Keanekaragaman Makrozoobenthos Pada Ekosistem Mangrove Di Pulau Damar Maluku Utara

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS PADA
EKOSISTEM MANGROVE DI PULAU DAMAR
MALUKU UTARA

NASIR HAYA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul” Keanekaragaman
Makrozoobenthos pada Ekosistem Mangrove di Pulau Damar Maluku Utara”
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Nasir Haya
NIM C551130081

RINGKASAN
NASIR HAYA. Keanekaragaman Makrozoobenthos pada Ekosistem Mangrove di
Pulau Damar Maluku Utara dibimbing oleh NEVIATY PUTRI ZAMANI dan
DEDI SOEDHARMA.
Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam yang khas didaerah
pantai tropik, mempunyai fungsi strategis bagi ekosistem pantai yaitu sebagai
penyambung dan penyeimbang ekosistem darat dan laut. Makrozoobenthos
merupakan organisme yang hidup melata, menempel, memendam baik didasar
perairan maupun di permukaan perairan. Pulau Damar merupakan salah satu yang
berada di daearah Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara, yang
memiliki potensi ekosistem mangrove yang besar, dimana ekosistem mangrove
dapat tumbuh disepanjang pesisir pantai, dan beragam biota yang hidup
didalamnya sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji keanekaragaman

makrozoobenthos yang hidup pada kawasan mangrove.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji keanekaragaman
makrozoobenthos pada ekosistem mangrove di Pulau Damar Maluku Utara, dan
menganalisis faktor lingkungan yang berpengaruh pada keanekaragaman
makrozoobenthos. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai
November 2014, di kawasan ekosistem mangrove di Pulau Damar. Metode yang
digunakan yaitu metode transek kuadran. Pengumpulan data, yaitu data primer
diperoleh dengan melakukan survei, dan pengamatan langsung di lapangan. Hasil
penelitian menunjukkan keanekaragaman makrozoobenthos di lokasi penelitian
tergolong sedang kisaran nilai 2.33 dengan kerapatan mangrove relatif padat
sebesar 0.50 (ind/m2). Jenis makrozoobenthos yang ditemukan 22 jenis terdiri dari
kelas Gastropoda, dan Bivalva. 6 spesies mangrove di lokasi penelitian yaitu:
Rhizophora apiculata, Sonneratia Alba, Avicennia marina, Bruguiera
gymnorrhiza, Ceriops tagal, Rhizophora mucronata. Keanekaragaman
makrozoobenthos sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti salinitas, pH,
DO, dan aktifitas manusia.

Kata kunci : mangrove makrozoobenthos, Pulau Damar.

SUMMARY

NASIR HAYA. Macrozoobenthos Diversity on the Mangrove Ecosystem in North
Maluku Damar Island guided by NEVIATY PUTRI ZAMANI and DEDI
SOEDHARMA.
Mangrove ecosystem is a natural resource which is typical tropical
beach area, has a strategic function for coastal ecosystems as a fitting and
balancing those terrestrial and marine ecosystems. Macrozoobenthos is a living
organism upright, stick, harbored both the bottom waters and surface waters.
Damar island is one which is in the affluent South Halmahera in North Moluccas
Province, which has the potential of mangrove ecosystem is great, where
ecosystems can grow along the coast, and diverse biota that live in it so necessary
a study to assess the diversity of macrozoobenthos who live in the region
mangrove.
The aim of this study is to examine the diversity of macrozoobenthos in
the mangrove ecosystem in Damar Island of North Moluccas. The research was
conducted from October to November 2014, in the area of mangrove on the island
of Damar. The method used is the quadrant transects method. Data collection,
primary obtained by conducting surveys, and direct observations in the field. The
results show the diversity of macrozoobenthos at the study site were medium
value range 2.33 with relatively dense mangrove density of 0.50 (ind/m2).
Macrozoobenthos species were found 22 species consist of gastropod class, and

bivalve. Six mangrove species at the study site are: Rizhopora apiculata,
Sonneratia Alba, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal,
Rhizophora mucronata. Macrozoobenthos diversity is strongly influenced by
environmental factors such as salinity, pH, DO, and human activities.

Keywords: mangrove macrozoobenthos, Damar Island

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBNETHOS PADA
EKOSISTEM MANGROVE DI PULAU DAMAR
MALUKU UTARA


NASIR HAYA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Hawis H Madduppa, S.Pi, M.Si

Judul Tesis : Keanekaragaman Makrozoobenhos pada Ekosistem Mangrove di
Pulau Damar Maluku Utara
Nama
: Nasir Haya

NIM
: C551130081

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Neviaty Putri Zamani, MSc
Ketua

Prof Dr Ir Dedi Seodharma, DEA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Kelautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Neviaty Putri Zamani , MSc


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 10 Juli 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis” Keanekaragaman Makrozoobenthos
pada Ekosistem Mangrove di Pulau Damar Maluku Utara” beerhasil diselesaikan
sebagai syarat menyelesaikan studi di Program Pascasarjana Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc
sebagai ketua komisi dan Bapak Prof. Dr. Dedi Soedharma, DEA anggota komisi
serta civitas akademik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor yang telah banyak memberi masukan dan saran, serta kepada pemerintah
Provinsi Maluku Utara, dan pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan yang telah
memberikan bantuan dana penelitian. Kepada teman-teman IKL angkatan 2013,
Nur Ikhsan, Lalang, S.Pi M.Si, Riska, S.Pi, M.Si, Syahrial, Dea Fauzia Larasati,

Chandrika Eka Larasati, Rhojim Wahyudi, Ilham Antariksa, Adam, Albida, Juraij,
Nisa, Yayoi, M. Kemal Idris, Anma Hari Kusuma, M.Si dan juga kepada temanteman kontrakan (PTD) Kismanto Koroy, Syarif Robo, Iswandi Wahab, M.Charis
Kamarullah, Marwan Adam, Sukarmin Idris, terima kasih atas meluangkan
waktunya untuk berdiskusi. Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya kepada
Ayahanda, Ibunda (Alm), dan istriku tercinta Nur Kasim, S.Pd dan anandaku
tersayang M. Zulvin dan seluruh keluargaku, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari penulisan tesis ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu
saran dan kritik sangat penulis harapkan demi penyempurnaan tesis ini.
Semoga karya ilmiah saya ini bermanfaat.
Bogor, September 2015

Nasir Haya

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

xi

xi
xi
xi

1 PENDAHULUAN ..........................................................................
Latar Belakang .............................................................................
Rumusan Masalah ........................................................................
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian .......................................................................
Kerangka Pemikiran Penelitian

1
1
2
2
2
3

2 METODE PENELITIAN ...............................................................
Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................

Alat dan Bahan.............................................................................
Prosedur dan Metode Penelitian ................................................
Penentuan Lokasi Stasiun Pengamatan .......................................

4
4
4
5
5

Pengukuran Parameter Fisika – Kimia Perairan
Pengukuran Parameter Substrat
Pengamatan Data Vegetasi Mangrove ................................................
Pengumpulan Data Makrozoobenthos .................................................
Analisis Data Ekologi Mangrove
Analisis Data Makrozoobenthos ..........................................................
Hubungan Keanekaragaman Makrozoobenthos dengan Parameter
Lingkungan dan Korelasi Mangrove Jenis Makrozoobenthos

5

5
6
6
7
8
9

3 HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
Kondisi Parameter Lingkungan di Lokasi Penelitian
Kondisi Ekosistem Mangrove di Lokasi Penelitian
Struktur Komunitas Makrozoobenthos
Komposisi Jenis Makrozoobenthos di Lokasi Penelitian
Kepadatan Jenis Makrozoobenthos di Lokasi Penelitian
Indeks Komunitas Makrozoobenthos
Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (C)
Hubungan Keanekaragaman dengan Parameter Lingkungan
Korelasi Jenis Makrozoobenthos dengan Vegetasi Mangrove

10
10
11
14
14
14
18
18
20
21

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

23
23
23

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

24
27
34

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Kondisi dan Karakteristik Lokasi Penelitian
Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan di Lokasi Penelitian
Hasil Pengukuran Substrat di Lokasi Penelitian
Distribusi Jenis Mangrove di Lokasi Penelitian
Perbandingan Kerapatan Mangrove dan Kepadatan Makrozoobenthos
Indeks Komunitas Makrozoobenthos di Lokasi Penelitian
Matriks korelasi antara keanekaragaman dan parameter lingkungan

5
10
11
11
18
19
21

DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Penelitian
3
2. Peta Lokasi Penelitian di Pulau Damar
4
3. Skema Penempatan Petak Contoh Sampling Mangrove dan
Makrozoobenthos
6
4. Kerapatan jenis mangrove di lokasi penelitian
13
5. Perbandingan Komposisi Jenis Makroozoobenthos antar Stasiun
14
6. Kepadatan rata-rata (Ind/m2) jenis makrozoobenthos di stasiun 1
15
7. Kepadatan Rata-rata (Ind/m2) jenis Makrozoobenthos di Stasiun 2
16
8. Kepadatan Rata-rata (Ind/m2) jenis Makrozoobenthos di Stasiun 3
17
9. Grafik analisis komponen utama (PCA) Hubungan Kondisi Lingkungan dan
Keanekaragaman Makrozoobenthos
20
10. Korelasi Jenis Makrozoobenthos dengan Vegetasi Mangrove
22

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Jenis Makrozoobenhtos yang di Lokasi Penelitian
Kerapatan Rata-rata (ind/m2) Jenis Mangrove di Lokasi Penelitian
Dokumentasi Jenis Makrozoobenthos yang ditemukan di Pualau Damar
Jenis Mangrove di Pulau Damar
Dokumentasi Kegiatan Pengumpulan Data di Lokasi Penelitian
Peta Lokasi Peneltian
Riwayat Hidup

28
29
30
31
32
33
34

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem mangrove Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di dunia
yang terdiri dari 75% total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas
mangrove di dunia. Kondisi mangrove Indonesia secara kualitatif maupun
kuantitatif terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Indonesia mempunyai
hutan mangrove seluas 9.36 juta Ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia,
diaman sekitar 48% (4.51 juta Ha) rusak sedang dan 23% (2.15 juta Ha) lainnya
rusak berat. Kerusakan tersebut sebagian besar diakibatkan oleh ulah manusia,
berupa konversi mangrove menjadi sarana pemanfaatan lain seperti pemukiman,
industri, rekreasi dan lain sebagainya (IMI 2010).
Mangrove merupakan formasi hutan yang tumbuh di daerah pasang surut,
dimana hutan mangrove tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan
pada saat surut (Kusmana 2007). Mangrove mampu bertahan hidup dari terpaan
ombak yang kuat dan salinitas yang tinggi. Umumnya, tumbuh di atas dataran
lumpur yang digenangi air laut atau air payau, sewaktu air pasang atau digenangi
air sepanjang hari (Nontji 2002). Mangrove mempunyai fungsi strategis bagi
ekosistem pantai. Secara fisik berperan dalam mencegah terjadinya abrasi pantai
dan mampu melindungi pantai dari kerusakan akibat tsunami (Istiyanto et al.
2003; Dahdouh et al. 2005). Secara ekologi mangrove berperan sebagai daerah
pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds)
berbagai jenis ikan, kerang dan spesies lainnya (Valiela et al. 2001), serta
merupakan sumber pakan bagi kehidupan biota darat seperti burung, mamalia dan
jenis lainnya (Odum 1994). Salah satu biota perairan yang hidup di daerah
mangrove adalah makrozoobenthos.
Makrozoobenthos merupakan organisme yang hidup melata, menempel,
memendam dan meliang baik didasar perairan maupun di permukaan dasar
perairan. Organisme ini hidup pada daerah berlumpur, berpasir, kerikil maupun
sampah organik, baik di perairan laut, sungai serta danau. Benthos adalah
organisme yang mendiami dasar perairan atau tinggal dalam sedimen dasar
perairan. Benthos mencakup organisme nabati yang disebut fitobenthos dan
organisme hewani yang disebut zoobenthos (Odum 1994). Beberapa
makrozoobenthos yang umum ditemui di kawasan mangrove Indonesia adalah
makrozoobenthos dari kelas Gastropoda, Bivalvia, Crustacea, dan Polychaeta
(Arief 2003). Dalam siklus hidupnya beberapa makrozoobenthos hanya hidup
sebagai benthos dalam separuh fase hidupnya, misalnya pada stadia muda saja
atau sebaliknya. Kondisi habitat vegetasi mangrove yang meliputi komposisi dan
kerapatan jenisnya akan menentukan karakteristik fisika, kimia dan biologi
perairan yang selanjutnya digunakan untuk menentukan struktur komunitas
organisme yang berasosiasi dengan mangrove seperti makrozoobenthos (Arifin
2002).
Pulau Damar merupakan salah satu pulau yang berada di daerah Kabupaten
Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. Sepanjang pesisir pantai pulau ini
memiliki potensi ditumbuhi mangrove. Informasi mengenai keanekaragaman
makrozoobenthos di wilayah ini belum pernah dilaporkan, padahal pengetahuan

2

mengenai hal tersebut sangat penting sebagai bahan informasi untuk pengelolaan
ekosistem mangrove beserta biota yang hidup di dalamnya termasuk
makrozoobenthos sehingga perlu dilakukan penelitian di daerah tersebut.
Rumusan Masalah
Pulau Damar memiliki sumberdaya ekosistem mangrove yang cukup baik
sehingga bermanfaat bagi biota-biota yang hidup di dalamnya termasuk
makrozoobenthos maupun manusia. Makrozoobenthos memanfaatkan mangrove
sebagai habitat hidup dan mencari makan. Manusia adalah ancaman terbesar
ekosistem mangrove. Minimnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya
ekosistem mangrove menyebabkan masyarakat melakukan banyak pengrusakan
mangrove. Umumnya masyarakat Pulau Damar memanfaatkan mangrove sebagai
bahan bangunan dengan melakukan pembukaan lahan mangrove untuk daerah
pemukiman. Aktifitas tersebut tentunya akan mempengaruhi kehidupan dan
keanekaragaman makrozoobenthos yang hidup di dalamnya sehingga dampaknya
juga akan meluas, dan mempengaruhi kehidupan biota lainnya. Apabila ekosistem
mangrove mengalami degradasi yang berpotensi terhadap kerusakan ekosistem,
tentunya hal ini akan merubah karakteristik lingkungan yang akan berpengaruh
terhadap fungsi ekologisnya, terutama sebagai habitat berbagai organisme
termasuk makrozoobenthos
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka rumusan
masalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah aktifitas masyarakat dikawasan mangrove dapat berdampak
pada keanekaragaman makrozoobenthos
2. Bagaimana kondisi ekosistem mangrove di Pulau Damar dan faktor
lingkungan apa yang mempengaruhi kenakeragaman makrozoobenthos
tersebut.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji keanekaragaman
makrozoobenthos pada ekosistem mangrove di Pulau Damar, dan menganalisis
faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keanekaragaman makrozoobenthos
pada ekosistem mangrove di Pulau Damar
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
keanekaragaman makroozobenthos pada ekosistem mangrove di Pulau Damar,
sehingga dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam pengelolaan kawasan
pesisir.

3

Kerangka Pemikiran Penelitian
Ekosistem Mangrove
Vegetasi Mangrove
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Makrozoobenthos

Kerapatan Jenis
Kerapatan Relatif
Frekuensi Jenis
Frekuensi Relatif Jenis
Penutupan Jenis
Penutupan Relatif

1.
2.
3.
4.

Kepadatan
Keanekaragaman
Keseragaman
Dominasi

1. Parameter Fisika-Kimia Perairan
(Suhu, Salinitas, pH, DO)
2. Parameter Fisika-Kimia Substrat

Korelasi antara Mangrove
dengan Makrozoobenthos

Analisis Faktorial Koresponden
(CA)

Hubungan Keanekaragaman
makrozoobenthos dan Parameter
Lingkungan

Analisis Komponen Utama (PCA)

Keanekaragaman Makrozoobenthos

Gambar 1 Kerangka penelitian

4

2 METODE PENELITIAN

Waktu danTempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2014,
pengambilan sampel dilakukan di kawasan ekosistem mangrove Pulau Damar
geografis terletak pada LU 0°59'20" BT 128°21'47" dengan luas sekitar 51.4 km2.

Gambar 2 Lokasi penelitian di Pulau Damar
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Global Positioning
System (GPS) untuk menentukan posisi stasiun pengamatan, plot kuadran untuk
batas daerah pengambilan sampel, roll meter untuk mengukur luasan ekosistem
dan jarak stasiun, pH meter untuk mengukur pH perairan, salinometer untuk
mengukur salinitas perairan, termometer untuk mengukur suhu perairan, coolbox
untuk menyimpan sampel, sekop untuk sampling sampel sedimen serta kamera
sebagai alat untuk mendokumentasikan kegiatan. Analisis data sedimen yang
dilakukan menggunakan ayakan bertingkat untuk mengetahui butiran sedimen,

5

kemudian hasil ayakan butiran sedimen ditimbang untuk mengetahui berat butiran
sedimen terdiri dari debu, pasir dan liat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kantong sampel untuk
menyimpan sampel makrozoobenthos dan sedimen, kertas label untuk menandai
sampel, alkohol 70% untuk mengawetkan sampel makrozoobenthos, dan buku
identifikasi untuk mengidentifikasi sampel seperti: buku siput dan kerang
Indonesia Jilid I dan II serta Conchology Dharma (1988) dan buku identifikasi
mangrove (Noor et al. 2006).
Prosedur dan Metode Penelitian
Penentuan Lokasi Stasiun Pengamatan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode transek kuadrat yang
diawali dengan survei lapangan pada lokasi penelitian untuk melihat kondisi
vegetasi ekologi mengrove dan biota sepanjang pesisir Pulau Damar, menentukan
titik sampling dan titik koordinat masing-masing stasiun dengan menggunakan
GPS. Pemilihan titik sampling atau pengambilan data dilakukan berdasarkan
keterwakilan kondisi ekologis, dan vegetasi ekosistem mangrove di Pulau Damar.
Kondisi dan karakteristik lokasi penelitian dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kondisi dan karakteristik lokasi penelitian
Stasiun
Koordinat
Karakteristik lokasi sampling
Terletak pada bagian barat pulau, kondisi mangrove
LU'' 00.95700
1
masih baik, dan kondisi substrat pasir berlumpur
BT'' 128.30721
bercampur dengan patahan karang
Letak pada bagian barat pulau, berdekatan dengan
LU''00.94520
2
pemukiman warga dan kondisi ekosistem mangrove
BT'' 128.30791
masih cukup baik
Terletak pada bagian timur pulau, dengan kondisi
LU'' 00. 94243
ekosistem mangrove yang terekploitasi warga untuk
3
BT'' 128.32741
pembukaan lahan pembangunan dermaga
Pengukuran Parameter Fisika – Kimia Perairan
Pengukuran parameter lingkungan dilakukan pada lokasi pengamatan
sebanyak 2 kali pada tiap stasiun, parameter yang diamati berupa fisika seperti
(salinitas, suhu DO), sedangkan kimia yaitu substrat.
Pengukuran Parameter Substrat
Variabel yang diamati adalah fraksi substrat (pasir, debu, dan liat) dengan
cara mengambil contoh substrat selanjutnya dianalisis di Laboratorium Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Khairun Ternate, hasil analisis substrat
dimasukkan kedalam program segitiga miller untuk mengetahui komposisi butiran
substrat (USDA 2009).

6

Pengambilan Data Vegetasi Mangrove
Pengambilan data mangrove dilakukan dengan menggunakan metode garis
berpetak. Transek tersebut ditarik tegak lurus garis pantai kearah darat pada setiap
stasiun. Data kemudian ditulis dalam tabel pengamatan yang kemudian
dideskripsikan dan dianalisis.
Prosedur pengamatan untuk ekosistem mangrove pada penelitian ini
menggunakan metode yang ditentukan oleh (Bengen 2002).
1. Pada setiap stasiun pengamatan, ditetapkan transek-transek garis dari arah laut
ke arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan mangrove)
2. Pada setiap zona hutan mangrove yang berada disepanjang transek garis,
diletakkan secara sistematik petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar
dengan ukuran 10 m x 10 m sebanyak paling kurang 3 (tiga) petak contoh
(plot).
3. Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, dihitung jumlah
individu setiap jenis dan diukur lingkar batang setiap mangrove pada setinggi
dada (sekitar 1.3 m).
4. Apabila belum diketahui nama jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan
maka dipotong bagian ranting lengkap dengan daunnya, dan bila mungkin
bunga dan buahnya.
5. Pada setiap petak contoh (plot) diamati dan dicatat tipe subtrat (lumpur,
lempung, pasir, debu dan sebagainya). Metode peletakan plot transek di
masing-masing stasiun ditampilkan dalam (Gambar 3)

Gambar 3 Skema Penempatan Petak Contoh Sampling Mangrove dan
Makrozoobenthos
Pengumpulan Data Makrozoobenthos
Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan di dalam transek
pengamatan vegetasi mangrove 10 m x 10 m kemudian didalam setiap plot
transek tersebut dibuat sub petak sebanyak lima petak yang berukuran 1 m x 1 m.
Pengambilan sampel makrozoobenthos yang terlihat pada substrat dan menempel
dibatang, pohon, dan daun mangrove diamati pada setiap transek dan plot
kuadran. Makrozoobenthos yang diambil dan dimasukkan ke dalam kantong

7

sampel, kemudian diberi pengawet alkohol 70%, dan diidentifikasi dengan
menggunakan buku identifikasi (Dharma 1988).
Analisis Data Ekologi Mangrove
Pendekatan kajian ekologi mangrove ini menggunakan beberapara
parameter ekologis (Bengen 2004) yaitu:
Kerapatan jenis (Di), yaitu jumlah individu jenis i dalam suatu area yang
diukur dengan persamaan:

dimana :
Di
= kerapatan jenis-i (ind/m2)
ni
= jumlah total individu dari jenis-i
A
= luas areal total pengambilan contoh
Kerapatan relatif jenis (RDi), yaitu perbandingan antara jumlah individu
jenis-i (ni) dan jumlah total individu seluruh jenis, yang diukur dengan persamaan:
RDi = (ni / ∑ n ) x 100
Frekuensi jenis (Fi) yaitu peluang ditemukannya suatu jenis ke-i dalam
semua petak contoh dibandingkan dengan jumlah total petak contoh yang dibuat.
Untuk menghitung frekuensi jenis (Fi) digunakan rumus
Fi = pi ∑ p
dimana :
Fi = frekuensi jenis ke-i
pi = jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis ke-i
ΣF= jumlah total petak contoh yang dibuat
Frekuensi Relatif Jenis (RFi), yaitu perbandingan antara frekuensi jenis-i
(Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis, dengan persamaan
RF i = (Fi / ∑ F) x 100
dimana :
RFi = Frekuensi relatif jenis
Fi = Frekuensi jenis ke-i
 F = Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis
Penutupan jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit areal
tertentu yang diukur dengan persamaan
Ci   BA / A

dimana :

BA
=  DBH2/4

= Suatu konstanta
DBH = Diameter pohon dari jenis-i
A
= Luas areal total pengambilan sampel

8

Penutupan Relatif Jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area
penutupan jenis i (Ci) dan luas total areal penutupan untuk seluruh jenis, dengan
persamaan:
dimana :

RCi  (Ci /  C ) x100
RCi : penutupan relatif
Ci : penutupan jenis ke-i
∑C : penutupan total untuk seluruh jenis

Nilai Penting Jenis (IVi) adalah jumlah nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif
jenis (RFi) dan penutupan relatif jenis (RCi), yang diukur dengan persamaan:
IVi  RDi  RFi  RCi

Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 dan 300. Nilai penting ini
memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan
mangrove dalam komunitas mangrove.
Analisis Data Makrozoobenthos
Variabel yang diukur untuk komunitas makrozoobenthos adalah kepadatan
makrozoobnthos, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks
dominansi makrozoobenthos.
Kepadatan makrozoobenthos dihitung berdasarkan English et al. (1997)
sebagai berikut:

dimana:
D
= kepadatan individu jenis ke-i (ind/m2)
ni
= jumlah individu jenis ke-i yang diperoleh
A
= luas total area pengambilan contoh
Indeks keanekaragaman (H’) dihitung dengan rumus Shannon-Wiener
(Odum,1994)
dimana :

H’ = Indeks keanekaragaman jenis
ni = Jumlah individu jenis
N = Jumlah total individu

dengan kriteria:
H' ≤ 2
= Keanekaragaman Rendah
2 < H'≤ 3
= Keanekaragaman Sedang
H' > 3
= keanekaragaman tinggi
Indeks keseragaman (E) dihitung dengan menggunakan rumus EvennesIndeks (Odumm 1994).
E=

9

dimana:

E = Indeks keseragaman jenis
H’= Indeks keanekaragaman jenis
S = Jumlah jenis organisme
Indeks domonansi (C) dihitung dengan rumus Dominance of Simpson
(Odum 1994).
dimana :

C = Indeks dominansi
ni = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah total individu

Hubungan Keanekaragaman Makrozoobenthos dengan Parameter
Lingkungan dan Korelasi Mangrove Jenis Makrozoobenthos
Keterkaitan antara keanekaragaman makrozoobenthos dengan lingkungan
dan dianalisis dengan menggunakan PCA (Principal Component Analysis)
sedangkan keterkaitan antara mangrove dan makrozoobenthos dianalisis dengan
menggunakan CA (Correspondence Analysis) dengan bantuan software Excel
Stat-Pro 7.5.2. Kuat lemahnya hubungan antar variabel tersebut dapat diketahui
dengan mengacu pada (Abdurahman et al. 2007).

10

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Parameter Lingkungan di Lokasi Penelitian
Faktor-faktor fisika kimia lingkungan merupakan penentu utama
pertumbuhan dan perkembangan mangrove serta
biota lainnya seperti
makrozoobenthos (Perry et al. 2009). Pencemaran sangat berpengaruh terhadap
kondisi komponen biotik mangrove di Pulau Damar baik flora maupun faunanya.
Secara umum dapat dikatakan telah terjadi penurunan fungsi ekologis kawasan
mangrove sebagai habitat berbagai macam organisme termasuk makrozoobenthos.
Kondisi kualitas air laut berdasarkan baku mutu air laut untuk biota laut yang
hidup di habitat mangrove telah mengalami penurunan kualitas air berdasarkan
Kepmen LH No 51 (2004) tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Kondisi
fisika kimia perairan kawasan mangrove Pulau Damar berdasarkan ulangan dalam
pengukuran disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil pengukuran parameter lingkungan di lokasi penelitian
Parameter
Stasiun 1
Stasiun 2 Stasiun 3
Baku Mutu
Salinitas %o
31.5±0.69
33.5±0.69 31.5±0.69
≤ 34
o
Suhu C
29.±2.00
28.50±0.69 27.38±0.52
≤ 32
DO mg/1
3.25±1.88
7.57±0.11 2.23±0.31
>5
pH7±1.39
7.5±0.60 7±0.60
≤ 8,5
Keterangan: Baku mutu, berdasarkan KepMen LH No. 51 tahun 2004

Hasil pengamatan di lokasi penelitian bahwa kondisi parameter
lingkungan yang masih dapat ditoleran bagi pertumbuhan mangrove dan
kehidupan biota lainnya termasuk makrozoobenthos. Menurut Laffoley et al.
(2009), kisaran suhu optimum bagi kehidupan organisme, utamanya untuk proses
fotosintesis berkisar antara 25-35 0C. Menurut Effendi (2003) nilai salinitas
perairan payau berkisar antara 35-36 ppt, sedangkan air laut berkisar antara 30-40
ppt. Hasil pengukuran salinitas di lokasi penelitian pada titik pengamatan salinitas
kisaran 31.5-33.5 %o, yang merupakan indikasi air laut, sehingga cocok untuk
kehidupan mangrove dan biota lainnya. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.
51/MENLH/2004 menyebutkan bahwa standar baku mutu pH bagi biota laut
adalah 6.5-8.5. Effendi (2003) juga menjelaskan bahwa umumnya biota akuatik
menyukai kisaran pH 7-8,5. Effendi (2000) bahwa kadar oksigen terlarut perairan
yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan tidak kurang dari 5 mg/l. Kadar
oksigen terlarut kurang dari 4 mg/L mengakibatkan efek yang kurang
menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik. Hasil pengukuran pH di
lokasi penelitian kirasan rata-rata 7-7.5, sedangkan DO kisaran 2.23-7.57 mg/L.
Martoyo et al. (2006) menjelaskan bahwa kadar oksigen terlarut yang sesuai
untuk kehidupan makrozoobenthos berkisar antara 4-8 mg/l.
Kehidupan mangrove dan biota lainnya yang hidup di kawasan pesisir
sangat erat kaitannya dengan substrat. Nybakken (1992) menjelaskan bahwa ada
korelasi antara substrat dan hewan makrozobenthos, dimana makrozobentos
sangat bergantung terhadap kondisi substrat untuk keberlangsungan hidupnya
sehingga kondisi substrat suatu perairan juga akan mempengaruhi penyebaran

11

hewan makrozobenthos. Hasil pengukuran rata-rata parameter substrat lokasi
penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil pengukuran substrat di lokasi penelitian
Parameter

Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

Pasir (%)

86.65±2.92

86.4±1.66

91.57± 4.32

Debu (%)

0.3±0.1

0.4±0.1

1.25±0.6

Liat (%)

13.16±0.1

13.35±0.15

7.02±1.37

Berdasarkan analisa tipe substrat dengan menggunakan program segitiga
miller yang terlihat pada (Tabel 3), bahwa tipe substrat di lokasi penelitia yang
dominan pasir, sedangkan debu, dan liat hanya sebagian kecil (USDA 2009). Hal
ini menunjukkan tinggat pertumbuhan mangrove dan kehidupan biota asosiasi
mendukung.
Kondisi Ekosistem Mangrove di Lokasi Penelitian
Jenis mangrove yang tumbuh di sepanjang pesisir berdasarkan hasil
penelitian ditemukan 6 jenis yaitu Rhizophora mucronata. Rhizophora apiculata,
Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Sonneratia alba, dan Ceriops tagal ,
distribusi jenis mangrove dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Distribusi jenis mangrove di lokasi penelitian
Jenis mangrove
Stasiun 1
Stasiun 2
Rhizophora apiculata
+
+
Rhizophora mucronata
+
Avicennia marina
+
+
Bruguiera gymnorrhiza
+
+
Sonneratia alba
+
Ceriops tagal
+
+
Jumlah jenis
6
4
Keterangan : + (ditemukan) – (tidak ditemukan)

Stasiun 3
+
+
+
3

Berdasarkan (Tabel 4) bahwa jenis mangrove yang ditemukan di stasiun 1
sebanyak 6 jenis yaitu R. apiculata, R. mucronata, A. marina, B. gymnorrhiza, S.
alba, dan C. tagal, sedangkan di stasiun 2 sebanyak 4 jenis yaitu R. apiculata, A.
marina, B. gymnorrhiza, dan C. tagal. dimana salah satu kedua stasiun ini yang
satu stasiun yang berdekatan dengan pemukiman penduduk, sehingga kondisi
mangrove di stasiun tersebut sangat rentan terkena dampak aktivitas manusia dan
kondisi lingkungan. Kedua stasiun ini memiliki kondisi ekosistem mangrove
cukup padat dengan kepadatan jenis makrozoobenthos bervariasi dapat dilihat
pada (Lampiran 1). Stasiun 3 merupakan kawasan penelitian, dimana banyak
warga yang mengeksploitasi mangrove pembukaan lahan pembangunan dermaga
dan penebangan mangrove untuk kebutukan warga, sehingga tidak banyak jenis
yang ditemukan dibandingkan dengan Stasiun 1 dan 2. Menurut Valiela et al.

12

(2001) penurunan ekosistem mangrove akibat tekanan aktivitas manusia akan
mengakibatkan pertumbuhan mangrove terancam. Jenis-jenis mangrove yang
ditemukan pada kawasan mangrove bagian timur R. apiculata, A. marina, dan B.
gymnorrhiza, dimana dari ke 3 stasiun jenis yang kerapatannya tinggi berada pada
jenis R. apiculata, A. marina.
Spesies R. apiculata, dan A. marina merupakan jenis yang paling sering
dijumpai di seluruh lokasi penelitian. Kusmana et al. (2011) menyatakan A.
marina merupakan jenis yang toleran terhadap perubahan salinitas, hidup di
dataran lumpur dan berpasir. A. marina dan R. apiculata merupakan spesies
pioneer yang berperan penting dalam struktur komunitas mangrove. Arief (2003)
menyatakan bahwa mangrove R. apiculata kebanyakan hidup pada substrat yang
mengandung lumpur dan pasir. Kondisi ini sesuai dengan kawasan mangrove di
lokasi penelitian dengan salinitas kisaran 31.5-33.5 ppt sehingga spesies ini bisa
beradaptasi. Mangrove merupakan vegetasi yang bersifat salt-tolerant bukan saltdemanding, sehingga dapat tumbuh dengan baik pula di habitat air tawar.
Indeks nilai penting (INP) menunjukan bahwa secara ekologi jenis mangrove
A. Marina dan R. apiculata memiliki peranan dalam struktur komunitas mangrove
nilai penting dapat dlihat pada (Lampiran 2), Indeks nilai penting (INP) untuk
kedua jenis ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis lain. Kedua
jenis mangrove ini menyebar dan ditemukan hampir diseluruh petak contoh
pengamatan sehingga ini menandakan adanya jenis mangrove yang apabila
mengalami kerusakan maka ekosistem mangrove juga mengalami kerusakan dan
mempengaruhi keberadaan hewan asosiasi salah satunya adalah makrozoobenthos.
Rusaknya mangrove kemungkinan disebabkan oleh tingginya tekanan dari
luar ekosistem seperti dari aktifitas pembangunan, perindustrian dan aktivitas
manusia. Kusmana (2007) mengatakan kerapatan mangrove pada suatu area dapat
memberi gambaran ketersediaan dan potensi tumbuhan. Berdasarkan hasil
penelitian nilai kerapatan yang tinggi diperoleh jenis R. apiculata, dan A. marina
dimana kedua jenis ini mendominasi stasiun pengamatan baik dalam kategori
pohon, pancang, dan semai. Menurut Aksornkoae (1993) fauna mangrove
terdistribusi secara horizontal mengikuti zonasi dari vegetasi-vegetasi mangrove
yang terbentuk dan terdistribusi secara vertikal berdasarkan substrat mangrove,
akar, daun, dan tutupan atau atap hutan mangrove. Oleh karena itu, dengan
rusaknya ekosistem mangrove, akan mengurangi keragaman dari fauna yang
hidup di dalamnya. Menurut Pratiwi (2009) menyatakan bahwa penebangan
ekosistem mangrove itu sendiri akan berpengaruh secara ekologis terhadap
kehidupan yang ada didalamnya. Hasil analisis kerapatan rata-rata jenis mangrove
dapat dilihat pada Gambar 4.

St 1

St 2

B. gymnorrhiza

A. marina

R.apiculata

C.tagal

S. alba

A. marina

R. apiculata

C. tagal

S. alba

B. gymnorrhiza

A. marina

R. mucronata

0.50
0.45
0.40
0.35
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
R. apiculata

Kerapatan rataa-rata (Ind/m2)

13

St 3

Gambar 4 Kerapatan jenis mangrove di lokasi penelitian
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove
adalah pasang surut air laut. Pasang surut menyuplai masuknya air laut kedalam
vegetasi mangrove yang dibutuhkan dalam proses penyebaran bakal semai.
Substrat perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan semai sebagai media
hidupnya. Pada kawasan mangrove yang berada Stasiun 1, dan Stasiun 2 habitat
mangrove yang paling banyak ditemukan dengan kerapatan tertinggi adalah jenis
mangrove A. marina dan R. apiculata. Abubakar (2006) menyatakan bahwa
kerapatan jenis tertinggi disebabkan oleh habitat yang cocok, kurangnya
eksploitasi dan kemampuan mangrove beradaptasi dengan lingkungan, sedangkan
mangrove dengan kerapatan rendah diakibat faktor lingkungan yang tidak cocok,
dan adanya aktifitas manusia yang memanfaatkan untuk kebutuhan tertentu,
berbeda dengan Stasiun stasiun 3, hanya terdapat 3 jenis mangrove, dengan
kerapatan tertinggi pada jenis mangrove R. apiculata, dan A. marina. Hal ini
dikarenakan pada Stasiun 3 ini banyak warga yang mengeksploitasi mangrove
sehingga mengakibatkan penurunan pertumbuhan mangrove. Tis’in (2008)
menyatakan bahwa kerapatan mangrove berkaitan erat dengan ketersediaan bahan
organik yang terdapat pada lingkungan yang mendukung pertumbuhan
dekomposer untuk melakukan penguraian bahan organik, seperti oksigen terlarut
(DO), salinitas dan substrat. Blasco et al. (1996) menyatakan bahwa faktor fisika
dan kimia lingkungan merupakan penentu utama pertumbuhan dan perkembangan
mangrove. Kusmana (2007) menambahkan bahwa struktur, fungsi, komposisi,
distribusi spesies, dan pola pertumbuhan mangrove bergantung pada faktor
lingkungan, sedangkan menurut Kusmana (2011) menyatakan bahwa kondisi
lingkungan mempengaruhi mangrove adalah struktur fisiografi wilayah, daya
erosi dari laut atau sungai, pengaruh pasang surut, kondisi tanah, serta kondisi-

14

kondisi tertentu yang disebabkan oleh eksploitasi. Faktor lngkungan terpenting
yang mempengaruhi mangrove adalah tipe tanah atau substrat, salinitas, suhu.
Struktur Komunitas Makrozoobenthos
Komposisi Jenis Makrozoobenthos di Lokasi Penelitian
Berdasar hasil pengamatan di lapangan jenis makrozoobenthos ditemukan
2 kelas dari 22 jenis makrozoobenthos terdiri dari kelas Gastropoda, dan Bivalva,
dengan total jumlah individu sebanyak 425 individu, hasil presentasi untuk
perbandingan antar stasiun dapat dilihat pada (Gambar 5). Stasiun 1 ditemukan 2
kelas makrozoobenthos, dimana Gastropoda memiliki nilai komposisi jenis
sebesar 92%, kemudian kelas Bivalva sebesar 8%. Pada stasiun 2 ditemukan 2
kelas nilai komposisi jenis yang cukup bervariasi, dimana yang mendominansi
kelas Gastropoda memiliki nilai komposisi sebesar 94%, diikuti kelas Bivalva
sebesar 6%, sedangkan stasiun 3 ditemukan 2 kelas dengan nilai komposisi jenis
yang paling tertinggi diperoleh kelas Gastropoda sebesar 95%, di stasiun 3 ini
kelas Gastropoda yang paling tinggi di bandingkan dengan stasiun 1 dan 2
sedangkan kelas yang paling terendah kelas Bivalva sebesar 5%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kelas Gastropoda yang paling dominan ditemukan pada
stasiun pengamatan sehingga nilai komposisi semakin tinggi, sedangkan kelas
Bivalva hanya sebagian kecil ditemukan sehingga semakin kecil nilai
komposisinya, akibat faktor lingkungan yang tidak cocok.

Gambar 5 Perbandingan komposisi jenis makroozoobenthos antar stasiun
Hasil pengamatan menunjukkan kelas Gastropoda ditemukan pada setiap
stasiun. Hal ini disebabkan karena kelas gastropoda mampu beradaptasi dengan
kondisi lingkungan. Mane et al. (2012) menyatakan bahwa Gastropoda
merupakan organisme bioindikator kesehatan ekologi. Perhitungan komposisi
jenis makrozoobenthos dari ke tiga stasiun jenis makrozoobenthos kelas
Gastropoda yang mendominasi. Monika et al. (2011) menyatakan dominannya
jumlah kelas Gastropoda dikarenakan mampuan beradaptasi terhadap kondisi
lingkungan pasang surut yang ekstrim serta kemampuannya melekatkan diri pada
akar dan batang pohon mangrove.
Kepadatan Jenis Makrozoobenthos di Lokasi Penelitian
Kepadatan makrozoobenthos pada ekosistem mangrove di Pulau Damar
pada stasiun 1 ini bervariasi nilai dengan kerapatan ekosistem mangrove masih

15

Gastropoda

Pinctada margaritifera

Mellaus regula

Terebralia sulcata

Pleuroto maria teramachii

Planaxis sulcatas

Pila scutata

Pila polita

Pila ampullacea

Turbo bruneus

Nerita costata

Nodillitorina millegrana

Manella major

Littorina scabra

Janthina janthina

Gryneum roseum

Clypeomorus moniliferus

18.00
16.00
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
Belamya javanica

Kepadatan rataan (ind/m2)

relatif baik dan ditemukan 2 kelas makrozoobenthos yang terdiri dari kelas
Gastropoda 15 jenis , dan Bivalva 2 jenis, yang dapat dilihat pada (Gambar 6).

Bivalva

Gambar 6 Kepadatan rata-rata (Ind/m2) jenis makrozoobenthos di stasiun 1

Hasil perhitungan kepadatan jenis makrozoobenthos kelas Gastropoda yang
dominan yaitu jenis L. scabra memiliki nilai tinggi sebesar 13.33 (Ind/m2), di
ikuti jenis P. ampullacea sebesar 7.00 (Ind/m2), dan T. bruneus sebesar 4.00
(Ind/m2), P. scutata sebesar 3.66 (Ind/m2), kemudian kelas Bivalva jenis P.
margaritifera sebesar 5.66 (Ind/m2), dan M. regula sebesar 0.66 (Ind/m2). Kelas
Gastropoda tersebut merupakan jenis asli penghuni hutan mangrove dan memiliki
toleransi yang tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan. Hasil analisis
kepadatan jenis dari semua stasiun pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 1,
sedangkan jenis makrozoobenthos lainnya nilai kepadatan rata-rata rendah akibat
pengaruh faktor lingkungan dan aktifitas lainnya, yang mendukung bagi
kehidupan jenis makrozoobenthos sehingga sedikit peluang ditemukan di lokasi
pengamatan. Li et al (2012) menyatakan bahwa hewan-hewan dan tumbuhan
yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan ekstrim faktor-faktor fisik
dapat bertahan dan berkembang di mangrove. Rangan (2010) Jenis L. scabra
banyak hidup di hutan mangrove dan menempel pada batang-batang sampai pada
ketinggian lebih dari 1 meter. Menurut Suin (2002), faktor lingkungan sangat
menentukan penyebaran dan kepadatan populasi suatu organisme, apabila
kepadatan suatu genus di suatu daerah sangat berlimpah, maka menunjukkan
abiotik di stasiun itu sangat mendukung kehidupan genus tersebut.

Gastropoda

Pinctada margaritifera

Mellaus regula

Chicoreus capucinus

Pila scutata

Pila polita

Pila ampullicea

Turritella terebra

Turbo bruneus

Manella major

Littorina scabra

Janthina janthina

Gyrineum roseum

Clypeomorus coralium

40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00

Belamya javanica

Kepadatan rataan (ind/m2)

16

Bivalva

Gambar 7 Kepadatan rata-rata (Ind/m2) jenis makrozoobenthos di stasiun 2

Kondisi ekosistem mangrove pada stasiun 2 relatif baik, dan berdekatan
dengan pemukiman warga sehingga memiliki indeks keanekaragaman rendah.
Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan 15 jenis makrozoobenthos terdiri dari
kelas Gastropoda, dan Bivalva. Pada stasiun ini kepadatan tertinggi diperoleh
Gastropoda jenis L. scabra sebesar 23.33 (ind/m2), dan P. scutata memiliki nilai
kepadatan 4.33 (ind/m2), sedangkan jenis T. bruneus nilai kepadatan sebesar 3.00
(ind/m2), dan jenis T. terebra sebesar 3.00 (ind/m2), di ikuti kelas Bivalva jenis P.
margaritifera sebesar 2.33 (ind/m2), dan jenis-jenis makrozoobenthos lainnya
nilai kepadatan rendah dapat dilihat (Gambar 6), pada kawasan ekosistem
mangrove di stasiun 2 terdapat banyak biota-biota hidup namun, sedikit individu
yang ditemukan sehingga nilai kepadatan rendah, sedangkan individu yang
banyak ditemukan nilai kepadatannya semakin tinggi. Hal tersebut menunjukkan
bahwa jenis makrozoobenthos yang sedikit ditemukan akibat faktor lingkungan,
dan aktivitas masyarakat yang mengalih fungsikan ekosistem mangrove sehingga
berdampak pada kepadatan, dan keanekaragaman jenis. Menurut Wahono (1991),
jenis L. scabra banyak ditemukan menempel pada akar, batang mangrove. Hal ini
disebabkan karena mangrove dapat menyediakan substrat lumpur, yang
merupakan habitat. Sirante (2011), menyatakan bahwa saat kondisi lingkungan
kurang baik jenis ini berlindung dengan cara membenamkan diri kelumpur dan
menutup rapat operculumnya.

Gastropoda

Pinctada margaritifera

Turritella terebra

Turbo bruneus

Thiara cancellata

Pila scutata

Pila ampullacea

Littorina scabra

Janthina janthina

Gyrineum roseum

Gyrineum pusillum

45.00
40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
Clypeomorus moniliferus

Kepadatan rataan (ind/m2)

17

Bivalva

Gambar 8 Kepadatan rata-rata (Ind/m2) jenis makrozoobenthos di stasiun 3

Hasil pengamatan pada stasiun 3, ditemukan 11 jenis makrozoobenthos
yang terdiri dari 2 kelas yaitu Gastropoda, dan Bivalva, hasil analisis kepadatan
yang tinggi diperoleh kelas Gastropoda yaitu jenis L. scabra sebesar 30.33
(ind/m2) jenis ini paling dominan ditemukan disetiap stasiun, kemudian jenis T.
terebra memiliki nilai kepadatan sebesar 5.66 ind/m2, diikuti P. scutata memiliki
nilai kepadatan 4.66 ind/m2,dan jenis T. bruneus sebesar 2.66 (ind/m2), jenis P.
ampullacea sebesar 2.00 (ind/m2), sedangkan kelas Bivalva jenis P. margaritifera
3.00 (ind/m2). Jenis makrozoobenthos lainnya nilai kepadatan rendah, dikarenakan
sedikit ditemukan dan faktor lingkungan yang tidak cocok. Menurut Odum (1994)
organisme dengan nilai kepadatan tertinggi menandakan bahwa organisme
tersebut memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang
ditempatinya. Tingginya kepadatan jenis diakibatkan karena banyaknya
organisme yang ditemukan pada daerah tersebut, sedangkan rendahnya kepadatan
akibat sedikit ditemukan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kepadatan
organisme pada stasiun 3 dapat dilihat pada Gambar 8.
Jenis makrozoobenthos pada lokasi penelitian kebanyakan ditemukan
menempel pada pohon, akar, dan batang mangrove. Jenis makrozoobenthos dan
biota yang ditemukan pada substrat. Kondisi hutan mangrove pada stasiun 3
kelestariannya terancam akibat aktifitas pembukaan lahan oleh warga, sehingga
biota sedikit ditemukan. Faktor lingkungan juga sangat berpengaruh pada
keberadaan biota tersebut, hanya beberapa biota yang bisa beradaptasi dengan

18

kondisi lingkungan. Kepadatan yang tinggi seperti kelas gastropoda yaitu jenis L.
scabra, dimana jenis ini banyak ditemukan menempel pada batang, akar, dan
daun mangrove. Menurut Budiman (1991), jenis L. scabra hidup di batang,
cabang, akar dan daun pohon mangrove, mampu bertahan hidup dan hanya
memperoleh air dari percikan-percikan air pasang.
Tabel 5 Perbandingan kerapatan mangrove dan kepadatan makrozoobenthos
Makrozoobenthos
Mangrove
2
Stasiun
Kerapatan (ind/m )
Kepadatan (ind/m2)
1
0.50±0.06
46.67±24.29
2
0.45±0.06
40.00±18.30
3
0.36±0.04
54.67±20.08
Kondisi makrozoobenthos di vegetasi mangrove di lokasi penelitian
berbeda-beda berdasarkan analisis keanekaragaman dan kepadatan pada (Tabel 5).
Odum (1994) menyatakan bahwa organisme dengan nilai kepadatan tertinggi
menandakan bahwa organisme tersebut memiliki kemampuan untuk beradaptasi
dengan lingkungan yang ditempatinya. Selain itu kepadatan makrozoobenthos
juga dipengaruhi oleh tipe substrat dasar sebagai habitat yang spesifik dan sebagai
tempat mencari makan. Menurut Kurniawati et al. (2014) menyatakan bahwa
selain pengaruh kerapatan mangrove, biota diduga didukung adanya factor
lingkungan yang dapat mempengaruhi aktivitas kehidupannya.
Kepadatan makrozoobentos terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 40.00
±18.30 (ind/m2), sedangkan kepadatan makrozoobenthos tertinggi terdapat pada
stasiun 3 sebesar 54.67±24.29 (ind/m2). Stasiun 2 menggambarkan terjadinya
penurunan fungsi habitat karena kepadatan biota pada Stasiun 2 ini lebih sedikit
jika dibandingkan dengan kepadatan pada Stasiun 1, dan 3. Keberadaan mangrove
mempengaruhi keberadaan makrozoobentos yang hidup berasosiasi pada
ekosistem, hal ini jelas memiliki hubungan dengan tingkat kerapatan mangrove
dimana pada stasiun 1 memiliki kerapatan mangrove paling tinggi yaitu
0.50±0.06 (ind/m2) dibandingkan dengan Stasiun 2 yaitu 0.45±0.06 (ind/m2),
sedangkan stasiun 3 kerapatan yang paling rendah sebesar 0.36±0.04 (indn/m2).
Mangrove yang memiliki kerapatan tinggi menyediakan tempat berlindung yang
baik dan mendukung tersedianya asupan nutrien yang cukup dari serasah daun
mangrove yang berjatuhan di substrat yang dijadikan sebagai sumber makanan
bagi makrozoobenthos. Nugroho et al. (2013) menyatakan bahwa semakin tinggi
kerapatan mangrove maka serasah yang dihasilkan makin banyak yang pada
akhirnya menjadi perkembangan yang bagus pada kawasan tersebut.
Indeks Komunitas Makrozoobenthos
Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (C)
Keanekaragaman jenis adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas
berdasarkan organisasi biologisnya. Keanekaragaman jenis digunakan untuk
menyatakan struktur komunitas (Taqwa 2010). Suatu komunitas dikatakan
mempunyai keanekaragaman jenis tinggi, jika komunitas itu disusun oleh banyak

19

jenis dengan kelimpahan tiap jenis yang sama atau hampir sama. Sebaliknya, jika
komunitas itu disusun sangat sedikit jenis dan hanya sedikit saja jenis yang dominan,
maka keanekaragaman jenisnya rendah (Taqwa 2010). Keanekaragaman
makrozoobenthos di kawasan mangrove Pulau Damar tergolong sedang. Selain
mempunyai peran untuk menunjukkan kekayaan jenis dalam suatu komunitas.
Keragaman makrozoobenthos dapat memperlihatkan keseimbangan dalam
pembagian individu tiap jenis (Odum 1994). Keanekaragaman berkaitan dengan
dua hal utama, yaitu banyaknya spesies yang berada pada suatu komunitas dan
kelimpahan dari masing-masing spesies tersebut. Setiap stasiun memiliki
keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi yang berbeda-beda seperti
ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Indeks komunitas makrozoobenthos di lokasi penelitian
Stasiun
Indeks
substasiun 1 subtasiun 2
substasiun 3
Keanekaragaman (H')
2.33
1.21
1.47
Keseragaman (E)
0.82
0.46
0.14
Dominansi (C)
0.14
0.36
0.34
Tabel 6 menunjukkan bahwa di stasiun 1 dengan nilai indeks
keanekaragaman tertinggi. Nugroho (2006) menyatakan jika nilai H’ lebih besar
dari 1 dan lebih kecil dari 3 maka dikategorikan memilliki keanekaragaman
sedang. Hal ini diartikan bahwa stasiun 1 memiliki keanekaragaman
makrozoobenthos sedang, dengan kualitas perairan yang baik.
Indeks keanekaragaman (H') terendah ditemukan pada stasiun 2 sehingga
dikategorikan memiliki keanekaragaman rendah. Ulum et al. (2012) menyatakan
bahwa keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya jenis
habitat tempat hidup, stabilitas lingkungan, produktifitas, kompetisi, dan
penyangga rantai makanan, pertambakan penduduk, rekreasi, aktivitas industri,
pembuangan limbah rumah tangga, dan berbagaimacam aktivitas. Nilai indeks
keanekaragaman (H`) yang berada pada kisaran 1.21-2.33 menunjukkan stabilitas
komunitas yang sedang (moderat) yang berarti bahwa kondisi komunitas ini
mudah berubah hanya dengan pengaruh perubahan lingkungan yang relatif kecil.
Fachrul (2007) menyatakan bahwa keanekaragaman identik dengan kestabilan
suatu ekosistem, dimana jika keanekaragaman suatu ekosistem tinggi, maka
kondisi ekosistem tersebut cenderung stabil. Pada umumnya organisme tidak peka
terhadap berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah di
perairan yang tercemar oleh bahan organik
Nilai indeks keseragaman (E) pada stasiun 1 dan stasiun 3 yang lebih
tinggi dari Stasiun 2. Stasiun 1, dan Stasiun 3 keseragaman antar spesies relatif
merata atau dengan kata lain jumlah individu pada masing-masing spesies relatif
sama, perbedaannya tidak mencolok (Basmi 2000). Nilai indeks keseragaman
yang rendah menunjukkan kekayaan individu yang dimiliki masing-masing
spesies sangat jauh berbeda. Hasil penelitian indeks keseragaman berkisaran 0.460.82. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya jumlah individu yang lebih tinggi
dibandingkan individu lain pada Stasiun 1, dan Stasiun 3.

20

Nilai Indeks Dominansi di lokasi pengamatan berkisar antara 0.14-0.36
Indeks domi