkungan serta penyimpanan protein
dalam jangka panjang. Presipitasi atau pembentukan endapan protein merupakan
salah satu faktor penyebab ketidakstabilan fisik protein. Presipitasi dapat terjadi
karena protein dalam keadaan unfolded sehingga tidak mudah larut. Kondisi
tersebut menyebabkan protein cenderung membentuk endapan dan umumnya
bersifat irreversible. Tegangan permukan protein juga berpengaruh pada
kestabilan fisik protein. Ketika protein dalam kondisi unfolded, maka tegangan
permukaan protein semakin besar. Kondisi tersebut semakin memacu
terbentuknya aggregat-aggregat protein (Manning et al. 2010).
Ketidakstabilan kimia dapat terjadi karena adanya degradasi kimia yang
meliputi proses deaminasi, oksidasi, hidrolisis, pemutusan atau perubahan ikatan
disulfida, serta pembentukan ikatan non disulfida. Deaminasi merupakan proses
penghilangan gugus amida pada beberapa asam amino penyusun protein.
Penghilangan gugus amida pada asam amino merupakan salah satu jalur degradasi
kimia protein. Gugus amida dibebaskan sebagai amoniak. Proses terjadinya
deaminasi dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, diantaranya pH,
temperatur dan kekuatan ion. Deaminasi asam amino umumnya diikuti dengan

10
reaksi hidrolisis atau dikenal sebagai reaksi deaminasi hidrolitik. Reaksi oksidasi
juga merupakan penyebab ketidakstabilan kimia suatu protein. Beberapa protein
yang tersusun atas asam amino histidin, metionin, sistein, tirosin dan triptofan
dapat mengalami kerusakan karena bereaksi dengan reactive oxygen species
(ROS) (Davies 2005). Reaksi oksidasi pada gugus reaktif protein dapat terjadi
selama proses produksi protein, purifikasi, formulasi dan penyimpanan
(Bertolotti-Chiarlet et al 2009). Asam amino sistein berperan signifikan pada
proses terjadinya aggregat protein melalui pembentukan ikatan kovalen.
Degradasi sistein berpengaruh pada perubahan konformasi protein, terutama
ketika pembentukan atau perubahan ikatan disulfida protein. Isomerisasi asam
amino juga merupakan faktor penyebab ketidakstabilan kimia suatu protein.
Perubahan suatu asam amino menjadi bentuk isomernya dapat menyebabkan
ketidakstabilan protein. Beberapa isomer asam amino cenderung tidak stabil dan
mudah mengalami hidrolisis. Protein dapat membentuk dimer atau polimer
melalui ikatan non disulfida. Pembentukan ikatan non disulfida tersebut terjadi
melalui proses transaminasi dan sangat dipengaruhi kondisi pH lingkungan.
Pembentukan ikatan non disufida secara signifikan dapat memacu terjadinya
aggregasi protein (Wang 1999).

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Oktober 2014 hingga April 2015 yang
bertempat di laboraturium Protein Terapeutik dan Vaksin Pusat Penelitian
Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong Science
Center (CSC).

Prosedur Kerja
Overproduksi rhIFNα-2b pada Sel P. pastoris
Koloni tunggal P. pastoris X-33 (Ningrum et al. 2013) dari media YPDS
(1% yeast ekstrak, 2% pepton, 2% dextrose, 1 M sorbitol, 2% agar, 2000 µg
zeocin) (Merck, Jerman) ditumbuhkan dalam 50 ml media BMGY (1% yeast
ekstrak, 2% pepton, 100 mM potassium fosfat pH 6, 1.34% yeast nitrogen base, 4
x 10-5% biotin, 1% gliserol) (Merck, Jerman) pada suhu 30 °C dengan kecepatan
250 rpm hingga mencapai OD600 = 2-6. Pemanenan sel dilakukan melalui proses
sentrifugasi dengan kecepatan 1500 x g selama 5 menit pada suhu ruang. Pelet
kemudian diresuspensi ke dalam 100 ml media BMMY (1% yeast ekstrak, 2%
pepton, 100 mM potassium fosfat pH 6, 1.34% yeast nitrogen base, 4 x 10-5%
biotin, 2% gliserol) (Merck, Jerman). Kultur kemudian ditumbuhkan pada suhu
30 °C dengan kecepatan 250 rpm. Proses induksi dilakukan pada jam ke-24
melalui penambahan 100% metanol dengan konsentrasi akhir 2% (Merck,
Jerman) ke dalam kultur (Herawati et al. 2014). Supernatan dan pelet dipisahkan
setelah jam ke-48 jam melalui proses sentrifugasi dengan kecepatan 1500 x g

11
selama 5 menit pada suhu ruang. Supernatan ditambahkan dengan 1 mM Phenyl
Methyl Sulfonyl Fluoride (PMSF) (Sigma, USA) lalu disimpan pada suhu -20 °C.
Filtrasi, Purifikasi dan Kuantifikasi rhIFN-α2b
MinimateTM tangensial flow filtration system (Pall, USA) dengan Molecular
Weight Cut Off (MWCO) 5 kDa digunakan pada proses filtrasi protein.
Supernatan dipekatkan dari volume 100 mL menjadi 10 mL. Fraksi yang telah
dipekatkan kemudian dipurifikasi dengan AKTA purifier 10 system (GE
Healthcare, Swedia) menggunakan kolom His-trap. Larutan yang mengandung 20
mM sodium fosfat, 20 mM imidazol dan 500 mM sodium klorida digunakan
sebagai binding buffer sedangkan 20 mM sodium fosfat, 500 mM imidazol dan
500 mM sodium klorida digunakan sebagai elution buffer (Merck, Jerman).
Protein hasil purifikasi dihitung konsentrasinya menggunakan bicinchoninic acid
assay (BCA protein assay kit) (Pierce, USA) dengan berbagai konsentrasi bovin
serum albumin (25-2000 µg/ml) sebagai standar. Absorbansi sampel protein
diukur pada panjang gelombang 562 nm.
Karakterisasi rhIFN-α2b
Gel poliakrilamid (Bio-Rad, USA) yang tersusun atas separating gel (12%)
dan stacking gel (4%) digunakan pada analisis SDS-PAGE. Coomassie brilliant
blue (Bio-Rad, USA) digunakan sebagai pewarna gel poliakrilamid. Antibodi
primer (anti interferon-α mouse mAb) (Calbiochem, USA) dengan nisbah 1:100,
antibodi sekunder (anti-mouse IgG alkaline phosphatase conjugate) (Promega,
USA) dengan nisbah 1:7500 dan reagen nitro blue tetrazolium-(5-bromo-4chloro-3-indolyl-phosphate) (NBT-BCIP) (Invitrogen, USA) digunakan pada
analisis Western Blot. Karakterisasi identitas protein dilakukan melalui penentuan
urutan asam amino berbasis analisis spektrometri massa MALDI-TOF/ TOF
(Proteomic International, Australia).
Uji Stabilitas rhIFN-α2b
Uji stabilitas protein dilakukan pada 3 parameter, yaitu kenaikan suhu,
variasi pH dan kondisi lama penyimpanan. Stok rhIFNα-2b tanpa perlakuan
digunakan sebagai kontrol. Pengujian kenaikan suhu dilakukan melalui proses
inkubasi sampel protein selama 3 hari pada suhu 30 °C, 40 °C, 50 °C, 60 °C dan
70 °C. Pengujian variasi pH dilakukan melalui proses inkubasi sampel protein
selama 3 hari dalam 50 mM dapar fosfat (Merck, Jerman) pada pH 4, 5, 6, 7 dan 8.
Pengujian kondisi lama penyimpanan dilakukan melalui proses inkubasi sampel
protein dalam dapar fosfat (pH 7) (Merck, Jerman) pada suhu 4 °C, 25 °C, dan
37 °C selama 20 hari dengan titik sampling setiap 2 hari. Fraksi-fraksi protein
hasil pengujian stabilitas diamati profil protein menggunakan analisis SDS-PAGE
non reducing serta aktifitas anti proliferasinya menggunakan uji MTT. Stabilitas
profil protein juga ditentukan berdasarkan luas area pita utama rhIFNα-2b
menggunakan software Image J.
Uji Aktifitas Anti Proliferasi rhIFNα-2b pada Sel MCF-7
Sel kanker payudara manusia MCF-7 yang digunakan merupakan koleksi
Laboratorium Protein Terapeutik dan Vaksin, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI
Cibinong, Bogor. Sel yang telah ditumbuhkan pada plate 96 sumuran dicuci

12
dengan 100 µL Phosphate Buffer Saline (PBS) (Merck, Jerman). Media komplit
100 µL (95% Dulbecco’s Modified Eagle Medium [DMEM] [Gibco, USA], 5%
Fetal Bovine Serum [FBS] [Gibco, USA] dan 1% penisilin/streptomisin [Sigma,
USA]) yang mengandung 1 µM tamoxifen (Merck, Jerman) ditambahkan pada
tiap sumuran kecuali blanko dan kontrol negatif. Kultur kemudian diinkubasi
selama semalam. Kultur selanjutnya dicuci dengan 100 µL PBS. Media komplit
100 µL yang mengandung fraksi rhIFNα-2b (4 µg/mL) hasil pengujian stabilitas
ditambahkan pada sumuran perlakuan. Stok rhIFNα-2b tanpa perlakuan
digunakan sebagai kontrol. Kultur kemudian diinkubasi 5 hari. Kultur selanjutnya
dicuci dengan 100 µL PBS. Media komplit 100 µL yang mengandung 5 mg/mL
MTT (Invitrogen, USA) ditambahkan pada tiap sumuran. Kultur selanjutnya
diinkubasi 3 jam. Penghentian reaksi dilakukan dengan penambahan 100 µl SDS
10% dalam 0.01 M HCl (Merck, Jerman) pada tiap sumuran lalu suspensi
diinkubasi selama semalam (Ningrum et al. 2015). Formazan yang terlarut diukur
pada panjang gelombang 570 nm.
Nilai viabilitas sel dan persentase penghambatan dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
Viabilitas Sel (%) =

rata-rata absorbansi sel uji - rata-rata absorbansi blanko
rata-rata absorbansi kontrol negatif - rata-rata absorbansi blanko

Persentase Penghambatan (%) =

100% - Viabilitas Sel (%)

Analisis Statistik
Analisis ragam (analysis of variance) data pengujian aktivitas anti
proliferasi pada semua perlakuan diolah menggunakan aplikasi SPSS versi 21.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Overproduksi rhIFNα-2b pada P. pastoris
Proses overproduksi rhIFNα-2b menggunakan sistem ekspresi P. pastoris
terdiri atas dua tahapan utama yaitu diawali dengan peningkatan biomassa P.
pastoris kemudian dilanjutkan dengan sistem induksi ekspresi rhIFN-αβb.
Peningkatan biomassa P. pastoris dilakukan pada media BMGY. Sumber karbon
utama pada media tersebut adalah gliserol. Gliserol merupakan sumber karbon
yang bersifat represi terhadap kerja promoter aox1 yang meregulasi proses
ekspresi protein, sehingga aliran karbon akan terakumulasi untuk peningkatan
biomassa saja (Cereghino & Cregg 2000; Fickers 2014).
Tahapan kedua adalah sistem induksi ekspresi rhIFNα-2b pada media
BMMY. Sumber karbon pada media tersebut adalah metanol. P. pastoris
merupakan kelompok yeast metilotropik yang dapat menggunakan metanol
sebagai sumber karbon dan energi (Krainer et al. 2012). P. pastoris strain X-33
dengan fenotip Mut+ (methanol utilization plus) digunakan sebagai sistem ekspresi
untuk memproduksi rhIFN-αβb. Strain tersebut tumbuh cepat pada media yang
mengandung metanol dan memproduksi protein rekombinan dengan jumlah yang

x 100%

13
tinggi (Kim et al. 2009). P. pastoris sangat responsif terhadap metanol namun
sensitif pada konsentrasi tinggi. Konsentrasi metanol yang tinggi bersifat toksik
dan menghambat pertumbuhan P. pastoris sedangkan konsentrasi metanol yang
rendah tidak mampu menginisiasi proses transkripsi (Poutou-Pinales et al. 2010),
sehingga regulasi penambahan metanol ke dalam media ekspresi menentukan
efisiensi produksi protein rekombinan. Herawati et al. (2014) menyebutkan bahwa
metanol dengan konsentrasi 2% merupakan konsentrasi terbaik untuk
menginduksi overproduksi rhIFNα-2b pada P. pastoris X-33.
Sistem induksi pada proses overproduksi rhIFNα-2b berkaitan dengan
biosintesis enzim alcohol oxidase (AOX) di dalam sel P. pastoris. P. pastoris
memproduksi AOX sebagai respon terhadap keberadaan metanol pada media
pertumbuhan. AOX merupakan enzim pertama yang bekerja pada jalur oksidasi
metanol (Jin et al. 2011). Metanol tidak hanya sebagai sumber karbon dan energi
namun juga bertindak sebagai induser kerja dari promoter aox1. Keberadaan
metanol dalam media pertumbuhan menyebabkan akumulasi enzim AOX
meningkat (Cos et al. 2006). Kerangka baca terbuka gen pengkode hIFNα-2b
diletakkan pada sisi downstream dari promoter aox1 sehingga dapat
mengekspresikan rhIFNα-2b dengan yield yang meningkat.
Ekspresi rhIFNα-2b pada sel P. pastoris menggunakan promoter aox1
(Ningrum et al. 2013). Promoter aox1 dipakai sebagai regulator dalam proses
ekspresi rhIFNα-2b karena memiliki beberapa kelebihan. Penggunaan promoter
aox1 menunjukkan tingkat ekspresi protein rekombinan dalam jumlah yang tinggi.
Promoter aox1 merupakan promoter indusibel yang mudah diregulasi melalui
sistem induksi metanol (Hartner et al. 2008). Metanol adalah induser dengan
struktur kimia sederhana dan mudah dimetabolisme oleh P. pastoris. Selain itu
metanol merupakan induser yang relatif murah. Beberapa promoter alternatif telah
digunakan dalam sistem ekspresi protein rekombinan yang diproduksi pada P.
pastoris, misalnya promoter gap, fld1, pex8 dan ypt1. Promoter gap merupakan
promoter konstitutif yang meregulasi secara kontinu ekspresi protein rekombinan.
Pada kasus tertentu promoter gap bukan merupakan pilihan yang tepat terutama
ketika memproduksi protein rekombinan yang bersifat toksin bagi P. pastoris.
Promoter fld1, pex8 dan ypt1 merupakan promoter indusibel yang memerlukan
induser lebih kompleks dibandingkan dengan promoter aox (Cereghino & Cregg
2000).
P. pastoris mampu mengekspresikan protein secara intraseluler maupun
ekstraseluler. Ekspresi rhIFNα-2b pada penelitian ini terjadi secara ekstraseluler.
Hal ini karena pada sekuen asam amino rhIFNα-2b terdapat sinyal peptida faktor
α-prepo yang mengarahkan rhIFNα-2b disekresikan keluar sel P. pastoris
(Ningrum et al. 2013). Beberapa penelitian memakai sinyal peptida yang berbeda
untuk mensekresikan protein rekombinan ke luar sel P. pastoris. Ghosalkar et al.
(β008) menyebutkan bahwa faktor α-prepo merupakan sinyal peptida yang efisien
membantu sekresi rhIFNα-2b keluar sel P. pastoris.
P. pastoris juga mampu melakukan modifikasi pascatraslasi, misalnya
proses glikosilasi dan pembentukan ikatan disulfida. P. pastoris dapat membentuk
O-glikosilasi dan N-glikosilasi pada protein yang diekspresikan. Pola Oglikosilasi terangkai pada gugus hidroksil serin dan treonin (Macauley-Patrick et
al 2005). Pola glikosilasi yang tepat sangat berpengaruh pada aktifitas biologis
protein rekombinan, khususnya protein terapeutik (Li et al. 2009). Pola glikosilasi

14
rhIFNα-2b adalah O-glikosilasi pada treonin di posisi ke-106 (Ningrum et al.
2013). Kemampuan P. pastoris membentuk O-glikosilasi dapat meningkatkan
waktu paruh aktivitas rhIFN-αβb. Berbeda dengan sistem ekspresi lain yang
memiliki kekurangan dalam pembentukan pola glikosilasi, misalnya pada E. coli
dan S. cerevisiae. Sistem ekspresi E. coli tidak mampu membentuk pola
glikosilasi sehingga menyebabkan waktu paruh aktivitas protein terapeutik
menjadi lebih singkat. S. sereviceae mengekspresikan protein rekombinan dengan
pola hiperglikosilasi. Hal ini dapat memacu efek imunogenik yang berlebihan
(Cereghino & Cregg 2000). Macauley-Patrick et al. (2005) juga menyebutkan
bahwa sistem eskpresi P. pastoris telah sukses memproduksi protein dengan pola
ikatan disulfida. Pola ikatan disulfida rhIFNα-2b terjadi pada sistein 29 ke sistein
138 dan sistein 1 ke sistein 98 (Bae et al. 1995). Ikatan disulfida pada sistein 29
ke sistein 138 penting untuk aktivitas biologi rhIFN-αβb, sedangkan ikatan pada
sistein 1 ke sistein 98 tidak berpengaruh pada aktivitas biologinya (Morehead et al.
1984).

Filtrasi, Purifikasi dan Kuantifikasi rhIFN-α2b
Filtrasi supernatan bebas sel dilakukan menggunakan prinsip kerja
Tangensial Flow Filtration (TFF). Supernatan digerakkan oleh pompa peristaltik
melewati membran filter 5 MWCO. Sampel yang dapat melewati membran filter
(disebut fraksi filtrate) merupakan protein dan senyawa lain dengan bobot
molekul dibawah ukuran 5 MWCO, sedangkan protein yang tidak lolos dan
tertampung dalam kontainer (disebut fraksi retentate) merupakan sampel yang
mengandung protein dan senyawa lain dengan bobot molekul diatas ukuran 5
MWCO sehingga supernatan semakin pekat. Fraksi retentate
kemudian
dipurifikasi menggunakan kolom Ni-NTA yang berbasis interaksi antara ion nikel
dengan polihistidin tag yang ada pada ujung C-terminal rhIFN-αβb. Sejumlah
histidin bertindak sebagai donor elektron dan dapat berikatan dengan ion logam
seperti ion tembaga, nikel, seng dan kobalt. Metode purifikasi ini disebut sebagai
Metal-Chelate Affinity Chromatography atau Immobilized Metal Affinity
Chromatography (Porath 1988).
Kuantifikasi protein yang telah dipurifikasi menunjukkan konsentrasi yield
protein yaitu 10.92 mg/L (pada OD600 = 2.3). Hasil tersebut lebih tinggi
dibandingkan yield yang diperoleh dengan menggunakan sistem ekspresi lain,
misalnya sel tembakau BY2 (0.02 mg/L) (Xu et al. 2007), S. lividans (0.1 mg/L)
(Pimienta et al. 2002) dan sel telur unggas transgenik (2 mg/L) (Rapp et al. 2003).
Hal ini menunjukkan bahwa overproduksi rhIFNα-2b menggunakan sistem
ekspresi P. pastoris telah berhasil dilakukan. Sistem ekspresi lain dapat
memproduksi rhIFNα-2b dengan yield yang lebih tinggi namun memiliki
beberapa kelemahan. E. coli menghasilkan yield 3000 mg/L (Srivastava et al.
2007), namun rhIFNα-2b yang diproduksi tidak mengalami glikosilasi dan
membutuhkan proses refolding. Refolding dapat mengurangi aktifitas biologis
rhIFNα-2b dan tidak adanya glikosilasi menyebabkan waktu paruh aktivitas
rhIFNα-2b menjadi lebih singkat. S. cerevisiae menghasilkan yield 15 mg/L (Tuite
et al. 1982), namun rhIFNα-2b yang diproduksi cenderung mengalami